Anda di halaman 1dari 19

KONSEP KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

(TRADISI SLAMETAN SEBAGAI WUJUD BENTURAN BUDAYA


ISLAM)
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama
Islam

Makalah

Dosen Pengampu

Dr. Fahrudin, M.Ag.

M. Rindu Fajar, Lc., M.Ag.

Disusun Oleh :

Disusun oleh:
Kelompok 6

Amaliah Nisa 1604467


Ikhlasul Amaliah 1600126
Intan Indah Sari 1604600

DEPARTEMEN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa


melimpahkan rahmat serta karunia-Nya.Atas petunjuk dan hidayah-Nya juga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini yang disusun guna memenuhi salah satu
tugas mata kuliah SPAI.

Laporan ini penulis susun dengan harapan dapat menjadi sebuah prasarana
dalam mengembangkan pemahaman dan kemampuan dalam memahami materi
konsep ekonomi dalam Islam.Penulis juga berharap laporan ini dapat menjadikan
pengetahuan baru dalam memahami materi yang telah disampaikan selama ini.

Berkat bantuan dari berbagai pihak, Alhamdulillah akhirnya penulis dapat


menyelesaikan laporan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan rasa
terimakasih serta penghargaan yang setinggi tingginya kepada Bapak
Dr.Fahrudin, M.Ag dan Bapak M. Rindu Fajar, Lc., M.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah SPAI dan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari segala isi dalam rangakaian laporan ini masih terdapat
beberapa kekurangan.Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar ke depannya bisa lebih baik dan lebih maksimal lagi.

Bandung, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................ 1
C. TUJUAN ..................................................................................................................... 2
BAB II KAJIAN ISI MASALAH ....................................................................................... 3
A. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................................... 3
B. HASIL MINI RISET ................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 14
A. ANALISIS DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 14
B. SARAN .........................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan di Indonesia sangatlah beragam. Kebudayaan
kebudayaan tersebut membentuk suatu tradisi yang dilakukan secara turun
temurun. Salah satu tradisi yang paling sering dan masih dilakukan sampai
sekarang adalah tradisi Slametan.
Sebagai sistem gagasan, kebudayaan memiliki sifat alamiah yang
unik, yaitu tidak ada suatu kebudayaan yang mutlak sama dengan
kebudayaan yang lain. Hal ini membawa konsekuensi yang sama terhadap
agama, jika dalam studi ini mempergunakan pendekatan agama sebagai
bagian dari kebudayaan. Munculnya keanekaragaman bentuk agama
disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi sejarah kebudayaan
masyarakat. Termasuk dalam hal munculnya sistem budaya Islam atau
aliran, apakah itu puritan atau sinkretis, juga tergantung dari sejarah
kebudayaan masyarakat pendukungnya. Dalam pandangan Geertz (1982),
munculnya aliran-aliran dalam suatu agama dapat disebabkan oleh
perbedaan penafsiran ajaran-ajaran tertentu dalam agama yang
bersangkutan dan perbedaan-perbedaan itu dipertegas oleh pandangan atau
anggapan tentang kebenaran mutlak suatu paham penganutnya.
Praktik keagamaan di Jawa digambarkan Geertz sebagai suatu
kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam
upacara, pertentangan dalam kepercayaan, serta komflik-konflik nilai yang
muncul sebagai akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial.
Mereka sama-sama mengaku Islam, akan tetapi dalam kehidupan sosial
dan keagamaan/kepercayaan mempunyai pola tindakan dan interpretasi
berbeda. Pendek kata, masing-masing mempunyai sistem budayanya
sendiri-sendiri.
Geertz melihat agama sebagai pola untuk melakukan tindakan
(pattern for behavior), dan menjadi sesuatu yang hidup dalam diri manusia
yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, agama
merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan
manusia.
Dalam hubungan interaksi agama dan kebudayaan, tak jarang
terjadi pemaduan-pemaduan di antara kedua sumber itu, walau tidak perlu
sampai taraf sinkretisme. Di antara pemaduan ajaran agama Islam dengan

