Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PRAKTIKUM KOMUNIKASI KESEHATAN

BLOK XI KESEHATAN LINGKUNGAN, DEMOGRAFI DAN GIZI


MASYARAKAT

DIABETES MELLITUS DAN KESEHATAN RONGGA MULUT

Disusun Oleh :
Ria Inawati 161610101053
Pintan Qorina D. 161610101102
Dinda Virgatha Dea 161610101115

Dosen Pembimbing: Dr. Drg. Ari Tri Wanadyo Handayani, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2107
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak
menghasilkan insulin yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan
konsentrasi glukosa dalam darah (WHO, 2012).
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling umum
ditemukan. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia dan glikosuria (Budiyanto,
2002). Di antara tipe DM yang ada, DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak
ditemukan (lebih dari 90%). Kekerapan DM tipe 2 di Indonesia berkisar antara
1,5-2,3% kurang lebih 15 tahun yang lalu, tetapi pada tahun 2001 survei terakhir
di Jakarta (Depok) menunjukkan kenaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 12,8%
(Suyono, 2005).
Saat ini, banyak orang masih menganggap penyakit Diabetes Mellitus
merupakan penyakit orang tua atau penyakit yang hanya timbul karena faktor
keturunan. Namun, setiap orang dapat mengidap Diabetes Mellitus baik tua
maupun muda. Tingginya kadar glukosa darah secara terus menerus atau
berkepanjangan dapat menyebabkan komplikasi diabetes. Berdasarkan penelitian
Murray pada tahun 2000 tiap 19 menit ada satu orang di dunia yang terkena
stroke, ada satu orang yang buta dan ada satu orang di dunia diamputasi akibat
komplikasi Diabetes Mellitus (Maulana, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang
muncul adalah:
1.2.1. Apa definisi diabetes mellitus?
1.2.2. Apa saja klasifikasi, etiologi, faktor predisposisi, dan patogenesis diabetes
mellitus?
1.2.3. Apa saja manifestasi di rongga mulut dari diabetes mellitus?
1.2.4. Bagaimana perawatan seseorang dengan diabetes mellitus?
1.2.5. Bagaimana cara mencegah penyakit diabetes mellitus?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
menulis makalah ini adalah:
1.3.1. Untuk mengetahui definisi dari diabetes melitus.
1.3.2. Untuk mengetahui klasifikasi, etiologi, faktor predisposisi, dan patogenesis
diabetes mellitus.
1.3.3. Untuk mengetahui manifestasi di rongga mulut dari diabetes mellitus.
1.3.4. Untuk mengetahui perawatan seseorang dengan diabetes mellitus.
1.3.5. Untuk mengetahui cara mencegah penyakit diabetes mellitus.
1.4 Manfaat
Makalah tentang Diabetes Mellitus dan Kesehatan Rongga Mulut ini
disusun dengan harapan pembaca dapat mengetahui tentang apa itu diabetes
melitus , klasifikasi, manifestasi di rongga mulut serta bagaimana perawatan dan
pencegahan dari diabetes melitus.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang bersifat kronis
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
memanfaatkan insulin secara efektif (Kemenkes RI, 2013). Menurut WHO, 2017,
Diabetes Melitus adalah kenaikan hiperglikemia yang meningkatkan resiko
kerusakan mikrovaskuler (retinopati, nefropati, neuropati).
Menurut WHO tahun 2017, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 3
yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestasional. Menurut ADA,
1997, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes tipe 1, diabetes
tipe 2, diabetes lain – lain dan diabetes gestasional.

