Makalah
Dosen Pengampu
Disusun Oleh :
Disusun oleh:
Kelompok 6
2019
KATA PENGANTAR
Laporan ini penulis susun dengan harapan dapat menjadi sebuah prasarana
dalam mengembangkan pemahaman dan kemampuan dalam memahami materi
konsep ekonomi dalam Islam.Penulis juga berharap laporan ini dapat menjadikan
pengetahuan baru dalam memahami materi yang telah disampaikan selama ini.
Penulis menyadari segala isi dalam rangakaian laporan ini masih terdapat
beberapa kekurangan.Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar ke depannya bisa lebih baik dan lebih maksimal lagi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan di Indonesia sangatlah beragam. Kebudayaan
kebudayaan tersebut membentuk suatu tradisi yang dilakukan secara turun
temurun. Salah satu tradisi yang paling sering dan masih dilakukan sampai
sekarang adalah tradisi Slametan.
Sebagai sistem gagasan, kebudayaan memiliki sifat alamiah yang
unik, yaitu tidak ada suatu kebudayaan yang mutlak sama dengan
kebudayaan yang lain. Hal ini membawa konsekuensi yang sama terhadap
agama, jika dalam studi ini mempergunakan pendekatan agama sebagai
bagian dari kebudayaan. Munculnya keanekaragaman bentuk agama
disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi sejarah kebudayaan
masyarakat. Termasuk dalam hal munculnya sistem budaya Islam atau
aliran, apakah itu puritan atau sinkretis, juga tergantung dari sejarah
kebudayaan masyarakat pendukungnya. Dalam pandangan Geertz (1982),
munculnya aliran-aliran dalam suatu agama dapat disebabkan oleh
perbedaan penafsiran ajaran-ajaran tertentu dalam agama yang
bersangkutan dan perbedaan-perbedaan itu dipertegas oleh pandangan atau
anggapan tentang kebenaran mutlak suatu paham penganutnya.
Praktik keagamaan di Jawa digambarkan Geertz sebagai suatu
kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam
upacara, pertentangan dalam kepercayaan, serta komflik-konflik nilai yang
muncul sebagai akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial.
Mereka sama-sama mengaku Islam, akan tetapi dalam kehidupan sosial
dan keagamaan/kepercayaan mempunyai pola tindakan dan interpretasi
berbeda. Pendek kata, masing-masing mempunyai sistem budayanya
sendiri-sendiri.
Geertz melihat agama sebagai pola untuk melakukan tindakan
(pattern for behavior), dan menjadi sesuatu yang hidup dalam diri manusia
yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, agama
merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan
manusia.
Dalam hubungan interaksi agama dan kebudayaan, tak jarang
terjadi pemaduan-pemaduan di antara kedua sumber itu, walau tidak perlu
sampai taraf sinkretisme. Di antara pemaduan ajaran agama Islam dengan
1
adat istiadat tradisional suatu suku bangsa terdapat praktik-praktik tertentu
terkait dengan upacara perkawinan dan kematian. Doa dan akad yang
Islami dicampur dengan slametan dan ritus-ritus tradisional yang dapat
dikelompokkan ke dalam yang bersifat “magis simpatetis” (misalnya
pengantin pria menginjak telur, atau kedua mempelai saling melempar
sirih) apabila dipercaya bahwa suatu tindakan ritual akan mempunyai efek
otomatis, dan bukan dianggap sebagai semata-mata lambang dari harapan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai tradisi slametan?
2. Bagaimana hubungan antara islam puritan dan islam sinkretis terhadap
tradisi slametan di Indonesia?
3. Bagaimana kaitan antara tradisi slametan dalam sudut pandang agama
islam?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pandangan masyarakat mengenai tradisi slametan
2. Mengetahui hubungan antara islam puritan dan islam sinkretis
terhadap tradisi slametan di Indonesia
3. Mengetahui kaitan antara tradisi slametan dalam sudut pandang agama
islam
2
BAB II
KAJIAN ISI MASALAH
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan asal dari Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak
dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian ke-budaya-an itu
dapat diartikan, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Antropolog
Safri Sairin (1995) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem ide
yang dimiliki manusia. Seluruh bentuk aktivitas manusia beserta hasil
karya dari aktivitas tersebut berpusat pada sistem ide yang dimiki oleh
masing-masing kepala manusia.