1
adat istiadat tradisional suatu suku bangsa terdapat praktik-praktik tertentu
terkait dengan upacara perkawinan dan kematian. Doa dan akad yang
Islami dicampur dengan slametan dan ritus-ritus tradisional yang dapat
dikelompokkan ke dalam yang bersifat “magis simpatetis” (misalnya
pengantin pria menginjak telur, atau kedua mempelai saling melempar
sirih) apabila dipercaya bahwa suatu tindakan ritual akan mempunyai efek
otomatis, dan bukan dianggap sebagai semata-mata lambang dari harapan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai tradisi slametan?
2. Bagaimana hubungan antara islam puritan dan islam sinkretis terhadap
tradisi slametan di Indonesia?
3. Bagaimana kaitan antara tradisi slametan dalam sudut pandang agama
islam?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pandangan masyarakat mengenai tradisi slametan
2. Mengetahui hubungan antara islam puritan dan islam sinkretis
terhadap tradisi slametan di Indonesia
3. Mengetahui kaitan antara tradisi slametan dalam sudut pandang agama
islam

2
BAB II
KAJIAN ISI MASALAH

A. KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan asal dari Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak
dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian ke-budaya-an itu
dapat diartikan, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Antropolog
Safri Sairin (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem ide
yang dimiliki manusia. Seluruh bentuk aktivitas manusia beserta hasil
karya dari aktivitas tersebut berpusat pada sistem ide yang dimiki oleh
masing-masing kepala manusia.
Lebih tepat lagi adalah rumusan: “Kebudayaan ialah manifestasi dari ruh, zauk,
iradah, dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan
insani sebagai fitrah, ciptaan karunia Allah”

Dan di dalam al-Quran Surah 11: Hud ayat 61 Allah bersabda:

“Dialah (Allah)yang telah berkenan menciptakan kamu dari tanah dan telah
berkenan pula menjadikan kamu sebagai pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampun-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.”

Jadi fungsi manusia sebagai Khalifah Allah di bumi ini ialah memakmurkan bumi
(alam yang paling dekat kepada manusia) dengan jalan amal terbaik atau karya
kreatif. Tehasnya: “mem-budaya-kan alam”, dengan kata-kata lain: meng-kultur-
kan natur.

Di samping manusia bertugas meng-kultur-kan natur, maka manusia dalam waktu


yang sama bertugas pula meng-Islam-kan kultur tersebut, agar kultur yang
meliputi segala aspek kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri. Allah swt.
Memerintahkan kaum yang beriman (yang nota bene: yang hidup) ke arah yang
lebih menghidupkan ke arah kehidupan dan penghidupan yang lebih tinggi:

“Hai orang-orang yang beriman, jawablah (berilah respons) seruan Allah dan
Rasul-Nya, apabila keduanya berkenan menyampaikan seruan ke arah seesuatu
yang akan lebih menhidupkan kamu (meningkatkan taraf kehidupan dan
penghidupan kamu ke tingkat yang tinggi)”. (S.8: Al-Anfal ayat 24).

3
Dalam hubungan ini perlu pula kita ingat baik-baik, bahwa Allah Ta’ala telah
menggelarkan dua macam ayat (tanda keagungan an kekuasaan-Nya), yaitu:

 Ayat Kauniyyah, yakni alam atau natur, yang dicoba manusia (dalam
batas-batas kemampuannya yang serba terbatas) dirumuskan dalam ilmu
pengetahuan.
 Ayat Qur’aniyyah, sabda-sabda-Nya sebagaimana yang terkandung dalam
Kitab Suci Al-Quran.
Kedua ayat Allah—natur dan al-Quran—ini saling menafsirkan satu sama lain.
Penafsiran yang satu atas yang lainnya ini tidak pernah kontradiksi. Tidak
mengherankan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Allah Ta’ala.

Nilai-nilai dipahami dalam berbagai konteks. Dalam ilmu


Antropologi dibahas nilai-nilai budaya, yang oleh ahli Antropologi
Koentjaraningrat dipilih ke dalam lima ‘ranah’ kehidupan, yaitu yang
berkenaan dengan: (1) hubungan manusia dengan “Tuhan”; (2)
hubungan antar-manusia; (3) hubungan manusia dengan alam; (4)
hubungan/penilaian manusia terhadap waktu; dan (5)
hubungan/penilaian manusia terhadap kerja. Kelima ranah nilai budaya
tersebut sebenarnya dapat juga dikaji keberadaannya di dalam suatu
sistem religi, baik yang ‘universal’, etnik, maupun yang berlaku dalam
suatu kelompok khusus organisasi “kepercayaan”.
Mengapa terjadi benturan budaya? Dalam bukunya yang berjudul
Clash of Civilization (1993) Huntungton mengemukakan, terjadinya
benturan budaya di antaranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
perbedaan antara kebudayaan tidak hanya bersifat nyata, akan tetapi
lebih bersifat mendasar. Kedua, dunia menjadi semakin kecil sebagai
akibat interaksi antara rakyat yang berbeda kebudayaan semakin
bertambah. Dari pernyataan Huntington, terdapat dua kata yang dapat
menciptakan terjadinya benturan budaya, yaitu konflik (conflict) dan
perselisihan (discord).
Menggambarkan suatu kebudayaan masyarakat, sekilas bukan
merupakan hal yang sulit. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian,

4
karena ternyata di dalam suatu masyarakat selalu ada kecenderungan
ke arah variasi perorangan yang menonjol dalam pola perilaku dari
subjek-subjek yang dilihat. Pada sisi yang lain, kadang juga berlaku
sejumlah nilai budaya yang sama (Ember, 1994:22).

