Bab 11. Perilaku Prososial PDF
Bab 11. Perilaku Prososial PDF
Perilaku prososial dapat dilatarbelakangi motif kepedulian pada diri sendiri dan
mungkin pula karena altruisme. Pembahasan berikut ini lebih berfokus pada perilaku
prososial yang dimotivasi oleh altruisme, yaitu keinginan untuk menolong orang lain
walaupun orang yang menolong tersebut harus mengeluarkan biaya atau pengorbanan.
Altruisme merupakan perbuatan menolong yang dilakukan murni tanpa adanya
keinginan untuk mengambil keuntungan atau meminta balasan, bahkan terkadang
orang terse but harus mengeluarkan biaya atau pengorbanan bagi dirinya.
Perilaku prososial dan altruisme, ditentukan oleh faktor genetik atau faktor
belajar/pengasuhan? Apakah ada motif menolong yang murni? Berikut ini beberapa
teori yang menjelaskan hal tsb.
Namun di sisi lain, menolong orang lain juga dapat menimbulkan adanya suatu
pengorabanan yang besar. Perbuatan menolong menjadi menurun ketika pengorbanan
yang harus dilakukan pada perbuatan itu besar, misalnya ketika perbuatan tersebut
menempatkan kita pada suatu kondisi membahayakan bagi fisik tubuh kita, yang dapat
menyebabkan rasa sakit dan malu, atau yang paling mudah, perbuatan tersebut sangat
menyita waktu yang kita miliki (Dovidio et aI, 1991; Dovidio, Piliavin, Gaertner,
Schroeder, & Clark, 1981; Piliavin, Piliavin, & Rodin, 1975).
Pada dasarnya, teori pertukaran sosial berpendapat bahwa altruisme yang
sesungguhnya itu tidak ada. Orang menolong ketika keuntungan yang didapatkan lebih
besar dari pengorbanan yang harus dilakukan.
Empati : kemampuan untuk menempakan diri sendiri pada posisi orang lain,
dan merasakan emosi serta kejadian (misalnya kegembiraan dan kesedihan)
seperti yang mereka rasakan.
Hal ini juga disebut sebagai Hipotesis Empati-Altruisme dari Batson, yaitu ketika
kita merasakan empati pada orang lain, kita akan mencoba menolong orang tersebut
dengan alasan altruistik murni, tanpa memperdulikan apa yang akan kita dapat. Batson
juga mengatakan, ketika kita tidak merasakan empati, maka perbuatan menolong akan
menjadi suatu proses pertukaran sosial.
Bagaimanapun, karena batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ tidak terlalu terlihat di
budaya yang saling bergantung (interdependen), orang-orang dalam kebudayaan ini
tidak terlalu suka menolong anggota dari out-group bila dibandingkan dengan orang-
orang yang berada dalam kebudayaan individualistik (L'Armand & Pepitone, 1975;
Leung & Bond, 1984; Triadis, 1994). Agar ditolong oleh orang lain, sangatlah penting
bahwa mereka melihat kita sebagai anggota dari in-group mereka – sebagai ‘salah satu
dari mereka’ – dan ini khususnya terjadi pada kebudayaan yang saling bergantung
(Ting & Piliavin, 2000).
Hasil riset mendukung bahwa urban overload hypotesis lebih dari sekedar ide
bahwa tinggal di kota membuat seseorang secara alami menjadi kurang altruistik.
Belasan hasil penelitian menunjukkan bahwa bila muncul kesempatan untuk menolong,
baik keadaan darurat terjadi di pedesaan maupun di kota besar, saksi-saksi
bermunculan (Steblay, 1987). Dalam studi lapangan yang dilakukan pada 36 kota di
Amerika, hasilnya menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berhubungan lebih erat
dengan perilaku menolong daripada dengan besarnya jumlah penduduk (Levine, dkk,
1994). Semakin besar kepadatan penduduk, semakin sedikit kemungkinan orang untuk
menolong.
_______________________________________________________________________
Sumber: Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6 th edition).
Singapore: Pearson Prentice Hall.