KELAS : VI A - AKUNTANSI
Kalau teknik-teknik itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit
yang berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor independen. Dalam
audit investigatif, teknik-teknik audit tersebut bersifat eksploratif, mencari wilayah
garapan ‖, atau probing (misalnya, dalam review analitikal) maupun
pengalaman (misalnya dalam confirmation dan documentation).
Teknik-Teknik Audit
Ada teknik audit yang lebih dekat kepada praktek investigasi
perpajakan dan organized crime (seperti Net Worth Method dan Expenditure
Method); Ada juga tehnik audit seperti Follow the Money, yang mempunyai
unsure pencucian uang dalam tindak pidananya yang berkaitan erat dengan
naluri penjahat dan sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi dalam
pengungkapannya. Meskipun semua (tujuh) tehnik audit yang disebutkan
pembahasan akan berfokuspada reviu analitikal.
C. Reviu analitikal
Dalam reviu analitikal yang penting bukannya perangkat lunaknya,
tetapi semangatnya, Pada dasarnya seorang investigator secara intuitif terobsesi
dengan “sesuatu yang melenceng” dan bahwa “something must be wrong
because it appears so”. Karena itu ia memerlukan patokan atau benchmark
untuk membandingkannya dengan apa yang dihadapinya. Patokan inilah
yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai results that may reasonably be
expected.
Misalnya kita sedang menginvestigasi suatu bank yang berkewajiban
memungut pajak penghasilan atas bunga yang diperoleh nasabahnya.
Apakah bank menyetorkan pajak penghasilan ini sesuai ketentuan, baik
dalam jumlah maupun waktu penyetoran? Apakah investigasi ini harus dimulai di
cabang-cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut reviu analitikal,tidak.
Kita mulai dengan mencocokkan angka-angka agregat. Pertama, kita
tentukan jumlah pajak penghasilan yang sudah disetorkan untuk bank secara
keseluruhan (Kantor Pusat dan Cabang-cabang), menurut pembukuan bank itu.
Selanjutnya, ini adalah hasil perkalian antar tarif pajak (misal 10 %) dengan
jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada kepada parana sabahnya.
Perbedaan antara data A dengan data B bisa merupakan perbedaan
waktu (timming difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan
saat menyetor pajak penghasilan. Timming difference ini juga mudah dialokasi.
Tetapi mungkin juga ada perbedaan yang bersifat tetap
(permanent difference) misalnya dalam hal deposan dalam negeri yang
mendapat pembebasan pajak penghasilan dan deposan di cabang-cabang luar
negeri dimana bank tidak berkewajiban memungut pajak penghasilannya.
Perbedaan ini mudah diketahui karena umumnya jumlah deposan dalam negeri
yang dibebaskan, tidak banyak. Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang
diluar negeri, kita mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data
B semula).
Dengan contoh ini, mari kita saji definisi reviu analitikal diatas: a form of
deductive reasoning in which the propriety of the individual details is inferred from
evidence of the reasonableness of the aggregate results. Kita harus memulai dari
belakang. Pertama evidence of the reasonbleness of the aggregate of the
results; ini diperoleh dari data B yang diadjust untuk deposan dalam negeri yang
dikecualikan pemungutan pajak penghasilannya dan bunga di cabang-cabang
luar negeri. Kedua, a form of deductive reasoning. Di sini kita membuat
deduksi dari data agregat, data global, data menyeluruh, yang dalam hal ini
adalah data A dan data B. Deduksi ini berkenaan dengan the proprierty of the
individual details. Individual details disini adalah pemungutan dan penyetoran
pajak penghasilan oleh bank secara transaksi demi transaksi, cabang demi
cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai dengan kewenangannya.Kita
“think ananlytical first”, dan tidak langsung terjun dan menyibukkan diri dengan
detailed substantive test.
Ada bermacam-macam variasi dari tehnik reviu analitical, namun
semuanya didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa
yang layaknya harus terjadi, dan berusaha menjawab sebabnya terjadi
kesenjangan. Apakah ada kesalahan (error), fraud, atau salah merumuskan
patokannya.
E. Expenditure method
Sebagaimana halnya dengan Net Worth yang dijelaskan,
penerapan Expenditure Method juga dipelopori IRS. Expenditure Method yang
merupakan derivasi atau turunan darinet worth method digunakan IRS sejak
tahun 1940an. Ketika RICO Act diundangkan dalam tahun 1970, Expenditure
Method dimanfaatkan sebagai petunjuk organized crime. Expenditure
Method juga merupakan cara pembuktian tidak langsung. Tidak mengumpulkan
harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar (mewah).
Expenditure Method lebih populer dari Net Worth Method, karena
Expenditure Method lebih mudah dibuat atau dihitung, dan juga lebih mudah
dimengerti oleh orang awam. Mahkamah Agung di Amerika Serikat tidak
menetapkan Expenditure Method secara khusus sebagai alat pembuktian,
karena Expenditure Method dianggap derivasi atau turunan dari Net Worth
Method. Seorang akuntan harusnya mampu menghitung unreported taxable
income berdasarkan Net Worth Method akan mengkonversikannya ke
Expenditure Method. Expenditure Method harusnya digunakan untuk
kasus-kasus perpajakan apabila kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau
dominan:
1. Wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau catatan.
2. Pembukuan dan catatan wajib pajak tidak tersedia, misalnya karena
terbakar.
3. Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak memadai.
4. Wajib pajak menyembunyikan pembukuan.
5. Wajib pajak tidak mempunyai assets yang terlihat atau dapat
diidentifikasi.
Internet :
https://dokumen.tips/documents/audit-investigatif-dengan-teknik-audit-dan
perpajakan.html (di ambil pada tanggal 05 Mei 2019)