2. Pengertian Tradisi
Edward Shils dalam bukunya yang membahas pengertian “tradisi”
mengemukakan bahwa pada dasarnya sesuatu pola perilaku itu dapat
disebut sebagai “tradisi” apabila telah berlangsung secara berkelanjutan
sekurang-kurangnya sepanjang tiga generasi. Pengertian “generasi” dalam
hal ini tidak hanya dipahami dalam anrti masa hidup biologis seseorang
beserta semua sebayanya, tetapi dapat juga dalam arti “angkatan” dalam
suatu lingkungab orang-orang dengan karier tertentu.
Adanya tradisi-tradisi di dalam berbagai masyarakat dengan
kebudayaannya masing-masing memberikan kekhasan citra kepada masing
memberikan kekhasan citra kepada masing-masing memberikan kekhasan
citra kepada masing-masing kebudayaan yang bersangkutan. Kekhasan
citra itu tampak sebagai ciri pengenal bagi ‘orang luat’ yang
mengamatinya. Adapun bagi ‘orang dalam’ sendiri, yaitu yang memiliki
(seni) tradisi itu, (seni) tradisi itu memberikan suatu rasa aman karena
berada di dalam sesuatu yang telah akrab dikenal dan dapat diharapkan
untuk selalu memberikan rasa nyaman karena mendapatkan sesuatu
(misalnya kenikmatan estetik) sesuai harapan. Kenyamanan dan
kemantapan itu sebenarnya didapat dari adanya kaidah-kaidah dasar yang
senantiasa dapat diharapkan kehadirannya meski bentuk-bentuk
ungkapannya dapat berkembang.

a. Tradisi Slametan

3. Penyebaran Islam di Indonesia

5
a. Penyebaran Islam di Pulau Jawa
Pada zaman Sulta Ageng Tirtayasa, Banten merupakan
Kesultanan Nusantara yang mempunyai hubungan internasional,
baik dengan Kesultanan Aceh yang mendapat gelar Serambi
Makkah ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan, Sultan
Ageng mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah serta putranya
diberi gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah haji, gelar
yang pertama kali dimiliki raja Jawa. Baru pada tahun 1645 raja
Mataram dan selanjutnya disusul raja Makassar, keduanya
mendapat gelar Sultan.
Demikianlah keberagaman kerajaan Banten beserta
pelaksanaan syariat Islam kelihatan lebih ketat dibandingkan
dengan kerajaan Islam lainnya di Jawa. Ini terjadi karena Banten
yang mempunyai hubungan internasional dengan negara Islam
besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi
perdagangan internasional.
Islam di Jawa pada tahap pertama belum secara merata
diterima oleh lapisan terbawah, semua hanya dipraktikkan oleh
sekelompok kecil yang aktif dan dinamis membawa pesan-pesan
Islam, yang bertugas melaksanakan kegiatan keislaman atas nama
seluruh masyarakat desa. Dengan demikian, di banyak bagian
Jawa, sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek
moyang atau memeluk Islam hanya secara nominal.
Sultan Agung memang secara terbatas berusaha
menciptakan hubungan dengan Islam internasional, yaitu dengan
mendapatkan gelar Sultas Syarif Makkah pada tahun 1645. Akan
tetapi, sepeninggal Sultan Agung (1965), lenyaplah kekuasaan
Mataram atas wilayah pesisir Utara Jawa. Para penggantinya
sengaja menolak afiliasi dengan dunia perdagangan internasional
dan Dunia Islam lebih luas. Dengan demikian, wilayah pedalaman
Jawa adalah Muslim, tetapi Muslim yang masih tetap
mengamalkan kepercayaan nenek moyang.
Hukum Islam (fiqih) dilaksanakan oleh kelompok-
kelompok Muslim yang taat, bedomisili di sekitar masjid, kampung
yang dinamakan Mutihan atau Kauman. Hukum Islam selain
membicarakan kelima dasar pokok Islam (syahadat, Shalat, zakat,
puasa, haji), juga meliputi peraturan perkawinan, kekeluargaan,
warisan, perdagangan, dan kegiatan-kegiatan politik. Semua itu di
Jawa dalam praktiknya diwarnai oleh adat setempat.

