Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TEKNOLOGI HASIL TERNAK


“PENANGANAN DAGING YANG BAIK”

Oleh:
Kelompok 4
Kelas E

M Raihan Gustavian 200110130147


Gugus Andromeda Iqra 200110130161
Farisa Athia H 200110130164
Rizki Yusfahrizal 200110130208
Ssangiyang M Iqbal 200110130209
M Andira Kazhim 200110130359
Erinne Dwi Nanda 200110130362
Farid Akbar 200110130364
Aprita Zakiah 200110130367
Dita Fahnuzia 200110130378
M Ali Rahman 200110130389
Riszkey Leonardo 200110130400

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2015
I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daging merupakan salah satu hasil ternak yang sangat penting dalam
pemenuhan kebutuhan pangan manusia, khususnya sebagai sumber protein
hewani. Sejauh ini penyediaan daging di Indonesia masih belum cukup memadai,
baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Daging merupakan bahan pangan yang
bernutrisi tinggi, kandungan gizi yang tinggi tersebut merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.
Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah
potong yang belum memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Seperti misalnya
proses penirisan darah yang kurang sempurna saat penyembelihan yang dapat
menyebabkan warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar
mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan
sejak di rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah
akibat pencemaran dari lingkungan.
Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena sifat
fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung pertumbuhan
mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar
daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu,
walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi
syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar.
Karena kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh
lingkungan sekitar, diperlukanlah penanganan daging yang baik agar kandungan
gizi serta kualitas daging tetap terjamin.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Apa itu daging?
2. Bagaimana cara penanganan daging yang baik?
1.3 Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan daging.
2. Mengetahui cara penanganan daging yang baik.
II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Daging


Menurut Soeparno (2005) daging adalah semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-
organ misalnya hati, paru-paru, limpa, pankreas, otak, jantung, ginjal dan jaringan
otot termasuk dalam definisi ini.
Lawrie (1998) mendefinisikan daging dalam arti khusus sebagai bagian
dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Pada praktiknya, definisi ini
terbatas hanya pada beberapa lusin dari sekitar 3000 spesies mamalia. Pengertian
daging juga dapat diperluas mencakup organ-organ seperti hati, ginjal, otak dan
jaringan lain yang dapat dimakan. Definisi daging yang lebih sesuai dengan
kondisi di Indonesia adalah definisi menurut SNI 01-3947-1995, yaitu urat daging
(otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan
telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).
Salah satu daging ternak yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah
daging sapi (Soeparno, 2005). Daging sapi memiliki ciri–ciri warna merah segar,
seratnya halus dan lemaknya berwarna kuning. Daging sapi memiliki kandungan
kalori 20,7%, protein 18,8% dan lemak 14% (Buege, 2001). Kandungan protein
daging olahan lebih sedikit dibandingkan kandungan protein daging segar
(Soeparno, 2005).
Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan warna dan bau.
Selama proses memasak, warna daging dapat mengalami perubahan dan kurang
menarik. Warna daging segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin,
warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin, hemikromogen,
warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari
nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak (Soeparno, 1994).
Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging terbentuk
dari otot yang telah berhenti fungsi fisiologisnya setelah pemotongan (Soeparno,
2005). Otot tersusun dari banyak ikatan serabut yang disebut fasikuli yang terdiri
atasserabut-serabut otot yang terdiri atas myofibril (kumpulan fibril). Miofibril
tersusun dari banyak filament dan disebut miofilamen. Berdasarkan ukuranya (
dari terbesar sampai dengan ukuran terkecil), otot tersusun dari fasikuli, serabut
otot, myofibril, dan miofilamen (Lawrie, 1998). Sebagian besar serabut otot
mengandung lebih dari 50 % protein myofibril. Di dalam myofibril terdapat 55
% sampai 60 % myosin dan kira-kira 20 % akttin (Abarle dkk, 2001).
Kualitas daging diartikan sebagai sejumlah sifat yang menenyukan daging
itu yang berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Warna, daya mengikat air,
dan beberapa aroma daging dapat dideteeksi baik sebelum maupun sesudah
pemasakan dan akan memberikan sensasi yang lebih lama terhadap konsumen
dibandingkan dengan juiciness, tekstur, keempukan, rasa, dan kebanyakan aroma
yang terdeteksi saat pengunyahan (Lawrie, 1998).
pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Setelah ternak
disembelih terjadi penurunan pH karena adanya penimbunan asam laktat dalam
jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada beberapa ternak, penurunan
pH terjadi satu jam pertama setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya
rigormortis. Peningkatan pH dapat terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme.
Nilai pH daging sapi setelah proses perubahan glikolisis menjadi sam laktat
berhenti berkisar antara 5,1-6,2.
Keempukan daging dipengaruhi oleh faktor antemortem seperti genetic
termasuk bangsa, spesies dan fisiologis, faktor umur, manajemen, jenis kelamin,
stress, dan faktor postmortem yang meliputi pelayuan, dan pembekuan termasuk
faktor lama dan suhu penyimpanan, metode pengolahan, ermasuk pemasakan, dan
penambahan bahan pengempuk. Semakin halus teksturnya maka daging semakin
empuk (Soeparno, 2005).
Penyimpanan daging pada suhu beku merupakan salah satu cara untuk
memperpanjang umur simpan daging. Penggunaan suhu yang rendah dalam
penyimpanan daging yang dikemas diketahui dapat mengurangi resiko
kontaminasi mikroba, namun tidak dapat menghilangkanya. Keuntungan daging
disimpan dalam suhu beku yaitu memperpanjang waktu simpan dan dalam
menghambat perubahan-perubahan kimiawi daging. Penyimpanan daging dalam
bentuk beku juga cenderung diimbangi dengan eksudasi cairan atau drip dalam
proses pencairan kembali atau yang dikenal dengan thawing (Lawrie, 1998).

