Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama tingginya
angka kematian ibu (AKI). Kira-kira 14 juta wanita menderita perdarahan
postpartum setiap tahunnya.Perdarahan postpartum menyebabkan
kematian sebanyak 25 30% di negara berkembang (Sosa, 2009).
Pada tahun 2013, perdarahan yaitu terutama perdarahan
postpartum menyebabkan kematian ibu sebanyak 30,3% di Indonesia.
Selain perdarahan, penyebab kematian ibu tertinggi lainnya adalah
hipertensi dalam kehamilan, infeksi, partus lama dan abortus (Kemenkes
RI, 2015).Di Indonesia angka kematian ibu menurut Survey Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 1991 dan 2007 adalah
sebesar 390 dan 228per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini telah
mengalami penurunan namun belummencapai target MDGs (Millennium
Development Goals/ Tujuan Pembangunan Milenium) yaitu sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2011).Angka ini meningkat
pada SDKI 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu di Indonesia ini masih sangat tinggi
mengingat target SDGs (SustainableDevelopmentGoals) pada tahun 2030
mengurangi angka kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000
kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2015). Sedangkan berdasarkan RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2015 2019, target angka
kematian ibu pada tahun 2019 yaitu 306 per 100.000 kelahiran hidup
(BAPPENAS, 2014).Perdarahan postpartum merupakan penyebab
tersering dari keseluruhan kematian akibat perdarahan
obstetrik.Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang melebihi 500ml
setelah bayi lahir pada persalinan per vaginam dan melebihi 1000 ml pada
seksio sesarea (Chunningham, 2012), atau perdarahan yang lebih dari
normal yang telah menyebabkan perubahan tanda vital, seperti kesadaran
menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi
<90mmHg dan nadi >100/menit (Karkata, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan postpartum
yaitu umur, jumlah paritas, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan
sebelumnya, lama partus, lama lepasnya plasenta, anemia, pengetahuan
dan faktor fasilitas pelayanan kesehatan (Pardosi, 2006).Faktor lain yang
berhubungan dengan perdarahan postpartum yaitu pada keadaan
preeklamsia berat dimana bisa ditemukan defek koagulasi dan volume
darah ibu yang kecil yang akan memperberat penyebab perdarahan
postpartum (Chunningham, 2012).Berdasarkan berbagai penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, multiparitas merupakan salah satu yang
berperan penting sebagai faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum
(Sosa, 2009).
Infeksi menular seksual merupakan masalah kesehatan yang
besardan merupakan salah satu penyebab utama kesakitan, dan bahkan
kematiandi dunia. Penyakit ini mempengaruhi kesehatan, sosial dan
konsekuensi ekonomi terutama pada negara berkembang. Bank dunia
memperkirakan bahwa untuk wanita usia 15-44 tahun, IMS (termasuk
termasuk infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus)/AIDS (Acquired
immunodeficiencysyndrome)) adalah penyebab kedua hilangnya hidup
sehat setelah morbiditas maternal.
Banyak dari kasus yang tidakdilaporkan dan insidensi serta
prevalensinya tidak terdifinisi dengan baik.Bahkan dari infeksi menular
seksual seperti gonorea, chanchroid, sifilis,lymphogranuloma venerum,
HIV diperkirakan masih banyak yang belumdilaporkan(Goldman &
Ausielo,2008). Berdasarkan hasil data Surveilans Terpadu Biologis dan
Perilaku (STBP) tahun2011, merupakan bagian dari kegiatan surveilans
HIV-AIDSdan IMS yang dilaksanakan di 23 Kabupaten/Kota di 11
Provinsi diIndonesia, prevalensi Sifilis tertinggi ditemukan pada waria
(25%),kemudian diikuti wanita pekerja seksual (10%), pria potensial
risiko tinggi(4%) dan pengguna napza suntik (penasun) (2%). Prevalensi
gonoretertinggi pada wanita pekerja seksual (38%), kemudian waria
(29%), lakisama laki (21%). Prevalensi klamidia tertinggi pada wanita
pekerja seksual(41%) diikuti waria (28%) dan laki sama laki(21%).
Prevalensi HIVtertinggi terdapat pada Penasun(41%), diikuti waria
(22%), wanita pekerjaseksual (10%)(Kemenkes RI,2011)
Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk
menekanpeningkatan angka kejadian IMS dan HIV/AIDS khususnya
pada wanitapekerja seks, yaitu: memutuskan rantai penularan infeksi
IMS, mencegah berkembangnya IMS serta komplikasinya, tidak
melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan,
menggunakan kondom saatberhubungan seksual. Dengan melakukan
pencegahan tersebut maka rantaipenularan IMS dapat terputus dan
komplikasi tidak akan terjadi (Chandra,2012). Penggunaan kondom yang
konsisten merupakan salah satu cara yangpaling efektif untuk mencegah
penularan IMS termasuk HIV/AIDS (Goldman & Ausielo,2008). Di
negara tetangga kita, Thailand, promosikondom pada kalangan wanita
pekerja seksual menurunkan angka IMS dari13% menjadi 0,3% dalam
waktu singkat.
Menurut data di berbagai negara paling sedikit seperempat dari
seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar
antara kurang dari 10 persen sampai hampir 60 persen (PP dan KPA,
2010).Setiap tahunnya paling sedikit 128.000 perempuan mengalami
pendarahan sampai meninggal. Lebih dari separuh jumlah seluruh
kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian
besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah (Faisal, 2008).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari, memahami dan menggunakan manajemen
kebidanan ini diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang telah
didapatkan dalam kasus yang ada di lapangan, sehingga mampu
memberikan pelayanan yang bermutu dan mendukung peran, tugas
dan tanggung jawab bidan pada ibu dengan perdarahan postpartum

2. Tujuan Khusus
Dalam melaksanakan pembimbingan Terhadap ibu dengan Perdarahan
Postparum diharapkan dapat menggunakan manajemen asuhan
kebidanan 7 langkah varney yaitu :
a. Mampu melaksanakan pengkajian dan pengumpulan semua data
untuk mengevaluasi keadaan pasien
b. Mampu mengidentifikasi secara benar masalah atau diagnose
berdasarkan interprestasi yang benar atas data-da tersebut
c. Mampu mengidentifikasi diagnosa potensial yang terjadi
d. Mampu mengidentifikasi perlunya tindakan segera baik secara
mandiri, kolaborasi atau rujukan
e. Mampu merencanakan asuhan yang rasional sebagai dasar
pengambilan keputusan
f. Mampu melaksanakan rencana asuhan secara efisien dan aman
g. Mampu mengevaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan
h. Dapat mendokumentasikan asuhan pada ibu dengan perdarahan
post partum dengan asuhan manajem 7 langkah varney

C. Ruang Lingkup
Dalam penulisan ini, penulis membatasi dalam hal penerapan Manajemen
asuhan kebidanan pada Ny. Dengan perdarahan postpartum komplokasi
sifilis dan HIV/AIDS positif di Ruangan IGD RSUD Batusangkar Tanggal

D. Manfaat penulisan
Berdasarkan penerapan manajemen asuhan kebidanan yang telah pemulis
lakukan maka penulis mengharap mendapatkan
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan
asuhan kebidanan
2. Mampu memberikan informasi tentang masalah yang dihadapi klien
3. Memberikan pelayanan yang berkualitas kepada klien.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Perdarahan Postpartum
1. Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum (PPP)didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih
setelah seksio sesaria (Leveno, 2009; WHO, 2012)
2. Etiologi
Perdarahan Postpartum Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena :
a. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uteruskhususnya miometrium
untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengketan plasenta(Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok
hipovolemik.Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu
cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan
nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab
lainadalah situs implantasi plasenta di segmen bawah rahim,
korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksiapada solusio
plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif(Rueda et al., 2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP,
hinggasekitar 70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah persalinan
vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan abdominal. Penelitian
sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada
persalinan abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi,
2013).
b. Laserasi jalan lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik
akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan
memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belumlengkap.
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan
perineum, trauma forsepatau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi(Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu(Rohani,
Saswitadan Marisah, 2011):
1) Derajat satuRobekan mengenai mukosa vaginadan kulit
perineum.
2) Derajat duaRobekanmengenai mukosa vagina, kulit,dan otot
perineum.
3) Derajat tigaRobekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum,
otot perineum, dan otot sfingter ani eksternal.
4) Derajat empatRobekan mengenai mukosa vagina, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani eksternal, dan
mukosa rektum.

c. Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu
30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum
lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum
dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologitersering kedua dari
perdarahan postpartum (20% -30% kasus). Kejadian ini harus didiagnosis
secara dini karena retensio plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri
untuk diagnosis utama sehingga dapat membuat kesalahan diagnosis.
Pada retensio plasenta, resiko untuk mengalami PPP6 kali lipat
padapersalinan normal(Ramadhani, 2011).Terdapat jenis retensio plasenta
antara lain (Saifuddin, 2002) :
1) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagian lapisan miometrium.
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan serosa dinding uterus.
4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus serosa dinding uterus.
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum
uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

d. Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karenakelainan pada
pembekuan darah. Penyebabtersering PPP adalah atonia uteri, yang
disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta. Namun, gangguan
pembekuan darah dapat pula menyebabkan PPP. Hal ini disebabkan
karena defisiensi faktor pembekuan danpenghancuran fibrin yang
berlebihan. Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat. Kelainan pembekuan darah dapat berupa
hipofibrinogenemia,12trombositopenia, Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura(ITP), HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and
low platelet count), Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC),dan
Dilutional coagulopathy (Wiknjosastro, 2006; Prawirohardjo, 2010).
Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa kondisi
kehamilan lain seperti solusio plasenta, preeklampsia, septikemia dan
sepsis intrauteri, kematian janin lama, emboli air ketuban, transfusi darah
inkompatibel, aborsi dengan NaCl hipertonik dan gangguan koagulasi
yang sudah diderita sebelumnya. Penyebab yang potensial menimbulkan
gangguan koagulasi sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
persiapan untuk mencegah terjadinya PPP dapat dilakukan sebelumnya

3. Klasifikasi Perdarahan Postpartum


Klasifikasi klinis perdarahan postpartumyaitu (Manuaba, 2008) :
a. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartumyang terjadi
dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversio uteri.
b. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartumyang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder
disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa
plasenta yang tertinggal

4. Faktor Risiko
Faktor risiko PPPdapat ada saat sebelum kehamilan, saat
kehamilan,dan saat persalinan. Faktor risikosebelum kehamilan meliputi
usia,indeks massa tubuh, dan riwayat perdarahan postpartum.Faktor risiko
selama kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat perdarahan
postpartum, kehamilan ganda, plasenta previa, preeklampsia,dan penggunaan
antibiotik. Sedangkan untuk faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta
previa anterior, plasenta previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰,
korioamnionitis, dan retensio plasenta (Brileyet al., 2014).
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPP.
Pada usia lebih tua jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar
dibanding persalinan vaginal. Secara konsisten penelitian menunjukkan
bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4 kalikemungkinan
untukmengalami PPP(Anderson, 2008).
Perdarahan postpartum juga berhubungan dengan obesitas. Risiko
perdarahan akan meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada
wanita dengan indeks massa tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar5,2%
dengan persalinan normal (Blomberg, 2011).

5. Gejala Klinik
Perdarahan PostpartumEfek perdarahan banyak bergantung pada
volume darah sebelum hamil, derajat hipervolemia-terinduksi kehamilan, dan
derajat anemia saat persalinan. Gambaran PPP yang dapat mengecohkan
adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar
sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah
rendah, denyutnadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain

6. Penatalaksanaan
Penanganan pasien dengan PPPmemiliki duakomponen utama yaitu
resusitasi dan pengelolaan perdarahan obstetri yang mungkindisertaisyok
hipovolemik danidentifikasi sertapengelolaan penyebab dari perdarahan.
Keberhasilan pengelolaan perdarahan postpartummengharuskan kedua
komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi, 2013).
Penggunaan uterotonika (oksitosinsaja sebagai pilihan pertama)
memainkan peran sentral dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum. Pijat
rahim disarankan segera setelah diagnosis dan resusitasi cairankristaloid
isotonik juga dianjurkan. Penggunaan asam traneksamat disarankan pada
kasus perdarahan yang sulit diatasi atau perdarahan tetap terkait trauma. Jika
terdapat perdarahan yang terus-menerus dan sumber perdarahan diketahui,
embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika kala tiga berlangsung
lebih dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali dan pemberian oksitosin
(10 IU) IV/IM dapat digunakan untuk menangani retensio plasenta.Jika
perdarahan berlanjut, meskipun penanganan dengan uterotonika dan
intervensi konservatif lainnya telah dilakukan, intervensi bedah harus
dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012).

7. Pencegahan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan
memudahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi
pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan.Akan tetapi,
pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyairisiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah PPP(Prawirohardjo,
2010).
Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III.
Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika segera
setelah bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali, dan melahirkan plasenta.
Setiap komponen dalam manajemen aktif kala III mempunyai peran dalam
pencegahan perdarahan postpartum (Edhi, 2013).
Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala III
persalinan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin ( IM/IV 10 IU )
direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan. Uterotonika injeksi lainnya
dan misoprostol direkomendasikan sebagai alternatif untuk pencegahan
perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak tersedia.Peregangan tali pusat
terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam
menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu
menit setelah bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).

B. HIV/AIDSPada Ibu Nifas


1. Pengertian
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV
adalah Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS) yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi
HIV akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu
penyakit) untuk jangka waktu yang lama. Meski demikian, mereka dapat
menularkan kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat
AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan
diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.
“acquired”artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “immune”adalah sistem
daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit;
“deficiency”artinya tidak cukup atau kurang; dan “syndrome”adalah
kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalahbentuk lanjut dari virus
HIV, yang merupakan kumpulan gejala penurunan sistem kekebalan
tubuh.Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan
tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur,
bakteri atau virus. Kebanyakan Orang Dengan HIV dan AIDS yang
selanjutnya disingkat ODHA akan meninggal dalam beberapa tahun
setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan eraoi
yang diberikan (Kemenkes, 2013).
2. Etiologi
Penyakit Infeksi Menular Seksual yang selanjutnya disingkat IMS
adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal,
anal/lewat anus dan oral/dengan mulut. Penularan virus HIV dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang tidak
steril atau terkontaminasi HIV dan penularan HIV dari ibu yang terinfeksi
HIV ke janin dalam kandungannya yang dikenal sebagai penularan HIV
dari ibu ke anak (PPIA) (Kemenkes, 2013).
Penyebab AIDS adalah retrovirus RNA yang dinamai human
immunodefisiency virus(HIV), HIV -1 dan HIV -2.Sebagian besar kasus
di dunia disebabkan oleh infeksi HIV -1.Penularan serupa dengan
penularan virus hepatitis B, dan hubungan seks adalah rute utama. Virus
juga dapat ditularkan melalui darahatau produk yng tercemar darah dan
ibu dapat menginfeksi janin mereka (Cunningham dkk, 2013).

3. Patofisiologi
infeksi HIVSesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh
akanterinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut
(terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibody
untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi terbentuknya antibody yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2 sampai
12 minggu dan disebut masa jendela (window period).Selama masa
jendela, pasien sangatinfeksius, mudah menularkan kepada orang lain,
meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negative. Hampir 30-50%
orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana
gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran
kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda
(asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun
atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada
orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi
HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum.Sesudah jangka
waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak
dirisecara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel
kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan
tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan
faktor genetik.Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu
yang terinfeksi HIV.
Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada
orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes
zoster (HSV), oral hairycell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC),
papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP),
cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus(CMV), dan
Mycobacterium avium (MAC)(Kemenkes, 2013).