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


2.2.1 Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus tipe 1 atau dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan
sel β pankreas telah mencapai 80 - 90% maka gejala DM mulai muncul.
Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian
besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan
sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga
disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa
adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1
sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan diabetes melitus
tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada (John,
2006).
a. Etiologi
Autoimunitas merupakan keadaan dimana autoantibodi akan menyerang
autoantigen sehingga akan terjadi kerusakan pada organ tubuh. Dalam keadaan
yang normal, sistem imun memiliki sifat self – tolerance terhadap autoantigen,
sehingga tidak dapat menyerangnya. Tetapi pada kasus autoimunitas, sifat self –
tolerance ini tidak terbentuk, sehingga semua yang ada dalam tubuh disebut
antigen bagi anitobidi sehingga akan diserang. Hal tersebut juga bisa terjadi pada
sel beta pankreas.
b. Faktor Predisposisi
1. Genetik
Apabila seseorang memiliki gen HLA (histocompatibility leukocyte
antigens) terdapat pada kromosom 6 maka akan lebih beresiko terkena DM
tipe 1. Selain itu, penyakit tersbeut dapat diturunkan kepada anaknya.
2. Epigenetik
Epigenetik merupakan perubahan fenotip sehingga yang seharusnya
diekspresikan protein yang membentuk insulin, tetapi tidak terbentuk.
Sehingga insulin juga tidak terbentuk maka akan memperburuk penyakit
DM tipe 1.
3. Lingkungan (virus dan bakteri)
Adanya virus dapat merusak DNA atau RNA sel sehingga akan merusak
susunan protein untuk pembentuk insulin. Selain itu, virus dan bakteri
akan menyebabkan respon imunitas semakin tinggi sehingga
memperburuk keadaan dari DM tipe 1.
4. Usia
Semakin tinggi usia seseorang, maka akan semakin turun kondisi imunitas
seseorang. Hal tersebut adalah fisiologis. Kondisi imun seseorang yang
turun akan lebih mudah mikroorganisme untuk melakukan infeksi dalam
tubuh.
c. Patogenesis
Sel B limfosit akan mensekresikan autoantibodi IAA (Insulin
autoantibodi), ICA (Islet cell autoantibody), dan GADA(autoantibody to glutamic
acid decarboxylate). Sekresi zat tersebut akan menyebabkan sel imun teraktivasi
sehingga akan menyerang sel beta pankreas. Selain itu, autoantibodi akan
menyerang insulin yang dihasilkan dengan cara insulin diikatkan dengan reseptor
dari IAA sehingga mencegah ikatan ke reseptor membran sel. Adanya ICA akan
menyebabkan limfosit T sitotoksis memfagositosis sel beta pankreas.
2.2.2 Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus. Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik
yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Slamet, 2008).
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia meningkat sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya 5%
dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1 (Harding dkk, 2003).
a. Etiologi
Diabetes Mellitus tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β gangguan
sekresi insulin dan resisten insulin (Menurunnya sensitivitas jaringan terhadap
insulin) merupakan 2 faktor genetik utama etiologi DMT2. Resisten insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.(Smeltzer dan
Bare , 2002)
Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa. (Smeltzer dan Bare , 2002)
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.(Smeltzer dan
Bare , 2002)
b. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II
(Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:
1. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan
insulin dengan baik.
2. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi secara
drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada
mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka
terhadap insulin.
3. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-
manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini
mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya.Tetapi
gula dan lemak berbahaya bagi mereka yang beresiko mengidap penyakit
DM tipe II.
4. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat
mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).Obesitas bukan
karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan
jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah
yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM
tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.