2.2 Penanganan Daging


Penanganan daging adalah kegiatan yang meliputi pelayuan, pemotongan
bagian-bagian daging, pelepasan tulang, pemanasan, pembekuan, pendinginan,
pengangkutan, penyimpanan, dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna
penjualannya (Manual Kemavet, 1993).
Selama postmortem kerusakan dapat terjadi karena adanya kontaminasi
oleh mikroorganisme serta kerusakan kimiawi, biologis dan fisik. Awal
kontaminasi mikroorganisme pada daging berasal dari lingkungan sekitarnya dan
terjadi pada saat pemotongan, hingga dikonsumsi. Pada umumnya sanitasi yang
terdapat di rumah-rumah potong belum memenuhi persyaratan kesehatan daging
sesuai standar yang telah ditetapkan. Keadaan ini menyebabkan mikroorganisme
awal pada daging sudah tinggi. Selain itu penyimpanan daging di rumah potong
dan di pasar-pasar umumnya belum menggunakan alat pendingin, di mana daging
hanya dibiarkan terbuka tanpa dikemas dalam temperatur kamar. Kondisi yang
demikian dapat menyebabkan perkembangbiakan mikroorganisme semakin
meningkat yang mengakibatkan kerusakan atau pembusukan daging dalam waktu
singkat (Costa, 2011).

2.2.1 Pengangkutan
Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan daging selama proses
sebelum pemotongan adalah perlakuan transportasi dan istirahat yang dapat
menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak yang pada akhirnya akan
menentukan kualitas daging yang dihasilkan.
Menurut Aberle et al., (2001), defisiensi glikogen terjadi apabila ternak
yang mengalami stres, seperti yang berkaitan dengan kelelahan, latihan, puasa dan
gelisah, atau yang langsung dipotong sebelum mendapat istirahat yang cukup
untuk memulihkan cadangan glikogen ototnya. Defisiensi glikogen otot pada
ternak dapat menyebabkan proses glikolisis pascamati yang terbatas dan lamban,
sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang tinggi dengan warna merah
gelap atau dikenal dengan istilah daging DFD (Dark Firm and Dry).
Penanganan ternak setelah pengangkutan dimaksudkan untuk memberi
kesempatan ternak dalam memulihkan cadangan glikogen ototnya, antara lain
dengan mengistirahatkan ternak sebelum dipotong. Selain itu, untuk mempercepat
pemulihan kondisi tubuh ternak tersebut adalah memberikan larutan gula. Selama
transportasi ternak mengalami stres dan berupaya untuk mempertahankan kondisi
fisiologis tubuhnya, sehingga otot berkontraksi lebih cepat. Keadaan ini
memerlukan laju aliran darah yang meningkat dalam otot, kondisi ini
menyebabkan peningkatan mobilisasi glukosa. Hormon insulin merangsang
pemasukan glukosa darah ke dalam sel-sel target, yang dalam hal ini kembali ke
otot (Turner-Bagnara, 1976).
Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2012) menyatakan bahwa penanganan
ternak setelah pengangkutan, dengan lama istirahat 2 jam, pemberian gula 6 g/kg
bb dari bobot badan dapat menurunkan pH akhir daging. Pemberian insulin
sebanyak 0,3 IU dapat memperbaiki kadar glikogen daging. Dengan demikian
dapat mencegah terjadinya daging DFD yang mempunyai kualitas rendah. Selain
itu, terdapat korelasi positif yang nyata antara glikogen dan asam laktat dengan,
tetapi antara kadar glikogen dan pH daging terdapat korelasi negatif yang nyata.
Asam laktat daging dan nilai pH daging kolerasi negatif yang nyata, sedangkan
nilai pH daging dan susut masak daging korelasinya tidak nyata.

