Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN MAKALAH BAHASA INDONESIA

“Materi Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan”

Dosen Pembimbing :
Saraswati Kartikasari, S.Pd. M.Pd.

Disusun Oleh :
Siwi Dwi Ariyanti
2016229
1E

APIKES CITRA MEDIKA SURAKARTA


JL. KH. Samanhudi No.93 Sondakan, Laweyan Surakarta
Tahun Akademik 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai Pancasila
adalah falsafah hidup atau pandangan hidup yang berkembang dalam sosial-
budaya Indonesia. Nilai Pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari
budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan
kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan
memberikan watak (kepribadian dan identitas), maka pengakuan atas
kedudukan Pancasila sebagai falsafah wajar. Sebagai ajaran falsafah,
Pancasila mencerminkan nilai-nilai dan pandangan mendasar dan hakiki
rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yaitu
Tuhan YME. Atas Ketuhanan YME sebagai asas fundamental itu
mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
Berbicara tentang pendidikan Pancasila, sebagai mata kuliah di Perguruan
Tinggi dan guna mencapai sasaran yang efektif, kiranya perlu disampaikan
berbagai hal yang terkait, di antaranya, manfaat mempelajari pendidikan
Pancasila, mengenai asal-usul Pancasila, landasan pendidikan Pancasila,
tujuan diberikannya pendidikan Pancasila, tentang Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 12 Tahun 1968 perihal keberadaan Pancasila, segi-segi tinjauan
Pancasila, hakikat nilai sila-sila Pancasila, dan Pancasila sebagai suatu pilihan
bangsa.

1.2 Rumusan Masalah


Penulisan rumusan masalah dalam materi yang akan dibahas maka bisa
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana arti pancasila sebagai sistem filsafat?
2. Seberapa pentingnya pancasila di perguruan tinggi?
3. Bagaimana pancasila berperan dalam etika politik?
4. Bagaimana peran pancasila benteng anti korupsi di Indonesia?
5. Bagaimana maksud dari pancasila sebagai identitas nasional?

2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makaah materi tentang PPKn yaitu :
1. Menjadikan peserta didik lebih mengatahui seberapa pentingnya pancasila di
Indonesia
2. Membuat inspirasi bagaimana cara generasi muda untuk lebih bisa
menghargai dan mematuhi peraturan yang ada di negara Indonesia
3. Menjadikan peserta didik menjadi lebih bisa berfikir kritis terhadap kegunaan
pancasila dalam kehidupan sehari – hari
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Pancasila dalam Perguruan Tinggi


A. Arti Penting Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
Berbicara tentang pendidikan Pancasila, sebagai mata kuliah di
Perguruan Tinggi dan guna mencapai sasaran yang efektif, kiranya perlu
disampaikan berbagai hal yang terkait, di antaranya, manfaat mempelajari
pendidikan Pancasila, mengenai asal-usul Pancasila, landasan pendidikan
Pancasila, tujuan diberikannya pendidikan Pancasila, tentang Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1968 perihal keberadaan
Pancasila, segi-segi tinjauan Pancasila, hakikat nilai sila-sila Pancasila,
dan Pancasila sebagai suatu pilihan bangsa.
Selain itu pula, begitu cepat perubahan yang terjadi di dunia, sehingga
menyebabkan seluruh tatanan yang ada di dunia ini ikut berubah,
sementara tatanan yang baru belum terbentuk. Hal ini menyebabkan sendi-
sendi kehidupan yang selama ini diyakini kebenarannya menjadi usang.
Nilai-nilai yang menjadi panutan hidup telah kehilangan otoritasnya,
sehingga manusia menjadi bingung,. Kebingungan inilah menimbulkan
berbagai krisis, terutama ketika terjadi krisis moneter yang dampaknya
terasa sekali di bidang politik, sekaligus juga berpengaruh di bidang moral
serta sikap perilaku manusia di berbagai belahan dunia, khususnya Negara
berkembang seperti Indonesia.
Guna merespons kondisi tersebut di atas, Pemerintah perlu
mengantisipasi agar tidak menuju ke arah keadaan yang lebih
memprihantinkan. Salah satu solusi yang dilakukan oleh pemerintah,
dalam menjaga nilai-nilai panutan hidup dalam berbangsa dan bernegara
secara lebih efektif yaitu melalui pendidikan. Upaya di bidang pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi berupa perubahan-perubahan di bidang
kurikulum. Kurikulum pengajaran di perguruan tinggi harus mampu
menjawab problem transformasi nilai-nilai tersebut. Sebagaiman telah
sesuai dengan acuan strategi pembangunan pendidikan nasional (UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas), maka ditetapkan bahwa :
1. Kurikulum perguruan tinggi perlu dirancang berbasis kompetensi
yang sejalan dan searah dengan kurikulum bidang studi di perguruan
tinggi,
2. Proses pembelajaran berpendekatan kepentingan mahasiswa yang
bersifat mendidik dan dialogis,
3. Profesionalisme dosen selaku pendidik perlu terus-menerus
ditingkatkan.
Diharapkan, dengan adanya metode pembelajaran dapat memberikan
inspirasi untuk dikembangkan lebih lanjut. Mengingat pula, bahwa
Pancasila merupakan warisan luar biasa dari pendiri bangsa yang mengacu
kepada nilai-nilai luhur. Hampir tidak ada keraguan lagi mayoritas bangsa
Indonesia ini berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar Negara sekaligus
pandangan hidup masyarakat yang tidak dapat tergantikan oleh ideologi
sekulerisme yang tidak selalu bersahabat dengan agama. Oleh karenanya,
perlu adanya pemulihan kembali kesadaran kolektif bangsa tentang posisi
vital dan urgensi Pancasila dalam kehidupan keagamaan, kemanusiaan,
kebangsaan, demokrasi dan keadilan.

B. Tujuan Penyelenggaraan
Dengan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi,
diharapkan dapat tercipta suatu wahana pembelajaran bagi para mahasiswa
untuk secara akademik mengkaji, menganalisis, dan merencanakan
masalah-masalah pembangunan bangsa dan Negara dalam perspektif nilai-
nilai Dasar Pancasila yang sebagai Ideologi dan Dasar Negara RI.
Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari pendidikan nasional
bertujuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sistem
pendidikan nasional yang ada merupakan rangkaian konsep, program, tata
cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang sudah
diamanatkan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Jadi, tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di perguruan
tinggi pun merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Secara spesifik, tujuan peneyelenggaraan pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi yaitu :
1. Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah Negara dan ideologi
bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma
dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
2. Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai
dasar Pancasila kepada Mahasiswa sebagai warga Negara RI, serta
membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari
solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara melalui sistem pemikiran yang berdasarkan
nilai-nilai Pancasila dan UUD NKRI 1945.
Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan
bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan,
dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi
dengan dinamika internal dan eksternal masyarakat bangsa Indonesia.

C. Capaian Pembelajaran
1. Memiliki kemampuan analisis, berpikir rasional, bersikap kritis dalam
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Memiliki kemampuan dan tanggung jawab intelektual dalam
mengenali masalah-masalah dan memberi solusi berdasarkan nilai-
nilai Pancasila.
3. Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila adalah
ideologi yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang majemuk (Bhinneka
Tunggal Ika).
4. Mampu mengimplementasikan dan melestarikan nilai-nilai Pancasila
dalam realitas kehidupan.
5. Memiliki karakter ilmuwan dan profesional Pancasilais yang memiliki
komitmen atas kelangsungan hidup dan kejayaan Negara Kesatuan RI.

D. Metode Pembelajaran
Pilihan strategi pengembangan metode pembelajaran pendidikan
Pancasila yang berbasis kompetensi dengan pendekatan Student Active
Learning membawa konsekuensi perubahan paradigma metode
pembelajaran. Dengan pendekatan Student Active Learning, mahasiswa
lebih banyak melakukan eksplorasi daripada secara pasif menerima
informasi yang disampaikan oleh pengajar. Keuntungannya, mahasiswa
tidak hanya memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan
dengan bidang keahliannya saja, tetapi juga berkembang keterampilan
komunikasi, bekerja dalam kelompok, insiatif, berbagi informasi dan
penghargaan terhadap orang lain. Dengan metode pendekatan Student
Active Learning ini antara lain :
1. Studi kasus
Pada metode pembelajaran ini mahasiswa diberikan kasus yang perlu
dicari pemecahan masalahnya sesuai dengan pokok bahasan yang
sedang dibahas.
2. Diskusi
3. Seminar
Mahasiswa diminta untuk mempersiapkan makalah/paper, kemudian
mempresentasikannya di depan mahasiswa lainnya dan dalam
kesempatan ini akan memperoleh masukan dan pertanyaan, baik dari
sesama mahasiswa lainnya maupun dari pengajar.
4. Tugas kelompok
Metode pembelajaran dengan memberikan tugas kepada mahasiswa
yang telah dibuat kelompok, misalnya dalam bentuk karangan atau
makalah, kliping dan/atau mengamati suatu kejadian.
5. Collaborative Learning (CL)
Merupakan proses belajar kelompok, dimana setiap anggota
menyumbangkan informasi, pengetahuan, pengalaman, ide, sikap,
pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, untuk
secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh
anggota.
2.2 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
A. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata “philos”
dan “sophos” menjadi philosophia. Philo/ philos/ philein yang artinya
cinta/pecinta/mencintai dan, sophia yang berarti kebijakan/
wisdom/kearifan/hikmah/hakikat kebenaran. Jadi philosophia atau filsafat
berarti cinta akan kebijakan/ hakikat kebenaran. Bisa diartikan juga filsafat
yang berarti cinta akan kebijakan atau hakikat kebenaran. Seorang ahli
pikir disebut filosof.
Kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos. Berfilsafat berarti
berpikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap sesuatu secara metodik,
sistematis, menyeluruh, dan univesal, untuk mencari hakikat sesuatu.
Menurut D. Runes, filsafat berarti ilmu yang paling umum serta
mengandung usaha mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan (BP-7,
1993 : 8).
Nilai-nilai sebagai hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang
kehidupan yang dianggap paling baik bagi bangsa Indonesia adalah
Pancasila, baik sebagai filsafat maupun sebagai pandangan hidup. Filsafat
merupakan kegiatan pemikiran yang tinggi dan murni (tidak terikat
langsung dengan suatu objek), yang mendalam, daya pikir subjek manusia
dalam memahami segala sesuatu dalam mencari kebenaran. Berpikir aktif
dalam mencari kebenaran adalah potensi dan fungsi kepribadian manusia.
Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang
kesemestaan, secara mendasar (fundamental dan hakiki). Filsafat sebagai
hasil pemikiran pemikir (filosof), merupakan suatu ajaran atau sistem
nilai, baik berwujud pandangan hidup (filsafat hidup) maupun sebagai
ideologi yang dianut suatu masyarakat atau bangsa dan negara. Filsafat
demikian telah berkembang dan terbentuk sebagai suatu nilai yang
melembaga (dengan negara) sebagai suatu paham (isme), seperti
kapitalisme, komunisme, sosialisme, nazisme, fasisme, theokratisme, dan
sebagainya yang cukup mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara
modern.
Sedangkan Pancasila yang terdiri dari atas lima sila pada
hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud dengan sistem
adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling
bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan
suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1) Suatu kesatuan bagian-bagian.
2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
3) Saling berhubungan, saling ketergantungan.
4) Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama
(tujuan sistem).
5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks

Arti kesusilaan, ukuran kesusilaan, prinsip-prinsip susila, baik dalam


kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan sosial.
a. Aspek ontologi
Ontologi menurut Runes yaitu teori tentang keberadaan ada atau
eksistensi. Menurut Aristoteles, ontologi yaitu ilmu yang menyelidiki
hakikat sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika. Pada awal
pemikiran manusia, mereka berusaha mengerti hakikat sesuatu yang
ada di sekitarnya, yaitu alam dan kehidupan. Bidang ontologi ini
meliputi penyelidikan tentang makna keberadaan (ada.eksistensi)
manusia, benda, ada alam semesta. Artinya, ontologi menjangkau
adanya Tuhan dan alam gaib, seperti rohani dan kehidupan sesudah
kematian (alam di balik dunia, alam metefisika). Jadi, ontologi adalah
bidang yang menyelidi makna yang ada (eksistensi dan keberadaan),
sumber ada, jenis ada dan hakikat ada, termasuk ada alam , manusia,
metafisika, dan kesemestaan atau kosmologi.
b. Aspek epistemologi
Epistemologi Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani
yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan ‘logos” berarti
perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani
berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan,
atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai
definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya,
dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari
epistemologinya.
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna
pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria
pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya.
c. Aspek Aksiologi
Aksiologi menurut Runes berasal dari istilah Yunani, yaitu axios
yang berarti nilai, manfaat, pikiran atau ilmu/teori. Dalam pengertian
yang modern, aksiologi disamakan dengan teori nilai, yaitu sesuatu
yang diinginkan, disukai atau yang baik, bidang yang menyelidiki
hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan metafisika suatu nilai. Aspek
aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk apa ilmu itu
digunakan. Menurut Bramel, dalam aspek aksiologi ini ada Moral
conduct, estetic expresion, dan sosioprolitical. Setiap ilmu bisa untuk
mengatasi suatu masalah sosial golongan ilmu. Namun, salah satu
tanggungjawab seorang ilmuan adalah dengan melakukan sosialisasi
tentang menemuannya, Sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan
hasil penemuan tersebut. Dan moral adalah hal yang paling susah
dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan,
moral adalah sebuah tuntutan.
Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang
berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu
apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan knowledge
adalah keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui
pengalaman maupun pemahanan dari suatu objek.
Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat, dan
manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu
pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkanya
dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan dijalan yang
baik pula.
Menurut Prof. Brameld, Adapun cabang filsafat aspek
aksiologi yang menyelidiki yaitu:
a. Tingkah laku moral yang berwujud etika
b. Ekspresi etika yang berwujud estetika atau seni dan keindahan
c. Sosio-politik yang berwujud idiologi

B. Aliran – Aliran Filsafat


a. Aliran Materialisme
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana
asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu
materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya adalah
metafisika materialisme. Materialisme adalah merupakan istilah dalam
filsafat ontologi yang menekankan keunggulan faktor-faktor material
atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, atau
penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini
tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi
ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang
menyatakan bahwa pikiran ( roh, kesadaran, dan jiwa ) hanyalah
materi yang sedang bergerak.
b. Aliran Idealisme/Spiritualisme
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan
bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini
diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Kata
idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti
yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat
mengandung beberapa pengertian, antara lain: Seorang yang menerima
ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;
Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau
program yang belum ada.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai
kedudukan yang utama dalam alam semesta.
c. Aliran Realisme
Menggambarkan bahwa kedua aliran di atas, matrealisme dan
idealisme yang bertentangan itu, tidak sesuai dengan kenyataan (tidak
realistis). Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan
bukanlah benda (materi) semata-mata. Kehidupan, seperti tampak
kehidupan pada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, mereka hidup
berkembang biak, kemudian tua, akhirnya mati.
2.3 Pancasila Sebagai Etika Politik
A. Pengertian Etika Politik
Etika politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat
tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan
alat-alat teoretis, untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi
politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi,
prasangka dan apriori, melainkan secara rasional, objektif, dan
argumentatif. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis.
Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
ideologis dapat dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan
patokan orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau
menilai kualitas dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat
manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebagai keputusan politik.
Suatu keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika
politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,
kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyaraakat yang efektif sesuai
dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan
sosial). Jadi, etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Sebetulnya
keduanya tidak terpisah, hukum tanpa kekuasaan Negara tidak dapat
berbuat apa-apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai
kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta.
Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama dengan manusia
yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi negara
penindas dan sangat mengerikan.

B. Prinsip Dasar Etika Politik


a. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya
untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama
warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya,
adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi,
toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang
dan sekelompok orang.
b. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil
dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana
manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi
bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan
martabatnya sebagai manusia.
c. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri,
melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila
tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada
hidup manusia-manusia lain.
d. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia
atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan
dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak
menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau
dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
e. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan
masyarakat. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap
ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara
ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama
tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial
adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial
diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada
dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang
terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan
budaya.

C. Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika


Politik
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –
nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b) Disahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis).
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral / tidak bertentangan
dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut
kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta
kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius (sila 1) serta moral
kemanusiaan (sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena
itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagai mana
terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan
negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa
harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila 4). Oleh karena itu
rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan,
serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung
pokok Negara.

D. Legitimasi Kekuasaan
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan,
yang dapat dirumuskan dengan suatu pertanyaan, yaitu dengan moral apa
seseorang atau sekelompok orang memegang dan menggunakan kekuasaan
yang mereka miliki.
Legitimasi Kekuasaan meliputi:
a. Legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara
(kekuasaan negara) berdasarkan prinisp-prinsip moral.
b. Legitimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan
fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu
diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
E. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma
Nilai, moral, dan norma merupakan konsep yang saling berkaitan.
Ketiga konsep ini saling terkait dalam memahami Pancasila sebagai etika
politik.
a. Nilai
Nilai yang dalam bahasa Inggris disebut “value”, menurut
Djahiri (1999), dapat diartikan sebagai harga, makna, isi dan pesan,
semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan
teori, sehingga bermakna secara fungsional. Di sini, nilai difungsikan
untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan
seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku
b. Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) = kesusilaan, tabiat,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi
yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara
moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak
bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan,
prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat
berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa.
c. Norma
Norma adalah tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya
suatu sikap dan tindakan manusia. Norma juga bisa diartikan sebagai
aturan yang berisi Rambu-rambu yang menggambarkan ukuran
tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah (Margono,
2001:67). Dalam bahasa inggris, Norma diartikan sebagai standar. Di
samping itu, norma juga bisa diartikan kaidah atau petunjuk hidup
yang digunakan untuk mengatur perilaku manusia. Dalam kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara. Jika norma dipahami sebagai
standar (ukuran) perilaku manusia, yang dapat dijadikan “alat” untuk
menghakimi (justifikasi) suatu perilaku manusia (benar atau salah),
maka dalam realitas kehidupan sehari-hari terdapat paling tidak 5
norma, yaitu:
(1) Norma agama,
(2) Norma hukum,
(3) Norma moral atau susila,
(4) Norma kebiasaan, dan
(5) Norma kesopanan.
2.4 Pancasila Sebagai Benteng Anti Korupsi
A. Pengertian Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok).
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus
atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.

B. Sebab-sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan
beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai
dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan korupsi yaitu:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci
yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang
menjinakkan korupsi. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan
etika
b. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah
kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
c. Kurangnya pendidikan
d. Adanya banyak kemiskinan
e. Tidak adanya tindakan hukum yang tegas
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering
disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi meliputi:
a. Greeds (keserakahan)
Berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada
di dalam diri setiap orang
b. Opportunities (kesempatan)
Berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat
yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang
untuk melakukan kecurangan
c. Needs (kebutuhan)
Berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar;
d. Exposures (pengungkapan)
Berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan
kecurangan.

C. Dampak Akibat Korupsi


Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural
yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap
masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat
beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan
mengakibatkan sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada
semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan
masyarakat kian melambung tinggi. Ekonomi biaya tinggi ini berakibat
terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat
harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung
dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi
ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara
demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing.
Intinya, masyarakat dipaksa untuk menanggung beban yang tidak
dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi
antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang
melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin
menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru yang sangat korup.

D. Upaya Hukum Pemberantasan Korupsi


Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi
korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan,
dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan
hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai
moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup
akar penyebabnya melalui :
a. Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup
masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan
ekonomi
b. Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Perilaku korup juga
turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya.
c. Membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap
pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan
dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan
penanganannya pada pemerintah saja.
d. Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran
penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat.
e. Perbaikan sistem dan mutu pendidikan

E. Pancasila Sebagai Benteng Anti Korupsi


Pentingnya pengetahuan Pancasila dan filsafat pancasila bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagai cara untuk mewujudkan cita-cita bangsa
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
internalisasi nilai-nilai Pancasila dapat terwujud di dahului dengan
pengetahuan mendasar mengenai Pancasila. Banyak dari rakyat Indonesia
yang hanya menghafal Pancasila, tetapi tidak mengerti maksud dasar dari
Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, Pendidikan Pancasila mutlak
diperoleh oleh setiap rakyat Indonesia.
F. Peranan Pendidikan Anti Korupsi Dini Dikalangan Generasi Muda
Dalam Mencegah Terjadinya Tindak Korupsi
Pendidikan adalah salah satu penuntun generasi muda untuk ke
jalan yang benar. Jadi, sistem pendidikan sangat memengaruhi perilaku
generasi muda ke depannya. Pendidikan Karakter anti korupsi, di sini
pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti. Jika tujuan
akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia,
terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan
atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada
jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum
sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera
dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa yang telah terjadi sudah
selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di
negeri ini. Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi, pendidikan
pun melakukan pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan
derasnya arus korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perubahan
kurikulum.
Penyebaran pendidikan anti korupsi ini pun akan dilakukan secara
bertahap. Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter anti korupsi tidak
berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan
penguatan pada masing-masing mata pelajaran yang selama ini dinilai
sudah mulai kendur.
2.5 Pancasila Sebagai Identitas Nasional
A. Pengertian Idenitas Nasional
Identitas Nasional berasal dari bahasa Inggris Identity yang
memiliki pengertian harafiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri nasional
yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan
yang lain. Dalam term antropologi identitas adalah sifat khas yang
menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan
sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri.

Identitas nasional suatu Negara pada hakikatnya merupakan suatu


bentuk kepribadian bangsa yang sesungguhnya, untuk mewujudkan
kredibilitas, integritas, dan harkat dan martabat bangsa dalam rangka
mencapai tujuan Negara. Menurut Soemarno Soedarsono, 3 fungsi
identitas nasional (karakter bangsa) yaitu :

1. Sebagai penanda keberadaan atau eksistensinya.


Bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Sebagai pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan
jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa. Hal ini tercermin dalam
kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi ketahanan bangsa pada
khususnya.
3. Sebagai pembeda dengan bangsa lain di dunia.
Apabila identitas dapat disejajarkan dengan istilah jati diri maka
pemikiran bahwa Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia diakui
oleh banyak ahli. Pancasila dapat menjadi dasar dalam membangun
identitas nasional. Dimana Pancasila dapat menjalankan tugasnya
sebagai identitas bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pernyataan
jati diri bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai identitas kultural.
Menurut Sastrapratedja menyatakan bahwa Pancasila dapat menjadi
dasar dalam membangun identitas nasional. Identitas nasional adalah
suatu ”konstruksi” yang selalu dapat direkonstruksi. Adapun unsur
konstruksi dari identitas nasional yaitu :
a. Ingatan kolektif yang menghubungkan masa lalu dan masa kini
b. Unsur sejarah
c. Bahasa
d. Daerah
e. Nilai-nilai
B. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional
Suatu Negara dan bangsa dalam menentukan keberhasilan bangsa
dan Negara tersebut, maka yang harus dimiliki oleh suatu bangsa dan
Negara untuk menentukan keberhasilan di dalam bangsa dan Negara
yaitu :
a. Kreaktifitas
b. Percaya Diri/memegang prinsip
c. Mentalitas berkelimpahan
d. Integritas
e. Idealisme dan Kompetensi.