c. Patogenesis
Secara patofisiologi, DM tipe 2 ini bisa disebabkan karena dua hal yaitu :
(1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin. Peristiwa tersebut
dinamakan resistensi insulin,
(2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai
respon terhadap beban glukosa.
Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan. Sebagai
kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak
sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia), akibatnya reseptor insulin
berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan
jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini berdampak pada penurunan respon
reseptornya dan mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Selain itu, kondisi
hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada
tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
pengangkut glukosa dan aktivasi glikogen sintase. Kejadian ini mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses
terjadinya DM tipe 2. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa
dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar
gula darah (hiperglikemik) (Nugroho, 2006).
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena lemahnya kemampuan pankreas
dalam mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin,
sehingga menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Penurunan sensitivitas
insulin terjadi pada permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin;
reseptor insulin akan memberikan sinyal pada pengangkut glukosa untuk
memungkinkan lewatnya glukosa yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke
dalam sel. Di dalam mitokondria, glukosa tersebut akan digunakan untuk
menghasilkan energi yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh
(Hartono dalam Fachreza, 2009).
Insulin yang diproduksi pada sel β pankreas akan menempati reseptornya,
yang kemudian memberikan sinyal transduksi pada pengangkut glukosa untuk
dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang beredar dalam darah
akan masuk ke dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita DM tipe 2
dapat disebabkan oleh kerusakan sinyal transduksi (Rimbawan dan Siagian dalam
Fachreza, 2009). Sinyal transduksi atau disebut juga sinyal sel (cell signalling)
merupakan suatu proses komunikasi yang meliputi konsep tentang tanggapan sel
terhadap rangsangan dari sekelilingnya yang disusul dengan timbulnya reaksi di
dalam sel. Kerusakan sinyal transduksi pada DM tipe 2 dapat dimulai dari insulin
abnormal sampai kerusakan pada reseptor insulin pengangkut glukosa. Reseptor
insulin ini merupakan reseptor tirosin kinase (RTK) yang terdiri dari 2 subunit α
dan 2 subunit β. Subunit α terdapat di bagian luar membran sel yang mampu
berikatan dengan hormon insulin, sedangkan subunit β merupakan bagian
transmembran yang meneruskan sinyal ke dalam sel. Kerusakan sinyal transduksi
ini dapat disebabkan oleh terjadinya disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria
ini terjadi akibat adanya akumulasi mutasi-mutasi pada daerah D-loop mtDNA
yang di luar ambang batas toleransi. Seperti diketahui bahwa D-loop merupakan
titik awal untuk proses replikasi dan transkripsi yang terjadi pada mtDNA.
Adanya mutasi-mutasi di daerah D-loop mtDNA dapat mengubah ikatan DNA
pada daerah tersebut, sehingga dapat mempengaruhi interaksi antara protein-
protein pengontrol transkripsi dan replikasi dengan rantai DNA sendiri. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam proses replikasi maupun
transkripsi (Poulton, 2002)
Seiring dengan kejadian tersebut, pada permulaan DM tipe 2 terjadi
peningkatan kadar glukosa dibanding normal, namun masih diiringi dengan
sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut menyebabkan
reseptor insulin harus mengalami adaptasi sehingga responnya untuk mensekresi
insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada
defisiensi insulin. Pada DM tipe 2 akhir telah terjadi penurunan kadar insulin
akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin, dan
diiringi dengan peningkatan kadar glukosa dibandingkan normal (Nugroho, 2006)
Gejala diabetes mellitus tipe 2 muncul secara perlahan-lahan sampai
menjadi gangguan yang jelas. Pada tahap permulaannya terdapat gejala-gejala
berikut ini (Maulana, Mirza: 2008):
1. Cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit
2. Sering buang air kecil
3. Terus-menerus lapar dan haus
4. Kelelahan berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya
5. Mudah sakit berkepanjangan
6. Biasanya terjadi pada mereka yang berusia diatas 40 tahun