6
Zakat merupakan rukun Islam ketiga. Namun, yang banyak
dilakukan di Jawa adalah sedekahan. Istilah sedekahan disebut
juga slametan dan selalu dirangkaikan dengan upacara syukuran,
karena mendapatkan keberkahan atau menolak bala. Oleh sebab itu
ada sedekahan orang meninggal, perkawinan, panen. Di Yogya dan
Solo ada grebeg atau sekaten, di Cirebon ada Panjang Jimat.

4. Agama dan Kebudayaan


Suatu agama yang sudah terbangun keseluruhan struktur ajarannya, apabila
diperkenalkan di dalam masyarakat yang telah membentuk kebudayaannya, tentu
akan mengalami suatu proses resepsi (penerimaan).

Dapat diasumsikan terjadi beberapa kemungkinan resepsi agama dalam suatu


kebudayaan yang didukung oleh masyarakatnya yang khusus. Kemungkinan-
kemungkinan itu meliputi:

(a) suatu agama (baru) diterima sepenuhnya,dan ditambahkan pada


substansi budaya yang telah ada;
(b) suatu agama (baru) diterima sepenuhnya, dan mengubah substansi
budaya yang telah ada;
(c) diterima selektif, ditambahkan pada substansi budaya yang sudah ada;
(d) diterima selektif, dan disesuaikan dengan budaya yang sudah ada.
Adapun substansi dari agama yang ‘dikenai’ resepsi dalam budaya itu dapat
dipilih atas:

(1) ajaran-ajaran dasar berkenaan dengan konsep ke-Tuhan-an dan konsep-


konsep berkenaan dengan proses dan struktur alam serta dunia manusia;
(2) praktik-praktik dasar berkenaan dengan pelaksaan ibadah, maupun
perilaku sosial;
(3) benda-benda khusus yang digunakan dalam pelaksanaan hidup beragama.
(4) Yang menyebabkan pembicaraan mengenai agama dan kebudayaan dapat
rumit adalah jika agama didefinisikan secara luas dan umum sebagai suatu
“sistem kepercayaan” maka itu dapat dicontohkan oleh sistem-sistem
kepercayaan yang dilihat sebagai universal, artinya berlaku untuk seluruh
dunia tak bergantung pada kebangsaan penganutnya, ataypun sebagai
partikular, seperti terdapat khusus pada satuan-satuan etnik tertentu.
Dalam kerangka analisis yang disarankan oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat,
khususnya bagi studi antropologi, dikatakan bahwa “sistem kepercayaan”
adalah salah satu di antara tujuh unsur kebudayaan yang menandai
kekhasan sebuah kebudayaan dari masyarakat etnik tertentu. Artinya, yang

7
dimaksud di sini tentulah sistem kepercayaan ‘partikular’ dari suatu atuan
etnik tertentu sehingga tidak berlaku bagi agama-agama yang telah
melintasi keanekaragaman budaya dan bangsa, dan dengan itu dianggap
atau keanekaragaman budaya dan bangsa, dan dengan itu dianggap atau
memang dimaksudkan sebagai berlaku universal.

5. Islam Sinkretisme dan Islam Puritan


a. Islam Sinkretisme
Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre
keagamaan yang sudah jauh dari sifat yang murni. Kelompok ini
amat permissive terhadap unsur budaya lokal. Oleh karena sifat
kebudayaan itu dinamis, maka budaya sinkretis juga dinamis.
Sebagai contoh, budaya sinkretis yang diwujudkan antara lain
dalam bentuk tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik,
tedun. Wayangan, golek dina, sesaji, ngalap berkah, cari dukuan,
dan seterusnya, dari dulu hingga sekarang tidak sama. Orang
sekarang mengetahui tradisi slametan, tahlilan, Yasinan, dan
ziarah adalah apa yang terlihat sekarang. Mereka tidak mengetahui
bahwa tradisi tersebut sebenarnya telah turun-temurun serta
mengalami berbagai tahap perubahan. Namun demikian, tradisi
yang turun-temurun tetap memperlihatkan adanya benang merah,
yaitu hadirnya doa-doa Islami sebagai roh serta perangkat-
perangkat local sebagao wadah dalam budaya Islam sinkretis.
Baik doa-doa Islami maupun perangkat lokal tidak diikat
oleh aturan tertentu. Seperti dalam slametan, doa-doa Islami
misalnya alamin ucapkan ngalamin, alaikum diucapkan
ngalaikum,bismillah diucapkan semilah, Muhammad diucapkan
muamad, ini diperbolehkan atau sah. Pemimpin doa yang biasa
disebut kaum/rais/modin tidak harus lulusan pondok pesantren,
tetapi boleh berasal dari latar belakang apa saja yang penting asal
bisa berdoa. Demikian pula perangkat-perangkat lokal (ubarampe)
misalnya nasi, lauk, gundangan, jajan pasar, dan buah-buahan tidak
harus lengkap dan sesuai tradisi, tetapi boleh diganti dengan nasi-
ayam horeng-sambal dan nasi-lele-sambal, dengantujuan lebih
praktis. Bahkan akhir-akhir ini, perangkat lokalnya tidak
menghadirkan makanan matang tetapi telah diganti dengan
makanan mentah seperti beras, gula, mie instant, telur mentah, dan

8
teh. Meskipun demikian, perubahan-perubahan itu tidak
menjadikan konflik di masyarakat, namun sebaliknya ia tetapi
menjaga makna utama dari slametan itu sendiri, yaitu untuk
menghadirkan keharmonisan masyarakat.
Aspek keharmonisan inilah yang membuat kebanyakan
masyarakat di pedesaan merasa dekat dengan kelompok
masyarakat Islam sinkretis. Hal ini pula yang merupakan alasan
mereka untuk mempertahankan upacara-upacara tradisional
(slametan).

Sinkretisme dalam Masyarakat Petani

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa Arab) dan
kretiozein, yang berarti mencampuradukkan unsur-unsur yang saling
bertentangan. Sinkretisme juga ditafsirkan berasal dari bahas Inggris, yaitu
syncretism yang diterjemahkan campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan.

Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan terjadi
lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak
terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya
percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi
yang diikutsertakan. Dalam studi ini, sinkretisme dipahami sebagai percampuran
antara Islam dengan insur-unsur tradisi lokal.

Jika diperhatikan proses sinkretisasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan
budaya Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan simbolis.
Dalam artian Islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah,
kulit luar), tetapi diarahkan pada kehalusan (isi, inti).

Dengan demikian proses sinkretisme itu menunjukkan bahwa seni pewayangan


(Hawa: Hindu, Buddha, animisme) itu hanyalah bersifat kulit luarnya saja,
sendangkan roh (isinya) adalah Islam. Hal ini sama dengan pandangan Mulder di
atas, bahwa yang penting adalah kandungan di dalamnya, dan bukan kulit luarnya.
Hal ini tidak berbeda dengan tradisi slametan yang dilakukan orang Jawa terutama
di pedesaan. Untuk memperingati orang mati yang diadakan mulai hari 1, 7, 40,
100, sampai 1.000 hari dengan mengadakan ritual berupa slametan yang
dilengkapi dengan menghidangkan nasi dan sesaji dengan diberi doa secara Islami
juga merupakan bentuk sinkretisme. Perhitungan waktu beserta hidangan nasi dan
sesaji adalah bentuk ritual Jawa pra-Islam tidak begitu penting karena bersifat
wadah, sedangkan doanya adalah doa cara Islami inilah yang menjadi isi (inti).

9
Oleh karenanya budaya tersebut dimiliki oleh orang Islam Jawa (Islam sinkretis),
di sini lebel Islam lebih penting.

b. Budaya Islam Puritan


Budaya Islam puritan adalah system budaya yang
menginginkan kembalinya sistem kehidupan beragama beragama
Islam yang serba otentik (asli) dengan berpedoman pada sistem
budaya yang berasal dati teks suci. Kelompok puritan berusaha
untuk meningkatkan penggalian pustaka suci dalam bentuk hukum
Islam atau dalam rangka pemurnian syariat. Syariat (hukum Islam)
merupakan kodifikasi dari seperangkat norma tingkah laku yang
diambil dari Al Quran dan hadis Nabi Muhammad.
Ajakan kaum puritan adalah meningkatkan kadar keislaman
di lingkungan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Oleh karenanya, karakter gerakannya tampak
lebih doktriner, mirip gerakan Islam dari tempat asalnya, Arab.
Di dalam sistem budaya kelompok sosial Islam puritan antara lain
berusaha menjauhkan tradisi sinkretis yang mengandung takhayul,
bid’ah, dan kurafat, seperti slametan, tahlilan, Yasinan, ziarah,
metik, tedun, wayangan, golek dina, sesaji, ngalap berkah, cari
dukun, dan sebagainya.

Gerakan Puritanisme dan Rasionalisasi Agama

Ketika Islam tersebar ke segenap penjuru dunia, mau tidak mau harus berhadapan
dengan agama lokal. Seperti ketika masuk ke Jawa, Islam harus berhadapan
dengan kepercayaan sinkretisme lokal Jawa. Segaimana dikemukakan Benda
(1980) dan Geertz (1989) bahwa wilayah Indonesia sebelim Islam datang
diwarnai budaya India dan budaya lokal. Budaya India lebih banyak bersifat
mistik dan dibawa melalui ajaran agama Hindu dan Buddha, sedangkan budaya
lokal yang paling menonjol adalah budaya dengan corak baru, sehingga keduanya
melebur menjadi budaya sinkretis. Untuk menghadapi budaya lokal yang sinkretis
dan telah lama mengental dalam masyarakat, para wali dan pendakwah Islam
tidak melakukan dakwah secara drontal, tetapi melalui pendekatan kultural.
Pendekatan ini berusaha menyinergiskan antara ajaran Islam dan budaya lokal.

Gelombang berikutnya ketika Indonesia memasuki abad ke-20, sejumlah ulama


melakukan ibadah haji ke Mekkah, dan beberapa bulan menetap di tanah suci
sambil melakukan pengkajian Islam. Waktu itu di Arab Saudi sedang gencar-

10
gencarnya diadakan gerakan Wahabi yang didukung penuh oleh pemerintah
setempat. Gerakan ini berusaha mengembalikan ajaran Islam murni (salafi).
Sejumlah ulama Indonesai yang tengah belajar Islam di tanah suci mendapat
pengaruh ajaran Wahabi. Sepulang dari tanah suci, mereka berusaha menanamkan
ajaran Wahabi ke Indonesia. Mereka inilah yang menjadi pelopor pembaruan
Islam di Indonesia. Mereka antara lain gerakan Paderim di Minangkabau, dan juga
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Mereka
inilah antara lain yang memelopori gerakan perutanisme Islam di Indonesia.

Gambaran Islam puritan juga dikemukakan Geertz (1989:210) ditandai dengan


ciri-ciri sebagai berikut: (1) Hanya menyembah kepada Allah semata, (2) Tuhan
tidak akan mengampuni pemuja berhala, (3) Menanggap slametan sebagai cara
Buddha, (4) Menolak slametan, (5) Pada hari besar Islam bersedekah kepada
orang fakir-miskin.

Gerakan puritanisme bertumpu pada syariat Islam dan mereproduksi perilaku


keagamaan Islam murni dan menampilkan karakter corak wajah yang berbeda
dengan kalangan sinkretis. Pertama, memformalisasikan syariat Islam sebagai isu
utama di salam aksinya secara institusional dan untuk dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari oleh setiap pemeluknya. Kedua, menempatkan syariat Islam
sebagai pilihan hidup umat Islam. Syariat Islam menjadi pemandu dalam
mempraktikan sistem keagamaan yang doktrinal. Sikap, isi pikiran, beserta
aksinya dalam masyarakat selalu dikendalikan oleh doktrin, yang mencerminkan
karakter fundamentalisme keagamaan bebasis tekstual (Scriptual
Fundamentalism).

Benturan Budaya

Konflik berlatar belakang budaya juga sering terjadi di Desa Palar antara
kelompok yua dan kelompok muda. Kelompok tua adalah masyarakat sinkretis
pendukung budaya slametan, tahlilan, Yasinan, metik, tedun, petung dinan, dan
sowan Mbah Bero. Kelompok tua adalah pelaksana adat leluhur. Sementara
kelompok muda adalah kelompok masyarakat yang menolak budaya tersebut.
Kelompok tua berargumentasi bahwa melaksanakan budaya adat seperti slametan,
tahlilan, dan lain-lain adalah tradisi leluhur peninggalan nenek moyang dan tidak
terdapat kejelekan di dalamnya. Kaum tua meras tidak rela jika hak-hak
budayanya sering diserang dan dicomooh dalam pengajian-pengajian di masjid.

Konflik budaya slametan/tahlilan yang hingga sekarang masih berlangsung juga


terjadi di Senjakarta. Sejak gerakan Islam puritan datang di desa ini tahun 1930-
an, lonceng konflik budaya itu mulai terasa, karena kelompok Islam puritan

11
melarang tradisi slametan dan tahlilan. Sementara kelompok Islam sinkretis
memandang tahlilan merupaka bagian dari sistem budayanya. Demikian pula
tradisi slametan sebaiknya diganti dengan tradisi sedekah, agar sesuai dengan
amanat dari doktrin agama yang berasal dari tradisi Islam murni. Sampai sekarang
ini, jika salah seorang kalangan Islam sinkretis memiliki hajatan keluarga dengan
acara tahlilan, masih meberi undangan kepada kaum puritan. Sementara itu kaum
puritan selalu menolak ajakan kaum sinkretis tersebut, Meskipun demikian kaum
sinkretis tidak bosan-bosannya memberi undangan kepada kaum puritan.

Sebagai contoh, secara tegas kelompok Islam puritan menilai praktik slametan
sebagai bentuk kemusyrikan. Mereka juga melarang masyarakat melakukan ziarah
kubur, menolak undangan tahlilan, dan yang lebih radikal lagi berikrar kepada
orang tua dan masyarakat bahwa dirinya tidak akan melakukan upacara
pengiriman doa kepada keluarganya yang meninggal serta memohon masyarakat
untuk tidak mengajak dirinya melakukan upacara tersebut.

Tulisan Robert W. Hefner (2001) tentang Islamisasi lereng gunung Bromo, Jawa
Timur, mengulas banyak tenatang pergulatan gerakan pembaruan dengan tradisi
setempat. Pergulatan itu memuncak ketika kalangan pembaru melakukan serangan
terhadap kepercayaan pada roh di sebuah tempat keramat, yaitu Nyai Po sebagai
dhayang (penunggu) yang menempati tepi Desa Wonorejo. Penduduk desa ini
sebagian besar adalah penganut Islam kejawen. Nyai Po di mata penduduk desa
itu dianggap sebagai gurunya. Oleh karenanya, setiap tahun diadakan perayaan
dengan menggelar slametan untuk Nyai Po. Denagn serangan tersebut, kalangan
kejawen masih ingin melestarikan tempat keramat iyu. Hefner (2001) menjelaskan
benturan nilai-nilai diawali oleh pengangkatan Kepala Biri Kehutanan di daerah
sekitar Desa Wonorejo, yaitu dijabat oleh seorang dari kalangan pembaru Islam
yang menggantikan orang marhaen (abangan) karena akibat pergolakan politik
1965-1966.

Peristiwa benturan budaya tersebut memberi gambaran bahwa para pembaru Islam
berusaha menyingkirkan Nyai Po yang menjadi Tuhan agama masyarakat
sekitarnya. Pohon-pohon di tempat keramat itu diporong satu-persatu. Kejadian
ini tidak menyurutkan penyembahan terhadap tempat keramat tersebut. Slametan
untuk merayakan tempat keramat itu tetap diadakan warga desa setiap tahunnya.
Namun demikian, benturan budaya yang telah terjadi menjadi titik balik
meningkatnya jumlah pemeluk Islam dan sebaliknya dukungan resmi terhadap
tempat keramat semakin surut.

12
Menguatnya tradisi sinkretis dalam masyarakat pedesaan mendorong lahirnya
gerakan puritan dalam bentuk gerakan pembaruan Islam Indonesia awal abad ke-
20 (Surjo, 193).

Kelompok pendukung budaya Islam puritan selalu mengaggap praktik keagamaan


masyarakat petani yang sinkretis itu bukan Islam murni. Praktik itu tidak
dicontohkan oleh nabi sebagaimana dijumpai dalam ajaran-ajaran Islam.

Jika demikian, apa yang diklaim oleh kelompok budaya Islam puritan merupakan
manifestasi keinginan untuk selalu dianggap paling benar, dan menilai salah
terhadap praktik keagamaan masyarakat petani, Meskipun dinilai salah oleh
kelompok puritan, praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat petani tetap
berlangsung. Para petani menganggap semua tradisi itu adalah ajaran yang telah
diwariskan secara turun-temurun dan mengakar, karena itu harus tetap dilestarikan
sampai kapan pun.

B. HASIL MINI RISET


1. Kuisioner

Waktu : 26 Februari 2019 - 1 Maret 2019


Tempat : online
Narasumber : 33 orang dari berbagai daerah

Kuisioner yang Penulis buat terdiri dari enam buah pertanyaan

2. Video Youtube
Narasumber :

- Ustadz Dr. Khalid Basalamah, Lc.,M.A


- Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc.,M.A

Ustadz Khalid dan Ustadz Firanda menjawab pertanyaan mengenai


‘Bolehkah kita mengadakan acara syukuran (slametan), salah satunya
slametan rumah baru?’

Maka jawaban dari beliau adalah

13
- Ustadz Khalid
Tidak ada riwayat yang menjelaskan untuk mengadakan syukuran
ketika pindah rumah. Akan tetapi jika sebagai tanda syukur kita kepada
Allah dengan menyembelih hewan, memberi makan orang miskin, hal
tersebut boleh tetapi jangan dianggap sebagai syariat.
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam setelah menikah
dengan Zainab dan memberikan rumah untuknya, Nabi mengundang
kerabat-kerabatnya untuk makan dirumah tersebut, akan tetapi acara
itu bukanlah suatu perayaan syukuran terhadap rumah baru, melainkan
walimah Nabi Muhammad dengan Zainab.

- Ustadz Firanda
Apabila kita mendapatkan suatu kenikmatan, kita patut bersyukur
pada Allah, dan rasa syukur ada beberapa bentuk, misalnya sujud
syukur, bersedekah, perbanyak puasa, maka sykuran diperbolehkan,
tetapi bukan suatu keharusan. Intinya kita bersyukur kepada Allah
dengan ibadah-ibadah yang mudah bagi kita.

3. Wawancara
Waktu :
Tempat :
Narasumber :

BAB III
PENUTUP

A. ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Kebudayaan, pada skala apa pun, berinti suatu sistem gagasan: konsep-konsep
dan nilai-nilai. Bangsa Indonesia pun harus mengasuh kebudayaan di dalam dua

14
skala atau cakupan, yaitu yang general untuk seluruh bangsa ( = kebudayaan
nasional) dan yang dapat bervariasi mengikuti keanekaragaman suku bangsa.
Dalam pada itu, kita juga perlu pula mengasuh keragaman suku bangsa. Dalam
pada itu, kita juga perlu pula mengasuh keberagaman yang terkait dengan sistem
kepercayaan/agama.

Keanekaragaman budaya, ras, suku bangsa, etnis, dan golongan di Indonesia


merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.

Baik yang dibawa oleh kelompok pendukung budata puritanisme maupun


pendukung budaya sinkritisme telah mempertegas batas-batas holongan sosial
kedua kelompok. Akibatnya, pada tingkat enkstrim, benturan budaya antara kedua
kelompok ini pun tidak dapat dihindari. Dalam situasi seperti itu, prasangka-
prasangka menjadi lebih mengemuka dan perpecahan pun terjadi.

Nah, sekarang kita pun sampai kepada kesimpulan, bahwa: di samping manusia,
sebagai Khalifah Allah di atas bumi ini, bertugas meng-kultur-kan natur, dalam
waktu yang sama dia pun berkewajiban meng-natur-kan kultur, dalam arti: kultur
yang diciptakan manusia untk kesejahteraan mereka itu jangan sampai merusak
(lingkungan) natur itu sendiri.

Dengan jalan bagaimana?

Karena natur dan Al-Quran itu konsisten, maka jalan yang harus ditempuh untuk
meng-natur-kan kultur itu tiada lain daripada meng-Quran-kan kultur alias meng-
Islamkan kultur.

Oleh karena itu, di sinilah diperlukan sediaan besar toleransi antarumat beragama.
Dan toleransi itu pastilah memerlukan suatu landasan pemahaman yang memadai:
untuk mengenal dan mengerti betul perbedaan-perbedaan, tanpa harus
mempertengkarkannya.

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Ember,Carol R dan Melvin Ember.1994. "Konsep Kebudayaan",dalam T.O.


Ihromi(ed.).Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Geertz, Clifford.1992.Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta:Kanisius
Geertz, Clifford.1992.Tafsir Kebudayaan.Yogyakarta:Kanisius

15
Huntington,Samuel P.1993. "The Clash Civilization".Foreign Affair,Vol. 72,
No.3, Summer, pp.22-49
Sedyawati, Edi. 2014.Kebudayaan di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu
Sunanto, Prof. Dr. Musyrifah. 2010. "Sejarah Peradaban Islam Indonesia".
Jakarta:Rajawali Pers.
Sutiyono.2010.Benturan Budaya Islam:Puritan dan Sinkretis.Jakarta:PT Kompas
Media Nusantara
Tim Dosen SPAI UPI. 2010. Panduan Seminar Pendidikan Agama Islam dan
Lembar Kerja Mahasiswa. Bandung : Value Press.

16

Anda mungkin juga menyukai