Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KEBIDANAN

MANAJEMEN KESEHATAN DOMBA BETINA SELAMA KEBUNTINGAN

Disusun Oleh :
Annisa Anwar Sitorus 1602101010150
Asman Ramadhan 1602101010131
Ayesha Azalea Yunelsa 1602101010122
Ayu Andira 1602101010137
Fadeli Bermani 1602101010127
Hanni Aninaidu 1602101010152
Irna Gustina 1602101010128
Pandu Putra Anugrah B. 1602101010158
Restu Annisa Bahri 1602101010154
Rita Kurnia Sari 1602101010125
Tegar Juma Hendra 1602101010129

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2019
MANAJEMEN KESEHATAN DOMBA BETINA SELAMA KEBUNTINGAN

G.C. Fthenakis a,∗, G. Arsenos b, 1 , C. Brozos b,1 , I.A. Fragkou a,1 , N.D. Giadinis
b,1
, I. Giannenas a, 1 , V.S. Mavrogianni a, 1 , E. Papadopoulos b,1 , I. Valasi a,1
a
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Thessaly, Karditsa, Yunani

b
Sekolah Kedokteran Hewan, Universitas Aristotle, Thessaloniki, Yunani

ABSTRAK

Tujuan manajemen kesehatan domba betina selama kebuntingan adalah


sebagai berikut: (i)Sukses menyelesaikan masa kebuntingan, (ii) melahirkan domba
yang sehat dan layak, dengan kelahiran optimal dan potensi berat badan untuk
menyapih, (iii) produksi susu yang optimal selama laktasi berikutnya dan (iv)
meningkatkan manajemen sehubungan dengan residu obat dalam produk hewani.
Pengetahuan tentang latar belakang fisiologis kebuntingan pada domba
betina mengenai perubahan, mekanisme dan interaksi, selama kebuntingan penting
untuk manajemen kesehatan domba secara keseluruhan selama masa kebuntingan.
Manajemen kesehatan domba bunting meliputi diagnosis kebuntingan dan evaluasi
jumlah fetus yang dilahirkan, hal ini akan mendukung strategi untuk pengelolaan
ternak domba selanjutnya.
Manajemen nutrisi tergantung pada tahap laktasi dan secara khusus
bertujuan untuk (i) pencegahan toksaemia kebuntingan dan penyakit metabolisme
lainnya selama periode peri-partum, (ii) pembentukan kolostrum dalam jumlah
yang sesuai dan kualitas yang bagus (iii) produksi anak-anak domba selanjutnya
dengan berat badan lahir normal dan (iv) mendukung peningkatan produksi susu
selama masa menyusui berikutnya. Di akhir laktasi, manajemen ambing domba
betina bunting meliputi pemeriksaan klinis, memisahkan domba betina dianggap
tidak cocok untuk menyusui dan, mungkin, pemberian antibiotik intramammary.
Tujuan dari prosedur tersebut adalah (i) untuk menyembuhkan infeksi
yang telah terjadi selama masa menyusui sebelumnya dan (ii) untuk mencegah
perkembangan infeksi mamae baru selama periode kering. Manajemen aborsi
mencakup diagnosis kausatif yang tepat dan tepat waktu dari agen penyebab
penyakit, serta strategis agen kemoterapi,bertujuan untuk mencegah aborsi dengan
infeksi oleh agen abortifacient, terutama jika tidak ada vaksinasi yang tepat yang
dilakukan sebelum musim kawin.Selama tahap akhir kebuntingan, manajemen
kesehatan domba betina meliputi pemberian obat-obatan antelmintik yang tepat,
yang bertujuan untuk menghilangkan cacing usus (dengan demikian, meningkatkan
hasil produksi domba betina) dan mencegah penumpukan beban parasit di
lingkungan (dengan demikian, mengurangi infeksi domba selama periode neonatal
mereka).
Vaksinasi domba betina yang bunting bertujuan untuk melindungi hewan-
hewan ini, serta keturunannya,terutama terhadap penyakit yang sering menjadi
penyebab kematian neonatal (mis., infeksi clostridial). Manajemen kesehatan juga
bertujuan untuk mencegah gangguan metabolisme utama pada domba betina
bunting (yaitu, toksaemia kebuntingan dan hipokalsemia), serta untuk memantau
kawanan domba untuk perkembangan gangguan ini. Manajemen kesehatan domba
bunting selesai dengan penerapan praktik peternakan sebelum dimulainya musim
beranak. Akhirnya, dalam beberapa kasus, manajemen kesehatan dapat mencakup
induksi dan sinkronisasi domba, yang merupakan prosedur manajemen atau
terapeutik.

1. Pendahuluan
Pada domba betina, kebuntingan berlangsung kurang dari lima bulan,
yaitu bagian signifikan (~40%) dari siklus produksi tahunan. Mempertimbangkan
siklus reproduksi domba betina (Bartlewski et al., 2011), yang memungkinkan
memperpanjang periode pembibitan, kemungkinan ,secara total, mungkin ada
domba betina bunting dalam kawanan lebih enam bulan setiap tahun. Oleh karena
itu, manajemen kesehatan domba betina selama kebuntingan merupakan
komponen besar dari siklus manajemen kesehatan tahunan di kawanan domba.
Secara umum, Tujuan manajemen kesehatan domba betina selama
kebuntingan adalah sebagai berikut: (i) keberhasilan selama periode kebuntingan,
(ii) melahirkan domba yang sehat dan layak, dengan kelahiran optimal dan potensi
berat badan untuk menyapih, (iii) produksi susu yang optimal selama laktasi dan
(iv) meningkatkan manajemen sehubungan dengan residu obat pada hewan
produksi.
Tidak ada 'cetak biru' pendekatan dalam manajemen kesehatan domba
bunting. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas pedoman, yang harus di
sesuaikan dan dasar peternakan demi peternakan , untuk mengatasi masalah
kesehatan sesuai dengan sistem produksi yang berlaku secara lokal dan masalah
kesehatan. Sebenarnya, ada perbedaan dalam manajemen kesehatan domba betina
bunting antara variasi sistem produksi, yang berhubungan dengan prioritas produksi
di berbagai sistem, juga seperti antara kawanan dalam sistem produksi yang sama.
Untuk sebagai contoh, beberapa perbedaan akibat dari musim tahun ketika musim
kawin terjadi, yaitu, dari lintang geografis lokasi peternakan, yang mempengaruhi
musim tahun ketika hewan bunting. Meskipun makalah ini mungkin dianggap berat
sebelah terhadap manajemen domba perah, prinsip-prinsip manajemen kesehatan
domba bunting bisa diterapkan terlepas dari sistem produksi. Jadi, berdasarkan pada
tulisan ini, seseorang dapat mengadaptasi detail untuk aplikasi sistem produksi yang
lain.
Dalam praktiknya, tidak semua prosedur dijelaskan dalam tulisan
ini.secara rutin diterapkan di setiap kawanan. Beberapa prosedur dilakukan secara
rutin (mis.,manajemen nutrisi; Bagian 4), yang sering dilakukan (mis., Vaksinasi;
Bagian 8), selektif lainnya (mis., pemberian obat cacing; Bagian 7 – pemberian
intramammary antibiotik; Bagian 5), sementara yang lain hanya secara sporadis
atau pada keadaan luar biasa (mis., induksi dan sinkronisasi domba; Bagian 11).
Bahkan, prosedur yang tepatharus diterapkan di peternakan apa pun harus
diputuskan atas dasar peternakan demi peternakan oleh dokter hewan yang
menangani.
2. Fisiologi Kebuntingan

Pengetahuan tentang latar belakang fisiologis kebuntingan pada


betina: perubahan, mekanisme dan interaksi, selama kebuntingan penting untuk
kesehatan secara keseluruhan manajemen domba betina selama kebuntingan, di
antaranya untuk diagnosis kebuntingan dan pencegahan patologis tepat waktu
kondisi domba betina. Kehidupan pra-kelahiran dapat dibagi menjadi tiga periode
utama: (i) periode ovum yang dibuahi, yang berakhir dengan implantasi awal
embrio, (ii) periode embrionik, dari 12 sampai sekitar 34 hari, ketika pertumbuhan
cepat dan diferensiasi terjadi, dengan pembentukan awal organ utama dan anggota
tubuh eksternal dan (iii) periode fetus, ditandai oleh pertumbuhan dan perubahan
pada fetus (Jainudeen dan Hafez, 2000a). Pertumbuhan konsepsi dapat ditandai
sebagai pertumbuhan relatif, lebih cepat pada tahap awal kebuntingan, dan
‘pertumbuhan absolut, maksimal saat terlambat kebuntingan. Tingkat pertumbuhan
fetus terutama tergantung pada pasokan makanan dan kemampuan fetus untuk
menggunakan makanan, meskipun faktor lain (misanya adalah genetika,
lingkungan, dan fetus hormon) juga dapat terlibat (Jainudeen dan Hafez, 2000).