2.2.2 Pelayuan Daging


Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan
cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas
titik beku daging (-1,5oC). Daging sapi biasanya dilayukan selama 2X24 jam.
Tujuan pelayuan adalah untuk memperoleh lapisan luar daging yang Iebih kering
sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar bisa ditahan (Komariah dan
Surajudin, 2005).
Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan
keempukan daging meningkat, tetapi sebaliknya water holding capacity (WHC)
daging menurun yang mengakibatkan cooking lost meningkat (Lawrie, 1979).
Lama pelayuan daging sebelum dibekukan akan meningkatkan jumlah cairan
daging segar (weep) dan cairan daging beku (drip) yang keluar pada saat
pencairan kembali (thawing), yang akan menyebabkan terjadinya penurunan
kandungan gizi daging karena sebagian zat-zat dalam daging ikut terlarut dalam
drip (Lawrie, 1979 dan Judge et al.,1989).
Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigormortis
(proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigormortis belum selesai
dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau
daging mengalami proses cold shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw
rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan
dihasilkan daging yang tidak empuk/alot (Buckle et al.,1978).
Temperatur pembekuan yang digunakan akan mempengaruhi kecepatan
pembekuan cairan daging. Daging yang membeku dengan cepat akan
menghasilkan kristal es yang lembut (halus) yang terletak dalam jaringan daging,
dan akan menghasilkan drip yang lebih sedikit pada saat thawing sehingga
penurunan gizi daging dapat dicegah, berbeda dengan pembekuan lambat akan
menghasilkan drip yang lebih banyak sehingga akan menurunkan kualitas daging
beku (Lawrie, 1979 dan Judge et al., 1989).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) pelayuan daging bertujuan antara
lain:
a. Agar proses pembentukan asam laktat dapat berlangsung sempurna, terjadi
penurunan pH daging sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri;
b. Pengeluaran darah secara lebih sempurna sehingga pertumbuhan bakteri
terhambat, karena darah merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan
mikroba;
c. Lapisan luar daging menjadi lebih kering, dan akan mencegah kontaminasi
mikroba pembusuk;
d. Memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita
rasa yang khas.
Berdasarkan hasil penelitian Sunarlim dan Setiyanto (2000) menyatakan
bahwa proses pelayuan pada suhu kamar selama 12 jam, suhu 4oC selama sehari
dan seminggu menyebabkan penurunan pH secara nyata, akan tetapi tidak nyata
peningkatan daya mengikat air dan susut masaknya. Kehilangan bobot karkas
terbanyak pada domba lokal selama pelayuan terjadi pada pelayuan suhu 4oC
selama seminggu (13,58%), dibandingkan dengan domba Merino yang ternyata
susut bobot karkasnya relatif rendah, hanya 2,90%. Pelayuan lainnya dalam
penelitian ini ternyata persentase susut bobot karkas pada suhu 4oC selama sehari
adalah 2,90% dan pada suhu kamar selama 12 jam adalah 2,42%. Pelayuan dapat
meningkatkan keempukan daging secara nyata pada pelayuan suhu kamar selama
12 jam, suhu 4oC selama sehari dan seminggu dibandingkan dengan daging segar
(tanpa pelayuan).