2.3 Manifestasi Rongga Mulut


a. Xerostomia
Adanya komplikasi neuropati ini pada penderita diabetes mellitus,
menyebabkan gangguan saraf termasuk inervasi ke kelenjar saliva. Padahal
kelenjar saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf simpatis dan parasimpatis.
(Rina dan Agung, 2012).
Mekanisme lainnya yang mungkin terjadi adalah terjadinya diuresis
pada penderita diabetes melitus.Ini menyebabkan terjadinya poliurin
mengakibatkan dehidrasi dan berpengaruh terhadap turunnya sekresi saliva
oleh glandula saliva. Kemungkinan lain yang menyebakan xerostomia pada
penderita DM adalah penggunaan beberapa obat yang memengaruhi produksi
saliva. (Rina dan Agung, 2012).
b. Karies
Tingginya kejadian karies pada penderita diabetes mellitus
dikarenakan ketidakmampuan dalam pengendalian glukosa darah yang
mengakibatkan tingginya kadar glukosa dalam saliva. (Miller et al, 2003)
Seseorang dengan diabetes dapat mengalami keadaan yang disebut
hyposalivasi dan gangguan fungsi saliva, dimana saliva tersebut memiliki
komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
kariogenik.Sehingga penurunan produksi saliva dapat meningkatkan
resistensi bakteri penyebab karies. Tingginya kadar glukosa darah pada
penderita diabetes berhubungan dengan tingginya kadar glukosa dalam
saliva55. Saliva dengan kadar glukosa yang tinggi dapat meningkatkan
produksi asam melalui proses fermentasi oleh bakteri di dalam mulut,
kemudian terjadi proses demineralisasi yang menghasilkan karies gigi.
(Maricelle, 2009)
c. Periodontitis
Dari seluruh komplikasi Diabetes Melitus, periodontitis merupakan
komplikasi nomor enam terbesar di antara berbagai macam penyakit dan
Diabetes Melitus adalah komplikasi nomor satu terbesar khusus di rongga
mulut. Hampir sekitar 80% pasien Diabetes Melitus gusinya bermasalah.
Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang).
Tanda-tanda periodontitis antara lain pasien mengeluh gusinya mudah
berdarah, warna gusi menjadi mengkilat, tekstur kulit jeruknya (stippling)
hilang, kantong gusi menjadi dalam, dan ada kerusakan tulang di sekitar gigi,
pasien mengeluh giginya goyah sehingga mudahlepas. Penyakit periodontal
diawali dengan plak gigi.Pada penderita diabetes melitus terjadi perubahan
respon jaringan periodontal terhadap iritasi lokal.
Diabetes Melitus pada dasarrnya terjadi pada semua pembuluh darah
diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik). Penyebab terjadinya komplikasi
diabetes melitus pada rongga mulut antara lain karena adanya mikroangiopati
pada sistem vaskuler jaringan periodontal. Akumulasi AGE pada jaringan
periodontal juga cenderung berperan dalam meningkatkan peradangan
periodontal pada individu dengan diabetes.Secara singkat hubungan Advance
Glycation End Product (AGEs) dengan diabetes melitus adalah AGEs
biasanya terjadi pada penderita diabetes melitus karena kondisi hiperglikemia
(kadar gula darah yang tinggi)sehingga terjadi proses glikosilasi (pengikatan
gula) terhadap protein dan lemak, akibatnya terjadi proses oksidasi dan
terbentuk radikal bebas.AGE ke reseptornya (RAGE) menghasilkan produksi
mediator inflamasi yang diregulasi seperti IL-1β, TNF-α dan IL-6.
Pembentukan AGE menghasilkan produksi ROS atau radikal bebas tadi
sehingga meningkatkan stres oksidan.Radikal bebas ini yang dapat merusak
pembuluh darah kecil (microvascular) maupun pembuluh darah besar
(macrovascular), dan juga sel-sel tubuh.Hal ini menyebabkan terjadinya
gangguan penyebaran oksigen, nutrisi maupun pembuangan sisa metabolisme
yang mengakibatkan penurunan resistensi jaringan sehingga memudahkan
terjadinya infeksi. (Preshaw et al, 2012).
AGE juga menyebabkan defek PMNyang berpotensi meningkatkan
kerusakan jaringan lokal secara signifikan pada periodontitis. Selanjutnya,
AGE memiliki efek yang merugikan pada metabolisme tulang, yang
menyebabkan penurunan produksi matriks ekstraselular dengan melepas
mariks mettaloprotease yang dapat mereasorbsi tulang sehingga pada
penderita diabetes mellitus gigi menjadi goyang. (Preshaw et al, 2012).
d. Abses Periodontal
Diabets mellitus adalah penyakit metabolik dengan ciri hipofungsi
dari beta sel pulau Langerhanz pada pankreas sehingga mengakibatkan kadar
glukosa darah yang tinggi serta eksresi gula dalam urine. Penyakit ditandai
dengan adanya insufisiensi sekresi insulin sehingga toleransi terhadap
glukosa menurun sehingga terjadi kekurangan glukosa secara intraselluler,
yang akan mengganggu regenerasi dan pertahanan jaringan periodontal
berakibat rentannya pertahanan jaringan periodontal terhadap bakteri, maka
penderita diabetes mellitus sangat mudah terjadi gangguan jaringan
periodontal serta perkembangan dari gingivitis menjadi periodontitis lebih
cepat dibandingkan dengan penderita yang bukan diabetes mellitus. Salah
satu komplikasi periodontal yang sering ditemukan pada penderita diabetes
mellitus adalah abses periodontal (Thahir, 2003).