2.1. Tahap Awal Kebintungan

Secara berurutan perubahan morfologis, fungsional dan endokrinologis


dari sistem reproduksi dimulai dengan terjadinya pembuahan oosit. Agar embrio
dapat berimplantasi pada dinding rahim, oosit yang telah dibuahi harus
berkembang menjadi morula dan kemudian ke blastocyst, lalu keluar dari zona
pellucida, memberi sinyal keberadaannya dan berpartisipasi untuk pembentukan
membran ekstra-embrionik. Tahapan morula embrio memasuki rahim adalah pada
hari ke-4 sampai hari ke-6 pasca fertilisasi dan kemudian membentuk blastokista
dengan adanya sel massa dan blastocoele atau rongga tengah dikelilingi oleh
monolayer dari trofektoderm. Setelah keluar dari zona pellucida, blastokista
berkembang menjadi bentuk tubular dan kemudian memanjang pada hari ke-12,
menjadi berserabut konsepsi yang menempati seluruh bagian cornua uteri (Taverne
and Noakes, 2009). Bagian yang memanjang atau filamentus conceptus (embrio /
fetus dan membran ekstra-embrionik) tersusun atas trofektoderm ekstra-embrionik
yang dilapisi dengan endoderm. Pemanjangan blastokista sangat penting untuk
perkembangan mengatur produksi interferon-gamma, mengenali tanda kebuntingan
dan untuk implantasi (Spencer et al., 2008).
Kebuntingan pada betina dimulai pada tahap blastokista dan termasuk
memberi tanda kebuntingan, implantasi dan plasentasi. dimediasi oleh sekresi
interferon-gamma pada 12-13 hari kebuntingan (Taverne and Noakes, 2009).
Interferon-gamma bekerja pada endometrium untuk menghambat perkembangan
mekanisme luteolitik dengan menghambat transkripsi gen reseptor estrogen dalam
luminal dan epitel glandular duktal superfisial, yang mencegah induksi estrogen
dari reseptor oksitosin dan produksi prostaglandin F2a (Spencer et al., 2007, 2008).
Implantasi melibatkan pelepasan zona pellucida, diikuti oleh orientasi, apposisi,
perlekatan dan adhesi blastokista ke endometrium. Invasi endometrium tidak
terjadi pada ruminansia lokal, implantasi definitif dicapai melalui adhesi sel
trofoblas mononuklear ke lumenal endometrium epitel dan pembentukan syncytia
oleh fusi sel binukleat trofoblas olaeh epitel lumenal (Spencer et al., 2004).
Implantasi dari pengembangan embrio ke endometrium uterus menciptakan
hubungan sementara, yang memberi keuntungan bagi perkembangan conceptus
dengan memberikan nutrisi dan perlindungan selama perkembangan.
Ketika embrio berkembang, plasenta terbentuk. Plasenta adalah organ
metabolisme dan endokrin antara conceptus dan endometrium uterus. Plasenta juga
merupakan sumber penting molekul pensinyalan yang mampu memanipulasi
fisiologi domba betina buntig untuk mempertahankan lingkungan yang kondusif
untuk kebuntngan. Bentuk yang unik dari plasenta ruminansia adalah populasi sel
binukleat korionik fetus, yang pada domba, pertama kali terlihat pada hari ke-16
kebuntingan. Pada saat itu secara kasar sesuai dengan periode trofoblas melekat ke
epitel uterus. Sel-sel ini memiliki setidaknya dua fungsi utama, yaitu pembentukan
dari syncytium hybrida yang terbentuk antara betina bunting dan fetusnya, untuk
implantasi dan selanjutnya pertumbuhan kotiledon dalam plasentome serta sintesis
dan sekresi steroid (progesteron), prostaglandin (prostaglandin I2, prostaglandin
E2) dan hormon protein (Laktogen plasenta), serta produk protein tanpa diketahui,
saat ini, fungsinya (terkait asosiasi glikoprotein) (Bhanu dan Green, 2007; Spencer
et al., 2008).
2.2. Profil Hormon Selama Kebuntingan
Berbagai hormon yang berperan dalam memperlihatkan fluktuasi
kebuntingan dan interaksi di antara hormon tergantung pada tahapan kebuntingan.
Secara fisiologis kita dapat memastikan keberhasilan kebuntingan dengan cara
melihat dari pendekatan klinis, deteksi konsentrasi hormon dapat digunakan
sebagai metode untuk diagnosis kebuntingan (Bagian 3). Hormon yang terlibat
adalah progesteron, estron sulfat, protein B khusus kebuntingan, glukoprotein
terkait kebuntingan, prolaktin, laktogen plasenta, prostaglandin dan relaxin
(Tamasia, 2007; Taverne and Noakes, 2009). Menurut temuan terbaru, ghrelin
(Harrison et al., 2007; Miller et al., 2010) dan leptin (Devaskar et al., 2002; Ehrhardt
et al., 2002; Forhead et al., 2002; Yuen et al., 2002; Muhlhausler et al., 2003),
hormon yang berkaitan dengan keseimbangan energi pada hewan bunting juga
terlibat dalam pertumbuhan dan / atau fungsi dari foetus maternalis induk. Leptin
juga bisa terlibat sebagai nutrisi selama plasenta dan / atau perkembangan fetus
(Thomas et al., 2001); ini bisa dikorelasikan dengan dampak kekurangan gizi betina
bunting pada konsentrasi leptin plasma pada massa kebuntingan akhir, yang
tergantung pada jumlah fetus (Edwards et al., 2005).
2.3. Prinsip patofisiologi kematian embrio dan fetus

Kehilangan kebuntingan dapat merupakan hasil dari satu atau lebih dari
peristiwa-peristiwa berikut selama kebuntingan: (i) kematian embrio atau fetus, (ii)
kegagalan pengenalan kebuntingan (insufisiensi- interferon), (iii) lingkungan rahim
yang tidak tepat (cacat endometrium atau pola hormon), (iv) defisiensi plasenta atau
(v) penurunan konsentrasi progesteron. Oleh karena itu, penghentian kebuntingan
yang abnormal dapat terjadi pada berbagai tahap: (i) sebelum pengenalan
kebuntingan, yang tidak dapat dibedakan dari kegagalan pembuahan (kematian
embrionik awal), di mana kasus panjang siklus oestrus tidak akan terpengaruh dan
betina kembali untuk estrus, seolah-olah dia tidak pernah mengandung, (ii) setelah
pengenalan kebuntingan, tetapi sebelum pembentukan fetus (kematian embrionik
akhir), dalam hal ini betina kembali ke estrus setelah periode waktu yang lebih lama
dari normal atau (iii) selama tahap fetus (kematian fetus), yang mengarah ke
mumifikasi atau aborsi (Bagian 6) (Jainudeen dan Hafez, 2000b). Kematian lebih
sering terjadi selama periode embrionik. Meskipun tingkat pembuahan dapat
mencapai hingga 90-95%, risiko kematian embrio bisa setinggi 20-30%. Dalam
beberapa kasus, terutama pada kebuntingan kembar, kematian embrionik dini
mungkin merupakan proses menghilangkan genotipe yang tidak cocok, yang tidak
akan bertahan seumur hidup intrauterin. Sebaliknya, kematian fetus harus selalu
dianggap sebagai proses abnormal. Secara kumulatif, aborsi mikroba menyebabkan
proporsi yang signifikan dari kematian embrio atau fetus pada domba betina
(Jainudeen dan Hafez, 2000b; Spencer dan Bazer, 2004; Diskin dan Morris, 2008).

Secara umum, faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian embrio


pada domba betina mungkin sebagai berikut: (i) genetika (misalnya, cacat
kromosom, gen abnormal individu, interaksi genetik), (ii) hormon (misalnya,
penurunan konsentrasi progesteron, ketidakseimbangan estrogen-progesteron,
ketidakcukupan konsentrasi interferon), (iii) nutrisi (mis., berlebih atau kurang gizi
domba betina bunting), (iv) usia domba betina ( domba betina berumur lebih dari
enam tahun), (v) endometrium, (vi) jumlah ovulasi (tingkat kelangsungan hidup
embrio menurun seiring angka ovulasi meningkat), (vii) laktasi, (viii) infeksi, (ix)
faktor lingkungan (misalnya, stres panas) (Martal et al., 1997; Jainudeen dan Hafez,
2000b; Spencer dan Bazer, 2004; Deligiannis et al. , 2005; Hansen, 2007; Bazer et
al., 2008; Diskin dan Morris, 2008). Meningkatkan pengetahuan tentang interaksi
biologis dan imunologis antara domba betina bunting dan embrio, serta identifikasi
gen yang sesuai, akan memberikan potensi untuk mengidentifikasi penyebab
kematian embrio, sehingga meningkatkan kelangsungan hidup embrio pada awal
kebuntingan.

2.4. Prinsip patofisiologi toksaemia kebuntingan

Selama akhir kebuntingan, peningkatan kebutuhan energi fetus yang


berkembang cepat, dalam kombinasi dengan interaksi hormonal (insulin,
prolaktin), berdampak pada metabolisme lemak dan karbohidrat hewan bunting,
sehingga berisiko terkena toksaemia kebuntingan (Andrews, 1997). Penyakit ini
adalah hasil dari keseimbangan energi negatif, biasanya sekunder untuk
peningkatan kebutuhan energi fetus, dan biasanya diamati pada domba betina
multipara pada diet energi terbatas (Andrews, 1997; Brozos et al., 2011). Berbagai
faktor gizi, metabolisme, genetik, fisiologis, lingkungan, kesehatan dan / atau
manajemen dapat memengaruhi perkembangan penyakit klinis dan semua ini harus
diatasi selama pencegahannya (Bagian 9.1).
Pada akhir kebuntingan, efek hormonal dalam metabolisme lemak dan
karbohidrat cenderung menurunkan glukosa, meningkatkan asam lemak dan
meningkatkan konsentrasi badan keton (terutama β -Hidroksibutirat) (Drackley et
al., 1992). Selain itu, tingkat sekresi insulin dan konsentrasi plasma menurun,
sementara konsentrasi hormon pertumbuhan meningkat; hormon pertumbuhan
bertanggung jawab untuk menghambat transfer glukosa ke jaringan dan mobilisasi
cadangan lemak tubuh, serta mengurangi sintesis asam lemak dan lipolisis (Strang
et al., 1998). Efek hormon pertumbuhan sangat tergantung pada efek hormon lain
(prolaktin, laktogen plasenta, estrogen, progesteron); misalnya, interaksi antara
prolaktin dan hormon pertumbuhan menyebabkan distribusi ulang asam amino
antara hati dan berbagai jaringan tubuh lainnya. Pada akhirnya, semua hal di atas
mengarah pada sintesis dan mobilisasi glukosa yang tidak lengkap, serta akumulasi
asam lemak ke hati, yang menghambat fungsi normal organ dengan hasil akhir
peningkatan oksidasi asam lemak dan peningkatan produksi badan keton (Andrews,
1997; Henze et al., 1998; Panousis et al., 2001; Sargison, 2007).

2.5. Pemrograman fetus dalam embrio kembar

Pembentukan embrio kembar terjadi segera setelah pembuahan, oleh karena


itu mereka berkembang dalam lingkungan yang berbeda sepanjang kehidupan
embrionik mereka, dari pembuahan hingga kelahiran, dan sesudahnya. Fetus
kembar mengembangkan kompetisi nutrisi di antara mereka, diselimuti oleh
plasenta yang lebih kecil dari fetus tunggal dan hidup dalam ruang fisik yang
terbatas. Setelah lahir, kembar bersaing untuk mendapatkan susu. Saat ini, ada
banyak literatur yang diterapkan pada manusia dan topik tersebut dibahas dalam
artikel lain dalam edisi khusus ini (Fleming et al., Edisi ini), karenanya beberapa
detail, khususnya yang berkaitan dengan domba, akan dibahas di sini.

Hasil kembaran dalam penurunan pertumbuhan fetus selama akhir


kebuntingan dan telah disimpulkan bahwa fetus kembar, pada akhir kebuntingan,
dapat memiliki fitur yang mirip dengan fetus tunggal yang lahir pada domba betina
yang mengalami kekurangan gizi (Bagian 4.4) (Rumball et al., 2008). Para penulis
ini menunjukkan bahwa efek kembaran pada fetus akhir kebuntingan memiliki
banyak kesamaan dengan efek kekurangan gizi, yang menyebabkan penurunan,
yang didokumentasikan dalam berat badan lahir fetus. Namun demikian, perbedaan
antara kedua situasi juga ada: pada kebuntingan kembar, lingkungan metabolisme
dan endokrin hewan bunting, pertumbuhan fetus dan plasenta dan fungsi glukosa-
insulin fetus berbeda dari pada kebuntingan tunggal.

3. Diagnosis Kebuntingan pada Domba

3.1 Prinsip Diagnosis pada Domba

Kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosis kebuntingan sangat penting


diterapkan untuk keberhasilan dalam manajemen kebuntingan domba betina. Hasil
diagnosis kebuntingan tersebut dapat berupa: (i) Domba bunting.(ii)Domba tidak
bunting (iii) Akurasi yang tidak tepat dapat dilakukan pemeriksaan ulang. Setelah
itu untuk mendiagnosa kebntingan dalam kelompok pada domba bisa dikelola
berdasarkan kelompok tahap kebntingan dan jmlah foetus yang ada didalamnya.
Selain diagnosa kebuntingan yang tepat bisa menghindari kematian hewan bnting
dan ntk mengindksi kelahiran. Bahkan domba yang tidak bnting dapat dikelola
dengan tepat.

3.2 Metode Diagnosis Kebntingan pada Domba

Banyak metode yang dilakukan dalam mendiagnosis kebuntingan pada


domba. Diantaranya adalah manajemen (Evaluasi tidak kembalinya periode Estrus
selama periode kebuntingan),metode klinis (Palpasi transabdominal atau palpasi
rectal-abdominal,pemeriksaan ambing,palpasi di bagian caudal arteri uterina)Uji
Biokimia (pengukuran progesteron,estrin sulfat,glikoprotein yang behubungan dan
kebuntingan seperti protein B atau faktor konsentrasi kebuntingan lainnya),Metode
imaging (Radiografi,ultrasonografi,Vagina biopsi dan laparoskopi (Table 1)
(Noakes, 2003; Tamasia, 2007; Taverne and Noakes, 2009).

Dalam penerapannya metode yang paling sering dipakai adalah


mengevaluasi tidak kembalinya fase estrus selama kebuntingan,palpasi
transabdominal,pemeriksaan ambing dan pemeriksaan ultrasonografi. Saat ini kit
diagnostik juga tersedia secara komersial untuk mendeteksi konsentrasi berbagai
hormon misalnya: progestero,glikoprotein yang berhubungan dengan kebuntingan.
Metode yang tepat digunakan tergantung keahlian dari operator,tahap
kebuntingan,ketersediaan fasilitas dan peralatan. Pada beberapa kasus metode yang
dipilih harus memenuhi kriteria seperti: kepekaan,spesifikasi,ketepatan,kecepatan
,keamanan dan biaya yang murah (Tamasia, 2007).

3.3 Pemeriksaan Ultrasonografi

Pemeriksaan diagnosis kebuntingan dini yang memenuhi kriteria diatas


adalah pemeriksaan Ultrasonografi B-Mode yang real time (Scott and Sargison,
2010; Scott, this issue). Metode ini sangat menguntungkan meskipun biaya
peralatannya mahal, karena operator dapat mendiagnosa viabilitas ,pertumbuhan,
ukuran, jumlah,umur dan jenis kelamin dari foetus,serta perkembangan plasenta
(Meinecke-Tillmann and Meinecke, 2007).

Ada dua macam ultrasonografi pada domba yaitu secara transcutaneus dan
transrectal. Pilihan teknik yang digunakan tergantung pada tahapan
kebuntingan,probe ultrasonografi yang tersedia,kondis dan pengalaman operator.
Gambaran ultrasonografi pada kebuntingan dalah anechoic pada lumen
uterus,cairan anechoic terlihat berbentuk C atau O pada placentom,embrio dan
foetus menunjukkkan detak jantung. Pemeriksaan transrektal,vesikel embrio akan
teridentifikasi pada hari ke 12-20 kebuntingan,sedangkan embrio pada hari ke 16-
25. Plasentom dan amnion akan terlihat pada hari ke 25 kebuntingan. Pada
pemeriksaan transrectal dapat didiagnosis pada hari ke 17-30
kebuntingan,akuratnya antara 35-70 hari kebuntingan. Kedua metode dapat
dilakukan untuk mendiagnosis kasus kematian embrio dini pada awal kebuntingan.
Diagnosis yang akurat dilakukan pada hari ke 40-50 kebuntingan (95-99%).
Transcutaneus lebih efektif dilakukan pada periode kedua kebuntingan. Estimasi
awalnya adalah jumlah foetus sampai hari ke 40. Teknik Transrectal yang terbaik
dapat digunakan untuk estimasi kebuntingan pada hari ke 45-100 kebuntingan.
Dengan pemeriksaan transcutaneus akurasinya 90-95% (Kähn, 2004; Meinecke-
Tillmann and Meinecke, 2007). Perkiraan usia fetal,kapan waktu kelahiran bisa
diketahui dengan embrionik monitor atau pengukuran fetal (Meinecke-Tillmann
and Meinecke, 2007), Periode yang paling akurat adalah 40-80 hari kebuntingan.

4. Manajemen nutrisi domba betina bunting


4.1. Manajemen nutrisi sebelum kawin dan selama bulan pertama
kebuntingan

Mulai dari kebuntingan tidak selalu jelas, terutama dalam sistem


manajemen yang ekstensif ataupun semi-intensif. Oleh karena itu, ada beberapa
ruang untuk menggambarkan, secara singkat, manajemen gizi pra-kawin domba
betina, terutama cara hidup serupa juga diterapkan selama bulan pertama
kebuntingan. Sebelum periode kawin, domba betina dapat diberikan pakan
tambahan dengan peningkatan konten energi (‘Flushing’). Di awal periode kawin,
seharusnya hewan memiliki skor kondisi tubuh ‘3’ hingga ‘3½’ pada lima poin
skala. ‘Flushing’ terdiri atas pemberian tambahan jumlah campuran pakan
konsentrat 200-400 g setiap hari, berdasarkan ransum yang diberikan untuk
mencakup pemeliharaan persyaratan hewan. Pada domba perah, mungkin juga
diperlukan untuk mempertahankan laktasi, yang semakin progresif mendekati
akhirnya. Administrasi meningkat pemberian pakan energi harus dimulai
setidaknya 35 hari sebelumnya mulainya periode kawin; Interval yang setara
dengan panjang dari dua siklus penuh domba. Pada hewan dengan skor kondisi
tubuh yang tepat, ini meningkatkan energi pakan bertujuan untuk menghasilkan
peningkatan jumlah ovulasi, menyebabkan peningkatan jumlah kelahiran anak
domba per domba betina. Pada hewan dalam skor kondisi tubuh lebih rendah, ada
manfaatnya ke parameter reproduksi lainnya (mis. awal dari aktivitas reproduksi
tahunan, peningkatan siklus dan tingkat beranak), tetapi tidak ada peningkatan yang
signifikan dalam fekunditas domba betina (Heasman et al., 1998).

Diet peningkatan energi yang sama juga harus diberikan selama tahap awal
musim kawin. Ada dua manfaat: (i) hewan yang belum bunting selama siklus
pertama musim estrus, dipertahankan dalam kondisi tubuh yang baik dan (ii) hewan
yang dikandung, memiliki resiko kematian embrionik dini lebih rendah (Parr et al.,
1982). Di sisi lain, nutrisi yang tidak memadai, khususnya dalam energi, sekitar
musim kawin, menekan kinerja reproduksi ekstensif (Hill Farming Research
Organisasi, 1979) atau intensif (Orskov, 1982) manajemen domba. Asupan energi
yang tidak memadai pada periode itu menyebabkan berkurangnya aktivitas siklik,
berkurangnya tingkat ovulasi dan kelangsungan hidup ovum suboptimal, serta
peningkatan risiko awal kematian embrio (Gunn, 1967).

4.2. Manajemen nutrisi dari kedua ke keempat bulan kebuntingan

Selama 100 hari pertama kebuntingan, ada yang pertumbuhan fetusnya


lambat (Blanchart dan Sauvant, 1974; Economides, 1981). Selama bulan kedua
kebuntingan, saat perlekatan foetus telah terbentuk dan pertumbuhan plasenta telah
selesai, foetus dapat memperoleh hingga 15–25% berat badan pada saat dilahirkan.
Selama periode itu, penggemukan pada hewan bunting harus dibatasi, tetapi,
sebaliknya, penurunan berat badan yang berlebihan dapat membahayakan domba
betina untuk mengembangkan toksaemia kebuntingan. Persyaratan protein hewan
dapat sepenuhnya tercakup jika proporsi protein total konten dalam ransum pada
tahap kebuntingan lebih dari 8% per konten pakan kering yang disediakan (Cannas,
2004).

Pada saat itu, skor kondisi tubuh hewan harus ‘2 ' '2½' pada skala lima poin.
Nutrisi juga dibutuhkan untuk pertumbuhan plasenta, rahim, kelenjar susu dan
tubuh cadangan hewan bunting. Plasenta memiliki peran penting dalam
memastikan bahwa foetus akan menerima persediaan nutrisi yang optimal, tetapi
pakan berlebih selama pertengahan kebuntingan dapat menyebabkan pembatasan
ukuran plasenta, karenanya berat badan anak domba kurang optimal saat lahir
(McDonald et al., 2011). Dampak utama ukuran plasenta pada berat foetus di
domba telah ditunjukkan dengan jelas menggunakan teknik carunclectomy, yang
menghasilkan plasenta dan fetus retardasi pertumbuhan (Owens et al., 1995).
Proliferasi maksimal pertumbuhan plasenta terjadi antara 50 dan 60 hari
kebuntingan (Ehrhardt dan Bell, 1995) dan berat plasenta biasanya memuncak pada
pertengahan kebuntingan (Shneider, 1996). Sejumlah penelitian telah menunjukkan
nutrisi yang terbatas pada awal hingga pertengahan kebuntingan dapat menghambat
optimal pertumbuhan plasenta (McGrab et al., 1992; Kelly et al., 1992; Clarke et
al., 1998). Beberapa penelitian telah menentukan apakah perubahan nutrisi yang
dimediasi dalam pertumbuhan plasenta bisa meluas ke istilah atau apa dampaknya
pada konformasi dari baru lahir. Namun, di mana pengukuran tersebut telah
dilakukan dilakukan, hasil yang diperoleh pada jangka waktu telah dikacaukan
dibandingkan dengan peningkatan kompensasi nutrisi domba betina dibandingkan
dengan kontrol selama paruh kedua kebuntingan (McGrab et al., 1991). Clarke et
al. (1998) telah menunjukkan hal itu memberi makan domba betina dengan fetus
tunggal mendekati setengahnya kebutuhan energi antara 30 dan 80 hari kebuntingan

Secara signifikan mengurangi berat rata-rata individu plasentom dan berat


total komponen fetus dari plasenta. Selain itu, efek dari domba betina bunting '
pembatasan nutrisi tidak terbatas pada plasenta, tetapi, juga, memiliki pengaruh
signifikan terhadap tiroid plasma mereka konsentrasi hormon, meskipun tidak ada
perubahan konsentrasi plasma glukosa dan asam lemak bebas.

4.3 Manajemen domba betina selama bulan akhir kebuntingan


Selama tahap akhir kebuntingan, fetus bisa berkembang cepat, untuk
memperoleh hingga 75-80% berat kelahiran. Karenanya, kebutuhan energi domba
betina bunting meningkat secara progresif, pada masa akhir kebuntingan. Pada
bulan terakhir kebuntingan, kebutuhan protein hewan saat bunting juga harus
meningkat, karena kebutuhan fetus dan untuk mempersiapkan kolostrum pada
kelenjar susu. Karena itu, penting agar domba betina bunting diberi tinggi protein,
pakan mudah dicerna; proporsi dari kandungan protein total ransum dapat
ditingkatkan hingga 10% (per pemberian bahan kering). Idealnya, skor kondisi
tubuh dari domba betina seharusnya ‘2½ 'hingga 3½' satu bulan sebelum
melahirkan dan ‘2’ hingga ‘2½’ saat melahirkan (Cannas et al., 2004).

Stres meningkat selama akhir kebuntingan, terutama untuk domba betina


mengandung banyak fetus (Economides dan Louca, 1981). Kebutuhan energi fetus
pada tahap akhir kebuntingan telah dihitung 1,5 MJ ME per kg fetus per hari (Hill
Farming Research Organisation, 1979). Ini berarti bahwa 50 kg induk domba
membawa kebutuhan energi sekitar 2,5–3 kali dari domba yang tidak bunting.
Namun, tidak diusulkan untuk membahas secara lengkap, seperti penyediaan energi
25% lebih sedikit akan mengurangi berat badan lahir dari domba yang hanya 10%,
yang dapat diterima secara biologis dan pertimbangan ekonomi (Hill Farming
Research Organisasi, 1979). Namun, pemberian energi tingkat rendah selama
kebuntingan akan menyebabkan toksaemia kebuntingan (Morand-Fehr dan
Sauvant, 1978; Economides dan Louca, 1981). Di sisi lain, pakan yang tinggi energi
selama kebuntingan juga dapat menyebabkan gangguan yang sama (Orskov, 1982),
serta distokia karena disproporsi fetomaternal berlebihan.

Pakan yang diberikan seharusnya kualitas bagus, kuantitas yang mungkin di


konsumsi domba betina bunting terbatas. Secara progresif, kuantitas pakan hijauan
seharusnya diturunkan, sementara itu konsentrat seharusnya dinaikan. Pada tahap
itu, hewan juga secara bertahap pemberian pakan dikurangi, karenanya ketentuan
diet tinggi energi adalah penting.

Manajemen nutrisi selama periode itu bertujuan menentukan untuk (i)


pencegahan toksaemia kebuntingan dan penyakit metabolik lain selama periode
peri-partum (misalnya., hipokalsemia, hipomagnesemia), (ii) pembentukan
kolostrum dalam jumlah dan kualitas yang sesuai, (iii) produksi anak domba dengan
berat badan lahir normal dan (iv) dukungan peningkatan produksi susu selama
laktasi selanjutnya.

Selama awal hingga pertengahan kebuntingan, hewan penggembalaan tidak


memiliki persyaratan tambahan untuk dicakup. Seringkali, ini mungkin ditutupi
hanya melalui konsumsi yang kecil kuantitas konsentrat digabungkan dengan
asupan merumput mereka. Karena itu, skor kondisi tubuh mereka biasanya
memuaskan, jika kemungkinan merumput tersedia. Namun, dalam bulan musim
dingin, ketika ketersediaan herba di padang rumput menurun, pakan tambahan
harus diberikan kepada hewan (McDonald et al., 2011).

Pada sistem produksi intensif, pakan diformulasikan berdasarkan pada


kebutuhan nutrisi hewan dan nilai nutrisi dari pakan yang disediakan, untuk
memenuhi kebutuhan harian dari hewan. Dalam kondisi seperti ini, asupan pakan
pada domba bisa diukur dengan mudah dan pemberian pakan yang tepat dapat
dilakukan; sebagai contoh, domba betina dapat diberi pakan sesuai dengan jumlah
fetus yang mereka kandung atau sesuai dengan skor kondisi tubuh atau usia.
Bocquier dkk (1995) miliki dipertimbangkan bahwa alokasi domba menjadi
kelompok akan menjadi terbaik cara untuk manajemen nutrisi bunting yang benar
domba betina dalam sistem intensif.

Di sapi perah, telah didokumentasikan menghasilkan susu dari hewan dapat


ditingkatkan dengan memberi makan energi yang meningkat kuantitas selama tahap
akhir kebuntingan. Ini mengarah ke membangun cadangan tubuh, yang selanjutnya,
selama menyusui, akan dinyatakan sebagai peningkatan produksi susu (Morand-
Fehr dan Sauvant, 1980; Skjevdal, 1982). Untuk mencatat, bahwa dalam kondisi
seperti itu suplementasi protein akan juga diperlukan.

Baru ini, Tedeschi dkk (2010) telah mengusulkan model mekanistik yang
memprediksi kebutuhan nutrisi dan nilai biologis pakan untuk domba (Cornell Net
Karbohidrat dan Sistem Protein ® , CNCPS-S; Universitas Cornell, Ithaca,
AMERIKA SERIKAT). Model itu menyarankan kebutuhan kebuntingan terpenuhi
paling baik ketika energi yang dimetabolisasikan untuk kebutuhan kebuntingan
diperkirakan dengan menggunakan rekomendasi dan model yang diterbitkan oleh
Agriculture Research Council (1980), karena ini diadopsi oleh Agriculture and
Food Research Council (1993) dan dimodifikasi oleh Commonwealth Scientific
and Industrial Research Organisation (1990, 2007). Begitu pula dengan
metabolisme protein untuk kebutuhan kebuntingan bisa dihitung dengan
menggunakan rekomendasi dari Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organisation (1990, 2007), yang juga berasal dari rekomendasi Agriculture
Research Council (1980).

Menurut model dari Tedeschi dkk (2010), energi yang dimetabolisasikan


untuk domba betina bunting, dari hari ke-63 dari kebuntingan untuk beranak dapat
dihitung dengan cara berikut

4.4.Nutrisi domba betina bunting dan program fetus

Kekurangan gizi betina bunting dapat memicu mekanisme, yang dapat


mempengaruhi risiko penyakit pada domba yang baru lahir. Sekarang, ada banyak
literatur yang diterapkan pada manusia (Fleming et al., 2004) dan topik tersebut
juga sedang dibahas di artikel lain dalam edisi khusus ini (Fleming et al., ini isu),
karenanya sedikit perincian, khususnya yang berkaitan dengan domba, akan
dibahas di sini.