C. Karakteristik Identitas Nasional


Identitas kebangsaan (political unity) merujuk pada bangsa dalam
pengertian politik, yaitu Bangsa Negara. Identitas nasional dapat berasal
dari identitas satu bangsa yang kemudian disepakati oleh bangsa-bangsa
lainnya yang ada dalam negara itu, atau juga dari identitas beberapa
bangsa yang ada kemudian disepakati untuk dijadikan identitas bersama
sebagai identitas bangsa-negara.
1. Unsur-Unsur Identitas Nasional
a). Suku Bangsa
Suku bangsa adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan
sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan,
khususnya bahasa. Dengan demikian pembahasan tentang suku bangsa
tidak lepas dari kebudayaan dan bahasanya sebagai unsur-unsur
pembentuk identitas nasional.

b). Agama
Bangsa Indonesia dari dulu termasuk bangsa yang beragama, baik
agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, maupun Kristen. Di antara kelima
agama tersebut, agama Islam merupakan agama yang dianut oleh
mayoritas bangsa Indonesia, walaupun demikian, tidak diharuskan
bahwa hukum Islam menjadi hukum Negara.
c). Kebudayaan
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang, menjadi pedoman tingkah laku dan amal
perbuatan.
d). Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang yang bersifat sewenang-wenang
dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai
sarana komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Di nusantara
terdapat banyak berbagai ragam bahasa daerah sebagai sarana interaksi
antarmanusia yang mewakili banyaknya suku bangsa atau etnis. Negara
menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Dari unsur-unsur identitas nasional di atas, dapat dirumuskan
pembagiannya menjadi tiga bagian yaitu :
(1) Identitas Fundamental, yaitu pancasila sebagai falsafat bangsa, dasar
negara dan ideologi negara.
(2) Identitas Instrumental, yaitu berisi UUD 1945 dan tata perundang-
undangannya. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan bahasa Indonesia,
bendera negara Indonesia, lambang negara Indonesia, lagu kebangsaan
Indonesia yaitu Indonesia Raya.
(3) Identitas Alamiah, yaitu meliputi negara kepulauan dan pluralisme
dalam suku, budaya, bahasa dan agama serta kepercayaan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai sarana untuk
mengembangkan dan melestarkan nilai luhur dan moral sebagi pedoman
masyarakat bangsa Indonesia dengan adanya Pansacila dan Dasar Negara
di Indonesia. Yang diharapkan dapat mewujudkan dalam bentuk perilaku
kehidupan sehari- hari peserta didik individu, anggota masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya Pancasila sebagai
pedoman hidup maka masyarakat harus mentaati peraturan dan mematuhi
hukum yang berlaku.
Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia, sekaligus
menjadi pandangan hidup bangsa. Pancasila juga merupakan sumber
kejiwaan masyarakat Negara Republik Indonesia. Maka manusia
Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama
dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan kenegaraan. Oleh karena
itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negra Indonesia.
Daftar Pustaka

- Kaelan, M.S. 2014. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: UGM


Paradigma.
- Ketut, Rindjin. 2012. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
- Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan
Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta : Grasindo.
- Syamsir. 2009. Buku Ajar Pendidikan kewarganegaraan. Padang: UNP
Press.
- Syahrial, Syarbaini M.A. 2014. Pendidikan Pancasila (Implementasi
Nilai - nilai Karakter Bangsa). Bogor: Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai