Anda di halaman 1dari 496

DIVISI ALERGI IMUNOLOGI

1
RENJATAN ANAFILAKSIS
PENGERTIAN
Analfilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang bersonset cepat, sitemik, dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat menimbulkan syok yang disebut syok
anafilaktik.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Penegakan Diagnostis
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah membuat beberapa
kriteria dimana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila (Simons et al. 2011):
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan,
pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target
(misal: hipotonia, kolaps vascular, sinkop, inkontinensia).
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa
jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibagtan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunana tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan orang
target.
d. Gejala gastrointestinal yang persisten (missal: nyeri kram abdomen, muntah)
3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar alergen
yang telah diketahui (known allergen), sesuai criteria berikut:
a. Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan
> 30% dari tekanan darah sistolik semula
b. Dewasa: tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau terjadi penurunana
c. > 30% dari tekanan darah sistolik semula.

DIAGNONSIS BANDING
1. Beberapa kelainana menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemas/serangan panic
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut (kejang, strok)
2. Sindrom flush
a. Peri-menopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsy otonomik
d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca-prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunana histamine dari kan, misalnya tuna, yang disimpan
pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur yang mengandung
protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara

2
c. Monosodium glutamate atau Chinese restaurant syndrome
d. Sullfit
e. Keracunan makanan
4. Syok jenis lain
a. Hipovolemik
b. Kardiogenik
c. Distributive
d. Septic
5. Kelainan non-organik
a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi
c. Episode psikosomatis
6. Peningkatan histamine endogen
a. Mastositosis/kelainan klonal sel mast
b. Leukemia basofilik
7. Lainya
a. Angioedema non-alergik, missal: angiodema herediter tpe I, II, atau III, angioedema
terkati ACE-inhibitor)
b. Systemic capillary leak syndrome
c. Read man syndrome akibat vancomycin
d. Respon paradoksikal pada feokromositoma

TATALAKSANA
1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi)
akan membantu manaikkan vnous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
2. Pemberian Oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat ekstrim
tindakan t29
3. Rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan
4. Pemasangan infuse, cairan plasma expander (Dextran merupakan pilihan utama guna dapat
mengisi volume intravaskuler seceptanya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat
atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infuse
sebaiknya dipertahnakan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
5. Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi
5-10 menit. Dosisulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup
singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis,
diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik
karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
absorbs obat tidak terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang
dnegan pemberian adrenalin. 20 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit
intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui dirps infuse bila dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat
tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilakti, dapat diberikan setelah gejala klinik
mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau
prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5-20 mg IV
dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5-10 mg IV atau
hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka
prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan

3
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik
selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang prakter seorang dokter terjadi selain obat-obat
emergency, perangkat infuse dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit)
untuk memudahkan tindakan secepatnya.

Rencana Tindak Lanjut


Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta membertahukan kepada
pasien dan keluarga untuk menghindari alergen penyebab agar tidak terjadi reaksi anafilaktik lagi.

Konseling dan Edukasi


Keluarga perlu dibertahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang
telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penicillin, anestesei local, dll) harus selalu waspada untuk
timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rhinitis, eksim,
atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan
obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi beapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman.

Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat perbaikan,
pasien dirujuk ke layanan sekunder.

Komplikasi
Kerusakan otak, koma, kematian

Prognosis
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolannya karena
itu umumnya adalah dubia ad bonam.

URTIKARIA
Pengertian
Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superficial dermis berupa bentol (wheal) yang
terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak kepucatan di bagian tengahnya,
bersifat sementara, gejala puncaknya selama 306 jam dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama
berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi baru, serta dapat terjadi di manapun pada
permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang
berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6
minggu disebut urtikaria kronik.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
 Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang atau baru pertama kali
 Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (sepert antibiotic, analgetik, antikonvulsan,
cairan infuse, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan kimia (contact
urticaria), rangsang tekanan (pressure urticaria) atau rangsang fisik (physical urticaria) seperti
paparan dingin, air (aquagenic urticaria), cahaya (solar urticaria), dan trauma ringan.
 Faktor yang memperberat: seperti stress, temperature panas, alcohol.
 Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubella)

4
Pemeriksaan Fisik
 Benuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit
 Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan mukosa atau
submukosa, memar, keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulit yang luas
 Kemungkinan kelainan sitemik atau metabolic, seperti gangguan tiroid, ikterus, arthritis
 Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidah hilang dalam 24 jam dicurgai adanya
urtikaria vaskulitis.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal
 Tes alergi
 IgE Atopi

DIAGNOSIS BANDING
Mastositosis (rtikaria pigmentosa), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit (cutaneous vasculitis),
Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia (EAAE), angioedema herediter, urtikaria popular,
dermatitis atopic, eritema ultiformis, pemfigoid bulosa.

TATALAKSANA
 Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus
 Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan pemberian
anihistamin generasi pertama.
 Medikamentosa:
Lini 1: Antihistamin generasi pertama (klofeniramin, hidroksizin, difenhidramin), antihistamin
generasi kedua (setirizin, loratadin), antagonis H2 (simetidin, ranitidine) per oral
Lini 2: Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa ksus yang berat, kalau perlu
dilakukan biopsy bila dicurgai adanya vaskulitis untuk klasifikasi histopatologis. Bila diertai
angioedema yang berat, injeksi adrenalin intramuscular dapat diberikan.

KOMPLIKASI
 Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring
 Gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari
PROGNOSIS
Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu pernah mengalami
urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh. Pada 25 % kasus urtikaria seringkali
disertai angioedema. Diperkirakan anita dua kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki.

VAKSINASI PADA ORANG DEWASA


Pengertian
Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan berbagai cara,
baik secara aktif maupun pasif. Sebagai contoh imunisasi pasif adalah pemberian imunoglubulin,
sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan cara pemberian vaksin.
Jenis vaksin
Tabel1. Jenis-jenis vaksin
Tipe Vaksin Contoh

Virus yang dilemahkan (live attenuated virus) Polio sabin, measles, mumps, rubella, varicella,

5
yellow fever

Bakteri yang dielemahkan (live attenuated BCG*, TY21a (vaksin oral tifoid)
bacterium)

Virus yang telah dimatikan (killed whole virus) Polio salk, influenza, hepatitis A

Sel bakteri yang dimatikan (killed whole cell Pertusis, kolera, antraks
bacterium)

Toxoid Difteri, tetanus

Molecular vaccine: protein Acellular pertusis, subunit influenza, Hepatitis B,


HPV**

Molecular vaccine: carbohydrate Haemophilus influenza type B (Hib), Vi tifoid,


meningokok, penumokok

Molecular vaccine: carbohydrate-protein Hib, mengingokok, penumokok


conjugate

Combination vaccine Difteri, pertusis, tetanus (DPT); measles-mumps-


rubella (MMR);DPT-Hib

Keterangan:
*BCG = Bacillus Calmette-Guerin, vaksin antituberkulosis
**HPV = Human Papiloma Virus
Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau lebih vaksin hidup
diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan kedua berjarak lebih daripada 28
hari. Apabila pemberian vaksin hidup (MMR, MMRV, varicella zoster, yellow fever) dilakukan kurang
daripada 28 hari, maka pemberian vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya
efektivitas vaksin hidup yang kedua. Namun terdapat pengecualian, misalnya pemberian vaksin
yellow fever dapat dilakukan kurang daripada 28 hari setelah pemberian vaksin campak.
Memperpanjang interval pemberian vaksin tidak mengurangi efektivitas vaksin sehingga dosis tidak
perlu diulang atau ditambah. Sebaliknya, mempercepat interval pemberian vaksin dapat
mempengaruhi proteksi dan respons antibody. Oleh karena itu, vaksin tidak boleh diberikan lebih
cepat daripada interval minimum, kecuali ada dukungan data uji klinik. Selain itu, vaksin juga tidak
boleh diberikan lebih cepat dari usia minimum yang telah ditentukan, misalnya pada vaksinasi di
sekolah yang perlu diperhaikan adalah usia, bukan kelas siswa. Jadi, bila usia siswa belum mencapai
usia yang diindikasikan pada pemberian vaksin, meski ia satu kelas dengan temannya, ia tidak
divaksin. Meski demikian, berdasarkan rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP), pemberian vaksin empat hari sebelum interval dari usia minimum diperbolehkan.

JADWAL IMUNISASI YANG DIREKOMENDASIKAN


Setiak orang dewasa yang ingin mendapatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan
pencegahan dengan pemberian vaksinasi. Jadwal Imunisasi Dewas telah direkomendasikan oleh
PAPDI, dan dibawah ini dapat rekomendasi tahun 2014.
Table 2. Jadwal Imunisasi Dewasa yang Direkomendasikan oleh PAPDI Tahun 2014
Table disini

6
USIA LANJUT
Orang berusia diatas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun. Produksi dan proliferasi
limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular dan produksi antibody berkurang sehingga
lebih mudah terserang penyakit. Menurut American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi
individu >= 65 tahun, seperti tercantum pada table 3.
Tabel 3. Vaksinasi yang dianjurkan pada usia lanjut
Nama Vaksin Dosis dan Cara Indikasi Kontraindikasi dan
Pemberian Peringatan

Influenza 1 dosis (0,5 ml) IM Usia >= 50 tahun, Riwayat reaksi


deltoid (setiap tahun) termasuk risiko tinggi anaflaksis terhadap
(asma, PPOK, penyakit vaksin atau
jantung, ginjal, hati, komponennya (mis.
gangguan metabolic, Telur)
imunosupresi)
Jangan memberikan
vaksin hidup pada usia
>= 50 tahun

Sindrom Guilain-Barre
dalam 6 minggu dari
dosis terakhir

Pneumococcal 1 dosis (0,5 ml) IM Usia >= 65 tahun yang Riwayat reaksi
Polysaccharide Vaccine atau SC belum pernah divaksin anaflaksis terhadap
(PPSV) sebelumnya PPSV atau
komponennya

Sakit ringan
dengan/tanpa demam
bukan kontraindikasi

Gunakan dengan hati-


hati pada penyakit akut
sedang/berat

PCV tidak dianjurkan


untuk lansia

Herpes Zoster 1 dosis (0,65 ml) SC Usia >= 65 tahun tanpa Riwayat reaksi
deltoid melihat riwayat infeksi anafilaksis terhadap
zoster sebelumnya vaksin atau
2 dosis serial bila VZV komponennya (gelatin,
seronegatif neomisin)

Imunokompromis
(infeksi HIV dengan <

7
200 CD4 cells/mikro l)

Gunakan dengan hati-


hati pad penyakit akut
sedang/berat

Tetanus, difteri (Td) 3 dosis Td toksoid (2 Vaksin serial lengkap Riwayat reaksi
dosis pertama selang 4 diindikasikan pada anaflaksis terhadap
minggu, dosis ke-3 6- dewasa tua dengan vaksin Td penyakit akut
12 bln kemudian, riwayat vaksin tidak
booster tiap 10 jelas atau kurang dari 3
tahun*) dosis

*Catatan: dapat
diberikan lebih sering
pada luka resiko tinggi
(luka bakar, luka tusuk,
luka jaringan lunak
ekstensif)

HAMIL
Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk system imun. Pada kehamilan, system
imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas humoral sehingga wanita hamil
rentan terkena infeksi.
Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 4. Rekomendasi vaksin bagi wanita hamil
Table disini
Vaksin Sebelum Selama Setelah Jenis Cara
Kehamilan Kehamilan Kehamilan Vaksin Pemberian

Hepatitis A Jika ada Jika ada Jika ada Inaktif IM


risiko risiko risiko

Hepatitis B Ya, Jika ada Ya, jika ada Ya, jika ada Inaktif IM
risiko risiko risiko

Human Papiloma Virus Ya, usia 9- 24 Tidak Ya, usia 9-24 Inaktif IM
(HPV) tahun tahun

Influenza (inaktif) Ya, hindari Ya Ya Inaktif IM


konsepsi
selama 4
minggu

Meningokok Jika ada Ya, jika ada Ya ada


indikasi indikasi indikasi
 Konjugat

8
 Polisakarida Inaktif IM

Inaktif SC

Penumokok Jika ada Jika ada Jika ada Inaktif IM atau SC


polisakarida indikasi indikasi indikasi

Polio (IPV) Jika ada Dihindari, Jika ada Inaktif SC


indikasi kecuali ada indikasi
risiko

Tetanus-Diptheria (Td) Ya, Tdap Jika ada Ya, Tdap Toxoid IM


lebih dipilih indikasi lebih dipilih

Tetanus-Diptheria- Ya Ya, jika risiko Ya Toxoid IM


Pertusis(Tdap) tinggi
pertusis

Varicella Ya, hindari Tidak Ya, hindari Hidup SC


konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu

Influenza (LAIV) Ya, jika < 50 Tidak Ya, jika < 50 Hidup Nasal spray
tahun dan tahun dan
sehat; sehat;
hindari hindari
konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu

MMR Ya, hindari Tidak Ya, hindari Hidup SC


konsepsi konsepsi
selama 4 selama 4
minggu minggu

PEMBERIAN VAKSIN PADA IMUNODEFISIENSI SEKUNDER


Imunodefisiensi sekunder meurpakan bagian dari imunokompromais (gangguan system imun).
Infeksi sering menjadi penyebab kematian pada pasien imunokompromais, karena itu vaksinasi
dibutuhkan untuk mencegah risisko terkena infeksi. Dibawah ini terdapat rekomendasi pemberian
vaksin pada pasien dengan imunodefisiensi sekunder
Table 5. rekomendasi pemberian vaksin pada imunodefisiensi sekunder
Imunodefisiensi Vaksin yang Vaksin yang Dianjurkan Efektivitas dan
Spesifik Dikonraindikasi Keterangan

HIV/AIDS OPV*2 Influenza (TIV)** MMR, varicella, dan


yellow fever diberikan
BCG Penumokok bila hitung CD4 > 200

9
LAIV*** Hepatits A dan B sel/μL

HAJI
Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejak tahun 2002 telah mewajibkan Negara-negara
yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi meningokok tetravelan (A/C/Y/W-135)
sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis
meningokokus. Cara pemberian vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah
deltoid atau gluteal.
Respons antibody terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10-14 hari dan dapat bertahan selama 2-3
tahun. Vaksin diberikan pada jemaah haji minimal 10 hari sebelum berangkat ke Arab Saudi dan bagi
jemaah yang sudah divaksin sebelumnya (kurang dari tiga tuhan) tidak perlu vaksinasi ulang.
Disamping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan penumokok
mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah yang sebagian besar
termasuk usia lanjut.

HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI


PENGERTIAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di dunia
serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan hasil estimasi Depertemen Kesehatan tahun
206 diperkirakan terdapat 169.000 – 216.000 orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program
bersama UNAIDS dan WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien datang dapat dengan keluhan:
1. Demam (suhu > 37.5 C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan
3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) > 10 % dari berat badan dasar.
4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesame laki-laki dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko/tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapat transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu pasangan positif
HIV
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis seboroik.
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster:

10
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri atau massa.
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit:
Limfopenia, dan CD4 hitung > 500 (CD4 sekitar 30% dari jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
c. Pemeriksaan DPL
2. Radiologi: Rontgen toraks

Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua macam pendektana
untuk tes HIV:
1. Konseling dan test HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Tesing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated
Testing and Counseling)
Penegakan Diagnostis (Assestement)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium klinis
harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan.
Tabel 1. Stadium Klinis HIV
Stadium 1 Asimtomatik

1. Tidak ada penurunan BB


2. Tidak ada gejala atau hanya limfa denopati generalisata persisten

Stadium 2 Sakit Ringan

1. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan BB
atau BB sebelumnya)
2. ISPA berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)
3. Herpes zoester dalam 5 tahun terakhir
4. Keillitis Angularis
5. Ulkus mulut yang berulang
6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruiritic eruption)
7. Dermatitis seborolik
8. Infeksi jamu pada kuku

Stadium 3 sakit sedang

1. Penurunan berat badan yang tak diketahu penyebabnya (>10% diperkirakan BB atau
BBsebelumnya)
2. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
3. Demam menetap yang tak diketahui penyebab
4. Kondidiasis pada mulut yang menetap

11
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberkulosis paru
7. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meringitis, piomiositis, infeksi
tulang atau sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggut yang berat)
8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingivitis atau periodontitis
9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb<8g/dl), neutropeni (<0.5 x 10 g/l) dan/atau
trombositopenia kronis (<50 x 10 g/l)

Stadium 4 sakit berat (AIDS)

1. Sindrom wasting HIV


2. Pneumonia pneumocystis jiroveci
3. Pneumonia bakteri berat yang berulang
4. Infeksi herpes simpleks kronis (oralabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan
atau visceral di bagian manapun)
5. Kandidiasis esophageal (atau kondidiasis trakea, bronkus atau paru)
6. Tuberculosis ekstra paru
7. Sarcoma Kaposi
8. Penyakit cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan
kelenjar getah bening)
9. Toksoplasmosis di sistim saraf pusat
10. Ensefalopati HIV
11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12. Infeksi mycobacteria non tuberculosis yang menyebar
13. Leukoencephalopathy multifocal progresif
14. Cryptosporidiosis kronis
15. Isosporiasis kronis
16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17. Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18. Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19. Karsinoma serviks invasive
20. Leishmaniasis diseminata atipikal
21. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit gangguan system imun.

TATALAKSANA
Prosedur
Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan
penetuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti tuberculosis dan
ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti tuberculosis dan
ensefalitis toksoflasma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik tersebut dahulu.
2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan)
3. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

12
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
4. Pada pasien dengan CD4 < 200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma
ensefalitis, berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimosasol. Indikasi
pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas.
5. Dokter mengindentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV serperti pada table 2.
6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjang yang sesuai
dengan ARV yang diberikan untuk mengetahuui ada tidaknya kontraindikasi sesuai dengan
hasil pemeriksaan laboratorium pada table 2.
7. Identifikasi dan tatalaksana fk+ctor yang dapat mempengaruhi adherens.
8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV (konseling pra
ARV)
Tabel 2. Rekomendasi Inisiasi ARV pada anak dan dewasa
Populasi Rekomendasi

Dewasa dan anak >= 5 tahun Inisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium
klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 <= 350
sel/mm3

Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO


dan berapapun jumlah CD4

 Koinfeksi TBa
 Koinfeksi hepatitis B
 Ibu hami dan menyusui terinfeksi HIV
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya
HIV negative (pasang serodiskordan),
untuk mengurangi risiko penularan
 LSL, PS, atau Penasunb
 Populasi umum pda daerah dengan
epidemi HIV meluas
a
pengobatan TB harus dimulai terlebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8 minggu
sejak mulai TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3. ARV
harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB,. Sedangkan untuk ODHA dengan
meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 mingu pengobatan kriptokokus.
b
Dengan memperhatikan kepatuhan
Table 3. panduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang BelumMendapat
Terapi ARV (Treatment Naïve)
Populasi Target Pilihan yang Direkomendasikan Catatan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + Merupakan pilihan paduan
EVF atau NVP yang sesuai untuk sebagian
besar pasien

Gunakan FDC jika tersedia

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP TDF bisa merupakan pilihan

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV Mulai terapi ARV segera setelah

13
terapi TB dapat ditoleransi
(antara 2 minggu hingga 8
minggu)

Gunakan NVP atau tripel NRTI


bila EFV tidak dapat digunakan

Ko-infeksi HIV/Hepatits B kronik TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan
aktif HbsAG terutama bila TDF
merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV

 Jangan memulai dengan TDF pada pemakaian terapi ARV awal, jika CCT hitung < 50 ml/menit
atau pada penderita diabetes lama, hipertensi yang tidak terkontrol dan gagal ginjal
 Jangan memulai denga AZT sebelum terapi ARV bila Hb < 10 gr/dt

Tabel 4. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa


Golongan / Nama Obat Dosis

Nucleoside RTI

Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari

Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam (30 mg setiap 12 jam bila BB


< 60 kg)

Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam

Nucleoide RTI

Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari,

(Catatn: interaksi obat dengan ddl perlu


mengurangi dosis ddl)

Non-nucleoside RTIs

Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP) Neviral) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudain


200 mg setiap 12 jam

Protease Inhibitors

Lapinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/122 mg


setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau

14
NVP)

ART kombinasi

AZT-3TC (Duviral) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam

Rencana Tindak Lanjut


1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
Monitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
2. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral
a. Pemantauan klinis
Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan
kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.
b. Pemantauan laboratorium
 Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada
indikasi klinis.
 Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada
minggu 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala
anemia
 Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250-350
sel/mm3 maka perlu dilakukan pemantaun enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan
ddengan pemantaun berdasarkan gejala klinis.
 Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.

Konseling dan Edukasi


1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompol risiko
tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. Pasien
disarankan untuk bergabung dnegna kelompok penganggulanan HIV/AIDS untuk menguatkan
dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.

Kriteria Rujukan
1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan
Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virology.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.

Sarana Prasarana
Layanan VCT

Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat
ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi definitive, sehingga prognosis
pada umumnya buruk.

15
DIVISI GASTROENTEROLOGI

16
DIARE KRONIK

PENGERTIAN
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejak awal diare
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Waktu dan frekuensi diare
2. Bentuk tinja
3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen, demam, mual muntah, penurunan
berat badan
4. Obat-obatan : laksan, antibiotika, imunosupresan, dll
5. Makanan / minuman
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, status dehidrasi
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan, tinja, darah, urin
- Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi : barium enema / colon in loop (didahului
BNO), kolonoskopi, ileoskopi, dan biopi, barium follow through, atau enteroclysis,
USG abdomen, CT scan abdomen
- Fungsi usus dan pancreas : tes fungsi pancreas, CEA dan CA 19-9
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, malabsorbsi, keganasan, IBD, IBS, kelainan metabolic, kelainan endokrin.
TATALAKSANA
Non Farmakologis
Seperti tatalaksana diare pada umumnya. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada table
diare infeksi
Farmakologis
Pengobatan diare kronik ditujukan terhadap penyakit yang mendasari. Sejumlah obat
anti diare dapat digunakan pada diare kronik. Opiat mungkin dapat digunakan dengan aman
pada keadaan gejala stabil.
1. Loperamid : 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap mencret. Dosis maksimum 16 mg/
hari.
2. Kodein :Dosis 15-60mg setiap 4 jam. Paregoric diberikn 4-8 mL.
3. Klonidin : Diberikan 0,1-0,2 mg.hari selama 7 hari. Bermanfaat pada pasien dengan diare
sekretorik, kriptosporodiosis dan diabetes
4. Ocreotide : Dosis efektif 50-250 mg subkutan tiga kali sehari.
5. Cholestiramin :Dosis 4gr 1 s/d 3 kali sehari.
6. Atapulgit, biasanya dosis yang diberikan 3x2 tab selama diare.
KOMPLIKASI
Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/ gas
darah, gagal ginjal akut, kematian.
PROGNOSIS
Prognosis diare kronik ini sangat tergantung pada penyebabnya. Prognosis baik pada
penyakit endokrin. Pada penyebab obat-obatan, tergntung pada kemampuan untuk menghindari
pemakaian obat-obatan tersebut.
UNIT YANG MENANGANI
- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam
- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam
UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : Departemen bedah digestif, ICU / High care
- RS non-pendidikan : ICU, bagian bedah

17
GASTROESOPHAGEAL RELUX DISEASE (GERD)

PENGERTIAN
Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esophagus, laring dan saluran nafas; akibat kelemahan otot sfingter
esophagus bagian bawah (LES/ lower esophageal sfingter).
Terrapat dua kelompok pasien GERD, yaitu pasien dengan esophagitis erosive yang
ditandai dengan mucosal break di esophagus pada pemeriksaan endoskopi (GERD) dan pasien
GERD yang pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break (non erosive reflux
disease / NERD)
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti:
- Keluhan paling sering : merasakan adanya makanan yang menyumbat di dada, nyeri
seperti terbakan di dada yang meningkat dengan membungkukkan badan, tiduran,
makan; dan menghilang dengan pemberian antasida, non cardiac chest pain (NCCP)
- Keluhan yang jarang dikeluhkan batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups, suara
serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis
- Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring dapat
ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD.
Pemeriksaan Penunjang
Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
dilakukan ketika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi.
- Esophagogastroduodenoscopy (EGD): melihat adanya kerusakan esophagus
- Barium meal : melihat adanya stenosis esophagus, hiatus hernia
- Continous esophageal pH monitoring : mengevaluasi pasien GERD yang tidak respon
dengan PPI, evaluasi pasien-pasien dengan gejala ekstra esophageal sebelum terapi
PPI, memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti refluks atau mengevaluasi
NERD berulang setelah operasi anti refluks.
- Manometri esophagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan
penelitian
- Stool occult blood test : untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esophagus,
lambung, atau usus.
- Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, dysplasia atau
keganasan.
DIAGNOSIS BANDING
- Dispepsia
- Ulkus peptikum
- Kolik bilier
- Eosinophilic esophagitis
- Infeksi esophagitis
- Penyakit jantung coroner
- Gangguan motilitas esophagus
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (antikolinergik, teofilin) dan
mengurangi makan makanan yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti kopi,
mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda.

18
2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasa pada malam hari
3. Makan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur
Farmakologis
1. Histamine type 2 receptor antagonist (H2RAs)
2. Proton Pump Inhibitor (PPI) : umumnya diberikan selama 8 minggu dengan dosis ganda
3. Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis standar selama 8 minggu lalu diberikan pada
saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang
4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul
Tindakan Invasif
1. Pembedahan anti refluks : laparoscopic Nissen Fundoplication
2. Terapi endoskopi: radiofrequency ablation, endoscpic suturing, endoscopic implantation,
endoscopic gastroplasty.
KOMPLIKASI
Refluks esophagus dapat menimbulkan komplikasi esophagus maupun ekstra esophagus
- Komplikasi esophagus: striktur, ulkus, barret esophagus bahkan adenokarsinoma di
kardia dan esophagus
- Komplikasi ekstra esophagus asma, bronkospasme, batuk kronik atau suara serak,
masalah gigi.
PROGNOSIS
Pengobatan denga penghambat sekresi asam lambung dapat mengurangi keluhan
derajat esophagitis dan perjalanan penyakit. Risik dari striktur menjadi Barret esophagus atau
adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2-20 tahun kasus.
UNIT YANG MENANGANI
- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam
- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam
UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : Departemen bedah digestif, ICU / High care
- RS non-pendidikan : bagian bedah

HEMATEMESIS MELENA

PENGERTIAN
Hematemesis adalah muntah darah kehitaman yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum treitz. Perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk
keluarnya darah segar per namun bila perdarahannya banyak. Melena (feses berwarna hitam)
biasa berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal
kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk melena.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Jumlah, warna, perdarahan
2. Riwayat konsumsi obat NSAID jangka panjang
3. Riwayat merokok, pecandu alcohol
4. Keluhan lain seperti mual, kembung, nyeri abdomen, dll
Pemeriksaan Fisik
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Kondisi pernafasan
5. Produksi urin

19
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratium: darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan perdarahan,
petanda virus hepatitis, rasio BUN/kreatitin
2. Radiologi: OMD jika ada indikasi
3. Endoskopi saluran cerna
DIAGNOSIS BANDING
Hemoptoe, hematokezia
TATALAKSANA
Stabilisasi hemodinamik
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar, pemberian cairan normal salin atau ringer
laktat
4. Evaluasi laboratorium: waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, rasio BUN / serum
kreatinin
5. Pertimbangkan tranfusi PRC apabila kehilangan darah sirkulasi >30% atau Ht < 18% (
atau menurun >6%) sampai target Ht 20-25% pada dewasa muda atau 30% pada
dewasa tua
6. Pertimbangkan tranfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit apabila INR >1,5 atau
trombositopenia
7. Pertimbangkan Intensive care unit (ICU) apabilsa:
a. Paien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan tranfusi darah
multiple atau dengan akut abdomen.
Nonfarmakologis
Balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus
Farmakologis
- Tranfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises
tranfusi sampai Hb 10g%, pada kasus non varies tranfusi sampai dengan Hb 12g%.
Bila perdarahan berat (25-30%), boleh dipertimbangkan tranfusi whole blood (WB).
- Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dextran /
hemacel) atau Nacl 0,9% atau RL.
- Untuk penyebab non-varises:
o PPI dalam bentuk bolus maupun drip tergantung kondisi pasien, jika tidak
ada dapat diberikan H2 reseptor antagonis
o Sitoprotektor sukralfat 3-4 x 1 gram atau teprenon 3x1 tab atau rebamipide
3x100mg
o Injeksi vitamin K 3x1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau
sirosis hati
- Untuk penyebabvarises :
o Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mcg/jam intravena atau ocreotide
(sandostatin) 0,1 mg/2jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan
berhenti atau bila mampu diteruksan 3 hari setelah skleroterapi / ligase
varises esophagus.
- Vasopresin ; sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 mL dextrose 5%
diberikan 0,5-1 mg/menit iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam atau
setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 u/menit. Pemberian
vasopressin disarankan bersamaan dengan preparat nitrat misalnya nitrogliserin iv
dengan dosis awal 40mcg/menit lalu titrasi dinaikkan sampai maksimal
400mcg/menit. Hal ini untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak.

20
- Propanolol, dimulai dosis 2x10mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolic
turun 20mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil hematemesis
melena (-)
- Isosorbid dinitrat/ mononitrate 2x1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil
- Metoklopramid 3x10mg/hari
o Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
o Pada pasien dengan pecah varises/ penyakit hait kronik / sirosis hati dapat
ditambahkan:
 Laktulosa 4x1 sendok makan
 Antibiotika ciprofloksasin 2x500mg atau sefalosporin generasi ketiga.
Obat ini diberikan sampai konsistensi dan frekuensi tinja normal
HEMOSTASIS ENDOSKOPI
- Untuk perdarahan non varises : Penyuntikan mukosa di sekitar titik perdarahan
menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1mL tiap kali suntuk dengan batas
dosis 10mL. Penyuntikan ini harus dikombinasi dengan terapi endoskopik lainnya
seperti klipping, termo koagulasi atau elektro koagulasi
- Untuk perdarahan varises dilakukan ligase atau sklerosing.
TATALAKSANA RADIOLOGI
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum
bias ditentukan asal perdarahan. Pada varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular
intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber perdarahan yang tidak jelas dapat
dilakukan tindakam arteriografi. Prosedur bedah dilakukan sebagi tindakan emergensi atau
elektif
KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindroma hepatorenal, koma
hepatikum, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebakan pecahnya varises
esophagus mempunyai faal hati yang buruk/terganggy sehingga setiap perdarahan baik besar
maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak factor yang mempengaruhi
prognosis penderita seperti factor umum, kadar Hb, tekanan darah dan lain lain. Mengingat
tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menganggulangi perdarahan saluran cerna
bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang besifat preventif.
UNIT YANG MENANGANI
- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam
- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam
UNIT TERKAIT
- RS pendidikan : Divisi Hemato-onkologi medik – Depatemen Penyakit dalam,
Divisi bedah digestif - Departemen bedah, ICU / High care
- RS non-pendidikan : ICU, bagian bedah

HEMATOKEZIA

PENGERTIAN
Hematokezia merupakan suatu gejala perdarhan gastrointestinal, yaitu keluarnya darah
segar atau merah marun dari rectum. Hematokezia lebih sugestif ke arah perdarahan saluran
cerna bagian bawah (SCBB), namun pada 10% kasus, dapat juga berasal dari perdarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya tidak dapat mendiagnosis sumber
perdarahan. Endoskopi merupakan pilihan pemeriksaan pada pasien dengan perdarahan SCBA

21
dan sebaiknya dilakukan secepatnya pada pasien dengan instabilitas hemodinamik ( hipotensi,
takikardia, atau perubahan postural nadi dan tekanan darah)
DIAGNOSIS BANDING
Perdarahan diverticular, angiodisplasia, keganasan, perdarahan SCBA, post polipektomi.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah
Kolonoskopi :

- Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic utama terpilih pada penderita


perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator dapat mengevaluasi
perubahan mukosa kolon, patologi infeksius, colitis dan perubahan iskemik untuk
menyingkirkan diagnosis banding.
- Sebaiknya dilakukan dalam 12-28 jam saat gejala pertama kali muncul, dan setelah
dilakukhun
- Tan persiapan bilas kolon (1L polyethylene glycol solution tiap 3045 menut selama
sedikitnya 2 jam atau sampai cairan jernih

Pencitraan radionuklir (Blood pool scan ):

- Dilakukan apabila kolonoskopi gaal mengidentifikasi lokasi sumber perdarahan

Angiografi

- Injeksi zat contrast ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan cabang-
cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan.

TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu:

1. Resusitasi dan penilaian awal


2. Identifikasi sumber perdarahan  dengan pemeriksaan penunjang tersebut diatas
3. Intervensi terapeutik untuk menghentikan perarahan
a. Endoskopi : injeksi epinefrin, elektrokauter, pemasangan endoklip, lem fibrin
b. Angiografi : infus vasopressor intra-arterial, embolisasi
c. Bedah : apabila diperlukan tranfusi dalam jumlah besar (contoh >4 unit PRC
dalam 24 jam), instabilitas hemodinamuk yang tidak merespon terapi medis,
perdarahan berulang yang tidak merespon terapi, perdarahan diverticular >=2
apisode.

KOMPLIKASI

22
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan
PROGNOSIS
Meskipun sebagian besar perdarahan diverticular bersifat self-limited dan sembuh
spontan, hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien. Pada pasien dengan
penyakit komorbid, malnutrisi, atau penyakit hati, memiliki prognosis buruk. Penggunaan
aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan meningkatnya risiko perdarahan divertivular (Odds
ratio = 1,9-18,4)
UNIT YANG MENANGANI

- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam


- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam

UNIT TERKAIT

- RS pendidikan : Divisi Hemato-onkologi medik – Depatemen Penyakit dalam,


Divisi bedah digestif - Departemen bedah, ICU / High care
- RS non-pendidikan : ICU, bagian bedah

ILEUS PARALITIK

PENGERTIAN
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal/ tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
tindakan / operasi yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma retroperitoneal yang
berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau pielonefritis berat, penyakit paru
seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark miokard, gangguan elektrolit (berkurangnya
kalium), dan iskemik usus, baik daro oklusi vascular maupun distensi usus.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis

- Rasa ridak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik


- Muntah sering terjadi namun tidak profuse, sendawa, bias disertai diare, sulit buang
air besar
- Dapat disertai demam
- Perlu dicari juga riwayat : batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen,
diabetes, hypokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua
jenis infeksi tubuh

23
Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bias disertai penurunan kesadaran,
demam, tanda dehidrasi dan syok.
- Distensi abdomen (+), rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani, bising usus
yang menurun sampai hilang.
- Reaksi peritoneal (-) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila penyakit
primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran
peritonitis.
- Pada colok dubur: rectum tidak kolaps, tidak ada kontraksi.

Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit, dan


analisis gas darah
- Radiologis : foto polos abdomn, akan ditemukan gambaran air fluid level. Apabila
meragukan, dapat mempergunakan contrast

DIAGNOSIS BANDING
Ileus obstruktif
TATALAKSANA
Nonfarmakologis

- Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angina
melalui dubur
- Pasang NGT dan rectal tube bila perlu
- Pasang kateter urine

Farmakologis

- Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai eektrolit


- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan 24jam
- Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai dengan kebutuhan kalori basal ditambah
kebutuhan lain
- Metoklopramid (gastroparesis), cisapride (ileus paralitik pasca operasi), klonidin
(ileus karena obat-obatan).

Terapi etiologi
KOMPLIKASI
Syok hipovolemk, septicemia sampai dengan sepsis, malnutrisi

24
PROGNOSIS
Tergantung penyebabnya
UNIT YANG MENANGANI

- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit


Dalam
- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam

UNIT TERKAIT

- RS pendidikan : Departemen bedah digestif, ICU / High care


- RS non-pendidikan : bagian bedah

KONSTIPASI

PENGERTIAN
Konstipasi merupakan gangguan motilitas kolon akibat terganggunya fungsi motoric dan
sensorik kolon. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, dan biasanya merujuk
pada kesulitan defekasi yang persisten atau rasa tidak puas. Meskipun konstipasi seringkali
hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini dapat menjadi berat dan mengancam
nyawa.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada konstipasi, sangat penting untuk membedakan suatu gangguan evakuasi, yang
sering juga disebut sebagai obstruksi outlet fungsional, mulau dari konstipasi akibat waktu
transit lama atau penyebab lainnya.
Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda-tanda “alarm” seperti penurunan berat badan,
perdarahan rectum, atau anemia, terutama pada pasien usia >40 tahun, harus dilakukan
sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit structural seperti kanker atau
striktur.
Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium : darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan
kalium) darah, fungsi tiroid

25
- Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi
untuk menemukan fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan)
- Foto polos perut
- Barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
- Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan bila
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat
pengelola konstipasi tertentu.
o Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologis (transit time di kolon, sinedefekografi,
manometry, dan elektromiografi).
o Proktosigmoidoskopi
o Trans time
o Sinedefekografi
o Uji manometry
o Pemeriksaan elektromiografi

Kriteria Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional, digunakan kriteria Rome III yaitu
munculnya gejala dalam 3 bulan terakhir atau sudah dimulai sejak 6 bulan sebelum terdiagnosis
:

1. Terdapat >= 2 gejala berikut :


a. Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi
b. Feses keras sedikitnya 25% dari defekasi
c. Sensasi tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25% dari defekasi
d. Sensasi obstruksi anorectal pada sedikitnya 25% dari defekasi
e. Diperlukan maneuver manual untuk memfasilitasi pada sedikitnya 25% dari
defekasi
2. Feses lunak jarang terjadi tanpa penggunaan laksatif
3. Kriteria tidak memenuhi sindroma kolon iritabel

TATALAKSANA
Non-farmakologis

- Apabila diketahui bahwa konsumsi obat-obatan menjadi penyebab, maka


menghentikan konsumsi obat dapat menghilangkan keluhan konstipasi.
- Bowel training . Pasien dianjurkan untuk defekasi di pagi hari, saat kolon dalam
keadaan aktif, dan 30 menit setelah makan, denga mengambil keuntungan dan reflex

26
gastrokolon. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak enahan atau menunda
dorongan untuk BAB ini.
- Asupan cairan yang cukup dan diit tinggi serat. Rekomendasi asupan serat adalah
25-30 gram per hari
- Aktivitas dan olahraga teratur

Farmakologis
Apabila terapi nonfarmakologis diatas tidak mampu meredakan gejala, maka dapat
digunakan obat-obatan seperti tercantum pada table 3.

Table 3. Golongan obat yang digunakan pada konstipasi kronik


Golongan obat Formula Dosis Dewasa
Bulk laxatives
Methylcellulose Bubuk, 2gram (dilarutkan dalam 240ml 1-3x/hari
air) 2 tab/hari
Tablet: 500mg (Maximal 6x/hari)
Polycarbophil Tablet 625mg 1-4 x 2 tab/hari
Psyllium Bubuk: 3,4 gram (dilarutkan dalam 1-4x/hari
240ml air)
Pelunak feses/
laksatif emolien
Docusate calcium Kapsul: 240mg 1x1/hari
Docusate sodium Kapsul: 50 atau 100mg 50-300mg*/hari
Cairan: 150mg per 15mL
Sirup: 60mg per 15mL
Laksatif osmotic
Laktulosa Cairan: 10g per 15mL 15-60mL*/hari
Magnesium sitrat Cairan: 296mL per botol ½-1 botol/hari
Magnesium Cairan: 400mg per 5mL 15-60mL*/hari
hidroksida
Polyethylene glycol Bubuk: 45mL (dilarutkan dalam 240ml 1x/hari
3350 air)
Sodium bifosfat Cairan: 45mL ( dilarutkan dalam 120mL 20-45mL/hari
air) , 90ml (dilarutkan dalam 240mL air)
Sorbitol Cairan 480mL 30-150mL/hari

27
Laksatif stimultan
Bisacodyl Tablet; 5mg 5-15mg/hari
Cascara Cairan: 120mL 1x5mL/hari
Tablet: 325mg 1x1tab/hari
Sagrada Tablet: 325mg 1x1 tab/hari
Castor oil CairanL 60mL 15-60mL*/hari
Senna Tablet: 8,6mg 2 atau 4 tablet sekali
atau dua kali/hari
Agen Prokinetik
Tegaserod Tablet: 2mg, 6mg 2x1 tab**/hari
Keterangan:

*Dapat dibagi dalam beberapa dosis


** diberikan pada konstipasi pada wanita yang berhubungan dengan sindrom kolon
iritabel

Terapi lainnya

- Bakterioterapi (probiotik): lactobacillus, Bifidobacterium


- Complimentary Alternative Medicine: herbal, akupuntur

Bedah

- Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan prosedur pilihan bagi pasien


dengan konstipasi transit lama yang persisten dan sulit dikontrol.
- Koreksi pembedahan dibutuhkan bagi pasien dengan rektokel besar yang
mengganggu defekasi

Terapi Konstipasi pada Kehamilan


Konstipasi pada kehanilan lanjut merupakan maslaah yang sering terjadi karena
meningkatnya serkulasi hormone progesterone, yang memperlambat motilitas gastrointestinal.
Suplementasi serat terbukti dapat meningkatkan pergerakan usus dan melunakkan feses.
Meskipun laksatif stimulant lebih efektif daripada bulk laxatives namun mereka lebih cenderung
menyebabkan diare dan nyeri perut. Oleh karena itu wanita hamil sebaiknya dianjurkan untuk
menambah asupan serat ke dalam makanan namun apabila konstipasi menjadi persisten, dapat
diberikan laksatif stimulant.
KOMPLIKASI

28
Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi anorectal, perforasi usus, retensio urine,
hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah sigmoid akibat
impaksi feses, serta prolapse rectum.
PROGNOSIS
Secara umum, konstipasi memiliki dampak signifikan terhadap indikator kualitas hidup
(quality of life) terutama pada usia lanjut. Hampir 80% dari 300 anak yang dievaluasi pada usia
16 tahun memiliki prognosis baik. Prognosis buruk setelah usia 16 tahun secara signifikan
berhubungan dengan usia ketika onset gejala, lamanya jeda antara onset gejala dengan kunjunga
pertama ke dokter, dan rendahnya frekuensi defekasi (sekali seminggu) saat datang berobat.
UNIT YANG MENANGANI

- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam


- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam

UNIT TERKAIT

- RS pendidikan : Departemen bedah digestif, Departemen gizi klinik


- RS non-pendidikan : bagian bedah, bagian gizi

PANKREATITIS AKUT

PENGERTIAN
Pankreatitis akut adalah proses peradangan pancreas yang reversible. Hal ini memiliki
karakteristik episode nyeri perut yang diskret (menyebar) dan meningkatnya serum amilase
dan lipase
DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut bagian atas yang akut
dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah. Lokasi tersering adala region
epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat menjalar ke punggung, dada, pinggang dan perut
bagian bawah. Pasien biasanya sulit tidur dan membungkuk ke depan (knee-chest position)
untuk meredakan nyeri karena posisi supine dapat memperbeat intensitas nyeri
Pemeriksaan Fisik

- Demam (biasanya <38oC), takikardi, gangguan hemodinamik (hipotensi), nyeri perut


berat, guarding/defens muscular, distress pernapasan, dan distensi abdomen. Bising

29
usus biasanya menurun sampai hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul tanpa
adanya batu pancreas sebagai akibat dari kompresi ductus koledokus dari edema
pancreas.
- Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardia dan hipertermi.
Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang nyeri dan eritema akibat
nekrosis lemak subkutan.
- Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar yang
terkadang muncul di pinggang (tanda grey turner) atau area umbilicus (tanda
Cullen); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari pancreas yang terletak di
daerah retroperitoneal
- Perlu juga dicari tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis akut.

Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium: darah rutin (biasa ditemukan leukositosis), serum amilase, lipase,


gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profil lipid, analisis gas
darah, elektrolit
- Radiologis; USG abdomen, foto abdomen, CT scan abdomen dengan kontras, MRI
abdomen (lebih baik untuk ibu hail dan pasien yang memiliki alergi terhadap zat
kontras)

DIAGNOSIS BANDING
Perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, kolik bilier, obstruksi intestinal akut, oklusi
pembuluh darah mesenterika, kolik renal, infack miokard, diseksi aneurisma aorta, kelainan
jaringan ikat dengan vasculitis, pneumonia, diabetes ketoasidosis.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis

- Suportif: pada pankreatitis ringan, oral feeding sebaiknya dimulai dalam 24-72 jam
setelah onset. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi, dapat dipertimbangkan
enteral feeding dengan NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi enteral feeding atau pemberian infus yang adekuat tidak
dapat dicapai dalam 2-4 hari.

30
- Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10L/hari bila terjadi gangguan
hemodinamik pada pankreatitis berat). Koloid seperti PRC diberikan apabila
Ht<25% dan albumin apabila albumin serum <2mg/dL
- Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pada nekrosis
pancreas atau peripankreas. Pada pankreatitis bilier, dapat dipertimbangkan
kolesistektomi.

Farmakologis

- Analgetik dan sedative


- Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi/ sepsis sambal
menunggu hasil kultur. Apabila hasil kultur negative, maka antibiotic dihentikan.

KOMPLIKASI

- Lokal: nekrosis pankeas yang terinfeksi, infeksi pancreas atau peripankreas, ascites,
pseudokista pancreas
- Sistemik: gagal ginjal, gagal napas

PROGNOSIS
Tergantung berat-ringannya pankreatitis akut, maka disusun system skoring prognostic
berdasarkan klinis pasien.
UNIT YANG MENANGANI

- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam


- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam

UNIT TERKAIT

- RS pendidikan : Departemen bedah digestif, ICU / High care


- RS non-pendidikan : bagian bedah

PENYAKIT TUKAK PEPTIK

PENGERTIAN
Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis. Tukak
peptic terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Kedua tukak ini seringkali
berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. H.pylori adalah organisme yang hidup pada
mukosa gaster, gram negative berbentuk batang atau spiral, mikroaerofilik berflagela,

31
mengandung urease, hidup di bagian antrum dan migrasi ke proksimal lambung berubah
menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan diperkirakan berhubugan dengan beberapa
penyakit.
Tukak adalah suatu gambaran bulat atau oval berukuran >5mm mencapai submucosa
pada mukosa lambung dan duodenum akibat terputusnya integritas mukosa.
DIAGNOSIS
Diagnosis tukak duodenum dan tukak gaster yaitu:
Table 1. Diagnosis tukak gaster dan tukak duodenum
Tukak Gaster Tukak Duodenum
Anamnesis Nyeri epigastrium Nyeri epigastrium atau hunger pain
Rasa sakit yang tidak food relief.
menghilang dengan pemberian Rasa sakit menghilanh dengan
makanan antasida atau makanan
Dispepsia, mual, muntah, Rasa nyeri seringkali muncul
anoreksia dan kembung tengah malam
Dispepsia, mual, muntah, anoreksia
dan kembung
Pemeriksaan Fisik Tidak khas, seperti nyeri tekan Tidak khas, seperti nyeri tekan
epigastrium, distensi abdomen. epigastrium, distensi abdomen.
Tanda-tanda peritonitis jika Tanda-tanda peritonitis jika disertai
disertai perforasi perforasi
Pemeriksaan Endoskopi (SCBA) Endoskopi (SCBA)
Penunjang Biopsi untuk mendeteksi Biopsi untuk mendeteksi H.Pylori
H.Pylori Foto barium kontras ganda
Foto barium kontras ganda
Penatalaksanaan Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup menghindari
menghindari factor risiko factor risiko
H.pylori: lihat table 4 H.pylori: lihat table 4
Non H.pylori: PPI, H2RA, Non H.pylori: PPI, H2RA, Antasida:
Antasida: lihat table 3 lihat table 3

Secara umum jika ditemukan rasa nyeri yang konstan, tidak reda dengan obat antasida
atau makanan, menjalar ke punggung mengindikasikan adanya perforasi. Sedangkan nyeri yang
bertambah dengan makanan, mual, memuntahkan makanan yang tidak tercerna
mengindikasikan gastric outlet obstruction. Nyeri mendadak dapat dikarenakan adanya
perforasi.

32
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pula ada tidaknya alarm symptoms yaitu:
- Usia >45-50 tahun keluhan pertama kali muncul
- Adanya perdarahan hematemesis atau melena
- BB menurun >10%
- Anoreksia atau rasa ecpat kenyang
- Riwayat tukak peptic sebelumnya
- Muntah yang persisten
- Anemia yang tidak diketahui sebabnya
Jika tukak dicurigai disebabkan karena H.pylori, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tes untuk mendeteksi H.pylori


Tes Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Keterangan

Rapid urease 80-95 95-100 Simpel. False


negative: PPI,
antibiotic,
komponen bismuth

Histologi 80-90 >95 Membutuhkan


proses pewarnaan

Kultur - - Mahal, lebih sulit,


tergantung
keahlian, dapat
memberikan
informasi resistensi
terhadap antibiotic

Serologi >80 >90 Murah,tidak


berguna untuk
follow up awal

Urea Breath Test >90 >90 Simpel, cepat,


berguna untuk
follow up awal.
False negative
dengan PPI,

33
antibiotic
komponen bismuth

Stool antigen >90 >90 Murah, nyaman


untuk pasien

Indikasi endoskopi pada kasus dyspepsia:


1. Individu dengan alarm symptoms
2. Usia <55 tahun dengan onset dyspepsia <1 tahun dan berlangsung minimal 4 minggu

Endoskopi tidak perlu dilakukan pada kasus:


1. Pasien sudah terdiagnosa ulkus duodenum yang respon dengan terapi
2. Usia <55 tahun dengan dyspepsia tanpa komplikasi
3. Sebelumnya sudah pernah dilakukan endoskopi akibat keluhan yang sama
DIAGNOSIS BANDING

- Penyakit refluks esophagus


- Akalasia
- Pankreatitis
- Hepatitis
- Kolesistitis
- Kolik bilier
- Keganasan esophagus atau gaster
- Inferior myocardial infarction
- Referred pain (pleuritic, pericarditis)
- Sindrom arteri mesenterium superior

TATALAKSANA

Tanpa Komplikasi

- Suportif: nutrisi
- Memperbaiki atau menghindar factor risiko
- Pemberian obat-obatan:
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazol dan lansoprazole dan/atau H2-receptor antagonist (H2RA)),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid, teprenon, sukralfat), dimana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.

34
Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton
pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS
2411.

Dengan Komplikasi

Pada tukak peptic yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif sesuai
dengan penatalaksanaan hematemesis mela secara umum.

Tatalaksanaan atau tindakan khusus:

- Tindakan atau terapi hemostatic per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol
atau obat fibrinogen thrombin atau tindakan hemostatic dengan klipping, heat probe
atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.
- Pemberian obat somatostatin jangka pendek
- Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi
- Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan tetap
masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi (Lihat
pada BAB Hematemesis-Melena)

KOMPLIKASI

- Perdarahan: hematemesis, melena disertai tanda syok jka perdarahan masif


- Anemia defisiensi besi jika perdarahan tersembunyi
- Perforasi
- Penetrasi tukak yang dapat mengenai pancreas
- Obstruksi atau stenosis
- Keganasan: jarang

PROGNOSIS

Tukak gaser yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 60% jika tidak
dieradikasi dan 5% jika dieradikasi. Sedangkan untuk tukak duodenum yang terinfeksi H.pylori
mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman tetap ada dan 5% jika sudah dilakukan
eradikasi. Tukak yang disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan
dyspepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66% kasus.

Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15-25% kasus dan
tersering pada usia lanjut, di mana 5% kasus membutuhkan tranfusi. Perforasi terjadi pada 2-
3% kasus. Kasus perdarahan dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada 10% kasus.

35
Sedangkan obstruksi saluran cerna dapat terjadi pada 2-3% kasus. Adapun angka kematian
sekitar 15.000 dalam setahun karena komplikasi yang terjadi

UNIT YANG MENANGANI

- RS pendidikan : Divisi gastroentero-Hepatologi – Departemen Penyakit Dalam


- RS non-pendidikan : Bagian penyakit dalam

UNIT TERKAIT

- RS pendidikan : Departemen penyakit dalam (RS tertentu)


- RS non pendidikan : -

TUMOR GASTER

PENGERTIAN
Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari
bahasa latin, yang berarti bengkak. Istilah tumor ini digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan biologi jaringan tidak normal. Karsinoma gaster adalah pertumbuhan
abnormal secara tidak terkontrol dari sel sel pada gaster, yang membentuk masa
(tumor).
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia,
disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis, regurgitasi, dan cepat kenyang.
Faktor risiko kanker gaster: diet tinggi garam, nitrat (pengawet makanan), obesitas,
merokok, hormon reproduksi, riwayat ulkus gaster
Pemeriksaan Fisik
Mungkin ditemukan adanya masa didaerah epigastrium. Jika sudah metastasis ke
hati maka hati teraba ireguler, teraba pembesaran kelenjar limfe klavikula.
Pemeriksaan Penunjang

 Radiologi
 USG Abdomen
 Gastroskopi dan biopsy: curiga ganas jika ditemukan mukosa merah, erosi pada
permukaan dan tidak adanya pedikle

36
 Endoskopi ultrasound
 Pemeriksaan darah pada tinja, darah samar(+), test benzidin
 Sitologi: pemeriksaan papanicolaou dari cairan lambung

DIAGNOSIS BANDING

Karsinoma esofagus

TATALAKSANA

Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan:

1. Pembedahan: reseksi tumor dan jaringan sekitar, pengambilan kelenjar limfe


2. Kemoterapi: 5FU, trimetroxote, mitomisin C, hidrourea, epirubisin, dan
karmisetin
3. Radiasi

KOMPLIKASI

Perforasi, hematemesis, obstruksi, adhesi, metastasis

PROGNOSIS

Faktor yang menentukan prognosis adalah derajat invasi dinding gaster, adanya
penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis di peritoneum dan tempat lain. Kanker gaster
lanjut memiliki rata-rata bertahan dalam 5 tahun 60-80%, tumor yang menginvasi
subserosa memiliki angka bertahan 5 tahun sebesar 50%. Pada pasien dimana kelenjar
limfe telah terkena sekitar 16 kelenjar limfe, angka bertahan 5 tahun adalah 44%,
sementara apabila yang terkena 7-15 kelenjar limfe maka angka bertahannya sekitar
30%. Pada GIST, pada MALToma, angka bertahan 5 tahun sebesar 99%pada kelompok
risiko rendah, 85-88% pada kelompok risiko sedang dan 27% pada kelompok risiko
tinggi. Pada GIST, angka kekambuhan pada risiko rendah adalah 2,4%, 1,9% pada risiko
sedang dan 62,5% pada risiko tinggi. Penggolongan tingkat risiko pada GIST, dapat
dilihat pada tabel 1.

UNIT YANG MENANGANI

37
 RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi-Departemen
Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

 RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik-Departemen


Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif – Departemen Bedah, ICCU/Medical High
Care
 RS non Pendidikan : ICU, Bagian Bedah

TUMOR KOLOREKTAL

PENGERTIAN
Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip kolon dan
kanker kolon. Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa. Makna klinis yang
penting dari polip adalah dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi
menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker
kolorektal dapat dicegah.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis

1. Perubahan pola BAB, perdarahan per anus (hematoskezia dan konstipasi).


2. Gejala obstruksi:
a. Parsial: nyeri abdomen
b. Total: nausea, muntah, distensi, dan obstipasi
3. Invasi lokal bisa menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, dan
obstruksi uretra.
4. Anamnesa adanya faktor risiko kanker kolorektal seperti tercantum di atas.

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan masa yang nyeri pada abdomen. Nyeri dapat menjalar ke pinggul
sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi abdomen. Tumor pada kolon
kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi. Metastasis yang paling sering ke organ hati,
dapat ditemukan hati teraba ireguler.
Pemeriksaan Penunjang

38
- Laboratorium: perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui
darah samar feses atau anemia defisiensi Fe.
- Radiologi: kolonoskopi
- Evaluasi/histologi: gambaran atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatous
yang belum menyentuh membrane basalis. Bilamana sel ganas menembus membrane
basalis tetapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa.
Berikus dijelaskan mengenai strategi penapisan kanker kolorektal.

DIAGNOSIS BANDING
Tumor retrorektal, volvulus, prolapse rekti

TATALAKSANA

1. Kemoprevensi: obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin. Beberapa


OAINS seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insidens
berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP.
2. Endoskopi dan operasi
- Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi
bipolar.
- Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolos ascending, kolon transversum tetapi
lesi di fleksura lienalis dan kolon desending
- Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low
Anterior Resection).
3. Terapi ajuvan
SFU (pada Dukes C), irinotecan (CPT 11) inhior topoisomer, Oxaliplatin. Manajemen

KOMPLIKASI
1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi best
2. Metastase
PROGNOSIS
Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi kanker
noncolorektal adalah 11% pada usia 50tahun dan 52% pada usia 75tahun. Pada kanker
kolorektal, prognosis tergantung pada stadium kanker. Lebih lengkapnya dapat dilihat
pada tabel 1.
UNITYANG MENANGANI
• RSpendidikan :DivisiGastroentero– Hepatologi-Departemen PenyakitDalam

39
• RSnonpendidikan :BagianIlmuPenyakitDalam
UNITTERKAIT
• RSpendidikan :DivisiHematologi-Onkologi Medik-Departemen PenyakitDalam
DivisiBedahDigestif-Departemen Bedah
• RSnonpendidikan :BagianBedah

40
DIVISI HEPATOLOGI

41
KOLESISTITIS

PENGERTIAN
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu denganatau tanpa adanya
batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas,nyeritekan
danpanas badan. Faktor yangmempengaruhi terjadinya kolesistitis akut yaitu statis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Kuman yang tersering
menyebabkan kolesistitis akut yaitu E.Coli,Strep. Fecalis,Klebsiella,anaerob (Bacteroides
danClostridia);kuman akanmendekonjugasi garam empedu sehingga menghasilkan
asamempedu toksik yang merusak mukosa. Penyebab utama adalahbatukandung empedu
yangterletak diduktus sistikus sehingga menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus)
seperti karena regurgitasi enzim pankreas. Wanita, obesitas, dan usialebih dari 40tahun
akan lebih sering terkena

DIAGNOSIS
Anamnesis
Nyeriepigastrium atau perut kanan atas yangdapat menjalar kedaerah pundak,
skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda, disertai dernam.'
Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat kesisi kiri
menstimulasi angina pektoris. Nyeritimbul dipresipitasi olehmakanan tinggilernak,
palpasi abdomen, atauyawning.
Pemeriksaan Fisik
Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuman. Posisi pasien
akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeritekan disertai tanda- tanda
peritonitis 10ka1,tanda Murphy (+),ikterik biasanya menunjukkan adanya batu disaluran
empedu ekstrahepatik
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium: DPL(leukositosis), SGOT,SGPT,fosfatase alkali,bilirubin meningkat (jika


kadar bilirubin total>85.6 mol/L atau 5mg/dl dicurigai adanya batu di duktus
koledokus], kultur darah
USGhati: penebalan dinding kandung empedu (double layer) pada kolesistisis akut,

42
sering ditemukan pulasludge atau batu
Cholescintigraphy

Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut dengan Batu:


Tanda Murphy (+)
Ultrasonografi:
Penebalan dinding kandung empdu (>5mm) Distensi
kandung empedu
Adanya cairan di perikolesistik
Adanya edema subserosa (tanpa asites)
Adanyaudara intramural
Kerusakan membran mukosa
Kolesistisis (+)
DIAGNOSIS BANDING

Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik
perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal-
TATALAKSANA
Kolesistitis Akut Tanpa Batu
 Tirah baring
 Pemberian dietrendah lemakpada kondisi akutataunutrisi parsial/parenteral
bilaasupan tidak adekuat
 Hidrasi kecukupan cairan tambahkan hidrasi intravena sesuai klinis Pengobatan
suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi
kelainan elektrolit)
 Antibiotika parenteral: untuk mengobati septikemia danmencegah peritonitis
dan empiema.
 Antibiotikyangbersprektrum luasseperti golongansefalosporin, danmetronidazol
Kolesistektomi awal lebih disarankan karena menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Jikadilakukan selama 3hari pertama, angka mortalitas 0.5%.Ada
jugayangberpendapat dilakukan setelah 6-8minggu setelah terapi konservatif
dankeadaan umum pasien lebih baik

43
Kolesistitis Akut dengan Batu

 Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan


mengoreksi kelainan elektrolit)
 Antibiotika parenteral
 Surgical Cholecystectomy dan Cholecystostomy segera
 Percutaneous Cholecystostomy dengan bantuan ultrasonografi: jika kondisi
umum pasien buruk
 Transpapi/lary Endoscopic Cholecystostomy
 Endoscopic Ultrasound Biliary Drainage (EUS-BD)

KOMPLIKASI

Gangrenempierna kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula,


peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik

PROGNOSIS

Penyembuhan total didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu


menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke depan. Pada 50 %
kasus dengan serangan akut akan membaik tanpa operasi, dan 20 % kasus memerlukan
tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut (> 75 tahun) mempunyai
prognosis yang buruk.' Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK50 ng/ kg
intravena dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien yang
mendapatkan total parenteral nutrition

BATU SISTEM BILlER


PENGERTIAN

Pembentukan batu pada sistem biller; baik di kandung empedu (kolesistolitiasis)


maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut gambaran makroskopik dan
kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu kolesterol (komposisi kolesterol >70%),
batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden
terjadinya batu di duktus koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada
pasien usia lanjut). Faktor risiko terbentuknya batu:

44
 Usia dan jenis kelamin: batu kolesterol jarang sering terjadi pada anak-anak
dan remaja, insiden meningkat sesuai pertambahan usia dan wanita lebih banyak
terkena daripada laki-laki. Pada wanita usia 70 tahun insiden meningkat sampai
50%.
 Diet: makanan mengandung tinggi kalori, kolesterol, asam lemak tersaturasi,
karbohidrat,protein, dan garam dengan jumlah serat yang rendah meningkatkan
insiden batu empedu.
 Kehamilan dan paritas: kehamilan meningkatkan risiko terjadinya biliary
sludge dan batu empedu. Selama keharnilan, empedu menjadi lebih lithogenic
karena peningkatan kadar estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi
kolesterol dan supersaturated bile. Selain itu hipomotilitas kendung empedu
menyebabkan peningkatan volume dan stasis empedu.
 Penurunan berat badan terlalu cepat menyebabkan peningkatan sekresi
kolesterol oleh hati selama restriksi kalori, peningkatan produksi musin
oleh kandung empedu, dan gangguan motilitas kandung empedu. Sebagai
profilaksis dapat diberikan Ursodeoxy Cholic Acid (UOCA) 600 mg setiap hari
 Total parenteral nutrition (TPN) dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
gangguan pada relaksasi sfingter Oddi sehingga menimbulkan aliran ke kandung
empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan cholecystokinin (CCK) octapeptide
2 kali sehari intravena.
 Biliary sludge: mencetuskan kristalisasi dan glomerasi kristal kolesterol
danmempresipitasi kalsium bilirubinat.
 Obat-obatan: estrogen, clofibrate, oktreotid (analog somatostatin), seftriakson
 Abnormalitas metabolisme lemak: hipertrigliseridemia berhubungan
dengan peningkatan insiden batu empedu.
 Penyakit sistemik: obesitas, diabetes melitus, penyakit crahn
 Trauma saraf spinal: diperkirakan meningkatkan risiko batu empedu karena
gangguan relaksasi kandung empedu menyebabkan meningkatnya risiko stasis
empedu

DIAGNOSIS
Anamnesis

45
Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik biller; yakni nyeri
di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.':'
Pemeriksaan flslk
Ikterus, nyeri epigastrium, dan tanda-tanda komplikasi seperti kolesistitis,
kolangitis.
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan fungsi hati
 Foto polos abdomen: sebatas hanya untuk mendeteksi batu terkalsifikasi.' "
USG: Pencitraan utama untuk deteksi batu kandung ernpedu-"
 ERCP: sensitifitas 90 0/0, spesifitas 98 0/0, dan akurasi 96 O/OY
 MRCP: Pencitraan saluran empedu sebagai struktur yang terang dengan
gambaran batu sebagai intensitas rendah.F
 EUS (endoscopic ultrasonoraphy): gambaran sarna dengan USG abdomen tetapi
melalui pendekatan pra endoskopi
 Pemeriksaan empedu untuk melihat kristal kolesterol (tes Meltzer Lyon)
DIAGNOSIS BANDING
.. kolesistolitiasis: tumor kandung empedu, sludge, polip.
.. Koledokolitiasis: tumor saluran bilier
TATALAKSANA

Kolelitiasis 1-3
 Pasien batu asimtomatik tidak memerlukan terapi bedah
 Kolesistektomi laparoskopik jika bergejala
 ESWL: Kriteria untuk dilakukan ESWL
Koledokolitiasis
 Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik (ERCP) dikerjakan
pada pasien:
o Gejala cukup sering maupun cukup berat hingga mengganggu aktifitas sehari-
hari.
o Adanya komplikasi batu saluran empedu
o Adanya faktor predisposisi pad a pasien untuk terjadinya komplikasi

46
 Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) untuk
mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis 8-10 mgjhari selama 6 bulan
sampai 2 tahun, persentase keberhasilan lebih baik pada batu diameter < 10
mm.
KOMPLIKASI

Kolesistitis akut, kolangitis, apendisitis, pankreatitis, secondary biliary cirrhosis. 1.2,3

PROGNOSIS

Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan kematian. Akan
tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis umumnya
baik.