Kekurangan gizi domba betina, dari 60 hari sebelum hingga 30 hari setelah
kawin, mengubah lintasan pertumbuhan fetus (Oliver et al., 2005) respon terhadap
kekurangan gizi (Harding et al., 1997), insulin respon terhadap suplementasi
glukosa (Oliver et al., 2001) dan respon ACTH terhadap penurunan umpan balik
negative (Bidang Bloom et al., 2004), dengan beberapa efek ini mungkin bertahan
pada hewan yang baru lahir juga (Todd et al., 2009). Gizi buruk, dari 45 hari
sebelum hingga 7 hari setelah kawin, mengarah untuk perubahan dalam hubungan
antara perubahan berat domba betina bunting dan berat plasenta (McLaughlin et al.,
2005), sementara kurang gizi dari kawin hingga 30 hari setelah itu mengubah
hipofisis, adrenal (Gardner et al., 2006) dan kardiovaskular fungsi domba yang baru
lahir (Gardner et al., 2004).

Tidak memadai nutrisi selama kebuntingan mengarah ke pembatasan


pertumbuhan intrauterine, yang, pada domba, mungkin menjadi dicegah dengan
suplementasi nutrisi intravena atau intragastrik pada fetus (Charlton dan Johengen,
1985, 1987), tetapi tidak dapat dibalik begitu didirikan (Eremia et al., 2007).
Apalagi kekurangan gizi domba betina bunting menyebabkan pembatasan
pertumbuhan fetus, karena hasil penurunan konsentrasi fetus insulin-seperti faktor
1-pertumbuhan (Oliver et al., 1996). Dengan demikian telah didalilkan bahwa
pertumbuhan fetus selama akhir kebuntingan bergantung pada ‘Glukosa / insulin /
insulin-seperti faktor 1-pertumbuhan, meskipun Sebuah rute paraplacental, melalui
cairan amniotik, juga telah dilakukan dipertimbangkan. Menurut model yang
terakhir, fetus menelan ketuban cairan (Harding et al., 1984), menggunakan nutrisi
dan faktor pertumbuhan yang dicerna (Pitkin dan Reynolds, 1975; Phillips et al.,
1991; Bloom Field, dkk., 2002a). Faktanya, ligasi esophagus pada fetus domba
menyebabkan pembatasan pertumbuhan intrauterin (Kimble et al., 1999),
sementara suplementasi nutrisi intragastrik langsung mencegah kondisi, bahkan
dengan adanya hambatan nutrisi domba betina bunting (Charlton dan Johengen,
1985), seperti halnya suplementasi cairan amnion dengan insulin- seperti faktor 1
pertumbuhan (Bloomfield et al., 2002b).

5. Manajemen Kesehatan Ambing

Faktor utama selama kebuntingan melibatkan proses involusi pada


komponen utama fisiologi kelenjar mamae selama masa menyusui dan kebuntingan
berlangsung. Tujuan dari manajeman kesehatan ambing yang efektif pada periode
tersebut adalah : 1. Untuk menyembuhkan infeksi yang telah terjadi selama laktasi.
2. Untuk mencegah perkembangan infeksi mamae baru selama periode kering.
Dalam domba perah menyusui, staphylococci (stapylochocci coagulase negatif dan
stapgylococcus aureus) merupakan proporsinter besar bisa dari agen etiologi
mastitis subklinis, yang menyebabkan kekurangan produksi susu (Fthenakis dan
Jones,1990:Saratsis et al.,1999). Staphylococci dan Arcanobacterium pyogenes
adalah agen penyebab paling sering dari maskulin pada betina selama periode
kering (Saratsis et al., 1998;mecha-Spanu et al.,2011).

Infeksi mamae meningkat selama dua minggu pertama sejak periode kering
(Barkemaet al. 1998;Satratsis et al., 1998) peningkatan resiko infeksi ini telah
dikaitan dengan pertahanan kelenjar mamae yang terganggu selama periode itu
disfungsi neutrofil, depresi fungsi limfosit dan penurunan produksi sitokin telah
disarankan sebagai alasan yang mungkin sebagai meningkatkan resiko infeksi
kelenjar mammae kering. Infeksi subklinis yang telah terjadi selama laktasi, juga
dapat menyebabkan rekurensi penyakit klinis pada dan dimulainya periode kering,
sebagai akibatnya dapat berkurangnya pertahanan kelenjar mamae hewan
(Fthenakis dan Jones,1990).

Langkah pertama untuk manajemen domba betina bunting yang efektif


adalah pemeriksaan klinis menyeluruh dari kelenjar mammae pada akhir laktasi ini
akan membantu mengidentifikasi domba betina yang harus dimusnahkan. Ambing
dari semua domba betina dalam kelompok harus di periksa dengan palpasi,
sementara domba harus dikumpulkan satu ras (Srastsis et al.,1998). Jika dicurigai
adanya abnormalitas mammae, hewan dapat diperiksa secara individual , sempel
sekresi mammae juga dapat dikumpulkan untuk pemeriksaan mikrobiologis
(Fthenaskis,1994; Saratsis et al., Mavrogianni andet al.2005). kekerasan difusi,
abses, dan nodul dikelenjar susu merupakan hasil klinis yang paling umum selama
pemeriksaan tersebut (Saratsis et al., 1998).

Berikut ini adalah kategori hewan betina yang harus dipertimbangkan untuk
disisihkan : (i) hewan yang terkena dampak kronis, (ii) hewan yang telah
menunjukkan gejala mastitis selama laktasi berlangsung, (iii) hewan yang satu
kelenjar susunya rusak secara permanen, dan (iv) hewan yang belum sepenuhnya
merespon pengobatan mastitis selama masa menyusui berlangsung. Manfaat
penyisihan hewan : (i) rendahnya biaya veteriner untuk pengendalian mastitis di
lingkungan, (ii) penghapusan sumber infeksi potesial untuk hewan lain dalam
lingkungan, dan (iii) rendahnya jumlah sel somatik masal dalam laktasi berikutnya
(Mavroginni et al.,2011). Terlebih lagi, pada beberapa kelahiran dari domba betina
adanya lesi mammae yang luas tetapi tidak berkembang dengan baik oleh karena
itu dapat dengan memberikan makanan tambahan yang sehat (Fthenakis dan
Jones,1990).

Selanjutnya, pemberian agen antimikroba intramammae harus dilakukan


pada hewan yang akan menyebabkan agen intramammae pada akhir laktasi lebih
efektif dalam mengurangi resiko infeksi mammae, postpartum pada domba perah
dan dalam beberapa kasus mengarah pada penurunan jumlah sel somatik massal
(Hueston et al.,1989; Chaffer et al., 2003; Gonzalo e al., 2004; Scwimmer et al.,
2008; Spanu et al., 2011). Prosedur ini sama manfaatnya pada domba betina pada
sistem produksi jenis daging kambing (Hendy et al.,1981). Prinsip pemberian
antibiotik pada akhir laktasi bergantung pada pemberian persiapan intramammae
satu kali, pada kedua kelenjar mammae semua domba putingnya setelah desinfeksi.
Dapat menerapkan kondisi kebersihan yang baik, seperti penghentian laktasi
setelah pemberian antibiotik yang benar dan lengkap sangat penting untuk prosedur
keberhasilan. Pemberian atibiotik yang strategis pada domba betina, pada akhir
laktasi, juga telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi kejadian mastitis
postpartum (Croft et al., 2000). Meskipun berbagi produk dilisensikan untuk
administrasi hewan betina, idealnya , produk paparan untuk administrasi harus
dipilih pada hasil pengujian kerentanan bekteri (Constable dan Morin,2003:
Mavroginni et al., 2011) diisolasi dari sampel sekresi induk domba betina yang
diperiksa secara individual, seperti yang dijelaskan diatas.

Hasilnya tampak ada kurangnya bukti mengenai efek dari metode


penghentian laktasi yaitu, penghentian laktasi secara tiba-tiba yang dipraktikan
dalam sistem produksi domba tipe kambing versus penghentian laktasi progresif
yang sering terjadi dalam sistem produksi susu, yang bertujuan untuk meningkatan
produksi susu total hewan pada infeksi kelenjar mammae berikutnya dalam
perkembangan bakteri. Namun, hasil penelitian terbaru tidak mendukung hipotesis
bahwa prosedur yang diikuti untuk pengeringan dapat meningkatkan resiko infeksi
kelenjar mammae selama periode kering dan setelah periode melahirkan (Petridis
et al., 2011).

6. Manajemen aborsi

Pada domba, aborsi mengacu pada keluarnya fetus sebelum hari ke 135
kebuntingan, setelah itu domba yang baru lahir biasanya mampu bertahan hidup.
Aborsi adalah masalah yang signifikan pada wanita bunting dan merupakan sumber
utama kerugian finansial. Risiko timbulnya kasus aborsi <5% selama satu musim
dianggap dapat diterima, sementara risiko <2% sangat baik; berulang, tahun demi
tahun, tingkat aborsi antara 2% dan 5% menunjukkan adanya penyakit endemik
tersebut (Menzies, 2007a).