2.2.3 Pemotongan Bagian-bagian Daging


Daging yang telah melalui proses pelayuan kemudian akan dipotong
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Untuk sapi, pemotongan bagian-bagian
tubuhnya berbeda-beda di setiap negara bergantung dari pemakaian atau
permintaan di negara tersebut.
Pada pemotongan bagian-bagian daging sapi dikenal istilah potongan
utama atau primal cuts. Primal cuts adalah potongan-potongan besar pada karkas
sapi menjadi sampil, sandung lamur, lamusir depan, rusuk, has luar, samcan,
shortloin, betak daging paha belakang, pinggul tebal, penutup serta betis depan
dan belakang. Primal cuts kemudian dibagi menjadi sub-primal cuts dan
terkadang sub-primal cuts dibagi lagi menjadi potongan ukuran porsi individual
(Undang, 1995).
Teknik pemotongan sapi di Indonesia menurut Undang (1995) adalah
sebagai berikut :

Ilustrasi 1. Bagian Potongan Daging Sapi

Keterangan :
1. Daging sapi paha depan (chuck), berbentuk potongan segiempat dengan
ketebalan 2-3 cm.
2. Daging iga sapi (rib).
3. Has dalam (tendrloin), terdiri dari bagian–bagian otot utama , karena otot
ini jarang dipakai untuk beraktifitas maka otot ini merupakan otot yang
paling lunak.
4. Has luar (sirloin), daging bagian ini masih lumayan keras karena otot ini
paling banyak digunakan untuk bekerja.
5. Has atas (top sirloin)
6. Has bawah (bottom sirloin)
7. Paha belakang (round)
8. Senkel (shank), daging yang berasal dari bagian depan atas kaki sapi.
9. Sandung lamur (brisket), berasal dari bagian dada bawah sekitar ketiak.
10. Sancan depan (plate), merupakan daging sapi yang berasal dari otot perut ,
bentuknya panjang dan datar tetapi kurang lunak.
11. Sancan Belakang (Flank)
2.2.4 Pelepasan Tulang
Deboning merupakan proses pemotongan karkas yang telah dilayukan
menjadi potongan-potongan daging komersial. Deboning dibagi menjadi tiga
tahapan yaitu boning, cutting dan trimming (Lawrie, 1998).
Boning dilakukan untuk memisahkan daging dengan tulang. Cutting
dilakukan untuk memotong bagian-bagian daging sesuai dengan potongan
komersilnya. Sedangkan trimming dilakukan untuk membersihkan lemak yang
menempel pada daging dan daging yang menempel pada tulang. Pemotongan
dimulai dari karkas bagian bahu yaitu blade, chuck dan chuck tender. Hot carcass
yang ada dibagi menjadi dua dengan menggunakan bond saw. Karkas bagian
dada-perut dan karkas bagian punggung akan dikerjakan di atas meja, sedangkan
pemisahan daging karkas bagian paha belakang dan betis akan dilakukan dalam
posisi menggantung (Lawrie, 1998).

2.2.5 Penyimpanan Daging


Perkembangan mikroorganisme dalam daging sangat cepat. Mikroba
patogen yang biasanya mencemari daging antara lain : E. Coli, Salmonella sp. dan
Stahpylococcus sp. yang merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan
unggas segar (Ho et al., 2004 ; Usmiati, 2010). Oleh karena itu, daging harus
segera disimpan dalam ruangan dengan temperatur rendah.
Ruang pendingin untuk daging biasanya diatur pada kisaran -4o-0oC,
sehingga diharapkan temperatur di dalam daging berada pada kisaran 2o-5oC.
Pada temperatur penyimpanan ini, kualitas daging dapat dipertahankan selama 8
hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pendinginan daging, yaitu : (a)
panas spesifik daging, (b) berat dan ukuran daging, (c) jumlah lemak pada
permukaan daging, (d) jumlah daging dalam ruang pendingin, dan (e) temperatur
alat pendingin (Rachmawan, 2001).
2.2.6 Pembekuan Daging
Pembekuan merupakan tahap selanjutnya dari penyimpanan daging setelah
karkas melalui proses maturasi (aging) yang optimal dimana proses komplit rigor
mortis telah terpenuhi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya cold
shortening dan thaw rigor pada saat daging dicairkan dari kristal es yang
meliputinya sebelum dimasak (Abustam, 2009).
Untuk pengawetan daging dengan menggunakan suhu sangat rendah, maka
potongan–potongan karkas terlebih dahulu harus dikeluarkan tulang-tulangnya
dan menghilangkan lemak dipermukaan karkas/daging, sehingga benar-benar
hanya daging yang dibekukan. Ini dimaksudkan selain untuk efisiensi tempat, juga
untuk menghindari perubahan–perubahan yang dapat terjadi pada daging selama
penyimpanan terutama lemak, pada suhu rendah masih dapat mengalami proses
ketengikan (Abustam, 2009).