Lebih tepat lagi adalah rumusan: “Kebudayaan ialah manifestasi dari ruh, zauk,
iradah, dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan
insani sebagai fitrah, ciptaan karunia Allah”
“Dialah (Allah)yang telah berkenan menciptakan kamu dari tanah dan telah
berkenan pula menjadikan kamu sebagai pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampun-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.”
Jadi fungsi manusia sebagai Khalifah Allah di bumi ini ialah memakmurkan bumi
(alam yang paling dekat kepada manusia) dengan jalan amal terbaik atau karya
kreatif. Tehasnya: “mem-budaya-kan alam”, dengan kata-kata lain: meng-kultur-
kan natur.
“Hai orang-orang yang beriman, jawablah (berilah respons) seruan Allah dan
Rasul-Nya, apabila keduanya berkenan menyampaikan seruan ke arah seesuatu
yang akan lebih menhidupkan kamu (meningkatkan taraf kehidupan dan
penghidupan kamu ke tingkat yang tinggi)”. (S.8: Al-Anfal ayat 24).
3
Dalam hubungan ini perlu pula kita ingat baik-baik, bahwa Allah Ta’ala telah
menggelarkan dua macam ayat (tanda keagungan an kekuasaan-Nya), yaitu:
Ayat Kauniyyah, yakni alam atau natur, yang dicoba manusia (dalam
batas-batas kemampuannya yang serba terbatas) dirumuskan dalam ilmu
pengetahuan.
Ayat Qur’aniyyah, sabda-sabda-Nya sebagaimana yang terkandung dalam
Kitab Suci Al-Quran.
Kedua ayat Allah—natur dan al-Quran—ini saling menafsirkan satu sama lain.
Penafsiran yang satu atas yang lainnya ini tidak pernah kontradiksi. Tidak
mengherankan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Allah Ta’ala.
4
karena ternyata di dalam suatu masyarakat selalu ada kecenderungan
ke arah variasi perorangan yang menonjol dalam pola perilaku dari
subjek-subjek yang dilihat. Pada sisi yang lain, kadang juga berlaku
sejumlah nilai budaya yang sama (Ember, 1994:22).
2. Pengertian Tradisi
Edward Shils dalam bukunya yang membahas pengertian “tradisi”
mengemukakan bahwa pada dasarnya sesuatu pola perilaku itu dapat
disebut sebagai “tradisi” apabila telah berlangsung secara berkelanjutan
sekurang-kurangnya sepanjang tiga generasi. Pengertian “generasi” dalam
hal ini tidak hanya dipahami dalam anrti masa hidup biologis seseorang
beserta semua sebayanya, tetapi dapat juga dalam arti “angkatan” dalam
suatu lingkungab orang-orang dengan karier tertentu.
Adanya tradisi-tradisi di dalam berbagai masyarakat dengan
kebudayaannya masing-masing memberikan kekhasan citra kepada masing
memberikan kekhasan citra kepada masing-masing memberikan kekhasan
citra kepada masing-masing kebudayaan yang bersangkutan. Kekhasan
citra itu tampak sebagai ciri pengenal bagi ‘orang luat’ yang
mengamatinya. Adapun bagi ‘orang dalam’ sendiri, yaitu yang memiliki
(seni) tradisi itu, (seni) tradisi itu memberikan suatu rasa aman karena
berada di dalam sesuatu yang telah akrab dikenal dan dapat diharapkan
untuk selalu memberikan rasa nyaman karena mendapatkan sesuatu
(misalnya kenikmatan estetik) sesuai harapan. Kenyamanan dan
kemantapan itu sebenarnya didapat dari adanya kaidah-kaidah dasar yang
senantiasa dapat diharapkan kehadirannya meski bentuk-bentuk
ungkapannya dapat berkembang.
a. Tradisi Slametan
5
a. Penyebaran Islam di Pulau Jawa
Pada zaman Sulta Ageng Tirtayasa, Banten merupakan
Kesultanan Nusantara yang mempunyai hubungan internasional,
baik dengan Kesultanan Aceh yang mendapat gelar Serambi
Makkah ataupun Kesultanan Mughal di India. Bahkan, Sultan
Ageng mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah serta putranya
diberi gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah haji, gelar
yang pertama kali dimiliki raja Jawa. Baru pada tahun 1645 raja
Mataram dan selanjutnya disusul raja Makassar, keduanya
mendapat gelar Sultan.
Demikianlah keberagaman kerajaan Banten beserta
pelaksanaan syariat Islam kelihatan lebih ketat dibandingkan
dengan kerajaan Islam lainnya di Jawa. Ini terjadi karena Banten
yang mempunyai hubungan internasional dengan negara Islam
besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi
perdagangan internasional.