UNIT YANG MENANGANI


RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Bedah - Divisi Bedah Digestif
RS non Pendidikan : Bagian Bedah

IKTERUS

DEFINISI
Ikterus adalah warna kuning pada jaringan tubuh karena deposit bilirubin."
Terlihatnya ikterus jika level bilirubin> 3 mgjdU (tergantung dari warna kulit-).
Ikterus diklasifikasikan menjadi tiga kategori, tergantung pada bagian mana dari
mekanisme fisiologis mempengaruhi patologi. Klasifikasi ikterus tersebut adalah :
1. Pra-hepatik: Patologi yang terjadi sebelum hati.
2. Hepatik: Patologi terletak di dalam hati.
3. Post-hepatik: Patologi terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati.
DIAGNOSIS

47
Anamnesis
 Penggunaan obat-obatan jangka panjang seperti anabolik steroid, vitamin,
herbal, dll.
 Riwayat penggunaan obat-obatan suntik, tato, aktivitas seksual risiko tinggi
 Riwayat konsumsi makanan dengan kontaminasi yang tidak baik, konsumsi alkohol
jangka panjang
 Atralgia, mialgia, rash, anoreksia, berat bad an turun, nyeri perut, pruritus,
demam,perubahan warna urin dan warna feses
Pemeriksaan fisik
 Stigmata penyakit hati kronis: spider nevi, palmar eritema, gynecomastia,
caput medusa.
 Atrofi testis pada sirosis hepatis dekompensata.
 Pembesaran kelenjar limfe supraclavicular atau nodul periumbilical: curiga
keganasan abdomen
 Distensi vena jugular, gejala gagal jantung kanan: pada kongesti hati
 Efusi pleura kanan, ascites: pada sirosis hati dekompensata
 Hepatomegali, splenomegali
Laboratorium
 Darah: Alkalin fosfatase (ALP), Aspartat aminotranferase (AST), Alanin
Aminotransferase (ALT), bilirubin total, konjugasi bilirubin, bilirubin tak
terkonjugasi, albumin, protrombim time (PT)
 Urin: urobilinogen, bilirubin urin
DIANOSIS BANDING

Hiperkarotenernia

TATALAKSANA

L Tatalaksana suportif: koreksi cairan dan elektrolit, penurun demam (jika disertai
demam), dan lain lain,

2. Tatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari, dapat dilihat pada bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier;

48
KOMPLIKASI

Sepsis, komplikasi lain sesuai dengan penyakit penyebabnya.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung penyakit penyebabnya, lebih lengkap dapat dilihat pada bab
malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem biller; dan lain lain.

UNIT YANG MENANGANI

 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi-


Hepatologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

 RS pendidikan : Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif


 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah

SIROSIS HATI

PENGERTIAN

Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobulus normal
oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan regenerasi yang
membentuk nodulus. Penyakit ini memiliki periode laten yang panjang, biasanya diikuti
dengan pembengkakan abdomen dengan atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan
ikterus. Pada stadium lanjut, gejala utamanya berupa asites,jaundice, hipertensi portal,
dan gangguan sistem saraf pusat yang dapat berakhir menjadi koma hepatikum.

DIAGNOSIS
Anamnesis
 Perasaan mudah lelah dan berat badan menu run

49
 Anoreksia, dispepsia
 Nyeri abdomen
 Jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat
 Edema tungkai atau asites
 Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna
 Libido menurun
 Riwayat: jaundice, hepatitis, obat-obatan hepato toksik, transfusi darah

 Kebiasaan minum alkohol


 Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun
 Perlu juga dicari gejala dan tanda: Gejala awal sirosis (kompensata):
Perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kernbung, mual, berat badan menurun.
Gejala lanjut sirosis (dekompensata):
Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena, ikterus,
perubahan siklus haid, serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah
dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Pemeriksaan Fisik
 Status nutrisi, dernam, fetor hepatikum, ikterus, pigrnentasi, purpura,
clubbing finger, white nails, spider naevi, eritema palmaris, ginekornastla,
atrofi testis, distribusi ram but tubuh, pembesaran kelenjar parotis,
kontraktur dupuytren- (dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme
namun dapat juga idiopatik], hipogonadisme, asterixis bilateral, tekanan darah.
 Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa membesarjnormalj
kecil, splenomegali
 Edema perifer
 Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium:

50
a. Tes biokimia hati
 SGOTjSGPT: dapat meningkat tapi tak begitu tinggi, biasanya SGOT lebih
meningkat dari SGPT, dapat pula normal
 Alkali fosfatase: dapat meningkat 2-3x dari batas normal atau normal
 GGT: dapat meningkat atau normal
 Bilirubin: dapat normal atau meningkat
 Albumin: menurun
 Globulin meningkat: rasio albumin dan globulin terbalik
 Waktu protrombin: memanjang
b. Laboratorium lainnya
Sering terjadi anemia, trombositopenia, leukopenia, netropenia dikaitkan dengan
hipersplenisme. Bila terdapat asites, periksa elektrolit, ureum, kreatinin, timbang setiap
hari, ukur volum urin 24 jam dan ekskresi natrium urin.
2. Pencitraan
 USG: sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan ada tidaknya massa,
pada sirosis lanjut hati mengecil dan nodular, permukaan ireguler, peningkatan
ekogenitas parenkim hati, vena hepatika sempit dan berkelok-kelok,
 Transient Elastography [fibroscan]
 CT scan: informasi sarna dengan USG biaya relatif mahal, MRI
 EEG bila ada perubahan status neurologis
3. esofagugastroduodenoskopi, skrining varises esofagus.
4. Biopsi hati
5. Cek AFP untuk skrining hepatoma.
6. Mencari etiologi: serologi hepatitis (HbsAg, anti HCV), hepatitis autoimun (ANA,
antibodi anti-smooth muscle), pemeriksaan Fe dan Cu (atas kecurigaan adanya
penyakit Wilson), pemeriksaan o'l-antitripsin (atas indikasi pada yang memiliki riwayat
merokok dan mengalami PPOK), biopsi hati.
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis kronik aktif.

51
KOMPLIKASI
Varises esofagus/gaster, hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, sindrom
hepatorenal, sindrom hepatopulmonal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum,
gastropati hipertensi portal.
TATALAKSANA
• Istirahat cukup
• Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
• Pada pasien sirosis dekompensata dengan kornplikasi asites: diet rendah garam.
 Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.
• Terapi penyakit penyebab
PROGNOSIS
Tergantung penyebab
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan: -
RS non Pendidikan: -

HEPATITIS B KRONIK

PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai oleh
berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pad a hati, dimana seromarker virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak ;::6 bulan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia, ikterus
persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis yaitu pengguna
narkoba suntik, infeksi hepatitis B pada ibu, pasangan atau saudara kandung, penerima

52
transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat tertusuk jarum suntik atau
terkena cairan tubuh pasien berisiko."
Pemeriksaan fisik
Oapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris. ikterus (jarang). Bila telah terjadi
komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Pemeriksaan penunjang2
 Seromarker hepatitis: HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti-HBc (+),
IgManti-HBc (-), Anti-HBs (-)
 Aminotransferase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase (ALT)lebih
meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST), alkali fosfatase normal
atau meningkat ringan.
 Serum bilirubin meningkat (3-10 mg/dl.). hipoalbuminemia, protrombin
time
(PT) memanjang.
 USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure,
permukaan mulai ireguler, vena hepatika mulai kabur/terputus-putus}, sirosis
(parmukaan hati yang ire gular, perenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai
pembesaran limpa, pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma
hepatoselular.
 Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, harus dilakukan sebelum
memulai terapi antivirus, dan dianjurkan pada pasien dengan SGPT normal.
 Tumor marker karsinoma hepatoseluler: Alfa feto protein (AFP), PIVKA-Il
(Prothrombine Induced by Vitamin K Absence).
 Monitoring untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit
SGOT,SGPTtiap 1-3 bulan dan USG abdomen dengan AFT tiap 6 bulan.

KRITERIA DIAGNOSTIK
Hepatitis B: dikatakan hepatitis B kronik bila HBsAg positif dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati

53
TATALAKSANA
 Interferon: lx 5 juta unit atau 10 [uta unit 3 kali seminggu, subkutan, selama 4-
6 bulan untuk HBeAg (+), dan setidaknya 1 tahun untuk pasien dengan HBeAg (-
), bila dengan pegylated interferon baik HBeAg (-) dan HBeAg (+) diberikan selamal
tahun
 Lamivudine: lxl00 mg
 Adefovir dipivoxil: 1 x 10 mg
 PEG IFN (j,- 2a (monoterapi): 180 gram atau PEG IFN IFN α- 2b 1,Sug/KgBB
 Entecavir: lxO,S mg
 Telbivudine: lx600 mg
 Tenofovir: lx300 mg
 Thymosin 1 selama 6 bulan
 Lamapemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika
memulai terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
5-year mortality rate adalah 0-2% pada pasien tanpa sirosis, 14-20% pada pasien dengan
sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi. Risiko sirosis dan
karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level serum HBV DNA.

54
Gambar 1. Algoritme Managemen Infeksi Hepatitis B Kronik dengan HBsAg Positif.

gambar 2. Algoritme Managemen Infeksi Hepatitis B Kronik dengan HbsAg Negatif

55
HEPATITIS C KRONIK

PENGERTIAN
Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai oleh
berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana penanda virus
hepatitis positif pada 2 kali pemeriksaan berjarak ≥ 6 bulan.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia.
Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi darah, tingkat ekonomi
rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat edukasi rendah, menjalani tindakan invasif,
menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko.'
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila telah terjadi
komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme.
Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria kutanea tarda, glomerulonefritis
membranoproliferatif, dan sialoadenitis limfositik).
Pemeriksaan Penunjang
 Seromarker hepatitis (Anti HCV)
 Jumlah virus: HCV RNA kuantitatif dan genotipe
 Enzim hati: SGOTdan SGPT,untuk menilai aktifitas kerusakan hati dan keputusan
pengobatan antivirus
 USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure,
permukaan mulai iregular, vena hepatik mulai kabur jterputus-putus), sirosis
(parmukaan hati yang iregular, parenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai
pembesaran lirnpa, pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma
hepatoseluler.
 Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, dianjurkan untuk
dilakukan sebelum memulai terapi antivirus, terapi antivirus sangat dianjurkan
diberikan pada fibrosis E2 dan F3 (skor METAVIR).
 Alfa feto protein (AFP), PIVKA-II (Prothrombine Induced by Vitamin K Absence).

56
 Monitoring tahunan untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas
penyakit
 SGOT,SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen serta AFT per 6 bulan
Kriteria Diagnosis
Hepatitis C kronik: anti HCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Perlemakan hati
TATALAKSANA
Pada infeksi hepatitis C kronis genotip 1:
 Terapi dengan pegylated interferon (peg-IFN) dan ribavirin selama 1 tahun -
72 minggu. Peg-IFNa-2a 180 g seminggu sekali atau peg-IFNa-2b 1,5 mg/kg BE.
Bila menggunakan Peg-IFNa-2a. Dosis ribavirin 1000 mg (BB 75 kg) dan 1200 mg
(BB>75mg), bila menggunakan peg-IFNa-2b dosis ribavirin ± 15 mg /kg BB,
ribavirin diberikan dalam 2 dosis terbagi.
 Jika respon virologis cepat (serum HCVRNAtidak terdeteksi «50 Ill /ml] dalam 4
minggu), maka terapi dapat distop setelah 24 minggu, bila HCP RNA< 4 x 105
IV/m!.
 Jika respon virologis dini (serum HCV RNA tidak terdeteksi « 50 IV/mI)
atauterjadi penurunan 210g serum HCVRNA dari level awal setelah 12 minggu),
terapi dilanjutkan sampai 1 tahun.
 Terapi distop jika pasien tidak mencapai respon virologis dini dalam waktu 12
minggu Pada infeksi hepatitis C kronik genotip 2 dan 3: Interferon konvensional
dan ribavirin atau peg-IFN-dengan ribavirin selama 24 minggu. Dosis
Interferon/Peg IFN sarna dengan geotipe 1, hanya dosis ribavirin 800 mg sehari
dalam 2 dosis terbagi.
Pada infeksi hepatitis c kronik genotip 4, berikan terapi peg- IFN+ribavirin selama
48 minggu, dosis Peg IFN dan ribavirin sarna dengan geotipe 1.
Pantau kemungkinan terjadinya efek samping terapi Ribavirin, yaitu anemia.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan, bila terjadi anemia dapat diberikan

57
eritropoietin untuk meningkatkan Hb. Pantau kemungkinan efek samping terapi
interferon, yaitu neutropeni, trombositopenia, depresi, dan lain-lain.
Bagi pasien yang memiliki kontaindikasi penggunaan interferon atau tidak berhasil
dengan terapi interferon maka berikan terapi ajuvan :
o Flebotomi
o Urcedeoxycholic acid (UOCA) 600mg/hari
o Glycyrrhizin
o Medikasi herbal: silymarin atau silibinin
Antiviral terbaru untuk terapi hepatitis (kronik (terutama genotip 1) adalah:
 Teleprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin.
 Boceprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin
 DirectActing Antiviral (DAA),lain seperti: sofosbuvir, ledipasvir dll, antiviral (DAA)
dapat diberikan pada pasien yang kontraindikasi pad a interveron atau
gejala pengobatan dengan interveron terse but.
KOMPLIKASI
Sirosis hati, karsinoma hepatoselular.
PROGNOSIS
Rata-rata per tahun terjadinya karsinoma hepatoselular pada pasien sirosis dengan
infeksi hepatitis C adalah 1-4%, muncul setelah 30 tahun infeksi virus hepatitis C.
Indikator prognosis pada hepatitis C kronis adalah dengan biopsi hati. Pasien dengan
nekrosis dan inflamasi sedang-berat atau adanya fibrosis, progresifitas ke arah sirosis
sangat tinggi dalam 10-20 tahun kedepan. Diantara pasien dengan sirosis kompensasi
yang terkait hepatitis C, angka bertahan 10 tahun adalah 80%, mortality rate 2-6%,
sementara pada sirosis dekompensasi terkait infeksi virus hepatitis C mortality rate
4-5%/tahun, dan 1-2%/tahun pada karsinoma hepatoseluler terkait infeksi virus
hepatitis C.
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi
GastroenterologiHepatologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

58
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan: -
 RSnonpendidikan:

HEPATITIS IMBAS OBAT

PENGERTIAN
Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug-induced liver injury
(DILl) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat reaksi efek samping
obat atau hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi obattertentu. Hepatitis imbas
obat merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit hati akut maupun kronis.'
Pada umumnya, ada 2 tipe hepatotoksisitas utama yaitu toksik langsung (direct
toxic) dan idiosinkrasi. Hepatitis toksik langsung dapat diduga terjadinya pada individu
yang terpapar dengan obat tertentu dan tergantung dosis (dose dependent). Periode
laten antara paparan dan jejas hati biasanya singkat (seringkali hanya beberapa
jam), meskipun manifestasi klinisnya dapat terlambat 24-48 jam.
DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir
 Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu
 Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud
 Onset gejala (demam, ruam, Ielah, nyeri perut, nafsu makan menurun) "
Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi
 Episode hipotensi akut
Pemeriksaan Fisik
 Ikterik, ruarn, demam, klinis adanya pruritus
 Hepatomegali, splenomegali
 Stigmata penyakit hati kronis

59
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Rutin: darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit (ditemukan gambaran
eosinofllia), trombosit protein total, albuminj globulin, prothrombin time (PT) j INR,
kreatinin
Kimia hati: SGOT,SGPT, alkali fosfatase, bilirubin totaljdirek, gamma GT
Serologis: IgM anti-HAY, HBsAg, IgM anti-HCV, HCV RNA, anti-HEY, anti-EBV, anti-CMV
Autoantibodi: antibodi antinuklear, antibodi otot polos, antibodi
antimitokondrial
Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a-1-antitrypsin
Radiologis: USG, CT scan, MRIjMRCP (atas indikasi) " Biopsi hati, dengan indikasi :
Apabila hubungan temporal antara konsumsi agen hepatotoksik dengan onset
jejas hati tidak jelas
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis viral akut, hepatitis autoirnun, syok hati, kolesistitis, kolangitis, sindrom Budd-
Chiari, penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik, kondisi hati yang
berhubungan dengan kehamilan, keganasan, penyakit Wilson, hemokromatosis,
gangguan koagulasi.
TATAlAKSANA
Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas
acetaminophen. Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas obat,
maka transplantasi hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian konsumsi dad
agen yang dicurigai diindikasikan pada tanda pertama terjadinya reaksi simpang obat.
Pad a kasus toksin direk, keterlibatan hati sebaiknya juga diperhatikan keterlibatan
ginjal atau organ lain, yang juga dapat mengancam nyawa. Glukokortikoid untuk
hepatotoksisitas obat dengan gambaran alergi, silibinin untuk keracunan jamur
hepatotoksik, dan ursodeoxycholic acid untuk hepatotoksisitas obat kolestatik tidak
dianjurkan.
KOMPLIKASI
Gagal hati sampai dengan kematian.
PROGNOSIS

60
Tergantung etiologi dan respons terapi. Pad a sebagian besar kasus, fungsi hati akan
kembali normal apabila obat dihentikan.
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterologi- Hepatologi
RS non pendidikan : Departemen llmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: -
RS non pendidikan:-

HEPATITIS VIRUS AKUT

PENGERTIAN
Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang
berlangsung selama < 6 bulan.'
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anoreksia, nausea, muntah, fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, 1-5 hari
sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul. Setelah ikterus
timbul, gejala-gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak terlalu tinggt, biasa
terjadi pada hepatitis A dan E (jarang pada B dan C).
Pemeriksaan Fisik
Ikterus, hepatomegali, splenomegali.'
Laboratorium
SGOT,SGPT,bilirubin. Serologi hepatitis:
1. Hepatitis A: IgM anti HAV (+)3
2. Hepatitis B : dapat dilihat pada tabel 2
3. Hepatitis C: HCV RNA (+) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV (+) 5-10 minggu
setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hid up'
4. Hepatitis 0 : HDVAg, HDV-RNAand Ig M anti-HDV (+) sekitar 30-40 hari setelah
gejala awal timbul.
5. Hepatitis E : Ig G dan Ig Manti HEV.

61
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis akibat obat, hepatitis alkohclik, penyakit saluran empedu, leptospirosis.
TATALAKSANA
 Hepatitis A akut: Terapi suportif
 Hepatitis B akut
Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif," Tidak ada indikasi terapi anti virus.
Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus mungkin dapat dipertimbangkan
Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV DNA, HBsAg 3-6 bulan untuk
mengevaluasi perkembangan menjadi hepatitis B kronik.'
 Hepatitis C akut: Peginterferon alfa-Z« (180 Ilg) atau alfa-Zb (1.5 Ilgjkg) seminggu
sekali selama
12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1 selama 24 minggu.
 Hepatitis D akut: Terapi suportif." Lamivudine dan obat antiviral, tidak efektif
melawan replikasi virus.
 Hepatitis E akut: Terapi suportif.
KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik.
PROGNOSIS
 Hepatitis A akut: Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak
menyebabkan hepatitis virus kronik. Rata-rata angka mortalitas< 0,2%.3
 Hepatitis B akut: Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang
sebelumnya sehat, sembuh dengan baik. Pada pasien dengan hepatitis B berat
sehingga harus dirawat, rata-rata tingkat kematian sebesar 1% tetapi
meningkat pada usia lanjut dan yang memiliki komorbit. Pada pasien pengguna
obat suntik, penderita hepatitis B dan D secara bersamaan, dilaporkan rata-rata
kematian 5%.2 Risiko berkembang menjadi kronis tergantung pada usia, yaitu:
90% pada bayi, sekitar 30% pada infant, < 10% pada dewasa.
 Hepatitis C akut: Sekitar 50-85% berkernbang menjadi kronik.' " Hepatitis D
akut
Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar 5%

62
 Hepatitis E akut: Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, rata-rata tingkat
kematian adalah 12%dan 10-20% pada wanita hamil
UNIT YANG MENANGANI
RS pendidikan : Departemen IlmuPenyakit Dalam- Divisi Gastroentero- Hepatologi
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan: -
RS non pendidikan: -

HEPATOMA
PENGERTIAN
Hepatoma [hepatocarcinoma/hepatocellular carcinoma HCC) merupakan kanker yang
berasal dari sel hati.' HCC merupakan kanker no. 5 terse ring di dunia dan no. 3 yang
paling sering menyebabkan kematian. Insidens HCCbervariasi di setiap negara, secara
umum bergantung pada prevalensi penyakit hati kronis, khususnya hepatitis virus
kronis.
Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu :
• Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C, konsumsi
etanol kronis, NASH/NAFL, aflatoxin B1atau mikotoksin lainnya
• Lebih jarang: sirosis bilier primer, hemokromatosis, defisiensi -antitrypsin, penyakit
penyimpanan glikogen, citrullinemia, tirosinemia herediter, penyakit Wilson
DIAGNOSIS
Anamnesis
Penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut
kanan atas,jaundice, nausea.
Pemeriksaan Fisik
Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik
Pemeriksaan Penunjang

63
Laboratorium: anemia, trombositopenia, kreatinin meningkat, prothrombin time (PT)
memanjang, partialthromboplastintime (PTT), fungsi hati; aspartat aminotransferase
(AST) dan alanin aminotransferase (ALT)meningkat (AST>ALT), bilirubin meningkat.
Serologis: peningkatan Alfa Feto Protein (AFP), AFP-L3, des-v-carboxy prothrombin (DCP),
atau (PIVKA-2), vitamin B12, ferritin, antibodi antimitokondria, serologis hepatitis B,
dan C.
Biomarker terbaru: profil genomik berbasis jaringan dan serum
Radiologis :
USG: lesi fokal difus di hati.
CT-Scan abdomen atas dengan kontras 3 fasejmultifase: nodul di hati yang menyangat
kontras terutama di fase arteri dan 'early wash out'di fase vena (typical pattern).
DIAGNOSIS BANDING
Abses hati
TATALAKSANA

64
KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagaJan
hati.'
PROGNOSIS
Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun
setelah dilakukan reseksi. transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar 50-
70%. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi kuratif.
Kesintasan 1 dan 2 tahun adalah masing-masing 10-72% dan 8-50%. Demikian
pula, HCCstadium lanjut dan Child-Pugh C mempunyai prognosis yang sangat buruk.
Dilaporkan kesintasan untuk 6 bulan sebesar 5% pada HCC stadium Child-Pugh C
dengan peritonitis bakteri spontan dan stadium lanjut.
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen IlmuPenyakit Dalam-Divisi Gastroentero- Hepatologi
RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS Pendidikan : Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalarn,
Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif, Radiologi Intervensi
RS non Pendidikan : Bagian Bedah, Bagian Radiologi

65
ABSES HATI

PENGERTIAN
Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri,
paras it, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya proses
supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel
inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk soliter
atau multipel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati
amebik (AHA) dan piogenik (AHP). 1,2
Abses hati piogenik adalah rongga supuratif pada hati yang timbul dalam jaringan hati
akibat infeksi bakteri seperti enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides.fusobacterium, staphylococcus
aureus, salmonella typhi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi Entamoeba
histolytica Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-Iaki dan jarang pada
anak-anak
Abses hati piogenik dapat terjadi karena beberapa mekanisme:
 Infeksi dari traktur bilier (kolangitis, kolesistitis) atau dari fokus septik sekitarnya
(pylephlebitis)
 Komplikasi lanjut dari sfingterektomi endoskopik untuk batu saluran
empedu atau 3-6 minggu setelah operasi anastomosis biller-intestinal.
 Komplikasi bakterernia dari penyakit abdomen seperti dlvertikulitis,
apendisitis, ulkus peptikum perforasi, keganasan saluran cerna, inflammatory
bowel disease, peritonitis, endokarditis bakteria, atau penetrasi benda asing
melalui dinding kolon.
 40 % abses hati piogenik tidak diketahui sumber infeksinya. Adanya flora dalam
mulut diduga menjadi penyebabnya, terutama pada pasien dengan
penyakit periodontal berat.
Sedangkan abses hati amebik terjadi karena:
 Entamoeba histolytica keluar sebagai trofozoit atau bentuk kista. Setelah
terinfeksi, kista melewati saluran pencernaan dan menjadi trofozoit di kolon, lalu

66
menginvasi mukosa dan menyebabkan ulkus flask shaped. Selanjutnya
organisme dibawa
menuju hati dan dapat menyebabkan abses di paru-paru atau otak. Abses
hati dapat ruptur ke dalam pleura, perikardium, dan rongga peritoneum.
DIAGNOSIS
Tabel 1. Diagnosis Abses Hati

Tabel2.Perbandingan KllnisAbsesPiogenik danAmeblk

67
DIAGNOSIS BANDING
Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinornikosis hati
TATALAKSANA
Abses hati piogenik
 Pencegahan dengan mengatasi penyakit bilier akut dan infeksi abdomen
dengan adekuat
 Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
 Antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman:
o Kombinasi antibiotik sebaiknya terdiri dari golongan inhibitor beta
laktamase generasi I atau III denganjatau tanpa aminoglikosida. Pasien
yang tidak dapat mengkonsumsi golongan beta laktamase dapat diganti
dengan fluorokuinolon.
o Kombinasi lain terdiri dari golongan ampisilin, aminoglikosida (jika
dicurigai adanya sumber infeksi dari sistem biller], atau sefalosporin
generasi III (jika dicurigai adanya sumber infeksi dari kolon) dan klindamisin
atau metronidazol (untuk bakteri anaerob).
o Jika dalam waktu 4-72 jam belum ada pebaikan klinls.rnaka antibiotika
diganti dengan antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas.
Pengobatan secara parenteral selama minimal 14 hari lalu dapat
diubah menjadi oral sampai 6 minggu kemudian. [ika diketahui jenis
kuman streptokokus, antibiotik oral dosis tinggi diberikan sampai 6
bulan.
 Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan

terapi konservatif atau bila abses berukuran besar (> 5 em). Jika abses kecil dapat

dilakukan aspirasi berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi jika ukuran

abses yang besar, sedangkan abses yang kecil akan menghilang dengan

pemberian antibiotik.

68
 Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit dilakukan,

ikterik yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess, atau adanya ruptur

abses.

Abses hati AMEBIK


 Metronidazol:
o harus diberikan sebelum dilakukan aspirasi
o Metronidasol 3x 750 mg setiap hari per oral atau secara intravena
selama7-10 hari.
 Amebisid luminal:
o Iodoquinol 3x650 mg setiap hari selama 20 hari
o Diloxanide furoat 3x500 mg setiap hari selama 10 hari
o Aminosidin (paromomisin) 25-35 rug/kg berat badan setiap hari dalam
dosis terbagi tiga selama 7-10 hari
 Aspirasi cairan abses:
o Indikasi:
 Tidak respon terhadap pemberian antibiotik selama 5-7 hari
 Jika abses di lobus hati kiri berdekatan dengan perikardium
 Dilakukan jika diagnosa belum dapat ditentukan (merah tengguli)
o Adanya cairan aspirasi berwarna merah-kecoklatan mendukung
diagnosis ke arah abses amebik
o Tropozoit jarang dapat terindentifikasi.
KOMPLIKASI
Abses hati pIoqenlk
o Empiema paru
o Efusi pleura atau pericardium
o Trombosis vena portal atau vena splanknik
o Ruptur ke dalam perikardium atau thoraks
o Terbentuknya fistel abdomen
o Sepsis

69
o metastatic septic endophthalmitis terjadi pada 10 % pasien dengan
diabetes mellitus karena infeksi Klebsiella pneumonia.
Abses hati AMEBIK
Koinfeksi dengan infeksi bakteri, kegagalan multiorgan, dan ruptur ke dalam
peritoneum, rongga thoraks, dan per ikardium '. Lain-lain dapat sarna dengan
komplikasi abses piogenik di atas.
PROGNOSIS
Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai dan dilakukan drainase, angka kematian
adalah 10-16%. Abses piogenik yang unilokular abses di lobus kanan hati mempunyai
prognosis lebih baik dengan angka harapan hidup 90%. [ika abses multipel terutama
yang mengenai traktur biller; akan mempunyai prognosis lebih buruk.
Pada abses amebik yang berada di lobus kiri lebih besar kemungkinan ruptur ke
peritoneum. Prognosis buruk jika terjadi keterlambatan diagnosis dan penanganan
serta hasil kultur memperlihatkan adanya bakteri yang multipel, tidak dilakukan
drainase, adanya ikterus, hipoalbuminernia, efusi pleura, atau adanya penyakit lain
seperti keganasan biller; disfungsi multi organ, sepsis.
UNIT YANG MENANGANI
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero-
Hepatologi
RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksl,
Departemen Bedah -Divisi Bedah Digestif, Departemen Parasitologi
RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah Digestif

70
DIVISI HEMATOLOGI

71
ANEMIA APLASTIK

Pengertian
Anemia aplastik (AA) adalah suatu kelainan hematologi dengan manifestasi klinis
pansitopenia dan hiposelularitas pada sumsum tulang, dapat bersifat didapat atau diturunkan.
Berdasarkan beratnya penyakit, AA dapat dibagi:
1. Anemia aplastik berat
 Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut:
 Granulosit < 500/ul
 Trombosit < 20.000/ul
 Retikulosit < 10%0
2. Anemia aplastik sangat berat
 Seperti anemia aplastik berat
 Netrofil < 0.2 x 109 /L
3. Anemia aplastik tidak berat
 Tidak memenuhi kedua kriteria diatas

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Onset keluhan dapat terjadi perlahan-lahan berupa lemah, dyspnea, rasa lelah,
pusing, adanya perdarahan (petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau lokasi
lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. riwayat paparan trhadap
zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita virus 6 bulan terakhir
(hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah
2. Tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia, perdarahan
(ekomosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan limfadenopati dan
splenomegaly perlu dicurigai adanya leukemia atau limfoma.
3. Normositik normokrom, makrositik, darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia,
tidak terdapat sel abnormal pada hitung jenis leukosit, hitung retikulosit: rendah (<
1%), serologi virus (hepatitis), aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat
spicules yang kosong, terisi lemak, dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit,
sel plasma, makrofag, dan sel mast mungkin prominen

72
4. MRI (Magnetic resonance imaging): membedakan lemak pada sumsum tulang
dengan sel hematopoietik, mengestimasi densitas sel hematopoietik pada sumsum
tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik hipoplasia

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom mielodisplastik (MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang,
hipersplenisme, leukemia akut

TATALAKSANA
Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum, dan
ketersediaan donor stem cell.

Tatalaksana Penunjang
 Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus dan mengganti dengan
obat lain yang lebih aman
 Transfusi komponen darah (PRC/packed red cell dan/atau TC) sesuai indikasi (pada topik
transfusi darah)
 Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotic spektrum luas
 Kortikosteroid: prednisone 1-2 mg/kgBB/hari, metilprednisolon 1 mg/kgBB
 Androgen: Metonolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal diberikan selama 3 bulan.
Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular)/minggu
 Terapi imunosupresif:
 Siklosporin 10-12 mg/kgBB/hari selama 4-6 bulan
 ATG (anti thymocyte globulin) 15-40 mg/kgBB/hari intravena selama 4-10 hari
 Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/kgBB/hari untuk 4 hari,
siklosporin 10-12 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dan metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari
untuk 2 minggu
 Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang cocok, dilakukan tes
histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga

KOMPLIKASI
Infeksi (bisa fatal), perdarahan, gagal jantung akibat anemia berat.

73
PROGNOSIS
Tergantung pada jumlah neutrophil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas.
Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada 80% pasien berusia < 20 tahun,
70% pada usia 20 – 40 tahun, dan 50% pada usia > 40 tahun. Pada 168 pasien yang menerima
transplantasi, angka harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69%, sedangkan pada 227 pasien
yang menerima terapi imunosupresan angka harapan hidup hanya 38%.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Unit Transfusi Darah
 RS Non Pendidikan : Unit Transfusi Darah

ANEMIA PENYAKIT KRONIK

PENGERTIAN
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi
penyakit kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada
penyakit inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sel lain yang ikut berperan
menurunkan kadar hemoglobin (Hb).

Penyebab dari anemia kronik:


 Ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (sel darah merah) sebagai
kompensasi pemendekan umur eritrosit
 Destruksi sel darah merah
 Sekresi hormon eritropoietin yang tidak adekuat dan resistensi terhadap hormone tersebut
 Eritropoiesis yang terbatas karena menurunnya jumlah zat besi
 Absorpsi zat besi dari salurang cerna yang terhambat

74
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis cukup sulit terutama jika bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab
anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi,
defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis.
1. Keluhan-keluhan yangn didapatkan berupa rasa lemah dan lelah, sakit kepala, nafas
pendek.
2. Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan-kelainan sesuai penyakit
penyebabnya.
3. Hemoglobin (Hb): menurun (kadar: 8-9 g/dL). Hitung retikulosit absolut: normal atau
meningkat sedikit. Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom
mikrositik ringan
4. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang sebagai gold standard untuk membedakan dengan
anemia defisiensi besi.

DIAGNOSIS BANDING
 Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hitung retikulosit rendah
 Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat dehidrogenase
meningkat
 Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun, transferrin
meningkat
 Gangguan ginjal
 Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus
 Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop-shaped red cells, sel myeloid
imatur
 Thalasemia minor

TATALAKSANA
 Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya
 Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan
 Kontraindikasi jika feritin normal (> 100 ng/mL)
 Agen erythropoietic:
 Transfusi darah: jika anemia sedang – berat (Hb < 6.5 gr/dL) dan bergejala

75
KOMPLIKASI
Gagal jantung, kematian

PROGNOSIS
Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
yang terkait
 RS Non Pendidikan : -

76
DASAR – DASAR KEMOTERAPI

PENDAHULUAN
Agen kemoterapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok agen
kemoterapi yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel

77
78
79
80
PENANGANAN KOMPLIKASI AKUT KEMOTERAPI

Mielosupresi
Febril neutropenia. Neutropenia maksimal muncul 6-14 hari setelah pemberian kemoterapi

TATALAKSANA
1. Rontgen toraks
2. Kultur darah, urin, sputum
3. Resistensi obat
4. Antibiotik empiris sambil menunggu kultur: seftazidim, vankomisin atau
metronidazole/imipenem jika curiga kuman anaerob dari abdomen atau tempat lain
5. Antibiotika sesuai kuman penyebab

Nausea dan muntah


Nausea dan muntah dapat terjadi akut (< 24 jam kemoterapi) dan delayed (> 24 jam
kemoterapi). Profilaksis antiemetik pada obat kemoterapi yang sangat menginduksi muntah:
 Kombinasi 100 mg penghambat 5-HT3 dolasetron (Anzamet) IV atau oral, 12 mg
deksametason, dan 125 mg NK1 antagonist aprepitant (oral), pada hari saat pemberian
agen kemoterapi
 Pemberian deksametason (8 mg) and aprepitant (80 mg) hari ke 2-3 untuk delayed nausea
Atau
 3 x 0.15 mg/kg antagonis 5-HT3; ondansetron (IV), diberikan sebelum dan 4-8 jam setelah
kemoterapi

Diare
 Diare terkait kemoterapi dapat timbul segera atau delayed (48-72 jam setelah pemberian
obat). Tatalaksana:
 Hidrasi
 Jaga keseimbangan elektrolit
 Dosis loperamid tinggi, dosis awal 4 mg, lanjutkan 2 mg setiap 2 jam sampai 12 jam
bebas diare. Maksimal dosis 16 mg/hari

81
 Untuk yang tidak respon terhadap loperamid: oktreotid (100-150 mg), somatostatin
analog, atau opiate-based preparations

Mukositis
 Terapi anestesi topical dan barrier-creating preparations
 Mukositis berat: palifermin atau keratinocyte growth factor

Alopesia
 Mulai muncul sekitar awal minggu kedua atau ketiga setelah siklus pertama
 Chemo caps mengurangi temperature kulit kepala sehingga mengurangi derajat alopesia
 Kosmetik
 Dukungan psikologis

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-
Onkologi Medik
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi
 RS Non Pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi

DIATESIS HEMORAGIK

PENGERTIAN
Diatesis hemoragik (hemorrhagic diathesis/bleeding diathesis/bleeding tendency)
merupakan suatu predesposisi hemostatis abnormal atau kecendrungan perdarahan (bleeding
tendency).Proses patofisiologik ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi atau
jumlah trombosit, gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya

82
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat (multiple sites),
perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis, hemoptisis)
 Riwayat perdarahan masih pasca operasi atau trauma (immediate atau delayed), termasuk
sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi, pencabutan gigi, vaksinasi, dan injeksi.
 Riwayat penyakit komorbid (gagal ginjal, infeksi HIV, penyakit mieloproliferatif,
penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)
 Riwayat transfusi
 Riwayat kebiasaan makan, malabsorbsi, dan antibiotic  predisposisi defisiensi vitamin
K
 Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
 Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll)
Pemeriksaan Fisik
 Identidikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura, ekimosis/common
bruises, perdarahan jaringan lunak, saluran cerna, epistaksis, hemoptisis)
 Tanda infeksi
 Tanda penyakit autoimun

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium:
o Inisial: darah perifer lengkap, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi
o Skrining pre-opeatif: bila riwayat perdarahan negative  darah perifer lengkap,
PT, aPTT, bleeding time (BT)
o Lainnya (sesuai indikasi): thrombin time (TT), faktor koagulasi, fibrin degradation
product (FDP), agregasi trombosit, serologi virus (Dengue, CMV, Epstein Barr
Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum protein,
immunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal gammapathies
(selektif), tes Coomb

83
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi

TATALAKSANA
1. Gangguan koagulasi: hemophilia A dan B, vWD
- Preventif: hindari olahraga kontak, hygiene oral yang baik, teknik imunisasi
yang hati-hati, terapi pengganti segera setelah trauma, tatalaksana episode
perdarahan akut. Terapi profilaksis primer dapat menurunkan insidens
srtropati, namun inisiasi terapi dan biaya yang dibutuhkan masih menjadi
kontroversi.Hindari juga pemberian aspirin, NSAIDs, dan obat lain yang dapat
mengganggu agrgasi trombosit.
- Terapi pengganti
o Hemofilia A: recombinant atau plama-derived factor VIII
1. Plasma  kriopresipitat (~80 unit faktor VIII dalam larutan 10
cc)
2. Generasi pertama: Bioclate, Helixate FS, Kogenate,
Recombinate
3. Generasi kedua: Kogenate FS dan B-domain deleted
recombinant factor VIII (BDDrFVIII)
4. Karena waktu paruh faktor VIII hanya 12 jam, maka kadar
faktor tersebut harus diperiksa tiap 12 jam.
5. Dosis pemeiharaan: ½ dosis awal dan diberikan setiap hari.
Monitoring kadar pembekuan biasanya dianjurkan setiap pasxa
trauma besar, pedarahan, atau operasi.
6. Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis
faktor VIII
Dosis (unit) = (target kadar faktor – baseline) x berat badan [kg]/2

7. Dosis faktor VIII untuk terapi perdarahan tercantum pada tabel


3.

o Hemofilia B:recombinant atau plasma-derived factor IX

84
1. Pengganti faktor IX: prothrombin complex concentrates
(PCCS) yang menggandung faktor II, VII, X, dan IX
2. Karena waktu paruh faktor IX hanya sekitar 16 jam, maka level
faktor tersebut harus diperiksa tiap 16 jam.
3. Dosis pemeriksaan: ½ dosis awal dan diberikan setiap hari.
Monitoring kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap
pasca trauma besar, perdarahan, atau operasi.
4. Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis
faktor IX:
Dosis (unit) = (target kadar faktor – baseline) x berat badan [kg] x 1,2

- Desmopressin DDAVP): terapi pilihan pada penderita hemophilia A ringan


dengan perdarahan ringan-sedang
- Terapi antifibrinolisis pada hemophilia A (Asam traneksamat atau asam ε-
aminocaproic/EACA): bermanfaat perdarahan gusi dan menoragia. Dosis oral
asam traneksamat dewasan 4 x 1 g/hari, EACA loading dose 4-5 g dilanjutkan
1 g/jam (continuous infusion) pada dewasa atau 4 g tiap 4-6 jam per oral
selama 2-8 hari tergantung dari derajat perdarahan. Terappi ini
dikontraindikasikan bila ada hematuria.
- Fibrin glue/fibrin tissue adhesives dapat digunakan untuk terapi adjuvant untuk
faktor VIII.
- Faktor VIIa rekombinan  pada pasien hemophilia dengan titer inhibitor
tinggi. Dosis anjuran: 90μg/kg tiap 2 jam sampai tercapai hemostasis
2. Gangguan inhibisi faktor koagulasi: autoantibody faktor VIII
- Tatalaksana etiologi bila diketahui. Apabila imbas obat  stop konsumsi
makan perdarahan akan berhenti dalam beberapa bulan. Sebagian besar
(inhibitor post partum) sembuh dalam waktu 2-3 bulan pasca persalinan
- Pasien simptomatik  magatasi perdarahan dan menurunkan titer antibody
o Menurunkan titer antibody: imunosupresan (steroid,
cyclophosphamide, azathiprine, desmopressin, (intravenous
immunoglobulin/IVIG, atau plasmaferesis)
o Prednisone 1 mg/kg/hari selama 3-6 minggu, atau
o Cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, atau

85
o Pada pasiendengan kontraindikasi imunosupresan  IVIG 0,4
g/kg/hari selama 5 hari

3. Kelainan hemtologis terkait abnormalitas fungsi trombosit


- Kelainan mieloproliferatif kronis
o Polisitemia vera  lihat pada bab Polisitemia Vera
o Trombositosis esensial  lihat pada bab Trombositosis Esensial
o Leukemia mielogenus kronis  lihat pada bab Leukemia
o Mielofibrosis dengan metaplasia myeloid
- Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia >60 tahun, individu
yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia, pemeliharaan massa
eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari. Reduksi trombosit hingga
<400.000 /uL dengan plateletferesis atau agen sitoreduktif.
- Leukemia dan sindrom mielodisplasia  lihat pada bab Leukemia.
Disproteinemia: terapi sitoreduktif, plasmaferesis
- Penyakit von Willebrand didapat: infuse DDAVP, vWF-containing factor VIII
concentrates, IVIG dosis tinggi

4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombosit


- Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi
padapasien uremik, tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik.
Terapi: dialysis, transfusi trombosit, recombinant human EPO, DDAVP,
estrogen konjugasi, kriopresipitat
- Antibodi antitrombosit (ITP, LES, alloimunisasi trombosit, trombositopenia)
 lihat pada bab Immune Thrombocytopenia dan Lupus Sistemik
Eritematosus
- Cardiopulmonary bypass
o Evaluasi preoperative: riwayat perdarahan pada pasien atau keluarga
o Transfusi profilaksis komponen darah allogenik tidak diindikasikan.
o Pada pasien anemia preoperative, dapat diberikan recombinant human
EPO dan non-anemin dapat diberikan Epo + donor darah autolog
o Cell savers dan darah yang dikumpulkan dari drainase chest tube dapat
digunakan selama operasi dan direinfus untuk mengurangi transfusi

86
allogenik. Keamanan transfusi dalam jumlah besar dengan teknik ini
belum ditetapkan.
o Perdarahan pasca operasi pada pasien dengan BT memanjang dan
kehilangan darah berlebihan dapat merespon terapi DDVAP, dan
perdarahan pasca operasi yang tidak terkontrol dapat diberikan
recombinant factor VIIa.
o Inhibisi fibrinolisis dengan aprotinin, EACA, asam traneksamat
terbukti mengurangi kehilangan darah mediastinum dan kebutuhan
transfusi.
o Apabila perdarahan pasca operasi non-nonbedah terjadi, pastikan
pasien tidak dalam keadaan hipoterma dan heparin telah fully reversed.
Pada tahap ini, administrasi obat dan transfusi trombosit, kriopresipitat,
FFP, dan PRC dapat diberikan.
- Kelainan lainnya
o Penyakit hari kronis  BT memanjang merespon infusan DDVAP
o KID  lihat pada bab Koagulasi Intravaskular Diseminata

KOMPLIKASI
Perdarahan internal profunda, kerusakan sendi, infeksi

PROGNOSIS
Tergantung pada etiologi dan respon terapi

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Hematologi –
Onkologi Medik
 RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Unit Transfusi Darah
 RS non Pendidikan : Unit Transfusi Darah

87
KOAGULASIINTRAVASKULAR DISEMINATA
PENGERTIAN
Suatu sindrom klinikopatologis yang ditandaidengan pembentukan fibrin intravaskular yang
menyebar akibat aktivitas protease darah berlebihan yangmengganggu mekanisme antikoagulan
alami.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosis KIDdapat ditegakkan dengan sistem skoring TheInternational Society for
Thrombosis andHaemostasis (ISTH).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT), antitrombin III,morfologi
darah tepi (dapat ditemukan fragmentasi eritrosit/ schistocytes).

TATALAKSANA
1. Identifikasi dan tata laksana penyakit komorbid yang mendasari terjadinya KIDdanterapi
suportif tanda vital.
2. Menjagakeseimbangan hernodinamik.
3. Terapikomponen darah
4. Padakasusdengan defisiensi fibrinogen spesifik →koreksi dengan purified fibrinogen
concentratesatau kriopreslpitat.
5. Terapi obat (antikoagulan profilaksis unfractioned heparin,
recombinanthumanactivatedproteinC, anti fibrinolisis)
KOMPLIKASI

Gagalorgan, trombosis vena dalam, KID fulminan.

PROGNOSIS
Tergantung penyebab danrespon terhadap terapi.
UNIT YANG MENANGANI
 RS Pendidikan : Departemen Ilmu penyakit dalam – divisi hematologi onkologi
medik
 RS non pendidikan : Bagian ilmu penyakit dalam
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Unit transfusi darah
 RS non pendidikan : Unit transfusi darah

LEUKIMIA

PENGERTIAN
Penyakit proliferasi neoplastik yang sangatcepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang
normal digantikan oleh selprimitif dan selinduk darah.

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT(LMA)


PENGERTIAN
Leukemia mieloblastik akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik
dangangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.

88
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Mudah lelah, dapat diemukan gusi berdarah, mimisan, anoreksia, berat badan turun.
2. Petekiataupurpura yangbiasanya terdapat pada ekstremitas bawah, tanda-tanda infeksitenggorokan, paru-
paru, kulit,daerah perirektal, dll,demam, gejalaleukostatis: gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri
dada, dan priapismus,hepatomegali, splenomegali.
3. Pemeriksaan morfologi sel:tampak blast, banyak granul,auer rods(eusinofil batang-seperti inklusi)
Pengecatan sitokimia (sudan black bdan mieloperoksidase): hasil pengecatansitokimia pada setiap tipe
LMAdapat dilihat pada tabel 1.
Immunofenotip: CD13danCD33, CD41berkaitan dengan M7.

DIAGNOSIS BANDING
Leukimia mieloblastik kronik, sindrom dismielipoetik.
TATALAKSANA
1. Tatalaksana standar 7+3: kemoterapi induksi dengan sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infuse
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/ hari iv selama 3 hari.
2. Tatalaksana pasca remisi.
KOMPLIKASI
Leukostasis dan akibatnya.
PROGNOSIS
Sekitar80-90%pasiendibawah 60 tahun dan50-60%pasienusialanjut.

LEUKEMIAMIELOSITIKKRONIK (LMK)
PENGERTIAN
Leukemiamieloblastik kronikganguan mieloproliferatif dariprimitive hemapoieticstem cellyang
dikarakteristikan dengan produksi berlebihan selseri myeloid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Fatigue,malaise,beratbadanturun,dernam,dapatditernukannyerikuadrankiriatas.
2. Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, perdarahan (jarang), dapat ditemukanarthritis gout,tanda
leukositosis berat seperti infark miokard, vasoocclusive disease,cerebrovascular accidents, trombosis
vena, gangguan penglihatan, insufisiensi pulmonal, tanda-tanda infeksi.
3. Leukositosis (10.000-500.000/m3) didominasi olehneutrofil, basofildaneusinofilmeningkat. Level
Leukosit alkaline phosphatase (LAP)rendah. Hemoglobin>11g%ditemukan
pada1/3kasus.Levelserumvitamin B12,laktatdehidrogenase,asam urat, lisosim.
4. Pada sumsum tulang tampak hiperselular dengan hiperplasia mieloid, meningkatnyaretisulin atau fibrosis kolagen.
5. Sitogenetik ditemukan abnormalitas t(9;22)(q34;q11.2).

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia rubra vera
TATALAKSANA
 Non transplantasi: imatinib mesylate
 Transplantasi: (allogenic stem celltransplantation)
 HSCTotologi
 Interferon a
 Kemoterapi: hidroksiurea
 Leukapharesis dan splenektomi

PROGNOSIS
Dengan terapi imatinib, perkiraan angka bertahan 5 tahun 90%. Dengan(allogeneic stem celltransplantation),
angka kesernbuhan 40-80% pada pasien dalamfase kronik dari LMK,15-40% pada pasien dalan fase akselerasi
LMK,2-20% padapasien fase blastik LMK.

LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT


PENGERTIAN
Leukemialimfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Dapat terjadi padalimfosit
Tmaupun limfosit B.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Gejala anemia: rasa lemas/Iernah, pucat, pusing, sesak napas/gagal jantung,berkunang-kunang.Tanda-

89
tanda infeksi: sering demam. Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis,
perdarahangusi,perdarahan dibawah kulit,hematuria, buangairbesar campur darah, muntahdarah)
2. Pucat,demam, pembesaran kelenjar getahbening (KGB)superfisial, organomegali,petekie /purpura/
ekimosis.
3. Darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH,asam urat, fungsi ginjal,fungsi
hati,serologi virus (hepatitis, HSV,EBV,CMV).Morfologi :tidak adagranul.
4. Sitologiaspirasi sumsum tulangtampak hiperselular dengan limfoblasyangsangatbanyak, hitung jenis
selblasdan/atau progranulosit >30%
5. Pengecatan sitokimia, sudan blackdanmieloperoksidase negatif,pewarnaan asamfostase positif
padalimfosit Tganas, pewarnaan PeriodicAcidSchiff (PAS) akanpositif pada limfosit B
6. Sitogenetik: pada LLA selBditemukan t(8;14), t(2;8), dant(8;22).

DIAGNOSIS BANDING
Leukemia limfositik kronik, hairy cellleukemia, limfoma, atypical lymphocytosisofmononucleosis dan
pertussis.
TATALAKSANA
1. Kombinasi kemoterapi dengan daunorubisin, vinsristin, prednison danasparaginase.
2. Transplantasi sumsum tulang bagipasienyangmemiliki risikotinggiunukkambuh(kromosom
Philadelphia, perubahan susunan gen MLL,hiperleukositosis, gagal mencapai remisi komplit dalam
4minggu).
KOMPLIKASI
Sindrom lisistumor, infeksi neutropenia danperdarahan trombopenia/koagulasiintravaskular
diseminata.
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien dewasa mencapai remisitapitidaksembuh dengankemoterapi saja,dan hanya 30%
yang bertahan hidup lama. (Overalldiseasefree survival rate) untuk pasien dewasa kira-kira 30%.Pasien
usia>60tahun mempunyai (diseasefree survivalrate) 10%setelah remisi komplit.

LEUKIMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)


PENGERTIAN
Leukemia limfoblastik kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai
olehproliferasi klonal danpenumpukan limfosit Bneoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi,
limpa,hati,danorgan-organ lain.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Hilangnya nafsu makan, menurunnya kemampuan latihan olahraga, demam, keringat malam,
dapat jugatanpa gejala.
2. Limfadenopati terlokalisir atau generalisata, hepatosplenomegali.
3. Hapus darah tepi: peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecilsekitar95% (kriteria
diagnostik).
4. Imunofenotip khas limfosit (CD5+,CD19+,CD20+,CD23+, CD22-j+)
5. Sumsum tulang: normal atau hiperselular, infiltrasi limfosit pada sumsum tulang>30%
6. Sitogenetik: llq22-23 &17p13 unfavorable, trisomy 12neutral, 13q14favorable
DIAGNOSIS BANDING
Pertussis, (Waldenstrom macroglobulinemia), hairy cellleukemia, mantle cell lymphoma, leukemia
limfoplasmasitik, leukemia selT kronik.

KOMPLIKASI
Infeksi, hipogamaglobulinemia, transformasi menjadi keganasan limfoid yangprogresif, komplikasi
akibat penyakit autoimun, keganasan.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung stadium.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu penyakit dalam – divisi hematologi onkologi medik
 RS non pendidikan : Bagian ilmu penyakit dalam

90
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan :-
 RS non pendidikan :-

LIMFOMA
PENGERTIAN
Limfomaadalahkeganasan sellimfoid yangterjadi padajaringan limfoid.' Limfoma dibagi menjadi 2macam
;1. LimfomanonHodgkin, dan 2.LimfomaHodgkin.

LIMFOMA NON HODGKIN


PENGERTIAN
Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B,
limfosit T,dan kadang berasal dari selNK(natural Killer).

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum :berat badan menurun10%dalamwaktu 6bulan,
demam tinggi38°dalamwaktu 1minggutanpa sebab, keringat malam, anemia, penyakit
infeksi(toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis luas) danlain-lain.
2. Limfadenopati yang sangat besar dan cepat berkernbang, hepatomegali, splenomegali,
massaabdomen yang besar (biasanya pada limfoma burkitt), massa testikular, lesi kulit.
3. Darahlengkap,morfologidarahtepi,urinelengkap,SGOT/SGPT,LDH,protein total, albumin, asam urat,
alkali fosfatase, guladarah puasa danglukosa darah 2jampost prandial, elektrolit: natrium,
kalium,klorida,Kalsium,fosfat.GammaGT,cholinesterase (CHE),LDH/fraksi, serum protein
elektroforesis (SPE),TesHIV,imuno elektroforese (IEP),tescoombs, B2mikroglobulin. Biopsisumsum
tulang.

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yanglain.

TATALAKSANA
Tatalaksana yangdilakukan biasanya melaluipendekatan multidisiplin. Tatalaksana yangdapat dilakukan
adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
 Kemoterapi
 Radioterapi
2. Derajat Keganasan Menengah (DKM)/ agresif limfoma
 Stadium I: Kemoterapi
 StadiumII-IV:kemoterapi parenteral kornbinasi, radioterapi berperan untuktujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi{DKT)
 Selaludiberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut(LLA)

Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:


1. Setelah siklus kemoterapi kedua dan keempat
2. Setelah siklus pengobatan lengkap

KOMPLIKASI
 Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dansaraf
 Mudah terjadi infeksi, bisafatal

Akibat efeksampingpengobatan:
 Aplasia sumsum tulang
 Gagaljantung olehobat golongan antrasiklin
 Gagalginjal olehobat cisplatin
 Neuritis olehobatvinkristin

91
PROGNOSIS
Indolen :respon kemoterapi turun, tapi median survival panjang

LIMFOMA HODGKIN
PENGERTIAN
LimfomaHodgkinadalahkeganasan limforetikular yaitulimfomamalignum dimana secara histopatologis
ditemukan selreed-sternberq.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Dernam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, lemah badan, pruritus, pembesaran
kelenjar getah bening yangtidak nyeri, dapat dijumpai nyeri abdomen atau nyeritulang.
2. Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dantidak nyeri
3. Dernam,tipepel-ebstein
4. Hepatosplenomegali
5. Neuropati
6. Anemia, eosinofilia, peningkatan LED,padaJlow-cytometry dapat terdeteksi limfositabnormal atau
limfositosisdalamsirkulasi,peningkatan ureumkreatinin, hiperkalsernia, hiperurikemia, biopsi sumsum
tulang, CTscan

DIAGNOSIS BANDING
Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yanglain.

TATALAKSANA
Radioterapi meliputi ExtendedFieldradiotherapy (EFRT),InvolvedField Radiotherapy
(IFRT)danradioterapi (RT)ditambah dengan kemoterapi.

KOMPLIKASI
Efusiperikardial, metastasis ketulang.

PROGNOSIS
Ada7faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progesi
penyakitFFR(FreedomFromProgression),yaitu : 1.Jeniskelamin,2.Usia>45tahun,
3.StadiumIV,4.Hb<10gr%,5.Leukosit>15000jmm3, 6.Limfosit<600jmm3 atau<8%leukosit,7.Serumalbumin
<4gr%.Pasientanpa faktorrisikoFFR=84%,dengan 1faktorrisiko FFR=77%,dengan
diafaktorrisikoFFR=67%,dengan tigafaktorrisiko=60%,denganempat faktorrisiko =51%,dengan
limaataulebihfaktorrisiko=42%.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu penyakit dalam – divisi hematologi onkologi
medik
 RS non pendidikan : Bagian ilmu penyakit dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen THT, Patologi anatomi,
radiologi/radioterapi
 RS non pendidikan : Bagian THT, patologi anatomi, radiologi/radioterapi

92
POLISITEMIA VERA

PENGERTIAN
Polisitemia adalah kelainan sistem hemopoiesisyang merupakan bagian dari penyakit
mieloproliferatif yang dihubungkan dengan peningkatan jumlah danvolume sel darah merah
(eritrosit) di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa mempedulikan
jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit
berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoietin
untuk proses pematangannya).

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Gejala klinis berjalan lambat dan tidak terdeteksi, umumnya pada dekade ke 6,
meskipun mungkin terjadi pada usia anak atau usia tua. Gejala klinis terbagi menjadi 3
fase :
* Gejala awal : gejala sangat minimal dan dapat asimptomatik walaupun telah
diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48%), telinga
berdenging (47%), mudah lelah(47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%),
darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%), rasa panas pada tangan atau kaki
(29%), gatal (43%), perdarahan dari hidung, lambung (24%) atau sakit tulang (26%).
* Gejala akhir dan komplikasi : perdarahan atau thrombosis.
*Fase splenomegali : sekitar 30% dari gejala akhir berkembang menjadi fase
splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang sehingga timbul anemia,
kebutuhan transfusi meningkat, pembesaran hati dan limpa.
2. Pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti gangguan penglihatan dan transient
ischemic attack (TIAs). Tekanan darah sistolik dapat meningkat karena peningkatan
masa sel darah merah. Dapat dijumpai perdarahan (bruising,epistaksis, perdarahan
saluran cerna). Eritromelalgia yang terdiri dari eritema, rasa terbakar dan nyeri pada
ekstremitas merupakan komplikasi dari trombositosis.
3. Pemeriksaan Penunjang
* Eritrosit dan hematokrit : meningkat.
* Leukosit : neutrofilia absolut, basofilia (pada kasus tidak terkontrol).
* Trombosit : meningkat pada sebagian pasien saat didiagnosis, dapat melebihi 1000 x
109/liter.
* Leukosit alkalin fosfat : meningkat pada 70%.
* Serum besi, TIBC (total Iron Binding Capacity), Ferritin Serum : jika ada
perdarahan atau
setelah flebotomi.
* B12 serum : meningkat karena pemecahan leukosit.
* Hiperurisemia : timbul sebagai akibat mielopoiesis hiperproliferatif.
* Eritropoietin plasma : normal atau rendah. Digunakan untuk membedakan kelainan
polisitemia
lain.
* Saturasi oksigen arteri : < 63 mmHg (10% pasien).

93
* Pemeriksaan massa sel darah merah (Red Cell Mass) : mahal, membutuhkan
keahlian
pemeriksaan. Tidak dapat membedakan polisitemia primer dan sekunder.
* Kultur bone marrow : melihat koloni eritroid spesifik dan sensitive untuk diagnosis
polisitemia.
* Bone Marrow : hiperselular, tidak adanya cadangan besi, menyingkirkan kelainan
mieloproliferatif lain.

International Polycythemia Study Group H


Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria :
a. A1 + A2 + A3 atau
b. A1 + A2 + 2 kategori B.

Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktifCr-51. Pada pria 36
ml/kg dan pada wanita 32 ml/kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun).
3. Splenomegali.

Kategori B
1. Trombositosis : trombosit 400.000/ml.
2. Leukositosis : leukosit 12.000/ml
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12 serum > 900pg/ml dan atau UB12BC dalam serum 2200 pg/ml.

Klasifikasi berdasarkan WHO (World Health Organization) :


Peningkatan massa sel darah merah tanpa adanya pertumbuhan spontan eritroid pada kultur
dan :
* Satu di antara kriteria berikut : splenomegali, abnormalitas kariotipik selain t9:22, adanya
formasi koloni eritroid endogen; atau
* Dua di antara berikut : jumlah trombosit > 400 x 109/liter, sel darah putih >12 x 109/liter,
aspirasi sumsum tulang menunjukkan panmielosis, dan eritropoietin serum menurun.

DIAGNOSIS BANDING
Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial darah rendah atau eritropoietin
meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik.

TATA LAKSANA
Prinsip Pengobatan
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan eritropoiesis
dengan flebotomi.

94
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan.
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia
muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
- Trombositosis persisten di atas 800.000/MI terutama jika disertai gejala thrombosis.
- Leukositosis progresif.
- Splenomegali simptomatik atau menimbulkan sitopenia problematic
- Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatas.

A. HIDRASI
Dehidrasi dapat mencetuskan terjadinya thrombosis, sehingga berikan pasien hidrasi
yang cukup, terutama dengan kelainan saluran cerna.

B. FLEBOTOMI
Pada PV tujuan prosedur adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan
47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. akibat
hiperviskositas dan penurunan shear rate.

C. KEMOTERAPI SITOSTATIKA
Tujuannya adalah sitoreduksi. Indikasi :
* Hanya untuk polisitemia rubra primer
* Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan.
* Trombositosis yang terbukti menimbulkan thrombosis.
* Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin.
* Splenomegali simptomatik/mengancam ruptur limpa.

D. FOSFOR RADIOAKTIF
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m2 intravena, bila per oral dilanjutkan
25%. Selanjutnya bila setelah 6-8 minggu pemberian P32 pertama :
* Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan.
* Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah 10-12
minggu dosis pertama. Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil.

E. KEMOTERAPI BIOLOGI (SITOKIN)

F. KEMOTERAPI SUPORTIF
* Hiperurisemia : allopurinol 100-600 mg/ hari
* Pruritus dengan urtikaria : antihistamin kurang bermanfaat, fotokemoterapi dengan psoralen
dan PUVA, aspirin telah direkomendasikan, interferon alfa juga bermanfaat.
* Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2

95
* Antiagregasi trombosit : analgrelid, aspirin.

G. SPLENEKTOMI
Indikasi jika ada trombositopenia berat atau pembesaran limpa yang mengganggu.

H. JAK2 TARGETED INHIBITORS


Menghambat aktivitas JAK2 tirosin kinase karena mutasi JAK2 berperan terjadinya
polisitemia vera.

I. TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG


Transplantasi stem cell nonmieloablatif merupakan prosedur transplantasi yang dapat
dilakukan pada penderita usia dekade ke 6 dan 7.

KOMPLIKASI
Trombosis pada vena hepatik (Budd-Chiari Syndrome) terjadi pada 10% dari 140
pasien, stroke iskemik dan transient ischemic attacks (TIA), perdarahan, mielofibrosis,
peningkatan asam urat sekitar 10% berkembang menjadi gout, peningkatan risiko ulkus
peptikum (10%), infark miokard, thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT),
emboli paru. Dari 164 kematian, 41% karena thrombosis dan 7% karena perdarahan.

PROGNOSIS
Angka harapan hidup setelah terdiagnosis tanpa diobati yaitu 1,5-3 tahun, sedangkan
dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Pasien yang diterapi dengan flebotomi mempunyai
angka harapan hidup 13,9 tahun, 8,9 tahun pada pasien yang diterapi dengan klorambusil.

UNIT YANG MENANGANI


* RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-Onkologi Medik
* RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


* RS pendidikan :-
* RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

96
TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER
PENGERTIAN
Terapi suportif pada pasien kanker merupakan terapi yang diberikan pada pasien kanker,
yang menunjang pengobatan kanker. Terapi suportif ini meliputi semua aspek kesehatan dan
terdiri dari berbagai prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan atau setidaknya
mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan kuratif
(bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek samping yang berarti.