2.2.7 Pendinginan Daging


Pendinginan berguna dalam menghambat perkembangan bakteri tanpa
membunuh bakteri. Pendinginan dimaksudkan pula untuk meningkatkan kualitas
daging terutama keempukan dan citarasa yang terjadi selama proses penyimpanan
karena adanya maturasi pada daging (Abustam, 2009).
Pada akhir proses pemotongan, suhu karkas berkisar 35–37° C. Peranan
pendinginan cukup penting didalam menurunkan suhu karkas tersebut agar dapat
disimpan pada suhu sekitar 0-2° C. Pendinginan karkas dengan menggunakan
suhu mendekati titik nol (0 – 5° C) pada suhu karkas masih tinggi, dimana pada
saat itu karkas masih dalam kondisi pra rigor, dapat mengakibatkan kelainan mutu
daging yang dikenal dengan nama cold shortening atau pengkerutan karena
dingin. Pengkerutan akibat dingin menyebabkan otot memendek bisa mencapai 50
% dan daging menjadi keras dan kehilangan cukup cairan yang berarti selama
pemasakan (Abustam, 2009).
Pada tahap pertama, karkas didinginkan pada suhu dimana persentase
pengkerutan paling minimal yakni pada suhu antara 14–19° C selama 24 jam
pertama dimana pada saat tersebut rigor mortis telah terbentuk. Kecepatan
terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada suhu dan kondisi ternak pada
saat disembelih. Rigor mortis dapat pula terbentuk dalam waktu yang cepat pada
ternak-ternak yang telah kekurangan atau kehabisan glikogen akibat habis terkuras
karena perlakuan-perlakuan yang keras sebelum pemotongan dilakukan
(Abustam, 2009).
Karkas yang telah mengalami rigor mortis, kemudian disimpan pada
kamar pendingin (+2° C) selama beberapa hari. Selama penyimpanan ini terjadi
maturasi yakni proses transformasi kimia di dalam otot dan memperlihatkan efek
terhadap perbaikan keempukan daging secara progresif sampai tingkat optimal.
Keadaan dimana daging menjadi matang, pada tingkat inilah daging sebaiknya
dikonsumsi (Abustam, 2009). Untuk memperoleh tingkat maturasi yang baik,
pada umumnya karkas sapi disimpan antara 10–15 hari pada suhu 2° C sebelum
daging tersebut di konsumsi.

2.2.8 Pengawetan Daging


Pengawetan atau preservasi daging dapat dilakukan dengan berbagai
metode. Metode yang dimaksud antara lain proses termal, dehidrasi, pengeringan
beku, iradiasi, dan preservasi secara kimiawi (Soeparno, 2005).

2.2.8.1 Proses Termal


Perlakuan termal adalah metode yang digunakan untuk membunuh
mikroorganiskme pembusuk dan mikroorganisme toksikogenik di dalam daging
atau daging proses. Cara pertama dengan pasteurisasi yakni pemanasan pada suhu
58-75°C yang akan menyebabakan kematian sebagian mikroorganisme dan
menginaktifkan mikroorganisme lain. Cara yang ke dua adalah dengan sterilisasi
yakni perlakuan dengan pemanasan di atas 100°C yang akan mematikan semua
mikroorganisme (Soeparno, 2005).
2.2.8.2 Dehidrasi
Dehidrasi daging dengan penggunaan udara panas akan menurunkan
aktivitas air yang secara langsung menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Hasil pemrosesan ini menghasilkan daging dengan masa simpan lama tanpa
refrigerasi. Contoh produk yang sudah umum di masyarakat adalah dendeng
dengan masa simpan lebih dari 6 bulan, dengan kadar air ±15% dan pH 4,5-5,1
(Soeparrno, 2005).

2.2.8.3 Pengeringan Beku


Selama proses pengeringan, daging tetap dalam keadaan beku. Air
dikeluarkan menjadi uap tanpa melalui fase cair yang disebut sublimasi.
Preservasi ini akan menghasilkan daging dengan kualitas yang tidak berbeda
dengan kualitas daging segar (Soeparno, 2005).

2.2.8.4 Iradiasi
Metode pengawetan dengan radiasi umumnya menggunakan radiasi
mengion terhadap produk. Radiasi mengion adalah radiasi yang mempunyai
energi dan cukup untuk melepaskan elektron dari atom serta menghasilkan atom.
Radiasi ini akan membunuh mikroorganisme di dalam daging yang akan
menyebabkan perubahan kimia, fisik dan organoleptik daging termasuk
diskolorisasi (Soeparno, 2005).

2.2.8.5 Preservasi Secara Kimiawi


Sebagian besar preservative kimiawi lebih bersifat bakteriostatik atau
fungistatik dan bukan bakterisidal atau fungisidal. Beberapa bahan preservative
yang lazim digunakan dalam jumlah yang diizinkan adalah nitrit, nitrat, asam
sorbet, antibiotic, gula, sulfur dioksida, asam propionate, asam benzoate, metal-p-
hidroksibenzoat, etil-p-hidroksi-benzoat, difenil, o-fenilfenol dan Cu-karbonat
(Soeparno, 2005).
Contoh produk metode ini adalh cured-meat. Cured meat adalah produk
daging yang telah diperlakukan dengan memberikan garam curing (mengandung
garam, sodium nitrit dan atau nitrat, gula dan bumbu lain) kemudian disimpan
(beberapa hari). Setelah curing, produk daging dibilas dan siap disajikan atau
diasap.
III
KESIMPULAN

1. Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang dapat dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.
2. Penanganan daging yang baik meliputi pelayuan, pemotongan bagian-
bagian daging, pelepasan tulang, pembekuan, pendinginan, pengangkutan,
penyimpanan, dan kegiatan lain untuk menyiapkan daging guna
penjualannya
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D., J. C. Forrest, H. B. Hendrick, M. D. Judge and R. A. Merkel. 2001.


Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2
Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas.

Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton, 1978. Food Science. Watson
Ferguson & Co. Brisbane. Australia.

Buege, D. 2001. Information on sausage and sausage manufacture. http://www.


uwex.edu/ces/flp/meatscience/sausage.html diakses pada 16 September
2015.
Costa , Wiwiek Yuniarti. 2011. Penanganan Pasca Panen. Tabloid Sinar Tani.
Edisi 3387.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Daging sapi/kerbau. SNI 01-3947-1995. Dewan
Standardisasi Nasional, Jakarta.

Dewi, Sri Hartanti C. 2012. Korelasi Antara Kadar Glikogen, Asam Laktat, pH
Daging dan Susut Masak Daging Domba Setelah Pengangkutan. [Jurnal]
Agrisains Vol. 4 No. 5. Universitas Mercu Buana. Yogyakarta.
Judge, M. D., E. D. Aberle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick, dan R. A. Merkel, 1989.
Principles Of Meat Science. 2nd., Kendall/Hunt Publishing Co. Dubuque, Iowa.

Komariah dan Surajudin. 2005. Aneka Olahan Daging Sapi. Agromedia Pustaka.

Lawrie, R. A., 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press. Oxford

. 1998. Lawrie’s Meat Science. 6 Edition. Woodhead Publishing Ltd.,


Cambridge.

Manual Kesmavet. 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan


Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.. PAU IPB. Bogor.

Rachmawan, O. 2001. Penanganan Daging. Modul Program Keahlian Teknologi Hasil


Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

. 2005. Ilmu Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Sunarlim, Roswita dan Hadi Setiyanto. 2000. Pelayuan Pada Suhu Kamar dan
Suhu Dingin Terhadap Mutu Daging dan Susut Bobot Karkas Domba.
Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner 6(1):51-58.
Turner-Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Ed. Ke-6. Airlangga University
Press. Surabaya.
Usmiati, Sri. 2010. Pengawetan Daging segar dan Olahan. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian.
Bogor.
. 2010. Keempukan Daging. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.
Undang, S. 1995. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai