Anda di halaman 1dari 10

Tugas Kuliah

Analisis Kebijakan Pendidikan

UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGATASI

PENGGUNAAN IJAZAH PALSU

Oleh

Aris Primasatya Zebua

1401190001

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2014
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, sebab biasanya kualitas

kecerdasan manusia dilihat dari seberapa tinggi seseorang tersebut mengenyam

pendidikan. Tidak hanya itu dengan adanya pendidikan, manusia juga dapat

mencapai pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja. Bukan hal yang

istimewa lagi jika banyak orang berlomba-lomba untuk mengenyam pendidikan

setinggi-tingginya. Pemerintah juga tidak main-main dalam menggalakkan

pendidikan, terbukti dari adanya salah satu peraturan yang mengatur tentang

pendidikan. Peraturan tersebut tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia

tahun 1945 pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa: Tap-tiap warga negara berhak

mendapatkan pengajaran; ayat (2) Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-

undang. Dari penjelasan pasal ini pemerintah memberikan petunjuk bahwa

pemerintah mendapatkan amanat untuk menjamin hak-hak warga negara dalam

mendapatkan layanan pendidikan, selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk

menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.

Kepedulian pemerintah akan pendidikan juga terlihat pada besarnya

alokasi dana untuk pendidikan dari APBN, ini membuktikan keseriusan

pemerintah untuk menjamin tiap-tiap warga negaranya agar mendapatkan

pendidikan yang layak. Namun sayangnya hal ini tidak disadari betul oleh

masyarakat, sebab masih banyak masyarakat yang menganggap pendidikan bukan

hal yang utama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Selain itu pemerintah juga

tidak mengawasi betul pengalokasian dana tersebut, sebab sebagian masyarakat


yang menyadari akan pentingnya pendidikan masih sulit dalam mengenyam

pendidikan.

Pendidikan masih terasa sangat mahal bagi sebagian masyarakat yang garis

kehidupannya masih rata-rata di bawah garis kemiskinan. Masih ada ketimpangan

antara sesama warga negara dalam mengenyam pendidikan. Untuk mendapatkan

kualitas pendidikan yang baik dirasakan sangat mahal bagi sebagian masyarakat.

Apalagi saat ini pemerintah mewajibkan wajib belajar 12 tahun. Hal ini juga yang

menjadi kecemasan bagi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya walau

dengan harga yang sangat mahal. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian

masyarakat. Seharusnya pemerintah mengadakan pemerataan terhadap

pendidikan. Pengalokasian dana tersebut harus benar-benar dirasakan oleh

masyarakat demi tercapainya pendidikan yang memadai. Seharunsya pendidikan

bukan hal yang sulit untuk didapat di tengah era reformasi seperti ini.

Di samping itu muncul juga masalah lain dalam dunia pendidikan kita,

yaitu tren ijazah palsu. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan

memang masih rendah. Terbukti dengan tren ijazah palsu. Masyarakat cenderung

memilih cara yang mudah, walaupun salah, tidak memikirkan bahwa proses

pendidikan itu sangat penting. Keinginan untuk memperoleh gelar yang

diinginkan tidak diiringi oleh sikap yang benar untuk meraihnya.

Hal ini juga dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat kita pada

umumnya yang menganggap bahwa orang yang menyandang gelar tertentu

dipandang sebagai orang penting atau orang yang berkedudukan tinggi dalam

masyarakat. Tidak peduli apakah orang yang memiliki gelar tersebut mampu

menyelesaikan permasalahan di masyarakat atau tidak. Asalkan ada ijazah dan


gelar, maka sudah dipandang hebat. Dalam arti yang lain, gelar menunjukkan

status sosial seseorang dalam masyarakat.

Selanjutnya, hal ini juga didukung oleh sistem penerimaan tenaga

kerja/pegawai di Indonesia, baik pegawai negeri sipil maupun swasta, masih

mengutamakan perolehan ijazah namun mengabaikan proses pendidikan.

Barangsiapa yang memiliki ijazah, maka berhak mendapat posisi yang bagus.

Semakin tinggi gelar semakin tinggi pula posisi yang ditawarkan. Gelar

ditunjukkan oleh perolehan ijazah.

Kondisi ini memberikan peluang bagi oknum, kelompok, bahkan lembaga

tertentu untuk mengeluarkan ijazah palsu. Yang penting orang yang

membutuhkan ijazah tersebut mampu membayar sesuai tarif yang diberikan.

Tentu semakin tinggi gelar yang diharapkan semakin besar pula biaya pembelian

ijazah palsunya.

Bagaimana respon pemerintah untuk mengatasi hal ini? Sepertinya

pemerintah terkesan membiarkan masalah ini. Memang beberapa kali terdengar di

televisi atau dimuat di surat kabar tentang beberapa lembaga pendidikan, bahkan

kampus negeri pun, yang mengeluarkan ijazah palsu. Namun, tidak ada tindak

lanjut yang memberikan efek jera kepada oknum, kelompok atau lembaga yang

melakukan hal tersebut.

Identifikasi Masalah

Dari penjelasan di atas dapat diindentifikasi beberapa masalah:

1. Perolehan ijazah palsu dan penggunaan gelar terkesan ‘dibiarkan’ oleh

pemerintah.
2. Penyesuaian jabatan dipengaruhi oleh ijazah dengan mengorbankan proses

pendidikan.

3. Gelar kesejahteraan menjadi status sosial bagi sebagian besar masyarakat

Indonesia.

4. Lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah diikuti gelar akademiknya

lebih berorientasi materi dibanding pertimbangan akademisnya.

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis upaya

pemerintah, dalam hal ini secara khusus kementerian pendidikan dan kebudayaan,

dalam mengatasi beredarnya ijazah palsu dalam masyarakat.

POKOK BAHASAN

Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara

Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam UU ini tercantum ketentuan pidana bagi orang, organisasi, atau

penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah tidak sesuai dengan

persyaratan, yaitu pada bab XX pasal 67, 68, dan 69, sebagai berikut:

Pasal 67

(1 ) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang

memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,

dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama

sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).


Pasal 68

(1 ) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,

gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak

memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah).

(2 ) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar

akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan

yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling

lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

(3 ) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan

bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang

bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana

dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling

banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4 ) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar

yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana

dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda

paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar

akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan


pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling

banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau

sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan

ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama

lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima

ratus juta rupiah).

Sudah jelas sebenarnya bahwa pemberian ijazah kepada yang tidak berhak,

penggunaan ijazah oleh orang yang tidak memenuhi syarat, penggunaan ijazah

dari lembaga yang tidak memenuhi syarat, dan penggunaan ijazah palsu akan

dipidanakan. Dalam arti lain bahwa perbuatan tersebut, secara khusus penggunaan

ijazah palsu, merupakan tindak pidana yang harus diadili.

Sementara tindakan pemalsuan diatur dalam KUHP bab XII pasal 263 dan

264 tentang pemalsuan surat. Kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 263:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai

atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan

tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,

karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai

surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat

menimbulkan kerugian.

Pasal 264

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,

jika dilakukan terhadap:

1. akta-akta otentik;

2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya

ataupun dari suatu lembaga umum;

3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu

perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang

diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai

pengganti surat-surat itu;

5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai

surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan

seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan

kerugian.

ANALISIS

Tindakan pemberian dan penggunaan ijazah palsu merupakan tindakan

pidana yang memiliki landasan hukum. Secara yuridis-formal penggunaan ijazah

palsu melanggar ketentuan hukum positif Indonesia. Di antaranya UU No. 1 tahun


1964 tentang peraturan hukum pidana pasal 263 ayat(1) dan ayat (2) jo pasal 264

ayat(1) dan ayat (2), UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

pasal 69 ayat(1).

Baik UU No. 1 tahun 1964 maupun UU No. 20 tahun 2003, keduanya

merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menindak pelaku pemalsu

ijazah. Kebijakan pemerintah ini harus ditegakkan. Dalam penegakkan kebijakan

ini, menurut penulis, pemerintah masih belum tegas. Hal ini ditandai dengan

masih adanya lembaga yang mengeluarkan ijazah palsu.

Pertanyaan sekarang adalah apakah kebijakan pemerintah tersebut efektif?

Apakah kebijakan tersebut bisa menyelesaikan masalah peredaran ijazah palsu?

Bila dilihat dari kenyataan, masih didapati ijazah palsu beredar di masyarakat. Ini

menunjukkan bahwa kebijakan ini belum efektif. Bisa juga dikatakan bahwa

kebijakan ini tidak memberikan efek jera terhadap pelaku, organisasi atau pun

lembaga pendidikan.

Bagaimana caranya agar kebijakan ini terlaksana dengan baik? Pemerintah

harus bekerja sama dengan masyarakat. Harus ada tambahan kebijakan, bila

masyarakat menemukan tindakan pemalsuan, maka segera melaporkannya kepada

pihak yang berwajib.

Oleh karena itu, peran serta masyarakat untuk mendorong penegakan

hukum khususnya untuk menjerat oknum yang terlibat dalam penggunaan ijazah

palsu adalah muthlak diperlukan. Sebab untuk kasus pengusutan ijazah palsu,

terlebih dahulu institusi kepolisian harus menerima pengaduan dari pihak-pihak

yang merasa di rugikan dengan ijazah yang diduga palsu.


Selanjutnya, untuk memberi efek jera maka harus dibuat ketentuan bahwa

bila suatu lembaga pendidikan terbukti memberikan ijazah palsu, maka akreditasi

program studi yang bersangkutan harus diturunkan akreditasinya atau dicabut.

Bila sudah diperingati dan diberi sanksi berulangkali namun tetap mengulangi

tindakan pemalsuan, maka izin operasional lembaga bersangkutan harus dicabut.

Tidak diizinkan melanjutkan operasional.

Untuk pelaku individual atau pengguna ijazah palsu harus diberi sanksi

seberat-beratnya. Opsinya mungkin seperti ini: bila pelaku terbukti menggunakan

ijazah palsu maka harus dipidana penjara dan tidak diizinkan lagi melamar di

instansi pemerintah (PNS).

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut penulis, kebijakan pemerintah dalam hal menindak pemberian

ijazah palsu belum menimbulkan efek jera kepada pelaku, baik perorangan,

organisasi, maupun penyelenggara pendidikan.

Untuk kebijakan pemerintah yang ada saat ini sudah baik, tinggal

implementasinya saja yang masih kurang. Hal ini bisa diatasi dengan cara

melibatkan masyarakat dalam melaporkan peredaran ijazah palsu. Oleh karena itu,

pemerintah diharapkan lebih berupaya lagi dalam implementasi kebijakannya.

Anda mungkin juga menyukai