Beberapa aspek yang termasuk dalam terapi ini antara lain :


1. Nyeri terkait kanker (cancer-related pain)
2. Lelah terkait kanker (cancer-related fatique)
3. Dispneu
4. Delirium
5. Anoreksia dan cachexia
6. Depresi dan ansietas

PENDEKATAN DAN DIAGNOSIS

I. NYERI TERKAIT KANKER (CANCER-RELATED PAIN)


Perlu ditanyakan tipe nyeri ( berdenyut, kram, seperti terbakan, dll), periodisitas (terus-
menerus, dengan/tanpa eksaserbasi, atau tiba-tiba), lokasi, intensitas, faktor yang
memperberat/memperingan, efek terapi, dampak fungsional, dampak terhadap pasien.
Beberapa penilaian kualitas nyeri yang dapat digunakan alat bantu seperti Visual Analogue
Scale (VAS), the Brief Pain Inventory, atau sistem klasifikasi nyeri kanker Edmonton. Untuk
menentukan mekanisme nyeri apakah termasuk nyeri nosiseptif (somatik, viseral) atau
neuropatik (tabel 1).

Pemeriksaan Fisik
Umum dan status neurologis

Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, elektrolit
* Radiologis (sesuai indikasi) : foto polos abdomen 3 posisi, CT scan, MRI

II. LELAH TERKAIT KANKER (CANCER-RELATED FATIQUE)

Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, maka evaluasi klinis dilakukan
berdasarkan keluhan pasien sendiri. Alat bantu untuk menilai skala lelah seperti the Edmonton
Functional Assesment Tool, the Fatique Self-Report Scales, dan the Rhoten Fatique Scale

97
umumnya hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, bukan evaluasi klinis. Pada
praktek klinis, evaluasi performa sederhana dapat menggunakan Karnofsky Performance
Status atau the Eastern Cooperative Oncology Groups. Perlu juga diidentifikasi faktor-faktor
yang berpotensi menyebabkan lelah seperti gangguan tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas,
gangguan elektrolit, anoreksia-cachexia, hipotiroidisme, hipogonadisme dan penyakit
komorbid lainnya.

Pemeriksaan Fisik
* Umum, status gizi dan status psikiatri
* Konjungtiva anemis, tanda Chovstek, tanda Trousseau

Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, elektrolit, fungsi kelenjar tiroid,
fungsi
hati, profil lipid

III. DISPNEU
Dokumentasi dan nilai episode dispneu beserta intensitasnya. Derajat keparahan
dan efek terapi dapat dinilai melalui skala dispneu visual atau analog. Perlu juga dievaluasi
penyebab dispneu lain yang berpotensi reversible atau dapat diobati seperti infeksi, efusi
pleura, emboli paru, asma atau tumor yang berada di jalan napas.

Pemeriksaan Fisik
* Takipneu, restriksi gerakan dada ipsilateral, stem fremitus, bunyi napas, ronki, mengi,
ada/tidaknya distensi vena jugularis
* Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium : darah perifer lengkap, D-dimer, analisa gas darah
* Radiologis : foto toraks PA/lateral

IV. DELIRIUM
Disorientasi onset baru, gangguan kognitif, restlessnessm somnolen, tingkat fluktuasi
kesadaran.

Pemeriksaan Fisik
* Umum, status psikiatri dan status neurologis
* Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap

98
V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA
Kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki, laju kehilangan berat badan,
berat badan sebelum sakit, penurunan nafsu makan dari biasanya, pola diet terakhir. Apabila
penurunan berat badan >5% dari biasanya (sebelum sakit) dalam 6 bulan maka harus dicurigai
cachexia, terutama apabila terdapat muscle wasting. Sedangkan bila terjadi penurunan berat
badan >10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom cachexia-anoreksia mulai
ditegakkan. Untuk mendapatkan informasi hilangnya nafsu makan secara kuantitatif, dapat
digunakan skor 0-7 dengan penjelasan 0=tidak ada nafsu makan, 1=nafsu makan sangat kecil,
2=nafsu makan kecil, 3=nafsu makan cukup, 4=nafsu makan baik, 5=nafsu makan sangat
baik, 6=nafsu makan luar biasa, 7=selalu lapar).

Pemeriksaan Fisik
Umum dan antropometri secara keseluruhan; berat badan, tinggi badan, tebal lemak sub
kutis, wasting jaringan, edema atau ascites, tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral, serta
status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan adanya muscle wasting dan
hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari malnutrisi.

Pemerikssan Penunjang
* Laboratorium : albumin, prealbumin, transferrin, imbang nitrogen 24 jam, kadar Fe,
pemeriksaan sistem imun seperti limfosit total, fungsi hati dan ginjal, elektrolit, dan mineral
serum, C reactive protein (CRP).

VI. DEPRESI DAN ANSIETAS


Anamnesis
Karena lelah terkait kanker bersifat subyektif, diperlukan alat bantu untuk menilai skala
lelah seperti the Edmonton Functional Assesment Tool, the Fatique Self-Report Scales, dan
the Rhoten Fatique Scale.

Pemeriksaan Fisik
* Umum, status psikiatri dan status neurologis
* Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium (sesuai indikasi) : darah pefifer lengkap

TATA LAKSANA

I. NYERI TERKAIT KANKER


* Manajemen analgetik WHO tahun 1987 merekomendasikan acetaminophen dan
nonsteroidal
anti-inflammatory drugs (NSAID) sebagai terapi lini pertama, opioid lemah seperti kodein
dan hydrocodone sebagai lini kedua dan opioid kuat untuk lini ketiga.

99
* Opioid kuat yang sering digunakan yaitu morfin, hydromorphone, oxycodone,
morphineone,
fentanyl dan methadone. Ketika memulai terapi opioid, formulasi opioid short acting
sebaiknya digunakan untuk dosis titrasi; apabila nyeri sudah terkontrol dengan dosis stabil,
maka formulasi long acting dapat digunakan. Formulasi long acting lebih nyaman dengan
dosis dua kali dalam sehari, namun formulasi short acting jauh lebih murah.
* Terapi adjuvant non opioid : NSAIDs, bisfosfonat, gabapentin, TCA, karbamazepin,
venlafaksin.

II. LELAH TERKAIT KANKER


* Terapi terdiri dari stimulant (methylphenidate), wakefulness-promoting agents (modafinil),
dan suplementasi makanan (ginseng)
* Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek sebagai terapi sementara, namun
memiliki efek samping yang berpotensi serius.
* Identifikasi dan terapi factor-faktor yang berpotensi menyebabkan lelah seperti gangguan
tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia-cachexia,
hipotiroidisme,
hipogonadisme dan penyaki8t komorbid lainnya.

III. DISPNEU
* Intervensi bedah pada obstruksi jalan napas akibat pertumbuhan tumor : reseksi
bronkoskopik, elektrokauter;dilatasi balon, krioterapi, laser; brakiterapi
* Torasentesis terapeutik : pada efusi pleura besar. Hindari mengambil > 1,5 L per seting
karena
risiko reekspansi edema paru. Pleurodesis dan indwelling kateter jangka panjang dapat
menjadi pilihan bagi pasien dengan efusi pleura berulang dengan ekspektasi harapan hidup 3
bulan.
* Suplementasi oksigen : meredakan hipoksemia
* Opioid kortikosteroid, bronkodilator

IV. DELIRIUM
* Neuroleptik : haloperidol, chlorpromazine, olanzapine dan quetiapine
* Golongan benzodiazepine disarankan karena memiliki efek sedasi dan amnesia, namun juga
berpotensi memperburuk delirium.

V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA


* Terapi nutrisi tergantung dari kondisi pasien, status nutrisi dan lokasi tumor serta indikasi
terapi untuk pasien
* Kebutuhan energi : mempertahankan status gizi : 25-35 kal/kgBB, sedangkan untuk
menggantikan cadangan tubuh dianjurkan 40-50 kal/kgBB.
* Kebutuhan protein : 1,5 – 2 g/kgBB
* Kebutuhan lemak : 20-50% dari kebutuhan kalori total
* Cara pemberian : oral, enteral (selang nasogastric), parenteral

100
VI.DEPRESI DAN ANSIETAS
* Depresi  lihat pada bab Depresi
* Ansietas  lihat pada bab Ansietas

KOMPLIKASI
Hati-hati dengan efek samping morfin

PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respon terapi

UNIT YANG MENANGANI


* RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-Onkologi Medik
* RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


* RS pendidikan :-
* RS non pendidikan: -

TROMBOSIS VENA DALAM


PENGERTIAN
Merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh bekuan darah pada vena, dan
paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, sering kali naik menjadi emboli dan jaringan
nekrosis. Trombosis vena dalam dibagi menjadi 2 kategori prognosis yaitu 1) thrombosis vena
betis, dimana thrombus tetap berada di vena betis dalam , dan 2) thrombosis vena proksimal,
yang melibatkan vena popliteal, femoral atau iliaka.
Triad Virchow untuk trombogenesis terdiri dari : 1) gangguan pada aliran darah yang
menyebabkan stasis, 2) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan
yang menyebabkan aktivasi factor pembekuan, dan 3) gangguan pada dinding pembuluh
darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
* Kram pada betis bagian bawah yang yang menetap selama beberapa hari dan memberikan
ketidaknyamanan seiring berjalannya waktu.
* Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah
* Riwayat thrombosis sebelumnya
* Riwayat thrombosis dalam keluarga

Pemeriksaan Fisik
* Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah
* Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial dapat teraba,
Homan’s sign (+), distensi vena, diskolorasi, sianosis

101
Pemeriksaan Penunjang
* Laboratorium :
- Kadar antitrombin III menurun
- Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
- Titer D-dimer meningkat : indicator adanya thrombosis yang aktif, sensitive tapi tidak
spesifik
- Radiologis
- Untuk Compression USG (CUS) : senitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk DVT
proksimal simptomatik, sensitivitas 11-100% dan spesifisitas 90-100% untuk DVT distal
simptomatik.
- CT scan dengan injeksi kontras : sensitivitas 96% dan spesifisitas 95% (predominan DVT
proksimal)
- Magnetic resonance (MR) venografi dengan kontras, apabila tidak memungkinkan dapat
menggunakan MRI (mis. Pada kasus alergi kontras dan insufisiensi ginjal) : sensitivitas 96%
(lebih rendah pada DVT distal, sekitar 62%) dan spesifisitas 93%
- Venografi : teknik standar terpilih, dapat mendeteksi DVT distal terisolasi dan thrombosis
vena iliaka dan vena cava inferior.

DIAGNOSIS BANDING
Ruptur kista Baker, selulitis, sindrom pasca phlebitis/insufisiensi vena.

TATA LAKSANA
Farmakologis
1. Terapi antikoagulan
- Merupakan terapi terpilih bagi sebagian besar pasien dengan thrombosis vena proksimal
atau emboli paru
- Kontraindikasi absolut : perdarahan intrakranial, perdarahan aktif berat, pasca operasi
otak,
mata, atau medulla spinalis dan hipertensi maligna
- Kontraindikasi relatif : pasca bedah mayor; pasca insiden serebrovaskular, perdarahan
saluran cerna aktif, hipertensi berat, gagal hati atau ginjal berat, trombositopenia berat
(trombosit < 50.000/uL
* Warfarin diberikan pada hari pertama atau kedua dengan dosis awal 5 mg/hari – untuk
mencapai target INR 2-3 dalam 4 – 5 hari. Pada pasien usia lanjut, berat badan rendah,
warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih rendah ( 2-4mg/hari).

2. Trombolisis
* Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risikoperdarahan intracranial yang besar,
kecuali kasus tertentu seperti thrombus ileofemoral massif atau bagian dari protocol
penelitian

3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)

102
- Bukan merupakan terapi utama
- Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau
warfarin

DVT PADA KEADAAN KHUSUS KEHAMILAN


* Warfarin merupakan kontraindikasi pada kehamilan
* Terapi terpilih : unfractioned heparin subkutan dan LMWH jangka panjang : mis.
Tinzaparin
1x175 IU/kg/hari SC
* Pilihan terapi unfractioned heparin atau LMWH merupakan keputusan klinis berdasarkan
kondisi pasien.

KOMPLIKASI
Perdarahan akibat antikoagulan/antiagregasi trombosit, trombositopenia imbas heparin,
osteoporosis imbas heparin (biasanya setelah terapi > 3 bulan).

PROGNOSIS
Sekitar 50% pasien dengan DVT proksimal simptomatis yang tidak mendapat diterapi
akan berkembang menjadi emboli paru simptomatis dalam waktu 3 bulan. Meskipun telah
mendapat terapi adekuat, DVT dapat berulang. Sekitar 10% pasien dengan DVT simptomatis
berkembang menjadi sindrom post thrombosis berat dalam 5 tahun.

UNIT YANG MENANGANI


* RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Hematologi-Onkologi Medik
* RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


* RS pendidikan :-
* RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

103
DIVISI TROPIK INFEKSI

104
CHIKUNGUNYA

PENGERTIAN
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akutyang disebabkan oleh alfavirus dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk A aegypti dan A albopictus.

PENDEKATANDIAGNOSIS
Anamnesis
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3-10
hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39°-40°C) dan nyeri sendi berat, Nyeri sendi
ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun biasanya sembuh dalam
beberapa hari atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya dapat juga disertai gejala lain
seperti sakit kepala, nyeri seluruh punggung, mialgia, mual, muntah, poliartritis, bintik merah
(rash), dan konjungtivitis. Pada fase subakut dan kronis, dapat memberikan gejala Minis
pembengkakan tangan disertai deskuamasi halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada
tangan, mata kaki, higroma siku, bengkak dan kaku pada jari-jari tangan,
Manifestasi Atipikal3
Meskipun sebagian besar infeksi virus chikungunya (CHIKV) bermanifestasi sebagai
demam dan artralgia, manifestasi atipikal dapat muncul seperti yang digambarkan pada
tabel 1. Manifestasi ini dapat terjadi akibat efek langsung dari virus, respon imunologis
tubuh terhadap virus, atau toksisitas obat.
Tabel 1. Manifestasi atipik dari infeksi CHIKV

Sistem Manifestasi Klinis

Neurologis meningoensefalitis, ensefalopafi, kejang, sindrom guillain-barre,


sindromserebelar, paresis, kelemahan saraf, neuropati

neuritis optik, uveitis, episkieritis, retinitis


Okular
miokarditis, perikarditis, gagal jantung, aritmia, instabilitas
Kardiovaskular
hemodinamik
Dermatologis
hiperpigmentasi fotosensitivitas, ulkus intertriginosa (bentuk seperti
sariawan),dermatosis vesikobulosa

Renal nefritis, penyakit ginjai akut

Lainnya Perdarahan abnormal, pneumonia, gagal napas, hepatitis, pankreatitis,


hipoadrenalisme, SIADH

Pemeriksaan Flsik

105
Demam 39°-40°C berlangsung beberapa hari - 1 minggu, bersifat kontinu atau
intermiten, terkadangdapat disertai bradikardirelatif.
Nyeri sendi biasanya simetris dan sering mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan
kaki. Pembengkakansendi sering dikaitkan dengan tenosinovitis.
Bintik merah biasanya muncul 2-3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik
makulopapularpada batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukanpada
telapak tangan, telapakkaki, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi sebagai
eritema difus, yang menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesikulobulosa sering
ditemukan,

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah dapat ditemukan :
• Trombositopenia
• Leukopenia
• Peningkatan tes fungsi hati
• Peningkatan LED dan CRP
• Ig M Chikungunya

Kriteria Diagnosis
• Kasus suspek
Pasien dengan onset demam akut >38,5°C dan artralgia berat atau artritis yang
tidakdapat dijelaskan oleh kondisi medis lain, dan telah tinggal atau berkunjung ke
daerah endemis atau epidemis dalam dua minggu terakhir sebelum munculnya gejala.
• Kasus terkonfirmasi (confirmed case)
Pasien kasus suspek dengan salah satu hasil pemeriksaan spesifik CHIKV :
1. Isolasi virus
2. Deteksi virus RNA dengan RT-PCR
3. IgM positif pada satu sampel serum yang diambil pada fase akut atau convalescent
4. Kenaikan titer antibodi spesifik CHIKV sebanyak 4x lipat dari sampel yang diambil
dengan selang waktu 2 atau 3 minggu

Catatan :
Apabila terjadi epidemi, semua pasien tidak wajib dikonfirmasi dengan pemeriksaan diatas.
Evaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari kriteria klinis infeksi CHIKV dilakukan saat KLB
terjadi. Kombinasi demam dan poliartralgia memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbaik
dengan nilai 84% dan 89%. Kriteria klinis tersebut mampu menegakan diagnosis pada 87%
individu dengan infeksi CHIKV yang konfirm secara serologis.

Pemeriksaan penunjangyang saat inidapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis :


a. Isolasi virus chikungunya (CHIKV)
Isolasi CHIKV dapat diambil dari nyamukyang didapat dari lapangan atau spesimen
serum akut yang diambil dari darah pasien pada minggu pertama demam. Setelah
spesimen ini didapat, harus segera dikirim ke laboratorium dalam waktu 48 jam setelah
pengambilan dengan suhu 2 - 8°C atau dry ice. Isolasi CHIKV ini kemudian harus
dikonfirmasi dengan immunofluorescence assay (IFA), antiserumspesifik CHIKV, atau

106
dengan kultur supernatan reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR), atau
suspensi otak tikus.
b. RT-PCR
Deteksi RNA CHIKV menggunakan metode RT-PCR sudah beberapa kali dipublikasikan.
Penggunaan sistem assay tertutup dan real time untuk meningkatkan sensitivitas dan
menurunkan resiko kontaminasi. Serum yang digunakan sama dengan isolasi CHIKV.

c. Tes serologis
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)dan plaque reduction neutralization testing
(PRNT) untuk memeriksa serum darah digunakan untuk diagnosis serologis. Pengiriman
spesimen ke laboratorium dengan suhu 2 - 8°C, tidak boleh dibekukan.
Diagnosis serologis fase akut dan pemulihan ditegakkan dengan hasil titer IgM antibodi
spesifik CHIKV yang positif atau kenaikan titer PRNT sebanyak 4x lipat. antibodi IgG dan
IgM anti-chikungunya. Level antibodi IgM mulai muncul pada akhir minggu pertama
demam, tertinggi pada 3-5 minggu setelah onset penyakit dan bertahan selama 2 bulan.
Oleh karena itu, untuk menyingkirkan diagnosis chikungunya, sampel fase pemulihan
(convalescent) harus tetap diperiksa apabila hasil pemeriksaan sampel fase akut negatif.
Apabila PRNT tidak tersedia, pemeriksaan serologis lain seperti hemaglutination
inhibition (HI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi alfavirus yang baru saja
terjadi (recentinfection). Namun PRNT tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi recent
infection CHIKV.

Spesimen lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium :


1. Cairan serebrospinal pada kasus meningoensefalitis
2. Cairan sinovial pada kasus artritis disertai efusi
3. Materi autopsi - serum atau jaringan yang tersedia

Sebelum mengidentifikasi CHIKV di sebuah negara, survailans laboratorium harus mengambil


3 set sampel untuk memeriksa :
1. Spesimen dengue negatif pada pasien dengan keluhan nyeri sendi berat
2. Sampel dari penyakit yang gambaran klinisnya serupa dari area geografis baru tanpa
sirkulasi dengue aktif
3. Sekumpulan (clusters) penyakit demam dengan nyeri sendi berat
Berikut adalah tabel yang menunjukkan pemeriksaan ideal yang sebaiknya dilakukan
dalam setting epidemiologis yang bervariasi:

label 2. Survailans Laboratorium untuk CHIKV menurut Variasi Epidemiologis

Skenario Epidemiologis Tes yang Diperlukan Sampel yang diperiksa

Tidak ada fanda penularan/ ELISA IgM dan IgG Semua sampel dari pasien dengan
transmisi gambaran klinis yang serupa

107
Suspek penyakit CHIKV ELISA IgM dan IgG, RT-PCR Semua sampel dari pasien dengan
real time, isolasi virus, PRNT gambaran klinis yang serupa

ELISA IgM dan IgG, RT-PCR Sampel dari kasus CHIK klasik, yang
Transmisi berkelanjutan real time, isolasi virus ditentukan oleh lab dan status
terbatas epidemiologis; sampel dari semua
kasus berat atau atipikal sebaiknya
diperiksa

Sampel dari kasus CHIK klasik, yang


ditentukan oleh lab dan status
epidemiologis; sampel dari semua
Kejadian Luar Biasa (KLB) ELISA IgM dan IgG, RT-PCR kasus berat atau atipikal
periodik (CHIKV pernah real time, isolasi
terdeteksi pada daerah
sebaiknya diperiksa
tersebut) atau survailans
aktif pada area sekiar
transmisi CHIKV

Tabel 3. Interprefasi IHasil Pemeriksaan CHIKV menurut wakiu pascainfeksi

Hari Pasca Onset Penyakit Pemeriksaan Virus Pemeriksaan Antibodi

Hari 1-3 RT-PCR : Positif IgM :Negatif

Isolasi: Positif PRNT :Negatif

Hari 4-8 RT-PCR: Positif IgM rPositif

Isolasi: Negatif PRNT :Negatif

> Hari 8 RT-PCR: Negatif IgM rPositif

Isolasi: Negatif PRNT rPositif

Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi recent infection CHIKV :
 Isolasi CHIKV, termasuk identifikasi konfirmasi (IFA, RT-PCR, atau sequencing) Deteksi RNA
CHIKV dengan RT-PCR real time

108
 Identifikasi hasil IgM positif pada pasien dengan gejala akut CHIKV, diikuti dengan adanya
antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh PRNT dengan virus lain yang ada didalam
serogrup Semliki Forest virus (SFV)
 Adanya serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA (sekali lagi,
dengan menggunakan virus lain yang ada di dalam serogrup SFV) antara spesimen fase akut
dan convalescent.

DIAGNOSIS BANDING
Malaria, demam dengue, leptospirosis, demam rematik, demam typoid, influenza

Tabel 4. Perbandingan Gambaran Klinis dengan Laboratorium Infeksi CHIKV dengan Dengue
GAMBARAN KLINIS DAN INFEKSi CHIKV INFEKSI VIRUS DENGUE
LABORATORIUM

Demam > 39°C +++ ++

Mialgia + ++

Artralgia +++ +/-

Sakit kepala ++ ++b

Bintik-bintik merah ++ +

Perdarahan abnormal +/- ++

Syok - +

Leukopeni ++ +++

Neutropeni + +++

Limfopeni +++ ++

Peningkatan hematokrit - ++

Trombositopeni + +++

a
Rata-rata frekuensi gejala yang muncul pada pasien terhadap kedua penyakif ini dibandingkan
dengan penelitian; +++ = dialami oleh 70-100% pasien; ++ = 40-69% pasien; + = 10-39% pasien; +/- =
<10% pasien; - = 0%
b
Lebih sering berupa nyeri retroorbita

TATALAKSANA
Tidak ada terapi spesifik, tatalaksana ditujukan untuk meringankan gejala, termasuk nyeri sendi

Tabel 5. Tatalaksana Demam Chikungunya

FASE AKUT FASE SUBAKUT DAN KRONIS

109
Rehidrasi fbila muntah, berkeringat, insensible Nyeri sendi: kortikosteroid oral atau injeksi intra-
losses) artikular, atau NSAID oral

Antipiretik: asetaminofen (parasetamol) Alternatif: metotreksat**

Anti radang* : ibuprofen, naproksen Fisioterapi -> kasus artralgia lama dan kaku sendi

Nyeri sendi berat yang tidak membaik dengan


NSAID : narkotik jmorfin), kortikosteroid durasi
singkat

*Perhatian : tidak dianjurkan memberikan aspirin karena resiko perdarahan dan sindroma Reye pada anak <12
tahun
**Pada fase subakut dan kronis, dapat dipertimbangkan bila terapi lain tidak adekuat untuk mengatasi
keluhan artralgia berulang (refractory joint symptoms)

PROGNOSIS

Sebagian besar pasien sembuh sempurna, namun pada beberapa kasus, nyeri sendi dapat
persisten untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tingkat mortalitas pada individu >65 tahun
lebih tinggi 50 kali lipat dibandingkan dengan dewasa muda <45 tahun.3

UNIT YANG MENANGANI

• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam


• RS non pendidikan : Bagian PenyakitDalam

UNIT TERKAIT

• RS pendidikan : -
• RS non pendidikan : -

DEMAM BERDARAH DENGUE

PENGERTiAN

110
Merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamukAedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO
untuk demam berdarah dengue.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Demam mendadaktinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan
(perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria), sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual-muntah, pemanjangan
siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah atau di tempat
bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan sesak, lemah
hingga penurunan kesadaran.

Pemeriksaan Fisik
 Demam
 Gejala infeksi viral seperti: injeksi konjungtiva, mialgia, artalgia
 Tanda perdarahan: ptekie, purpura, ekimosis
 Hepatomegali
 Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites, edema, kandung empedu

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah rutin: lekopenia, trombositopenia, hemokonsentrasi Serologi:
IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein virus NS-1 Dengue,
 Foto toraks: penumpulan sudut kostofrenikus
 USG abdomen: double layer pada dinding kandung empedu, atau asites

Kriteria Diagnosis
Definisi Kasus unfuk Demam Dengue
Probable - demam akut disertai dua atau lebih gejala berikut:
• sakit kepala
• nyeri retro-orbital
• myalgia
• artralgia
• ruam
• manifestasi perdarahan
• leukopenia;dan
• Hasil pemeriksaan serologi (+) atau adanya demam dengue di lokasi dan waktu yang
sama
Confirmed - kasus di konfirmasi dengan kriteria laboratorium
• Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
• Kenaikan > 4 kali titer antibodi IgG atau IgM pada sampel plasma
• Terdapatnya antigen virus dengue pada sampel otopsi jaringan, plasma, atau LCS dengan
teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
• Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR
Reportable - setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan

111
Kriteria Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
• Uji bendung positif,
• Ptekie, ekimosis, atau purpura.
• Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari
tempat lain.
• Hematemesis atau melena.
3. Trombositopenia [jumlah trombosit < 100.000/ml],
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, atau
hiponatremia

Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue


• Derajat I: Demam disertai gejala-gejala konstitusional yang tidak spesifik; satu- satunya
manifestasi perdarahan adalah hasil uji tourniquet yang positif.
• DerajatII: Sebagai tambahan dari manifestasi pasien derajat I, terdapat perdarahan
spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan/atau perdarahan lainnya.
• DerajatIII: Kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang lemah dan cepat,
menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipertensi, serta gelisah dan
kulit teraba dingin
• Derajat IV: Renjatan / syok berat dengan nadi dan tekanan darah yang tidak terdeteksi

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)


Diagnosis Dengue Shock Syndrome (DSS)
Semua gejala kriteria DBD ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi seperti:
 Nadi lemah dan cepat
 Tekanan nadi sempit (< 20 mmHg)
Atau adanya manifestasi:
 Hipotensi
 Akral dingin, lembab dan gelisah

Diagnosis Banding
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya
Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), lekosit, trombosit, serologi dengue, foto toraks.
Evaluasi Ht dan trombosit setiap 12/24 jam sesuai keadaan klinis, USG abdomen sesuai
indikasi atau bila perlu.

DIAGNOSIS BANDING
Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya.

112
TATALAKSANA
Nonfaramakologis
• Istirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
• Pantau tanda-tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4 - 6 )
Klinis: tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah Laboratorium: Hb,
Ht, Trombosit, Lekosit

Farmakologis
• Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana DBD
Cairan intravena: Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf. Evaluasi jumlah
cairan, kondisi klinis, perbaikan/perburukan hemokonsentrasi. Koloid/plasma
ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan.
Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
Pertimbangan heparinisasi pada DBD stdadium III dan IV dengan Koagulasi
intravaskular diseminata (KID)
Kriteria Merujuk Pasien ke RS/ICU:
 Takikardi
 Capillary refill time (< 2 detik)
 Kulit dingin, lembab dan pucat Nadi perifer lemah atau hilang Perubahan status
mental Oliguria
 Peningkatan mendadak Ht atau peningkatan kontinyu Ht setelah terapi cairan
diberikan
 Tekanan nadi sempit (< 20 mmHg)
 Hipotensi

Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa:
Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %
Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Protokol 5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

113
Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Keterangan :
* Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan:
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (berat badan dalam kg - 20)
Contoh volume rumatan untuk berat badan 55 kg : 1500 + 20 x (55-20) = 2200 ml
** Pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis

Setelah cairan diberikan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

114
• Bila Hb,Htmeningkat 10 -20 % dantrombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap sperti
rumus di atas tapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam
• Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai protocol
penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Membaik: penurunan hematokrit, stabilnya pulsasi dan tekanan darah, urine output meningkat
Tidak membaik: hematokrit dan pulsasi meningkat, tekanan darah menurun dibawah 20 mmHg,
menurunnya urine output
Tanda -tanda vital tidak stabil: menurunnya urine output, tanda-tanda syok

115
Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

116
Protokol 5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

117
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : -
• RS non pendidikan : -
KOMPLIKASI
Renjatan (syok), ensefalopati dengue, perdarahan saluran cerna, KID (koagulasi intravaskular
diseminata)

DEMAM NEUTROPENIA

PENGERTIAN
Demam didefinisikan bila ditemukan suhu oral S 38,3°C pada satu kali pengukuran atau
suhu > 38°C bertahan lebih dari satu jam. Neutropenia didefiniskan sebagai penurunan
jumlah netrofil absolut <500 sel/mm3 atau jumlah netrofil diperkirakan akan menurun <500
sel/mm3 selama 48 jam kemudian.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala dan tanda inflamasi seringkali kurang tampak atau tidak tampak sama sekali pada
pasien neutropenia pada keadaan klasik adanya. Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak
jarang menimbulkan indurasi, eritema, panas, dan pustulasi. Infiltrat pada infeksi paru dapat
tidak terlihat pada radiografi. Infeksi pada meningen dapat hanya ditemukan pleiositosis
ringan di cairan serebro spinal (CSS). Infeksi traktus urinarius dapat menunjukkan piuria
ringan atau bahkan tidak ada sama sekali. Demam seringkali merupakan satu-satunya tanda
infeksi. Adanya kondisi komorbid yang mendasari seperti diabetes, penyakit paru obstruktif
kronik, dan/atau prosedur bedah harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik pasien demam
neutropenia membutuhkan ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal,
khususnya pada lokasi yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit (khusunya tempat
pemasangan kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi
sumsura tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum. 2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pada lokasi yang paling sering terkena
infeksi seperti di kulit (khususnya tempat pemasangan kateter, seperti tempat masuk atau
keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring (termasuk periodontium),
saluran cerna, paru, dan perineum.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis
leukosit dan jumlah trombosit, mengukur kreatinin serum dan blood urea nitrogen,
elektrolit, enzim transaminase hati, dan bilirubin total.2
• Kultur : sebaiknya dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda Minis tetapi tidak secara

118
rutin.
− Feses: diambil untuk memeriksa Clostridium difficile toxin assay pada pasien yang
mengalami diare
− Urin: dilakukan pemeriksaan jika ditemukan gejala dan tanda infeksi saluran kemih,
terpasangnya kateter saluran kemih, atau ditemukannya hasil urinalisis yang
abnormal.
− CSS: Pemeriksaan dan kultur cairan spinal diindikasikan jika dicurigai meningitis Kulit:
biopsi dari lesi kulit yang terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan sitologi,
pewarnaan gram, dan kultur.
− Spesimen respiratori: sampel sputum untuk kultur bakteri rutin dikirim jika pasien
mengalami batuk produktif. Spesimen traktus respiratori bawah diambil dengan cara
bilasan bronkus direkomendasikan pada pasien dengan infiltrat yang penyebabnya
tidak jelas pada foto thoraks. Nasal wash atau spesimen BAL direkomendasikan
untuk mengevaluasi gejala infeksi virus respirasi.
• Pencitraan
Pasien dengan gejala dan tanda respiratori sebaiknya dilakukan foto thoraks untuk
mengeksklusi pneumonia. Pneumonia selama neutropenia biasanya perjalanan
penyakitnya berlangsung progresif sehingga disarankan untuk segera dilakukan
perawatan di ruang rawat inap.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding berdasarkan etiologi yang menyebabkan demam neutropenia yaitu: 2
Tabel 1. Etiologi Demam Neutropenia
Kokus gram positif Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus aureus V

aridans Streptococcus

Enterococcus faecalis

Streptococcus pneumoniae

Basilus gram negatif Escherichia coll

Pseudomonas aeruginosa

Non-aeruginosa Pseudomonasspp

Enferobacterspp.
Klebsiellaspp.
Serrafiaspp
Acinetobacterspp
Citrobacterspp
Basilus gram positif Diphtheroids

Fungi Candidaspp

119
Aspergillusspp

TATALAKSANA
Penilaian risiko komplikasi infeksi berat sebaiknya dinilai pada saat demam. Penilaian
resiko dapat menentukan jenis antibiotik empiri (oral atau IV), jenis perawatan (rawat inap
atau rawat jalan), dan durasi terapi antibiotik.
Sistem skoring MASCC (Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk-
Index Score) merupakan hasil penjumlahan skor faktor risiko, termasuk umur pasien,
riwayat, status rawat inap atau rawat jalan, tanda klinis akut, adanya kondisi komorbid, dan
deratnya demam dan neutropenia yang dinilai oleh beratnya beban penyakit. Penilaian risiko
dengan sistem skor MASCC ini dapat membantu menilai kondisi pasien untuk menentukan
regimen dan tempat perawatan yang sesuai untuk pemberian antibiotik empiris, juga waktu
pemulangan dari rumah sakit.

Tabel 2. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk-Index Score
(apendiks)
KARAKTERISTIK SKOR

Demam neulropenia dengan iidak ada gejala atau ringan 5


Tidak ada hipotensijtekanan darah sistolik<90mmHg)
Tidak ada Penyakit Paru Obstruktif 5
Tumor solid atau keganasan hematologis tanpa adanya riwayat infeksi jamur
sebelumnya 4
Tidak ada dehidrasi yang membutuhkan cairan parenteral
4
Beban demam neutropenia dengan gejala sedang
Status rawat jalan ,
Umur<60tahun
3

a. Demam neutropenia merujuk kepada status klinis umum yang dipengaruhi episode demam
neutropenia. Sebaiknya di evaluasi pada skala: gejala tidak ada atau ringan (skor 5); gejala
moderate (skor 3); dan gejala berat (skor 0).
b. Penyakit Paru Obstruktif Kronis berarti bronkitis aktif kronis, emflsema, penurunan FEV,

membutuhkan oksigen dan/afau steroid dan/atau bronkodilator pada saat epsode demam
neutropenia.
c. Riwayat infeksi jamur sebelumnya berarti terkena infeksi jamur atau secara empiris mengobati

pasien suspek jamur

Pasien Risiko Tinggi


Pasien dengan kriteria di bawah ini dipertimbangkan menjadi risiko tinggi untuk
komplikasi serius selama demam dan neutropenia. Sebagai alternatif, skor MASCC <21 dapat

120
digunakan sebagai panduan. Pasien risiko tinggi sebaiknya mendapatkan terapi antibiotik
empiris di rumah sakit:
• Profound neutropenia (Jumlahneutrofilabsolut<100sel/mm3) diperkirakanbertahan
>7hari
• Adanya penyakit komorbiditas dibawah ini:
Instabilitas hemodinamik
Mukositis oral atau gastrointestinal yang menganggu proses menelan atau yang
mengakibatkan diare berat
Gejala gastrointestinal, termasuk nyeri abdomen, mual, muntah,atau diare
Perubahan neurologis atau status mental Infeksi kateter intravaskular
Infiltrat paru baru atau hipoksemia, atau penyakit paru kronis yang mendasari ° Bukti
adanya insufisiensi hepatik (didefinisikan sebagai peningkatan aminotransferase >5x batas
atas normal) atau insufisiensi ginjal (didefinisikan sebagai bersihan kreatinin <30 mL/min).

Pasien Risiko Rendah


Pasien risiko rendah adalah pasien dengan neutropenia yang diharapkan membaik dalam
7 hari dan tidak ada penyakit komorbid, secara klinis stabil, serta fungsi hepar dan renal yang
adekuat. Kebanyakan pasien ini ditemukan dengan tumor solid. Pasien dengan risiko rendah
mempunyai kriteria MASCC skor >21.

Penatalaksanaan Pengobatan Antimikroba:


Adapun prinsip pengobatan empirik pada neutropenia febris adalah sebagai berikut: 3
• Prompt atau secepatnya, karena cepat dan tingginya angka kematian.
• Empirik yang didasarkan pada surveillance, kondisi pasien dan kondisi setempat.
• Bakterisidal lebih dipilih daripada antibiotik bakteriostatik pada keadaan netrofil rendah.
• Spektrum luas untuk mencakup semua bakteri patogen.
Regimen antibakterial sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Kultur darah
merupakan pemeriksaan yang paling relevan terhadap dasar terapi, sedangkan kultur
permukaan kulit dan membran mukosa dapat terjadi salah interpretasi.

121
Gambar 1. Algoritme manajemen inisial demam neutropenia2

Pengobatan Antijamur dan Dekontaminasi Antibiotik Parsial


Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, beberapa pusat pengobatan termasuk
Indonesia, terlebih dahulu memberikan PAD (Partial Antibiotic Decontamination) dengan
tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna. Regimen PAD dapat berupa kolistin, neomisin,
pipemidic acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti flukonazol, itrakonazol, atau
amfoterisin B, atau dapat juga regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin, bahkan yang
sederhana dengan kotrimoksazol. Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan
flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal amfoterisin B. Pada risiko rendah
penggunaan obat antijamur tidak direkomendasikan.

Pengobatan Antivirus
Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik, Obat antivirus hanya
diindikasikan bila terbukti secara klinis atau laboratoris dengan adanya penyakit virus

Pengobatan Lain
Pengobatan growth factor dn imunomodulator serta empirikal immunoglobulin tidak
direkomendasikan secara rutin, karena belum ada bukti nyata.1-3

KOMPLIKASI
Bakteriemia

122
PROGNOSIS
Demam neutropeni terjadi pada 10% - 50% pasien dengan tumor solid dan 80% pada
keganasan hematologi, dan biasanya membutuhkan waktu pengobatan 7-12 hari dengan
angka kematian 10%. Angka kematian rata - rata sebesar 15% pada kelompok risiko
tinggi dan 1% pada kelompok risiko rendah. Demam neutropenia, jika tidak ditangani
dalam 48 jam pertama, maka angka kematian mencapai 50 %

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Alergi Imunologi
- Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

DEMAM TIFOID

PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1

PENDEKATANDIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8°-40.5°C), dan berlanjut hingga
4 minggu jika tidak ditangani. S.paratyphi A dapat mengakibatkan gejala penyakit yang lebih
ringan daripada S.typhi, dengan predominan gejala gastrointestinal. Pada minggu pertama,
gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk, berkeringat, mialgia, malaise,
dan artralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual,
muntah, diare, konstipasi.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C, tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan
ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental
berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada
orang Indonesia.1

Pemeriksaan Penunjang

123
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi
kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
dapat ditemukan anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan SGPT seringkali meningkat.u
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme, Kuman
tifoid yang mengandung antigen (0 and H) dapat menstimulasi host untuk
S.typhi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai persentase
sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah; banyak strain
Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat mengakibatkan/a/se-
positif.
Selain uji Widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
dengan cepat, mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik antara lain uji
TUBEX, Typhidot dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semi- kuantitatif kolometrik yang
cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan, Uji ini digunakan untuk mendeteksi
antibodi anti-S.typh\ 09 pada serum pasien. Deteksi terhadap anti 09 dapat dilakukan lebih
dini,yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.
Pada penelitian tahun 2006, di Jakarta, Surya H dkk, didapatkan sensitivitas uji Tubex
sebesar 100%, spesifitas 90%. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap antigen
S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Tabel 1. Interprefasi Hasil Uji Tubex

Assay Sensitivitas (%) Spesifisitas (%)

Skor Interpretasi
<2 Megatif Tidak menunjuk infeksi iifoid aktif
Pengukuran tidak dapaf disimpulkan. Uiangi pengujian, apabila
3 Borderline
masih meragukan iakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Posiiif Menunjukan infeksi tifoid aktif
>6 : Positif Indikasi kuat infeksi tifoid .

Saat ini, metode enzyme linked immunosorbent assay [ELISA] telah banyak digunakan
dalam membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dari serum dan urin, Meskipun
metode ELISA dengan mengambil cairan tubuh memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi dibanding uji Widal, teknik yang invasif serta kesulitan mengambil dan
mempertahankan sampel hingga waktunya untuk diperiksa telah mengurangi manfaat
metode ini. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan ELISA untuk mendeteksi antibodi
IgA lipopolisakarida anti-S.typhi pada sampel air liur pasien yang dicurigai menderita demam
tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini mampu mendeteksi demam tifoid pada fase akut dan
paling efisien selama minggu ke-2 dan ke-3 demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk
dirawat.

124
Demam Demam
Konfirmasi Widal (+) Sehaf
Konfirmasi kuliur (+) dengan c-tiologi yang dengan etiologi yang
(n=98) (n=7)
diketahui (n=73) tidak diketahui (n=143)
Tubex-TF 75 78 85 88 100
Typhidot IgM 63 62 95 97 100
Typhidot IgG 28 28 99 99 100
ELISA total Ig 93 78 95 94 100
ELISA IgG 75 65 95 96 100
ELISA IgM 79 78 95 95 100
ELISA IgA 57 64 96 97 100
ELISA IgG + IgM 88 84 91 92 100
ELISA IgG + IgA 84 73 93 95 100
ELISA IgM + IgA 88 85 91 94 100
ELISA IgG + IgM + IgA 90 86 90 92 100

Tabel 2. Perbedaan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas dari Pemeriksaan ELISA, Tubex-TF,
Typhidot IgG dan IgM.

Toksik Tifoid
Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis
lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.

Tifoid Karier
Seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun
pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinik.2

DIAGNOSIS BANDING4
Demam dengue, malaria, enteritis bakterial

TATALAKSANA
Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman.2,3
2. Pemberian antimikroba1,2
Pilihan utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain:
 Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
 Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
 Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
 Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
 dekstrosa 100 cc selama % jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari.
 Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram
 Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV):

125
− Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
− Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
− Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
− Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
− Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Kasus Toksik Tifoid


Pada kasus toksik tifoid langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg
dengan ampisilin 4x1 gram dan Prednison 20 hingga 40 mg sekali sehari PO (atau yang
ekuivalen) selama 3 hari pertama dari pengobatan biasanya cukup. Dosis tinggi
kortikosteroid (dexametason 3 mg/kg IV awal, diikuti dengan 1 mg/kg per 6 jam selama 48
jam), digunakan pada pasien dengan delirium, koma, syok.

KOMBINASI ANTIBIOTIKA:
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, dan
renjatan septik.

Kasus Tifoid Karier


• Tanpa kolelitiasis -» pilihan rejimen terapi selama 3 bulan:
− Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
− Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
− Kotrimoksazol 2x2 tablet/hari
• Dengan kolelitiasis -» kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut:
− Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari
− Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
• Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius -»eradikasi Schistosoma
haematobium:
− Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
− Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu
− Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas
Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksazol tidakboleh digunakan.
Kloramfenikol dan tiamfenikol tidak dianjurkan pada kehamilan.

KOMPLIKASI

Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

Komplikasi Ekstraintestinai
− Komplikasi kardiovaskuler: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
− Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis,
− Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
− Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
− Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
− Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.
− Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik

126

PROGNOSIS
Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%, sedangkan pada kasus yang
diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus kematian berhubungan
dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau pasien debil prognosisnya lebih
buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis semakin buruk. Relaps terjadi pada 25% kasus.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : -
• RS non pendidikan : -

DIARE INFEKSI

PENGERTIAN
Diare didefinisikan sebagai perubahan frekuensi buang air besar menjadi lebih sering dari
normal/ lebih dari 3 kali per hari disertai perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer.
Diare juga dapat diartikan sebagai keluarnya feses lebih dari 200 gram per hari (pada
populasi barat), atau kandungan air pada feses lebih dari 200 mL per hari.
Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi tiga: diare akut (kurang dari 14 hari), diare
persisten (berlangsung selama 2-4 minggu), dan diare kronis (berlangsung lebih dari 4
minggu). Diare disebut sebagai diare infeksi bila etiologinya adalah karena infeksi bakteri,
virus, parasit, jamur, atau toksin dalam makanan

Penyebab Gastroenteritis Karena Infeksi


Toksin dalam makanan (inkubasi < 6 jam):
• Bacillus cereus
• Staph, aureus
• Clostridium spp. enterotoxin
Bakteri (inkubasi 12-72 jam) :
 Vibrio cholerae • Salmonella*
 E. colienterotoksigenik (ETEC) • Shigella*
 Shiga toxin-producing E. coli (EHEC)* • Campylobacter*
 E. colienteroinvasif (EIEC)* • Clostridium difficile*

Virus (inkubasi singkat): Rotavirus, Norovirus


Protozoa (inkubasi lama): Giardiasis, Cryptosporidium, Microsporidiosis, disentri amuba*,
Isosporiasis
Keterangan: *diare berdarah

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis

127
Onset, durasi, frekuensi, progresivitas, kualitas diare (konsistensi feses, adakah
disertai darah atau lendir), gejala penyerta (muntah, nyeri perut, demam), riwayat
makanan/minuman yang dikonsumsi 6-24 jam terakhir, adakah keluarga atau orang
disekitarnya dengan gejala serupa, kebersihan/ kondisi tempat tinggal, apakah wisatawan
atau pendatang baru, riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu, penyakit dasar/komorbid.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, tanda vital, status gizi, tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas dan
lokasi nyeri perut, colok dubur [dianjurkan untuk usia >50 tahun, dan feses berdarah),
identifikasi penyakit komorbid.
Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap (DPL), elektrolit, ureum, kreatinin, Analisa Gas Darah (AGD)
bila dicurigai ada kelainan asam basa, analisa tinja, kultur dan resistensi feses, immunoassay
toksin bakteri (C. difficile)/antigen virus (rotavirus), antigen protozoa [Giardia, E. Histolytica).

DIAGNOSIS BANDING
 Gastroenteritis (non infeksi)
 Infeksi C. difficile
 Divertikulitis akut
 Sepsis
 Pelvic inflammatory disease (PID)

TATALAKSANA
A. Terapi Suportif
1. Rehidrasi cairan dan elektrolit
Per oral: larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral (LRO)
Intravena: ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa, dsb Jumlah kebutuhan
cairan disesuaikan dengan status hidrasi (menggunakan klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008)
atau dengan menggunakan skor Daldiyono.

Tabel 1. Klasiflkasi Dehidrasi menurut WHO


Penilaian Defisit Cairan Dalam % Defisit Cairan Dalam mL/kg
Tanpa dehidrasi/ dehidrasi <5% <50 ml/kg
BB BB
ringan
Dehidrasi sedang 5-10% 50-100 ml/kg
Dehidrasi berat >10% >100 ml/kg

Kebutuhan cairan per hari menggunakan metode ini adalah :


• Dehidrasi minimal : 103/100 x 30 - 40 mL/kgBB/hari
• Dehidrasi ringan sedang : 109/100 x 30 - 40 mL/kgBB/hari
• Dehidrasi berat : 112/100 x 30 - 40 mL/kgBB/hari

Tabel 2. Penilaian Derajat Dehidrasi menurut WHO


Penilaian Skor t Skor 2 Skor 3
Keadaan umum Baik Lesu/naus Gelisah, mengantuk, hingga syok
Mata Biasa Cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kerin g Sangat kering
Pernapasan 30 x/menit /menit >40x/menit

128
Turgor Baik Kurang Jelek
Nadi 120 x/menit 120-140x/menit >140 x/menit
Skor >6 : Tanpa dehidrasi
7-12 : dehidrasi ringan-sedang
>13 : Dehidrasi berat

Evaluasi dan penatalaksanaan dehidrasi berdasarkan CDC AS 2008:


• Dehidrasi minimal (kekurangan cairan <3% dari kebutuhan normal/berat badan):
− Kebutuhan cairan = 103/100x30-40ml/kgBB/hari ,atau
− Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses+IWL(10%BB)]+30-40ml/kgBB/hari
• Dehidrasi ringan sedang (kekurangan cairan 3-9% dari kebutuhan normal/berat badan):
− Kebutuhan cairan = 109/100x30-40ml/kgBB/hari ,atau
− Kebutuhan cairan = pengeluaran [feses+IWL(10%BB)]+30-40ml/kgBB/hari
• Dehidrasi berat (kekurangan cairan >9% dari kebutuhan normal/berat badan)

Tabel 3. Skor Daldiyono


Kriieria Skor
Haus/muntah 1
TD sistolik 60-90 mmHg 1
TD sistolik<60 mmHg 2
Frekuensi nadi>120 x/ menit 1
Kesadaran apatis 1
Somnolen/spoor koma 2
Frekuensi napas> 30 x/menit 1
Facieskholerica 2
Voxkhoierica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer Woman Hand 1
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur>60 tahun -2

Kebutuhan cairan/ 2 jam pertama melalui metode ini adalah=


Skor/15 X 10% X KgBB X 1 liter
Terapi nutrisi sesuai kebutuhan: nutrisi oral, enteral, parenteral, ataupun kombinasi

1. Terapi Etiologis Infeksi


 Bakteri
− E.Colipatogen (EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik (EHEC); Enterobacter
aerogenes; Shigella sp:
− Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
− levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3 hari
− Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 5 hari
 Salmonella sp:

129
− Kloramfenikol 4 x 500 mg p.o, Tiamfenikol 50 mg/kgBB [qid) p.o selama 10-14
hari
− Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3-5 hari
− Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 10 - 14 hari
 Vibrio cholera:
− Tetrasiklin 4 x 500 mg p.o selama 3 hari Doksisiklin 4 x 300 mg p.o, dosis tunggal
− Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin/levofloksasin 1x500
mg p.o)
 Clostridium difficile:
− Metronidazol (PO] 4 x 250-500 mg selama 7 - 1 4 hari
− Vankomisin [PO] 4 x 125 mg selama 7- 14 hari (Bila resistensi
− metronidazole]
− Probiotik
 Yersinia enterocolytica:
− Aminoglikosida: streptomisin [IM] 30mg/kgBB/hari p.o bid, selama 10 hari
− Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o
− Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o,
levofloksasin 1 x 500 mg p.o)
 Shigela dysentrase:
− Kuinolon
− Cephalosporine generasi III
− Aminoglikosida
 Campylobacter jejunii:
− kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin/levofloksasin 1 x 500 mg p.o
− makrolid: eritromisin 2x500 mg p.o selama 5 hari
 Virus: tidak diberikan antivirus, hanya terapi suportif dan simptomatik
 Parasit:
 Giardia lambda: metronidazol 4 x 250-500 mg p.o selama 7-14 hari
 Cryptosporidium: paromomisin (4g/hari p.o dosis terbagi) plus azitromisin (500 mg
p.o dosis tunggal dilanjutkan 1 x 250 mg p.o selama 4 hari)
 Entamoeba histolytica:
− Metronidazol 4 x 250-500 mg p.o selama 7 - 1 4 hari
− Tinidazol 2 g/hari p.o selama 3 hari
− Paromomisin 4 g/hari p.o, dosis terbagi
 Isospora belii:
− Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o, selama 7 - 1 0 hari
 Jamur (pada pasien dengan HIV/AIDS): Candida sp,Cryptococcus sp, Coccidiomycosis sp.
 Biasanya diberikan intravena dulu, dilanjutkan oral, tergantung keadaan umum
 Flukonazol 2 x 50 mg; itrakonazol 2 x 200 mg; vorikonazol 2 x 200 mg; amfoterisin B
lmg/kgBB/hari; nistatin 4 x l m L atau 1 tab

2. Terapi Simptomatik
• Adsorbent (kaolin, attapulgite, smectite, karbon aktif, kolestiramin): bekerja dengan
cara mengikat dan inaktivasi toksin bakteri atau zat lain yang menyebabkan diare.
• Probiotik:terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii,

130
bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efekyang
positif karena berkompetisi dengan bakteri patogen untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna.
• Antimotilitas (loperamid hidroklorida, difenoksilat dengan atropin, tinktur opium,
tinktur opium camphor, paregoric, kodein): mengurangi frekuensi BAB pada orang
dewasa, tetapi tidak mengurangi volume tinja. Tidak boleh diberikan pada bayi dan
anak-anak dengan diare karena dapat menyebabkan ileus paralitik berat dan
memperpanjang durasi infeksi karena menghambat eliminasi organisme penyebab.
Pada dosis tinggi dapat menyebabkan toksik megakolon. Antimotilitas yg membuat
spasme, tidak boleh diberikan pada wanita hamil (komplikasi abortus).
• Bismuth subsalisilat: mengurangi volume tinja dan keluhan subyektif. Diberikan
setiap 4 jam, dapat mengurangi volume tinja pada diare akut sampai 30%.
Obat antidiare: kontraindikasi bila feses berdarah, immunocompromise, atau pada
risiko sepsis.
KOMPLIKASI
Komplikasi sistemik: hipovolemia, hiponatremia, hipoglikemia, sepsis, kejang dan
ensefalopati, sindroma uremik hemolitik (HUS), pneumonia, kurang energi protein.
Komplikasi saluran cerna: perforasi, toksik megakolon.
PROGNOSIS
• akut, diare cair, tipikal berlangsung 5-7 hari
• kebanyakan kasus membaik dalam 2 minggu
• bila ada komplikasi serius seperti dehidrasi dan syok hipovolemik: prognosis
umumnya baik bila rehidrasi berhasil
• faktor-faktor yang memiliki prognosis yang lebih buruk, diantaranya:
− diare disertai darah dehidrasi dan hipovolemia
− syok hipovolemik, gejala diare berulang
− malnutrisi'immunodefisiensi, termasuk infeksi HIV
− usia > 65 tahun- diare karena antibiotika
− infeksi nosokomial atau wabah diare
− tanda - tanda peritonitis

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT YANG TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Ginjal Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam,
Bagian Parasitologi, Bagian Mikrobiologi,
• RS non pendidikan : -
DIARE TERKAIT ANTIBlOTiK
(INFEKSI CLOSTRIDIUM DIFFICILE)

PENGERTIAN
Diare terkait antibiotik/pseudomembran adalah peradangan pada kolon akibat toksin A
maupun toksin B dari Clostridium difficile yang ditandai dengan terbentuknya lapisan
eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan mukosa, yang umumnya timbul
setelah menggunakan antibiotlk. Penggunaan antibiotik menyebabkan terganggunya

131
kolonisasi flora normal di kolon sehingga Clostridium difficile tumbuh berlebihan. Antibiotik
yang paling sering dikaitkan dengan keadaan ini adalah klindamisin, ampisilin dan
sefalosporin generasi 2 dan 3.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Diare cair atau berlendir 10 - 20 x sehari
• Diare berdarah
• Kram perut
• Demam
• Riwayat penggunaan antibiotik minimal 72 jam sebelumnya

Pemeriksaan Fisik
• Febris
• Nyeri tekan abdomen bawah

Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi lengkap -> leukositosis, sering hingga 50.000/mm3
 Hipoalbuminemia
 Kolonoskopi -> diawali lesi kecil (2 - 5mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa
di antaranya terlihat normal atau eritema, granularitas, kerapuhan. Jika lesi membesar,
terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil
dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi.
 Histopatologi
 ELISA, PCR -> mencari toksin A ataupun toksin B, antigen C,difficile

DIAGNOSIS BANDING
Diare akibat kuman patogen lain, efek samping obat non-antibiotik, kolitis non- infeksi,
sepsis intra abdominal.

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
• Menghentikan antibiotik yang diduga sebagai penyebab, obat-obatan yang mengganggu
peristaltik, opiat
• Mencegah penyebaran nosokomial
• Pemberian cairan dan elektrolit (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi)

Farmakologis
 Metronidazol -> pada kasus ringan-sedang (leukosit < 15.000/mm3 atau kreatinin < 1,5
kali kreatinin awal) diberikan peroral dengan dosis 4 x 250 - 500 mg selama 7-10 hari
 Vankomisin -> digunakan pada kasus berat dengan dosis peroral 4 x 125-500 mg selama
7-14 hari. Pada kasus berat dengan komplikasi atau fulminan, dosis vankomisin yang
digunakan adalah 500 mg per oral atau per NGT ditambah dengan metronidazol iv 3 x
sehari selama > 2 minggu. Tigesiklin iv 2 x 50 mg setelah dosis awal 100 mg dapat
menggantikan metronidazol

132
 Kasus rekurensi pertama menggunakan dosis yang sama dengan kasus baru. Kasus
rekurensi kedua menggunakan vankomisin per oral dengan dosis tapering yaitu 4 x 125
mg selama 10-14 hari lalu 2 x sehari selama 1 minggu lalu lx sehari selama 1 minggu lalu
setiap 2-3 hari selama 2-8 minggu
 Kolestiramin -> untuk mengikat toksin, dosis 3x4 gram selama 5 - 1 0 hari
 Kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardii) selama beberapa minggu
 Imunoglobulin iv antibodi terhadap toksin C.difficile
Bedah: operasi kolektomi subtotal untuk menyelamatkan nyawa dan apabila dengan terapi
farmakologis tidak berhasil

KOMPLIKASI
Dehidrasi, gangguan elektrolit, syok, edema anasarka, megakolon toksik, perforasi kolon,
gagal ginjal, sepsis, kematian

PROGNOSIS
Sebanyak 15-35% kasus akan kambuh dalam beberapa minggu atau bulan. Rekurensi
dapattimbul sebagai relaps atau reinfeksi oleh strain baru, Rekurensi lebih sering pada
pasien geriatri, pasien yang tetap melanjutkan pemakaian antibiotik penyebab saat terapi
Clostridium difficile, pasien yang tetap dirawat di rumah sakit setelah pengobatan pertama
selesai dan pasien yang menggunakan proton pump inhibitor. Pasien yang telah mengalami
rekurensi pertama memiliki kemungkinan rekurensi kembali sebesar 33-65%. Pada kasus
rekuren, risiko timbulnya komplikasi serius meningkat sebesar 11%. Angka mortalitas
meningkat hingga 6,9% dan lebih tinggi pada usia tua.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

PENGERTIAN
Fever of Unknown Origin (FUO) dibagi menjadi empat macam, yaitu :
• FUO klasik adalah demam>38,3°C selama lebih dari 3 minggu, kemudian dirawat selama
1 minggu untuk dicari penyebabnya, namun tidak ditemukan penyebabnya. Penyebab
bisa merupakan undetermined infection, malignancy, autoimmune disease.
• FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 4 minggu pada rawat
jalan atau lebih dari 3 hari pada pasien rawat inap
• FUO pada pasien netropenia adalah demam > 38,3°C pada pasien dengan jumlah lekosit
PMN<500/pL atau diperkirakan akan turun mencapai nilai tersebut dalam 1-2 hari
(dibahas lebih lanjut pada bab demam neutropenia)
• FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan

133
pada saat mulai dirawat tidak timbul gejala atau dalam masa inkubasi, penyebab demam
tak diketahui dalam waktu 3 hari, termasuk 2 hari telah diperiksa kultur.

ETIOLOGI
FUO disebabkan karena infeksi (30-40%), neoplasma (20-30%), penyakit kolagen vaskular
(10-20%), dan beberapa penyakit lainnya (15-20%). FUO yang menetap selama lebih dari 1
tahun cenderung disebabkan oleh infeksi atau neoplasma dan kebanyakan adalah penyakit
granulomatosa.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Keluhan utamanya adalah demam berkepanjangan tanpa sebab yang jelas. Hal yang
perlu ditanyakan diantaranya : onset demam, durasi demam, pola demam. Riwayat
pengobatan yang berhubungan dengan FUO diantaranya adalah antimikroba (carbapenem,
cephalosporin, erythromycin, isoniazid, minocycline, nitrofurantoin, penicillin G, penicillin V,
rifampin, sulfonamides), antileptik (carbamazepine, phenytoin), obatkardiovaskular
(captopril, clofibrate, heparin, hydralazine, methyldopa, nifedipine,procainamide, quinidine),
allopurinol, barbiturate, cimetidine, meperidine, pil diet, obat herbal.
Riwayat penyakit terdahulu : keganasan, penyakit inflamasi, riwayat operasi sebelumnya
(terutama yang berhubungan dengan benda asing), infeksi HIV. Riwayat pada keluarga
(kondisi keluarga ke arah FUO): demam periodik,familial Mediterranian fever (FMF),
penyakit reumatik, kondisi inflamasi sistemik (seperti inflammatory bowel disease,
polimialgia rematika, temporal arteritis, atau vaskulitis lain). Riwayat sosial: mengenai
paparan ke hewan peliharaan atau binatang lain, terpapar dengan orang dengan mempunyai
gejala yang sama, riwayat bepergian, tempat tinggal sebelumnya, riwayat pekerjaan,
ketergantungan obat injeksi, aktivitas seksual. Selain itu, perlu ditanyakan lagi gigitan kutu.

Pemeriksaan Penunjang
Sesuai mikroorganisme dan organ terkait. Pemeriksaan hematologi, kimia darah, urine
Lengkap, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan
(scanning), endoskopi/peritoneoskopi, angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparatomi
percobaan), uji pengobatan, PET scan.
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat

TATALAKSANA
Tidak ada pengobatan untuk FUO sampai penyakit yang mendasari teridentifikasi. Obat-
obatan untuk mengurangi demam tidak didukung bukti yang kuat. Pengobatan empirik
dengan menggunakan antibiotik, antituberkulosis, atau kortikosteroid tidak
direkomendasikan bila belum ditegakkan diagnosis pasti

KOMPLIKASI
Efek samping dari tes diagnostik untuk mencari etiologi FUO

PROGNOSIS
• 19-34% pasien dengan FUO tidak pernah mengetahui diagnosisnya
• Pasien dengan FUO idiopatik mempunyai prognosis yang baik sebab pada sebagian besar

134
kasus, penyakit dapat sembuh dengan spontan.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik dan Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi-Onkologi Medik,
Divisi Reumatologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan :

FILARIASIS
PENGERTIAN
Filariasis adalah infeksi pada saluran limfe atau kelenjar limfe yang disebabkan oleh
cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, atau B, timori, dengan Minis bervariasi mulai
dari infeksi subklinis, limfedema, sampai hidrokel, dan kaki gajah (elephantiasis). Toksin yang
dilepaskan oleh cacing dewasa menyebabkan limfangiektasia, apabila cacing dewasa telah
mati dapat mengakibatkan limfangitis filaria akut dan obstruksi saluran limfe.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Filariasis dapat berlangsung selama beberapa tahun dengan gambaran Minis yang
berbeda-beda.
Infeksi filaria, dibagi 3 stadium:
1. Bentuk tanpa gejala / asimptomatik
• Pembesaran kelenjar limfe terutama daerah inguinal
• Dalam darah ditemukan banyak mikrofilaria, disertai eosinofilia.
2. Filariasis dengan peradangan (akut)
• Demam, menggigil (bila ada infeksi sekunder karena bakteri), sakit kepala, muntah,
lemah, mialgia, hematuria mikroskopik, proteinuria
• Saluran limfe/kelenjar getah bening (KGB) yang terkena: aksila, inguinal, tungkai,
epitroklear, genitalia (funikulitis, epididimis, orkitis)
• Pembengkakan epididimis, jaringan retro peritoneal, kelenjar ari-ari, dan iliopsoas
• Infeksi kulit, plak edematosa, disertai vesikel, ulkus steril (cairan serosanguineus), dan
hiperpigmentasi.
• Lekositosis dengan eosinofilia
• Sindroma eosinofilia paru tropik (tropical pulmonary eosinophilia), kejadian <1% dari
seluruh kasus filariasis, ditandai dengan:
− kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi,
− gejala mirip asma, mengi, batuk
− penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif)
− kadar antibodi spesifik antifilaria sangat tinggi
− respon pengobatan yang baik dengan terapi antifilaria [DEC]
• Berlangsung selama satu bulan atau lebih
3. Filariasis dengan penyumbatan
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai, dapat dibagi
dalam 4 tingkat, yaitu:

135
− Tingkat 1: edema pitting pada tungkai, hilang bila tungkai diangkat
− Tingkat 2: edema pitting / non-pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat
− Tingkat 3: edema non-pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal
− Tingkat 4: edema non-pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis)

Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan parasitologi mikroskopik, ditemukan mikrofilaria dalam darah (kapiler lebih
baik daripada vena), cairan hidrokel, atau cairan tubuh lainnya, Kesulitan penegakan
diagnosis sering dialami, karena mikrofilaria menghilang setelah cacing dewasa mati, dan
cacing dewasa hidup yang ada di pembuluh limfe atau KGB sulit dijangkau.
• Limfoskintigrafi dengan radionuklir pada sistem limfatik ekstremitas
• USG Dopier pada skrotum atau payudara, terlihat cacing dewasa aktif
• ELISA dan ICT untuk antigen W. bancrofti yang bersirkulasi (sensitivitas 96-100 %,
spesifisitas hampir 100%)
• Polymerase chain reaction[PCR) untuk deteksi DNA W. Bancrofti

DIAGNOSIS BANDING
Pada episode akut: tromboflebitis, infeksi, keganasan, gagal jantung kongestif, trauma,
abnormalitas sistem limfatik.