Islam di Jawa pada tahap pertama belum secara merata
diterima oleh lapisan terbawah, semua hanya dipraktikkan oleh
sekelompok kecil yang aktif dan dinamis membawa pesan-pesan
Islam, yang bertugas melaksanakan kegiatan keislaman atas nama
seluruh masyarakat desa. Dengan demikian, di banyak bagian
Jawa, sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek
moyang atau memeluk Islam hanya secara nominal.
Sultan Agung memang secara terbatas berusaha
menciptakan hubungan dengan Islam internasional, yaitu dengan
mendapatkan gelar Sultas Syarif Makkah pada tahun 1645. Akan
tetapi, sepeninggal Sultan Agung (1965), lenyaplah kekuasaan
Mataram atas wilayah pesisir Utara Jawa. Para penggantinya
sengaja menolak afiliasi dengan dunia perdagangan internasional
dan Dunia Islam lebih luas. Dengan demikian, wilayah pedalaman
Jawa adalah Muslim, tetapi Muslim yang masih tetap
mengamalkan kepercayaan nenek moyang.
Hukum Islam (fiqih) dilaksanakan oleh kelompok-
kelompok Muslim yang taat, bedomisili di sekitar masjid, kampung
yang dinamakan Mutihan atau Kauman. Hukum Islam selain
membicarakan kelima dasar pokok Islam (syahadat, Shalat, zakat,
puasa, haji), juga meliputi peraturan perkawinan, kekeluargaan,
warisan, perdagangan, dan kegiatan-kegiatan politik. Semua itu di
Jawa dalam praktiknya diwarnai oleh adat setempat.
6
Zakat merupakan rukun Islam ketiga. Namun, yang banyak
dilakukan di Jawa adalah sedekahan. Istilah sedekahan disebut
juga slametan dan selalu dirangkaikan dengan upacara syukuran,
karena mendapatkan keberkahan atau menolak bala. Oleh sebab itu
ada sedekahan orang meninggal, perkawinan, panen. Di Yogya dan
Solo ada grebeg atau sekaten, di Cirebon ada Panjang Jimat.
7
dimaksud di sini tentulah sistem kepercayaan ‘partikular’ dari suatu atuan
etnik tertentu sehingga tidak berlaku bagi agama-agama yang telah
melintasi keanekaragaman budaya dan bangsa, dan dengan itu dianggap
atau keanekaragaman budaya dan bangsa, dan dengan itu dianggap atau
memang dimaksudkan sebagai berlaku universal.
8
teh. Meskipun demikian, perubahan-perubahan itu tidak
menjadikan konflik di masyarakat, namun sebaliknya ia tetapi
menjaga makna utama dari slametan itu sendiri, yaitu untuk
menghadirkan keharmonisan masyarakat.
Aspek keharmonisan inilah yang membuat kebanyakan
masyarakat di pedesaan merasa dekat dengan kelompok
masyarakat Islam sinkretis. Hal ini pula yang merupakan alasan
mereka untuk mempertahankan upacara-upacara tradisional
(slametan).
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa Arab) dan
kretiozein, yang berarti mencampuradukkan unsur-unsur yang saling
bertentangan. Sinkretisme juga ditafsirkan berasal dari bahas Inggris, yaitu
syncretism yang diterjemahkan campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan.
Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan terjadi
lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak
terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. Terjadinya
percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi
yang diikutsertakan. Dalam studi ini, sinkretisme dipahami sebagai percampuran
antara Islam dengan insur-unsur tradisi lokal.
Jika diperhatikan proses sinkretisasi yang berlangsung antara budaya Jawa dan
budaya Islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan simbolis.
Dalam artian Islamisasi Jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah,
kulit luar), tetapi diarahkan pada kehalusan (isi, inti).
9
Oleh karenanya budaya tersebut dimiliki oleh orang Islam Jawa (Islam sinkretis),
di sini lebel Islam lebih penting.
Ketika Islam tersebar ke segenap penjuru dunia, mau tidak mau harus berhadapan
dengan agama lokal. Seperti ketika masuk ke Jawa, Islam harus berhadapan
dengan kepercayaan sinkretisme lokal Jawa. Segaimana dikemukakan Benda
(1980) dan Geertz (1989) bahwa wilayah Indonesia sebelim Islam datang
diwarnai budaya India dan budaya lokal. Budaya India lebih banyak bersifat
mistik dan dibawa melalui ajaran agama Hindu dan Buddha, sedangkan budaya
lokal yang paling menonjol adalah budaya dengan corak baru, sehingga keduanya
melebur menjadi budaya sinkretis. Untuk menghadapi budaya lokal yang sinkretis
dan telah lama mengental dalam masyarakat, para wali dan pendakwah Islam
tidak melakukan dakwah secara drontal, tetapi melalui pendekatan kultural.
Pendekatan ini berusaha menyinergiskan antara ajaran Islam dan budaya lokal.
10
gencarnya diadakan gerakan Wahabi yang didukung penuh oleh pemerintah
setempat. Gerakan ini berusaha mengembalikan ajaran Islam murni (salafi).
Sejumlah ulama Indonesai yang tengah belajar Islam di tanah suci mendapat
pengaruh ajaran Wahabi. Sepulang dari tanah suci, mereka berusaha menanamkan
ajaran Wahabi ke Indonesia. Mereka inilah yang menjadi pelopor pembaruan
Islam di Indonesia. Mereka antara lain gerakan Paderim di Minangkabau, dan juga
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Mereka
inilah antara lain yang memelopori gerakan perutanisme Islam di Indonesia.
Benturan Budaya
Konflik berlatar belakang budaya juga sering terjadi di Desa Palar antara
kelompok yua dan kelompok muda. Kelompok tua adalah masyarakat sinkretis
pendukung budaya slametan, tahlilan, Yasinan, metik, tedun, petung dinan, dan
sowan Mbah Bero. Kelompok tua adalah pelaksana adat leluhur. Sementara
kelompok muda adalah kelompok masyarakat yang menolak budaya tersebut.
Kelompok tua berargumentasi bahwa melaksanakan budaya adat seperti slametan,
tahlilan, dan lain-lain adalah tradisi leluhur peninggalan nenek moyang dan tidak
terdapat kejelekan di dalamnya. Kaum tua meras tidak rela jika hak-hak
budayanya sering diserang dan dicomooh dalam pengajian-pengajian di masjid.
11
melarang tradisi slametan dan tahlilan. Sementara kelompok Islam sinkretis
memandang tahlilan merupaka bagian dari sistem budayanya. Demikian pula
tradisi slametan sebaiknya diganti dengan tradisi sedekah, agar sesuai dengan
amanat dari doktrin agama yang berasal dari tradisi Islam murni. Sampai sekarang
ini, jika salah seorang kalangan Islam sinkretis memiliki hajatan keluarga dengan
acara tahlilan, masih meberi undangan kepada kaum puritan. Sementara itu kaum
puritan selalu menolak ajakan kaum sinkretis tersebut, Meskipun demikian kaum
sinkretis tidak bosan-bosannya memberi undangan kepada kaum puritan.
Sebagai contoh, secara tegas kelompok Islam puritan menilai praktik slametan
sebagai bentuk kemusyrikan. Mereka juga melarang masyarakat melakukan ziarah
kubur, menolak undangan tahlilan, dan yang lebih radikal lagi berikrar kepada
orang tua dan masyarakat bahwa dirinya tidak akan melakukan upacara
pengiriman doa kepada keluarganya yang meninggal serta memohon masyarakat
untuk tidak mengajak dirinya melakukan upacara tersebut.
Tulisan Robert W. Hefner (2001) tentang Islamisasi lereng gunung Bromo, Jawa
Timur, mengulas banyak tenatang pergulatan gerakan pembaruan dengan tradisi
setempat. Pergulatan itu memuncak ketika kalangan pembaru melakukan serangan
terhadap kepercayaan pada roh di sebuah tempat keramat, yaitu Nyai Po sebagai
dhayang (penunggu) yang menempati tepi Desa Wonorejo. Penduduk desa ini
sebagian besar adalah penganut Islam kejawen. Nyai Po di mata penduduk desa
itu dianggap sebagai gurunya. Oleh karenanya, setiap tahun diadakan perayaan
dengan menggelar slametan untuk Nyai Po. Denagn serangan tersebut, kalangan
kejawen masih ingin melestarikan tempat keramat iyu. Hefner (2001) menjelaskan
benturan nilai-nilai diawali oleh pengangkatan Kepala Biri Kehutanan di daerah
sekitar Desa Wonorejo, yaitu dijabat oleh seorang dari kalangan pembaru Islam
yang menggantikan orang marhaen (abangan) karena akibat pergolakan politik
1965-1966.
Peristiwa benturan budaya tersebut memberi gambaran bahwa para pembaru Islam
berusaha menyingkirkan Nyai Po yang menjadi Tuhan agama masyarakat
sekitarnya. Pohon-pohon di tempat keramat itu diporong satu-persatu. Kejadian
ini tidak menyurutkan penyembahan terhadap tempat keramat tersebut. Slametan
untuk merayakan tempat keramat itu tetap diadakan warga desa setiap tahunnya.
Namun demikian, benturan budaya yang telah terjadi menjadi titik balik
meningkatnya jumlah pemeluk Islam dan sebaliknya dukungan resmi terhadap
tempat keramat semakin surut.
12
Menguatnya tradisi sinkretis dalam masyarakat pedesaan mendorong lahirnya
gerakan puritan dalam bentuk gerakan pembaruan Islam Indonesia awal abad ke-
20 (Surjo, 193).
Jika demikian, apa yang diklaim oleh kelompok budaya Islam puritan merupakan
manifestasi keinginan untuk selalu dianggap paling benar, dan menilai salah
terhadap praktik keagamaan masyarakat petani, Meskipun dinilai salah oleh
kelompok puritan, praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat petani tetap
berlangsung. Para petani menganggap semua tradisi itu adalah ajaran yang telah
diwariskan secara turun-temurun dan mengakar, karena itu harus tetap dilestarikan
sampai kapan pun.
2. Video Youtube
Narasumber :
13
- Ustadz Khalid
Tidak ada riwayat yang menjelaskan untuk mengadakan syukuran
ketika pindah rumah. Akan tetapi jika sebagai tanda syukur kita kepada
Allah dengan menyembelih hewan, memberi makan orang miskin, hal
tersebut boleh tetapi jangan dianggap sebagai syariat.
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam setelah menikah
dengan Zainab dan memberikan rumah untuknya, Nabi mengundang
kerabat-kerabatnya untuk makan dirumah tersebut, akan tetapi acara
itu bukanlah suatu perayaan syukuran terhadap rumah baru, melainkan
walimah Nabi Muhammad dengan Zainab.
- Ustadz Firanda
Apabila kita mendapatkan suatu kenikmatan, kita patut bersyukur
pada Allah, dan rasa syukur ada beberapa bentuk, misalnya sujud
syukur, bersedekah, perbanyak puasa, maka sykuran diperbolehkan,
tetapi bukan suatu keharusan. Intinya kita bersyukur kepada Allah
dengan ibadah-ibadah yang mudah bagi kita.
3. Wawancara
Waktu :
Tempat :
Narasumber :
BAB III
PENUTUP
14
skala atau cakupan, yaitu yang general untuk seluruh bangsa ( = kebudayaan
nasional) dan yang dapat bervariasi mengikuti keanekaragaman suku bangsa.
Dalam pada itu, kita juga perlu pula mengasuh keragaman suku bangsa. Dalam
pada itu, kita juga perlu pula mengasuh keberagaman yang terkait dengan sistem
kepercayaan/agama.
Nah, sekarang kita pun sampai kepada kesimpulan, bahwa: di samping manusia,
sebagai Khalifah Allah di atas bumi ini, bertugas meng-kultur-kan natur, dalam
waktu yang sama dia pun berkewajiban meng-natur-kan kultur, dalam arti: kultur
yang diciptakan manusia untk kesejahteraan mereka itu jangan sampai merusak
(lingkungan) natur itu sendiri.
Karena natur dan Al-Quran itu konsisten, maka jalan yang harus ditempuh untuk
meng-natur-kan kultur itu tiada lain daripada meng-Quran-kan kultur alias meng-
Islamkan kultur.
Oleh karena itu, di sinilah diperlukan sediaan besar toleransi antarumat beragama.
Dan toleransi itu pastilah memerlukan suatu landasan pemahaman yang memadai:
untuk mengenal dan mengerti betul perbedaan-perbedaan, tanpa harus
mempertengkarkannya.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
15
Huntington,Samuel P.1993. "The Clash Civilization".Foreign Affair,Vol. 72,
No.3, Summer, pp.22-49
Sedyawati, Edi. 2014.Kebudayaan di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu
Sunanto, Prof. Dr. Musyrifah. 2010. "Sejarah Peradaban Islam Indonesia".
Jakarta:Rajawali Pers.
Sutiyono.2010.Benturan Budaya Islam:Puritan dan Sinkretis.Jakarta:PT Kompas
Media Nusantara
Tim Dosen SPAI UPI. 2010. Panduan Seminar Pendidikan Agama Islam dan
Lembar Kerja Mahasiswa. Bandung : Value Press.
16