4. Faktor Resiko
a. Faktor Ibu
1) Jumlah virus (viral load)
Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil apabila kadar HIV
dalam darah rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya
jika kadar HIV dalam darah diatas 100.000 kopi/ml maka resiko
penularan akan sangat besar
2) Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah akan lebih beresiko
menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah sel CD4 maka resiko
penularan HIV semakin besar.
3) Status Gizi
selama hamilBerat badan rendah serta kekurangan vitamin dan
mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita
penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
4) Penyakit Infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi
reproduksi lainnya, malaria dan TBC, berisiko meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayinya.
5) Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lainnya,
sepertimastitis, abses dan luka di puting dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI.
b. Faktor Bayi
1) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir premature dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem
kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi
akan semakin besar.c)Adanya Luka di mulut bayiBayi dengan luka
di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
3) Faktor Obstetri
a) Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan pervaginam lebih besar
daripada persalinan melalui bedah sesar (section caesaria).
Namun, apabila VL(Viral Load) ibu rendah karena konsumsi
ARV (Antiretroviral)yang rutin maka persalinan pervaginam
sangat dianjurkan, karena persalinan dengan bedah sesar akan
menimbulkan resiko infeksi lainnya pasca persalinan (Green,
2009).
b) Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko
penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena
semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
c) Pecahnya ketuban
Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d) Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai
ibu atau bayi (Permenkes, 2013).
5. Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara
total.Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
(obat retroviral, atau disingkat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.Orang dengan HIV/AIDS menjadi
lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif.Manfaat ARV dicapai
melalui pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik(Sudoyo,
2010).Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis,
yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV) jangka pendek maupun ART jangka panjang.
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolusis,
hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikologis
dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga
kebersihan.(Sudoyo, 2010)
Menurut WHO (2013), penatalaksanaan dilakukan pada ibu.
a. Merencanakan pemberian ARV tindak lanjut, pemberian harus
dilakuan secara hati-hati tergantung dari pengobatan dan tingkat VL
dalam tubuh (pemberian ARVdiberian seumur hidup atau selama
periode risiko penularan dari ibu ke anak, tergantung pada kebijakan
nasional dan kelayakan ARV) serta lakukan pemantauan pemberian
pengobatan.
b. Diperlukan rencana tindak lanjut kepada anak yang terpajan HIV
untuk meninjau rencana pemberian ASI dan berikan perawatan ARV.
c. Pemberian Profilaksis kotrimoksazol
d. Dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungan serta tenaga
kesehatan yang menangani.
e. Pemberikan konseling kepada keluarga mengenai perawatan dan
pengobatan pada ibu dan bayi dengan HIV/AIDS
f. Pilihan untuk menyusui bayinya atau tidak. Risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi melalui menyusui cukup tinggi 5-20%. Apabila ibu tidak
menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan
berkurang jika ibu mendapatkan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan 15-25% dan
risiko penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI).
Namun, terapi ARVjangka panjang, risiko penularan menjadi 1-5%
dan ibu dapat menyusui secara eksklusif dengan risiko penularan yang
sama (Permenkes RI, 2013)
g. Pemilihan Alat kontrasepsi yang tepat. Apabila salah satu pasangan
tidak terinfeksimaka alat kontrasepsi kondom adalah pilihan yang
paling tepat. Karena kondom dapat menghindarkan dari berbagai
infeksi HIV mapun penyakit IMS lainnya. Namun, apanila keduanya
sudah terinfeksi maka AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)
merupakan pilihan yang tepat pada kondisi tersebut (Cunningham dkk,
2014).
Apabila ibu sudah memiliki anak yang cukup dan tidak ingin .
Pemberian Terapi Antiretroviral Pada kebijakan PPIA 2011, ART
diberikan kepada semua perempuanhamil HIV positif tanpa harus
memeriksakan kondisi CD4-nya lebih dahulu.Penentuan stadium HIV-
AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan berdasarkan kondisi klinis
pasien dengan atau tanpa pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 pada
ibu hamil HIV positif terutama digunakan untuk memantau
pengobatan.
C.

Anda mungkin juga menyukai