TATALAKSANA
 Umum: tirah baring, penggunaan stocking elastis untuk kompresi edema, antibiotik bila
ada infeksi sekunder atau abses.
 Spesifik:
 Pengobatan infeksi:
− Dietilkarbamazin [DEC], 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari, dapat diulangi 1-6 bulan
kemudian bila perlu, atau selama 2 hari per bulan (6-8 mg/ kgBB/hari)
− Ivermektin, 200 meg/ kgBB, efektif untuk mikrofilaremia
− Albendazol, 1 - 2 x 400 mg setiap hari selama 2-3 minggu
 Pengobatan penyakit:
− Aspirasi dan operasi, untuk drainase cairan limfe
− Psikoterapi
− Fisioterapi

KOMPUKASI
 Abses pelvis renalis sampai kerusakan ginjal
 Fibrosis interstisial paru kronik dan gagal nafas
 Rejeksi sosial, disabilitas seksual, depresi

PROGNOSIS
Prognosis baik pada kasus yang terdeteksi dini dan sedang, sedangkan prognosis lebih buruk
pada kasus yang sudah lanjut terutama dengan edema genitalia (skrotum) dan
tungkai/elephantiasis, dapat menyebabkan kecacatan permanen.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi InfeksiTropik - Departemen Penyakit Dalam

136
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Bagian Parasitologi, Bagian Bedah, Bagian Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : -

LEPTOSPIROSIS

PENGERTIAN
Adalah penyakit zoonotik yang disebabkan spirochaeta dari genus Leptospira. Dalam
tubuh hewan, leptospira akan menetap dan membentukkoloni serta berkembangbiak di
dalam epitel tubulus ginjal dan secara terus-menerus ikut mengalir dalam filtrat urin.
Leptospira menginfeksi manusia melalui mukosa atau melalui abrasi kulit, memasuki aliran
darah dan berkembang. Masa inkubasi berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari.
Leptospira dapat melewati rongga interstisial ginjal, menembus membran basal tubulus
proksimal ginjal dan sel tubuloepitel proksimal ginjal dan menempel pada brush border
tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat diekskresikan ke urin.1'3
Penyakit Weil's merupakan bentuk berat leptospirosis yang ditandai oleh demam,
ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan perdarahan (terutama perdarahan paru), 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
− Riwayat paparan/ kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan yang
terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak, babi, kuda, anjing,
kucing, hewan pengerat, atau hewan liar)
− Riwayat pekerjaan risiko tinggi, mencakup tukang potong hewan, petani, peternak,
pekerja limbah, dan pekerja kehutanan
− Demam yang muncul mendadak, bersifat bifasik yaitu demam remiten tinggi pada fase
awal leptospiremia (berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun dan muncul
kembali pada fase imun.
− Sakit kepala, terutama di bagian frontal
− Anoreksia
− Nyeri otot
− Mata merah/ fotofobia Mual,
muntah Nyeri abdomen

Pemeriksaan Fisik
− Demam
− Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen Bradikardi
− Eritema faring tanpa eksudat
− Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal Ronki
pada auskultasi paru
− Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru
− Ruam (dapat berupa makula, makulopapula, eritematosa, petelda, atau ekimosis)
− Ikterus

137
− Meningismus
− Hipo- atau arefleksia, terutama pada tungkai.
− Penyakit Weil's ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan perdarahan
(terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saliran cerna, retroperitonium,
perikardium dan otak). Sindrom lainnya mencakup meningitis aseptik, uveitis,
kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis, Hepar dapat membesar dan nyeri.
Splenomegali dapat terjadi pada sebagian kecil kasus.

Pemeriksaan Penunjang
− Leukositosis atau leukopenia disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah yang
meninggi.
− Anemia hemolitik
− Trombositopeni
− Urinalisis: proteinuria, leukosituria, sedimen abnormal (leukosit, eritrosit, cast hialin dan
granular)
− Diagnosis definitif: pemeriksaan langsung urin atau darah dengan mikroskop lapang
gelap.
− Microscopic Agglutination Test (MAT) atau Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)
− Kultur ganda darah atau LCS pada 7-10 hari pertama, kultur urin mulai minggu kedua.
− Peningkatan kreatin kinase isoform nonkardiak, menunjukkan kerusakan otot rangka
− Penyakit Weil ditandai dengan peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin serum,
campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi, serta peningkatan
aminotransferase sampai kurang dari 5 kali batas atas normal.

DIAGNOSIS BANDING
Influenza, malaria, infeksi dengue, chikungunya, demam tifoid, hepatitis virus

TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Tirah baring

Farmakologis
1. Pengobatan suportifdengan observasi ketat untuk mengatasi dehidrasi, hipotensi,
perdarahan, gagal ginjal
2. Antibiotik:
a. Leptospirosis ringan:
− Doksisiklin oral 2 x 100 mg selama 7 hari
− Amoksisilin oral 4 x 500 mg selama 7 hari
− Ampisilin oral 4 x 500-750 mg selama 7 hari
− Azitromisin oral lxl gram pada hari pertama, selanjutnya lx 500 mg pada hari kedua
dan ketiga.5
b. Leptospirosis sedang-berat:
− Penisilin G intravena 1,5 juta unit/6 jam selama 7 hari
− Seftriakson intravena 1 gram/24 jam selama 7 hari
− Doksisiklin intravena 100 mg/12 jam selama 7 hari
− Amoksisilin intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari A
− mpisilin intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari

138
− Sefotaksim intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, meningitis aseptik, pankreatitis, perdarahan masif, hepatitis, miokarditis

PROGNOSIS
Usia lanjut, keterlibatan paru, peningkatan kadar kreatinin serum, oliguria, dan
trombositopeni terkait dengan prognosis yang buruk. Faktor independen yang terkait
dengan keparahan penyakit meliputi hipertensi kronik, alkoholisme kronik, keterlambatan
pemberian antibiotik, hasil pemeriksaan auskultasi dada yang abnormal, ikterus, oligoanuria,
gangguan kesadaran, peningkatan AST, hiperamilasemia, dan
Leptospira interrogans serovar icterohemorrhagiae. Oliguria, ikterus dan aritmia merupakan
prediktor kuat munculnya komplikasi gagal ginjal akut atau miokarditis. Angka kematian
yang dilaporkan bervariasi antara <5% sampai >20%.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Dlvisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
® RS pendidikan : DivisiGinjal-Hipertensi - DepartemenPenyakitDalam
® RS non pendidikan : -

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


(HIV)/ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME (AIDS)

PENGERTIAN
Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh
(dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium
lanjut) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.1'2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Kemungkinan sumber infeksi HIV
• Gejala dan keluhan pasien saat ini
• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi
oportunistik
• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak
dengan TB sebelumnya
• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
• Riwayat penggunaan terapi anti retroviral [Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk
riwayat rejimen untuk PMTCT (prevention of mother to child transmission) sebelumnya

139
• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
• Kebiasaan merokok
• Riwayat Alergi
• Riwayat vaksinasi
• Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang terdapat
pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor risiko
penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA suntik, dan tanda-tanda
IMS.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah untuk Skrining HIV
− Anti HIV rapid
Pemeriksaan Darah untuk Diagnosis HIV
• Anti-HIV ELISA 3 X
• Anti-HIV Western Blot 1 X
Pemeriksaan Darah lainnya
• DPL dengan Diff Count.
• Total Limfosit Count (TLC) atau hitung Iimfosit total: % limfosit x jumlah Leukosit (dengan
catatan jumlah leukosit dalam batas normal)
• Prediksi Hitung CD4+ Berdasarkan Hitung Limfosit Total

CD4+ = 0,3 limfosit - 8,2

Persamaan ini digunakan bila tidak didapatkan faktor perancu seperti infeksi CMV dan
Tuberkulosis.

CD4+ = 0,3 limfosit - 41 CMV + 37 antiretrovirus -16

Persamaan di atas dapat membantu dokter untuk mengestimasi hitung CD4+ pada penderita
infeksi HIV dimana sudah diketahui ada infeksi oportunistik seperti infeksi CMV atau
tuberculosis.
• Hitung CD4
• Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
Pemeriksaan HIV dipertimbangkan pada keadaan dibawah ini:
• Infeksi menular secara seksual (IMS)
• Pasangan atau anak:
− diketahui positif HIV
− mengidap HIV atau penyakit yang terkait dengan HIV
• Kematian pasangan muda yang tidak jelas penyebabnya
• Pengguna NAPZA suntikan
• Pekerjaan yang berisiko tinggi

140
• Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual.

Berikut merupakan strategi penyaring tes HIV menurut WHO dan UNAIDS (tabel 1).
Tabel 1. Strategi Penyaring Tes HIV menurut WHO dan UNAIDS Berdasarkan Tujuan
Pemeriksaan dan Prevalens Infeksi pada Populasi Sampel
Tujuan Strategi
Prevalensi Infeksi
Pemeriksaan Pemeriksaan1
Semua
1
Keamanan transfusi/ Prevalensi
tranplantasi
I
>10%
Surveilans II
<10%
Diagnosis Terdapat gejala klinis >30% 1
infeksi HIV <30% II
Tanpa gejala klinik >10% II
infeksi HIV <10% III

Stadium WHO
• Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata
• Stadium 2
− Berat badan turun <10%
− Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus
oral rekuren, cheilitis angularis)
− Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
− Berat badan turun >10%
− Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan
− Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), >1 bulan
− Kandidiasis oral
− Oral hairy leucoplakia
− Tuberkulosis paru
− Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
− HIV wasting syndrome Pneumonia Pneumocystis carinii Toksoplasma serebral
Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan
− Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya
retinitis CMV)
− Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral
− Progressive multifocal leucoencephalopathy
− Mikosis endemic diseminata
− Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
− Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru

141
− Septikemia salmonela non-tifosa
− Tuberkulosis ekstrapulmonar
− Limfoma
− Sarkoma kaposi
− Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit imunodefisiensi primer

TATALAKSANA
 Konseling
 Suportif
 Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik (dapat dilihat pada bab
Infeksi Oportunistik)
 Terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi, efek samping dan penanganannya

Tabel 2. Obat ARV yang digunakan24


Data
No Nama Generik Formulasi Dosis
farmakokinetik
Lini perlama
< 4 minggu: 4 mg/kg/ dosis, 2 x / h a r i ( u
n t u k pencegahan)
4 minggu sarnpai 13 fahun: i 80- 240
1. Zidovudin (ZDV) Tablet: 300 mg Sernua urnur
mg/m2/dosis, 2x/hari
Dosis maksimAl:
>13 tahun: 300 mg/dosis, 2x/hari
<30 hari: 2 mg/kg/dosis, 2x/hari (dosis
pencegahan)
> 30 hari atau <60 kg:
2. Lamivudin (3TC) Tablet: 150 mg Semua umur
4 mg/kg/dosis, 2x/hari
Dosis maksimal:
> 60 kg: 1 SO mg/dosis, 2x/hciri

3. Kombinasi fetap Tablet: 300 mg Remaja dan Dosis maksimal:


ZDV + 3TC ZDV plus 150 Dewasa > 13 tahun atau > 60 kg:
mg 3TC 1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak untuk berat
badan <30 kg)
4. Nevirapin (NVP) Tablet: 200 mg Semua umur < 8 tahun: 200 mg/m2, dua minggu pertama
sekali sehari. Selanjutnya dua kali sehari.
> 8 tahun: 120-150 mg/m2, dua minggu
pertama sekali sehari. Selanjutnya dua kali
sehari.
5. Efavirenz (EFV) 600 mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg sekali sehari
anak > 3 tahun 15-<20 kg: 250 mg
dan berat > sekali sehari
10 kg 20 - < 25 kg: 300 mg '
sekali sehari
25-<33 kg: 350 mg sekali sehari 33 - < 40

142
kg: 400 mg sekali sehari Dosis maksimal: e
40 kg: 600 mg sekali sehari
6, Stavudin (d4T) Tablet: 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis, 2x/hari
30kg atau lebih: 30 mg/dosis, 2x/hari
7. Abacavir (ABC) Tablet: 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8 mg/kg/dosis,
2x/hari Dosis maksimal: :
> 16 tahun atau > 37.5 kg: 300 mg/dosis,
2x/hari,
8. Tenofovir disoproxil Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam
fumarat jTDFj Interaksi obat dengan didanosine (ddl), tidak
lagi dipadukan dengan ddl
9. Tenofovir + Emtricitabin Tablet 200 mg/300mg
Lini Kedua
1. Lopinavir/rifonavir Tablet tahan suhu > 6 bulan 400 mg/100 mg setiap 12 jam-
(LPV/r), panas, 200mg untuk pasien naif baik dengan
lopinavir + 50 mg atau tanpa kombinasi EFV
ritonavir atau NVP
600 mg/150 mg setiap 12 jam bila
dikombinasi dengan EFV atau NVP-unfuk
pasien yang pernah mendapat terapi ARV 2
minggu-6 bulan: 16 mg/4 mg /kgBB 2x/hari
6 bulan-18 tahun: 10 mg/kgBB/ dose
lopinavir
2. TDF Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam Interaksi obat
dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl

Tabel 3. Rekomendasi Rejimen Lini Pertama pada Target Populasi yang belum pernah
Terapi ARV
Target Populasi Rekomendasi Catatan
Dewasa dan Remaja ZDV atau TDF + 3TC atau FTC + EFV Pilih rejimen yang sesuai untuk mayoritas ODHA GunakanFDC
atau NVP
Perempuan ZDV + 3TC + EFV atau NVP Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama
Hamil TDF bisa merupakan piiihan Pada perempuan HIV yang pernah menjalani
rejimen PMTCT, lihat rekomendasi di bagian lain (Tabel 4)
Koinfeksi HIV/TB ZDV atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat mungkin (daiam 8 minggu pertama) setelah

FTC + EFV memulai terapi TB Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat '
digunakan
Koinfeksi HIV/ HBV TDF + 3TC atau FTC + EFV atau NVP Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai terapi ARV
Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV

Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat yang
digunakan adalah :
(TDF atau ZDV) + 3TC atau FTO(LPV/RTV)
Tabel 4. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorium untuk Memonitor Pasien
(Modifikasi Depkes)
Tahap Terapi ARV Tes yang Direkomendasikan Tes yang Dianjurkan
Pada saat diagnosis HIV CD4 - HbsAg (periksa HCV??)
Sebelum memulai ARV CD4
Pada saat memulai ARV CD4 - Hb untuk ZDV

143
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat menjalani ARV CD4 (tiap berapa bulan) - Hb untuk ZDV
- Kreatinin Klirens untuk TDF
- SGPT untuk NVP
Pada saat kegagalan klinis CD4 - Viral load
Pada saat kegagalan imunologis Viral load
Wanita yang menjalani PMTCT dengan NVP dosis Viral load enam bulan setelah memulai
tunggal dengan lanjutan daiam 12 bulan terapi ARV

Tabel 5. Efek Samping ARV dan Subsitusinya


Nama Obat Efek Samping Subsitusi
Zidovudin - Supresi sumsumtulang Jika digunakan pada terapi lini pertama, TDF
(atau d4T jika tidak ada pilihan lain)
- Anemia makrositik atau neutropenia
Jika digunakan pada terapi lini kedua, d4T
- Intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, asthenia

- Pigmentasi kulit dan kuku

- Asidosis laktat dengan steatosis hepatic


Stavudin - Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis laktat dengan steatosis ZDV atau TDF
hepatitis (jarang), lipoatrofi
Lamivudin - Toksisitas rendah

- Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)


Abacavir - Reaksi hipersensilif (dapat fatal) ZDV afciu TDF

- Dernam, ruarn, kelelahan, mual, muntcih, tidal; nafsu makan

- Gangguan pernafciscin (scikit tenggorokan, batuk)

- Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)


Tenofovir - Asthenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, sering buang angin, Jika digunakan pada lini pertama, ZDV (atau

insutisiensi ginjal, sindrom Fanconi a'4T jika tidak ada pilihan)


Jika digunakan pada lini kedua Secara
- Osteomalasia
pendekaian kesehatan masyarakat, maka
- Penurunan densitas tulang tidak ada pilihan lain jika pasien telah gagai
- Hepatitis eksaserbasi akut berat pada pasien HIV dengan koinfeksi ZDV/d4T pada terapi lini pertama. Jika
Hepatitis B yang menghentikan TDF memungkinkan, dipertimbangkan merujuk
ke tingkat perciwatan yang lebih tinggi
dimanci terapi individual tersedia.
Emtriciicibine Ditoleransi dengan bail;
Efavirenz - Reaksi hipersensiiiviias - NVP

- Sindroma Steven-Johnson - bPI jika tidak toleran terhcidcip kedua

- Ruam NNRTI

- Toksisitas hepar - Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain

- Toksisitas sistem saraf pusat yang berat dan persisten (depresi dan
pusing)

- Hiperlipidemia

- Ginekomastia (pada laki-taki)

- Kemungkinan efek teratogenik (pada kehami- lan trimester pertama


atau wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi yang adekuat)
Nevirapin - Reaksi hipersensitivitas - EFV

- Sindroma Steven-Johnson - bPI jika tidak toleran terhadap kedua

144
- Ruam NNRTI

- Toksisitas hepar - Tiga NRTI jika tidak ado pilihan lain

- Hiperlipidemia
Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua tidak ada
pilihan lain*
Lopinavir Intoleransi gastrointestinal, mual, muntah, semu- tan, hepatitis, dan
pankreatitis, hiperglikemia, pernindahcin lemak dan abnormalitas lipid

Tabel 6. Jadwal Vaksin pada Pasien HIV

Keterangan:
*TIV: trivalent inactivated influenza virus
“Dianjurkan apabila ada faktor resiko lain (riwayat kesehatan, pekerjaan, gaya hidup, dll)
 Penatalaksanaan Penanganan Pajanan HIV di Tempat Kerja2'4
 Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang terkena darah
atau cairan tubuh dieuci dengan sabun dan air, dan permukaan mukosa dibilas dengan
air,
 Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV (berdasarkan cairan tubuh dan
tingkat berat pajanan).
 PPP (profilaksis pasca pajanan) untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber dari ODHA
(atau sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV).
 Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan
HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah diberikan konseling pra-tes
dan mendapatkan persetujuan (informed consent), dan tersedia rujukan untuk
konseling, dukungan selanjutnya serta jaminan untuk menjaga konfidensialitas.
 Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya dilaksanakan
setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan (informed consent).

145
 Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu diberikan
oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara yang penuh perhatian
dan tidak menghakimi.
 Harus dibuat laporan pajanan.

Pemberian PPP dengan ARV


PPP harus dimulai sesegera mungkin setelah pajanan, sebaiknya dalam waktu 2-4 jam.
Pemberian PPP setelah 72 jam dilaporkan tidak efektif. Direkomendasikan pengobatan
kombinasi dua atau tiga jenis obat ARV.
Pilihan jenis obat ditetapkan berdasarkan pengobatan ARV pada sumber pajanan
sebelumnya dan informasi tentang kemungkinan resistensi dari obat yang pernah digunakan.
Pilihan juga berdasarkan tingkat keseriusan pajanan dan ketersediaan ARV.
Pemberian ARV tersebut didasarkan pada pedoman yang ada, dan disediakan satu "kit”
yang berisi ARV yang direkomendasi, atau berdasarkan konsultasi dengan dengan dokter
ahli. Konsultasi dengan dokter ahli sangat penting dalam hal adanya resistensi terhadap ARV.
Perlu tersedia jumlah ARV cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal pemberian
PPP.
Tabel 7. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pascapajanan HIV
Perlukaan kulit

Status infeksi sumber pajanan


HIV positif Tingkat
HIV posiiif Tingkat Tidak diketahui staus Tidak diketahui HIV
Jenis Pajanan 2a,b
1 a
HIV-nya c
sumbernya d
negarif
Kurang berai Dianjurkan Anjuran pengobatan Umumnya Tidak perlu Umumnya Tidak perlu
Tidak
Pengobatan dengan 3-obat PPP PPP, perlimbangkang2- PPPh,i
cicisar obai PPP bila sumber perlu PPP
2 – obat PPP berisikoh
Lebih bercif Pengobatan dengan 3 Anjuran pengobatan Umumnya Tidak perlu PPP Umumnya Tidak perlu
Tidak
-obat PPP dengan 3 -obat PPP perlimbangkan 2-obat PPP PPPh,i

bila sumber berisikoh perlu PPP


Pajanan pada lapisan mukosa atau pajanan pada luka di kulii
Status infeksi sumber pajanan
Volume Perlimbangkan Anjuran Umumnya Tidak perlu Umumnya Tidak perlu
Tidak
sedikit Pengobatan pengobaian PPP pertimbangkang2- PPPh,i
(beberapa dasar dengan 3 -obat obat PPP bila sumber perlu PPP
tetes) 2 - obat PPPh PPP berisikoh
Volume Dianjurkan Anjuran Umumnya Tidak
Tidak
banyak Pengobatan pengobatan Umumnya Tidak perlu perluppph,i
(tumpahan dasar dengan 3 -obat PPP pertimbangkan 2- perlu PPP
banyak 2 - obat PPP PPP obat PPP bila sumber
darah) berisikoh,i

Keterangan:
a HIV Asimtomatis atau diketahui viral load rendah (yaitu <1500 RNA/mL)
b HIVSimtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan
adanya resistensi obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda
dan perlu tersedia sarana untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya
c contoh, pasien meninggal & tidak dapaf dilakukan pemeriksaan darah

146
d contoh, jarum dari tempat sampah
e y.i. jarum buntu, luka di permukaan
f y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak darah pada alat, atau jarum bekas
dipakai pada arteri atau vena
g Pernyataan “Pertimbangkan PPP" menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak
mutlak dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan
keahlian dokternya. Namun. pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila
ditemukan faktor risiko pada sumber pajanan, atau bila terjadi di daerah dengan risiko
tinggi HIV.
h Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif,
maka PPP harus dihentikan.
i Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak
utuh (seperti, dermatitis, abrasi atau luka)

Tabel 8. Rejimen ARV untuk Profilaksis Pascapajanan


Tingkat risiko pajanan Rejimen
Risiko menengah Rejimen kombinasi dua obat dasar, contohnya:
(Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi) AZT 2 x 300 mg + 3TC 2 x 150 mg atau
d4T 2 x 40 mg + 3TC
atau
ddl 1 x 400 mg + d4T
Risiko tinggi Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya:
(Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya pajanan dengan AZT/ 3TC/ IDR (3 x 800 mg) ataur NFV (3 x 750 mg) AZT/3TC/IDV/r
darah volume banyak, luka tusuk yang dalam) AZT/ 3TC + NNRTI (EFV 1 x 600 mg)
keterangan:
1 Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan (bila diketahui)
2 Efavirenz lebih baik dari pada NVP tapi tidak dianjurkan untuk perempuan hamil. Telah dilaporkan 2 kematian dari petugas kesehatan
dengan toksisitas hati yang terkait dengan PPP yang mengandung NVP, oleh karena itu tidak dianjurkan

Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV adalah mual dan rasa tidak
enak. Pengaruh yang lainnya kemungkinan sakit kepala, lelah, mual dan diare. Efek samping
lain yang berat pada pemberian ARV adalah seperti di bawah ini
 NVP: pernah dilaporkan hepatotoksisitas berat pada PPP (NVP tidak dianjurkan untuk
rejimen kombinasi pada PPP]
 ddl: pankreatitis yang fatal
 IDV/NFV: diare, hiperglikemia, lipodistrofi

Pemeriksaan TindakLanjut danKonseiing


Orang yang mendapatkan ARV untuk PPP perlu dievaluasi dan ditindak lanjuti dalam
72 jam setelah pajanan serta perlu dipantau terhadap timbulnya gejalatoksisitas obat untuk
sedikitnya selama 2 minggu. Pemeriksaan antibodi HIV sebagai data dasar dapat dilakukan
dalam 8 hari pascapajanan dan untuk selanjutnya dievaluasisecara berkala setidaknya
selama 6 bulan pascapajanan, misalnya pada minggu ke 6, bulan ke 3 dan bulan ke 6, namun
apabila timbul gejala penyakit yang sesuai dengan sindrom retroviral akut maka
pemeriksaan antibodi HIV perlu dilakukan segera, Perlu diberikan konseling dukungan dan
juga anjuran untuk melakukan pencegahan terhadap penularan sekunder HIV sedapat
mungkin selama masa pemantauan.

147
Tabel 9. Pemantauan Laboratorium pada Profilaksis Pascapajanan
Waktu Jtka meminum PPP Tidak meminum PPP
Data Dasar (Dalam waktu 8 HIV, HCV, HBV DL, HIV, HCV, HBV
hari) Transaminase
Minggu ke 4 Transaminase, DL Transaminase
Bulan ke 3 HIV, HCV, HBV HIV, HCV, HBV
Transaminase Transaminase
Bulan ke 6 HIV, HCV, HBV HIV, HCV, HBV
Transaminase Transaminase
HIV : pemeriksaan antibodi HIV
HCV : pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis C
HBV : pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis B
DL : Pemeriksaan darah lengkap

PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV PADA KEHAMILAN


Semua ARV diketahui memiliki toksisitas terhadap kehamilan, namun tetap diperlukan
dalam keadaan seperti:
• Terapi kombinasi poten bagi penyakit HIV maternal; atau
• Sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi HIV ke janin.

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana HIV Pada Wanita Hamil

KOMPUKASI
Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain.

PROGNOSIS

148
Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat menurunkan
penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%.

INFEKSI JAMUR

PENGERTIAN
Mayoritas jamur tidak patogenik bagi orang yang imunokompeten, namun beberapa
jamur dapat menginfeksi orang sehat, diantaranya dermatofita (trikofiton, epidermofiton,
dan mikrosporum), histoplasma, blastomyces, cryptococcus, coccidioides, dan
paracoccidioides.
Pada individu dengan imunokompromis berisiko terkena infeksi oportunistik oleh
jamur seperti kandida, aspergillus, fusarium atau mukor. Mereka yang terkena diantaranya
adalah infeksi HIV, terapi imunosupresan, kemoterapi kanker, pasien netropenik, pasien
dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Pada keadaan tertentu, jamur dapat
menginfeksi hampir semua organ atau dapat terjadi diseminasi dan menyebabkan sepsis
fungal.

KANDIDIASIS
Definisi
Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme dari genus Candida, yang
paling sering Candida albicans. Infeksi kandida pada penderita imunokompromais dapat
dilihat pada bab Infeksi Oportunistik.

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk infeksi kandida adalah netropenia, imunosupresi, antibiotik
spektrum luas, terpasang infus, pengguna jarum suntik, operasi abdomen, DM, gagal ginjal

Manifestos! Klinis
Tergantung dari lokasi terkenanya, kandidiosis memiliki manifestasi klinis :
 Mukokutan : kutan (merah, lesi maserasi, zona intertriginosa)
 Candidiuria : kolonisasi karena antibiotik spektrum luas dan atau indwelling catheter
 Candidemia : (nosocomial bloodstream infection)
 Hepatosplenik : intestinal seeding of portal and venous circulation; ditemukan pada
leukimia akut
 Diseminasi hematogenus : paru-paru, otak, meningen

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis candidiasis dengan menemukan pseudohifa atau hifa
spesies Candida pada kultur spesimen.

149
Sebelum menunggu hasil kultur, kondisi pasien dapat kita nilai dengan menggunakan
scoring kandida untuk menentukan apakah ia memiliki kecenderungan menderita infeksi
jamur. Skoring kandida secara lengkap dibahas pada appendiks.

Tatalaksana
Terapi empirik
Terapi Empirik

Mukokutan Topikal klotrimazol, nisfatin, flukonazol,


itrakonazol.
Kandiduria Flukonazol 200 mg/hari selama 2 rninggu,
afau intravesikalampho B. Jika simptomatik,
imunosupresi berat, akan melakukan
prosedur genitourinari
Kandididemia tanpa netropenia Flukonazol 400mg/hari atau ekinokandin,
atau ampho B

Febril netropenia Ekinokandin (micafungin lOOmg/hari iv


selama 2 minggu atausampai hasil kultur
negatif), atau ampho B

Prognosis
Pada pasien sehat dengan kandidiosis superfisial, terapi yang tepat dapat sembuh
sempurna tanpa meninggalkan kerusakan permanen. Candidiosis tidak akan kambuh bila
pasien tetap sehat dan asupannya baik. Pada pasien immunokompromis, kandidiosis lebih
persisten dan lebih resisten terhadap terapi.

ASPERGILLOSIS
Definisi
Aspergilosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.

Manifestasi Klinis
Beberapa bentuk aspergillosis
• Aspergilloma: biasanya didahului adanya kavitas (dari TB); kebanyakan asimptomatik tapi
dapat menyebabkan hemoptisis
• Necrotizing tracheitis: pseudomembran nekrotik putih pada pasien dengan AIDS
transplan paru
• Necrotizing kronik : pada pasien dengan PPOK; imunosupresi ringan
• Diseminata/invasif : pada pasien dengan imunosupresi (neutropenia, post transplant,
steroid, AIDS dengan steroid atau neutropenia)

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Laboratorium: Kultur, pemeriksaan antibodi, deteksi antigen (histo urin/serum Ag, 1,3-p-
D-glucan, Galactomannan, Crypto Ag), pemeriksaan histopatologik.

TATALAKSANA

150
Nonfarmakologis
Lepaskan akses intravaskular, menjaga higienitas
Farmakologis
Fungus ball biasanya tidak diterapi dengan antijamur kecuali ada perdarahan pada
jaringan paru-paru. Pada kasus tersebut, diperlukan tindakan operasi. Aspergillosis invasiv
diterapi dengan antijamur voriconazole oral atau intravena. Dapat juga menggunakan
Amphotherisin B, Ekinokandin, atau Itraconazole. Endokarditis yang disebabkan Aspergillus
diterapi dengan tindakan operasi mengambil katup jantung yang terinfeksi serta terapi
antijamur dalam jangka panjang.

PROGNOSIS
Invasif aspergilosis sulit membaik dengan terapi farmakologis, dapat menyebabkan
kematian.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : -

INFEKSI OPORTUNISTIK PADA AIDS

PENGERTIAN
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah
ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh.
Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuhnya (kadar
CD4).
Berikut akan dibahas infeksi oportunistik yang sering terjadi pada ODHA di Indonesia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


Berikut adalah diagnosis dan tatalaksana beberapa infeksi oportunistik tersering:

TUBERKULOSiS
Pendekatan Diagnosis
 Anamnesis; demam diurnal, keringat malam, batuk kronik lebih dari 3 minggu,
hemoptisis, penurunan berat badan, penurunan napsu makan, rasa letih, dan nyeri dada
pleuritik.
 Pemeriksaan fisik; febris, kakeksia, takipnea, suara napas bronkial, amorfik, suara napas
melemah, ronki basah yang terdengar jelas saat inspirasi.

151
 Pemeriksaan penunjang: sputum BTA yang positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS pada
waktu yang bersamaan, foto rontgen toraks (infiltrat, pembesaran KGB hilus/ paratrakeal,
milier, kavitasi, efusi pleura), laju endap darah meningkat, kultur Mycobacterium
tuberculosis yang positif, tes Mantoux positif, tes IGRA positif.

Diagnosis Banding
Pneumonia, tumor/keganasan paru, bronkiektasis, abses paru.

Tatalaksana
 Obat antituberkulosis (OAT) yang diberikan pada pasien ODHA tidak berbeda pada pasien
biasa.
 Semua pasien ODHA harus menerima terapi antiretroviral (ARV). OAT diberikan lebih
dahulu, disusul pemberian ARV sesegera mungkin selambat-lambatnya 8 minggu setelah
dimulainya OAT.
 ARV yang dianjurkan adalah zidovudin atau tenofovir disoproksil fumarat (NRTI/
Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor) dikombinasikan dengan lamivudin atau
emtrisitabin. Untuk NNRT1 / Non-Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor, WHO
merekomendasikan efavirenz atau nevirapin.

MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC)

Pendekatatn Diagnosis
 Anamnesis: demam, penurunan berat badan, keringat malam, rasa letih, diare.
 Pemeriksaanfisik: limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia.
 Pemeriksaan penunjang: gangguan fungsi hati, peningkatan alkali fosfatase serum,
leukopenia, anemia, kultur darah atau cairan lain yang steril, pemeriksaan sputum yang
menunjukkan MAC positif sebanyak 2 kali, biopsi sumsung tulang atau hati.
Diagnosis Banding
Tuberkulosis

Tatalaksana
• Klaritromisin 2x500 mg + etambutol 15 mg/kgBB atau azitromisin 1x600 mg + etambutol
15 mg/kgBB.
• Obat tambahan untuk kuman resisten makrolid: Moksifloksasin 1x400 mg atau
levofloksasin 1x500-750 mg + etambutol 15 mg/kgBB + rifabutin 1x300 mg ± amikasin iv
10-15 mg/kgBB.
• CDC menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi
jika tidak ditemukan gejala dan tanda infeksi MAC disertai peningkatan CD4 > 100 sel/pL
yang menetap selama lebih6bulandenganpemberian ARV.

KANDIDIASIS
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis;
− Kandidiasis orofaring: rasa terbakar, gangguan mengecap, sulit menelan makanan
cair atau padat.
− Kandidiasis esophagus: disfagia, odinofagia, nyeri retrosternal, nyeri seperti ada yang
terhambat di kerongkongan.

152
− Kandidiasis vulvovagina: gatal, keputihan, kemerahan di vagina, dispareunia, disuria,
pembengkakan vulva dan labia, gejala memburuk seminggu sebelum menstruasi.
− Kandidiasis kulit: gatal dan kemerahan.
• Pemeriksaan Fisik
− Plak putih 1 - 2 cm atau lebih di mukosa mulut, jika dilepaskan akan meninggalkan
bercak merah atau perdarahan.
− Plak kemerahan halus di palatum, mukosa bukal atau permukaan dorsal lidah.
Kemerahan, fisura atau keretakan di sudut bibir.
− Inflamasi vulvolabia,duhtubuh berwarna putih kekuningan, lesi pustulopapuler
diskrit.
− Maserasi kulit, paronikia, balanitis, lesi pustular diskrit pada kulit.
• Pemeriksaan penunjang; Pemeriksaan spesimen jaringan/ sekret dengan KOH,
endoskopi.

Diagnosis Banding
• Kandidiasis orofaring: lik-en planus, karsinoma sel skuamosa, leukoplakia, aspergilosis
invasif, mukormikosis, blastomikosis, histoplasmosis.
• Kandidiasis esofagus: esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV, esofagitis herpes simpleks.
• Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis, vaginosis bakterialis.
• Kandidiasis kulit: eritroderma, infeksi jamur lainnya.

Tatalaksana
• Kandidiasis orofaring:
Terapi pilihan:
− Nistatin drop 4 - 5x kumur 500.000 U hingga lesi hilang (10 - 14hari) Flukonazol oral
1x100 mg selama 10 - 14hari

Terapi alternatif:
− Itrakonazol suspensi 200mg/hari saat perut kosong
− Amfoterisin B iv 0,3mg/kgBB

• Kandidiasis esofagus:
Terapi pilihan:
− Flukonazol oral 200mg/hari hingga 800 mg/hari selama 14 - 21 hari
− Itrakonazol suspensi 200mg/hari selama 14 - 21 hari
Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB

• Kandidiasis vulvovagina:
Terapi pilihan:
− Klotrimazol krim 1% 5mg/hari selama 3 hari atau tablet vagin
− Mikonazolkrim2%5mg/hari selama7hari
− Tiokonazolkrim0,8%5mg/hari selama 3 hari
Terapi alternatif:
− Flukonazol oral 1x150 mg tunggal
− Itrakonazol oral 1 - 2x 200 mg selama 3 hari
− Ketokonazol oral 1x200 mg selama5-7hariatau2x200mg selama 3 hari

153
• Kandidiasis kulit:
Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol, oksikonazol.

KRIPTOKOKOSIS (INFEKSI OLEH CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS)


Pendekatan Diagnosis:
• Anamnesis
− Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2-4 minggu, mual, muntah, gangguan
kesadaran dan perilaku, sakit kepala.
− Kriptokokosis paru: Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu produktif,
• Pemeriksaan Fisik
− Meningitis kriptokokus; kaku kuduk, edema papil, parese,
− Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu kelainan serupa akne,
papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan granuloma.
− Kriptokokosis juga dapat terjadi pada mata dan menimbulkan konjungtivitis,
korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.

• Pemeriksaan penunjang
− CT scan /MRI otak: hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyangatan meningen dan
pleksus koroideus.
− Isolasi jamur (pewarnaan tinta India) dari darah, cairan serebrospinal, urin, cairan
pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit.
− Histopatologi.
− Serologi antigen C.neoformans.

Diagnosis Banding
Tuberkulosis, tuberkuloma,sifilis sistem saraf pusat

Tatalaksana
• Meningitis kriptokokus
− Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga <200mmHg dengan: punksi lumbal
(bila TIK >250 mmHg), pemasangan drain lumbal (bila TIK > 400 mmHg), VP shunt
(bila kedua terapi di atas gagal).
− Antijamur pilihan pertama:
Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - lmg/kgBB/hari dan 5-fluorositosin oral 100 mg/
kgBB/hari selama 2 minggu.
Konsolidasi;flukonazol oral400 mg/hari selama 8 minggu atau hingga cairan
serebrospinal steril,
− Pilihan kedua:
Induksi: amfoterisin B iv 0,7 - lmg/kgBB/hari selama 2 minggu. Konsolidaskflukonazol
oral400 mg/hari selama 10 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril.
− Pilihan ketiga:
Flukonazol oral 400 - 800mg/ hari dan fluorositosin oral 100 mg/kgBB/hari selama 6-
10 minggu
• Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia:
Flukonazol 200 - 400mg/hari secara oral hingga nilai CD4 >200sel/pL.

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (ET) & KORIORETINITIS TO KSO PLASMA

154
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis
− Ensefalitis toksoplasma: demam, rasa letih,sakit kepala, defisit neurologi fokal
(hemiparese, kejang, ataksia, afasia, parkinsonism, koreaatetosis), penurunan
kesadaran, gangguan perilaku.
− Korioretinitis toksoplasma: demam, rasa letih, penglihatan kabur, skotoma, nyeri mata,
fotofobia, epifora
• Pemeriksaan Fisik
− Penemuan umum: pembesaran KGB kenyal, tidak nyeri, berkonfluens, umumnya di
daerah servikal, hepatosplenomegali, ruam kulit.
− Ensefalitis toksoplasma: parese saraf cranial, heimparese, gangguan lapang pandang,
rubral tremor, gangguan sensorik daerah tungkai,
− Korioretinitis toksoplasma; penurunan visus
• Pemeriksaan penunjang
− Pemeriksaan umum: serologi toksoplasma.
− Ensefalitis toksoplasma :
 CTscan/MRI; lesi tunggal/ multipel hipodens pada CT atau hipointens pada MRI
menyangat kontras berbentuk cincin disertai edema dan efek masa.
 Histopatologi jaringan otak.
− Korioretinitis toksoplasma:
 Funduskopi: nekrosis multifocal atau bilateral, bercak multiple yellowish white di
daerah kutub posterior.

Diagnosis Banding
• Ensefalitis toksoplasma: limfoma sistem saraf pusat, tuberkuloma, progressive multifocal
leucoencephalopathy.
• Korioretinitis toksoplasma: korioretinitisTB, sifilis, lepra, histoplasmosis.
Tatalaksana
• Pilihan pertama
Fase akut: pirimetamin oral 200mg hari pertama, selanjutnya 50 - 75 mg/hari + leukovorin
oral 10 - 20 mg/ hari + sulfadiazin oral 1000 - 1500mg/hari.
Rumatan: pirimetamin oral 25 - 50 mg/hari + leukovorin oral 10 - 20 mg/hari + sulfadiazine
oral 500 - lOOOmg/hari.
• Pilihan kedua
Fase akut: pirimetamin+leukovorin+klindamisin oral atauiv4x600mg
Rumatan: pirimetamin+leukovorinfdosis rumatan)+ klindamisinoral4x3 00-45 Omg
• Pilihan ketiga:
Fase akut: pirimetamin + leukovorin + salah satu: atovaquone oral 2x1500 mg, azitromisin
oral 1x900 - 1200mg,klaritromisinoral2x500 mg, dapson oral 1x100 mg, minosiklinoral2xl50-
200mg.
Fase rumatan: pirimetamin + leukovorin (dosis rumatan) + salah satu antibiotik tersebut
dosis sama.
• Di Indonesia tidak terdapat sulfadiazin dan pirimetamin tunggal karena itu dapat
digunakan fansidar (pirimetamin 25mg dan sulfadoksin 500mg) dengan dosis pirimetamin
seperti di atas.

155
PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA
Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: demam tidak tinggi, batuk leering,nyeri dada retrosternal (tajam atau seperti
terbakar)yang memburuk saat inspirasi, sesak napas subakut (2 minggu atau lebih).
• Pemeriksaanfisik: takipnea, takikardi, sianosis akral, sentral, dan membran mukosa. Tidak
ditemukan ronki pada auskultasi paru.
• Pemeriksaan penunjang:
− Roentgen dada: infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi
lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit. Kadang ditemui nodul
soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses, pneumatokel, pneumotoraks.
− CTscan: gambaran “groundglass"atau lesi kistik, Peningkatan LDH (umumnya > 220
IU/L).
− Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO ), pO <70 mmHg pada analisis gas
darah,
− Peningkatan LED >50 mm/jam
− Leukositosis ringan
− Serum (1-3) beta-D-glukan positif
− Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau jaringan paru
menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci

Diagnosis Banding
Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial nonspesifik

Tatalaksana
• Derajat sedang - berat (sesak napas saat istirahat/PaO <70mmHg dalam udara kamar atau
AaDO>2 >35mmHg):
− Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu.
− Kotrimoksazoliv atau trimetoprim oral 15 - 20 mg/kgBB/hari dan 75 - 100 mg/kgBB/hari
sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari.
− Prednison oral 2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya dilanjurkan 20mg/
hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv dosis 75% dosis prednison atau
hidrokortison iv dosis awal 4xl00mg.
− Alternatif: primakuin 30mg/hari + klindamisin 3x600 mg atau pentamidin
4mg/kgBB/hari.
 Derajat ringan - sedang (sesak napas pada latihan, PaO >70 mmHg dalam udara kamar,
AaDO >35mmHg}:
− Trimetoprim oral 15 - 20 mg/ kgBB/hari dan 75 - 100 mg/ kgBB/hari sulfametoksazol
dibagi 4 dosis selama 21 hari.
− Alternatif: primakuin pral 30mg/ hari+klindamisin3x600mg/hari atau atovaquone 2x750
mg selama 21 hari.
• Repons pengobatan dapat dilihat setelah hari ke-5 sampai ke-7.

CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang:
• Korioretinitis:

156
− Gangguan penglihatan unilateral, penglihatan floater, fotopsia, skotoma, gangguan
lapang pandang unilateral.
− Funduskopi: perdarahan retina brush-fire, catchup-sauce appearance, pigmentasi
granuler atau eksudat kekuningan seperti pizza pie appearance, cotton-wool spot pada
daerah perifer atau fundus.
− Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• CMV saluran cerna:
− Diare, sariawan, nyeri epigastrium, ulkus pada sfinkter esofagus, ulkus rectum,perforasi
ileum.
− Biopsi mukosa saluran cerna: tanda inflamasi dan CMV inclusion body. Pemeriksaan
antigen CMV secara serologis.
• Pneumonitis CMV:
− Sesak napas yang memburuk perlahan, sesak saat aktivitas, batuk non- produktif, ronki
minimal.
− Roentgen dada: infiltrat difus interstitialis seperti PCP.
− Biopsi paru/makrofag dari bilasan bronkoalveoler: CMV inclusion body intraselular.
− Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.
• Ventrikuloensefalitis CMV:
− Letargi, gangguan mental, delirium, demam, sulit konsentrasi, sakit kepala, somnolen,
gangguan saraf kranial.
− Pemeriksaan cairan serebrospinal: ditemukan antigen atau DNA CMV dan kultur.
− Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.

Tatalaksana
• Mata
− Gansikloviriv2x5mg/kgBB/hari dalam infus 1 jam selama 2-3 minggu, dilanjutkan
dengan dosis rumatan iv 5mg/kgBB/hari sekali sehari.
− Valgansiklovir oral 2x900 mg selama 21 hari dilanjutkan dosis rumatan 1x900mg.
− Foscarnet iv 2x60 mg/kgBB atau 2x90 mg/kgBB selama 2-3 minggu dilanjutkan dosis
rumataniv2x90-120mg/kgBB.
− Pada ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan sistem imun sulit
diharapkan, dipasang implant gansiklovir intraokuler per 6-8 bulan dikombinasi
dengan valgansikloviroral 1x900mg.
• Saluran cerna
− Gansiklovir iv 2x5 mg/kgBB selama 2-3 minggu.
− Valgansiklovir2x900mgselama 2 -3 minggu.
− Foscarnetiv3x60mg/kgBBatau 2x90 mg/kgBB selama 2-3 minggu.
− Tidak diperlukan terapi rumatan kecuali relaps selama atau setelah terapi
• Paru
− Gansiklovir iv 2x5 mg/kgBB selama >21 hari.
− Valgansiklovir2x900mgselama 21 hari.
− Foscarnetiv3x60mg/kgBBatau 2x90mg/kgBBselama>21hari.

 Sistem saraf
− Gansiklovir iv 2x5 mg/kgBB kombinasi dengan foscarnet iv 3x60 mg/kgBB atau 2x90
mg/ kgBB selama 3-6 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan seperti pada mata.

157
− Gansiklovir iv 2x5 mg/kgBB selama3-6minggudilanjutkan dengan rumatan gansiklovir
iv atau valgansiklovir seperti dosis pada mata.

DIARE KARENA PROTOZOA


Pendekatan Diagnosis
• Anamnesis: Infeksi Cryptosporidia sp., microsporidia, isospora belli menunjukkan gejala
yang sama yaitu;diarenon-inflamasi,kram perut, mual, muntah, demam, sakit kepala,
penurunan berat badan, Dapat menyebabkan kolesistitis, kolangitis, pankreatitis,
Microsporidia dapat menyebar di luar usus yaitu pada mata, otak, otot, hati dan dapat
menyebabkan konjungtivitis dan hepatitis.
• Pemeriksaan penunjang: analisis tinja (mencari ookista), pemeriksaan tinja dengan
mikroskop elektron, aspirasi usus atau biopsi usus.

Diagnosis banding
Diare karena parasit lain, amebiasis, infeksi Campylobacter, colitis CMV, gastroenteritis virus,
gastroenteritis bakteri, giardiasis.

Tatalaksana
 Cryptosporidia sp,:Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Cryptosporidia sp, Infeksi ini
akan mengalami resolusi dengan sendirinya apabila kadar CD4>100sel/pL. Alternatif:
paramomisin 500 mg peroral3xsehariselamal4hari.
• Microsporidia:
− Albendazol 400 mg 2x sehari selama 14 hari. Untuk infeksi diseminata, albendazol
dapat dikombinasikan dengan itrakonazol 200 - 400mg/hari. Infeksi okular dapat
mendapatterapi tambahan fumagilin bisiloheksilammonium
• Isospora belli:
− Kotrimoksazoll60mg TMP/800mg SMX oral atau iv 2 - 4x sehari selama 10 hari, dapat
diperpanjang hingga 3-4 minggu bila gejala menetap.
− Alternatif: pirimetamin 50 - 75 mg/hari (+asam folat 5-10 mg/ hari) atau
siprofloksasin 500mg oral 2x sehari selama7hari.
− Terapi rumatan: kotrimoksazol 320mgTMP/l,600 SMX lx sehari atau 3x seminggu bila
CD4 < 200sel/|iL atau pirimetamin 25 mg/hari.

KOMPLIKASI
Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat pengobatan

PROGNOSIS
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh tetap rendah,
infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga timbul infeksi oportunistik yang lain.

UNIT YANG MENANGANi


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Alergi Imunologi - Departemen
Penyakit Dalam
® RS non pendidikan ; Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

158
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam ® RS non
pendidikan : -

INFEKSI PADA KEHAMILAN

PENGERTIAN
Infeksi telah lama diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu
dan janin di seluruh dunia, dan infeksi ini masih menjadi masalah di abad 21. Faktor-faktor
seperti status serologis maternal, waktu terjadinya infeksi saat hamil, cara penularan, dan
status imunologis mempengaruhi manifestasi penyakitnya.1 Infeksi akut selama kehamilan
yang sering seperti infeksi kulit atau infeksi saluran nafas, biasanya bukan merupakan
masalah yang serius, namun pada beberapa kasus dapat mempengaruhi persalinan ataupun
pemilihan cara persalinan, dan meningkatkan resiko kejadian abortus, ketuban pecah dini,
kelahiran prematur, dan stillbirth.

PENDEKATAN
Berikut merupakan beberapa infeksi yang sering ditemukan selama kehamilan (tabel 1).

Tabel 1. Diagnosis, Pencegahan, Terapi, dan Komplikasi pada macam-macam Infeksi dalam
Kehamilan
INFEKSI TES LABORATORIUM PENCEGAHAN TERAPI KOMPLIKASI

Rubella Isolasi virus, PCR, Vaksinasi dengan interval 3 Simptomatik Sindrom rubella kongenital
serologis ELISA IgM dan bulan sebelum hamil, hindari
IgG kontak dengan penderita
CMV Isolasi virus, PCR, Imunisasi pasif dengan Simptomatik, Pertumbuhan janin terhambat
serologis ELISA IgM dan imunoglobulin (IG) CMV, Ganciclovirl jIUGRj, mikrosefali, prema-
IgG hindari kontak dengan turitas, oligo/polihi- dramnion
penderita
Varicella Klinis, sitologis. Vaksinasi tidak Isolasi, rawat Infeksi neonatorum,
zoster virus (VZV) isolasi virus dianjurkan pada wanita hamil, inap bila komplikasi (+), malformasi kongenital,
VZIG profllaksis2 625 unit im asiklovir 10-15 mg/kgBB infeksi berat pada ibu
flap 8 jam

INFEKSI TES PENCEGAHAN TERAPI KOMPLIKASI


LABORATORIUM
(bila riwayat cacar air dan
seronegarif VZV) dalam kurun
waktu 96 jam paska
paparan.
Herpes Klinis, sitologis, Kontrasepsi barrier Asiklovir atau Infeksi neonatorum,
simplex isolasi virus, PCR, (kondom), hindari valasiklovir, infeksi berat pada
serologis kontak dengan pertimbangan ibu
penderita sectio caesarea (SC).

159
Neonatus yang terinfeksi
diberikan asiklovir.
INFEKSI TES PENCEGAHAN TERAPI KOMPLIKASI
LABORATORIUM
Hepatitis B Lihat pembahasan pada bab Hepatitis Virus Akut
HIV Lihat pembahasan pada bab HIV
Parvovirus B19 PCR, Serologis - Simptomatik Anemia fetus,
antibodi IgG dan abortus spontan,
IgM hydrops fetalis
Campalc Klinis, PCR, Vaksinasi tidak Simptomatik Abortus,
(Rubeola/ serologis dianjurkan pada prematuritas, berat
Measles) wanita hamil badan lahir rendah (BBLR)
Sifilis
Neisseria gon-
orrhoeaeand Lihat pembahasan pada bab Infeksi Menular Seksual
Chlamydia
trachomatis
Listeriosis Kultur darah Hindari keju atau Ampisilin + Infeksi fetus, stillbirth
produk susuyang gentamisin,
tidak dipasteurisasi, bila alergi a
mencuci sayur trimetoprim-
mentah, memasak sulfametoksazol
dengan matang (TMP-SMX)
Brucellosis Riwayat Hindari produk Dual therapy Abortus spontan
paparan, isolasi susu yang tidak antimikroba: TMP-
bakteri dari darah atau terpasfeurisasi SMX, rifampin
jaringan, kultur, PCR,
serologis, tes aglutinasi,
dipstick
Infeksi Klinis, darah lengkap, Profllaksis: Penicillin G 5 juta Sesuai denganprofllaksis Sepsis maternal post partum,
Streptococcus kultur dari swab vagina unit iv (dosisawal), dilanjutkan infeksi neonatorum
Grup B dan rektum 2,5 juta unit iv tiap 4
jam s/d partus atau
ampisilin 2 g iv (dosis
awal), dilanjutkan
1 g iv tiap 4 jam s/d
partus.
Bila alergi penisilin:
Cefazoiin 2 g iv (dosis awal),
dilanjutkan 1 g iv tiap 8 jam s/d
partus atau klindamisin 900 mg
iv tiap 8 jam s/d partus atau
eritromisin 500 mg iv tiap 6
jam s/d partus atau
vancomycin 1 givtiap 12 jam s/d
partus

INFEKSI TES PENCEGAHAN TERAPI KOMPLIKASI


LABORATORIUM
Toxoplasmosis PCR, serologis ELISA IgM Hindari daging yang Malformasi kongenifal
dan IgG, isolasi parasit, kurang matang

160
USG / mentah, cuci
tangan setelah
kontak dengan
daging mentah,
cuci buah dan
sayuran sebelum
dikonsurnsi,
gunakan sarung
tangan saat
membersihkan
kotoran kucing,
hindari memberi
makan daging
mentah pada
kucing, hindari
memelihara kucing
Malaria Lihat pembahasan pada bab Malaria
ISK Lihat pembahasan pada babInfeksi Saluran Kemih
Tuberkulosis Lihat pembahasan pada bab Tuberkulosis Paru

PROGNOSIS
Tergantung infeksi

UNIT YANG MENANGANI

 RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam ® RS non pendidikan :


Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS pendidikan : Departemen Obstetri dan Ginekologi
 RS non pendidikan : -

INTOKSIKASI OPIAT

PENGERTIAN
Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu
morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan1

PATOFISIOLOGI
Opiat akan berikatan dengan reseptor opiat pada sistem saraf pusat, menyebabkan
inhibisi jalur nyeri ascending, menyebabkan perubahan persepsi dan respons terhadap
stimulus nyeri. Opiat juga bekerja pada sistem neurotransmitter SSP lain seperti dopamine,
GABA, dan glutamate, menyebabkan depresi SSP secara umum.

161
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada

Pemeriksaan Fisik
Perubahan status mental (somnolen, konfusi, stupor, koma), miosis pupil, hipotensi, sinus
bradikardia, bising usus menurun, kelemahan otot, depresi napas, apneu, koma, kejang
(lebih sering karena overdosis propoksifen dan meperidin)

Pemeriksaan Penunjang
Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks

Pemeriksaan Lain
Penemuan needle track sign, respon cepat terhadap pemberian nalokson menunjang
diagnosis intoksikasi opiat

DIAGNOSIS BANDING
Intoksikasi obat sedatif; barbiturat, benzodiazepin, etanol.12

TATALAKSANA
A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C [airway, breathing, circulation) dengan
memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan dan proteksi jalan napas,
berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai
kebutuhan.2-5
B. Pemberian antidot nalokson
1. Glukosa (D5W), tiamin 100 mg dan nalokson 2 mg harus diberikan pada semua pasien
dengan perubahan kesadaran dan ada kecurigaan keracunan,4
2. Tanpa hipoventilasi: dosis awal nalokson 0,4 mg intravena pelan-pelan atau
diencerkan
3. Dengan hipoventilasi: dosis awal nalokson 1-2 mg intravena pelan-pelan atau
diencerkan
4. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 -10 menit hingga
timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil)
atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis
intoksikasi opiat perlu dikaji ulang,
5. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan
overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan
perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson
satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam4-6 jam.
6. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks
7. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernapasan tak adekuat setelah
pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal

162
8. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila
diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksikasi opiat oral
9. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240
ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
10. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang
bila perlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.

KOMPUKASI
Pneumonitis aspirasi, gagal napas, edema paru akut1,2

PROGNOSIS
Dubia

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan
• RS non pendidikan REFERENSI : Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi -
Departemen Penyakit Dalam, Departemen Psikiatri, Departemen Anestesi/Unit Perawatan
ICU : Bagian Psikiatri

KERACUNAN MAKANAN

PENGERTIAN
Adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi
bakteri, toksin bakteri, parasit, virus, atau zat kimia.1'3 Yang dibahas di sini adalah
keracunan makanan oleh bakteri atau toksin bakteri.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Hal yang perlu ditanyakan adalah makanan yang dikonsumsi; periode waktu antara
konsumsi makanan dengan awitan gejala; gejala Minis yang dominan; jumlah orang yang
mengonsumsi makanan dan berapa banyak yang menjadi sakit; cara penyiapan dan
penyimpanan makanan yang dicurigai

Tabel 1. Keracunan Makanan Akibat Bakteri


Masa inkubasi, Organisme Gejala Sumber makanan Pemeriksaan penunjang
1-6 jam

Staphylococcus Mual, muntah, Ham, daging unggas, identifikasi toksin dan kultur
aureus diare salad kentang atau pada feses, muntahan dan
telur, mayonais makanan /
Bacillus cereus tipe Mual muntah. Nasigoreng identifikasi toksin dan kultur

163
emetik diare pada feses dan makanan
8-16 jam

Clostridium perfringens Kram perut, diare Daging sapi, daging pemeriksaan enterotoksin dan
(muntah jarang unggas, kacang- kultur kuantitatif pada feses
terjadij kacangan
Bacillus cereus tipe Kram perut, diare Daging, sayuran, identifikasi toksin dan kultur
diare (muntah jarang kacang kering, sereal pada feses dan makanan
terjadi)
>16 jam

Clostridium bofulinum Muntah, diare, Makanan kaleng yang pemeriksaan neurotoksin


pandangan diawetkan secara pada feses, serum, dan
kabur, diplopia, tidak benar, kentang makanan; kultur pada feses
disfagia, panggang dalam dan makanan
kelemahan otot aluminium foil, saus keju.
descending bawang putih botol
Vibrio cholerae Diare berair Kerang-kerangan, air Kultur feses pada media khusus
E. colienferotoksigenik Diare berair Salad, keju, daging, air Kultur feses dengan teknik
(ETEC) khusus
E coli Diare berdarah Daging sapi, daging Kultur feses pada media khusus
en terohemoragik panggang, susu mentah,
(EHEC) sayuran mentah, jus apel
Salmonella spp. Diare inflamasi Daging sapi, daging Kultur feses rutin
unggas, telur, produk
susu

Campylobacter jejuni Diare inflamasi Daging unggas, susu Kultur feses rutin pada media
mentah khusus dan inubasi pada suhu
42°C
Masa inkubasi, Organisme Gejala Sumber makanan Pemeriksaan penunjang
Shigella spp. Disentri Salad kentang atau Kultur feses rutin
telur, selada, sayuran
mentah

Vibrioparahaemolyticus Disentri Moluska, krustasea Kultur feses pada media khusus

DIAGNOSIS BANDING
Keracunan makanan akibat penyebab lain, gastroenteritis non-infeksi

TATALAKSANA
Tabel 2. Tatalaksana Keracunan Makanan Akibat Bakteri
Organisme Tatalaksana
Staphylococcus aureus Suportif
Bacillus cere us tipe emetik Suportif
Clostridium perfringens Suportif
Bacillus cereus tipe diare Suportif
Clostridium botulinum Suportif; antitoksin botulinum equine frivalen dosis tunggal 10 ml
Vibrio cholerae Suportif dengan rehidrasi oral dan intravena agresif; pada kasus
kolera confirmed, antibiotik direkomendasikan (lihat di bab diare
infeksi)

164
Suportif; antibiotik diberikan pada kasus berat (lihat di bab diare
E coli enferotoksigenik (ETEC) infeksi)
E coli enterohemoragik (EHEC) Suportif; pantau fungsi ginjal, Hb dan trombosit secara ketat
Salmonella spp. Suportif; selain unfuk S. typhii dan S. paratyphii, antibiotik tidak
diindikasikan kecuali terdapat penyebaran ekstra-intestinal (lihat di
bab diare infeksi)
Campylobacter jejuni Suportif; pada kasus berat dapat diberikan antibiotik (lihat di bab
Diare Infeksi)
Shigella spp. Suportif; antibiotik lihat di bab Diare Infeksi
Vibrio parahaemolyticus Suportif, antibiotik direkomendasikan pada kasus berat (lihat di bab
Diare Infeksi)

Terapi Suportif Mencakup


1. Rehidrasi, baik oral ataupun intravena (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi)
2. Koreksi gangguan elektrolit dan asam basa
3. Simtomatik: antiemetik
4. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas (pada kasus botulisme)

KOMPLIKASI
• Dehidrasi
• Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
• Perforasi, perdarahan dan sepsis (kasus C. perfringens tipe C)
• Gagal napas (kasus botulisme)

PROGNOSIS
Sebagian sembuh sendiri. Mortalitas akibat C. perfringens tipe C 40%. Mortalitas
akibat C. botulinum 10-46%

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi - Departemen
Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Bagian Mikrobiologi, ICU
• RS non pendidikan : -

MALARIA

PENGERTIAN
Malaria adalah periyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
(P.falsiparum, P.vivax, P.ovale, atau P.malariae, P.knowlesi) yang hidup dan berkembang biak
dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra eritrositik).
Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. (WHO 2010)

165
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Klinis :demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot,
penurunan kesadaran.
Parasitologi: Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasit malaria
Tanda dan gejala klinis malaria sangat tidak spesifik. Secara klinis, kecurigaan malaria
sebagian besar berdasarkan riwayat demam. Diagnosis berdasarkan gambaran klinis sendiri
memiliki spesifisitas yang sangat rendah dan dapat berakibat pada tatalaksana yang
berlebihan.

ANAMNESIS
Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah endemis
malaria, dan trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian
timbul keringatyangbanyak; pada daerah endemis malaria, trias malaria mungkin tidak ada,
diare dapat merupakan gejala utama).1'2 Kriteria diagnosis menurut rekomendasi WHO
tahun 2010s
• Pada daerah resiko rendah, diagnosis klinis malaria inkomplikata1 sebaiknya berdasarkan
kemungkinan terpapar malaria dan riwayat demam dalam 3 hari terakhir tanpa ada tanda
penyakit akut lain.
• Pada daerah resiko tinggi, diagnosis klinis sebaiknya berdasarkan keluhan demam dalam
24 jam terakhir dan/atau adanya anemia, yang pada anak-anak, telapak tangan yang pucat
merupakan tanda yang sangat jelas

Tabel 1. Survailans Laboratorium unfuk Malaria menurut Variasi Epidemiologis4

Skenario Tes yang Diperlukcn Keierangan


Epidemiologis

Transmisi rendah- Konflrmasi parasitologis; Pemilihan tes konflrmasi tergantung situasi


sedang dan/atau tidak mikroskop cahaya dan lokal, termasuk tenaga ahli yang tersedia,
stabil jumlah kasus, epidemiologi malaria, dan
rapid diagnostic tests kemungkinan diagnosis mikroskop untuk
(RDT) penyakit lain.

Transmisi tinggi dan Mikroskop kuaiitas tinggi Terapi antimalaria berdasarkan gejala klinis
sebaiknya hanya diiakukan pada kelompok
stabil atau RDT resiko tinggi (anak <5 tahun, wanita hamil,
suspek malaria berat, dan area dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi) apabila diagnosis
parasitologis tidak tersedia, mengingat
penyakit ini dapat beresiko fatal terhadap
kelompok ini.

166
Area yang sering Identifikasi. spesies (RDT) Apabila monoinfeksi P.vivaxsering dan
terinfeksi dengan >2 mikroskop tidak tersedia, disarankan
spesies malaria menggunakan kombinasi RDT yang
mengandung antigen pan-malaria.

Apabila P.vivax, P.malariae, atau P.ovale terjadi


dan selalu ko-infeksi dengan P.falciparum,
maka cukup diiakukan RDT untuk P.falciparum
saja.

Situasi epidemi dan Pada situasi ini, fasilitas untuk diagnosis


kegawatdaruratan parasitologis mungkin tidak tersedia atau tidak
cukup menampung dengan banyaknya kasus
kompleks sehingga terapi dapat dimulai segera.

Pemeriksaan Fisik
Demam >37,5°C, konjungtiva atau telapak tangan pucat, sklera ikterik, hepato/
splenomegali.

Pemeriksaan Penunjang
Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+).1-2'4'5
Pada tersangka malaria P falciparum berat, kriteria diagnosis berdasarkan ditemukannya
P. falciparum stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala klinis atau laboratorium
berikut:

Kriteria Diagnosis
1. Malaria Berat:
Klinis
Parasitologik
2. Malaria Ringan :
Klinis
Parasitologik (WHO, 2010)

Gejala Klinis
1. Gangguan kesadaran atau koma yang tidak dapat dibangunkan
2. Prostrasi, contoh kelemahan menyeluruh (generalized weakness) sehingga pasien tidak
dapat duduk atau berjalan tanpa bantuan
3. Tidak dapat makan (failure to feed)
4. Kejang berulang - lebih dari 2 episode dalam 24 jamsetelah pendinginan pada
hipertermia
5. Napas dalam, distres pernapasan (napas Kussmaui)
6. Gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg pada dewasa dan <50 mmHg pada
anak-anakdisertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1°C

167
7. Ikterik disertai tanda disfungsi organ vital
8. Hemoglobinuria
9. Perdarahan spontan dan disertai abnormaldari hidung, gusi, saluran cerna, dan/ atau
disertai gangguan koagulasi intravaskular
10. Edema paru (radiologis)/acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Laboratorium
1. Hipoglikemia (gula darah <2.2 mmol/L atau <40 mg/dL)
2. Asidosis metabolik (pH 7,25, plasma bikarbonat <15 mEq/L)
3. Anemia normositik berat pada keadaan hitung parasit >10.000/ul(Hb <5 gr/dL atau
Ht<15%)
4. Hemoglobinuri amakroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek
samping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
5. Hiperparasitemia (> 2%/100 000/pl pada area transmisi rendah atau 5% atau 250 000/gl
pada area transmisi tinggi)
6. Hiperlaktatemia (laktat > 5 mmol/1)
7. Gangguan ginjal (urin <400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml/kgBB pada anak-
anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl).
8. Ditemukannya P Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak
apabila dilakukan otopsi

Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran
klinis daerah setempat:
1. Gangguan kesadaran
2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan)
3. Hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemis atau daerah tak stabil malaria
4. Ikterus (bilirubin >3 mg/dl)
5. Hiperpireksia (suhu rektal >40°C)
6.
Kriteria Diagnosis:
1. Konfirmasi ditemukannya parasit malaria dibawah mikroskop atau alternatif lainnya
dengan rapid diagnostic test (RDT) dianjurkan bagi semua pasien tersangka malaria
sebelum dimulainya pengobatan.
2. Tatalaksana hanyaberdasarkan kecurigaan klinis sebaiknya hanya dipertimbangkan
apabila diagnosis parasitologis tidak tersedia.

Pemeriksaan Penunjang
Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula
darah, urin lengkap, AGD, elektrolit, hemostasis, foto toraks, EKG.UAS

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, meningoensefalitis.

TATALAKSANA
A. Pengobatan malaria tanpa komplikasi
1. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
Metode pengobatan saat ini:

168
Dihidroartemisin-Primakuin (DHP)/Artesunat-Amodiakuin + Primakuin
• Pengobatan malaria falsiparum:
Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah:
ACT 1 kali/hari selama 3 hari + Primakuin 0,75mg/kgBB pada hari
pertama saja
Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita
(lihatTabel 1 dan 2]

Tabel 1. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin


Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obai <5kg 1-10kg 11-17kg 18-30kg 31-40kg 41-59kg >60kg
0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 fahun 5-9 tahun 10-14 fahun >15 fahun >15tahun
1-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
1 Primakuin - ¾ 1½ 2 2 3

Tabel 2. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin


Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <5 kg 6-10Kg 11 -17Kg 18-30kg 31 -40kg 41 -49kg 50-59kg >60g
0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15
bulan bulan raiiun iahun iahun iahun rahun iahun
1-3 Artesunat ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1 Primakuin - - ¾ 1½ 2 2 2 3

• Pengobatan malaria vivaks:


Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah:

ACT 1 kali/hari selama 3 hari + Primakuin 0,25mg/kgBB selama 14 hari

Dosis pengobatan malaria vivaks juga diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok
umur penderita (Tabel 3 dan 4)
Tabel 3. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin
Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obai <5kg 1-10kg 11-17kg 18-30kg 31-40kg 41-59kg >60kg
0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 fahun 5-9 tahun 10-14 fahun >15 fahun >15tahun
1-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
1-14 Primakuin - - ¾ ½ ¾ 1 1

ATAU
Tabel 4. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin
Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <5 kg 6-10Kg 11 -17Kg 18-30kg 31 -40kg 41 -49kg 50-59kg >60g
0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15
bulan bulan raiiun iahun iahun iahun rahun iahun
1-3 Artesunat ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1-14 Primakuin - - ¾ ½ ¾ 1 1 -

169
• Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh):
Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis
0,25mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan pasien sakit kembali dengan parasit
positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan, Pada kasus
seperti ini regimen yang diberikan adalah ACT Ikali/ hari selama 3 hari ditambah dengan
primakuin yang ditingkatkan menjadi 0,5mg/kgBB,

2. Pengobatan malaria ovale


Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT (DHP atau kombinasi
Artesunat+Amodiakuin) dengan dosis pemberian obat yang sama dengan untuk malaria
vivaks.

3. Pengobatan malaria malariae


Pengobatan P.malariae cukup dengan pemberian ACT lkali/hari selama 3 hari dengan dosis
yang sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.

4. Pengobatan infeksi campur P.faciparum + P.vivaks/P.ovale


Metode pengobatan yang digunakan adalah:

ACT 1 kali/hari selama 3 hari + Primakuin 0,25mg/kgBBselama 14 hari

Pemberian obat pada kasus seperti ini disesuaikan berdasarkan berat badan atau kelompok
umur penderita (Tabel 5 dan 6).

Tabel 5. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin


Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obai <5kg 1-10kg 11-17kg 18-30kg 31-40kg 41-59kg >60kg
0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 fahun 5-9 tahun 10-14 fahun >15 fahun >15tahun
1-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3 4
1-14 Primakuin - - ¾ ½ ¾ 1 1

ATAU
Tabel 6. Pengobatan dengan Arlesunai+Amodiakuin cian Primakuin
Jumlah tablet pei hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <5 kg 6-10Kg 11 -17Kg 18-30kg 31 -40kg 41 -49kg 50-59kg >60g
0-1 2-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15
bulan bulan raiiun iahun iahun iahun rahun iahun
1-3 Artesunat ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2 3 4 4
1-14 Primakuin - - ¾ ½ ¾ 1 1 -
Dosis obat: Artesunat: 4mg/kgBB dan Amodiakuin basa: lOmg/kgBB
Catatan:
• Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada label pengobatan), maka dosis yang
dipakai berdasarkan berat badan.
• Untuk anak dengan obesitas, gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal

B. Pengobatan malaria pada ibu hamil

170
Metode pengobatan pada ibu hamil prinsipnya sama dengan pengobatan pada orang
dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pemberian obat malaria disesuaikan berdasaran umur
kehamilan. ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan Primakuin tidak boleh
diberikan sama sekali pada ibu hamil.
Tabel 7. Pengobatan malaria talsiparum
Umur kehamilan Pengobatan
Trimester 1 j0-3bulan) Kina 3x2tabiet + Klindamisin 2x300mg selama 7 hari
Trimester II (4-6bulan) ACT tablet selama 3 hari
Trimester III (7-9bulan) ACT tablet selama 3 hari
Tabel 8. Pengobatan malaria vivaks
Umur kehamilan Pengobatan
Trimester I (0-3bulan) Kina 3x2tablet selama 7 hari
Trimester II (4-6bulan) ACT tablet selama 3 hari
Trimester III (7-9bulan) ACT tablet selama 3 hari
Dosis klindamisin 10mg/kgBB diberikan 2 kali sehari.

C. Pengobatan malaria berat


1. Pengobatan di puskesmas/klinik non-perawatan
 Berikan artemeter intramuskular 3,2mg/kgBB,
 Rujuk ke fasilitas dengan rawat inap.
2. Pengobatan di puskesmas/kliik perawatan/rumah sakit
• Pilihan pertama: Artesunat intravena
− Dosis: 2,4mg/kgBB sebanyak 3 kali (jam ke 0,12,24) dilanjutkan dengan dosis yang
sama setiap 24jam sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita
sudah bisa minum obat, berikan ACT 3hari dan Primakuin [sesuai jenis
plamodiumnya).
− Kemasan dan cara pemberian: Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi
60mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium
bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat.
Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5 ml sehingga
didapat konsentrasi 60mg/ 6ml (lOmg/ml). Obat diberikan secara bolus perlahan-
lahan.
• Alternatif: Artemeter intramuskular
− Dosis: 3,2 mg/kgBB pada hari pertama dan dilanjutkan dengan l,6mg/kgBB satu kali
sehari sampai penerita mampu minum obat. Apabila penderita sudah bisa minum
obat, berikan ACT 3hari dan Primakuin (sesuai jenis plamodiumnya).
− Kemasan dan cara pemberian: Artemeter diberikan secara intramuskular. Obat ini
tersedia dalam ampul yang berisi 80mg artemeter dalam larutan minyak.
• Alternatif lain: Kina drip
− Dosis pemberian kina pada dewasa:
 Loading dose: 20mg/kgBB dilarutkan dalam 500ml Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
diberikan selama 4 jam pertama.
 4 jam kedua hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
 4 jam berikutnya diberikan kina dengan dosis rumatan lOmg/kgBB dalam larutan
500ml Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
 4 jam selanjutnya hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.

171
 Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti diatas sampai penderita dapat minum
kina per-oral.
 Bila sudah dapat minum obat, pemberian kina IV diganti dengan kina tablet per-oral
dengan dosis lOmg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama
doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis
total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama.
− Dosis pemberian kina pada anak:
 Kina HC1 25% perinfus dosis lOmg/kgBB (bila umur <2bulan: 6-8mg/kgBB) diencerkan
dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10cc/kgBB diberikan selama 4 jam,
diulang setiap 8 jam sampai penderita dapatminum obat.
 Kemasan; Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%.Satu ampul
berisi 500mg/2ml.
 Catatan:
 Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi jantung dan
dapat menimbulkan kematian.
 Dosis kina maksimum dewasa: 2000mg/hari.

D. Pengobatan malaria berat pada ibu hamil


Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan kina HCI drip
intravena pada trimester 1 dan artesunat/artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3

PEMANTAUAN PENGOBATAN
Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada HI 50% HO dan H3 <25% HO.
Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali
pemeriksaan berturut-turut.

PENCEGAHAN
WHO menetapkan langkah ABCD untuk pencegahan malaria, yakni dengan:
A. Awareness (Pengetahuan)
Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena malaria, habitat nyamuk Anopheles,
sadari masa inkubasi dan gejala utamanya
B. Bite prevention (Pencegahan gigitan nyamuk)
• Hindari gigitan nyamuk terutama menjelang senja hingga fajar dengan cara:
− Membatasi aktivtas luar saat menjelang senja hingga fajar.
− Memakai pakaian yang sesuai, misalnya dengan memakai baju lengan panjang dan
celana panjang.
− Tutup jendela dan pintu rapat-rapat atau menggunakan kelambu yang menggunakan
insektisida.
− Menggunakan spray atau losion anti nyamuk yang mengandung diethyltoluamide
(DEET)
• Bersihkan daerah-daerah yang memungkinka untuk menjadi sarang nyamuk:
− Menutup rapat tempat penampungan air.
− Menguras bak mandi dan membuang/mengganti genangan-genangan air secara
rutin,
− Mengubur kaleng bekas atau wadah kosong ke dalam tanah.
C. Chemoprophylaxis (Kemoprofilaksis)

172
Doksisiklin: diberikan 1-2 hari sebelum keberangkatan, diminum pada waktu yang sama pada
setiap harinya, sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut. Obat ini tidak boleh
diberikan kepada anak-anak <8 tahun dan ibu hamil.
− Dosis dewasa: lxlOOmg
− Dosis anak >8 tahun: 2mg/kgBB/hari, maksimum lOOmg
• Untuk daerah dengan infeksi P.vivax:
Primakuin dengan cara pemberian yang sama dengan pemberian obat malaron. Obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali bayi
yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G6PD yang normal),
− Dosis dewasa: primakuin basa 1x30mg
− Dosis anak: primakuin basa 0,5mg/kgBB/hari, maksimum 30mg/hari, dikonsumsi saat
makan.
• Sebagai terapi anti relaps pada infeksi P.vivax dan P.ovale:
Primakuin diberikan pada orang-orang yang telah terkena eksposur yang lama terhadap
P.vivax dan P.ovale. Obat ini diberikan selama 14 hari setelah meninggalkan daerah
endemis malaria dan tidak boleh diberikan pada pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan
menyusui (kecuali bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G6PD yang
normal).
− Dosis dewasa: primakuin basa lx30mg
− Dosis anak: primakuin basa 0,5mg/kgBB/hari, maksimum 30mg/hari

D. Diagnosis
• Segera dapatkan diagnosis dan terapi apabila mengalami gejala malaria yang muncul 1
minggu setelah memasuki daerah rawan malaria sampai 3 bulan setelah meninggalkan
daerah tersebut.

KOMPLIKASI
Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut.1'2'4'5 Pada kehamilan, dapat
menimbulkan abortus spontan, pertumbuhan janin terhambat (IUGR), BBLR, malaria
kongenital (<5% pada bayi dari ibu terinfeksi), malaria berat pada ibu, kematian ibu dan
janin.

Tabel 2. Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi malaria P.


falciparum
Manifestasi/Komplikasi Penatalaksanaan segera
Koma (malaria serebral) Jaga patensi jalan napas (airway), posisi miring kanan/kiri, singkirkan
etjologi lain (hipoglikernia, meningitis bakterial); hindari terapi
tambahan yang dapat membahayakan seperti kortikosteroid, heparin,
adrenalin: intubasi jika perlu.
Hiperpireksia Kompres hangat, selimut pendingin, dan obat antipiretik. Parasetamol
menjadi pilihan utama dibanding NSAID.
Kejang Jaga airway; beri diazepam iv/rektal atau paraldehid im. Cek gula darah.
Hipoglikernia Cek gula darah, koreksi hipoglikernia, dan atur infus glukosa.
Anemia berat Transfusi whole blood
Edema paru akut Posisi kepala naik 45°, beri 02, diuretik, stop cairan iv, intubasi dan
berikan ventilasi tekanan positif (VTP) pada hipoksemia yang
mengancam nyawa.
Gagal ginjal akut Eksklusi etiologi pre-renal, periksa balance cairan dan natrium urin; pada

173
gagal ginjal tambahkan hemofiitrasi atau hemodialisis, atau peritoneal
dialisis bila tidak tersedia.
Transfusi whole blood(kriopresipitat, FFP, dan trombosit jika tersedia),
Perdarahan spontan dan koagulopati berikan injeksi vitamin K.
Asidosis metabolik Eksklusi atau koreksi hipoglikernia, hipovolemia, dan septikemia. Jika
berat tambahkan hemofiitrasi atau hemodialisis.
Syolc Suspek septikemia, ambil kultur darah; berikan antimikroba parenteral
spektrum luas, koreksi gangguan hemodinamik.

PROGNOSIS
• Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam.
• Malaria berat: dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila tidak ditanggulangi, dilaporkan bahwa
mortalitas pada anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat sampai
50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%, kegagalan

4 fungsi organ atau lebih adalah 75%. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan
mortalitas yaitu:
− Kepadatan parasit < 100.000/ul, maka mortalitas < 1 %
− Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
− Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan ; Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi - Departemen
Penyakit Dalam dan Departemen Neurologi, ICU
• RS non pendidikan : Bagian Neurologi

PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR

PENGERTIAN
Merupakan penyakit akibat gigitan ular, Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu Famili Elapidae (ular sendok, ular
wereg), Famili Viperidae (ular tanah, ular hijau), Famili Hydrophidae (ular laut), dan Famili
Colubridae (ular pohon). Ciri-ciri ular tidak berbisa yaitu bentuk kepala segi empat panjang,
gigi taring kecil, bekas gigitan berupa luka halus berbentuk lengkungan. Sedangkan ciri-ciri
ular berbisa yitu kepala segi tiga, dua gigi taring besar di rahang atas, dua luka gigitan akibat
gigi taring.
Sedangkan berdasarkan dampak yang ditimbulkan yang banyak di Indonesia yaitu:1
• Hematotoksik:menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)

174
• Neurotoksik: neurotoksin pasca sinaps seperti a-bungarotoxindan dan cobratoxin terikat
pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate, sedangkan neurotoksin prasinaps seperti
fi-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin, dan notexin merupakan fosfolipase A-2 yang
mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.

MANIFESTASi KLINIS
• Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit-24 jam)
• Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
• Gejala khusus gigitan ular berbisa:
− Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak,
gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria, koagulasi
intravascular diseminata (KID)
− Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis, oftalmoplegi,
paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, koma. Kardiotoksik: hipotensi, henti
jantung, koma
− Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda 5P [pain, pallor, paresthesia,
paralysis, pulseslesness).
Tabcl 1. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
Derajai Vsnrasi Luka Nyeri Edema/eritema Sistemik
0 0 + +/- < 3 cm /12 jam 0
I +/- + - 3-12cm /12jarn 0
II + + +++ 12-25 cm /12jam Neurotoksik, mual, pusing, syok
III + + +++ > 25 cm/ 12 jam Petekie, syok, ekimosis
IV +++ + +++ >ekstremitas Gagal ginjal akut, koma,
perdarahan

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Identitas individu, waktu dan tempat kejadian, memastikan bahwa benar digigit oleh
ular, jenis, dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Perlu ditanyakan lokasi yang
tergigit, jarak dan waktu dari tergigit sampai ke pusat kesehatan, keberadaan ular tersebut
saat ini apakah sudah mati dan dibawa hal ini dapat mempermudah mengetahui jenis
spesies. Menanyakan bagaimana keadaan pasien saat ini, apakah ada yang dirasakan nyeri,
apakah pasien cenderung mengantuk.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan meliputi status umum dan lokal, serta perkembangannya setiap 12 jam.
Pemeriksaan Status Lokal pada Bekas Gigitan
Luasnya pembengkakan, nyeri tekan, pembesaran getah bening, ekimosis, suhu kulit
apakah dingin, pergerakan bebas atau terbatas dan palpasi nadi arteri. Hal ini untuk mencari
adakah tanda-tanda trombosis intravascular atau sindrom kompartemen. Jika
memungkinkan dapat dilakukan pengukuran tekanan dalam kompartemen, aliran darah, dan
patensi arteri maupun vena (menggunakan Doppler ultrasound). Mencari tanda-tanda
nekrosis seperti blister, warna kulit menghitam atau pucat, sensorik menurun.

175
Pemeriksaan Status Umum
Memeriksa tekanan darah pasien saat duduk dan tiduran untuk menilai adakah hipotensi
postural yang mengarah ke hipovolemia; mengukur denyut jantung. Pemeriksaan seluruh
tubuh untuk melihat adanya ptekie, purpura, ekimosis konjungtiva, kemosis, perdarahan
gusi, epistaksis. Nyeri tekan abdomen perlu dicurigai
adanya perdarahan saluran cerna atau retroperitoneal. Nyeri punggung bawah dapat
mengarah ke iskemia ginjal akut. Jika ada gangguan neurologis seperti pupil anisokor, kejang,
atau gangguan kesadaran; perlu dibuktikan apakah ada perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
• Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria o EKG
• Foto dada

DIAGNOSIS BANDING
Gigitan hewan lain seperti binatang laut, sengatan lebah 2

TATALAKSANA
1, Penatalaksaan sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan yaitu:1'2'4
• Penderita diistarahatkan dalam posisi horisontal terhadap luka gigitan
• Jangan memanipulasi daerah gigitan
• Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol.
• Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah
proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari
30 menit setelah gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan
menahan aliran vena atau arteri,
2. Penatalaksanaan setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif:
• Penatalaksanaan jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi (beri infus cairan kristaloid)
• Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas di atas luka,
imobilisasi dengan bidai
• Cek pemeriksaan laboratorium: ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan waktu
protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea,
elektrolit (terutama kalium), CK. Jika waktu pembekuan > 10 menit menunjukkan
kemungkinan adanya kogulopati.
• Apus tempat gigitan dengan venom detection.
• Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang dikebalkan)
polivalen 1 ml.
− Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
− Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi absolut. Perhatian diberikan pada individu
yang mempunyai riwayat alergi terhadap serum kuda atau domba, seperti pada anti
tetanus serum, anti rabies serum. Serta pada individu yang mempunyai riwayat
dermatitis atopi, misalnya asma berat; atau diperkirakan akan mengalami reaksi
berat. Pada kasus seperti ini, pemberian antivenom ditunda sampai muncul gejala
sistemik.

176
− Cara pemberian: 2 vial (@ 5 ml) dalam 500 ml NaCl 0.9% atau Dekstrosa 5% diberikan
melalui intravena dengan kecepatan 40-80 tetes/menit. jumlah maksimal 100 ml (20
vial). Tidakboleh diberikan secara infiltrasi pada luka.

Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz dan Way


 Derajat 0 dan I : tidak memerlukan SABU, evaluasi dalam 12 jam, jika
ditemukanpeningkatan derajat maka diberikan SABU
 Derajat II : 3-4 vial SABU
 Derajat III : 5-15 vial
 Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU

Pedoman terapi SABU berdasarkan Luck


• Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pedoman terapi SABU menurut Luck berdasarkan derajat gigitan:

Tabel 2. Pedoman terapi SABU menurut Luck

• Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom.1


− Jika koagulopati tidak membaik yang ditandai dengan fibrinogen tidak meningkat dan
waktu pembekuan darah tetap memanjang, maka ulangi pemberian SABU Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya.
− Jika koagulasi membaik yang ditandai dengan peningkatan fibrinogen dan penurunan
waktu pembekuan, maka monitor ketat diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilakukan hingga 2x24 jam untuk
mendeteksi koagulasi berulang. Pada penderita yang digigit ular dari spesies Vipiridae
hendaknya tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan:
− Gangguan koagulasi berat: berikan plasma fresh-frozen dan antivenom Perdarahan:
beri transfusi darag segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi
trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan
natrium bikarbonat
− Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau anggota
badan
− Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
− Gangguan neurotoksik: beri sulfas atropin 0.6 mg IV, diikuti edrophonium: 10 mg IV
(children, 0.25 mg/kg) atau neostigmin 1.5-2.0 mg IM (asetilkolinesterase). Jika ada

177
perbaikan dalam 5 menit, neostigmin dapat dilanjutkan dengan dosis0,5 mg setiap 30
menit sesuai indikasi, dilanjutkan pemberian sulfas atropin 0,6 mg selam 8 jam
meialui infus.
− Beri tetanus profilaksis jika diperlukan.
− Analgetik: aspirin atau kodein, jangan memberikan obat narkotik depresan.
 Terapi profilaksis
− Antibiotika spektrum luas. Kuman yang banyak dijumpai adalah P.aeroginosa,
Proteus sp., Clostridium sp., B.fragilis
− Ampisillin/sulbaktam 1.5-3.0 gram IV setiap 6 jam. Klindamisin 2 x 150-300 mg PO
ditambah TMP-SMX (2x1 tablet PO) atau siprofloksasin 2x500 mg PO.
− Berikan tetanus toksoid
− Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi.

KOMPLIKASI
• Kehilangan permanen fungsi ekstremitas yang terkena gigitan
• Hipotensi dan syok
• Gagal ginjal akut
• Gangguan pembekuan darah
• Sindrom kompartemen

PROGNOSIS
Angka kematian karena gigitan ular berbisa rendah pada area yang dekat dengan pusat
kesehatan dan tersedianya antivenom. Pada individu yang mendapat antivenom, kematian
hanya terjadi <1% kasus.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi InfeksiTropik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT


• RS pendidikan : Bagian Parasitologi, Departemen, Bedah, Departemen
Rehabilitasi Medik
• RS non pendidikan : -

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA RASIONAL

Pertimbangan penting dalam memberikan antibiotik rasional mencakup:


1. Indikasi yang tepat sesuai dengan pertimbangan medis.
2. Obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien dan memperhitungkan efektifitas,
keamanan, dan biaya.
3. Dosis obat, cara administrasi, dan durasi terapi yang tepat.
4. Pasien yang tepat, yaitu tanpa adanya kontraindikasi dan dengan kemungkinan efek
samping yang minimal.
5. Pemberian obat yang tepat, termasuk pemberian informasi terkait mengenai obat
tersebut.
6. Ketaatan pasien terhadap terapi.

178
MEM1L1H DAN MEMULAI TERAPI ANTIBIOTIK
1. Diagnosis Penyakit Infeksi yang Tepat
Diagnosis penyakit infeksi ditegakkan dengan menentukan lokasi infeksi, status pejamu
(imunokompromais, diabetes, atau usia lanjut), dan menetapkan diagnosis mikrobiologi.
Untuk mengoptimalkan diagnosis, spesimen diagnostik harus diambil dengan benar dan
dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi, sebaiknya sebelum pemberian terapi antibiotik.2
2. Waktu untuk Memulai Terapi Antibiotik
Waktu untuk terapi awal tergantung pada urgensi situasi. Pada pasien kritis, seperti syok
septik, netropenia febris, dan pasien dengan meningitis bakteri, terapi empirik harus
diberikan segera sesudah atau bersamaan dengan pengambilan spesimen diagnostik. Pada
kondisi klinis yang lebih stabil, terapi dapat ditunda sampai spesimen diagnostik telah
diambil, sebagai contoh endokarditis bakterial subakut, dan osteomielitis vertebral.
3. Terapi Empirik vs Terapi Definitif
Karena hasil kultur resistensi mikrobologi belum tersedia dalam 24-72 jam, terapi awal untuk
infeksi adalah terapi empirik. Terapi yang inadekuat pada pasien kritis di rawat inap terkait
dengan outcome yang buruk, peningkatan morbiditas dan mortilitas, dan juga peningkatan
length of stay. Antibiotik empirik awal yang dipilih biasanya antibiotik
spektrum-luas (atau antibiotik kombinasi] dengan tujuan untuk mencakup patogen multipel
yang paling mungkin menginfeksi, dengan mempertimbangkan apakah infeksinya didapat
dari komunitas atau nosokomial. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan pola kuman
rumah sakit setempat, lokasi infeksi, serta uji Minis. Rejimen antibiotik sebaiknya mengikuti
pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) setempat kecuali ada pertimbangan khusus, antara
lain riwayat memakai antibiotik yang sama dalam waktu dekat, sudah ada hasil kultur yang
resisten terhadap antibiotik tersebut, serta alergi terhadap antibiotik tersebut.
Setelah hasil mikrobiologi keluar, terapi untuk infeksi merupakan terapi definitif. Pemberian
antibiotik definitif ini mengikuti hasil kultur resistensi pada spesimen yang didapatkan sesuai
lokasi infeksi, dengan perhatian khusus yaitu mempertimbangkan pola kultur dari sumber
infeksi yang paling berat, dan waspada kolonisasi atau flora normal. Antibiotik yang dipilih
harus merupakan drug of choice bakteri yang diisolasi, dengan spektrum paling sempit dan
diutamakan monoterapi. Jika kuman resisten, optimalisasi dilakukan dengan dosis yang lebih
besar atau terapi kombinasi.
4. Strategi eskalasi vs strategi de-eskalasi
Strategi eskalasi adalah strategi terapi awal dengan satu antibiotik. Jika pendekatan ini gagal
setelah 72 jam, digunakan antibiotik yang lebih poten. Terapi eskalasi dilakukan dengan
pertimbangan spektrum antibiotik yang digunakan sebelumnya; jika spektrum antibiotik
yang sebelumnya sudah luas, gunakan antibiotik dengan spektrum yang lebih luas dari
antibiotik tersebut. Strategi ini umumnya digunakan pada infeksi ringan.
Strategi menggunakan terapi kombinasi antibiotik empirik spektrum luas kemudian setelah
hasil kultur resistensi keluar, dilakukan pengurangan jumlah antibiotik dan penyempitan
spektrum disebut terapi de-eskalasi. Terapi de-eskalasi umumnya dilakukan pada pasien
kritis atau sepsis, dan jika lokasi infeksi berisiko tinggi dan memiliki dampak besar jika terapi
gagal (contoh: infeksi pada sendi, prostesis, mata, dan meningoensefalitis), Antibiotik yang
paling sering dide- eskalasi adalah aminoglikosida.
5. Interpretasi Hasil Kultur Resistensi
Data hasil kultur resistensi dilaporkan dalam bentuk minimum inhibitory concentration (MIC)
dan diinterpretasikan laboratorium sebagai "sensitif”, "resisten", atau "intermediet", Hasil

179
ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang pertama, klinisi dan petugas lab harus waspada
terhadap lokasi infeksi karena suatu antibiotik, walaupun sensitif secara in vitro, belum tentu
mencapai konsentrasi terapeutik pada lokasi infeksi tertentu. Kemudian, beberapa bakteri
memiliki enzim yang ketika diekspresikan secara in vivo, dapat menginaktivasi antibiotik
yang sensitif secara in vitro.
6. Terapi Bakterisidal vs Terapi Bakteriostatik
Antibiotik bakterisidal lebih dipilih pada kasus infeksi berat seperti endokarditis dan
meningitis untuk cepat mencapai kesembuhan (lihat Tabel 1]

Tabel 1. Contoh Golongan Antibiotik Bakterisidal dan Bakteriostatik


Bakterisidal Bakteriostatik
Aminoglikosida Makrolid
Kuinolon Tetrasiklin
Beta-iaktam Kloramfenikol
Rifamisin Sulfonamid
Daptomisin Linezolid
Catatan: pembagian ini tidak absolut, beberapa agen bakterisidal terhadap mikroorgan- isme tertentu dapat
bersifat bakterostatik terhadap bakteri lainnya dan sebaliknya.

7. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


Walapun monoterapi lebih dipilih, kombinasi 2 atau lebih antibiotik dibutuhkan pada
beberapa keadaan:
a. Ketika antibiotik menunjukkan aktivitas sinergistik
b. Kombinasi antibiotik (3-laktam tertentu dan aminoglikosida menunjukkan aktivitas
sinergistik terhadap berbagai bakteri gram positif dan negatif dan digunakan pada
infeksi berat. Pada streptokokus tertentu, kombinasi sinergistik yang sama juga dapat
memperpendek durasi terapi antibiotik.
c. Ketika pasien kritis membutuhkan terapi empirik sebelum hasil kultur resistensi keluar
d. Kombinasi antibiotik digunakan sebagai terapi empirik pada infeksi nosokomial yang
sering disebabkan multi-drug resistant organisms (MDRO).
e. Untuk memperluas spektrum antibiotik pada infeksi polimikrobial
f. Untuk mencegah munculnya resistensi
g. Penggunaan terapi kombinasi dapat memberikan kesempatan yang lebih tinggi untuk
setidaknya satu antibiotik akan efektif, sehingga mencegah munculnya populasi mutan
resisten.

8. Faktor Penjamu yang Dipertimbangkan pada Pemilihan Antibiotik


a. Fungsi ginjal dan hati
b. Usia
c. Variasi genetik
d. Kehamilan dan laktasi
e. Riwayat alergi atau intoleransi
f. Riwayat penggunaan antibiotik dalam waktu dekat

9. Terapi Oral vs Terapi Intravena


Pasien umumnya menggunakan terapi intravena berdasarkan keparahan penyakitnya.
Pasien dengan infeksi ringan-sedang yang dirawat dan memiliki fungsi saluran pencernaan

180
normal dapat diberikan terapi oral, Pasien yang awalnya mendapatterapi intravena juga
dapat diganti ke terapi oral jika sudah stabil secara klinis.

10. Karakteristik Farmakodinamik


Karakteristik farmakodinamik yang penting dipahami adalah konsep time- dependent dan
concentration-dependent killing. Antibiotik dengan aktivitas time- dependent (contoh: (3-
laktam dan vankomisin) lebih baik diberikan secara infus kontinu atau frekuensi pemberian
yang sering. Sedangkan antibiotik dengan aktivitas concentration-dependent (contoh:
aminoglikosida, fluorokuinolon, metronidazol, dan daptomisin) lebih mengutamakan
konsentrasi serum “puncak" daripada frekuensi pemberian.

11. Efikasi pada Lokasi Infeksi


Efikasi antibiotik juga bergantung pada kapasitasnya untuk mencapai konsentrasi yang sama
dengan atau di atas MIC pada lokasi infeksi. Pada beberapa lokasi, konsentrasi antibiotik
sering lebih rendah daripada konsentrasi di serum.

12. Pemilihan Antibiotik pada Terapi Antibiotik Parenteral Pasien Rawat Jalan
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah:
a, Antibiotik dengan frekuensi pemberian yang lebih jarang lebih dipilih
b. Antibiotik harus memiliki stabilitas kimia dan harus stabil selama sekitar 24 jam setelah
mixing
c. Antibiotik dengan toksisitas minimal lebih dipilih
d, Harus dipertimbangkan pemberian antibiotik oral

13. Therapeutic Drug Monitoring


Pemantauan konsentrasi serum diperlukan pada antibiotik dengan therapeutic index sempit.

PERTIMBANGAN UNTUK MELANJUTKAN TERAPI ANTIBIOTIK


1, Durasi Terapi Antibiotik
Antibiotik diberikan dengan durasi sesingkat mungkin, sesuai dengan PPAB dan uji klinis.
Durasi yang lebih lama diperlukan pada infeksi sistem saraf pusat
(SSP), prostesi dan infeksi vaskular. Pemberian antibiotik yang terlalu lama akan
meningkatkan resistensi dan menurunkan efikasi.

2. Pengkajian Respons Terapi


Respon terapi dapat dinilai dengan parameter klinis dan mikrobiologi. Parameter klinis
mencakup gejala dan tanda, nilai laboratorium, dan temuan radiologik. Parameter
mikrobiologi antara lain hilangnya bakteremia.
3. Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul antara lain:
a. Efek langsung
− Alergi Toksisitas Interaksi obat
− Kegagalan terapeutik
b. Efek tidak langsung
− Efek terhadap flora komensal: infeksi Clostridium difficile, meningkatnya
kemungkinan terinfeksi oleh MDRO

181
− Efek terhadap flora lingkungan

RABIES

PENGERTIAN
Rabies adalah infeksi virus akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang ditransmisikan dari
hewan yang terinfeksi ke manusia dan dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis bahkan dapat
menyebabkan koma dan kematian.

ETIOLOGI
Infeksi disebabkan virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili
Rhabdoviridae. Virus menular melalui gigitan hewan yang tertular, seperti anjingyang
merupakan reservoir pertama dan vektor untuk rabies.1

MANIFESTASi KLINIS
Tabel 1. Manifestasi klinis
Fase Durasi Klinis
Masa inkubasi 1-3 bulan Tidak ada
Prodromal 1 -7 hari Demam, malaise, sakit kepala, mual, muntah, agitasi, pares-
tesia fokal, nyeri
Fase neurologik akut 1 -7 hari
Ensefalitis (80%) 2-10 hari Demam, konfusi, halusinasi, hiperaktivitas, spasme faringeal
(hidrofobia, aerofobia), kejang.
Paralitik (20%) 2-10 hari Ascending flaccid paralysis
Koma / kematian 1-14 hari -

• Pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS): bisa ditemui peningkatan ringan sel
mononuklear, peningkatan kadar protein, dan pleositosis. Pleositosis berat ( > 1000
sel/pl) sangat jarang ditemui dan harus dicari penyebab lain. Infeksi virus rabies dicurigai
jika ditemukan antibodi spesifik virus rabies pada CSS.
• Isolasi Virus: dari saliva, CSS, atau serum.
• CT Scan kepala: umumnya normal pada kasus rabies.
• MRI kepala: abnormalitas pada batang otak dan area lain, tetapi sangat bervariasi.
• Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR): mendeteksi RNA virus rabies
dan membedakan variasi virus. Dapat ditemukan pada saliva, CSS, dan jaringan

• Pemeriksaan Direct Fluorescent Antibody (DFA): antibodi dikonjugasikan ke bahan


pewarna flouresens, dapat dilakukan pada jaringan otak, biopsi kulit dari leher, saraf
kutaneus pada dasar folikel rambut, Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis

182
Riwayattergigitbinatang, adanya saliva binatangyang mengenai membran mukosa, bekas
garukan, atau luka terbuka. Diagnosa rabies dicurigai pada kasus ensefalitis akut atau
dengan ascending paralysis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya,1

Pemeriksaan Fisik
Pada fase prodromal belum ada tanda-tanda yang spesifik. Jika memasuki fase neurologik
akut dapat ditemukan kelainan neurologi seperti hidrofobia, paresis, disfagia. Jika selama
pemeriksaan tidak ditemukan perubahan neurologi dan penyakit sudah berlangsung selama
> 2-3 minggu makan dapat dipikirkan penyebab lainnya,3

Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap. Pada fase awal pemeriksaan mungkin dalam
batas normal.1-2
• Antibodi virus rabies: ditemukannya antibodi neutralizing serum merupakan diagnostik
untuk kasus rabies. Antibodi mungkin dideteksi dalam beberapa hari setelah muncul
gejala. Beberapa pasien meninggal tanpa antibodi yang terdeteksi.

DIAGNOSA BANDING
• Fase awal: penyebab lain ensefalitis, seperti infeksi virus herpes simpleks tipe 1 atau virus
herpes lainnya, enterovirus, virus yang menular melalui arthropoda.
• Ensefalitis setelah vaksinasi rabies (contohnya: Semple vaccine).
• Reaksi obat
• Vaskulitis
• Rabies histeria: kelainan karena rasa ketakutan berlebihan terhadap rabies yang
bermanifestasi perilaku agresif, kehilangan kemampuan menelan atau berkomunikasi.
• Guillain-Barre syndrome: fase paralitik.
• Poliomielitis
• Delirium tremens

TATALAKSANA

Nonfarmakologis
• Isolasi pasien untuk mencegah transmisi virus ke orang lain.
• Terapi suportif

Farmakologis
• Tidak ada terapi spesifik untuk rabies.
• Profilaksis pada individu yang terpapar seperti pembersihan dan irigasi luka secepat
mungkin, imunisasi aktif dan pasif efektif dalam 72 jam setelah terpapar

Tabel 2. Vaksinasi Virus Rabies


Jadwal
Vaksinasi Cara pemberian Keierangan
pemberian
imramusKuiar Human
diploid cell Harike 1 ml intramuscular (deltoid) Tidak boleh diberikan
vaccine (HDCV) 0,3,7,14, dan pada area gluteus
Human rabies 28 20 lU/kg. Infiltrasi sekitar iuka pada individu

183
imunoglobulin (RIG) sebanyak mungkin, dan yang belum pernah
disuntikkan secara intramuscular mendapat imunisasi Da
pada lokasi lain yang jauh dari pat digunakan pada
luka.
Vaksinasi intradermal
Human diploid cell 0.1 ml di 8 lokasi secara
vaccine (HDCV) intradermal (8-0-4-0-1-1) kasus darurat yang tidak
0,1 ml di 2 lokasi secara tersedia RIG
Purified vero cell vaccine intradermal (2-2-2-0-1-1)
(PVRV) 0.1 ml di 8 lokasi secara
Purified chick embryo intradermal (8-0-4-0-1 -1) atau
cell vaccine (PCECV) 0,2 mLdi 2 lokasi secara
intradermal (2-2-2-0-1-1)

• Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pada individu yang belum divaksinasi:3-4'5
Merupakan kasus emergensi sehingga penatalaksanaan harus dimulai secara dini baik
pembersihan luka maupun pemberian vaksinasi tanpa menunggu hasil laboratorium atau
mengobservasi binatang jika dicurigai terinfeksi virus rabies. Sebaiknya luka tidak dijahit
terlebih dahulu, jika akan menjahit luka pastikan sudah memberikan RIG terlebih dahulu
pada luka tersebut.

WHO membagi kategori paparan dan penatalaksanaannya menjadi 3 yaitu;


Tabel 3. Kategori Paparan dan Penatalaksanaan

 Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pada individu yang sudah divaksinasi:
− Pembersihan luka, lalu vaksinasi 1 dosis pada hari 0 dan 3. Tidak perlu diberikan
RIG.
 Pencegahan virus rabies pada individu beresiko tinggi.
− Profilaksis sebelum terpapar dengan HDCV atau RNA (1 ml intramuscular pada hari
0,7, dan 21 atau 28) pada individu yang beresiko tinggi, seperti pada dokter hewan,
pekerja laboratorium,anak dan balita pada daerah endemis, rencana berkunjung ke
wilayah endemis.
− Individu yang beresiko tinggi hendaknya melakukan pemeriksaan rutin setiap tahun
dan dapat diberikan vaksinasi booster jika titer < 0.5 lU/ml,
− Individu yang berhubungan dengan virus rabies hidup dilakukan pemeriksaan setiap
6 bulan dan diberikan vaksinasi booster jika titer < 0.5 IU/ml.

PROGNOSIS

184
Rabies merupakan penyakit yang fatal. Pada umumnya pasien dengan rabies
meninggal dalam beberapa hari meskipun sudah mendapat perawatan pada unit internsif.
Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat setelah terkena infeksi dan
pemberian profilaksis setelah terpapar. Vaksinasi akan efektif jika diberikan dalam waktu 2
hari setelah terpapar, seiring bertambahnya hari makan tingkat efektivitasnya akan
menurun. Walaupun demikian selama belum ada gejala, vaksinasi akan tetap efektif
diberikan dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah terpapar.
Jika gejala sudah muncul, koma dan kematian akan terjadi dalam 3-20 hari setelah awal
mulai gejala. Hampir 100% individu yang menunjukkan gejala akan meninggal. Hanya kurang
dari 10 kasus yang sembuh dan 2 diantaranya tidak ada riwayat profilaksis sebelum maupun
sesudah terpapar.

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : -
• RS non pendidikan : -

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

PENGERTIAN
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki dua atau
lebih kriteria sebagai berikut:
a) suhu >38° C atau <36° C,
b) denyut jantung >90 denyut/menit,
c) respirasi >20/menit atau PaC02 < 32mmHg,
d) hitung leukosit >12.000/mm3 atau >10% sel imatur [band).
Sepsis adalah SIRS ditambah sumber infeksi yang diketahui (ditandai dengan biakan
positif terhadap organisme dari tempat tersebut).
Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau lebih disfungsi organ seperti
berikut:
• Tekanan sistolik darah < 90mmHg atau MAP <70 mmHg yang berespon terhadap
pemberian cairan intravena,
• keluaran urin <0,5 mL/kg/jam untuk selama 1 jam dengan resusitasi cairan,
• Pa02/FI02 < 300,
• Trombosit < 100.000,
• pH <7,30 atau defisit basa >5,0 mEq/L dan laktat plasma >1,5 kali batas atas nilai normal,
(> / mmol / L)
• adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai dengan tekanan arteri paru >12mmHg
atau tekanan vena sentral >8mmHg.
Renjatan septik adalah sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau 40
mmHg lebih rendah dari tekanan darah pasien yang biasa) selama kurang lebih satu jam

185
dengan resusitasi cairan adekuat atau pasien memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg atau MAP >70 mmHg.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
• Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas atau nosokomial atau apakah pasien
imunokompromais
• Demam
• Sesak napas
• Disorientasi, bingung, perubahan status mental
• Perdarahan
• Mual, muntah, diare, ileus

Pemeriksaan Fisik
• Hipotensi
• Sianosis
• Nekrosis iskemik jaringan perifer, umumnya jari
• Selulitis, pustul, bula atau lesi hemoragik pada kulit
• Ikterik
• Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi

Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial
• Urinalisis
• Gambaran koagulasi
• Glukosa darah
• Urea darah, kreatinin
• Tes fungsi hati
• Kadar asam laktat
• Analisis gas darah
• Kadar asam laktat
• Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam), sputum, urin dan tempat lain yang dicurigai
terinfeksi

DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik

TATALAKSANA
Nonfarmakologis
• Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation)
• Perawatan ICU
• Dialisis
• Nutrisi, pemantauan glukosa liingga <150 mg/dL setiap 1-2 jam hingga 4 hari
• Transfusi darah PRC apabila Hb<7 g/dL , TC apabila trombosit < 5000 tanpa perdarahan
atau 5.000 - 30.000 dengan perdarahan
• Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran eksudat purulen, nekrotomi, drainase abses)

186
Farmakologis
• Cairan kristaloid atau koloid
• Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8 mcg/kg/menit), norepinefrin
(0,03 - 1,5 mcg/kg/menit), epinefrin (0,1 - 0,5 mcg/kg/menit) atau fenilefrin (0,5-8
mcg/kg/menit)
• Obat-obatan inotropik: dobutamin (2 - 28mcg/kg/menit), dopamin (3-8 meg/ kg/menit),
epinefrin (0,1 - 0,5/kg/menit) atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon).
• Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah; tekanan vena sentral 8 - 12mmHg, MAP
>65mmHg, keluaran urin >0,5ml/kg/jam, saturasi oksigen vena sentral atau campuran
berturut-turut >70% atau >65%. Target tekanan vena sentral pada penggunaan ventilasi
mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah 12 - 15mmHg.
• Sodium bikarbonat bila pH <7,2 atau bikarbonat serum <9meq/L
• Antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton pada sepsis berat untuk
mencegah stress ulcer
• Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200 - 300 mg/hari terbagi dalam 3-4 dosis
selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal
• Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin
dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu,
dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya
• Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab,
profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi
hati. Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui,
antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang
dipakai adalah yang dianggap tidak menyebabkan pelepasan lebih banyak lipopolisakarida
(LPS) sehingga menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba yang dianggap tidak
menyebabkan perburukan adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida,
aminoglikosida, kuinolon.

Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai sumber infeksi;


− Pneumonia komuniti: 2 regimen obat, yaitu sefalosporin generasi 3 (seftriakson 1x1 gram
selama 2 minggu] atau keempat (sefepim 2x2 gram selama 2 minggu) dan aminoglikosida
(gentamisin iv atau im 2mg/kgBB dilanjutkan dengan 3x1,7 mg/kgBB atau 1x5 mg/kg BB
selama 14 - 21 hari atau amikacin 1x15 mg/kgBB atau tobramisin 1x1,7 mg/kgBB )
− Pneumonia nosokomial: sefepim (2x2 gram selama 2 minggu] atau imipenem - silastatin
(4x0.5 gram) dan aminoglikosida
− Infeksi abdomen: imipenem - silastatin (4x0.5 gram) atau piperasilin - tazobaktam (4 -
6x3,375gram) dan aminoglikosida
− Infeksi abdomen nosokomial: imipenem - silastatin (4x0.5 gram) dan aminoglikosida atau
piperasilin - tazobaktam (4-6x 3,3 75gram) dan amfoterisin B (dosis inisial 0,25 - 0,3
mg/kgBB/hari, tingkatkan perlahan-lahan hingga mencapai dosis biasa 0,5 -1 mg/kgBB
atau hingga 1,5 mg/kgBB, pada keadaan mengancam nyawa dosis inisial dapatlangsung
diberikan 0,6 - 0,7 mg/kgBB) Kulit/ jaringan lunak: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan
imipenem - silastatin (4x0.5 gram) atau piperasilin - tazobaktam (4 - 6x 3,375gram)
− Kulit/ jaringan lunak nosokomial: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan sefepim (2x2 gram
selama 2 minggu)

187
− Infeksi traktus urinarius: siprofloksasin (2x400 mg) dan aminoglikosida Infeksi traktus
urinarius nosokomial: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan sefepim (2x2 gram selama 2
minggu)
− Infeksi SSP: vankomisin (2x15 mg/kgBB) dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem (3x1 gram)
− Infeksi SSP nosokomial: meropenem (3x1 gram) dan vankomisin (2x15 mg/kgBB)

KOMPLIKASI
 Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
 Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
 Gagal ginjal akut (ARF)
 Perdarahan usus » Gagal hati
 Disfungsi sistem saraf pusat (SSP)
 Gagal jantung
 Kematian

PROGNOSIS
Sekitar 20 - 35% pasien dengan sepsis berat dan 40 - 60% pasien dengan renjatan septik
meninggal dalam 30 hari, Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II menunjukkan
bahwa usia pasien, penyakit dasar dan berbagai variabel fisiologi menentukan risiko
kematian pada sepsis berat. Pada pasien tanpa penyakit morbiditas sebelumnya, case-
fatality rate di bawah 10% hingga usia dekade keempat, dan setelahnya meningkat hingga
35%.

188
DIVISI GINJAL HIPERTENSI

189
BATU SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika urinaria.1
Faktor resiko batu saluran kemih adalah:2
 Volume urin yang rendah
 Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia
 Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, jus apel, jus jeruk bali, asupan tinggi
natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein
 Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
 Renal tubular asidosis tipe 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis1
Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria,
riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout

Pemeriksaan Fisik2
Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda balotemen

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium1 : hematuria
 Radiologi: bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau pielogra
antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG

DIAGNOSIS BANDING
 Nefrokalsinosis
 Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika
 Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite

TATALAKSANA

Nonfarmakologis1
 Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani
 Batu urat: diet rendah asam urat
 Minum banyak (2,5 L/hari) bila fungsi ginjal masih baik

Farmakologis
 Antispasmodik bila ada kolik
 Antimikroba bila ada infeksi
 Batu kalsium: kalium sitrat
 Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate or potassium citrate untuk membuat pH urin
menjadi basa.3

190
Bedah3
 Extracorporeal shock-wave lithotripsy (untuk batu pada proksimal ginjal dan urethra <2cm)
 Percutaneous lithotripsy (untuk batu >2cm)
 Ureteroscopy (untuk batu pada ginjal dan ureter)
 Pielotomi
 Nefrostomi

KOMPLIKASI
Abses, gagal ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra, perforasi urethra, urosepsis, renal loss
karena obstruksi kronis.4

PROGNOSIS
Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata-rata kekambuhan pada pertama kali
batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80% dalam 10 tahun. Pasien yang memiliki risiko
tinggi kambuh adalah yang tidak patuh pada pengobatan, tidak modifikasi gaya hidup, atau ada
penyakit lain yang mendasari. Fragmen batu yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan
sendirinya jika ukuran batu tersebut < 4mm.4

GANGGUAN GINJAL AKUT


PENGERTIAN
Gangguan ginjal akut atau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA), sekarang
disebut jejas ginjal akut (acute kidney injury/AKI). AKI merupakan kelainan ginjal struktural dan
fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui pemeriksaan darah, urin, jaringan, atau radiologis.

Tabel 1. Stadium AKI Berdasarkan Derajat Keparahannya3


Stadium Kriteria serum kreatinin (SCr) Kriteria urine output (UO)

1 1,5-1,9 x baseline <0,5 mL/kgBB/jam selama 6-12 jam

atau

≥0,3 mg/dL (≥26,5 µmol/L)

2 2-2,9 x baseline <0,5 mL/kgBB/jam selama ≥ 12 jam

3 3 x baseline <0,3 mL/kgBB/jam selama ≥ 24 jam

atau atau

↑≥4 mg/dL (≥354 µmol/L) anuria selama 12 jam

atau

191
Inisiasi terapi penggantian ginjal (TPG)

atau

Pasien <18 tahun dengan penurunan eGFR


<35mL/menit per 1,73 m2

Keterangan :
eGFR = Estimated glomerular filtration rate (estimasi laju filtrasi giomerolus / LFG)

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis1
1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria, riwayat konsumsi obat
termasuk diuretik, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID], angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitors, dan angiotensin receptor blocker (ARB).
2. Kolik pinggang yang menjalar ke daerah genital  sugestif obstruksi ureter
3. Sering kencing di malam hari (nokturia) dan gangguan berkemih lain; dapat muncul pada
penyakit prostat
4. Riwayat penyakit prostat, batu ginjal, atau keganasan pelvis atau paraaorta  suspek post-renal

Pemeriksaan Fisik1
1. Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun, turgor kulit menurun, dan
membran mukosa kering.
2. Perut kembung dan nyeri suprapubik  pembesaran kandung kemih
3. AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau sinusitis sugestif vaskulitis sistemik
4. Reaksi idiosinkrasi (demam, artralgia, rash kemerahan yang gatal) suspek nefritis interstitial
alergi
5. Tanda iskemik pada ekstremitas bawah positif  suspek rhabdomiolisis

Pemeriksaan Penunjang1
1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum ureum, kreatinin, asam
urat, kreatin kinase, elektrolit, lactate dehydrogenase (LDH), urea nitrogen (BUN), antinuclear antibodies
(ANAs), antineutrophilic cytoplasmic antibodies (ANCAs), antiglomerular basement membrane antibodies
(AGBM), dan cryoglobulins.
2. Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi antegrad atau retrograd, MRI
3. Biopsi ginjal

Tabel 2. Kriteria diagnosis contrast-induced nephropathy (CIN)4

Faktor risiko Skoring Integer


Hipotensia 5
intra-aortic balloon pump (IABP) 5
Gagal jantung kongestifb 5 Total Risiko CIN Risiko
Skoring Dialisis
Usia > 75 tahun 4 ≤5 7,5% 0,04%

192
Anemiac 3 6-10 14% 0,12%
Diabetes 3 11-16 26,1% 1,09%
Volume zat kontras 1 ≥ 16 57,3% 12,6%
Tiap 100 cc3
SCr >1,5 mg/dL 4
Atau
eGFR <60mL/menit/1,73 m2 2 bila 40-60
4 bila 20-40
6 bila <20
Keterangan :
aTekanan sistolik <80 mmHg selama sedikitnya 1 jam dan memerlukan terapi inotropik atau IABP dalam 24 jam

periprosedural
bGagal jantung kongestif menurut klasifikasi New York Heart Association (NYHA) kelas lll/IV dan/atau riwayat edema paru
cHt <39% pada laki-laki, <36% pada perempuan

AKI PASCA BEDAH JANTUNG


Selain CIN, terdapat risiko AKI pada pasien pascabedah jantung yang dikenal dengan skoring
AKICS (Acute Kidney Injury prediction following elective cardiac surgery), skoring Cleveland dan
skoring Toronto seperti tercantum pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Skoring AKICS 2007

Faktor Risiko Skor

Operasi kombinasi 3,7

CHF NYHA >2 3,2

Cr pre-op >1,2 mg/Dl 3,1

Cardiac output rendah 2,5

Usia >65 tahun 2,3

Waktu CPB >120 menit 1,8

Glukosa darah kapiler pre-op >140 mg/dL 1,7

CVP >14 cmH20 1,7

Skor minimal = 0, maksimal =20

Keterangan : CPB = cardiopulmonary bypass; Cr = kreatinin; CVP = central venous pressure;

Pre-op = pre-operative; CHF = congestive heart failure (gagal jantung kongestif)

Tabel 4. Skoring Cleveland dan Toronto (2008)6

Faktor Risiko Nilai Cleveland Nilai Toronto

Jenis kelamin perempuan 1 0

Riwayat CHF 1 0

193
LVEF < 35% 1

LVEF < 40% 1

IABP pre-op 2 1

PPOK yang diterapi dengan bronkodilator 1 0

Diabetes dalam terapi

- insulin 1

- obat lainnya 1

Riwayat bedah jantung sebelumnya 1 1

Tipe pembedahan

- Katup 1 1

- Kombinasi (CABG+katup) 2 1

- Lainnya 2 1

Fungsi ginjal pre-op :

SCr (mg/dL) 1,2 - 2,09 2

≥ 2,1 5

eGFR (mL/menit) 40-60 1

<40 2

Status operasi Emergensi 1

Elektif 1

Total range skor 0-17 0-8

Keterangan : LVEF = left ventricle ejection fraction

Tabel 5. Penyebab AKI1

Etiologi Mmanifestasi Klinis Pemeriksaan Keterang


Penunjang an

Pre-renal azotemia Riwayat intake cairan sulit Ration BUN:kreatinin FeNa rendah, BJ dan
atau kehilangan cairan >20, FeNa <1%, osmolalitas urin tinggi,
(muntah, diare, perdarahan, gambaran hialin (+) mungkin tidak terlihat
sekuestrasi ke dalam ruang pada sedimen urin, BJ pada penyakit ginjal
ekstravaskular), gagal urin >1.018, osmolalitas kronis. Penggunaan
jantung, NSAID/ACE-I/ARB, urin >500 mOsm/kg diuretik, proporsi
adanya bukti kekurangan peningkatan ratio BUN :
cairan (takikardi, hipotensi kreatinin dapat menjadi
absolut/ postural, tekanan indikasi perdarahan
vena jugularis rendah, saluran cerna atau
membran mukosa kering), meningkatnya
volume sirkulasi efektif katabolisme. Respons

194
menurun (gagal jantung, untuk restorasi
sirosis hepatis) hemodinamik menjadi
faktor diagnostik
terpenting.

AKI-terkait sepsis Sepsis, sindrom sepsis, atau Kultur (+) dari cairan FeNa
syok sepsis. Hipotensi nyata tubuh, sedimen urin mungkin
tidak selalu terlihat pada AKI sering terdapat bentuk rendah
ringan atau sedang granular, sel epitel (<1%),
tubular khususny
a di awal
onset,
namun
biasanya
>1% dan
osmolalit
as <500
mOsm/kg

AKI-terkait iskemik Hipotensi sistemik, kadang Sedimen urin sering


disertai sepsis dan/atau terdapat bentuk
faktor risiko terbatasnya granular, sel epitel
fungsi ginjal seperti usia tua, tubular, FeNa >1%
PGK

AKI-terkait nefrotoksin : faktor endogen

Rhabdomioliisis Trauma crush injury, Mioglobin, keratin kinase, FeNa mungkin rendah
kejang, imobilisasi gross hematuria (<1%)

Hemolisis Riwayat reaksi transfusi Anemia, LDH, haptoglobin FeNa mungkin rendah
pada transfusi darah rendah (<1%); evaluasi untuk
sebelumnya reaksi transfusi

Lisis tumor Riwayat kemoterapi Hiperfosfatemia,


hipokalsemia,
hiperurisemia

Mieloma multipel Usia >60 tahun, gejala Anion gap rendah, Biopsi sumsum tulang
konstitusional, nyeri monoclonal spike pada urin atau ginjal dapat
tulang atau serum elektroforesis memberikan diagnosis
pasti

Nefropati kontras Paparan terhadap kontras Serum kreatinin dalam 1-2 FeNa mungkin rendah
yang teriodinasi hari, puncaknya pada hari (<1%)
3-5, pulih dalam 7 hari

AKI-terkait nefrotoksin : faktor eksogen

Penyakit tubular Antibiotik aminoglikosida, Sedimen urin sering


cisplatin, tenofovir, terdapat bentuk granular,

195
zoledronate sel epitel tubular, FeNa >1%

Nefritis interstitial Paparan obat, dapat Eosinophilia, piuria steril, Eosinophil urin memiliki
terjadi demam, rash, seringkali non-oligouria keakuratan diagnostik
artralgia terbatas, tanda sistemik
reaksi obat seringkali (-),
biopsi ginjal dapat
membantu

Etiologi AKI intrinsik lainnya

Glomerulonefritis / Bervariasi, termasuk skin Antibodi ANA, ANCA, Biopsi ginjal mungkin
vaskulitis rash, artralgia, sinusitis AGBM, serologis hepatitis, diperlukan
(penyakit AGBM), krioglobulin, kultur darah,
perdarahan paru, infeksi level komplemen, titer ASO
kulit atau faringitis
(poststreptokokus)

Nefritis interstitial Etiologi tidak terkait obat, Eosinophilia, piuria steril, Eosinophil urin memiliki
termasuk sindrom seringkali non-oligouria keakuratan diagnostik
tubulointerstitial-nefritis- terbatas, biopsi ginjal
uveitis (TINU), infeksi mungkin diperlukan
Legionella

TTP/HUS Infeksi saluran cerna atau Schistosit pada apusan Biopsi ginjal mungkin
penggunaan inhibitor darah tepi, anemia, LDH, diperlukan
kalsineurin trombositopenia

Penyakit Riwayat manipulasi aorta Hipokomplementemia, Biopsi kulit dan ginjal


ateroemboli atau pembuluh darah eosinofiluria (bervariasi), diperlukan untuk
besar lainnya; spontan proteinuria bervariasi diagnosis
atau setelah
antikoagulasi; plak retina,
palpable purpura, livedo
reticularis, perdarahan
saluran cerna

AKI post-renal Riwayat batu ginjal, Tidak ada temuan spesifik Radiologis dengan CT
penyakit prostat, selain AKI; hematuria atau atau USG
obstruksi kateter urin, piuria
neoplasma
retroperitoneal atau
pelvis

Keterangan :

AGBM = anti-glomerular basement membrane, FeNa = fractional excretion of sodium, TTP/HUS = thrombotic
thrombocytopenic purpura/ hemolytic uremic syndrome, ANA = antinuclear antibody, ANCA = antineutrophilic cytoplasmic
antibody

TATALAKSANA

Tabel 6. Manajemen Tatalaksana AKI Berdasarkan Stadium3

196
Risiko tinggi Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

Tatalaksana Hentikan semua agen nefrotoksik bila memungkinkan

Pastikan status volume dan tekanan perfusi

Pertimbangkan pemantauan hemodinamik fungsional

Pantau SCr dan UO

Hindari hiperglikemia

Pertimbangkan prosedur alternatif dari radiokontras

Lakukan pemeriksaan diagnostik non-invasif

Pertimbangkan pemeriksaan diagnostik invasif

Periksa bila ada perubahan dosis obat

Pertimbangkan terapi penggantian


ginjal

Pertimbangkan ICU

Hindari kateter
subklavia bila
memungkinkan

1. Asupan nutrisi3
 Pemberian nutrisi enteral lebih disukai
 Target total asupan kalori per hari :20-30 kkcal/kgBB pada semua stadium
 Hindari restriksi protein
 Kebutuhan protein per hari:
- AKI non-katabolik tanpa dialisis : 0,8-1 g/kgBB

- AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG) : 1-1,5 g/kgBB

- AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu : s/d maksimal 1,7 g/kgBB

2. Asupan cairan dan terapi farmakologis3


 Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik : infus kristaloid isotonik
 Pada pasien dengan syok vasomotor : berikan vasopressor dengan cairan IV
 Pada setting perioperatif atau syok sepsis, tatalaksana gangguan hemodinamik dan oksigenasi
sesuai protokol
 Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa plasma 110-149 mg/dL
 Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload
 Tidak dianjurkan : dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide (ANP), recombinant human
(rh) IGF-1
3. Intervensi dialisis1,3
 Indikasi dialisis :

197
- Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume overload, hiperkalemia,
asidosis, ingesti zat toksik
- Komplikasi urernia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati, uremic bleeding
 Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan, elektrolit, keseimbangan asam-basa
yang mengancam nyawa
 Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui dialisis (tidak hanya ratio BUN:
kreatinin saja)
 Gangguan ginjal akut stadium III
 Diskontinu dialisis bila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah pulih) atau jika dialisis
tidak lagi memenuhi tujuan terapi

Anjuran pada Keadaan Khusus

1. CIN/contrast-induced AKI (CI-AKI) 3


 Klasifikasikan stadium AKI setelah administrasi zat kontras teriodinasi intravaskular dan
evaluasi penyebab lain CI-AKI
 Menilai risiko CI-AKI, skrining gangguan fungsi ginjal pada semua pasien yang akan menjalani
prosedur yang membutuhkan administrasi zat kontras intravaskular
 Pada pasien dengan risiko tinggi CI-AKI:
- Pertimbangkan metode pencitraan lain
- Gunakan dosis zat kontras terendah pada pasien dengan risiko tinggi CI-AKI
- Gunakan zat kontras dengan osmolaritas rendah atau isoosmolar
- Hidrasi dengan pilihan cairan infus: NaCl 0,9% atau NaHC03 isotonik
- N-acetylcysteine diberikan per oral bersama dengan infus kristaloid isotonik
 Tidak dianjurkan: Teofilin, fenoldopam, hemodialisis profilaksis, hemofiltrasi
2. AKICS
 Pencegahan dapat dilakukan dengan memodifikasi faktor potensial yang dapat menyebabkan
AKICS antara lain anemia pre-op, transfusi darah perioperatif, dan re-eksplorasi
pembedahan.7

KOMPLIKASI
Gangguan asam basa dan elektrolit, urernia, infeksi, perdarahan, komplikasi pada jantung,
malnutrisi.1

PROGNOSIS
Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan penyakit komorbid
pasien. Pada studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki angka mortalitas 60%,
sedangkan pada penyakit pre-renal atau post-renal 35%. Sebagian besar kematian bukan disebabkan
AKI itu sendiri, melainkan oleh penyakit penyerta dan komplikasi. Pada data Madrid, 60% kematian
disebabkan oleh penyakit primer dan 40% lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi.
Sekitar 50% orang pulih sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak pulih dengan sempurna,
hanya 5-10% yang memerlukan hemodialisis.8

198
GANGGUAN KALIUM

PENGERTIAN
Gangguan kalium ada 2 yaitu hipokalemia dan hiperkalemia. Nilai normal kalium plasma yaitu
3.5-5 meq/L. Hipokalemia yaitu kadar kalium plasma < 3.5 meqL/L, dan hiperkalemia jika kadar
kalium plasma > 5 meq/L. Kalium adalah kation utama dalam intraselular dan berperan penting
dalam metabolism sel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf,
pengeluaran hormone, transport cairan, perkembangan janin. Ginjal merupakan pengatur utama
keseimbangan kalium dengan mengatur jumlah yang diekskresikan dalam urin. Penyebab dari
hipokalemia dan hiperkalemia pada tabel 1.1

Tabel 1. Penyebab Terjadinya Hipokalemia dan Hiperkalemia 1

Hipokalemia Hiperkalemia

Pengeluaran kalium melalui ginjal: Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasei:

- ketoasidosis diabetik (KAD) - asidosis metabolik (bukan karena asidosis organik pada
ketoasidosis, asidosis laktat)
- renal tubular acidosis (RTA [proximal RTA (type II) and
some distal RTAs (type I)] - defisiensi insulin

- diuretik - katabolisme jaringan meningkat

- sindroma Bartter's, sindroma Gitelman 's - pemakaian obat penghambat a adrenergik

- hiperaldosteronisme derajat 1 (sindroma Conn’s) - pseudo hiperkalemia akibat kesalahan pengambilan


contoh darah
- hiperaldosteronisme derajat 2 (penyakit renovaskular,
renin-secreting tumor) - latihan olah raga

- nonaldosterone mineralocorticoid (Cushing’s, Liddle's,


exogenous mineralocorticoid, licorice)

- muntah, drainase selang nasogastrik (NGT/ nasogastric


tube) pada hiperaldosteronisme derajat 2.

Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran Berkurangnya ekskresi kalium dari ginjal:
cerna:
- laju filtrasi glomerulus (LFG) normal: sekresi aldosteron
- diare normal ( CHF/Chronic Heart Failure), sirosis, konsumsi
kalium berlebihan.
- laksatif
- Hipoaldosteronemia: menurunnya renin (nefropati
- adenoma vilus diabetik, OAINS, nefritis interstitial kronik), sintesis
aldosteron menurun (kelainan adrenal, ACEi/ angiotensin
converting enzyme inhibitor), ARBs/ angiotensin receptor
blockers, heparin), menurunnya respon terhadap
aldosteron (diuretik hemat kalium, trimetoprim-

199
sulfometokasol, pentamidin, amiloid, diabetes melitus, SLE/
sistemik lupus erythromatosus, sickle cell.

Kalium masuk ke dalam sel: alkalosis ekstrasel, pemberian Menurunnya LFG: semua penyebab anuria atau oligouria,
insulin, pemakaian β2 agonis, paralisis periodik semua penyebab pada penyakit ginjal tahap akhir
hipokalemik, hipotermia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tabel 2. Diagnosis Gangguan Kalium1,2

Hal yang Hipokalemia Hiperkalemia


ditanyakan

Anamnesis Tanda dan Keletihan, kelemahan otot, kram kaki Peka rangsang, ansietas, kram pada
gejala otot lembek atau kendur, mual, muntah, abdomen, diare, kelemahan ekstremitas
parestesi, peningkatan efek digitalis, bawah pada umumnya, parestesia, sesak
poliuria karena penurunan konsentrasi napas
urin, gangguan irama jantung (aritmia)

Riwayat Penurunan kalium total tubuh: riwayat Masukan kalium berlebihan: pemberian
atau faktor hiperaldosteronisme (penyakit adrenal kalium intravena (IV)
resiko kongenital), pemakaian diuretik atau
adanya pengeluaran urin yang abnormal, Penurunan ekskresi kalium: penyakit
peningkatan kehilangan cairan melalui ginjal, penggunaan diuretik hemat
saluran cerna misalnya stenosis pilorik, kalium, insufisiensi adrenal
peningkatan kehilangan melalui
Perpindahan kalium keluar dari sel-sel:
diaforesis,
pada asidosis, defisiensi insulin,
Perpindahan intraseluler: peningkatan katabolisme jaringan (demam, sepsis,
insulin, alkalosis atau setelah koreksi trauma, bedah, atau hemolisis).
asidosis, perbaikan jaringan setelah luka
bakar, trauma, atau kelaparan; yang
biasanya tidak disertai asupan kalium
yang adekuat.

Pemeriksaan Penurunan bising usus, nadi lemah dan Nadi tidak teratur.
Fisik tak teratur, penurunan reflex, penurunan
tonus otot.

Pemeriksaan Kalium Serum: <3, 5meq/L Kalium serum: > 5,0 meq/L
Penunjang
Analisa gas darah: alkalosis metabolik Analisa gas darah: asidosis metabolik
EKG: gelombang T tinggi, interval PR
EKG: depresi segmen-ST, gelombang T memanjang, depresi ST, QRS melebar,
datar, adanya gelombang U, disritmia kehilangan gelombang P.
ventrikel.

200
DIAGNOSIS BANDING
-

TATALAKSANA
A. HIPOKALEMIA
Pendekatan tatalaksana hipokalemia:3
 Menyingkirkan adanya transcellular shifts (keadaan yang menyebabkan masuknya kalium ke
dalam sel)
 Pemeriksaan kalium urin 24 jam
 Menghitung transtubular potassium gradient (TTKG) =

TTKG = (Kalium urin/Kalium Plasma}


(osmolalitas urin/osmolalitas plasma)

Jika Kalium urin > 30 meq/hari atau > 15 mEq/L atau TTKG >7: kehilangan kalium melalui ginjal, cek
tekanan darah, cek klorida urin.
Jika Kalium urin < 25 meq/hari atau < 15 mEq/L atau TTKG < 3: kehilangan kalium tidak melalui ginjal

Indikasi Koreksi Kalium1

 Indikasi mutlak: pemberian kalium mutlak diberikan pada keadaan


- Pasien sedang dalam pengobatan digitalis
- Pasien dengan ketoasidosis diabetik
- Pasien dengan kelemahan otot pernapasan
- Hipokalemia berat (kalium < 2 meq/L)
 Indikasi kuat: kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu insufisiensi koroner
atau iskemia otot jantung, ensefalopati hepatikum, pasien memakai obat yang dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.
 Indikasi sedang: pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia ringan (kalium 3-
3,5 meq/L)

Tatalaksana Hipokalemia1,2

1. Penurunan kalium plasma 1 mEq/L sama dengan kehilangan 200 mEq dari total tubuh
2. Pengobatan penyebab dasar
3. Terapi hipomagnesia jika ada.
4. Penggantiam kalium secara oral (slow correction): 40-60 meq dapat menaikkan kadar kalium
sebesar 1-1,5meq/L
5. Penggantian kalium secara intravena dalam bentuk larutan KCl (rapid correction): jika hiperkalemia
berat atau pasien tidak mampu menggunakan kalium per oral. KC1 20 meq dilarutkan dalam 100
cc NaCl isotonik. Pemberian melalui vena besar dengan kecepatan maksimal 10 meq/jam atau
konsentrasi maksimal 30-40 meq/L karena dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam
hidup. Jika melaui vena perifer, KCl maksimal 60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 cc
dengan kecepatan dikurangi untuk mencegah iritasi pembuluh darah.

201
Dosis untuk berat badan < 40 kg: 0,25 meq/L x kg x jam x 2 jam
> 40 kg: 10-20 meq/L x 2 jam
6. Pada kasus aritmia berat atau kelumpuhan otot pernapasan : KCl diberikan dengan kecepatan
40-100 meq/L.
7. Pasien yang menerima 10-20 meq/jam harus pada pemantauan jantung secara kontinu. Jika
terdapat gelombang T datar menunjukkan adanya hiperkalemia dan memerlukan perhatian
segera.

B. HIPERKALEMIA

Pendekatan terapi hiperkalemia:5


 Menyingkirkan adanya pseudohyperkalemia, misalnya pemberian kalium intravena, hemolisis
selama venipucture, peningkatan sel darah putih atau trombosit
 Menyingkirkan adanya transcellular shifts
 Menetukan LFG. Jika LFG normal pikirkan menurunnya kadar natrium di distal dan menurunnya
aliran urin

Tatalaksana Hiperkalemia4
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Pembatasan asupan kalium: menghindari makanan yang mengandung kalium tinggi
3. Pengecekan ulang kadar kalium 1-2 jam setelah terapi untuk menilai keefektifan terapi, dan
diulang secara rutin sesuai kadar kalium awal dan gejala kilnis.
4. Subakut: slow correction
 Kation yang mengubah resin (sodium polystyrene sulfonate/ Kayexalate): diberikan secara
oral, selang nasogastrik, atau melalui retensi enema untuk menukar natrium dengan kalium
di usus. Dosis 20-60 gram per oral dengan 100-200 ml sorbitol atau 40 gram Kayexalate
dengan 40 gram sorbitol dalam 100 ml air sebagai enema.
5. Akut: rapid correction
 Kalsium glukonat intravena: untuk menghilangkan efek neuromuskular dan jantung akibat
hiperkalemia
 Glukosa dan insulin intravena: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek
penurunan kalium kira-kira 6 jam. Dosis: insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus
intravena, lalu diikuti dengan infuse Dekstrosa 5 % untuk mencegah hipoglikemia.
 Natrium bikarbonat: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek penurunan
kalium kira-kira 1-2 jam.
6. Pemberian α2 agonis (albuterol): untuk memindahkan kalium ke dalam sel. Dosis 10-20 mg
secara inhalasi maupun tetesan intravena.
7. Dialisis: untuk membuang kalium dari tubuh paling efektif

KOMPLIKASI
Aritmia jantung, henti jantung6

PROGNOSIS

202
Pada hipokalemia jika diterapi dengan adekuat akan sembuh. Resiko peningkatan kadar kalium
mencapai 7-8 meq/L menjadi fibrilasi ventrikel yaitu 5 %, sedangkan jika kadar kalium 10 meq/L
resiko menjadi fibrilasi ventrikel meningkat 90 %. Pada kasus berat resiko mortalitas sebesar 67 %.6

GANGGUAN KALSIUM

PENGERTIAN
Kadar kalsium ion normal adalah 4.75-5.2 mg/dl atau 1-1.3 mmol/L. Nilai normal kalsium total serum
: 8.2-10.2 mg/dl. Hipokalsemia jika kadar kalsium total plasma <8.2 mg/dl. Gejala hipokalsemia belum
timbul bila kadar kalsium ion >3.2 mg/dl atau>0.8 mmol/L atau kalsium total sebesar>8-8.5 mg/dl.
Gejala hipokalsemia akan timbul jika kadar kalsium ion < 2.8 mg/dl atau < 0.7 mmol/L atau kadar
kalsium total ≤ 7 mg/dl. Hiperkalsemia jika kadar kalsium total plasma >10.2 mg/dl.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

A. HIPOKALSEMIA

Anamnesis
Pasien dengan hipokalsemia dapat asimptomatik jika penurunan kadar kalsium plasma ringan
dan sudah kronik. Sedangkan jika penurunan kalsium sedang-berat dapat menimbulkan keluhan-
keluhan seperti kebas, kram otot, parestesia umumnya di jari kaki, jari-jari tangan, dan regio
circumoral, peningkatkan reflex, yang disebabkan karena meningkatnya iritabilitas neuromuskular.
Jika sudah berat dapat terjadi tetani dan kejang. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan faKtor risiko
seperti pada tabel 2.1

Pemeriksaan Fisik1,2
 Tanda Trousseau's: spasme karpal karena iskemia. Cara : dengan mengembangkan manset pada
lengan atas 20 mmHg lebih tinggi dari tekanan sistolik selama 3 menit.
 Tanda Chvostek's: kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena iritasi saraf fasial
dengan memperkusi wajah tepat di depan telinga. Cara: mengetukkan ringan saraf wajah di
daerah anterior telinga
 Hipokalsemia berat: spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.

Pemeriksaan Penunjang1,2
 Kadar kalsium serum total mungkin< 8.5 mg/dl
 Kadar albumin serum: penurunan kadar albumin serum 1.0 d/dl terjadi penurunan 0.8-1.0 mg/dl
kadar kalsium total
 Kadar fosfor, magnesium serum
 Kadar hormone paratiroid (PTH)
 EKG : interval QT memanjang, Torsades de pointes

203
B. HIPERKALSEMIA

Anamnesis
Hiperkalsemia ringan (kadar kalsium 11-11,5 mg/dl) umumnya asimptomatik dan terdeteksi saat
pemeriksaan kalsium rutin. Beberapa pasien mengeluhkan keluhan neuropsikiatrik seperti kesulitan
konsentrasi, perubahan kepribadian, atau depresi. Keluhan lain dapat berupa ulkus peptikum atau
nefrolitiasis. Hiperkalsemia berat (kadar ka!sium >12-13 mg/dl) jika terjadi secara mendadak atau
akut, dapat menyebabkan letargi, stupor, koma. Keluhan lain seperti mual, nafsu makan menurun,
konstipasi, pankreatitis, poliuria, polidipsi perlu ditanyakan. Keluhan nyeri pada tulang atau adanya
fraktur patologis dapat mengarahkan ke hiperparatiroidisme kronik. Pada anamnesis juga perlu
ditanyakan faktor risiko seperti pada tabel 2.1,4

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik untuk hiperkalsemia, penemuan dapat
tergantung etiologi penyebab. Pada pasien dengan keganasan dapat ditemukan adanya perubahan
kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan dapat ditemukan hipertensi dan
bradikardia, akan tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan sendi ditemukan nyeri pada palpasi, kelemahan
otot, hiperrefleksia, fasikulasi otot lidah dapatdi temukan. Tanda-tanda dehidrasi juga perlu
diperhatikan. Tingkat kesadaran pasien mungkin menurun menjadi letargi atau stupor. Jika kadar
kalsium 13-15 mg/dl dikenal dengan istilah krisis hiperkalsemia yang ditandai dengan poliuria,
dehidrasi, dan perubahan status mental.4

Pemeriksaan Penunjang1 4
 Kadar kalsium serum total : > 10.5 mg/dl
 Kalsium terionisasi :> 5.5 mg/dl
 Hormon paratiroid
 Fungsi ginjal: kreatinin dan ureum
 Rontgen tulang : osteoporosis.
 EKG : pemendekan segmen ST dan interval QT, bradikardia, blok AV.

DIAGNOSIS BANDING2
 Hipokalsemia :Hydrofluoric Acid Burns, hiperkalemia, hipermagnesemia, hipernatremia,
Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma, hipoparatiroidisme, hiperfosfatemia.
 Hiperkalsemia: hiperparatiroidisme, keganasan, sarkoidosis, intoksikasi obat seperti litium,
teofilin

TATALAKSANA

A. HIPOKALSEMIA1
1. Pengobatan penyakit dasar
2. Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit, progresifitas, dan
komplikasi yang timbul.
3. Peningkatan asupan diet kalsium: 1000-1500 mg/hari pada orang dewasa.
4. Antasida hidroksi alumunium: mengurangi kadar fosfor sebelum mengatasi hipokalsemia

204
5. Hipokalsemia akut (simptomatik) :
 Kalsium glukonat 10 % 10 ml ( 90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan 50 ml Dekstrosa
5 % atau 0.9 Na Cl secara intravena selama 5 menit.
 Dilanjutkan pemberian secara infus 10 ampul kalsium glukonat (atau 900 mg kalsium
dalam 1 liter Dekstrosa 5 % atau 0.9 NaCl) dalam 24 jam.
 Jika ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal larutan magnesium sulfat 10 %
sebesar 2 gram selama 10 menit, dilanjutkan dengan 1 gram dalam 100 cc cairan per 1
jam .
6. Hipokalsemia kronik:
 Tujuan: meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal, menghindari terjadinya
hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal.
 Suplemen kalsium 1.000-1.500 mg/hari dalam dosis terbagi. Kalsium karbonat; 250 mg
kalsium elemental dalam 650 mg tablet.
 Vitamin D2 atau D3 25.000-100.000 U/hari
 Kalsitriol [1,25 (OH)2D] 0.23-2 gram/hari
7. Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gram/dl (dari nilai normal 4.1
gram/dl), koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8 mg/ dl dari kadar kalsium
total:

Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium hasil pemeriksaan (mg/dl) + [ 0.8 x (4- albumin (gr/dl)]

B. HIPERKALSEMIA1
1. Pengobatan penyebab dasar
2. Diet rendah kalsium
3. Hiperkalsemia ringan (asimtomatik): tidak memerlukan koreksi cepat
4. Hiperkalsemia yang bergejala (simtomatik)
 Hidrasi karena hiperkalsemia berhubungan dengan dehidrasi: 4-8 liter cairan isotonic
secara intravena dalam 24 jam pertama, dengan target urin 100- 150 ml per jam. Jika ada
penyakit komorbid (gagal jantung kongestif) dapat ditambahkan loop diuretic untuk
meningkatkan ekskresi natrium dan kalsium; setelah status volume menjadi normal.
 Penghambat resorbsi tulang: pada keganasan atau hiperparatiroidisme berat

Tabel 3. Obat Penghambat Resorbsi Tulang1,2


Nama obat Dosis Onset
Kalsitonin 4 lU/kg intramuskular/subkutan setiap 12 jam -
Asamzoledronik 4 mg IV dalam 30 menit
Pamidronat 60-90 mg IV dalam 2-4 jam 1-3 hari
Etidronat 7.5 mg/kg/hari dalam 3-7 hari

Pemberian bifosfonat harus memperhatikan fungsi ginjal.


 Untuk mencegah kekambuhan dapat diberikan bifosfonat secara infus IV
 Glukokortikoid : pada kasus hiperkalsemia karena peningkatan 1,25(OH)2D. Hidrokortison 100-

205
300 mg/hari secara IV atau prednison 40-60 mg/hari per oral selama 3-7 hari.
 Obat yang menurunkan 1,25 (OH)2D : ketokonazol, klorokuin, hidroksiklorokuin
 Dialisis

KOMPLIKASI
Hipokalsemia dapat terjadi kejang dan laringospasme. Hiperkalsemia dapat meningkatkan resiko
terjadinya batu ginjal, dehidrasi, gagal ginjal, resiko patah tulang, dan osteoporosis.1,4,5

PROGNOSIS
Pada hipokalsemia dapat meninggalkan kelainan neurologis seperti kejang dan tetani. Kematian
sangat jarang karena hipokalsemia. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan keganasan mempunyai
prognosis lebih buruk, harapan hidup dalam 1 tahun sekitar 10-30%. Dalam suatu studi, 50 % pasien
meninggal dalam 1 bulan setelah dimulainya terapi, dan 75% meninggal dalam 3 bulan.
Hiperkalsemia yang berhubungan dengan hiperparatiroidisme mempunyai prognosis baik jika
diterapi.3-5

HIPONATREMIA
PENGERTIAN
Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium (Na) plasma < 135 mEq/L. Hiponatremia akut
adalah hiponatremia yang terjadi < 48 jam dan membutuhkan penanganan segera, sedangkan
hiponatremia kronik adalah hiponatremia yang berlangsung > 48 jam. Gejala akan muncul jika kadar
natirum <125 mEq/L. Hiponatremia dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan osmolalitas plasma:1
 Isotonik hiponatremia: osmolalitas plasma normal
 Hipertonik hiponatremia: osmolalitas plasma meningkat. Cairan berpindah dari intrasel ke
ekstrasel sebagai respon adanya kosentrasi terlarut yang meningkat (glukosa, manitol)
 Hipotonik hiponatremia: osmolalitas plasma menurun. Berdasarkan perjalanan penyakit dan
status volume intravaskular yaitu hipovolemia hiponatremia, euvolemik hiponatremia, dan
hipervolemia hiponatremia. Pembagian klasifikasi dari hiponatremia yaitu:

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan dalam mendiagnosis hiponatremia yaitu menentukan osmolalitas plasma. Jika
hipotonik hiponatremia tentukan status volume (tanda vital, ortostatik, JVP (Jugular Venous Pressure),
turgor kulit, membrane mukosa, edema perifer, BUN, kreatinin, asam urat3

Anamnesis
Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang dikeluhkan berhubungan dengan disfungsi
susunan saraf pusat seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan kepribadian, kelemahan, keram
otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma. Pada kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi
kehilangan kestabilan sehingga beresiko jatuh. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit seperti
yang tercantum dalam tabel 1.1,2

Pemeriksaan Fisik

206
Perubahan kesadaran atau perubahan kepribadian, hipotermia, reflex menurun, pola
pernapasan Cheyne-Stokes, pseudobulbar palsy, kulit dingin dan basah, tremor, dan disertai gangguan
saraf sensorik. 1,2

Pemeriksaan Penunjang1
 Natrium serum: < 137 mEq/L
 Osmolalitas serum: menurun kecuali pada kasus pseudohiponatremia, azotemia, intoksikasi
etanol, metanol.
 Berat jenis urin
 Natrium urin
 Fungsi ginjal: ureum, kreatinin, asam urat
 Glukosa darah (setiap peningkatan glukosa 100mg/dl menurunkan natrium 2,4 mEq/L), profile
lemak
 Fungsi tiroid
 Radiologi: mencari apakah ada efek hiponatremia pada paru atau susunan saraf pusat

DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan klasifikasi hipotonik hiponatremia (tabel 1)

Algoritme 1. Pendekatan Hiponatremia 1,2

207
TATALAKSANA2 3
1. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
 Cepat lambatnya onset penyakit
 Derajat, durasi, dan gejala dari hiponatremia
 Ada atau tidaknya faktor resiko yang dapat meningkatkan resiko komplikasi neurologis
2. Menyingkirkan diagnosis pseudohiponatremia atau hipertonik hiponatremia (hiperglikemia)
3. Mengatasi penyakit dasarnya
4. Hiponatremia asimptomatik: menaikkan natrium dengan kecepatan ≤ 0.5 mEq/L/ jam
5. Hiponatremia akut simptomatik:
 Tujuan: meningkatkan kadar natrium 1.5-2 mEq/L/jam sampai gejala berkurang atau sampai
konsentrasi natrium serum > 118 mEq/L dan mengobati penyakit dasarnya
 Peningkatan kadar natrium harus < 12 mEq/L dalam 24 jam pertama dan < 18 mEq/L dalam
48 jam pertama untuk menghindari demielinisasi osmotik.
 Cairan saline hipertonik 3 % diberikan secara infuse intravena dengan kecepatan 1-2
ml/kg/jam dan ditambah loop diuretic
 Jika ada gejala neurologik berat: kecepatan dapat dinaikkan menjadi 4-6 ml/ kg/jam.
 Jika gejala sudah menghilang dan kadar natrium > 118 Eq/L, pemberian cairan diturunkan
menjadi maksimal 8 mEq/L dalam 24 jam sampai target kadar natrium 125 mEq/L.
 Pemantauan ketat natrium serum dan elektrolit sampai terjadi kenaikan kadar natrium dan
gejala meghilang.
6. Hiponatremia kronik simptomatik
 Jika tidak diketahui durasi atau onset gejala, koreksi dilakukan dengan hati-hati karena otak
sudah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah
 Jika gejala berat: tatalaksana seperti kasus hipernatremia akut. Peningkatan natrium tidak
melebihi 10-12 mEq/L pada 24 jam pertama, dan < 6 mEq/L/ hari pada hari berikutnya.
 Jika gejala ringan-sedang: koreksi dilakukan secara perlahan. 0.5 mEq/L/jam, sampai target
tercapai terapi tetap diteruskan. Maksimal pemberian 10 mEq/L dalam 24 jam
7. Hiponatremia kronik asimptomatik
 Tujuan terapi: mencegah penurunan natrium serum dan menjaga kadar natrium mendekati
normal.
8. Hipervolemia hiponatremia: restriksi cairan 1000-1500 ml/ hari dan restriksi natrium. CHF:
furosemid dan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor.
9. Euvolemik hiponatremia (SIADH): restriksi cairan 1000-1500 ml/hari.
10. Hipovolemia hiponatremia: berikan normal saline (NS) atau D5NS
Rumus untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan:3

Na infus – Na serum
TBW + 1

TBW (total-body water) : berat badan (kg) x konstanta


Konstanta: 0.6 (laki-laki), 0.5 (perempuan), 0.5 (laki-laki usia lanjut), 0.45 (perempuan usia lanjut)

KOMPLIKASI

208
Kejang, herniasi batang otak, kerusakan otak permanen, koma disebabkan karena edema
serebral.1,2

PROGNOSIS
Wanita yang belum menopause, anak prepubertas, dan pasien dengan hipoksia serebral lebih besar
kemungkinan berkembang menjadi ensefalopati dan sequelae gejala neurologic yang berat.1-2

INFEKSI SALURAN KEMIH

PENGERTIAN
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan bakteri)
dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan
jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila ditemukan pada biakan urin
pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan
yang steril atau tanpa kontaminasi).1 Konsensus 2010 Infectious Disecise Society of America (IDSA)
memberikan batasan hasil positif kultur urine pada wanita adalah 103-104 organisme/ml urine yang
diambil secara midstream,2 Sebanyak 20-40% wanita penderita ISK dengan gejala, memiliki hasil kultur
bakteri 102-104/ml urine.3

ISK sederhana/tak Berkomplikasi


ISK yang terjadi tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal

ISK Berkomplikasi
ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis4
ISK bawah: frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria
Anamnesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.

Pemeriksaan Fisik4
Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam

Pemeriksaan Penunjang4
 DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.
 Kultur urin (+) : bakteriuria >105 /ml urin
 Foto BNO-IVP bila perlu
 USG ginjal bila perlu

209
DIAGNOSIS BANDING
 Keganasan kandung kemih
 Nonbacterial cystitis
 Interstitial cystitis
 Pelvic inflammatory disease
 Pyeolonephritis akut
 Urethritis
 Vaginitis

TATALAKSANA1
Nonfarmakologis
 Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik
 Menjaga higiene genitalia eksterna
Farmakologis
 Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada,
pemberian antimikrobat disesuaikan

210
SINDROM NEFROTIK

PENGERTIAN

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam disertai hipoalbuminemia <3,5 g/L, edema,
hiperkolesterolemia dan lipiduria.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat, hipoalbuminemia,


hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik dapat bermanifestasi dengan spektrum keluhan
yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang paling sering yaitu bengkak.

Anamnesis1

Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular yang tinggi
seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area dengan tekanan hidrostatik
intravaskular yang rendah seperti periorbita dan skrotum. Bila bengkak hebat dan generalisata dapat
bermanifestasi sebagai edema anasarka. Keluhan buang air kecil seperti berbusa. Gejala lain dapat
muncul sebagai manifestasi penyakit penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus, nefritis lupus
riwayat obat-obatan, riwayat keganasan atau amyloidosis.

Pemeriksaan Fisik1

Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites, xanthelasma
bisa didapatkan akibat hyperlipidemia.

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium : Proteinuria masif >3,5 gram/24 jam, hiperlipidemia, hipoalbuminemia (3,5


gram/dL), lipiduria, dan hiperkoagulabilitas.
 Biopsi ginjal : dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis

Tabel 1. Pola Klinis Sindroma Nefrotik2

Etiologi Proteinuria Hematuria Kerusakan Vaskular

Minimal Change Disease ++++ - -

211
Fokal segmental glomerulonephritis +++/++++ + -

Membranous glomerulonephritis ++++ + -

Nefropati diabetik ++/++++ -/+ -

AL dan AA amiloidosis +++/++++ + +/++

Light-chain deposition disease +++ + -

Fibrillary-immunotactoid disease +++/++++ + +

Fabry’s disease + + -

DIAGNOSIS BANDING

Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN.1

TATA LAKSANA

Nonfarmakologis1

 Istirahat
 Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gr/KgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gr/KgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24 jam.
 Diet rendah kolesterol <600 mg/hari.
 Berhenti merokok
 Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema.

Farmakologis1

 Pengobatan edema : diuretik loop.


 Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/ atau antagonis reseptor Angiotensin II
(ARB).
 Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin.
 Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat ACE dan ARB
sebagai pilihan obat utama.
 Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)

KOMPLIKASI

Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, dan tromboemboli.1

212
PROGNOSIS

Hanya sekitar 20% pasien menderita fokal glomerulosklerosis mengalami remisi dari
proteinuria. Terdapat 10% penderita yang membaik tapi masih mengalami proteinuria. Stadium
akhir penyakit ginjal berkembang 25-30% pada pasien fokal segmental glomerulosklerosis dalam
waktu 5 tahun, dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis pasien dengan perubahan nefropati minimal
memiliki risiko kambuh. Pada mereka yang mempunyai fungsi ginjal yang baik terdapat prognosis
yang baik, dengan sedikit risiko terjadi gagal ginjal. Respon sindroma nefrotik sekunder, mortalitas
dan morbiditas tergantung pada penyakit primernya. Pada nefropati, diabetik tingkat proteinuria
berhubungan langsung dengan mortalitas. Pada amiloidosis primer, prognosis buruk, meskipun
dengan kemoterapi. Pada amiloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan
amiloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikuti.3,4

PENYAKIT GINJAL KRONIS


PENGERTIAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang bersifat
ireversibel. Menurut guideline The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (NKF-KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan karakteristik
adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria,
kelainan histologis ataupun radiologis), dan/atau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi
<60 ml/menit/1,73 m2 selama sedikitnya 3 bulan.

Tabel 1. Stadium PGK dan Rencana Tindakan Berdasarkan Klinis2

Derajat Deskripsi LFG Rencana

(ml/menit/1,73
m2)

G1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥ 90 Diagnosis, tata laksana penyakit


normal atau meningkat penyerta dan komorbid, ↓ risiko
penyakit kardiovaskular

G2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Estimasi progresifitas


penurunan LFG ringan

G3a Penurunan LFG sedang 45-59 Evaluasi dan tata laksana


komplikasi

G3b Penurunan LFG sedang- 30-44 Evaluasi dan tata laksana


berat komplikasi

213
G4 Penurunan LFG berat 15-29 Persiapan dialisis/transplantasi
ginjal

G5 Gagal ginjal kronik (end <15 Dialisis/transplantasi ginjal


stage renal disease (ESRD)

Penilaian awal/skrIning pada dewasa dengan risiko tinggi PGK, pemeriksaan sampel albumin
urin sebaiknya menggunakan albumin-spesific dipstick atau rasio albumin-kreatinin. Sedangkan
untuk monitoring proteinuria pada dewasa dengan PGK, rasio protein-kreatinin pada sampel urin
sebaiknya diperiksa dengan menggunakan rasio albumin-kreatinin dan rasio protein total-kreatinin,
apabila rasio albumin-kreatinin tinggi (>500 mg – 1000 mg/g).2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3,4

 Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hiperurisemia, lupus.


 Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsia, abortus spontan).
 Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, anti mikroba, kemoterapi, antiretroviral, proton
pump inhibitor, paparan zat kontras.
 Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan berkurang, berat badan berkurang, mual,
muntah, nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang
sampai koma.
 Riwayat penyakit ginjal pada keluarga , juga evaluasi manifestasi sistem organ seperti auditorik,
visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (sindrom Alport atau Fabry,
sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari lingkungan (logam berat).

Pemeriksaan Fisik3

 Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduskopi,
pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV).
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati.
 Gangguan endokrin-metabolik : amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual.
 Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic fetor), disgeusia
(metalic taste), konstipasi.
 Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot, restless leg
syndrome, miopati, kejang sampai koma.
 Gangguan dermatologis : palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost, nephrogenic
fibrosing dermopathy.

Pemeriksaan Penunjang3,4

214
 Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-Gault,
peningkatan serum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TKK) ukur, asam urat, elektrolit,
gula darah, profil lipif, serum ferritin, SI, TIBC, serologis hepatitis, hormon PTH, albumin,
globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, urinalisis.
 Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT Scan, ekokardiografi.
 Biopsi ginjal.

Rumus Kocroft-Gault3

Creatinine Clearence atau LFG = [(140-umur) x berat badan] / (72xSCr) ml/menit/ 1,73 m2
(Keterangan : pada wanita hasil LFG x 0,85)

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit Ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease

TATA LAKSANA

Nonfarmakologis1,3,4

 Nutrisi : pada pasien non-dialisis dengan LFG<20 ml/menit, evaluasi status nutrisi dari 1) serum
albumin dan/ atau 2) berat badan aktual tanpa edema.

215
Tabel 4. Anjuran Nutrisi Pada PGK Berdasarkan LFG2,4

LFG Asupan Protein Asupan Kalori Fosfat

(ml/menit/1,73 m2) (g/KgBB ideal/hari) (kkal/KgBB (g/KgBB/hari)


ideal/hari)

> 60 0,75 Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8 : termasuk 0,35 30-35 ≤ 10


g/KgBB/hari protein nilai biologi
tinggi

5-25 0,6-0,8 : termasuk 0,35 30-35 ≤ 10


g/KgBB/hari protein nilai biologi
tinggi atau tambahan 0,3 gr asam
amino esensial atau asam keton

< 60 (sindrom 0,8 (+1 g protein/g proteinuria 30-35 ≤ 10


nefrotik) atau 0,3 gr/KgBB tambahan asam
amino esensial atau asam keton

 Protein :
- Pasien non dialisis 0,6 – 0,75 g/KgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan

toleransi pasien.

- Pasien hemodialisis 1-1,2 g/KgBB ideal/hari.

- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gr/KgBB/hari.,Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total
dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.

 Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total.


 Natrium : <2 gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari).
 Kalium 40-70 mEq/hari
 Fosfor : 5-10 mg/KgBB/hari, pada pasien HD : 17 mg/hari.
 Kalsium : 1400-1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari).
 Besi : 10-18 mg/hari.
 Magnesium: 200-300 mg/hari.
 Asam folat pasien HD: 5 mg.
 Air: Jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss).

216
Farmakologis1,3,4

 Kontrol tekanan darah:


- Penghambat ACE atau ARB: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik.
 Pada pasien DM, kontrol gula darah: hindari pemakaian metfromin dan obat sulfonilurea dengan
masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM Tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM
Tipe 2 adalah 6%.
 Koreksi anemia dengan target Hb 10-12%.
 Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat.
 Kontrol osteodistrofi renal: Kalsitriol.
 Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/L.
 Koreksi hiperkalemia.
 Koreksi dislpidemia dengan target LDL <100 mg/dL, dianjurkan golongan statin.
 Terapi pengganti/suportif ginjal.

KOMPLIKASI

Kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat, asidosis


metabolik, osteodistrofi renal, anemia.1,3

PROGNOSIS

Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk (kurang dari 3
bulan sebelum onset terapi pengganti ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas
setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan
tingkat primer bersama nefrologis. Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam
memberikan edukasi pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis
peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk hemodialisis. Bagi kandidat
transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai. 1

217
HIPERTENSI

PENGERTIAN

Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD) sama atau melebihi 140 mmHg sistolik
dan/atau sama atau lebih dari 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang minum obat
anti hipertensi.1,2

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee VII (2007) 3

Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Pre-hipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89

Hipertensi stage 1 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 dan < 90

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Penilaian awal klinis hipertensi

Penilain awal klinis hipertensi sebaiknya meliputi tiga hal yaitu klasifikasi hipertensi, menilai risiko
kardiovaskular pasien, dan mendeteksi etiologi sekunder hipertensi yang memerlukan penanganan
lebih lanjut. Penilaian awal tersebut diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah
rutin, spesimen urin pagi, dan EKG 12-lead saat istirahat. Pada pasien tertentu, pemantauan TD
berjalan dan ekokardiografi dapat memberikan informasi tambahan mengenai beban sistem
kardiovaskular berdasarkan urutan waktu.2

Indikasi pemantauan TD berjalan (ambulatory blood pressure monitoring)4

1. Kecurigaan hipertensi white coat


2. Kecurigaan white coat aggravation pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol secara
medis
3. Kecurigaan hipertensi nokturnal atau hipertensi terselubung (masked hypertension)
4. Hipertensi pada kehamilan
5. Kecurigaan hipertensi ortostatik atau kegagalan otonom

218
Anamnesis1

1. Durasi hipertensi
2. Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada
3. Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga
4. Kebiasaan makan dan psikososial
5. Faktor risiko lainnya : kebiasaan merokok, perubahan berat badan, dislipidemia, diabetes,
inaktivitas fisik
6. Bukti hipertensi sekunder (tabel 2) : riwayat penyakit ginjal, perubahan penampilan,
kelemahan otot (palpitasi, keringat berlebih, tremor), tidur tidak teratur, mengorok,
somnolen di siang hari, gejala hipo- atau hipertiroidisme, riwayat konsumsi obat yang dapat
menaikkan tekanan darah
7. Bukti kerusakan organ target : riwayat TIA, stroke, buta sementara, penglihatan kabur tiba-
tiba, angina, infark miokard, gagal jantung, disfungsi seksual.

Pemeriksaan fisik1,5

1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-tanda vital


2. Metode auskultasi pengukuran TD :
a. Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk memastikan
keakuratan hasil
b. Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan telah
beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman.
c. Dengan sfigmomanometer, oklusi arteri brakialis dengan pemasangan cuff di lengan
atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi perlahan-lahan, suara pulsasi
aliran darah dapat dideteksi dengan auskultasi dengan stetoskop tipe bell/genta di
atas arteri tepat dibawah cuff
d. Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan
minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan
menggunakan cuff
e. Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5.
f. Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan
pembuluh darah perifer
g. Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan
risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)

Tabel 2. Rekomendasi follow up pengukuran TD pada dewasa tanpa kerusakan organ target3

TD inisial (mmHg) Rekomendasi follow-up

Normal Periksa ulang dalam 2 tahun

Pre-hipertensi Periksa ulang dalam 1 tahun

Hipertensi stage 1 Konfirmasi dalam 2 bulan

Hipertensi stage 2 Evaluasi atau rujuk ke pelayanan kesehatan dalam waktu 1 bulan. Apabila
TD lebih tinggi (misal > 180/110 mmHg), evaluasi dan terapi segera atau
dalam waktu 1 minggu tergantung kondisi klinis dan komplikasi

219
3. Palpasi leher apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid
4. Palpasi pulsasi arteri femoralis, pedis
5. Auskultasi bruit karotis, bruit abdomen
6. Funduskopi
7. Evaluasi gagal jantung dan pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan penunjang

Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah, elektrolit, profil lipid,
foto thoraks, EKG; sesuai penyakit penyerta : asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron,
katekolamin urine, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi.1,2

DIAGNOSIS BANDING

Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan
intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll.

TATALAKSANA3

1. Modifikasi gaya hidup (tabel 4)


2. Pemberian B-bloker pada pasien UAP/NSTEMI atau STEMI harus memperhatikan kondisi
hemodinamik pasien. B-bloker hanya diberikan pada kondisi hemodinamik stabil.6(gambar 1)
3. Pemberian ACE-I atau ARB pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi persisten,
terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung, atau pasien
menderita diabetes dan penyakit ginjal kronik.6
4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi gagal jantung
berat (misal gagal jantung NYHA kelas III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40% dan klinis
terdapat gagal jantung)6
5. Kondisi khusus lain :
a. Obesitas dan sindrom metabolik
Terdapat 3 atau lebih keadaan berikut : lingkar pinggang laki-laki > 102 cm atau
perempuan > 89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa 110
mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, TG tinggi 150 mg/dl, HDL-C < 40 mg/dl
pada laki-laki atau < 50 mg/dl pada perempuan. Modifikasi gaya hidup yang intensif
dengan pilihan terapi utama golongan ACE-I. Pilihan lain adalah ARB, CCB.3
b. Hipertrofi ventrike kiri
i. Tatalaksana agresif termasuk penurunan BB dan restriksi garam
ii. Pilihan terapi : dgn semua kelas antihipertensi
iii. Kontraindikasi : vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil
c. Penyakit arteri perifer : semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain,
dan pemberian aspirin3
d. Lanjut usia (≥ 65 tahun)7
i. Identifikasi etiologi lain yang bersifat ireversibel
ii. Evaluasi kerusakan organ target
iii. Evaluasi penyakit komorbid lain yang mempengaruhi prognosis
iv. Identifikasi hambatan dalam pengobatan
v. Terapi farmakologis: diuretik thiazid(inisial), CCB
e. Kehamilan3

220
i. Pilihan terapi : metildopa, B-bloker, dan vasodilator
ii. Kontraindikasi : ACE-I dan ARB.

Tabel 3. Modifikasi gaya hidup pada penderita hipertensi1

Turunkan berat badan Target indeks massa tubuh < 25 kg/m2

Diet rendah garam < 6 g NaCl/hari

Adaptasi menu diet DASH(dietary approaches to Perbanyak buah, sayur, produk susu rendah
stop hypertension) lemak jenuh

Membatasi konsumsi alkohol Bagi peminum alkohol, konsumsi < 2 gelas/hari


pada pria dan < 1 gelas/hari pada wanita

Aerobik rutin, seperti jalan cepat selama 30


Aktivitas fisik menit/hari

KOMPLIKASI

Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah,
retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung. 1.2

PROGNOSIS

Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai. Terapi
kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan darah agar tidak
merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus diminum untuk mengontrol
TD dan mencegah komplikasi. Satu studi menunjukkan efek ARB dibandingkan ACE-I menurunkan
risiko infark miokard, stroke dan kematian 13% lebih banyak, termasuk 25% penurunan risiko stroke
baik fatal maupun non-fatal.8

Tabel 4. Obat anti hipertensi oral3

Kelas Nama obat Dosis (mg/hari)

Diuretik Hidroklorotiazid 12,5-50

Furosemide 20-80

Spironolakton 25-50

B-bloker Metoprolol 50-100

Bisoprolol 2,5-10

Propanolol 40-160

221
CCB Amlodipin 2,5-10

Nifedipin 30-60

Verapamil 120-360

Diltiazem 120-540

ACE-I Captopril 25-100

Enalapril 5-40

Lisinopril 10-40

ARB Losartan 25-100

Valsartan 80-320

a-bloker Klonidin 0,1-0,8

kombinasi a-bloker dan b-bloker Carvedilol 12,5-50

Labetalol 200-800

vasodilator direk Hidralazin 25-100

minoxidil 2,5-80

Tabel 5. Petunjuk pemilihan obat dengan indikasi khusus3

Indikasi khusus Obat-obat yang direkomendasikan

Diuretik B-bloker ACE-I ARB CCB Antagonis


aldosteron

Gagal jantung v v V v V

Paska infark V V V
miokard

Risiko tinggi peny. V V V V


Koroner

DM v v V v v

CKD v v V v v

Pencegahan stroke v V
berulang

222
KRISIS HIPERTENSI

PENGERTIAN

Istilah krisis hipertensi merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan peningkatan TD
mendadak pada penderita hipertensi, dimana TDS > 180 mmHg dan TDD > 120 mmHg, dengan
komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses (impending) maupun sudah
dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ disini adalah jantung, otak, ginjal, mata, dan
arteri perifer.1 sindroma klinis krisis hipertensi meliputi:2

1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency) : peningkatan tekanan darah yang disertai


kerusakan target organ akut
2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency) : peningkatan tekanan darah tanpa disertai
kerusakan target organ akut progresif.
3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension) : peningkatan tekanan darah yang
berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat.
4. Hipertensi maligna (malignant hypertension) : peningkatan tekanan darah yang berkaitan
dengan edema papil.
Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara hipertensi gawat dan
mendesak, selain tergantung pada penilaian klinis. Hipertensi gawat (hypertensive emergency) selalu
berkaitan dengan kerusakan target organ, tidak dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi
klinisnya berupa peningkatan tekanan darah mendadak sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 120
mmHg dengan adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti
perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark serebri, perdarahan intrakranial, iskemi
miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta, insufisiensi renal,
atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi dan hipertensi maligna sering dipakai pada hipertensi
mendesak.

PENDEKATAN DIAGNOSIS3-5

 Anamnesis : selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya, perlu juga
ditanyakan gejala-gejala kerusakan target orgat seperti ; gangguan penglihatan, edema pada
ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala, mual/muntah, nyeri dada, sesak napas,
kencing sedikit/berbusa, nyeri seperti disayat pada abdomen.
 Pemeriksaan fisik : tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer,
bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan,
funduskopi, dan status neurologis.
 Pemeriksaan penunjang : darah perifer lengkap, panel metabolik, urinalisis, toksikologi urin,
EKG, CT Scan, MRI, foto toraks.

Tabel 1. Karakteristik klinis HE2

223
TD Temuan Status neurologis Temuan Gejala pada Gejala
(mmHg) funduskopi jantung ginjal saluran cerna

Biasanya > Perdarahan, Nyeri kepala, Pulsasi apeks Azotemia, Mual muntah
220/140 eksudat, disorientasi, prominen, proteinuria,
edema papil somnolen, stupor, kardiomegali, oligouria
gangguan CHF
penglihatan

Berikut merupakan evaluasi triase hipertensi emergency dan hipertensi urgency (tabel 2).

Tabel 2. Evaluasi triase pada hipertensi emergency dan hipertensi urgency2

Parameter Hipertensi urgency Hipertensi emergency

Asimtomatik Simtomatik

TDS (mmHg) > 180 / 110 > 180 / 110 Biasanya > 220 / 140

Gejala Nyeri kepala, cemas, Nyeri kepala berat, Napas pendek, nyeri dada,
sering asimptomatik napas pendek nokturia, disartria, lemah,
(shortness of breath) gangguan kesadaran

Pemeriksaan Kerusakan organ target Kerusakan organ target Ensefalopati, edema paru,
(-), temuan klinis (+), temuan klinis insufisiensi renal, gangguan
kardiovaskular (-) kardiovaskular (+). serebrovaskular, iskemik
Stabil jantung

Terapi Observasi 1-3 jam; Observasi 3-6 jam; Pemeriksaan laboratorium;


mulai dan lanjutkan turunkan TD dengan line intravena; dapat dimulai
terapi; naikkan dosis antihipertensi oral terapi parenteral di IGD
agen yang tidak adekuat short-acting

Rencana Follow-up dalam 3-7 Follow up dalam < 72 Rawat dalam ICU; terapi
hari jam inisial untuk mencapai target
TD; pemeriksaan diagnostik
tambahan

DIAGNOSIS BANDING

Penyebab hipertensi emergency3,4

Hipertensi maligna terakselerasi dan papil edema

 Kondisi serebrovaskular : ensefalopati hipertensi, infark otak atertrombotik dengan


hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, dan trauma kepala

224
 Kondisi jantung : diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, IMA, pasca operasi bypass
koroner
 Kondisi ginjal : GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagen-
vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal
 Akibat katekolamin di sirkulasi : krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan
MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian
mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
 Eklampsia
 Kondisi bedah : hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi
pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular
 Luka bakar berat
 Epistaksis berat
 Thrombotic thrombocytopenic purpura

TATALAKSANA

 Hipertensi mendesak dapat diterapi rawat jalan dengan antihipertensi oral; terapi ini
meliputi penurunan TD dalam 24-48 jam. Penurunan TD tidak boleh lebih dari 25% dalam 24
jam pertama.6 terapi lini pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipin oral ataupun
sublingual saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan hipetensi berat dan
iskemik organ.7
 Pada sebagian besar besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan MAP secara
bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit sampai 1 jam). Aturannya adalah
menurunkan arterial pressure yang meningkat sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan
tambahan 15% dalam 3-12 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ,
penurunan dapat dilanjutkan dalam 2-6 jam sampai TD 160/100-110 mmHg selanjutnya
sampai mendekati normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam berikutnya.
Pengecualian untuk aturan ini antara lain pada diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi
dari bekas jahitan vaskular, yang merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi TD
secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena pasien
berisiko untuk perburukan serebral, jantung, dan iskemi ginjal.1,4

Tabel 3. Terapi lini pertama pada HU2,8

Obat Dosis Awitan Lama kerja

Captopril Rekomendasi : 25 mg PO atau SL 15-39 menit; 6-8 jam;

Range dosis : 6,25-50 mg PO 10-20 menit SL 2-6 jam

Dosis maks 50 mg PO

Clonidine Rekomendasi : 0,1-0,2 mg PO, lanjut dengan 15-30menit 2-8 jam


0,05-0,1 mg/jam s/d efek yang di inginkan

Dosis maks : 0,8 mg PO

Labetalol Range dosis : 200-400 mg PO, dapat diulang 1-2 jam 2-12 jam

225
tiap 2-3 jam

Amlodipin Range dosis 2,5-5 mg PO 1-2 jam 12-18 jam

 Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di-set pada TD yang lebih tinggi dari normal.
Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah overperfusi jaringan (peningkatan TIK) pada TD
sangat tinggi, namun juga underperfusion apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada pasien
dengan penyakit jantung koroner, penurunan TD diastolik terlalu cepat di ICU dapat memicu
Iskemik atau infark miokard akut.4
 Terapi antihipertensi parenteral pada HE seperti tercantom pada tabel 4.

Tabel 4. Terapi antihipertensi parenteral pada HE3

Obat Dosis intravena

Nitroprusside Inisial 0,3 µg/kg/menit; biasa 2-4 µg/kg/menit; maks 10 µg/kg/menit


selama 10 menit

Nicardipine Inisial 5 mg/jam; titrasi 2,5 mg/jam tiap interval 5-15 menit; maks 15
mg/jam

Labetalol 2mg/menit s/d 300mg atau 20mg dalam 2 menit, kemudian 40-80 mg pada
interval 10 menit s/d total 300 mg

Esmolol Inisial 80-500 µg/kg dalam 1 menit, kemudian 50-300 µg/kg/menit

Phentolamine 5-15 mg bolus

Nitrogliserine Inisial 5 µg/menit, titrasi 5 µg/menit tiap interval 3-5 menit; apabila tidak
ada respon pada 20 µg/menit, dosis tambahan 10-20 µg/menit dapat
digunakan

Hydralazine 10-50 mg tiap interval 30 menit

Tatalaksana krisis hipertensi pada keadaan khusus

Berikut adalah terapi pilihan krisis hipertensi pada keadaan khusus seperti tercantum pada
tabel 5-7.

226
Tabel 5. Terapi antihipertensi parenteral terpilih bagi HE pada keadaan khusus

Keadaan emergensi Pilihan obat Target TD

Hipertensif ensefalopati Nitroprusside 20-25 % dalam 2-3 jam

Stroke iskemik Nicardipine, 0-25% dalam 6-12 jam


nitroprusside(kontroversial)

Perdarahan subarachnoid Nitroprusside, nimodipin, 20-25 % dalam 2-3 jam


nicardipin

Infark miokard akut, iskemik Nitrogliserin, nitroprussid, Sekunder dari pemulihan


nicardipin iskemik

Edema paru Nitroprusid, nitrogliserin, Memperbaiki gejala 10-15%


labetalol dalam 1-2 jam

Diseksi aorta Nitroprusid + esmolol TDS 110-120 secepatnya

Kegawatan pada ginjal Fenoldopam, nitroprusside, 20-25 % dalam 2-3 jam


labetalol

Katekolamin berlebihan Pentolamin, labetalol Kontrol serangan tiba-tibal 10-


15% dalam 1-2 jam

Preeklampsia/eklampsia dalam Hydralazine, labetalol, TDS < 150 mmHg, TTD 80-100
kehamilan nicardipin mmHg

Tabel 6. Tatalaksana pre-eklampsia dalam kehamilan

Hipertensi ringan Hipertensi sedang Hipertensi berat

Rawat inap Ya Ya Ya

Terapi Tidak Labetalol oral sebagai Labetalol oral sebagai


lini pertama dengan lini pertama dengan
target TD < 150/80-100 target TD < 150/80-100
mmHg mmHg

Pengukuran TD Sedikitnya 4x/hari Sedikitnya 4x/hari > 4x/hari, tergantung


klinis

Pemeriksaan Tidak perlu mengulang pemeriksaan kuantitatif


proteinuria

227
Pemeriksaan darah Monitor fungsi ginjal, Monitor fungsi ginjal, Monitor fungsi ginjal,
elektrolit, hitung darah elektrolit, hitung darah elektrolit, hitung darah
lengkap, transaminase, lengkap, transaminase, lengkap, transaminase,
bilirubin 2x/minggu bilirubin 3x/minggu bilirubin 3x/minggu

Tabel 7. Rekomendasi AHA/ASA 2006 untuk tatalaksana hipertensi pada stroke iskemik akut

Tekanan darah Tatalaksana

Non-kandidat terapi Observasi kecuali ada disfungsi organ target (cth diseksi aorta, IMA, edema
trombolisis : TDS ≤ paru, hipertensif ensefalopati)
220 atau TDD ≤ 120
Tatalaksana gejala lain stroke (nyeri kepala, nyeri, agitasi, mual, muntah)

Tatalaksana komplikasi akut stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan TIK,


kejang atau hipoglikemia

Non-kandidat terapi Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan tiap
trombolisis : TDS > 10 menit (max 300mg) atau nicardipine 5 mg/jam infus dosis awal, titrasi 2,5
220 atau TDD 121- mg/ jam tiap 5 menit s/d 15 mg/ jam sampai target TD yang diinginkan.
140 Target penurunan TD 10-15 %

Non-kandidat terapi Nitroprussid 0,5 g/kgBB/menit infus IV dosis inisial dengan monitoring TD
trombolisis : TDD > kontinu
140
Target penurunan TD 10-15 %

Kandidat terapi Labetalol 10-20mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang 1x atau nitropaste 1-
trobolisis (sebelum 2menit
tatalaksana) TDS >
185 atau TDD > 110

Kandidat terapi  Cek TD tiap 15 menit selama 2 jam  tiap 30 menit selama 6 jam
trombolisis (selama berikutnya  lanjut tiap jam selama 16 jam
/ setelah perawatan)  Sodium nitroprussid 0,5 g/kgBB/mnt infus IV dosis inisial, titrasi sampai
target TD
 Monitor TD  Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan
 TDD 140 tiap 10 menit (max 300mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
 TDS > 230 atau drips 2-8 mg/menit atau nicardipine 5 mg/jam infus dosis awal, titrasi 2,5
diastolik 121-140 mg/ jam tiap 5 menit s/d 15 mg/ jam sampai target TD yang diinginkan.
 TDS 180-230 atau Apabila TD tidak dapat terkontrol dengan labetalol, pertimbangkan
TDD 121-140 sodium nitroprussid
 TDS 180-230 atau  Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan
TDD 105-120 tiap 10 menit (max 300mg) atau diberikan dosis inisial, kemudian mulai
drips 2-8 mg/menit

228
DIVISI PULMONOLOGI

229
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

PENGERTIAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu kondisi ketika paru
mengalami jejas berat yang tersebar, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk mengambil
oksigen. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dan ketidakmampuan untuk mengambil
oksigen pada tingkat normal merupakan gejala ARDS. Jejas paru akut (acute lung
injury/ALI) merupakan istilah baru yang saat ini digunakan, yang meliputi ARDS dan juga
jejas paru yang lebih ringan. Penyakit yang dapat menyebabkan ARDS banyak sekali, dan
dapt merusak organs elain paru, namun jejas paru biasanya mendominasi gambaran klinis.
Gangguan klinis yang umumnya berkaitan dengan ARDS dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan dengan ARDS


Jejas paru direk Jejas paru indirek
Pneumonia Sepsis
Aspirasi cairan lambung Trauma berat: fraktur multipel, flail chest , trauma
kapitis, luka bakar
Kontusi paru Transfusi multipel
Hampir tenggelam Overdosis obat
Jejas inhalasi toksin Pankreatitis
Pasca bypass kardiopulmonar

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Identifikasi penyakit yang mendasari: sepsis, pneumonia, aspirasi isi lambung,
pankreatitis, transfusi darah, atau trauma berat.

Pemeriksaan Fisik
 Demam, takipneu, takikardia, ronki difus

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: darah perifer lengkap, analisa gas darah, elektrolit, plasma brain
natriuretic peptide (BNP)
 EKG, ekokardiografi

230
 Radiologis: foto toraks menunjukkan infiltrat bilateral yang konsisten dengan edema
paru, CT scan tidak rutin dilakukan
Kriteria diagnosis ALI dan ARDS dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan degan ARDS


Oksigenasi Onset Foto toraks Absennya hipertensi atrium kiri
ALI: PaO2/FIO2 ≤ 300 Akut Infiltrat alveolar atau PCWP ≤ 18 mmHg atau tidak adanya
mmHg interstitial bilateral bukti klinis peningkatan tekanan atrium kiri
ARDS: PaO2/FIO2 ≤ 200
mmHg

Pendekatan Diagnosis
 Pendekatan umum - ALI/ARDS merupakan suatu diagnosis eksklusi; sehingga sebaiknya
penegakkan diagnosis dilakukan setelah penyebab infiltrat bilateral akut, hipoksemia
berat, dan distres pernapasan lain telah disingkirkan.
 Edema paru kardiogenik adalah suatu penyakit yang harus selalu disingkirkan, karena
sering terjadi dan seringkali sulit dibedakan secara klinis. Setelah edema paru
kardiogenik disingkirkan, pertimbangan lainnya termasuk pneumonia, perdarahan
alveolar difus, pneumonia eosinofilik idiopatik akut, cryptogenic organizing pneumonia
(COP), dan kanker progresif. Untuk menyingkirkan diagnosis edema paru
kardiogenik – Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu plasma BNP,
eokardiografi, dan kateterisasi jantung kanan.
 Menyingkirkan penyebab gagal napas lainnya – Apabila penyakit tersebut tidak bisa
disingkirkan berdasarkan gambaran klinis dan tanda dan ejala yang menyertai,
pemeriksaan diagnostik tambahan (mis. bronkoskopi) sebaiknya dilakukan. Biopsi paru
sebaiknya dilakukan pada beberapa pasien dengan etiologi gagal napas akut yang masih
belum pasti setelah bronkoskopi nondiagnostik dan pada pasien yang memiliki
kemungkinan diagnosis: perdarahan alveolar difus, COP, metastasis kanker, vaskulitis,
atau penyakit difus yang tidak terdiagnosis.
 Diagnosis akhir – ALI/ARDS ditegakkan setelah semua diagnosis banding disingkirkan.

DIAGNSOSIS BANDING
Edema paru kardiogenik, pneumonia difus, perdarahan alveolar, penyakit paru
interstitial akut (mis. penumonitis interstitial akut), jejas imunologis akut (mis.pneumonitis
hipersensitivitas), jejas toksin (mis. pneumonitis radiasi), dan edema paru neurogenik.

231
TATALAKSANA
 Prinsip umum: (1) identifikasi dan tatalaksana penyakit primer dan kelainan bedah (mis.
sepsis aspirasi, trauma); (2) meminimalisir tindakan dan komplikasinya; (3) profilkasis
terhadap tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna, aspirasi, sedasi, berlebihan, dan
infeksi kateter vena sentral; (4) identifikasi infeksi nosokomial; dan (5) nutrisi adekuat.
 Dukungan ventilasi mekanik: tidal volume rendah, kurangi tekanan pengisisan atrium
kiri.
 Kebutuhan cairan: restriksi cairan dan diuretik digunakan untuk mengurangi tekanan
pengisian atrium kiri, monitor tanda hipotensi dan hipoperfusi organ seperti ginjal.
 Glukokortikoid: beberapa studi menunjukkan adanya penurunan mortalitas dan
perbaikan prognosis pada pemberian kortikosteroid dosis rendah.

KOMPLIKASI
Fibrosis paru, pneumotoraks, emboli paru, infeksi akibat pemasangan ventilator.

PROGNOSIS
Mortalitas diperkirakan 26-44 %. Pasien usia >75 tahun memiliki mortalitas lebih
tinggi (~60%) dibandingkan dengan <45 tahun (~20%).

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik
 RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi

232
BRONKIEKTASIS

PENGERTIAN
Dilatasi jalan napas yang ireversibel dan melibatkan paru-paru lokal atau difus, dengan
gambaran pelebaran alveoli dapat berupa silindris atau tubular, varicose, atau kistik. Etiologi
bronkiektasis pada banyak kasus tidak diketahui, kemungkinan penyebabnya dapat dilihat di
tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Bronkiektasis
Keterlibatan Lokasi
Etiologi Penanganan
paruparu tersering
Fokal Obstruksi lapangan Rontgen toraks dan/atau CT
● Intrinsik: tumor di dalam jalan napas, tengah scan toraks, bronkoskopi
aspirasi benda asing, stenosis/jaringan paru
parut pada jalan napas, atresi bronkus
akibat perkembangan tidak sempurna
(kongenital)
● Ekstrinsik: limfadenopati, tumor
parenkimal
Difus Infeksi: bakteri, mikobakterium non lapangan Kultur. Pewarnaan Gram,
tuberkulosis [Mycobacterium avium- tengah BAL (bronchoalveolar lavage )
intracellulare complex (MAC)] paru jika tidak ditemukan kuman
patogen
Imunodefisiensi: lapangan DPL, imunoglobulin, tes HIV
hipogamaglobulinemia, HIV, bronkitis tengah
setelah transplantasi paru paru
Genetik: cystic fibrosis, sindrom Pengukuran kadar klorida
Kartagener, defisiensi α1 antitripsin dalam keringat, kadar α1
antitripsin, atau biopsi/sikatan
saluran napas
● Autoimun atau rematologi: daerah Pemeriksaan sendi, serologis
artritis rematoid, sindrom Sjogren , sentral paru (faktor rematoid)
inflammatory bowel disease
● Penyakit terkait imun: allergic
bronchopulmonary aspergillosis (ABPA)
Aspirasi berulang lapangan Tes fungsi menelan dan
bawah kekuatan neuromuskular
paru
lain-lain: yellow nail syndrome Kondisi klinis
Idiopatik (25-50%) Singkirkan penyakit lain

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

233
Pada pasien bronkiektasis dapat ditemukan riawayat batuk produktif persisten dengan
sputum yang purulen (jika ada infeksi sekunder) atau mukoid (jika tidak ada infeksi
sekunder) dengan jumlah banyak terutama pada pagi hari sesudah perubahan posisi tidur. Bau
mulut yang tidak sedap (fetor ex ore) ditemukan jika ada infeksi sekunder. Batuk darah, sesak
napas, demam berulang dapat dikeluhkan pasien. Pada kasus bronkiektasis harus dicari
kemungkinan penyebab seperti kelainan kongenital, aspirasi cairan lambung, riwayat infeksi
saluran napas bawah yang disebabkan bakteri atau virus pneumonia, pertusis, atau
tuberkulosis, kelainan imunitas seperti pada tabel 1. Pada orang dewasa jika tidak ditemukan
penyebab bronkiektasis, riwayat asma harus ditanyakan.

Bronkiektasis harus dicurigai jika ada gejala:


 Batuk produktif persisten, terutama jika ada satu dari kriteria di bawah ini
o Usia muda
o Riwayat keluhan selama beberapa tahun
o Tidak ada riwayat merokok
o Jumlah sputum yang banyak dan purulen setiap hari
o Batuk darah
o Pada sputum ditemukan kolonisasi P. aeruginosa
 Batuk darah yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau batuk tidak produktif
 Pasien yang dicurigai mempunyai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat terjadi
pula bronkiektasis, dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan jika:
o Penyembuhan infeksi saluran napas bawah yang lambat
o Eksaserbasi rekuren
o Tidak ada riwayat merokok

Pemeriksaan Fisik
Pada kasus bronkiektasis dapat ditemukan sianosis, retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena disertai pergeseran mediastinum akibat
bagian paru yang terkena luas, ronki, mengi, jari tabuh, serta dapat disertai demam. Pada
kasus berat dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun gagal jantung kanan.

234
Sindrom kartagener terdiri atas gejala: bronkiektasis kongenital, sering disertai dengan
silia bronkus imotil, situs inversus, sinusitis paranasal atau tidak terdapatny sinus frontalis.