Sebagian besar kasus aborsi adalah etiologi mikroba; berbagai agen non-
infeksi (misalnya, stresor, agen farmasi, faktor gizi) juga telah diidentifikasi
menyebabkan aborsi pada domba betina, tetapi tidak sering terjadi (Edmondson et
al., 2002). Secara umum, penyebab aborsi yang paling umum pada domba adalah
sebagai berikut: Brucella melitensis, Campylobacter fetus sub sp. fetus,
Chlamydophila abortus, Coxiella burnetti, Toxoplasma gondi dan Border Disease
Virus ( penyakit virus perbatasan) yang kurang penting dapat berupa berbagai
bakteri lain (misalnya, Salmonella spp., Mycoplasma spp., Leptospira spp.) dan
virus. Oleh karena itu, kontrol awal kasus aborsi dapat mencegah 'menyerang'
aborsi berikutnya. Dalam kasus seperti itu, seseorang menghadapi dua masalah: (i)
untuk menetapkan diagnosis yang akurat dari agen penyebab dan (ii) untuk
mengendalikan penyakit. Diagnosis penyebab tidak dapat dicapai dalam semua
kasus dan, seringkali, beberapa kasus tetap tidak terdiagnosis (Linklater, 1979;
Kirkbride, 1993). Secara umum, di katakan bahwa 10 kasus aborsi pertama yang
terjadi pada musim kawin harus diselidiki secara terperinci, sementara, setelah itu
hanya 10% kasus yang harus diselidiki (Mavrogianni dan Brozos, 2008).

Diagnosis kasus aborsi harus dimulai dengan riwayat yang terperinci, yang
berkaitan erat dengan masalah aborsi, karena tidak jarang kasus kematian saat lahir
dilaporkan sebagai aborsi. Poin-poin tertentu dapat dujadikan informasi berharga
dan memfasilitasi diagnosis; misalnya, kejadian aborsi mungkin lebih tinggi pada
kelompok usia tertentu atau pada berbagai tahap kebuntingan. Faktor lainnya untuk
diagnosis kausatif yaitu meliputi jumlah fetus yang di lahirkan per betina,
kemungkinan pengenalan hewan pengganti di peternakan, rincian vaksinasi dan
nutrisi, paparan tanaman beracun atau obat-obatan dan temuan abnormal pada
hewan yang telah digugurkan, sebelum, selama atau setelah aborsi (Menzies, 2011).

Betina yang telah abortus harus diisolasi dan hasil aborsi harus dihancurkan
dengan cara dibakar. Hewan yang sehat harus diperiksa terlebih dahulu, sambil
memastikan tidak ada kontak dengan hewan yang pernah digugurkan. Peternak
yang memiliki hewan terinfeksi disarankan untuk mengenakan pakaian pelindung
sebelum memasuki area betina bunting yang sehat. Jika pada hewan yang abortus,
perlu diperah atau dikawinkan selama musim kawin berikutnya, mereka harus tetap
diisolasi setidaknya selama tiga minggu. Jika di lakukan pemusnahan , harus
dikirim langsung ke rumah potong, sehingga menghindari kontak dengan hewan
sehat.

Penyebab aborsi dapat diketahui hanya setelah pemeriksaan laboratorium


yang sesuai. Ini tergantung pada pemilihan sampel yang benar, yang harus
mencapai laboratorium dalam keadaan dapat dilakukan pemeriksaan. Dianjurkan
untuk membawa sampel dengan riwayat kasus yang singkat. Secara umum, bahan
berikut berguna dalam mendukung diagnosis agen penyebab masalah: (i)
setidaknya dua kotiledon dengan plasenta intercotyledonary dari betina yang
abortus, (ii) foetus dari betina yang abortus , (iii) ) seluruh sampel darah atau serum
dari domba betina yang telah abortus dan (iv) lendir dari betina yang telahabortus.
Bahan untuk pemeriksaan mikrobiologis harus dikumpulkan dan dikemas secara
terpisah dalam wadah steril. Bahan untuk pemeriksaan histopatologis dapat diatasi
dalam larutan formalin 10%. Dalam semua kasus, pembekuan harus dihindari.

Secara umum, penyakit abortus dapat dikontrol dengan baik melalui


vaksinasi, paling baik dilakukan sebelum awal musim kawin. vaksinasi
betinabunting, di depan 'menyerang' aborsi dibahas dalam artikel lain dalam edisi
khusus ini (Menzies, edisi ini), oleh karena itu tidak perlu dijabarkan di sini.

Dalam masalah kelompok penyakit aborti yang terkonfirmasi, di mana


vaksinasi belum dilakukan, mungkin ada kebutuhan untuk administrasi strategis
agen kemoterapi. Sebagai contoh, perubahan dengan masalah C. Abortus yang
berlaku, dimulai setelah 80 hari kebuntingan pemberian oksitosin long-acting pada
tingkat dosis 20 mg per kg berat badan dan diulang setiap tiga minggu, secara
signifikan akan mengurangi risiko aborsi, meskipun ada beberapa persetujuan
apakah beberapa perawatan dibenarkan (Menzies, 2011). Meskipun oxytetracycline
efektif dalam pengendalian wabah yang disebabkan oleh C. burnetii, literatur
tentang nilai pemberian obat yang tepat dalam penyakit terinfeksi, yang tidak
divaksinasi bertentangan (Sahin). et al., 2008; Angelakis dan Raoult, 2010). Pada
kelompok yang tidak divaksinasi, di mana toksoplasmosis telah didiagnosis,
kontrol dapat dikelompokkan melalui pemberian obat profilaksis selama
kebuntingan; pemberian monensin pada tingkat dosis 16,8 telah terbukti
mengurangi kerugian (Buxton et al., 1988mg per hari setiap hari), sementara
pemberian dekoquinate pada tingkat 2 mg per kg berat badan setiap hari selama 14
minggu terakhir kebuntingan juga dapat untuk mengurangi risiko aborsi yang
disebabkan oleh T. gondii (Buxton et al., 1996); terakhir, sulfadimidin diberikan
dalam berbagai tingkat dosis, tunggal atau dalam kombinasi dengan baquiloprim,
trimethoprim atau pirimetamin, juga telah terbukti efektif dalam mengendalikan
risiko aborsi karena toksoplasmosis (Buxton et al., 1993; Giadinis et al., 2011a).

7. Manajemen Infeksi Parasit

Parasit pada gastrointestinal merupakan kendala penting pada produksi


domba yang menyebabkan kerugian yang signifikan (Jackson and Coop, 2007).
Kontrol parasite gastrointestinal sebagian besar bergantung pada perawatan dengan
obat cacing. Di sisi lain, perawatan harus dilakukan dengan pemilihan obat dengan
strain minimum untuk mencegah terjadinya resisten terhadap antihemintik.
Perawatan berkelanjutan yang ditergetkan dengan perlakuan selektif pada hewan
beresiko, perlakuan sistematis diberikan pada sekelompok hewan lain yang
mendukung pemeliharaan reservoir yang peka terhadap petumbuhan cacing.
Keuntungan dari penggunaan antihelmintik sangat bergantung pada beberapa faktor
dan waktu pemberian (Cringoli et al., 2008). Juste-Jordan and Garcia-Perez (1991)
membuktikan bahwa peningkatan waktu pemberian dapat menghasilkan
peningkatan sebanyak 9% pada produksi susu. Pada iklim sedang di Eropa selatan,
domba dapat terinfeksi oleh parasite gastrointestinal hampir sepanjang tahun,
mereka terinfeksi dengan parasite pada stadium infektif selama masa
pengembalaan.

Waktu yang paling baik untuk pemberian antihelmintik pada domba betina
adalah saat sebelum kawin. Beberapa jenis antihelmintik dapat diberikan pada
waktu ini. Hasil percobaan menunjukkan bahwa menghilangkan/mengurangi obat
antihelmintik pada masa perkawinan dapat meningkatkan kesuburan. Garcia-Perez
et al. (2002) mengamati bahwa rata rata tertinggi (>95%) yang diperoleh selama
hewan diberikan antihelmintik sebelum kawin karena mengalami peningkatan
kesuburan selama 30 hari pertama setelah domba betina masuk ke kandang, artinya
pemberian antihelmintik sebelum perkawinan menghasilkan efek yang positive
pada peningkatan berat badan domba betina sebelum perkawinan. Oleh sebab itu
control cacing sebelum perkawinan memberikan efek yang mirip dengan ‘flushing’
(Venter and Greyling, 1994). Oleh karena itu pengobatan harus dilakukan selama
atau segera mungkin setelah masa perkawinan , obat obat yang dapat digunakan
yaitu levamisole, macrocyclic lactones, monepantel (an amino-acetonitril derivate)
atau derquantel (golongan spiroindol), jika diperlukan dapat dikombinasi dengan
tremocide. Benzimidazol tidak dapat dijadikan sebagai pilihan obat karena
komposisinya yang dilaporkan dapat menyebabkan embryotoxic yang memicu
tertogenik (Braun, 1997). Oleh karena itu ada kesempatan untuk menghindari
penggunaan benzimidazole (Gibson, 1980; Gottschal et al., 1990; Navarro et al.,
1998).

Pengobatan antiparasit pada domba betina selama masa kebuntingan dapat


digabungkan dengan manajemen kesehatan di flock (kendang) selama domba
tersebut peka terhadap efek dari parasite (Coop and Jackson, 2000). Interaksi antara
parasite dan aktivitas reproduksi terjadi melalui periparturient rise pada telur cacing
yang keluar, yang dikaitkan dengan kehilangan reistensinya pada akhir kebuntingan
dan awal laktasi (Dunsmore, 1965). Penemuan dari Houdijk et al. (2003) bahwa
pada domba yang sedang laktasi , produksi susu lebih diutamakan daripada
pengurangan jumlah cacing. Oleh karena itu , pengobatan pada domba di tahap ini
dapat menghilangkan cacing (sehingga meningkatkan potensi produksi untuk
domba) dan mencegah pertumbuhan parasite di lingkungan (dengan demikian,
mengurangi infeksi domba selama periode neonatal mereka). Pengobatan yang
efektive pada domba yang bunting menggunakan obat obat dengan aktivitas yang
persisten, yang dapat juga meningkatkan berat badan anak serta menigkatkan
produksi susu (sampai 44%) selama masa laktasi (Juste-Jordan and Garcia-Perez,
1991;Fthenakis et al., 2005; Cringoli et al., 2008).

Pilihan dari antihelmintic nematoda yang dapat digunakan pada masa itu
meliputi benzimidazole, macrocyclic lactones, monepantel (derivat amino-
acetonitril) atau derquantel (gologan spirondole), mungkin dikombinasi dengan
dengan obat trematocide (contoh: triclabendazole, closantel, rafoxanide atau
albendazole dengan dosis 20 mg per kg BB) jika diperlukan. Tentunya, pilihan obat
yang akan digunakan harus mempertimbangkan kelas kelas dari antihelmintic
untuk meminimalkan resistensi. Levamisole pernah dilaporkan berpotensi
menyebabkan aborsi jika diberikan pada akhir kebuntingan (Braun, 1997),
karenanya lebih baik dihindari.

Pada akhirnya, perlu dicatat bahwa, sebagai aturan umum, dalam iklim
sedang yang berlaku di negara-negara Mediterania ada dua perawatan antihelmintic
setiap tahunnya (yaitu, sebelum kawin dan pada akhir kebuntingan) sebagai pilihan
paling efektif untuk perlindungan strategis domba terhadap cacing.

8. Vaksinasi

Vaksinasi domba betina bunting bertujuan untuk memastikan kesehatan


hewan-hewan ini, serta keturunan mereka di awal tahapan kehidupan mereka
(Mobini et al., 2002). Infeksi klostridial merupakan masalah kesehatan yang
signifikan pada domba dan vaksinasi anti-klostridial, kebanyakan sering dilakukan
selama bulan terakhir kebuntingan, akan berkontribusi signifikan terhadap
perlindungan domba yang divaksinasi, serta keturunan mereka (Lewis, 2011). Di
dunia internasional, vaksin anti-klostridial yang sangat beragam dilisensikan untuk
digunakan pada domba. Beberapa di antaranya multivalen, sementara yang lain
terdiri dari beberapa antigen clostridial, terutama Clostridium perfringens.

Vaksin multivalen bertujuan untuk melindungi, kecuali untuk Cl. infeksi


perfringens, juga terhadap Cl. septicum, Cl. novyi (tipe B dan D), Cl. tetani dan Cl.
chauvoei (Lewis, 2011). Beberapa tahun ini, Cl. sordellii juga telah diidentifikasi
sebagai penyebab kematian pada domba yang baru lahir dan hewan dewasa,
beberapa vaksin sekarang termasuk antigen Cl. sordellii (Vatn et al., 2000; Clark,
2003). Vaksinasi betina bunting terhadap clostridiosis harus dilakukan 20-40 hari
sebelum dimulai dari musim beranak, untuk mencapai peningkatan titer antibodi
di kolostrum hewan yang divaksinasi untuk perlindungan domba yang baru lahir,
sebagai kekebalan utama mekanisme infeksi klostridial adalah imunitas humoral.
Untuk dicatat bahwa domba betina yang belum beranak dalam waktu tiga bulan
setelah vaksinasi anti-klostridial terakhir harus divaksinasi ulang (Blackwell et al.,
1983; Uzal et al., 1999; Giadinis et al., 2011b; Lewis, 2011)
Infeksi dari Manheimia haemolytica dapat menyebabkan kematian pada
domba baru lahir, oleh karena itu, vaksinasi betina bunting dapat bermanfaat,
terutama karena banyak faktor risiko penyakitnya tidak bisa dihindari.
Penggabungan vaksin protein yang diatur zat besi yang dihasilkan oleh organisme
penyebab yaitu terbaik untuk digunakan dan mereka memberikan perlindungan
silang terhadap semua isolat M. haemolytica dan Bibersteinia trehalosi (Scott,
2011). Perlu dicatat bahwa vaksinasi domba betina yang bunting memberikan
kekebalan kepada anak domba hingga Minggu ke-5 kehidupan mereka setelah
dipelihara perlu divaksinasi untuk perlindungan lengkap. Vaksinasi untuk
perlindungan terhadap infeksi M. haemolytica dapat dikombinasikan dengan
vaksinasi anti-klostridial (Donachie, 2009; Sargison, 2009). Namun demikian,
untuk memaksimalkan perlindungan yang diberikan oleh vaksinasi, faktor
predisposisi penyakit (mis., ventilasi yang tidak sesuai, kepadatan kandang dll.)
perlu juga dihapus (Giadinis dan Petridou, 2008; Donachie, 2009; Sargison, 2009).

Ecthyma menular ("orf"), yang disebabkan oleh virus Orf, juga bisa dicegah
dengan vaksinasi domba betina bunting, terutama dikawanan dengan peningkatan
risiko kejadian penyakit pada domba atau peningkatan angka kematian domba
karena infeksi bakteri sekunder. Secara umum, studi lapangan telah dikonfirmasi
bahwa vaksinasi tahunan betina bunting pada bulan sebelumnya melahirkan
dengan menggunakan vaksin yang dilemahkan, cukup memadai perlindungan
domba yang baru lahir (McKeever dan Reid, 1987; Giadinis et al., 2007; Stampoulis
et al., 2010), meskipun kegagalan vaksinasi juga dapat terjadi (Buddle et al., 1984).

Agalactia menular, yang disebabkan oleh Mycoplasma agalactiae dan


mikoplasma lainnya adalah masalah kesehatan yang umum di negara para-
Mediterania (De la Fe et al., 2005). Kontrol penuh terhadap penyakit dapat dicapai
dengan menggabungkan kebersihan, tindakan biosekuriti dan vaksinasi yang efektif
(Madanat et al., 2001; Buonavoglia et al., 2010; Fragkouet al., 2011). Vaksinasi
harus dilakukan selama masa kebuntingan, untuk memberikan kekebalan pada
hewan betina, juga bagi anak domba-domba, karena kekebalan humoral sangat
penting untuk agalaktia menular (Chessa et al., 2009).
Betina bunting tidak dapat divaksinasi dengan vaksin yang dilemahkan,
terutama vaksin terhadap agen abortifacient, mis., B. melitensis (Stournara et al.,
2007; Samadi et al., 2010), C. abortus (Aitken, 2000) atau T. gondii (Giadinis et al.,
2011), karena ini akan menyebabkan aborsi. Karena itu, hanya vaksin dinonaktifkan
yang dapat digunakan. Vaksin sel utuh yang tidak aktif adalah tersedia untuk
melindungi terhadap infeksi C. abortus dan mungkin diberikan kepada betina
bunting, mengingat wabah infeksi. Kemungkinan vaksinasi domba betina bunting,
didepan ‘badai’ aborsi akan didiskusikan di lain artikel pada isu special (Menzies,
isu ini), karenanya disini tidak dibutuhkan elaborasi.

9. Pencegahan gangguan metabolisme: kebuntingan toksaemia, hipokalsemia


9.1 Kontrol toksaemia kebuntingan

Toksemia kebuntingan ("penyakit kembar-domba") adalah gangguan


metabolisme domba betina yang bunting, disebabkan oleh metabolisme karbohidrat
dan lemak abnormal, yang terjadi pada tahap akhir kebuntingan. Pengobatan
toksaemia kebuntingan, serta manajemen kawanan mana kasus penyakit telah
didiagnosis, baru-baru ini dijelaskan secara rinci (Brozos et al., 2011). Untuk
meningkatkan pencegahan penyakit, terutama di peternakan dengan faktor risiko
penyakit yang ada, domba betina idealnya harus dialokasikan ke awal dan akhir
kelahiran kelompok berdasarkan catatan perkawinan. Apalagi binatang dapat dibagi
lagi menjadi betina yang mengandung satu foetus dan betina melahirkan banyak
feotus (Sargison, 2007), seperti yang ditetapkan dalam diagnosis kebuntingan
(Bagian 3.2 dan 3.3). Ini memungkinkan peningkatan manajemen nutrisi selama
tahap terakhir kebuntingan (Bagian 4.3), serta administrasi perawatan antelmintik
(Bagian 7) dan vaksinasi (Bagian 8) pada titik waktu yang paling tepat. Sampel
domba betina yang representatif (sekitar 20% hewan) harus dievaluasi untuk
menilai kondisi skor tubuh. Idealnya, skor kondisi tubuh domba betina harus ‘2½ '
hingga ‘3½ one satu bulan sebelum beranak dan‘ 2 hingga ½ 2 ½ 'saat lambing
(Cannas et al., 2004). Betina kurus (skor kondisi tubuh ≤‘2 ’) harus diberikan
pemberian makan energi tinggi tambahan dan kondisi mereka harus dievaluasi
kembali setiap dua minggu.
Hewan yang berisiko terkena toksemia kebuntingan bisa diidentifikasi
dengan mengukur konsentrasi β-hidroksibutirat dalam darah mereka selama enam
hingga empat minggu terakhir kebuntingan, terutama sebagai teknik pengukuran
cepat sekarang tersedia (Panousis et al., 2012). Jika jumlah fetus yang dibawa
belum diidentifikasi, nilainya 0,8 mmol L-1 harus dipertimbangkan untuk
membedakan hewan yang berisiko mengalami gangguan. Kalau tidak, jika jumlah
fetus yang dibawa telah ditentukan, maka - Konsentrasi hidroksibutirat harus diukur
saja dalam darah hewan yang membawa banyak fetus; di dalam hal ini, nilai batas
yang akan digunakan untuk mengidentifikasi hewan yang berisiko adalah 1,1 mmol
L-1 (Sargison, 2007; Braun et al., 2010). Jika kendala keuangan atau tenaga kerja
menghalangi pemeriksaan semua hewan seperti di atas, maka periksa sekitar 20%
hewan masih akan memberikan gambaran berharga tentang situasi kawanan. Jika
pengukuran darah tidak layak, pengukuran semi-kuantitatif dalam urin dengan
menggunakan dipstick dapat diadvokasi, tetapi hasilnya harus dipertimbangkan
dengan saksama. Hewan ditemukan memiliki peningkatan konsentrasi -
hydroxybutyrate dalam darah atau urin harus dipisahkan dari hewan lain dan
dipantau secara ketat.

9.2 Kontrol Hipokalsemia

Hipokalsemia (“paresis kelahiran”, “penyakit beranak”) adalah kondisi


patologi akut dan subakut, sering terjadi sebelum atau sesudah kelahiran. Laporan
tentang tindakan pencegahan untuk penyakit ini diterbitkan oleh Brozos et al.
(2011). Secara umum, strategi pencegahan yang efektif terhadap penyakit termasuk
(i) kontrol kondisi tubuh (Ostergaard et al., 2003), (ii) regulasi kalsium (Sorensen
et al., 2002), magnesium (Roche, 2003) dan fosfor (Lean et al., 2006) kadar dalam
pakan, (iii) pemantauan kation / anion keseimbangan dalam pakan (Goff, 2004) dan
(iv) pemantauan rutin konsentrasi kalsium dalam darah hewan (Oetzel, 2004).

10. Praktek peternakan sebelum dimulainya musim kelahiran

Kelahiran adalah masa yang krusial dalam peternakan domba. Manajemen


kesehatan yang benar pada periode itu secara signifikan meningkatkan keuangan
secara keseluruhan, terutama karena, mengingat musim kawin domba, sejumlah
besar betina dapat melahirkan dalam periode yang relatif singkat. Dalam setiap
kawanan domba, intervensi peternakan sebelum beranak terkait dengan sistem
produksi yang diterapkan di peternakan.

Praktik manajemen yang baik mensyaratkan bahwa petugas yang


bertanggung jawab atas induk betina yang baru melahirkan sadar akan kebutuhan
hewan dan memiliki pengetahuan yang tepat untuk mengendalikan dan mengelola
potensi permasalahan. Selain itu, petugas (bahkan yang paling berpengalaman)
harus memperbarui keterampilan mereka tentang teknik dan praktik manajemen
terbaru.

Alokasi domba betina ke dalam kelompok (seperti yang dibahas di atas)


akan mengurangi beban kerja di peternakan, mengingat variabilitas panjang
kebuntingan domba betina. Secara umum, seseorang harus fokus menghindari
periode beranak yang panjang dan menyebar, karena ini mengakibatkan
meningkatnya stres pada domba betina dan lebih banyak beban kerja bagi staf
pertanian. Selain itu, domba betina dalam kelompok beraneka ragam harus berada
di daerah yang terpisah dari gudang, untuk meminimalkan risiko penumpukan
patogen di lingkungan pertanian (Menzies, 2007b).

Terlepas dari sistem produksi yang diterapkan dalam kawanan domba,


tekanan pada domba betina harus minimal, tetapi masih dengan pengawasan yang
maksimum. Ketersediaan kandang beranak individu sementara memberikan banyak
keuntungan, seperti pengurangan yang signifikan dari kehilangan domba baru lahir
dan fasilitas hewan. Langkah-langkah khusus harus diambil untuk memastikan
bahwa domba betina pengganti yang dibeli akan diletakkan di kandang terpisah,
jauh dari kawanan domba, untuk menghindari kemungkinan infeksi silang
(Gelasakis et al., 2010). Manajemen yang serupa harus diterapkan pada domba
betina yang baru lahir untuk pertama kalinya. Daerah dengan domba betina yang
bunting harus memungkinkan ruang lantai ≥2 m2 per ekor, sedangkan tempat tidur
jerami yang bersih harus selalu tersedia (Gelasakis et al., 2010). Bergeser di sekitar
area perineum domba betina yang melahirkan dan pembuangan kotoran dari
ambing dan puting betina memberikan kontribusi untuk akses yang cepat ke
kelenjar susu, serta penurunan risiko kejadian infeksi genital post-partus domba dan
cryptosporidiosis domba baru lahir. Akhirnya, area 'isolasi' harus ada, di mana
domba dengan masalah kebidanan atau gangguan postpartus dapat diisolasi.

11. Induksi dan sinkronisasi kelahiran domba

Sinkronisasi dari kelahiran domba dalam kawanan domba bermanfaat untuk


mengoptimalkan produksi, karena mengarah pada manajemen betina dan domba
yang baru melahirkan dengan benar. Metode ini juga dapat digunakan untuk
memastikan bahwa domba yang baru lahir hanya diberi makan secara artifisial,
sebagai bagian dari skema pemberantasan berbagai penyakit menular (mis., Infeksi
Lentivirus Small Ruminant). Induksi pada hewan individu mungkin diperlukan
sebagai bagian dari cara terapeutik dalam kondisi patologis peri-partus domba
(misalnya, toksemia kebuntingan) (Kastelic et al., 1996; Ingoldby dan Jackson,
2001; Klobasa et al., 2004; Menzies , 2007b; Batista et al., 2008).

Prosedur ini tidak secara rutin diterapkan pada kawanan domba, tetapi
hanya di peternakan di mana telah direncanakan sebelumnya dan di mana studi
biaya / manfaat telah dilakukan. Secara umum, induksi dapat dengan mudah
dilakukan hanya jika tanggal kawin betina diketahui dalam jarak tiga hari, yang
membantu untuk menghindari kelahiran domba prematur. Dalam praktiknya,
domba dapat diinduksi oleh kortikosteroid, estrogen atau prostaglandin, tergantung
pada tahap kebuntingan dan keseluruhan cara pengobatan diterapkan.

Kortikosteroid sintetik (10-20 mg deksametason per minggu, 10-12 mg


betametason per minggu, atau 2 mg flumethasone per ekor i.m.) dapat diberikan
hari ke 137 dari 144-149 hari selama kebuntingan. Namun, mungkin lebih baik
untuk melahirkan pada atau setelah hari ke-142, untuk memastikan peningkatan
peluang viabilitas bayi baru lahir. Dalam kasus di atas, kelahiran terjadi dalam 30-
75 jam setelah dimulainya perawatan (Harman dan Slyter, 1980; Rommereim dan
Slyter, 1981; Edey et al., 1985; Menzies, 2007b; Rawlings dan Bartlewski, 2007).
Kemudian dalam kebuntingan (hari ke 146 dari 148-150 hari selama kebuntingan),
induksi kelahiran dapat dicapai dengan pemberian dosis deksametason yang lebih
kecil (1-2 mg i.m.) (Tsiligianni et al., 2008). Untuk dicatat bahwa, secara umum,
kemanjuran kelahiran yang diinduksi deksametason dapat dipengaruhi oleh jenis
induk dan waktu dalam setahun (Sir dan Bartlewski, 2010).

Estrogen (estradiol benzoat 2-20 mg per minggu) dapat diberikan 5 hari


sebelum kelahiran, yang menyebabkan kelahiran setelah 30-45 jam (Rawlings dan
Howell, 1988; Rawlings dan Bartlewski, 2007). Khususnya pada domba betina
yang membawa embrio yang diproduksi secara in vitro, penggunaan kombinasi
betametason dan estradiol benzoat, walaupun mahal, lebih disukai, karena
memastikan peningkatan persentase kelayakan domba baru lahir (Ptak et al., 2002).
Upaya untuk kelahiran pada siang hari, setelah pemberian kortikosteroid sintetik
belum berhasil (Edey et al., 1985). Berbeda dengan itu, pemberian estradiol benzoat
telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan sinkronisasi kelahiran anak-anak
pada siang hari (Rawlings and Howell, 1988).

Prostaglandin, sendiri atau dalam kombinasi dengan deksametason, telah


memberikan hasil yang buruk dalam menginduksi kelahiran (Harman dan Slyter,
1980; Tsiligianni et al., 2008). Dengan demikian, protokol-protokol ini nampaknya
tidak cukup untuk aplikasi yang sukses dalam kondisi di lapangan, berbeda dengan
praktik umum untuk induksi kelahiran pada sapi muda atau kambing.

Pada domba dengan toksaemia kebuntingan, di mana induksi kelahiran


dilakukan sebagai bagian dari keseluruhan cara terapeutik, pemberian simultan
cloprostenol (0,375 mg per ekor) akan meningkatkan kemanjuran, karena
konsentrasi kortikosteroid endogen dapat meningkat (Brozos et al., 2011). Dalam
kasus-kasus ini, induksi harus diikuti dengan pemberian 20% dekstrosa larutan
intravena (dosis: 200-300 mL per ekor) atau 50% dekstrosa (dosis: 80-120 mL per
ekor) dua kali sehari sampai proses kelahiran selesai.

Dalam semua kasus, hewan harus dipantau secara berkala setelah pemberian
hormon, karena sering dapat mengembangkan distokia, retensi membran fetus, dan
metritis.
12. Kesimpulan

Makalah ini telah memberikan, untuk pertama kalinya, laporan terperinci


dari manajemen kesehatan domba bunting, yang merupakan tugas yang sangat
signifikan multi-faceted untuk manajemen sukses dari kawanan domba dalam
produksi siklus tahunan. Makalah ini memberikan pedoman untuk manajemen
kesehatan domba bunting di seluruh dunia. Penyempurnaan prosedur perlu
dilakukan dalam kawanan individu, setelah memperhitungkan persyaratan khusus
mereka.

Pernyataan penting

Penulis tidak memiliki apa-apa untuk diungkapkan.

Anda mungkin juga menyukai