d. Oral Kandidiasis
Glukosa layaknya molekul kecil yang mampu bergerak secara mudah
didalam membran pembuluh darah, yang dapat keluar dari plasma darah
menuju ke cairan gingiva melalui sulkus gingiva, selanjutnya mencapai
saliva. Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien DM mampu
menyebabkan kadar glukosa pada saliva menjadi lebih tinggi, yang
berdampak pada kehilangan homeostatis dan kerentanan yang lebih besar
untuk terjadinya penyakit dalam rongga mulut. Pada pasien DM yang
mengalami peningkatan kadar glukosa darah akan menunjukkan perubahan
kondisi rongga mulut, misalnya adalah kandidiasis oral. (Sumintarti dan
Rahman, 2015).

2.4 Perawatan Diabetes Melitus


Di Indonesia, dalam rangka pengendalian penyakit DM, pemerintah
melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1575 tahun 2005, telah dibentuk
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang mempunyai tugas pokok
memandirikan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor risiko
penyakit tidak menular, khususnya penyakit DM. Oleh karena itu, program
Pengendalian Diabetes Melitus dilaksanakan dengan prioritas upaya preventif dan
promotif, dengan tidak mengabaikan upaya kuratif, serta dilaksanakan secara
terintegrasi dan menyeluruh antara Pemerintah, Masyarakat dan Swasta termasuk
perguruan tinggi dan profesi.
2.4.1 Perawatan Diabetes Melitus Secara Umum
Beberapa hal penting yang sangat perlu diperhatikan antara lain (Sutandi, 2012) :
1. Perencanaan pola makan dan diet yang tepat
Diet yang baik untuk para diabetisi adalah diet yang seimbang, jadwal
makan yang teratur serta jenis makanan yang dimakan bervariasi yang kaya
nutrisi dan rendah karbohidrat. Diet perlu dilakukan dengan mengurangi asupan
karbohidrat (berbagai jenis gula dan tepung termasuk nasi, kentang, ubi, singkong
dan lain sebagainya), mengurangi makanan berlemak (daging berlemak, kuning
telur, keju, dan susu tinggi lemak) serta memperbanyak makan sayur dan buah
sebagai sumber serat, vitamin dan mineral. Sebagai sumber protein Anda dapat
memanfaatkan ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe.
2. Monitoring kadar gula darah
Kadar gula darah harus dites secara berkala yaitu pada saat sebelum
sarapan pagi dan sebelum makan malam. Nilai yang diharapkan dari pengukuran
tersebut adalah berada pada rentang antara 70 s.d 120 mg/dl.
3. Olahraga dan latihan
Penderita diabetes disarankan untuk melakukan olahraga secara teratur
dengan cara bertahap sesuai dengan kemampuan. Olahraga yang ideal adalah yang
bersifat aerobik seperti jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama 30-40 menit
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3 kali seminggu. Seiring dengan
tingkat kebugaran tubuh yang meningkat, maka durasi latihan dapat dinaikkan
maksimal sampai dengan 3 jam. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh penderita. Selain itu juga
para diabetisi dapat melakukan olahraga dengan cara berjalan kaki selama 30
menit. Kegiatan ini membantu untuk mengontrol kadar gula dan meningkatkan
kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah.
5.Pengobatan yang teratur
a. DM Tipe I
Pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin, diet, aktivitas fisik,
pendidikan dan mengendalikan tingkat glukosa darah. Selama perawatan pasien
diberikan obat insulin dan diet yang mengacu kepada upaya untuk memperbaiki
pertumbuhan. Hal tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan asupan makanan
dengan dosis insulin dan aktivitas dengan cara menjaga tingkat glukosa darah
dalam rentang normal serta memantaunya (Ridwan dkk, 2015)
DM tipe 1 berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian dini.
Umumnya pengidap dapat bertahan hidup antara 10−20 tahun jika tidak ada
komplikasi dan 60% pasien dengan DM tipe 1 bertahan hidup cukup baik dalam
jangka panjang, sedangkan sisanya mengalami kebutaan dan kematian dini.
b. DM Tipe II
1. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan
menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat
menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh
pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan
gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia;
dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan
hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin
adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan
panurunan berat badan sedikit (Nathan dkk, 2008).
Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian
metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik ; komplikasi ini jarang
terjadi tetapi fatal.
2. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan
metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah
hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode
hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia
lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan
sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan
penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki
kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan
dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari (Nathan dkk, 2008).
3. Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan
tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari
pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat
badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia
nya lebih kecil (Nathan dkk, 2008).
4. Insulin
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin
dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak
seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi
insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan dkk,
2008).
5. Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai
jaringan termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang
meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan “glucose- mediated
insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik
menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.
Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai
monoterapi (Nathan dkk, 2008).
5. Pengukuran tekanan darah dan kadar kolesterol secara teratur
Penderita diabetes harus melakukan pengukuran tekanan darah secara
teratur guna untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi stroke akibat hipertensi.
Begitu pula dengan kadar kolesterol yang tinggi merupakan resiko tinggi
terjadinya atherosklerosis.
6. Menghindari stress yang berlebihan
Stress dapat meningkatkan kadar gula darah dan tekanan darah. Stress ini
dapat berasal dari kondisi fisik, misalnya nyeri, kurang tidur, pekerjaan, pengaruh
obat obatan steroids dan lainnya.
7. Mengurangi resiko
Penderita Diabetes rentan untuk mengalami komplikasi berupa luka atau
borok yang sukar sembuh. Seringnya mereka mendapati luka yang sukar sembuh
pada daerah kaki, dimana untuk itu perawatan kaki yang teratur sangat diperlukan.
Jaga kelembaban kulit dengan menggunakan lotion yang tidak menimbulkan
alergi. Potong kuku secara teratur dan ratakan ujung kuku dengan menggunakan
kikir, jangan pernah memotong ujung kuku terlalu dalam. Pilih alas kaki yang
nyaman dan sesuai dengan bentuk serta ukuran kaki. Pilih bahan sepatu yang
lembut dan sol yang tidak keras. Pakai sepatu tertutup jika hendak bepergian
keluar rumah. Waspada jika terdapat luka sekecil apapun, segera obati dengan
antiseptik.
2.4.2 Pertimbangan Perawatan Gigi Diabetes Melitus
Pasien dengan diabetes melitus juga harus bisa untuk menjaga kebersihan
dan kesehatan di rongga mulut. Berbagai cara dapat dilakukan seperti menyiikat
gigi setiap habis makan atau minimal berkumur, menggunakan benang pembersih
atau dental floss untuk mengurangi penumpukan plak pada permukaan gigi,
mengindari rokok, memeriksakan gigi secara rutin, minimal enam bulan sekali ke
dokter gigi, pada pasien pengguna gigi tiruan, harus membersihkan dengan
seksama gigi tiruan yang digunakan, karena gigi tiruan yang kurang bersih akan
menjadi tempat berkembang biaknya jamur. Selain itu ada juga beberapa
pertimbangan perawatan gigi pada pasien diabetes melitus, seperti ( D Jonathan,
2003) :
1. Cakupan Antibiotik
Pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol berisiko mengalami
komplikasi oral karena kerentanannya terhadap infeksi dan akan memerlukan
terapi antibiotik tambahan. Antisipasi operasi dentoalveolar (melibatkan mukosa
dan tulang) dengan cakupan antibiotik dapat membantu mencegah gangguan dan
penyembuhan luka yang tertunda.
2. Penyesuaian Insulin atau Hipoglikemik

Sebagian besar bentuk terapi gigi tidak boleh mengganggu pengendalian


medis diabetes. Namun, operasi dentoalveolar, infeksi orofasial dan stres prosedur
gigi dapat meningkatkan kadar glukosa serum dan kebutuhan insulin metabolik.
Oleh karena itu, dokter gigi harus mempertimbangkan untuk memodifikasi terapi
medis dengan berkonsultasi dengan dokter pasien.
Obat yang digunakan oleh dokter gigi memerlukan penyesuaian terapi
dengan diabetes. Misalnya, epinefrin dapat melawan efek insulin dan
menyebabkan hiperglikemia. Sejumlah kecil kortikosteroid sistemik dapat
memperburuk kontrol glikemik; pasien yang memakai agen hipoglikemik oral
yang menjalani terapi steroid mungkin memerlukan terapi insulin jangka pendek
untuk mempertahankan kontrol glikemik. Sebagai alternatif, hipoglikemia dapat
dikontrol oleh aspirin, antibiotik sulfa dan antidepresan.
3. Pemantauan Pengendalian Gula Darah
Dua langkah penting yang terlibat dalam merawat pasien diabetes yaitu
menetapkan diagnosis (diabetes tipe 1 atau tipe 2, dan bentuk terapi) dan tingkat
pengendalian penyakit (terkontrol dengan baik atau kurang terkendali). Paling
umum, kadar glukosa darah atau HbA1c harus tersedia dari kantor dokter.
Pembaruan medis harus dicatat pada setiap kunjungan untuk memandu keputusan
pengobatan klinis. Dokter gigi harus bisa menggunakan glucometer untuk
mengukur kadar glukosa darah dengan cepat dari ujung jari pasien.
Satu studi menentukan bahwa risiko infeksi berhubungan langsung dengan
kadar glukosa darah puasa. Pasien dengan kadar di bawah 206 mg / dL tidak
memiliki peningkatan risiko, sedangkan pasien dengan kadar glukosa darah puasa
di atas 230 mg / dL memiliki 80 persen peningkatan risiko infeksi. Oleh karena
itu, dokter gigi harus mengetahui status diabetes pasien mereka, dan membuat
akomodasi yang tepat untuk mencegah dan mengobati kelainan oral dan sistemik
terkait diabetes.
4. Komunikasi dengan Dokter
Komunikasi teratur dengan dokter merupakan komponen penting untuk
mengobati pasien diabetes dengan aman. Komunikasi harus bersifat dua arah:
dokter harus diberi tahu tentang manifestasi oral penyakit ini untuk membantu
mereka mengatur tingkat glukosa darah, dan dokter gigi harus diperbarui pada
pengendalian glikemik untuk membantu mereka menjaga kesehatan mulut pasien.
5. Pengobatan Komplikasi Oral Diabetes
Dokter gigi harus menguasai berbagai metode untuk mengobati
komplikasi diabetes mellitus secara efektif. Banyak perawatan sama dengan yang
dianjurkan untuk pasien tanpa diabetes. Namun, mengelola pasien dengan
diabetes memang memerlukan follow up lebih ketat, terapi intervensi lebih agresif
daripada observasi, komunikasi teratur dengan dokter dan perhatian yang lebih
besar untuk pencegahan. Penderita diabetes, terutama yang memiliki riwayat
kontrol glikemik dan infeksi mulut yang buruk, memerlukan kunjungan lebih
sering dan perhatian cermat terhadap infeksi mulut akut.

2.5 Pencegahan Diabetes Melitus


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu
(Fatimah, 2015) :
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan
dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah
menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan
kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau
kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita diabetes
melitus, tetapi berpotensi untuk menderita DM, diantaranya:
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok
bagi kesehatan.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit
menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut
menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama
disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-
lain.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
kadar gula glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula
darah darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl. Diabetes Mellitus dapat
dibagi dalam dua tipe,yaitu: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebut
Diabetes Mellitus tipe 1, Serta Noninsulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
atau Diabetes Mellitus tipe 2 . Ada tiga keluhan khas dari penderita diabetes
melitus yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia.
Dengan adanya keluhan berupa poliuria pada penderita diabetes mellitus,
maka cairan tubuh dari penderita diabetes mellitus terus berkurang dan dapat
berakibat pada rongga mulut nya yakni berupa penurunan sekresi saliva sehingga
mulut terasa kering (xerostomia). Dari kondisi xerostomia dapat menimbulkan
manifestasi oral berupa penyakit jaringan periodontal, karies, penyakit mulut dan
yang lainnya.

3.2 Saran
Penyususn menyadari bahwa makalah ini masih jauh kata sempurna,
kedepannya penyusun berharap agar lebih fokus dan detail dalam menjelaskan
tentang makakah diatas disertai sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya
dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, MAK. 2002. Gizi dan Kesehatan. UMM Press. Jakarta.


D, Jonathan A Ship D M. 2003. Diabetes and oral health. The Journal of the
American Dental Association. 134 : 4-10.
Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. 4(5).
Harding, Anne Helen dkk. 2003. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.15(1): 150-9.
John,MF Adam. 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 127: 37-40
Maricelle A. 2009. Diabetes and dental caries prevalence: is there an association
[Tesis]. New york: University of Rochester.
Maulana, M.2009. Mengenal Diabetes Melitus: Panduan Praktis Menangani
Kencing Manis 40.Yogyakarta:Katahati 36-40
Miller K, Marie O.2003. Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine,
Nursing, and Allied Health 7th ed. New Jersey: Elvesier.
Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R dkk.
2008. Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A
consebsus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A
consensus statement of the American Diabetes Association and the
European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care. 31: 1-11.
Nugroho, Agung Endro. 2006. Hewan percobaan diabetes mellitus: patologi dan
mekanisme aksi diabetogenik. Jurnal Biodiversitas. 4(7): 378-382.
Norma S, Sandra M, Cresio A. 2011. Dental caries-associated risk factors and
type 1 diabetes mellitus. Salvador (Brazil): Federal University of Bahia.
P. M. Preshaw, A. L. Alba, D. HerreraS. Jepsen, A. Konstantinidis, K.
Makrilakis,dan R. Taylor. 2012. Periodontitis and diabetes: a two-way
relationship. National Center for Biotechnology Information, U.S.
National Library of Medicine . 55(1): 21–31
Rina K S, Agung W. 2012. Pengaruh Komplikasi Neuropati Terhadap
XerostomiaPada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal Kedokteran
Gigi dan Ilmu Kesehatan,Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 1(2).
Slamet S. 2008. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Terjemahan Agung
Waluyo,dkk. EGC: Jakarta.
Sumintarti & Rahman F. 2015. Korelasi Kadarglukosa Saliva Dengan Kadar
Glukosa Darah Terhadap Terjadinya Kandidiasis Oral Pada Penderita
Diabetes Melitus. Jurnal Dentofasial.14(1).
Sutandi, Aan. 2012. Self Management Education (dsme) Sebagai Metode
Alternatif Dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di dalam
Keluarga. Manajemen No. 321.
Thahir, Hasanuddin. 2003. Perawatan Abses Periodontal pada Penderita Diabetes
Mellitus. Jurnal Kedokteran Gigi. Bagian Periodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin.
Zuhrinah Ridwan, Uleng Bahrun, Ruland DN Pakasi R. 2016. Ketoasidosis
Diabetik Di Diabetes Melitus Tipe 1. Indonesian journal: clinical
pathology and medical laboratory. 22(2) : 200-203.

Anda mungkin juga menyukai