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan sputum: kultur dan uji sensitoivitas antibiotik. Untuk memperbesar
kemungkinan menemukan kuman H. Influenza dan S. pneumonia, spesimen hendaknya
diperiksa di laboratorium dalam waktu 3 jam setelah spesimen didapatkan.
 Imunoglobulin serum (IgG, IgA, IgM) dan elektroforesis serum: sesuai indikasi
 IgE serum, tes skin prick: untuk kemungkinan mencari aspergilus.
 Bronkoskopi dilakukan bila:
o Pada kasus kelainan lokal: untuk menyingkirkan adanya obstruksi proksimal.
o Pemeriksaan sputum negatif dan tidak membaik dengan pengobatan.
o Jika pada pemeriksaan HRCT (high-resolution CT scanning) dicurigai adanya
infeksi mikobakterium atipikal dan kultur sputum yang negatif.
o Bronkoskopi saluran napas bawah dengan pengambilan sampel, tidak dianjurkan
dilakukan secara rutin pada pasien dengan bronkiektasis.
 Pemeriksaan fungsi silia:
o Dilakukan jika ada riwayat kelainan kronik pada saluran napas atas, otitis media, atau
adanya riwayat otitis mediakronik saat anak-anak, bronkiektasis di lobus medius,
infertilitas, atau dekstrokardia.
o Tes sakarin dan/atau NO ekspirasi dari hidung dapat digunakan untuk menyingkirkan
kelaian yang yang tidak membutuhkan pemeriksaan fungsi silia.
 Rontgen toraks: dapat menunjukkan tram track yang menandakan adanya dilatasi jalan
napas, gambaran sarang lebah, kista-kista kecil dengan air fluid level (13%), bercak-
bercak pneumonia, fibrosis, kolaps, bahkan dapat menunjukkan gambaran paru normal
(7%).
 Pemeriksaan faal paru:
o Tergantung pada luas dan beratnya penyakit.
o Bronkiektasis ringan: fungsi ventilasi masih normal.
o Keadaan berat dan difus: VC (vital capacity) dan FEV1 (forced expiratory volume in
1 s) cenderung menurun karena obstruksi aliran udara pernapasan.
 CT scan toraks: lebih spesifik untuk bronkiektasis. Bronkiektasis pada CT scan toraks
dapat menunjukkan adanya dilatasi jalan napas (tram track atau signet ring yang

235
merupakan area cross sectional dengan diameter minimal 1,5 kali dari pembuluh darah
sekitarnya), tidak adanya bronchial tapering (termasuk adanya struktur tubular 1 cm dari
permukaan pleura), penebalan dinding bronkus, the “tree-in-bud” pattern, serta adanya
kista yang berasal dari dinding bronkus (cystic bronchiectasis).

Tabel 2. Jenis Pemeriksaan Fungsi Paru yang Harus Dilakukan Pada Orang Dewasa
Keadaan Jenis pemeriksaan Frekuensi pemeriksaan
Bronkiektasis FVC, FEV1, PEF (peak Secara rutin setiap kontrol ke
expiratory flow) dokter
Defisiensi imun FVC, FEV1 4 kali dalam setahun
PPOK/emfisema Volume paru, gas transfer -
coefficient
Sebelum dan setelah FVC, FVE1 -
antibiotik intravena
Antibiotik oral atau nebulisasi spirometri dan volume paru -

Pemeriksaan untuk menyingkirkan cystic fibrosis dilakukan terutama pada:


 Usia >40 tahun dan tidak ditemukan penyebabnya.
 Ditemukannya S. aureus persisten dan sputum.
 Adanya malabsorbsi.
 Infertilitas primer pada laki-laki.
 Bronkiektasi pada lobus atas.
 Riwayat steatorrhoea pada anak-anak.
 Penapisan (screening) mencakup pemeriksaan kadar klorida pada keringat dan CFTR
genetic mutation analaysis.

Bronkiektasis karena infeksi mikobakterium non tuberkulosis


Diagnosis berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu:
 Pemeriksaan kultur sputum minimal 2 menunjukkan hasil positif dengan minimal 1
pemeriksaan BAL (bronchoalveolar lavage) cairan sampel positif pada kultur.
 Atau pemeriksaan kultur sputum atau cairan pleura minimal 1 hasil positif disertai
sampel biopsi histopatologik menunjukkan adanay mikobakterium non tuberkulosis
(granuloma atau pewarnaan asam basa positif).

DIAGNOSIS BANDING
 Bronkitis kronik.

236
 Tuberkulosis paru.
 Abses paru.
 Karsinoma paru, adenoam paru.
 Fistula bronkopleural dengan empiema.

TATALAKSANA
 Mengontrol infeksi dan meningkatkan skresi sputum dan higienitas bronkus untuk
menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napasa dan risiko infeksi berulang.
 Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien:
o Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering
o Menghentikan merokok
o Mencegah/menghindari debu, asap
 Memperbaiki drainase sekret bronkus dan menjaga higienitas bronkus
o Drainase postural: dikerjakan 10-20 menit 2-4 kali setiap hari, atau sampai sputum
tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan pada punggung pasien.
o Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air panas/dingin.
o Mengatur posisi tempat tidur pasien.
o Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hiperosmolar (saline hipertonik): ketika
nebulisasi dengan cairan saline hipertonik, sebelumnya diberikan bronkodilator pada
pasien yang mempunyai hipereaktivitas bronkus. Sebelum dan 5 menit setelah
dilakukan nebulisasi, FEV1 dan PEF harus diperiksa untuk menilai adanya
bronkokonstriksi.
o Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping, oscillatory positive expiratory
pressure flutter valve, atau high-frequency chest wall oscillation test.
o Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan β2 agonis untuk
meningkatkan pengeluaran sputum.
o Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi.
 Latihan rehabilitasi paru
o Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Latihan kekuatan
otot pernapasan.
 Anti inflamasi
o Glukokortikoid oral/sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi autoimun.
o Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pada pasien asma.

237
 Anti jamur
o Jika disebabkan ABPA: itrakonazol.
 Antibiotik
o Eksaserbasi akut: patogen terduga paling sering adalah Haemophilus influenza dan
P. Aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari.
o Pada kasus infeksi MAC dan HIV negatif: makrolid dengan rifampisin dan
etambutol.
o Kombinasi antibiotik tidak diberikan jika infeksi disebabkan H. Influenza,
Moraxella catarhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.
o P. aeruginosa yang sensitif terhadap siproflokasasin dapat diberikan siprofloksasin
secara oral sebagai antibiotik lini pertama, dan diganti ke intravena jika tidak
membaik.
o Nebulisasi dengan antibiotik: jika eksaserbasi ≥ 3 kali setahun atau episode
eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan morbiditas yang
signifikan. Antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur sensitivitas.
 Operasi:
o Tujuan: mengangkat/reseksi segmen atau lobus paru yang terkena.
o Indikasi:
- Bronkiektasis terbatas dan dapat tereseksi, yang tidak berespon terhadap
tindakan-tindakan konservatif yang adekuat.
- Bronkiektasis terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis
yang berasal dari daerah tersebut.
o Kontraindikasi:
- Bronkiektasis dengan PPOK.
- Bronkiektasis berat.
- Bronkiektasis dengan komplikasi kor pulmonal kronik dekompensata.
o Jenis operasi: elektif dan paliatif (pada keadaan gawat darurat dan tidak terdapat
kontraindikasi).
o Persiapan operasi:
- Pemeriksaan faal paru: spirometri, analisa gas darah, bronkospirometri.
- CT scan atau USG.
- Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi.
- Memperbaiki keadaan umum pasien.

238
 Ventilasi non-invasif:
o Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gagal napas kronik akibat bronkiektasis.
 Pada kasus refrakter:
o Operasi dengan reseksi bagian paru yang mengalami supurasi.
o Transplantasi paru: sesuai indikasi.
 Pada kasus eksaserbasi (3 episode dalam setahun):
o Antibiotik oral: siprofloksasin selama 1-2 minggu/bulan.
o Merotasi jadwal pemberian antibiotik untuk menurunkan risiko resistensi.
o Makrolid setiap hari atau 3 kali seminggu.
o Inhalasi antibiotik: tobramycin inhalation solution (TOBI) dengan jadwal rotasi 30
hari pemakaian, 30 hari penghentian.
o Antibiotik intravena intermiten: pada kasus bronkiektasis berat dan/atau resistensi
kuman.

KOMPLIKASI
Perdarahan sampai hemoptisis masif karena kerusakan mukosa pembuluh darah akibat
infeksi berulang. Resistensi terhadap antibiotik karena infeksi berat, berulang, atau
pemakaian antibiotik terlalu sering. Pneumonia dengan/atau tanpa atelektasis, pleuritis, efusi
pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis, kor pulmonal kronik,
kegagalan pernapasan, amilodosis.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung etiologi penyebab dan frekuensi eksaserbasi FEV1 menurun 50-55
mL/tahun, sedangkan pada orang sehat 20-30 mL/tahun. Risiko infeksi berulang dapat
diturunkan dengan memberikan vaksinasi pada kasus infeksi pernapasan kronik (seperti
influenza, pneumokokus). Pada kasus berat dan tidak diobati lama harapan hidup <5-15
tahun. Penyebab kematian dikarenakan pneumonia, empiema, gagal jantung kanan,
hemoptisis.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

239
UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah/toraks, Departemen Rehabilitasi
Medik
 RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

GAGAL NAPAS
PENGERTIAN
Gagal napas adalah suatu kondisi kegagalan sistem pernapasan pada fungsi pertukaran
gas seperti oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida dari darah vena. gagal napas juga
didefinisikan tekanan oksigen arteri (pa O2) <60 mmHg (8.0 kPa) dan/atau tekanan
karbondioksida arteri (Pa CO2) >45 mmHg (6.0 kPa). Sistem pernapasan terdiri dari:
Paru-paru: sebagai organ pertukaran gas.
Sistem pompa yang memventilasi paru-paru: terdiri dari dinding dada, otot pernapasan, pusat
pernapasan di susunan saraf pusat (SSP), dan jalur yang menghubungkan SSP dengan otot
pernapasan (saraf spinalis dan saraf perifer).
Gagal napas dapat terjadi karena 2 mekanisme yaitu:

Penyebab gagal napas yaitu:


Tabel 1. Penyebab Gagal Napas Berdasarkan Onset Kejadian
Onset Penyebab hipoventilasi alveolar
Akut Penurunan fungsi susunan saraf Obat (sedatif), penyakit susunan saraf
pusat (ensefalitis, stroke, trauma)
Gangguan transmisi Trauma saraf spinal, mielitis transversal, tetanus,
neuromuskular dan neural amyotrophic lateral sclerosis , poliomyelitis,
sindrom Guillain-Barre, keracunan organofosfat,
keracunan botulinum
Abnormalitas otot Distrofi muscular, atrofi, prematuritas

240
Onset Penyebab hipoventilasi alveolar
Abnormalitas dinding dada dan Hiperinflasi akut, trauma dinding dada
pleura
Penyakit paru dan jalan napas Asma akut, penyakit paru obstruktif kronik
eksaserbasi akut, pneumonia, obstruksi jalan
napas atas, bronkiektasis
Lain-lain Sepsis, renjatan sirkulasi
Kronik Penyakit paru dan jalan napas penyakit paru obstruktif kronik (bronkitis,
emfisema, bronkiektasis)
Abnormalitas dinding dada Obesitas, kifoskoliosis, efusi pleura, gangguan
neuromuskular
Penyakit paru dan dinding dada Polimiositis, skleroderma, SLE
Abnormalitas susunan saraf pusat Hipoventilasi alveolar primer (Ondine's curse )
Lain-lain Malnutrisi, gangguan elektrolit, kelainan
endokrin

Gagal napas mempunyai beberapa tipe yaitu:


Tabel 1. Penyebab Gagal Napas Berdasarkan Onset Kejadian
Tipe I Gagal napas Disebabkan karena ventilasi/perfusi yang tidak seimbang, peningkatan
hipoksemia shunt , gangguan difusi, hipoventilasi alveolar. Faktro risiko:
akut ● Disfungsi kardiak
● Infeksi pulmonal atau aspirasi
● Tromboemboli vena
● Penyakit paru obstruktif
● Trauma toraks: pneumotoraks, hemotoraks, kontusi paru
Tipe II Gagal napas Terjadi karena adanya hipoventilasi alveolar dan ketidakmampuan
hiperkapnia mengeliminasi karbondioksida yang disebabkan:
● Gangguan pada SSP dalam mengontrol pernapasan (intoksikasi obat-
obatan, trauma batang otak, hipotiroid, kelainan napas saat tidur)
● Melemahnya otot pernapasan karena gangguan fungsi neuromuskular
(miastenia gravis, sindrom Guillain-Barre, sklerosis lateral amiotrofik,
trauma nervus frenikus)
● Peningkatan beban sistem respirasi:
- meningkatnya beban resistive : bronkospasme
- menurunnya compliance paru: edema alveolar, atelektasis, intrisic
positive end-expiratory pressure (autoPEEP )
- menurunnya compliance dinding dada: pneumotoraks, efusi pleura,
distensi abdomen
Tipe III Akibat atelektasis, terjadi paling sering pada periode perioperatif
sehingga disebut kegagalan napas perioperatif
Tipe IV Disebabkan hipoperfusi otot pernapasan pada pasien dengan renjatan.
Pasien dengan renjatan mengalami distres pernapasan karena edema
paru, asidosis laktat, dan anemia

DIAGNOSIS

241
Tabel 3. Diagnosis Gagal Napas
Tipe gagal napas Anamnesis Pemeriksaan fisik
Tipe I ● Mengenali faktor risiko Cemas, perubahan status mental, bingung,
● Sesak napas takikardia, takipnea, diaforesis, sianosis,
hipertensi/hipotensi, aritmia
Tipe II Mencari penyebab Somnolen, letargi, atau koma, asteriks, tremor
dan faktor risiko. Pasien bicara kacau, edema papil
mengeluhkan sesak napas

Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium: DPL.
 Analisis gas darah.
 Foto toraks.
 Katetr Swan Ganz dengan monitor – tekanan kapiler paru (PCWP).
 EKG.
 CT (computed tomographic) angiography toraks: sesuai indikasi.
 Bronkoskopi: sesuai indikasi.

DIAGNOSIS BANDING
Edema paru, ARDS

TATALAKSANA

Tipe I
 Mengobati penyakit dasar.
 Oksigen.
 Ventilasi mekanik: pada penyakit berat (ARDS).
 Bronkodilator.
o Agonis beta adrenergik: terbutalin, albuterol.
o Anti kolinergik: diberikan kombinasi dengan agonis beta adrenergik.
 Antibiotika: sesuai indikasi.
 Kortikosteroid oral atau parenteral.
 Ekspektoran atau nukleonik.
 Fisioterapi dada.

242
Tipe II
 Tujuan: memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga penyakit dasar dapat
diobati.
 Menjaga patensi napas penyedotan sekret, drainase postural, stimulasi batuk, perkusi
dada, atau dengan pemasangan selang endotrakea atau trakeostomi.
 Alat napas buatan: ventilator mekanik.
 Oksigen: jika ada hipoksemia, diberikan secara hati-hati.

KOMPLIKASI
 Komplikasi paru: emboli paru, barotrauma, fibrosis pulmonal.
 Komplikasi kardiovaskular: hipotensi, cardiac output menurun, aritmia, perikarditis,
infark miokard akut.

PROGNOSIS
 Prognosis tergantung dari penyakit penyebab dan komorbid. Kematian pada kasus gagal
napas umumnya disebabkan karena kegagalan multi organ. Angaka kematian pada gagal
napas yang disertai kegagaln kardiovaskular, ginjal, atau neurologis sebesar 55,4%,
57,4% dan 48,1 %. Sedangkan angka kematian pada gagal napas dengan kegagalan satu
organ sebesar 20,7%.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi/ICU
 RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi/ICU

243
MASSA MEDIASTINUM

PENGERTIAN
Mediastinum adalah regio di dalam rongga dada di antara rongga pleura yang di
dalamnya terdapat jantung dan organ lain, kecuali paru-paru. Batas-batas mediastinum yaitu
sebelah lateral dibatasi oleh pleura parietalis, anterior oleh sternum, posterior oleh kolum
veterbra, superior oleh thoracic inlet, dan inferior oleh diafragma. Daerah mediastinum
terbagi menjadi 3 yaitu:
 Mediastinum anterior.
 Mediastinum media.
 Mediastinum posterior.
Massa mediastinum adalah lesi spesifik yang ditemukan di dalam mediastinum, baik
dari metastasis atau tumor dari lokasi intratorakal lain yang menginvasi ke dalam
mediastinum, seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan. Etiologi dari
massa mediastinum dapat dibagi berdasarkan lokasi dari massa:
Tabel 1. Etiologi dari Massa Mediastinum
Mediastinum anterior kelenjar timus, perluasan kelenjar tiroid dan paratiroid ke substernal,
saluran limfe dan kelenjar getah bening, jaringan ikat
Mediastinum media Jantung, perikardium, arkus aorta dan pembuluh darah besar, hilus,
kelenjar getah bening, vena inominata dan vena kava superior, nervus
phrenikus, nervus vagus bagian atas, jaringan ikat
Mediastinum posterior aorta torakalis desending, esofagus, duktus torasikus, vena azigos, vena
hemiazigos, dan kelenjar getah bening bagian posterior, nervus vagus
bagian bawah, jaringan ikat

Ada banyak jenis massa mediastinum yang tersering ditemukan:


Tabel 2. Jenis Massa Mediastinum yang Tersering Ditemukan
Jenis Massa Frekuensi (%)
Developmental cysts 21
Tumor neurogenik 21
Timoma 19
Limfoma 13
Germ cell tumors 11
Tumor mesenkim 7
Tumor endokrin (tiroid, paratiroid, karsinoid) 6
Keganasan lain 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

244
Keluhan dapat disebabkan karena efek lokal atau gejala sistemik sesuai dengan jenis
tumor, yaitu:
 Keluhan sesuai tirotoksikosis pada gondok intratoraks.
 Sindrom cushing pada timoma dan tumor karsinoid.
 Diare pada ganglioneuroma.

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Tabel 3. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan Jenis Tumor
Pemeriksaan Fisik Jenis Tumor
Peningkatan tekanan darah Ganglioneroma, feokromositoma, kemodiktoma
Ginekomastia Human chorionic gonadotropin-secreting germ cell
tumors
Peningkatan suhu tubuh Limfoma
Opsomioklonus Neuroblastoma
Kelainan vertebra Kista enterik
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: DPL
Hiperkalsemia Adenoma paratiroid dan limfoma
Hipoglikemia Tumor pleura, teratoma, fibrosarkoma, neurosarkoma
Fungsi tiroid, sidik tiroid Gondok
Kadar katekolamin Tumor neurogenik
Alpha-fetoprotein and β -human Germ cell tumor
chorionic gonadotropin
Anti-acetylcholine receptor antibody Simptom miastenik atau massa berkaitan dengan
timus
Hipogamaglobulinemia timoma
Gallium-67 scan Sarkoidosis
Somatostatin receptor scintigraphy Timoma
Technetium99m scan Adenoma paratiroid
PET Kanker paru

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis massa
mediastinum:
 Rontgen toraks: menentukan lokasi, karakteristik tumor (ukuran, bentuk, densitas, dan
invasinya).
 CT (computed tomography) scan toraks.
o Tujuan:
o Dengan kontras dapat terlihat jelas: gondok, adenoam paratiroid, penyakit
castleman, lesi vaskular, paraganglioma, dan beberapa lesi metastasis.

245
o Berdasarkan densitas massa:
- Massa yang mengandung cairan: gondok, kista timus, timoma, teratoma,
limfoma, nodus nekrotik dari inflamasi atau keganasan (kista perikardium,
bronkogenik, dan oesophageal duplication cysts).
- Mengandung lemak (densitas rendah): tikolipoma, teratoma.
- Mengandung kalsifikasi: gondok, timoma, limfoma, tumor karsinoid, massa
inflamasi (tuberkulosis, histoplasmosis, sarkoid), aneurisma.
o Kelebihan CT scan dibandingkan MRI:
- Spatial resolution.
- Dapat mendeteksi kalsifikasi dan destruksi tulang.
- Skrining hati,paru-paru, dan metastasis adrenal dalam sekali pemeriksaan.
- Dapat digunakan sebagai pemandu aspirsi jarum untuk biopsi massa.
- Alat lebih banyak dijumpai.
o Kekurangan:
- Paparan terhadap radiasi.
- Pemakaian kontras (iodinated contrast agent).
 MRI (magnetic resonance imaging).
o Kegunaan:
- memberikan informasi mengenai sumber massa, lokasi, dan penyebaran ke
struktur sekitar.
- Mengkonfirmasi adanya lesi kistik pada mediastinum yang tampak solid pada
CT scan.
- Menggambarkan adanya lesi kistik pad mediastinum yang tampak solid padqa
CT scan.
- Menggambarkan adanya jaringan lemak intralesi yang jumlahnya sedikit.
- Mendiagnosis: hemangioma, teratoma, atau hematopoiesis ekstramedular.
- Tumor neurogenik (75% kasus massa mediastinum posterior).
o Kelebihan:
- Potongan lebih banyak.
- Resolusi tinggi.
- Tidak menggunakan zat kontras.
o Kekurangan:
- Keterbatasan alat.
- Lebih mahal.
246
 PET (positron emission tomography).
o Memberikan informasi mengenai abnormalitas mediastinum, informasi tentang
metabolisme dan penyebaran penyakit.
o Sensitivitas dan spesifisitas mencapai 90-95%.
o Kerugian: biaya mahal dan keterbatasan fasilitas.
 Angiografi.
o Indikasi:
- Jika ada kecurigaan adanya keterlibatan vaskular (aneurisma, hemangioma, dan
malformasi arteriovenosus).
- Memastikan invasi ke vaskular oleh tumor.
- Embolisasi pada lesi vaskular sebelum operasi.
 Biopsi jaringan.
o Kegunaan: untuk diagnosis definitif dan tatalaksana lanjut.
o Komplikasi: perdarahan, pneumotoraks.
o Dapat dilakukan dengan endoscopic ultrasonography (EUS):
- Menggambarkan secara akurat aortopulmonal, nodus subkarina, mediastinum
posterior dan inferior yang tidak dapat terdeteksi dengan CT scan.
- Dapat digunakan untuk pemandu aspirasi jarum halus (free needle
aspuration/FNA) massa mediastinum.
- Sensitivitas dan spesifisitas EUS: 84,7% dan 84,6%.
- Sedangkan jika EUS dikombinasi dengn FNA, sensitivitas dan spesifisitas
menjadi 88% dan 96,4%.
o Endobronchial ultrasound (EBUS) dan EBUS transbronchial needle aspiration
(EBUS-TBNA).
- Menggambarakan lesi paratrakeal dan peribronkial utama.
- Digunakan untuk panduan FNA.
o Transthoracic atau transesophageal needle biopsy: untuk lesi yang mudah diakses
yang tidak dapat dilakukan reseksi primer.
o Mediastinoscopy atau mediastinotomy: untuk lesi yang mudah diakses jika
pemeriksaan lain tidak berhasil.
 Operasi reseksi primer.
o Pendekatan diagnosis terakhir dan dapat digunakan sebagai pilihan terapi.

247
DIAGNOSIS BANDING
Sesuai etiologi tabel 1.

TATALAKSANA
Tergantung etiologi.

KOMPLIKASI
Obstruksi trakea, sindrom vena kava superior, invasi vaskular dan perdarahan
katastropik, serta ruptur esofagus.

PROGNOSIS
Prognosis tumor mediastinum jinak umunya cukup baik., terutram jika tanpa gejala.
Sedangkan tumor mediastinum ganas tergantung dari keparahan penyakit dan komorbid.
Umunya penyakit infeksi berespon baik dan cepat terhadap pemberia antibiotik yang tepat
dan tindakan bedah.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks
 RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

248
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)

PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
keterbatasan aliran udara kronis dan perubahan patologis pada paru-paru, beberapa memiliki
efek ekstra pulmonal. Ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Keterbetasan aliran udara biasanya progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel berbahaya atau gas. Faktor risiko yaitu
perokok aktif atau pasif, tinggal di daerah berpolusi, lingkungan kerja (industri kapas,
pertambangan batu-bara, pertambangan emas), defisiensi α1 antitripsin.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Sesak napas yang diperberat oleh latihan, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif,
faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.

Pemeriksaan Fisik
 Laju napas meningkat > 20 kali/menit, bila sesak napas berat: sianosis (hipoksia berat ),
retraksi interkostal.
 Pemeriksaan paru: barrel chest: meningkatnya diameter anteroposterior (merupakan
tanda hiperinflasi), diafragma letak rendah, suara napas melemah, dapat ditemukan ronki
dan wheezing.
 Suara jantung melemah. Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jantung kanan, kor
pulmonal: bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti hati, edema
mata kaki.

Pemeriksaan Penunjang
 Uji spirometri (standard baku)
- Volume ekspirasi paksa (VEP1)/Kapasitas Vital Paru (KVP) atau FEV1/FVC < 70%.

249
- Meningkatnya kapasitas total paru-paru, kapasitas residual fungsional, dan volume
residual.
 Rontgen toraks: paru hiperinflasi, diafragma mendatar.
 Analisis gas darah.
 Level serum α1 antitripsin.

PPOK EKSASERBASI AKUT


- Gejala eksaserbasi: bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertaimengi,
bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen
atau berubah warna.
- Gejala non-spesifik: malaise, insomnia, fatigue, depresi.
- Spirometri: fungsi paru sangat menurun.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Sumbatan PPOK


Stadium Klasifikasi
I PPOK ringan
VEP1/KVP < 70%
VEP1 > 80% prediksi
Dengan/tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif)
II PPOK sedang
VEP1/KVP < 70%
50% ≤ VEP1 ≤ 80% prediksi
Dengan keluhan napas pendek terutama pada saat latihan, terkadang ada
keluhan batuk dengan sputum produktif
III PPOK berat
VEP1/KVP < 70%
30% ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi
Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah dan
ekaserbasi berulang sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien
IV PPOK sangat berat
VEP1/KVP < 70%
VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi + gagal napas kronik
PaO2 < 60 mmHg dengan/tanpa PaCO2 > 50 mmHg
Gejala gagal jantung kanan dan/atau pulmonal
Kualitas hidup pasien sangat terganggu, eksaserbasi bisa menyebabkan kematian

Etiologi Eksaserbasi
Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcous pneumoniae, Haemophillus
influenzae, Moraxella catarrhalis, pajanan polusi udara.

DIAGNOSIS BANDING
Asma dapat berbarengan dengan PPOK. Beda asma dan PPOK dapat dilihat pada asma
terjadi peningkatan eosinofil dan obstruksi saluran napas yang terjadi biasanya reversibel,

250
sementara pada PPOK tampak peningkatan neutrofil dan obstruksi saluran napas yang terjadi
tidak sepenuhnya reversibel. Akan tetapi asma yang sudah berlangsung lama dapat saja
menyebabkan terbatasnya aliran udara yang menetap. Diagnosis banding lain: bronkiektasis,
gagal jantung kongestif.

TATALAKSANA

Terapi PPOK Stabil


 Terapi Farmakologis
a. Bronkodilator
- Secara inhalasi (MDI/metered dose inhalation), kecuali preparat tak tersedia/tak
terjangkau.
- Rutin (bila gejala menetap kapasitas fungsional rendah atau sering klambuh
sesak) atau hanya bila diperlukan (kapasitas fungsional baik dan kambuh kurang
dari 2 kali/tahun).
- 3 golongan:
o Agonis β2: fenoterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol.
o Anti kolinergik: ipratropium bromida, oksitropium bromida.
o Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombiansi agonis β2 dan steroid
belum memuaskan.
- Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi.
b. Steroid, pada:
- PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid.
- PPOK dengan golongan C dan D.
- Eksaserbasi akut.
c. Obat-obat tambahan lain
- Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator): ambroksol, karbosistein, gliseril
iodida.
- Antioksidan: N-asetil-sistein.
- Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin.
- Antitusif: tidak rutin.
- Vaksinasi: influenza, pneumokok.
251
 Terapi Non-farmakologis
a. Berhenti merokok.
b. Rehabilitasi: latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi
psikososial.
c. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK stadium IV.
d. Nutrisi.
e. Pembedahan: bullectomy, transplantasi paru, lung volume reduction surgery
(LVRS).

Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah: bronkodilator seperti pada PPOK
stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. bila
infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S. pneumoniae, H. influenza, M.
catarrhalis).
Terapi eksaserbasi di rumah sakit:
 Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau masker venturi.
 Bronkodilator: inhalasi agonis β2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik.
Pada eksaserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam).
 Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. steroid unravena pada keadaan
berat.
 Antibiotika terhadap S. pneumoniae, H. influenza, M. catarrhalis.
 Ventilasi mekanik pada: gagal napas akut atau kronik dengan PaCO2>45 mmHg.

252
Tabel 2. Terapi Farmakologis yang Umum Digunakan pada PPOK stabil
Larutan untuk
Injeksi
Obat Inhalasi nebulizer Oral Durasi (jam)
(mg)
(mg/ml)
Agonis β-2
Masa kerja pendek
Fenoterol 100-200 1 0,05% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 5 5 mg (tablet), 0,1, 0,5 4-6
(albuterol) (MDI & DPI) sirup 0,024%
Terbutaline 400, 500 (DPI) - 0,2, 0,25 4-6
Masa kerja panjang 12+
Formoterol 4,5-12 (MDI & DPI) 12+
Salmeterol 25-50 (MDI & DPI)
Antikolinergik
Masa kerja pendek
Ipratropium bromida 20, 40 (MDI) 0,25-0,5 6-8
Oxitroprium bromida 100 (MDI) 1,5 7-9
Masa kerja panjang
Tiotropium 18 (DPI) 24+
Kombinasi agonis β-2 kerja pendek dengan antikolinergik dalam satu inhaler
Fenoterol/ipratropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
Salbutamol/ipratropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
Metilsantin
Aminofilin 200-600 mg 240 Variatif sampai
24 jam
Teofilin 100-600 mg Variatif sampai
24 jam
Glukokortikoid Inhalasi
Beklometason 50-400 (MDI, DPI) 0,2-0,4
Budesonid 100, 200 (MDI) 0,2, 0,25, 0,5
Flutikason 50-500 (MDI & DPI)
Triamsinolon 100 (MDI) 40 40
Kombinasi agonis β-2 kerja panjang dengan glukokortikoid dalam satu inhaler
Formoterol/budesonid 4,5/160, 9/320 (DPI)
Salmeterol/flutikason 50/100, 250, 500 (DPI)
25/50, 125, 250 (MDI)
Glukokortikoid sistemik
Prednison 5-60 mg
Metilprednisolon 4, 8, 16 mg

253
Tabel 3. Terapi Farmakologis yang Umum Digunakan pada PPOK Eksaserbasi Akut
Obat Cara aplikasi Dosis Frekuensi
Bronkodilator
Agonis β-adrenergik
Salbutamol Metered-dose inhaler 100-200 μg 4 kali sehari
Nebulizer 0,5-2,0 mg 4 kali sehari
Metaproterenol Nebulizer 0,1-0,2 mg 4 kali sehari
Terbutalin Metered-dose inhaler 400 μg 4 kali sehari
Antikolinergik
Ipratropium bromida Metered-dose inhaler 18-36 μg 4 kali sehari
Nebulizer 0,5 mg 4 kali sehari
Metilsantin
Aminofilin Intravena 0,9 mg/kgBB/hari infus
Teofilin Tablet (sustained release 150-450 mg 2 kali sehari
preparations)
Kortikosteroid
Metilprednisolon suksinat iv lalu oral 125 mg setiap 6 jam
selama 3 hari, lalu
60 mg 1 x 1 selama 4 hari
40mg 1 x 1 selama 4 hari
20 mg 1 x 1 selama 4 hari
Prednison (untuk rawat Tablet 30-60 mg 1 x 1 selama 5-10 hari
jalan
Antibiotik spektrum terbatas
Trimetoprim-sulfametoksazol Tablet 160 mg dan 800 mg 2 x 1 selama 5-10 hari
Amoksisilin Tablet 250 mg 4 x 1 selama 5-10 hari
Doksisiklin Tablet 100 mg Hari pertama 2 tablet,
lalu 1 x 1 tablet/hari
selama 5-10 hari

Tabel 4. Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut


Alternatif terapi
Grup Definisi Mikroorganisme Terapi oral Terapi parenteral
oral
A Eksaserbasi H. Influenza, Pasien dengan β-laktam/inhibitor
ringan, tidak S. pneumonia hanya 1 gejala β-laktamase
ada risiko M. catharralis, kardinal, tidak (co-amoxiclav
perburukan Chlamidya memerlukan terapi 3 x 625 mg
pneumoniae , antibiotik. Jika ada atau 2 x 875 mg),
virus indikasi, maka makrolid
gunakan: β-laktam (azithromycin
(penisilin, ampisilin, 1 x 500 mg lalu
amoksisilin), 1 x 250 mg,
tetrasiklin, clarithromycin
trimetoprim- 2 x 500 mg,
sulfametoksazol roxithromycin),
cephalosporin
generasi 2 dan 3,
ketotid
(telithromycin)

254
Alternatif terapi
Grup Definisi Mikroorganisme Terapi oral Terapi parenteral
oral
B Eksaserbasi Grup A + adanya β-laktam/ Fluorokuinolon β-laktam/
sedang mikroorganisme penghambat (gemifloksasin, penghambat
dengan risiko resisten (produksi β-laktamase levofloksasin β-laktamase
perburukan β-laktamase, (co-amoxiclav 1 x 500 mg, (co-amoxiclav/
S. pneumoniae 3 x 625 mg atau moksifloksasin ampisilin/
resisten peni- 2 x 875 mg) 1 x 400 mg) sulbaktam,
cillin), entero - sefalosporin
bacteriaceae generasi 2 atau 3,
(K. pneumoniae , Fluorokuionolon
E. coli , Proteus, (siprofloksasin,
enterobakter, dll) levofloksasin
1 x 500 mg),
C Eksaserbasi Grup B + P. Pasien risiko infeksi atau β-laktam
berat dengan aeruginosa pseudomonas: dengan aktivitas
risiko infeksi Fluorokuinolon P. aeruginosa
P. aeruginosa (siprofloksasin,
levofloksasin dosis
tinggi)

KOMPLIKASI
Bronkitis akut, pneumonia, tromboemboli pulmo, gagal jantung kanan, kor pulmonal,
hipertensi pulmonal, gagal napas kronik, pneumotoraks spontan.

PROGNOSIS
Prognosis berdasarkan indeks BODE, dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.

Tabel 5. The BODE Index


Point BODE Index
Variable
0 1 2 3
FEV1 (prediksi dalam %) ≥ 65 50-64 36-49 ≤ 35
Jarak tempuh berjalan (m) dalam menit ≥ 350 250-349 150-249 ≤ 149
Dyspnea berdasarkan mMRC 0-1 2 3 4
Body Mass Index > 21 ≤ 21

Tabel 6. Interpretasi Bode Index


Mortalitas dalam 1 tahun Mortalitas dalam 2 tahun Mortalitas dalam 52 bulan
Nilai BODE Index
(%) (%) (%)
0-2 2 4 19
3-4 2 8 32
5-6 2 14 40
7-10 5 31 80

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

255
UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : DepartemenRehabilitasi Medik, Radiologi/Radiodiagnostik,
Anestesi/ICU
 RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ICU

PENYAKIT PLEURA

PENGERTIAN
Penyakit pleura merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi lebih dari 3.000 orang
dalam 1 juta populasi setiap tahunnya. Penyakit ini berasal dari berbagai kelainan patologis
dan sering merupakan efek sekunder dari proses penyakit lain, oleh karena itu dibutuhkan
pendekatan sistematis untuk identifikasi dan tatalaksana lebih lanjut. Penyebab tersering
penyakit pleura adalah kanker, dan diperkirakan efusi pleura maligna terjadi pada 150.000
orang per tahun di Amerika Serikat. Penyakit pleura terdiri dari efusi pleura dan
pneumotoraks.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

I. EFUSI PLEURA
Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan dalam rongga pleura. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti tercantum pada tabel 1.

Tabel 1 . Berbagai Mekanisme Penyebab Akumulasi Cairan Pleura


Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskular (gagal jantung)
Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular (hipoalbuminemia berat)
Penurunan tekanan dalam rongga pleura (kolaps paru)
Peningkatan permeabilitas dalam dalam sirkulasi mikrovaskular (pneumonia)
Gangguan drainase limfatik dari ringga pleura (efusi maligna)
Perpindaan cairan dari rongga peritoneal (asites)

Anamnesis

256
 Nyeri unilateral, tajam, bertambah parah saat inspirasi atau batuk, dapat menjalar ke
bahu, leher, atau abdomen.
 Sesak napas, batuk.
 Riwayat trauma dada.
 Riwayat penyakit komorbid (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik,
tuberkulosis, emboli paru, tumor mediastinum, dll).
 Riwayata penggunaan obat (nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin,
prokarbazin, amiodaron, dasatinib).

Pemeriksaan Fisik
 Paru: restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada, fremitus taktil menghilang,
perkusi redup, bunyi napas menurun, splinting (pada daerah paru yang terkena). Kadang
ditemukan egobronkofoni pada batas cairan atas bila terjadi kompresi parenkim paru.

Pemeriksaan Penunjang
 Foto toraks:
 Torakosentesis (pungsi pleura) dan analisis cairan pleura: melihat komposisi cairan
pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah.
 Biopsi pleura.
 Torakoskopi: merupakan prosedur invasif terpilih pada efusi pleura eksudatif dimana
aspirasi cairan pleura tidak konklusif dan dicurigai keganasan.

DIAGNOSIS BANDING
Tergantung etiologi seperti tercantum pada tabel 2. Kriteria Light untuk membedakan
efusi eksudat dari transudat yaitu apabila memenuhi ≥ 1 kriteria berikut: (1) rasio kadar
protein cairan pleura : kadar serum protein > 0,5; (2) rasio kadar LDH cairan pleura : kadar
serum LDH > 0,6; (3) kadar LDH cairan pleura >2/3 batas atas nilai normal untuk kadar
serum LDH.

257
PENDEKATAN DIAGNOSIS

258
TATALAKSANA

Efusi karena gagal jantung


 Menurunkan afterload, diuretik, dan inotropik sesuai indikasi.
 Torakosenetesis diagnostik bila:
- Efusi menetap dengan terapi diuretik.
- Efusi unilateral.
- Efusi bilateral, ketinggian aciran berbeda bermakna.
- Efusi + febris.
- Efusi + nyeri dada pleuritik.

259
Efusi Parapneumonia/Empiema
 Torakosentesis diagnostik, torakosentesis terapeutik, tube thoracostomy, tube
thoracostomy dengan trombolitik, torakoskopi, dan torakotomi dengan dekortikasi,
drainase.
 Antibiotika sesuai tatalaksanan pneumonia bakteri.

Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis


 Obat anti tuberkulosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari
selama 2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik,
bila sesak atau efusi lebih tinggi dari sela iga III.

Efusi pleura keganasan


Tatalaksana efusi pleura keganasan dapat dilihat pada gambar 2.

Chylothorax
Chest tube/thoracostomy sementara, selanjutnay dipasang pleuroperitoneal shunt.

Hemotoraks
Chest tube/thoracostomy, bila perdarahan> 200 mL/jam, pertimbangkan torakotomi.

Efusi karena penyebab lain


Atasi penyakit primer.

260
KOMPLIKASI
Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas.

PROGNOSIS
Tergantung etiologi yang mendasari dan respons terapi.

II. PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, yang dapat disebabkan
oleh 1) perforasi pleura viseral dan masuknya gas dari paru-paru, 2) penetrasi dinding dada,
diafragma, mediastinum, atau esofagus, atau 3) produksi gas oleh mikroorganisme dalam
261
empiema. Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpatrauma dada sebelumnya. Pneumotoraks
spontan primer dapat terjadi tanpa penyakit komorbid, sedangkan pneumotoraks sekunder
terjadi karena adanya penyakit komorbid. Pneumotoraks traumatik merupakan akibat dari
jejas dada dengan/tanpa penetrasi, sedangkan tension pneumothorax adalah suatu keadaan
pneumotoraks dengan terbentuknya tekanan positif dalam rongga pleura selama siklus
respirasi.

Anamnesis
 Onset mendadak atau dalam waktu beberapa jam.
 Sesak/sulit bernapas, nyeri dada terlokalisir, batuk.
 Riwayat trauma dada.
 Riwayat penyakit paru komorbid.

Pemeriksaan Fisik
 Takipneu.
 Pada area paru yang terkena: gerakan dada tertinggal, fremitus taktil menghilang, perkusi
hipersonor, bunyi napas menghilang.
 Tanda pneumotoraks tension:
o Keadaan umum sakit berat.
o Denyut jantung > 140 x/menit.
o Hipotensi.
o Takipneu, pernapasan berat.
o Sianosis.
o Diaforesis.
o Deviasi trakea ke sisi kontralateral.
o Distensi vena leher.
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologis
o Foto toraks:
- Tepi luar viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen.
- PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada
pada apeks.

262
- Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinum bergeser: depresi diafragma,
pelebaran rongga toraks dan sela iga.
o USG: dapat mendiagnosis pneumotoraks secara cepat, bed side sebelum hasil
radiologis.
o CT scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae.
 Analisis gas darah (AGD): hipoksemia, mungkin diserta hipokarbia (karena
hiperventilasi) atau hiperkarbia (karena restriksi).

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut,
efusi pleura, kanker paru.

TATALAKSANA
 Tatalaksana pneumotoraks spontan dapat dilihat pada gambar 3.
 Jika pneumotoraks rekuren:
o Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:
o Konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan:
- Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura
parietal), atau
- Torakoskopi, atau torakotomi terbuka.
Indikasi:
- Kebocoran udara memanjang.
- Reekspansi paru tidak sempurna.
- Bullae besar.
- Risiko pekerjaan.
Indikasi relatif:
- Pneumotoraks tension.
- Hemopneumotoraks.
- Bilateral pneumotoraks.
- Rekuren ipsilateral/kontralateral.

263
KOMPLIKASI
Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks,
penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema paru
reekspansi.
PROGNOSIS
Tergantung etiologi dan respons terapi.

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Pulmonologi
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Bedah/Toraks, Radiologi/Radiodiagnostik,
Patologi Klinik, Mikrobiologi Klinik, Patologi Anatomi

264
 RS Non Pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi, Patologi Anatomi,
Mikrobiologi Klinis

PNEUMONIA DIDAPAT DI RUMAH SAKIT

PENGERTIAN

Pneumonia didapat dirumah sakit atau hospital aquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia
yang muncul > 48 jam setelah dirawat di Rumah nsakit (RS) dan tidak diintubasi saat masuk.
HAP dapat dibagi menjadi : 1 onset dini : muncul 4-5 hari setelah masuk RS, 2. Onset lambat
: muncul setelah > 5 hari di rawat di RS.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesia

Gambaran klinis HAP tidak begitu jelas dan tidak bisa dijadikan kriteria diagnosis HAP.
Dapat ditemukan demam, sputum purulen. 1

Pemeriksaan Fisik (PF)

Suhu tubuh > 38,3oC, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda – tanda konsolidasi seperti
perkusi yang pekak.1

Pemeriksaan Penunjang1

 Darah : leukositosis > 10.000?mm3, atau leukopenia < 4000/mm3


 Rntgen thoraks : infiltrat alveolar
 Broncho alveolar lavage (BAL)
 Kultur darah

DIAGNOSIS BANDING

Eksaserbasi PPOK, tromboemboli paru, perdarahan paru, acute respirotory distress


syndrome (ARDS)

TATALAKSANA2

 Suplementasi O2 jika perlu


 Berikan terapi cairan adekuat
 Jika ada nyeri pleuritik berikan analgetik : diklofenak 3 x 80 mg
 Terapi antibiotik seperti tabel 1. Antibiotik diberikan selama 8 hari

265
 Tidak ada kriteria khusus untuk mengubah terapi antibiotik intravena menjadi terapi
per oral, hal ini disesuaikan dengan kondisi perbaikan pasien yang diobservasi setiap
hari
 Pada pasien yang imunnokompremise, terutama yang neutropenia (hitung neutrofil <
0,5 x 109 /L selama > 2 minggu atau 0,1 x 109 / L selama 1 minggu)yang sering
mengunjungi RS secara teratur atau dirawatdi RS, disaran kan untuk diberikan
profilakssis anti jamur.

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada HAP2,3

Jenis Patogen potensial Rekomendasi antibiotik

Onset dini, tidak ada faktor Streptococcuc pneumonia, Ceftriaxone, levofloxacin 1x


resiko multi drug resistant Haemophillus influenza, 750 mg iv, maxifloxacin 1 x
(MDR) Methicillin-susceptible 400mg iv, ciprofloxacin
Staphylococcus aureus 3x400mg iv, ampicilin-
(MSSA), basil enterik gram sulbactam 3 gr iv q6h; atau
negatif (E. colli, K. ertapenem 1x1 gr iv
pneumonia, spesies
Enterobacter, Proteus sp.
Seratia marcescens)

Pseudomonas aeruginosa, K.
pneumonia. Acnonobacter
Onset lambat ada factor rsiko species, Legionella Kombinasi antibotik :
MDR pneumonia, methicillin
 Antipseudomonal :
resistant Staphylococcus
cephalosporin (cefepime
aureus (MRSA)
2x2 gr iv atau
ceftazidime 2 gr iv q8h)
 Antipseudomonal :
carbapenem (imipenem
500mg iv q6h atau 1 gr iv
q8h atau meropenem 1 gr
q8h)
 B-lactam atau b-lactam
inhibitor (piperacilin-
tazobactam 4,5 gr iv tds)
+ antipseudomonal
flouroquinolone
(ciprofloxacin atau
levofloxacin) + linezolid
600 mg iv q12h atau

266
 Vancomicin 15mg/kgbb
sampai 1 gr iv, q12h (
jika ada faktor MRSA)

Keterangan : faktor resiko MDR : terapi antiobiotik dalam 90 hari terakhir, insiden tinggi MDR pana komunitas
atau RS terkait, rawat inap selama > 5 hari, terapi atau penyakit immunosupresif 4

KOMPLIKASI

Syok septik

PROGNOSIS

Mortalitas yang berhubungan dengan HAP atau attributable mortality diperkirakan sebesar
33-50%. Rata – rata mortalitas meningkat berkaitan dengan infeksi Pseudomonas aeruginosa
dan Acinotebacter species dan terapi antibiotik tidak adekuat.5 rata – rata mortalitas pada
patogen resiko tinggi dapat dilihat di tabel 2.

Tabel 2. Rata – rata Mortalitas pada Pathogen Resiko Tinggi6

Mikroorganisme Rata – rata Mortalitas (%)

Gram negartif 62,9

Acinetobacter baumanii 73.8 dari seluruh gram negatif

Pseudomonas aeruginosa 67,9 dari seluruh gram negatif

Gram positif 66.7

MRSA 71,4 dari seluruh gram positif

PNEUMONIA TERKAIT VENTILATOR


PENGERTIAN

Pneumonia terkait ventilator atau ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia
yang muncul > 49 jam setelah intubasi trakea dan pemasangan ventilasi mekanik yang belum
muncul sbelumnya. VAP dapat dibagi jadi : 1. Omset dini : muncul pada 4 hari pertama
setelah intubasi / pemeriksaan ventilasi mekanik, dan 2 onset lambat : muncul > 5 hari setelah
intubasi atau pemasangan ventilasi mekanik.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Pemasangan intubasi atau ventilasi mekanik > 48 jam, demam4

267
Pemeriksaan Fisik

Suhi tubuh > 38,3oC, tachypneu, takikardia, perburukan oksigenasi, meningkatnya minute
ventilation, pemeriksaan dapat ditemukan tanda – tanda konsolidasi seperti perkusi yang
pekak.4

Pemeriksaan Penunjang

 Darah : leukositosis > 10.000?mm3, atau leukopenia < 4000/mm3


 Rntgen thoraks : infiltrat alveolar
 Kultur aspirasi trakea
 Kultur darah

Untuk mendiagnosis VAP dapat digunakan Modified Clinical Pulmonary infection Score
(CPIS) seperti tampak pada tabel 3. Apabila CPIS > 6 a VAP.7

Tabel 3. Modified Clinical Pulmonary infection Score. 8-10

Variabel 0 1 2

Suhu >35.5 dan < 38,4 38.5 damn > 39.9 > 39 dan <36

Leukosit >4000 dan < 11000 < 4000 atau > + bentuk batang >
11000 500
Oksigenasi (PaO2 > 240 atau ARDS
dalam mmHg x 100 < 240 dan tidak ada
/ FiO2 dalam %) bukti ARDS

Rontgen thorax

Sputum Infiltrat – Infiltral


Infiltrat difus terkonsolidasi
Kultur aspirasi Tidak ada
trakea Non purulen Purulen
< 10
> 10 dan < 100 > 100

DIGNOSIS BANDING

Pneumonia aspirasi

TATALKSANA

Suportif : cairan adekuat, oksigenasi yang cukup, bersihkan jalan napas dari sekret,
antipiretik

Antibiotik : dapat dilihat pada gambar 2. Dosis dapat dilihat pada gambar 1.

268
KOMPLIKASI

Pemasangan ventilator mekanik dan perawatan ICU yang semakin lama. 4

PROGNOSIS

Crade mortality rate adalah 50-70%, tapi sebenarnya adalah mortalitas yang disebabkan
karena penyakit lain. Banyak pasien dengan VAP, memiliki penyakit lain yang mendasari
yang menyebabkan kematian bahkan jika VAP tidak timbul. Attributable mortality melebihi
25%.4

UNIT YANG MENANGANI

 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi


 RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

 RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Radiologi,


anastesi/ICU
 RS Non Pendidikan : Bagian patologi klinik, paru, Radiologi, anestesi/ICU

Gambaran klinis curiga VAP

CIPS > 6 Antibiotik 10-21 hari


Ya

Tidak

Ciprofloxacin iv selama 3
hari

Re- evaluasi 3 hari


ya Terapi sebagai
berikutnya CIPS < 6
pneumonia

tidak

Stop Ciprofloxacin

269
Gambar 1. Strategi tatalaksana pada pasien VAP berdasarkan CPIS. 7.10

270
Diagnosis VAP  Kultur Potensial MDR ya

Pilih salah satu regimen Tidak


ceftriaxone, levofloxacin,
moxifloxacin atau Perbaikan klinis pada hari
ciprofloxacin, 2-3 (CIPS berkurang,
ampicilin/sulbactam, perbaikan PF, demam
ertapenem turun, leukosit turun, Tidak
sputum purulen atau
temuan rontgen thoraks

(-) Hasil Kultur ya (-) Hasil Kultur

Stop (+) Infeksi penyebab


(+)
antibiotik demam dan infiltrat

Tingkatkan antibiotik,
ya Tidak Berikan antibiotik
observasi ulang 7-8 hari
kedepan, terapi yang yang sesuai, cari
lebih lama penyebanb infeksi
Ulang kultur
dipertimbangkan pada atau noninfeksi
empiema, sinusitis,
infeksi P. Aeruginosa, tambahan lain
abses paru,
acinetobacter, clostridium deficile,
Burhoideria, cepacia, infeksi saluran Atelektasis, tromboemboli vena,
stenotrophhomaona, kemih gagal jantung kongestif, fase
mattophilia fibroinfiltrat,ARDS, pabcreatitis,
pneumonia kimia, drufg fever

Agen antipseudomonas (A,B,C)

Jika hipotensi (-), dapat dipilih regimen A saja

A. Cephalosporin (cefepime, ceftazidime)


Carbapenem (imipenem, meropenem)
b-lactam /b lactamase inhibitor (piperacilin-tazobactam)
B. Flouroquinolone (ciprofloxacin)
Jika strain ESBL, digunakan carbapenem dan floueroquinolone aminoglicoside
(amikacin, gentamicin, tobramycin)_
C. Jika curiga MRSA
Vancomycin, linezolid

Gambar 2. Algoritma strategi Tatalaksana pada VAP

271
PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT

PENGERTIAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminal
yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan pertukaran gas setempat.1 pneumonia dikelompokan menjadi2 :

1. Pneumonia didapat dimasyarakat atau Community – acquires Pneumonia (CAP) :


pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak
masuk rumah sakit.1
2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Helth Care Associated Pneumonia (HCAP)
4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau ventilator-associated pneumonia (VAP)

ETIOLOGI

Etiologi pneumonia dibagi menjadi 4 kelompok pasien berdasarkan tempat dirawat, ada tidaknya
penyakit kardiopulmonal dan faktor modifikasinya.

Tabel 1. Etiologi pneumonia. 3,4,5

Etiologi Terapi

Grup 1 : Rawat jalan, tanpa penyakit


kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi

 Streptococcus pneumonie Makrolid (azithromycin 1x500mg po lalu


 Mycoplasma pneumonia 1x25 mg po, claritomycin 2x500mg po. Atau
 Chlamidia pneumonia (tunggal atau erythtomycin 4x500mg po), doxycycline
infeksi campuran) 2x100mg po
 Hemophilus influenza
 Virus saluran pernapasan
 Lain : Legionella spp,
Mycobacterium tuberculosis, fungi
endemik

Group II : rawat jalan, dengan penyakit


kardiopulmonal dan atau faktor modifikasi

 Streptococcus pneumoniae ( termasuk  Fluoroquinolone (moxifloxacin


streptococcus pneumonia yang 1x400mg po, gemifloxacin atau

272
resisten) levofloxacin 1x500,g po/iv)
 Mycoplasma pneumonia  B-lactam + makrolid ( pilihan
 Clamydia pneumonia amoxicillin dosis tinggi 3x1 gr iv atau
 Infeksi campuran (bakteri + patogen amoxicillin – clavulanate 2x2 gr, atau
atipik atau virus) alternatif ceftriaxone 1x1 gr iv,
 Hemophilus inflluenza cefpodoxime 2x200mg po atau
 Enterik gram negative 3x750-1500 mg iv dengan
 Virus saluran pencernaan doxycycline (makrolide alternatif)
 Lain : moraxella catarralis, Legionella
spp, aspirasi (anaerob),
mycobacterium tuberculosis, fungi
endemik

Grup III rawat inap non ICU 

A. Dengan penyakit kardiopulmonal dan Fluoroquinolon


atau faktor modifikasi ( termasuk
penghuni panti jompo) b-lactam +makrolid (b-lactam pilihan :
cefotaxime, ceftriaxone dan ampicillin,
 Streptococcus pneumoniae ( termasuk
ertapenem ( untuk pasien tertentu) dengan
streptococcus pneumonia yang
doxycycline 4x500 – 1000 mg iv (alternatif
resisten)
makrolid) jika alergi penicillin, gunakan
 Haemophilus influenzae
fluoroquinolon
 Mycoplasma pneumonia
 Clamydia pneumonia
 Infeksi campuran (bakteri + patogen
atipik)
 Enterik gram negative
 Virus
 Aspirasi (anaerob)
 Legionella spp
 Lain : mycobacterium tuberculosis,
fungi endemik, pneumocystis carinii
B. Tanpa penyakit kardiopulmonal,
tanpa faktor modifikasi
 Streptococcus pneumonie
 Mycoplasma pneumonia
 Chlamidia pneumonia
 Hemophilus influenza
 Virus
 Legionella spp

273
 Lain : Mycobacterium tuberculosis,
fungi endemik, pneumocystis carinii

Grup IV : rawat ICU

A. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas  B-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, atau


aeruginosa ampicillin-sulbactam) + azitromycin
 Streptococcus pneumonie ( termasuk atau fluoroquinolon (jika alergi
DRSP) penisilin, gunakan fluoroquinolon atau
 Legionella spp aztreonam)
 Hemophilus influenza  Jika ada resiko infeksi pseudomonas,
 Enterik gram negative gunakan antipnemococcal,
 Staphylococcus aureus antipseudomonas b-lactam (piperacillin-
 Mycoplasma pneumonia tazobactam, cefepime, imipenem, atau
 Respiratory virus meropenem) + ciprofloxacin atau
 Lain : Chlamidia pneumonia levofloxacin 750 mg atau b-lactam +
Mycobacterium tuberculosis, fungi aminoglikosida + azitromycin atau b-
endemik lactam plus + aminoglycosida +
B. Ada resiko infeksi Pseudomonas antipneumocpccal fluoroquinolon
aeruginosa (untuk alergi penisilin, ganti b-lactam
dengan aztreonam)
 Semua patogen diatas
 +pseudomonas aeruginosa
Keterangan : kriteria rawat inap : jika terdapat kriteria CURP 65 > ( kriteria CURP 65 : confusion, uremia, respiratory rate, low
blood pressure, age, 65 yeras or greater) atau tidak mendapat perawatan yang baik di rumah.5

Kriteria rawat ICU4 :

1. Ditemukan 1 diatantara 2 kriteria mayor :


- Memerlukan ventilasi mekanik
- Syok septik dan memerlukan obat vasopresor
2. Atau ditemukan 3 kriteria minor :
- Laju pernap[asan > 30x/menit
- PaO2 / FiO2 rasio < 250
- Infiltrat mutlilobus
- Konfusi
- Blood urea nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
- Leukopenia ( leukosit < 4000 / mm3)
- Trombositopenia ( < 100.000/mm3)
- Hipotermi (suhu tubuh < 36oC)
- Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif

274
Faktor modifikasi : penyakit jantung, hati atau ginla yang kronis, diabetes mellitus, alhoholik,
keganasan, asplenia, imunokompromais, menggunakan antibiotik dalam 3 bulan terakhir, adanya
resiko streptococcus pneumonia resiten obat.

Tatalaksana rawat jalan CAP Tatalaksana Rawat Inap

Tanpa penyakit Riwayat penyakit


kardiopulmonal, +/atau faktor
Sakit ringan - sedang Severe CAP
kardiopulmonal, tanpa
faktor modifikasi modifikasi

Group I Grup II

Penyakit Tanpa penyakit Tanpa resiko P. Tanpa resiko P.


kardiopulmonal +/atau kardiopulmonal, tanpa Aeruginosa Aeruginosa
faktor modifikasi faktor modifikasi
Group IVA Group IVB
Grup II Group IIIB

Gambar 1. Stratifikasi Pasien CAP

DIAGNOSIS

Anamnesis

Demam, fatique, malaise, sakit kepala, mialgia, athralgia, batuk produktif/tidak produktif dengan
sputum purulen, bisa disertai darah. Dapat dijumpai keluhan sesak napas, nyeri dada.2

Pemeriksaan Fisik

Demam, sesak napas ( berbicara dengan kalimat terpenggal ), perkusi paru pekak, rinku nyaring,
suara pernapasan bronchial. 1

Pemeriksaan Penunjang1,2

 Rhontgen thoraks
 Pulse oxymetry
 Laboratorium rutin : DPL, hitung jenis, LED/laju endap darah, glukosa darah, ureum,
kreatinin, SGOT, SGPT
 Analisa gas darah, elektrolit
 Pewarnaan gram sputum
 Kultur sputum,
 Kultur darah
 Pemeriksaan serologis
 Pemeriksaan antigen

275
 Pemeriksaan Polymerase Chain treaction (PCR)
 Tes invasif ( torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi

DIAGNOSIS BANDING

Bronkitis akut, bronkitis kronik eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru, pneumonitis
radiasi.2

TATALAKSANA4,6

Tatalaksana Umum

Rawat jalan

 Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan


 Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan parasetamol
 Ekspektoran/mukolitik
 Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
 Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
 Bila tidak membaik dalam 48 jam : pertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau
dilakukan foto thoraks

Rawat inap di RS

 Oksigenasi, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsenytrasi oksigen
inspirasi
 Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas,
dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala
 Cairan : bila perlu dengan cairan intravena
 Nutrisi
 Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan parasetamol
 Ekspektoran/mukolitik

Foti thoraks diulang pada pasien yang tidak menunjukan perbaikan yang memuaskan

Rawat di ICU

 Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna
penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.

Tatalaksana Antibiotik

276
 Pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin, berasarkan perkiraan etiologi
yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien ntertentu seperti tercantum pada tabel 1.
 Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari
 Syarat untuk alih terapi antibiotik intervena ke oral (ATS 2007) : hemodinamik stabil dan
gejala klinis membaik
 Kriteria pasien dipulangkan : klinis stabil, tidak ada maslah medis aktif, memiliki
lingkungan yang sesuai untuk rawat jalan
 Kriteria klinis stabil : suhu < 37.6, laju nadi < 100 x/menit, laju napas < 24 x/menit,
tekanan sistolik >90mmHg, saturasi oksigen arteri > 90% atau PaO2 > 60 mmHg pada
udara ruangan, dapat memelihara asupan oral, status kesadaran compos mentis

KOMPLIKASI

 CAP berat :4
Bila memenuhi kriteria mayor atau 2 kriteria minor
Kriteria Mayor
o Memerlukan ventilasi mekanik
o Syok septik dan memerlukan obat vasopresor

Kriteria Minor :

o Laju pernapasan > 30x/menit


o PaO2/FiO2 rasio > 250
o Infiltrat multilobus
o Konfusi
o Blood urea nitrogen (BUN) > 20 mg/dl
o Leukopenia (leukosit < 4000/mm3)
o Trombositopenia (trombosit < 100.000 / mm3)
o Hipotermia ( suhu tubuh < 36oC)
o Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif
 Gagal Napas, syok, gagal multiorgan, koagulopati, eksaserbasi penyakit komorbid2

PROGNOSIS

Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan < 1 % yang dirawat inap di rumah sakit 5,7 – 14 %
yang dirawat di ICU > 30 % ( penelitian di United Kongdom ). 4 mortalitas pasien dengan nilai
CURB 65 = 0 adalah 1,2 %, 3-4 adalah 31%.

PNEUMONIA PADA KEHAMILAN


DIAGNOSIS

277
Anamnesis

Batuk (90%), sesak napas (65%), sputum produktif, nyeri dada, malaise7

Pemeriksaan Fisik

Laju napas meningkat7

Pemeriksaan Penunjang

 Rontgen thorax
 Kultur sputum, tes serologis, identifikasi cold agglutinin, dan tes antigen bakteri tidak
direkomendasikan7

TATALAKSANA 7,8

1. Tanpa faktor resiko komplikasi atau kematian : erythromycin 500-1000 mg iv q6h,


diberikan dalam 10-14 hari
2. Jika ditemukan faktor resiko seperti tercantum dalam tabel, maka pasien perlu dirawat
inap dan diberikan tambahan cefotaxime 1 gr IV q24h) atau ceftriaxone 1 gr iv q8h)
selain erthromycin. Monoterapi dengan obat anti pneumococcal seperti fluoroquinolone (
ciproffloxacin, ofloxacin, levofloxacin) juga dapat diberikan.
3. Jika dicurigai penyebabkan adalah virus ( biasanya paparan infeksi terjadi pada bulan
oktober – mei), oseltamivir 2x75mg oral, zanamivir 2x10mg inhalasi

Tabel 2. Faktor resiko komplikasi atau kematian7

Temuan Klinis

Laju pernapasan 30/min, hipotensi, nadi 125x/menit, > 40oC, atau perubahan status mental

Keterlibatan ekstrapulmonal

Temuan Laboratorium

Leukopenia < 4000 /L atau Leukosytosis 30.000/L : PO2 60 mmHJg atau retensi CO2
retentiondalam udara ruangan, peningkatan serum kreatinin, anemia, nukti adanya sepsis atau
disfungsi organ seperti asidosis atau koagulopati

Temuan Radiologis

278
Keterlibatan lebih dari 1 lobus, kavitas, efusi pleura

KOMPLIKASI

Persalinan premature, sepsis dan asfiksia neonatal

PNEUMONIA PADA GERIATRI


Gejala pneumoniapada geriatri cenderung lebih samar daripada pneumonia umumnya,
dan terkadang dapat muncul delirium. Hal ini disebabkan nkarena kapasitas paru pada usia lanjut
cenderung menurun sehingga kemampuan untuk batuk berkurang. Produksi sputum dapat
banyak tapi kemampuan membersihkannya berkurang, dan juga karena respon imunpasien usia
lanjut telah menurun.9

Faktor resiko pneumonia pada geriatri : kondisi komorbid, usia > 70 tahun, status nutrisi
buruk, imunosiprsi, curiga aspirasi, level serum albumin yang rendah, gangguan menelan,
kualitas hidup yang buruk, konsumsi alkohol dan merokok. Terapi pneumonia pada geriatri
sesuai dengan penyebab sama nseperti pada umumnya dapat dilihat pada tabel 1. Terapi
antibiotik empiris adalah fluoroquinolon karena kebanyakan CAP pada geriatri sisebabkan
streptococcus pneumonia.9 Pasien usia lanjut disarankan untuk melakukan vaksinasi
pneumocpccal dan influenza untukmencegah terjadinya pneumonia.10

PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN


PENGERTIAN

Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Heatlh Care Associated Pneumonia (HCAP)
adalah pneumonia yang terjadi pada pasien setelah >48 jam masuk ke pelayanan kesehatan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Demam, batuk dengan sputum purulen. 11

Pemeriksaan Fisik

Suhu tubuh > 38,3oC, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda – tanda konsolidasi pari. 11

279
Pemeriksaan Penunjang11

 Darah : leukositosis
 Rontgen thoraks : bervariasi dari infiltrat samar sampai konsolidasi lobus dengan air
bronhogram sampai infiltrat alveolar atau interstitial difus
 Kultur darah, analisa gas darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
 Aspirasi endotrakeal menggunakan kateter steril dan fibreiptic bronchosopy dengan
bronchoalveolar lavage untuk mengambil spesimen sehigga dapat dianalisis.

DIAGNOSIS BANDING

Gagal jantung kongestif, atelektasis, aspirasi, tromboemboli paru, perdarahan paru, dan reaksi
obat.11

TATALAKSANA

Suportif

 Terapi O2 jika diperlukan, untuk mencapai PaO2 80-100 mgHg atau saturasi 95 – 96%
 Humidifikasi dengan bebilizer untuk mengencerkan dahak
 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak
 Terapi cairan
 Antipiretik

Antibiotik : sesuai tabel 3

Tabel 3. Terapi Antibiotik Empiris pada HCAP.2

Pasien tanpa faktor resiko patogen MDR

Ceftriaxone 2 g IV q24h atau

Moxofloxacin 400mg IV q24h, ciprofloxacin 400 mg IV q8h, atau levofloxacin 750 mg IV


q24h atau ampicillin/sulbactam 3g IV q6h atau ertapenem 1g IV q24h

Pasien dengan faktor resiko patogen MDR

1. b-lactam
ceftazidime 2g IV q8h atau cefepime 2g IV q8-12h atau
piperacillin/tazobactam 4,5g IB q6h, imipenem 500mg IV q6h, atau 1 g IV q8h atau
meropenem 1 g IV q8h ditambah

280
2. agen kedua melawan bakteri patogen gram negatif
gentamisin atau tobramycin 7mg/kg q24h atau amikacin 20mg/kg IV q24h atau
ciprofloxacin 400mg IV q8h atau levofloxacin 750 mg IV q 24 h ditambah
3. agen aktif melawan bakteri patogen gram positif
linezolid 600 mg IV q12h atau
vancomycin 15/kg sampai 1 gr IV q12h
Keterangan : faktor resiko MDR : terapi antibiotik dalam 90 hari terakhirf, rawat inap selama > 5 hari, immunokompremise,
dialisis krinik dalam 30 hari terakhir, terapi infus di rumah ( termasuk antibiotik), perawatan luka dirumah, insiden tinggi MDR
pada komunitas atau pada pelayanaan kesehatan terkait, riwayat keluarga MDR. 12-14

PROGNOSIS

Prognosis berdasarkan pneumonia severit index(PSI) bila nilai PSI < 90 (resiko rendah, rata –
rata mortalitas sebesar 3,3 %. Bila bilai PSI > 130 ( resiko tinggi), maka rata- rata mortalitas
sebesar 34%. Detail PSI dapat diligat pada tabel 4. 13,14

Tabel 4. Pneumonia Severity Index

Faktor demografi Nilai

Usia ( dalam tahun)

Pria

Wanita -10

Nursing home resident +10

Penyakit lain

Penyakit neoplastik +30

Penyakit hati +20

Gagal jantung kongeatif +10

Penyakit serebrovaskular +10

Penyakit ginjal +10

Pemeriksaan Fisik

Perubahan status mental +20

Laju pernapasan > 30x/menit +20

281
Tekanan darah sistolik < 90mmHg +20

Suhu < 36oC atau > 40oC +15

Laju nadi > 125x/menit +10

Temuan laboratorium dan radiologi

pH arteri < 7.35 +30

BUN > 30 mg/dl +20

Natrium <130 mmol/L +20

Glukosa >250 mg/dl +10

Hematokrit < 30% +10

Tekanan parsial dari oksigen arteri< 60 mmHg +10


atau saturasi oksigen < 90%

Efusi pleura
+10

UNIT YANG MENANGANI

 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi


 RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

 RS Pendidikan : Divisi tropik infeksi, Departemen radiologi/radiodiagnostik, patologi


klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi, anestesi/ICU
 RS Non Pendidikan : Bagian paru, Radiologi, patologi klinik, parasitologi, mikrobiologi
klinik, anestesi/ICU

282
TUBERKULOSIS PARU

PENGERTIAN

Tuberkulosis paru (TB paru ) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru,
disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Demam biasnya subfebril, batuk ( dapat ditemukan batuk darah ), sesak napas, nyeri dada,
malaise, berat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita TB. 2,3

Pemeriksaan Fisik

Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas bronkial, dapat
ditemukan ronkhi basah/kasar/nyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napas jadi
vesikuler melemah, bila terdapat kavitas besar ditemukan perkusi hipersonor ertimpani,
auskultasi suara amphorik.1

Laboratorium2,3,4

 Darah : LED meningkat


 Mikrobiologis
 BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
 Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
 Foto Thoraks PA + lateral ( hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) hilus / KGB paratrakheal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung.
 Imuno-serologis
 Uji tuberculin : sensitifitas 93,6%, spesifisitas 98,4 %.
 Tes PAP, ICT TB : positif
 PCR TB dari sputum ( hanya menunjang Klinis )

283
 Pemeriksaan adenosine deaminase pada tuberkulosis di cairan pleura, perikardial dan
peritoneal. Kriteria positif adalah 100 U/L untuk pleural TB, 92U/L untuk peritoneal TB
dan 90 U/L untuk efusi perikardial. Sensitivitas 100% dan spesifisitas 94.6%

DIAGNOSIS BANDING

Pneumonia, tumor, keganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibat kerja.

TATALAKSANA

Suportif : istirahat, stop merokok, hindari polusi, tatalaksana komorbiditas, nutrisi, vitamin.

Medikamentosa : obat anti tuberkulosis (OAT)

 Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi OAT atau
pernah mendapatkan OAT sebelumnya < 1 bulan, maka regimen terapinya adalah
2HRZE/4RH. Dosis obat dapat dilihat di tabel 1. Pada pasien baru yang diketahui resisten
isoniazid atau diketahui lingkungan sekitar resiko tinggi resisten isoniazid maka berikan
2RHZE/4HRE
 Kategori 2. Pasien yangsebelumnya pernah mendapat terapi OAT
o Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
o Jika hasil DST belum ada
- Pasien yang gagal terapi ( sputum BTA atau kultur tetap positif pada akhir
bulan ke 5 pengobatan ) pasien yang putus obat ( pasien yang putus obat
selama > 2 bulan berturut – turut) atau kambuh, berikan
2HRZES/1HRZE/5HRE
o Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik patogen

Tabel 1. Dosis dan Efek Samping OAT1,6

Nama obat Dosis harian Dosis berkala 3 kali Efek samping


seminggu

Dosis dan Maksimum Dosis dan Maksiimum


range range
(mg/KgBB) (mg/KgBB)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 mg 10 (8-12) 900 Neuropati


perifer

284
Rifampisin 10 ( 8-12) 600 mg 10 ( 8-12) 600
(R)

Pirazinamide
(Z) 25 ( 20-30) - 35 ( 30-40) - Sindrom flu,
hepatotoksik

Steptomisin
(S) Neftotoksik,
15 ( 15-20) - 15 ( 12-18) 1000 gangguan
NVII kranial

Etambuthol Neuritis
(E) optika,
15 ( 15-20) - 30 (25-35) - nefrotoksik,
skin
rash/dermatitis

 Indikasi steroid7
o Meningitis TB
o TB milier dengan atau tanpa meningitis
o TB dengan pleuritis eksudativa
o TB dengan perikarditis konstriktiva
o Manifestasi klinis insufisin=ensi adrenal karena TB

Pemeriksaan Terapi6

 Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasil DST pada blan kedua
pengobatan, bila terdapat resistensi diganti obat sesuai protokol MDR-TB
 Cek sputum BTA pada akhir fase intensif ( akhir bulan ke 2 terapi pada pasien baru dan
akhir bulan ke – 3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT)
 Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke 3 terapi pada pasien baru
dan akhir bulan ke – 4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT
 Jika masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi/ pada pasien baru yang belum pernah
mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan DST pada
pasien baru cek bulan dan DST pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT
 Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu protokol
MDR TB

285
PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS
Multi Drug- Resistant TB (MDR-TB) dan Extensively Drug-Resistant TB (XDR-TB)

MDR-TB adalah resisten terhadap 2 jenis OAT lini pertama yang paling efektif yaitu isoniazid
dan rifampisin. XDR-TB adalah resisten terhadap Isoniazid, rifampizin dan OAT lini kedua.7
faktor resiko MDR, tidak patuh berobat, hasil monitoring sputum BTA tetap positif pada akhir
bulan ke 2 dan ke 3 stelah terapi, riwayat perburukandengan terapi OAT, terpajan pada
lingkungan atau instansi yang prevalensi tinggi MDR, gagal terapi sebelumnya, kondisi
komorbid seperti malabsorbsi, atau rapid-transit diare, memiliki diabetes mellitus tipe 2.6

Prinsip terapi MDR TB :


 Terapi dengan setidaknya 4 obat yang masih efektif berdasarkan hasil kultur
International Standars for Tuberculosis Care (ISTC)
 Pengobatan paling sedikit selama 18 bulan (ISTC)
 Monitoring kultur/’sputum BTA setiap bulan, sampai terjadi konversi
 Bila sudah terjadi konversi, monitoring kultur / sputum BTA dilakukan tiap 2-3 bulan
 Terapi dilanjutkan selama 18 bulan setelah konversi. Tetapi agen injeksi dilanjutkan 4-6
bulan setelah konversi.

Pemilihan terapi MDR TB :

 Pemilihan obat berdasarkan hierarki se[erti yang tercantum pada tabel 2.


 Pilihlah obat yang paling efektif (berdasarkan hasil DST) pada kelompok 1 terlebih
dahulu, baru kemudian kelompok 2,3, dan 4.

Tabel 2. Kelompok Obat untuk Terapi MDR TB

Kelompok Obat (singkatan) Dosis

Kelompok 1 : Pyrazinamide (Z) 25 mg/kbBB/hari (maksimal


2gr/hariPO
Agen lini pertama peroral
15-25 mg/kgbb/hr PO
Etambuthol (E)
5 mg/kb/dosis (maksimal 300mg) PO
Rifabutin (Rfb)

Kelompok 2 :
15 mg/Kg/hari, 5-7hari/minggu (maks
Agen injeksi Kanamycin (Km) 1gr)  15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu

286
setelah periode awal (iv atau im)

15 mg/Kg/hari, 5-7hari/minggu (maks


1gr)  15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu
setelah periode awal (iv atau im)
Amikacin (Am) 15 mg/Kg/hari, 5-7hari/minggu (maks
1gr)  15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu
setelah periode awal (iv atau im)

15 mg/Kg/hari, 5-7hari/minggu (maks


1gr)  15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu
setelah periode awal (iv atau im)
Capreomycin (Cm)

500 – 1000 mg/hari (po atau iv)

1x400 mg (po atau iv)


Streptomycin (S)

2x400 mg (po)

8 – 12 gr/hari dibagi 2-3 kali dosis po

2x 250 mg po
Kelompok 3 : Levofloxacin (Lfx)
15020 mg/kg/hari (maksimal 1 gr) po
Fluroquinolone
10 – 20 mg/kg (maksimal 750 mg) po
Moxofloxacin (Mfx)

100-200 mg/hari po
Ofloxacin (Ofx)
1x600 mg

2x2 gr Amx + 125 mg Clv po


Kelompok 4 : Para – aminosalicylc
acid (PAS)
Agen lini kedua
bakteriostatik oral Cyclocerine (Cs) 1x150 mg po

287
Terizidone (Trd) 2x1 gr iv

Protionamide (Pto) 16-20 mg/kg/hari po

2x500 po

Kelompok 5 : Clofasimine (Cfz)

Agen yang belum jelas Linezolid (Lzd)


perannya dalam terapi MDR
TB Amoxicillin/clavulanate
(Amx/Clv)

Thiocetazone (Thz)

Imipenem/cilastatin
(Ipm/Cln)

Dosis tinggi isoniazid


(H)

Clarithromycin (Clr)

TB Ekstra Paru

TB ekstra paru diterapi sama seperti TB paru. Pada meningitis TB disarankan terapi berlangsung
selama 9-12 bulan sementara pada TB tulang dan sendi disarankan terapi selama 9 bulan.
Kortikosteroid ditambahkan pada terapi meningitis TB dan perikarditis. Dosis kortikosteroid
pada meningitis TB dan efusi perkardial dapat dilihat pada tabel 3. Pada meningitis TB,
etambutol diganti steptomisin.6

Tabel 3. Rekomenmdasi dosis kortiksteroid pada TB ekstrapulmonal 10,11

Kondisi Klinis Regimen obat

Meningitis TB stadium 1 Durasi selama 6 minggu

Hari 1-7 : dexamethasone 0.3 mg/kg iv

Hari 8-14 : 0.2 mg/kg iv

288
Hari 15-21 : 0.1 mg/kg iv

Hari 22-28 : 1 x 3 mg po

Hari 29-35 : 1x2 mg po

Hari 36-42 : 1x1 mg po

Meningitis YB stadium 2 dan 3 Durasi 8 minggu

Hari 1-7 : dexamethasone 0.4 mg/kg iv

Hari 8-14 : 0.3 mg/kg iv

Hari 15-21 : 0.2 mg/kg iv

Hari 22-28 : 0,1 mg po

Hari 29-35 : 1x4 mg po

Hari 36-42 : 1x3 mg po

Hari 43-49 : 1x2 mg po

Hari 50-56 : 1x1 mg po

Efusi pericardial TB Total durasi 11 minggu

Hari 1-28 : prednisone 1x60 mg po

Hari 29-56 : 1x30 mg po

Hari 57-70 : 1x15 mg po

Hari 71- 77 : 1x5 mg po

Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada
umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Steptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat ototoksik permanen dan dapat

289
menembus sekat plasenta. Keaadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu
hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalamn lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. 6,7,11

Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu yang menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenit OAT relatif aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harun mendapat panduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti TB
lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai
HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARB (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai standar WHO.
Penggunaan suntikan steptomisin harus memperhatikan prinsip – prinsip Universal Precaution (
kewaspadaan Keamanan Universal ) pengobatan TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi
dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang beresiko
tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing
= konsul suka rela dengan test HIV ).7

Rekomendasi ARV pada pasien TB adalah evafirenz (EFV) dan 2 nukleoside. 6

KOMPLIKASI PENYAKIT

 Komplikasi paru : atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumothoraks, gagal


napas
 TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe
 Kor pulmonal

PROGNOSIS

Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan pyrazinamide selama 2 bulan, sekitar 96-
99% sembuh (bagi pasien HIV negatif).8 angka kambuh < 5%.3

UNIT YANG MENANGANI

 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi


 RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

290
UNIT TERKAIT

 RS Pendidikan : Divisi di depatemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan


keterlibatan organ/komplikasi TB, Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, patologi
klinik, mikrobiologi klinik, patologi anatomi, bedah/toraks dan bagian lain yang yterkait
dengan keterlibatan organ/komplikasi TB
 RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, bedah, patologi klinik, patologi anatomi,
mikrobiologi klinik dan bagian lain yan terklait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB

TUMOR PARU

KARSINOMA PARU
PENGERTIAN

Merupakan sel kanker yang tumbuh dan berasal dari jaringan paru. Pembagian praktis karsinoma
paru yntuk tujuan pengobatan yaitu :1

 Small cell lung cancer (SCLC)


 Non small cel lung cancer (NSCLC)

Faktor resiko1,3

 Merokok (aktif, pasif)


 Polusi lingkungan kerja :
o Asbestis (galangan kapal, konstruksi, pertambangan)
o Arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam)
o Hidrokarbon aromatik polisiklik ( industri kerja)
o Kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom)
o Silika (penemuan baja )
o Pabrik gas beracun, penyulingan nikel
o Tambang uranium, radon dan turunannya
 Polusi udara : gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik
polisiklik
 Radiasi non ionisasi (telepon selular)
 Radiasi prosedur diagnostik

PENDEKATAN DIAGNOSIS

291
Anamnesis

Asimptomatis, batuk, hemoptisis, nyeri dada, dyspneu karena efusi pleura. Jika sudah ada
metastasis dapat memberikan keluhan nyeri tulang, sakit kepala, suara serak, sulit menelan, dan
sesak napas.1

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing, stridor, abses, atelektasis, aritmia (invasi ke
pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis),
suara serak (penekanan pada N. Laryngeal recurrent), sindrom Pancoast (invasi pleksus
brakhialis dan saraf simpatis servikalis). Jika sudah ada metastasis dapat ditemukan ikhterus,
perubahan neurologis, pembesaran kelenjar getah bening. 1

Pemeriksaan Penunjang 1,3

 Pemeriksaan serologis/ tumor marker : karena spesifisitas yang rendah dalam


mendiagnosis karsinoma paru, maka lebih banyak digunakan untuk evaluasi hasil
pengobatan.
o CEA (carcinoma embryonic antigen)
o NSE ( neron – specific enolase )
o Cyfra 21-2 (cytokeratin fragments 19 )
 Foto rontgen dada
 CT scan dan MRI
 Bone scanning
o Indikasi : jika diduga ada tanda – tanda metastasis ke tulang
 Pemeriksaan sitologi sputum : dilakukan rutin dan sevagai skrining untuk diagnosis dini
o Hasil pemeriksaan tergantung : letak tumor terhadap bronkus, jenis tumor, teknik
mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa dan waktu pemeriksaan
sputum.
 Pemeriksaan histopatologi : standar emas diagnosis karsinoma paru. Cara mendapatkan
spesimennya :
o Bronkoskopi
o Trans torakal biopsi (TTB)
o Torakoskopi
o Mediastinoskopi
o Torakotomi

Sindrom para neoplastik terdapatpada 10 % karsinoma paru, terdiri dari :

 Gejala sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam

292
 Hematologi ; leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
 Neurologik : demensia, ataksia, tromor, neuropati perifer
 Endokrin : sekresi PTH (hiperkalsemia)
 Dermatologi : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
 Renal : SIADH (syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone)
 Osteoarthropati hipertrofi

STAGING KARSINOMA PARU

TNM

Stage IA T1N0M0

Stage IB T2N0M0

Stage IIA T1N1M0

Stage IIB T2N1M0

Stage IIIA T13N2M0

T3N1M0

Stage IIIB T4 any N M 0

Any T N3M0

Stage IV Any T any N M1

Keterangan :

Tx : tumor terbukti ganas didapat dari secret bronkopulmonar, tapi klinis terlihat secara
bronkoskopis dan radiologis. Tumor tidak dapat dinilai pada staging retreatmkent

T1 : tumor dengan diameter < 3 cm

T2 : tumor dengan diameter > 3 cm atau terdapat atelektasis pada hilus distal

T3 : tumor ukuran apapun meluas ke pleura, dinding dada, diafragma, perikardium, < 2 cm dari
carina, terdapat atelektasis total

T4 : tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum atau terdapat efusi pleura malignan

NO : tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat

N1 : metastasis KGB bronkopulmoner atau ipsilateral hilus

N2 : metastasis KGB mediatinal atau sub carina


293
N3 : metastasis KGB mediatinal kontralateral atau hilus atau KGB skaleneus atau
supraklavikurar

M0 : tidak ada metastasis jinak

M1 : metastasis jinak pada organ (otak, hati)

Pendekatan diagnosis pada nodul soliter paru

Terdeteksi adanya nodul


baru pada CT scan

Klasifikasi jinak pada CT


Scan atau stabil selama 2 Ya Tidak perlu pemeriksaan lebih lanjut
tahun pada rontgen

Tidak

Apakah kemungkinan kanker

Ya

Kemungkinan kanker rendah Kemungkinan kanker sedang Tidak Ada faktor resiko operasi

CT scan serial 3, 6, 12, 24 bulan

Pemeriksaan tambahan :
Hasil  Video-assited thoracoscopic
 PET jika ukuran nodul > 1 cm
Negatif Hasil surgery. Pemeriksaan kelenjar
 Aspirasi jarum halus trans getah bening mediastinum dan
Positif
torasik jika letak nodul diperifer frozen section diikuti lobektomi
 Bronkoskopi jika udara bronkus jika sel ganas
positif
 CT scan

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis pada Nodul Soliter Paru4,5

DIAGNOSIS BANDING

Tumor metastasis dari kanker primer ditempat lain, tumor jinak paru

294
TATALAKSANA

SCLC

 Limited stage (status tampilan baik) : kemoterapi kombinasi dan radioterapi toraks
 Extensive stage ( status tampilan baik ) : kemoterapi kombinasi
 Respons tumor komplit ( semua stage ) : readioterapi kranial profilaksis
 Status tampilan buruk (semua stage) : kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis
radioterapi paliatif

Tabel 3. Terapi untuk NSCLC

Stage Operasi Kemoterapi Radioterapi Kemoterapi


Radioterapi

I dan II Lini pertama Adjuvan pada Lini kedua Tidak


stage IB, IIA,
IIB

Tidak
IIB Lini pertama Tidak Lini pertama –
neoadjuvant
Lini kedua-
neoadjuvan Lini pertama
IIIA Lini kedua Tidak
Tidak
Lini pertama +
IIIB resectable Lini pertama Tidak neoadjuvan
Tidak
Lini pertama
IIIB Tidak Tidak
unresectable Lini pertama
Tidak
IV
Tidak Lini kedua
Kemoterapi :
Lini pertama : siklofosfamid, doksorubisin, metotraksat, prokarbasin
Lini kedua : docetaxel, pemetrexed, and erlotinib, vinorelbine, gemcitabine, pacitaxel, gis plastin, carboplatin
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang menentukan status performance, adakah penurunan
berat badan

Tidak ada gejala atau Ditemukan lesi single pada Ditemukan lesi multiple pada
hasil pemeriksaan yang imajing imajing
menunjukkan adanya
metastasis 295
Biopsi lesi

Tidak ada Ada


Tidak ada kontraindikasi Ada kontraindikasi
metastase metastase
kemoterapi kombinasi kemoterapi kombinasi Kemoterapi dan
dan radioterapi dan radioterapi atau radioterapi
untuk paliatif

Terapi kombinasi dengan Terapi adanya


platinum based terapi, kemoterapi dan
Gambar 2. dan
etoposide Algoritma
radioterapi terapi pada SCLC
radioterapi

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang menentukan status performance, adakah penurunan
berat badan

Tidak ada gejala atau Ditemukan lesi single pada Ditemukan lesi multiple pada
hasil pemeriksaan yang imajing imajing
menunjukkan adanya
metastasis.

Tidak ada kontraindikasi Biopsi lesi


operasi, kemoterapi
kombinasi, tes koagulasi

Tidak ada Ada


Ada
metastase metastase
metastase
Tes fungsi paru, pemeriksaan
imajing untuk melihat adanya
metastase. Tes kardiopulmonar,
tes koagulasi

Rujuk ke bedah untuk evaluasi


mediastinum dan rencana
reseksi

N0 atau N1
N2 atau N3

Stage IA : Stage II atau III Stage IB : Tidak dioperasi.


operasi : operasi diikuti ukuran < 4 cm Terapi kemoterapi
kemoterapi operasi kombinasi
ajuvan
Ukuran > 4cm Ukuran > 4cm operasi
operasi dan dan kemoterapi
kemoterapi 296 adjuvan
adjuvan
Gambara 3. Algoritma Terapi pada NSCLC

KOMPLIKASI

Obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan/hemoptisis, abses, atelektasis, metastasis ke


organ : otak

PROGNOSIS

Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas dan operabilitas. Pada SCLS kemungkinan
harapan hidup rata – rata yauitu 1 tahun. Pada kelompok limited stage kemungkinan harapan
hidup rata – rata 1-2 tahun. Sebesar 30 % kemtian terjadi karena komplikasi lokal tumor, 70 %
meninggal karena karsinomatosis. Pada NSCLS yang dilakuakn tindakan bedah, kemungkinan
hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30 %. Survival setelah tindakan b edah yaitu 30-40% pada
stadium 1, 10-15% pada stadium II dan < 10 % pada stadium III. Kemungkinan hidup rata pasien
tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun tergantung dari performance
status (skala Karnofsky), luasnya penyakit, adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir
1,3

UNIT YANG MENANGANI

 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi


 RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

 RS Pendidikan : Divisi Hematologi Onkologo Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam,


Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/Toraks
 RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, bedah

297
DIVISI GERIATRI

298
DEHIDRASI

PENGERTIAN
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, berupa hilangnya air lebih banyak dari
natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama
(dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium lebih banyak daripada air (dehidrasi hipotonik).
Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145
mmol/liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 225 mosmol/liter) Dehidrasi
isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mmol/liter) dan osmolalitas
efektif serum (270-285 mosmol/liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar
natrium serum (kurang dari 135 mmol/liter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270
mosmol/liter)
Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan
kemampuan homeostatic seiring dengan bertambahnya usia.Secara khusus, terjadi penurunan
respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas.Di samping itu juga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosterone dan
penurunan tanggapan ginjal terhadap vasopressin.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, mengantuk.
Pemeriksaan Fisik
Aksila lembab/basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis
berkurang.Penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas.Penurunan berat badan akut lebih
dari 3%.Hipotensi ortostatik.
Laboratorium
Urin : berat jenis (BJ) urin ≥1.019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria) serta Blood
Urea Nitrogen/Kreatinin ≥ 16.9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna).
Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat ortostatik, tidak ada
perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis
dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik).

299
Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengukuran kadar natrium plasma
darah, osmolaritas serum, dan tekanan vena sentral.

TATALAKSANA
Lakukan pengukuran keseimbangan cairan yang masuk dan keluar secara berkala sesuai
kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500
ml/24jam (30 ml/kgbb/24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian deficit
cairan dan kehilangan cairan masih berlangsung.Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk
jumlah insensible water loss sangat perlu di lakukan tiap hari.Perhatikan tanda-tanda kelebihan
cairan seperti ortopnea, sesak nafas, perubahan pola tidur atau confusion.Pemantauan dilakukan
setiap 4-8 jam tergantung beratnya dehidrasi.Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis
dehidrasi.
 Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan kandungan
sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk dan anggur.
 Dehidrasi isotonic: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang mengandung
sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonic yang ada dipasaran.
 Dehidrasi hipotonik: cairan yang dianjurkan seperti diatas tetapi dibutuhkan kadar
sodium yang lebih tinggi.
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum peroral, selain
pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang
hilang terutama adalah air, maka jumlah rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan
rumus:
Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan – CBT saat ini
CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini
140
CBT saat ini (pria) = 50% x berat badan (kg)
CBT saat ini (wanita) = 45% x berat badan (kg)
Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan NaCl 0,9% atau dekstrosa
5% dengan volume sebanyak 25-30% dari defisit cairan total perhari. Pada dehidrasi
hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan

300
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, bila perlu pemberian
cairan hipertonik.

KOMPLIKASI
Gagal ginjal, sindrom delirium akut, kejang.

PROGNOSIS
Deteksi dan terapi dini dehidrasi menghasilkan prognosis kesembuhan yang baik. Bila
tidak ada komplikasi maka keseimbangan cairan akan terkoreksi.

KOMPETENSI
 Spesialis penyakit dalam : A3, B4
 Konsultan geriatri

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam – divisi geritari, depertemen
rehabilitasi medik
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA

PENGERTIAN
Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapat
suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment
(MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian akan berkembang menjadi
demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain.
301
Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi “sindrom predemensia”
(kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai
studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer)
yang simtomatik.
Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi kognitif
ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vaskular dan
aterosklerosis.
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian,
bahasa, praksis dan vissuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aktivitas kerja
dan sosial secara bermakna.
Demensia Alzheimer merupakan demensia yang demensia yang disebabkan oleh
penyakit Alzheimer; munculnya gejala perlahan-laahn namun progresif.Demensia vaskuler
merupakan demensia yang terjadinya berhubungan dengan serangan strok (biasanya terjadi 3
bulan pasca strok); munculnya gejala biasanya bertahap sesuao serangan strok yang mendahului
(step ladder).Pada satu pasien pasca stroke bisa terdapat kedua jenis ini (tipe campuran). Pada
kedua tipe ini lazim terdapat faktor risiko seperti: hipertensi, diabetes mellitus, dyslipidemia dan
faktor aterosklerosis lain.
Demensia dapat disertai behavioral dan psychological symptoms of dementia (BPSD)
yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian berulang atau mannerism,
kecemasan, atau agresivitas.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Memori pasien tingkat aktivitas sehari-hari, juga diperlukan anamnesis dari orang
terdekat pasien, riwayat stroke, hipertensi, diabetes.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the mini-mental state examination (MMSE), the
global deterioration scale (GDS), dan the clinical dementia ratings (CDR). Nilai MMSE
dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksaan harus
mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan MMSE.

302
 Fungsi tiroid, hati, dan ginjal
 Kadar vitamin B12
 Kadar obat dalam darah (terutama yang berkerja pada susunan saraf pusat)
 CT scan, MRI
Untuk kriteria diagnosis MCI dan VCI dapat dilihat pada tabel 1, sementara kriteria diagnosis
demensia dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Kriteria diagnosis untuk MCI dan VCI


Mild cognitive impairment (MCI)

 Keluhan memori, yang diperkuat oleh informan


 Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan
 Fungsi kognitif umum masih baik
 Aktivitas sehari-hari masih baik
 Tidak demensia

Vascular cognitive impairment (VCI)

 Gangguan kognitif ringan sampai sedan, terutama fungsi eksekutif


 Tidak memenuhi kriteria demensia
 Mempunyai penyebab vaskular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark
jaringan otak
 Bukti lain adanya aterosklerosis
 Hachinki ischemic stroke (HIS) yang tinggi

Tabel 2. Kriteria diagnosis untuk demensia (sesuai dengan DSM IV)2


Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut:

A. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari untuk mempelajari


informasi baru untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari.
Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut
1. Afasia (gangguan berbahasa)
2. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorikwalaupun

303
fungsi motoric masih normal)
3. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik masih normal)
4. Ganguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir
runut, berpikir abstrak)

Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna
pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

DIAGNOSIS BANDING
Transient ischemic attack, delirium, depresi, factitious disorder, normal aging.Kondisi
klinis lain yang juga harus dibedakan adalah pengaruh obat-obatan dan defisit sensori pada orang
tua. Beberapa jenis obat yang sering dikatakan meimbulkan confuse adalah opiate,
benzodiazepine, neuroleptic, antikolinegik, H2 blocker, dan kortikosteroid. Gangguan sensoris
pada orang tua seperti impairment of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi
yang salah dengan demensia. (Current) Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/
atau penyakit Parkinson.

Table 3. Kriteria diagnosis klinis penyakit Alzheimer menurut the National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) and the Alzheimer’s
Disease and Related Disorder Association (ADRDA).
1. Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyait Alzheimer mencakup:
 Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan
pemeriksaan the mini-mental test, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan
sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
 Defisit pada dua atau lebih area kognitif
 Tidak ada gangguan kesadaran
 Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun
 Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan

304
defisit progresif pada memori dan kognitif
2. Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
 Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia dan agnosia
 Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
 Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi
secara neuropatologi
 Hasil laboratorium yang menunjukkan
 Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
 Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan
aktivitas slow-wave
 Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT-scan progresif dan terdokumentasi
oleh pemeriksaan serial
3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,
setelah mengeksklusi penyebab lain selain penyakit Alzheimer:
 Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
 Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkotinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan BB
 Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit usia
lanjut, seperti peningkatan tonus otot, mikroklonus, dan gangguan melangkah
(gait disorder)
 Kejang pada penyakit yang lanjut
 Pemeriksaan CT normal untuk usianya
4. Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
 Onset yang mendadak dan apolectic
 Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit
lapang pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit, dan kejang atau
gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
 Dibuat berdasarkan adanya sistem demensia, tanpa adanya gangguan neurologis,

305
psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya
variasi pada awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit
 Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup
untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan
penyebab demensia
6. Kriteria diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
 Kriteria klinis untuk probable penakit Alzheimer
 Bukti histopatologi yang didapat dari biopsy atau autopsi
7. Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus yang mungkin merupakan subtype penyakit Alzheimer, seperti:
 Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
 Awitan sebelum usia 65 tahun
 Adanya trisomy-21
 Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

Tabel 4. Penatalaksanaan terhadap faktor risiko timbulnya gangguan kognitif pada usia
lanjut
Faktor risiko Penatalaksanaan Keterangan

Hipertensi  Kurangi asupan garam  Rekomendasi JNC VII


 Obat anthipertensi awal dengan dan penelitian ALLHATT
diuretic, dapat dikombinasi dengan
ACE-inhibitor, ARB, B-Blocker,
atau antagonis kalsium
 Target TDS <130 mmHg, TDD <80
mmHg
Dislipidemia  Kurangi asupan makanan berlemak  Konsensus pengendalian
 Obat antidislipidemik dyslipidemia yang
dikeluarkan oleh
PERKENI dan NCEP-

306
 Target: Trigliserida <150 mg/dL, ATP III
HDL kolesterol >40 mg/dL untuk  Beberapa penulis
laki-laki dan >50 mg/dL untuk melaporkan statin dapat
perempuan serta LDL kolesterol menurunkan fungsi
<100 mg/dL kognitif (terutama
memory loss)

Diabetes Melitus  5 Pilar penatalaksanaan DM:  Konsensus


edukasi, perencanaan makan (diet), penatalaksanaan DM tipe
latihan fisik, obat hiperglikemik 2 oleh PERKENI
oral, dan insulin
 Perhatikan pada pemilihan OHO
dan insulin, disesuaikan dengan  Penggunaan insulin sering
penurunan fungsi organ menimbulkan efek
 Target GDP <120 mg/dL, pada usia hipoglikemik pada usia
lanjut GDP <160 mg/dL masih lanjut yang lanjut yang
diterima dapat bermanifestasi
sebagai gangguan kognitif

Obesitas  Penatalaksanaan sejak usia dini 


 Target IMT <25 kg/m2
Gagal jantung,  Identifikasi etiologi yang bisa
fibrilasi atrium, dikoreksi
hiperkoagulasi,  Terapi farmakologis dan
hiperagregasi nonfarmakologis yang sesuai untuk
trombosit, mengendalikan dan mengatasinya
hiperhomosisteinemia,  Rujuk ke konsultan yang sesuai
PPOK pada keadaan-keadaan khusus

TATALAKSANA

307
 Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta pertisipasi pada
aktivitas yang merangsang fungsi kognitif dan stimulasi mental maupun emosional untuk
menurunkan risiko penyakit Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis
gangguan kognitif
 Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
 Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orientasi realitas, rehabilitasi,
dukungan kepada keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien,
reminiscence, terapi music, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha,
jaminan nutrisi yang optimal
 Tatalaksana pada demensia berat terutama modalitas non-farmakologi
 Tatalaksana daktor risiko gangguan kognitif
 Medikamentosa dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5.Obat-obatan yang dipergunakan untuk menghambat penurunan dan memperbaiki


fungsi kognitif pada demensia dan gangguan kognitif ringan.
Nama obat

Karakteristik mekanisme Donapezil Rivastigmin Galantamin Memantin


kerja
Inhibitor Inhibitor Inhibitor Antagonis
Kolinesterase Kolinesterase Kolinesterase reseptor-
NMDA

Waktu untuk mencapai 3-5 0,5-2 0,5-1 3-7


konsentrasi maksimal (jam)

Absorpsi dipengaruhi Tidak Ya Ya Tidak


makanan

Waktu paruh serum (jam) 70-80 2 5-7 60-80

Metabolisme Sitokrom P- Non-hepatik Sitokrom P- Non-hepatik


450 450

308
Dosis (inisial/maksimal) 1x5mg / 2x1,5mg / 2x4mg / 2x5mg /
1x10mg 2x6mg 2x12mg 2x10mg

*modifikasi dari Cummings (2004). NMDA = N-methyl b-aspartate


KOMPLIKASI
Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi

PROGNOSIS
Rata-rata harapan hidup pasien demensia sekitar delapan tahun dengan kisaran 1-20
tahun.Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga
progresifitasnya lebih cepat.10-15% pasien berpotensi untuk kembali ke kondisi awal jika terapi
dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanen.

KOMPETENSI
 Spesialis penyakit dalam
 Konsultan geriatri

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam – divisi geritari
 RS non pendidikan : Bagian ilmu penyakit dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Departemen Psikiatri- divisi Psikiatri-Geriatri
 RS non pendidikan : Bagian Psikiatri

309
310
IMOBILISASI

PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi,
ketrampilan motorik, kondisi jasmani, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbidm serta variable
eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan
arsitektural (kondisi lingkungan) dan kebijaksanaan instutisional.
Imobilisasi didefnisikan sebagai kehilangan gerakan anatomic akiat perubahan fungsi
fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas mobilitas ditempat tidur, transfer, atau ambulansi selama lebih dari tiga
hari.Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan
aktivitas dan “deconditioning”. Berbagai faktor jasmani, psikologis, dan lingkungan yang dapat
menyababkan imobilisasi pada usia lanjut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Penyebab umum imobilisasi pada usia lanjut


Gangguan  Artritis
Muskuloskeletal  Osteoporosis
 Fraktuf (terutama panggul dan femur)
 Problem kaki (bunion, kalus)
 Lain-lain (misalnya penyakit paget)

Gangguan Neurologis  Strok


 Penyakit Parkinson
 Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)

Penyakit  Gagal jantung kongestif (berat)


kardiovaskular  Penyakit jantung koroner )nyeri dada yang sering)
 Penyakit vaskular perifer (klaudikasio yang sering)

Penyakit paru  PPOK (berat)

Faktor sensorik  Gangguan penglihatan

311
 Takut (instabilitas dan takut akan jatuh)

Penyebab Lingkungan  Imobilisasi yang dipaksakan (dirumah sakit atau panti werdha)
 Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat

Nyeri akut atau kronik  Dekondisi (setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut)
lain-lain  Malnutrisi
 Penyakit sistemik berat (misalnya metastase luas pada
keganasan)
 Depresi
 Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat
anti psikotik)
 Perjalanan lama yang mengakibatkan seseorang tidak bergerak

DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riawayat dan lama disabiltas/imobilisasi
 Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi
 Kondisi premorbid
 Nyeri
 Obat-obatan yang dikonsumsi
 Dukungan pramuwerdha
 Interaksi sosial
 Faktor psikologis
 Faktor lingkungan
Pemeriksaan Fisik
 Status kardiopulmonal
 Kulit
 Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki
 Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
 Gastrointestinal

312
 Genitourinarius
 Status fungsional: antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS) Barthel
 Status mental: Antara lain dengan pemeriksaan geriatric depression scale (GDS)
 Status kognitif: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination
(MMSE), abbreviated mental test (AMT)
 Tingkat mobilitas: Mobilitas ditempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas dikursi roda,
keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak
Pemeriksaan Penunjang
 Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, EKG, dll) dan
komplikasi akibat imobilisasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah,
hemostasis, dll.

TATALAKSANA
Tatalaksana Umum
 Kerja sama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga dan pramuwerdha
 Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai tirah baring lama, pentingnya latihan
bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas sehari-hari sendiri, semampu pasien
 Dilakukan pengkajian geriatri peripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan
rencana terapi yang mencakup pula waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi
 Temukendali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit
yang mungkin terjadi pada kasus imbobilisasi, serta penyakit /kondisi penyerta lainnya
 Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan
kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau diherntikan bila
memungkinkan
 Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta
suplementasi vitamin dan mineral
 Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis sudah tercapai,
meliputi latihan mobilitas ditempat tidur, latihan ringkup antar sendi (pasif, aktif dan aktif
dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonik, isometric, isokinetic), latihan

313
koordinasi/keseimbangan (misalnya berjalan pada satu garis lurus), transfer dengan
bantuan, dan ambulasi terbatas
 Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan
ambulasi
 Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet

TATALAKSANA KHUSUS
 Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat tabel 1)
 Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
 Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medic kepada dokter spesialis yang
kompeten
 Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau
dirawat di RS dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut
 Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang
adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen
 Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH), pencegahan
kontraktur dan pneumonia (gerakan-gerakan yang harus dikerjakan, pencegahan ulkus
dekubitus)

KOMPLIKASI
Trombosis, emboli paru, kelemahan otot dan sendi, osteoporosis, ulkus decubitus,
hipotensi postural, pneumomia dan ISK, gangguan nutrisi (hipoalbuminemia), konstipasi dan
skibala.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang
ditimbulkannya.Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak
ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian.

Tabel 3. Efek imobilisasi pada berbagai sistem organ

314
Organ/sistem Perubahan yang terjadi akibat imobilisasi

Muskoloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot,


penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi,
ankilosis peningkatan intra artikular, berkurangnnya volume sendi

Kardiopulmonal dan Peningkatan denyutnadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran


pembuluh darah terhadap orteostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max),
deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi
paru, atelaktasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan
agregasi trombosit dan hiperkoagulasi

Integumen Peningkatan risiko ulkus decubitus dan maserasi kulit

Metabolik dan Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi


endokrin natrium, retensi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa),
hyperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolism
vitamin/mineral

Neurologi dan Depresi dan psikosis, atrofi korteks motoric dan sensorik, gangguan
psikiatri keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kognitif, neuropati
kompresi, dan rekrutmen neuromuscular yang tidak efisien.

GIT dan urinarius Inkotinensia urin dan alvi, ISK, pembentukan batu kalsium,
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan dsitensi kandung
kemih, impaksi feses dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks
esophageal, aspirasi saluran nafas, dan peningkatan risiko perdarahan
gastrointestinal.

KOMPETENSI
 Spesialis penyakit dalam
 Konsultan geriatri
UNIT YANG MENANGANI
 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam – divisi geritari, departemen
rehabitiasi medik

315
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam
UNIT YANG TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

INKOTINENSIA URIN

PENGERTIAN
Inkotinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah hygiene dan sosial.Inotinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada
pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial seperti decubitus, jatuh, depresi,
dan isolasi sosial.
Inkotinensia urin dapat bersifat akut dan persisten.Inkotinensia urin yang akut dapat
diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti ISK, gangguan kesadaran,
vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologis dan skibala.Inkotinensia urin yang persisten
biasanya dapat pula dikurangi dengan berbagai modalitas terapi.
Inkotinensia urin persisten dapat dibedakan menjadi:
 Inkotinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih, keinginan
berkemih yang tidak tertahankan (urgensi) yang disebabkan oleh overaktivitas otot
detrusor karena hilangnya kontrol neurologis atau iritasi lokal.
 Inkotinensia urin tipe stress adalah kegagalan mekanisme sfingter menutup ketika ada
peningkatan tekana intraabdominal mendadak seperti bersin, batuk, mengangkat barang
dan tertawa
 Inkotinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih
melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu (PVR)
>100cc
Penyebab reversible dari inkotinensia (DIAPPERS):
 Delirium or confusion = delirium atau acute confusional state
 Infection, urinary symptoms = ISK

316
 Atrophic genital track changes (vaginitis or urethritis) = atrofi traktus genitalia (vaginitis
atau urethritis)
 Pharmaceutical agents = obat-obatan atau zat yang menimbulkan efek sering berkemih
 Psychological factors= faktor psikologi
 Excess urine production (excess fluid intake, volume overload, metabolic such as
hyperglycemia or hypercalcemia) = kelebihan produksi urin (konsumsi cairan yang
banyak, kondisi overload atau metabolik seperti hiperglikemia atau hiperkalsemia)
 Restricted mobility (chronic illness, injury, or restraint) = mobilitas terbatas (penyakit
kronik, cedera atau diikat)
 Stool impaction = skibala

DIAGNOSIS
Anamnesis
Frekuensi, urgensi, nokturia, dysuria, hesitancy, pancaran lemah, tanyakan frekuensi
miksi, banyaknya kejadian inkotinensia, konsumsi cairan, gejala ginekologis, perdarahan
pervaginam, iritasi vagina.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis: kesadaran, nervus cranialis, fungsi motorik, reflex spinal dan
fungsi sensoris. Pemeriksaan pelvis: inflamasi atau ISK dapat meningkatkan sensasi aferen yang
menyebabkan irritative voiding symptoms.
Pemeriksaan Penunjang
Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah
dan urin, perineometri, urodynamic study.

TATALAKSANA
Terapi untuk inkotinensia urin tergantung pada penyebab inkotinensia urin:
 Untuk inkotinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar
panggul, bladder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat anti muskarinik
(antikolinergik) seperti tolterodin, solifenacin, propiverine atau oksibutinin. Obat anti
muskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif

317
 Untuk inkotinensia urin tiper stress, latihan dasar otot panggul merupakan pilihan utama,
dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pada
orang usia lanjut)
 Untuk inkotinensia urin tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan,
perlu diatasi sumbatannya (misalnya pada BPH)

KOMPLIKASI
Inkotinensia urin dapat menimbulkan komplikasi ISK.lecet pada daerah bokong sampai
dengan ulkus decubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin
yang tercecer.

PROGNOSIS
 Inkotinensia urintipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan dasar otot panggul,
prognosis cukup baik
 Inkotinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan
obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik
 Inkotinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan/retensi urin)

KOMPETENSI
 Spesialis penyakit dalam; A3, B4
 Konsultan geriatri

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam – divisi geritari
 RS non pendidikan : Bagian ilmu penyakit dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Divisi geriatri-Departemen ilmu penyakit dalam
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

318
INSTABILITAS DAN JATUH

PENGERTIAN
Stabilitas adalah proses menerima dan mengintegrasikan input sensorik serta
merencanakan dan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan postur
tegak, atau mengontrol pusat gravitasi tetap berada diatas landasan penopang. Instabilitas adalah
kekurangan atau kehilangan kemampuan untuk mempertahankan stabilitas.Jatuh adalah suatu
kondisi seseorang mengenai lantai atau posisi yang lebih rendah karena ketidakhati-hatian
(inadvertently) dengan atau tanpa penurunan kesadaran.
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh.Kemampuan untuk
mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem saraf dan
musculoskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural.Jatuh terjadi manakala sistem
kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap
landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya
keseimbangan.Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien
datang berobat (keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom
delirium akut).
Terdapat faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh.Faktor intirinsik
terdiri dari faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: OA genu/vertebra lumbal,
plantar fasciitis, kelemahan otot kudaricep femoris, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh
aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal. Faktor
intrinsik sistemik: PPOK, pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, ISK, gangguan aliran
darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan TIA), DM, hipertensi (terutama jika tidak terkontrol),
paresis inferior, penyakit atau sindrom Parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta gangguan
metabolik seperti hypernatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia dan hipoksia. Faktor risiko

319
ekstrinsik/lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak seusai, kain/pakaian bagaian bawah tubuh
yang terjuntai, lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah dan tidak ratam
furniture yang terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tidak aman, kamar mandi dengan bak
mandi/kloset yang terlalu rendah atau tinggi dan tidak memiliki alat bantu untuk berpegangan,
tali atau kabel yang berserakan dilantai,karpet yang terlipat, dan benda-benda dilantai yang
membuat seseorang terantuk.

Tabel 1. Penyebab jatuh


Penyebab jatuh Keterangan

Kecelakaan Kecelakaan murni (terantuk, terpeleset, dll). Interaksi antara bahaya


dilingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan

Sinkop Hilangnya kesadaran mendadak

Drop attacks Kelemahan tungkai bawah mendadak yang mentebabkan jatuh tanpa
kehilangan kesadaran.

Dizziness dan/atau Penyakit vestibular, penyakit SSP


vertigo

Hipotensi ortostatik Hipovolemia dan cardiac outout yang rendah, disfungsi otonom,
gangguan aliran darah balik vena, tira baring lama, hipotensi akibat
obat-obatan, hipotensi postprandial

Obat-obatan Diuretika, antihipertensi, antidepresan golongan trisiklik, sedative,


antipsikotik, hipoglikemia, alkohol

Proses penyakit Berbagai penyakit akut.

Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta, sinkop


sinus carotid.

Neurologis: TIA, strok, kejang, penyakit Parkinson, spndilosi lumbal


atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf),

320
penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya
berjalan), lesi sistem saraf pusat (tumor, hematom subdural)

Idiopatik Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi

DIAGNOSIS
Anamnesis
Terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo, rasa
bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri. Riwayat jatuh,
frekuensi, dan gejala yang dirasakan saat jatuh, riwayat pengobatan dan faktor risiko jatuh perlu
ditanyakan.
Pemeriksaan Fisik
Pendekatan dalam pemeriksaan jasmani dapat menggunakan singkatan “I HATE
FALLING”, yaitu:
I : inflamasi pada sendi (deformitas sendi)
H : hipotensi
A : auditory and visual abnormalities
T : tremor (penyakit Parkinson atau penyebab lain)
E : equilibrium problem
F : Foot problem
A : artimia, heart block atau penyakit katup jantung
L : leg length discrepancy (akibat fraktur femur misalnya)
L : lack of conditioning (generalize weakness)
I : illness
N : nutrisi (status nutrisi buruk dan kehilangan berat badan)
G : gait disturbance
Pemeriksaan lain dapat dilakukan seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Evaluasi pada pasien usia lanjut yang jatuh


Evaluasi Keterangan

321
Anamnesis

Riwayat medis umum

Tingkat mobilitas

Riwayat jatuh sebelumnya

Obat-obatan yang dikonsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika

Apa yang dipikirkan pasien Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh? Apakah kejadian
sebagai penyebab jatuh jatuh tersebut sama sekali tidak terduga? Apakah pasien
terpeleset atau terantuk?

Lingkungan sekitar tempat jatuh Waktu dan tempat jatuh. Saksi: kaitannya dengan perubahan
postur, batuk, BAK, memutar kepala

Gejala yang terkait Kepala terasa ringan, dizziness,vertigo: palpitasi, nyeri dada,
sesak; gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan,
gangguan sensorik, sidatria, ataksia, bingung, afasia); Aura;
Inkotinensia urin atau alvi

Hilangnya kesadaran Apakah yang langsung diingat setelah jatuh?

Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh, dan jika


dapat berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit
setelah jatuh?

Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan?

Pemeriksaan jasmani

Tanda vital Demam, hipotermia, frekuensi pernafasan, frekuensi nadi dan


tekanan darah saat berbaring, duduk dan berdiri

Kulit Turgor, trauma, kepucatan

322
Mata Visus

Kardiovaskular Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus


karotis

Ekstremitas Penyakit sendi degenaratif, lingkup gerak sendi, deformitas,


fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu
yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran atau rusak)

Neurologis Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas,


spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posis),
propioseptif, reflex, fungsi saraf kranial, fungsi serebelum
(terutama uju tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal;
tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain,
keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara
berdiri dan berjalan (uji get up and go)

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan (dapat dilihat dalam bab procedural) seperti the timed up and go
test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test) dan uji keseimbangan Berg (the
berg balance sub scale of the mobility index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas
sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko
untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Instrumen untuk memeriksa keseimbangan
dan mobilitas fungsional dapat dilihat pada lampiran 1.Pemeriksaan penunjan diperlukan untuk
membantu mengidentifikasi faktor risiko, menemukan penyebab/pencetus.
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologi fokal,
adakahcerebro vaskular disease atau TIA, lakukan brain CT-scan jika ada indikasi
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreaetinin dan glukosa darah
 AGD
 Urin lengkap dan kultur resistensi urin
 Hemostasis darah dan agregasi trombosit

323
 Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
 EKG
 Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
Penilaian risiko jatuh ada beberapa metode untuk menilai risiko jatuh pada geriatri
seperti the downtown fall risk index dan rumus seperti dibawah ini:
Kemunkinan jatuh = exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time) – 0.071 x (ABC1) – 2.139 x Berg14)] x 100%
1+exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time) – 0.071 x (ABC1) – 2.139 x Berg14)]
Keterangan :
 Skala uji keseimbangan Berg : lihat dilampiran
 Reaction time : merupakan waktu diukur dari pemberian unexpected stimulus sampai merespons terhadap
stimuli tersebut
 Skala activities specific balance confidence (ABC) : terdiri dari 16 poin (subscale), subjek diminta untuk
menentukan tingkat kepercayaan diri mereka ketika diminta menyelesaikan suatu aktivitas.

Tabel 3. Penialian klinis dan tatalaksana yang direkomendasikan bagi orang tua lanjut
yang berisiko jatuh
Penilaian dan faktor risiko Tatalaksana

Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk


mengurangi kemungkinan jatuh berulang

Konsumsi obat-obatan: Review dan kurangi konsumsi obat-obatan

 Obat-obat berisiko tinggi


(benzodiazepine, obat tidur lain,
neuroleptic, anti depresi, anti konvulsi
atau antiaritmia kelas A
 Konsumsi 4 macam obat atau lebih

Penglihatan : Penerangan yang tidak menyilaukan, hindari


pemakaian kacamata multifocal saat berjalan,
 Visus <20/60
rujuk ke dokter spesialis mata
 Penurunan persepsi kedalaman (depth
perception)

324
 Penurunan sensitivitas terhadap kontras
 Katarak

Tekanan darah postural (setelah >5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
dalam posisi supine, segera setelah berdiri, dan memungkinkan; review dan kurangi obat-
2 menit setelah berdiri) tekanan darah sistolik obatan; modifikasi dan restriksi garam; hidrasi
turun > 20 mmHg (atau >20%) dengan atau yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi
tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit berdiri bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan,
atau latihan dorsofleksi); stoking kompresi,
terapi farmakologis jika strategi diatas gagal

Keseimbangan dan gaya berjalan: Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika
memungkinkan; kurangi obat-obatan yang
 laporan pasien atau observasi adanya
mengganggu keseimbangan; intervensi
ketidakstabilan
lingkungan; rujuk ke rehabilatasi medik untuk
 gangguan pada penilaian singkat (uji
alat bantu dan latihan keseimbangan serta gaya
get uo and go atau performance-
berjalan
oriented assessment of mobility)

Pemeriksaan neurologis: Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika


memungkinkan; tingkatkan input propioseptif
 gangguan propioseptif
(dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai,
 gangguan kognitif
dengan hak rendah atau bersol tipis); kurangi
 penurunan kekuatan otot
obat-obatan yang mengganggu fungsi kognitif,
rujuk ke rehabilatasi medik untuk latihan gaya
berjalan, keseimbangan, dan kekuatan

Tabel 4. The downtown fall risk index


Penilaian Skor

Riwayat jatuh sebelumnya Tidak 0

Ada 1

325
Obat-obatan Tidak ada 0

Sedative/tranquillizers 1

Diuretik 1

Obat antihipertensi (selain diuretik) 1

Obat anti Parkinson 1

Obat anti depresi 1

Obat-obatan lain 0

Defisit sensorik Tidak ada 0

Gangguan penglihatan 1

Gangguan pendengaran 1

Gangguan anggota tubuh (limb) 1

Status mental Orientasi 0

Confused (gangguan kognitif) 1

Gait Normal (aman tanpa alat bantu) 0

Aman dengan alat bantu untuk berjalan 0

Tidak aman (dengan/ atau tanpa alat bantu) 1

Tidak mampu berjalan 0

keterangan : skor ≥3 risiko tinggi untuk jatuh

TATALAKSANA
 Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah
identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik
akibat jatuh, mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh,

326
memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat
bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin dan sebagainya.
 Latihan desensitasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi
dan keseimbangan), latihan tai-chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan,
menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan dan teknik bangun setelah
jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh
berikutnya.
 Perubahan lingkungan acap kali penting untuk mencegah jatuh berulang kerena
lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal sering kali tidak aman sehingga upaya
perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat
dihindari
 Keluarga harus dilibatkan dalam program pencegahan jatuh berulang
 Penatalaksanaan faktor risiko juga dilakukan seperti pada tabel 3
 Suplementasi vitamin D dosis 800 IU setiap hari dapat diberikan pada usia lanjut yang
berisiko jatuh, adanya defisiensi vitamin D, adanya gangguan keseimbangan atau gait
 Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanjut dapat dilihat pada lampiran
2.

KOMPLIKASI
Fraktur (tersering tulang vertebra, panggul, ibu jari, tungkai, pergelangan tangan, kaki
dan lengan atas), memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi.

PROGNOSIS
Kemungkinan jatuh berulang lebih dari satu kali setiap tahunnya, terjadi pada 50%
penghuni rumah perawatan/panti werdha, 10-25% mengalami komplikasi serius. Jatuh dapat
mempengatuhi kualitas hidup.Ketakutan mengalami jatuh dialami 25-40% orang berusia lanjut.
Jatuh menyebabkan kematian karena kecelakaan dan terbanyak menyebabkan perawatan
dirumah sakit.Sebanyak 20-30% kasus jatuh menyebabkan luka berat seperti laserasi, fraktur
panggul, atau trauma kepala (46%). Kematian berhubungan dengan usia (82% kasus terjadi pada
usia >65 tahun), jenis kelamin laki-laki ras kulit putih, non-hispanik.

327
KOMPETENSI
 Spesialis penyakit dalam
 Konsultan geriatri

UNIT YANG MENANGANI


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam – divisi geritari
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

UNIT YANG TERKAIT


 RS Pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam
 RS non pendidikan : Departemen ilmu penyakit dalam

Lampiran 1

UJI THE TIMED UP AND GO


Tujuan : mengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan
Cara pelaksanaan : subjek bangun dari kursi setinggi 46 cm dengan sandaran lengan dan
punggung, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali
Hasil :
Tabel 4. Hasil pemeriksaan the timed up and go
Waktu (detik) Tingkat mobilitas

<10 Kemandirian penuh

<20 Umumnya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas seperti aktivitas


mandi, mampu untuk naik tangga, dan bepergian sendiri

Variasi dalam mibilitas dan keseimbangan


20-29
Mobilitas terganggu dan ketergantungan pada kebanyakan aktivitas karena
>30
risiko jatuh tinggi

328
UJI MENGGAPAI FUNGSIONAL
Tujuan : menilai kontrol postural dinamis
Cara pelaksanaan : mengukur jarak terjauh seseorang yang berdiri mampu menggapai atau
mencodongkan badannya kedepan tanpa melangkah
Hasil :
Tabel 5. Hasil pemeriksaan uji menggapai fungsional
Kriteria Usia (tahun) Jenis kelamin Hasil pemeriksaan

Normal 41-69 Laki-laki 14,98 inch ± 22,21

Perempuan 13,81 inch ± 2,2

70-87 Laki-laki 13,16 inch ± 1,55

Perempuan 10,47 inch ± 3,4

Berisiko jatuh >70 <6 inch

UJI KESEIMBANGAN BERG


Tujuan : menguji aktivitas dan keseimbangan fungsional dengan menilai kemampuan
mengerjakan 14 tugas
Hasil : Setiap tugas dinilai dengan rentang dari angka 0 jika tidak mampu melakukan sampai
angka 4 : mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak yang ditentukan.
Skor maksimum 56’
Tugas-tugas yang dinilai dalam 10-20 menit
 Duduk tanpa bantuan
 Bangkit dari duduk ke berdiri
 Berdiri ke duduk
 Transfer
 Berdiri tanpa bantuan
 Berdiri dengan mata tertutup
 Berdiri dengan kedua kaki rapat

329
 Berdiri dengan kedua kaki dalam posisi tandem
 Berdiri dengan satu kaki
 Rotasi punggung saat berdiri
 Mengambil objek tertentu dari lantai
 Berputar 3600
 Melangkahi kursi tanpa sandaran
 Menggapai kea rah depan saat berdiri

Lampiran 2
z
Menanyakan riwayat jatuh Tidak ada Pencegahan jatuh, edukasi, dan program latihan
dalam setahun terakhir jatuh meliputi keseimbangan, gait, latihan koordinasi,
latihan kekuatan

Jatuh > 1 kali, kesulitan 1 kali jatuh Tidak ada masalah


dalam keseimbangan dan dalam 6
gait, mencari penyebab bulan
medis

Menentukan faktor risiko Gangguan Pemeriksaan adakah gangguan


multifaktorial keseimbangan keseimbangan dan gait
dan gait

 Anamnesis mengenai jatuh  Intervensi faktor risiko


 Riwayat pengobatan  Penyesuaian obat
 Pemeriksaan keseimbangan dan gait  Merencanakan program latihan individual
 Kognisi, visual  Mengobati kelainan visual
 Fungsi sendi ekstremitas bawah  Mengatasi hipotensi postural
 Kelainan neurologis  Menangani gangguan detak jantung dan
 Kelainan otot irama jantung
 Detak jantung dan irama jantung  Suplementasi dengan vitamin D
 Hipotensi postural  Mengurangi bahaya yang ada di lingkungan
 Environment hazard  Edukasi dan latihan penanganan mandiri
dan perubahan tingkah laku

330
Gambar 1. Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanju

TATALAKSANA NUTRISI PADA “FRAILTY” USIA LANJUT

ANOREKSIA PADA USIA LANJUT


asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-7-%. Mekanisme anoreksia pada
usia lanjut dipengaruhi faktor fisiologis, psikologis dan sosial yang berpengaruh pada nafsu
makan dan asupan makanan. Termasuk perubahn rasa kecap dan pembauan, meningkat
sensitifitas efek kenyang (satiati makanan), kesulitan mengunyah, dan gangguan fungsi usus.
Penyebab lain anoreksia pada usia lanjut adalah peran hormone yang mempengaruhi nafsu
makan, yaitu kolesistokinin, ghrelin dan leptin. Kehilangan nafsu makan atau anoreksia dengan
bertambahnya umur berperan pada asupan makanan yang kurang, protein energy malnutrisi, dan
berat badan turun.Faktor psikologis misalnya depresi dan demensia, faktor sosial misalnya hidup
dan makan sendiri. Asupan makanan yang kurang dan diet monoton pada orang usia lanjut
berisiko terjadi asupan nutrient yang tidak adekuat (malnutrisi). Nutrisi buruk menyebabkan
menurunnya kapabalitasfisik, sebliknya menurunnya kekuatan otot dan kapabilitas fisik
menyebabkan meningkatkan risiko nutrisi buruk yang merupakan lingkaran “setan” yang saling
berhubungan.

FRAILTY
Frailty merupakan sindroma geriatri yang dihasilkan dari kumulasi penurunan sistem
fisiologi yang multiple, dengan gangguan cadangan homeostatic dan penurunan kapasitas
terhadap stress, termasuk kerentanan pada risiko jatuh, perawatan ulang dan mortalitas. Fried
dkk, menyatakan terdapat tiga atau lebih gejala: penurunan berat badan, kelelahan, kelemahan,
kecepatan berjalan menurun, dan aktivitas fisik lambat. Frailty dan sarkopenia tumpang tindih,
sebagian besar usia lanjut yang frail memperlihatkan sarkopenia, dan beberapa usia lanjut dan
sarkopenia juga mengalami frail. Sarkopenia adalah sindroma yang ditandai dengan menurunnya
kekuatan dan massa otot secara progresif yang dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup
menurun dan kematian. Salah saru penyebab sarkopenia adalah asuapan energy dan protein yang
tidak adekuat, misalnya malabsopsi, gangguan gastrointestinal atau obat-obatan.

331
NUTRISI PENTING PADA FRAILTY/SARKOPENIA
Asupan makanan yang menurun pada usia lanjut menyebabkan kekuatan dan massa otot
berkurang. Asupan energi rendah yang tidak sesuai dengan energi “expenditure”, memicu
penurunan berat badan, termasuk massa otot berkurang. Asupan makanan yang sedikit,
mikronutrient pada tubuhpun berkurang. Nutrisi penting yang berhubungan dengan frailty dan
sarkopenia pada usia lanjut adalah protein, vitamin D, dan sejumlah antioksidan misalnya
carotenoid, selenium, vitamin E dan C. Penelitian lain membuktikan long-chain polyunsaturated
fatty acid berpengaruh pada kekuatan otot usia lanjut.
Protein
Protein merupakan suatu ‘kunci” nutrien pada usia lanjut.Diet protein yang mengandung
asam amino diperlukan untuk sintesis protein otot.Absorpsi asam amino mempunyai efek
stimulasi pada sintesis protein otot setelah makan. Pada asupan makanan yang kurang, dan
konsumsi protein bersamaan dengan karbohidrat, menyebabkan respon sintesa asam amino tidak
bekerja pada usia lanjut. Asupan protein pada usia lanjut perlu ditingkatkan untuk
mempertahankan keseimbangan nitrogen dan kehilangan massa otot dan meningkatkan fungsi
fisik.
Pada kondisi sarkopenia terjadi penurunan massa otot 3-8% per dekade. Untuk mencegah
atau memperlambat terjadinya sarkopenia, seorang usia lanjut perlu mengkonsumsi protein
dalam jumlah yang adekuat. Untuk memaksimalkan sintesis protein otot, asupan protein 25-30
gram protein untuk kualitas tinggi per kali makan (setara dengan 10 gram asam amino
esensial).Leusin, suatu insulin secretagogue, dapat meningkatkan sintesis protein otot, sehingga
suplementasi leusin ke dalam asupan makanan dapat mencegah terjadinya sarkopenia.
Vitamin D
Hubungan defisiensi vitamin D, osteomalasia, dan miopati sudah dikenal sejak beberapa
tahun yang lalu.Tetapi, peranan langsung vitamin D terhadap kekuatan fungsi otot cukup
kompleks, termasuk peranan genomic dan nongenomic.Reseptor vitamin D, suatu target organ
telah diisolasi dari otot skeletal, dan polimorfisme reseptor vitamn D berhubungan dengan
perbedaan kekuatan otot. Pada tingkat genomic ikatan bentuk aktif biologis vitamin (1,23-
dihidroksivitamin D) meningkatkan transkripsi protein, termasuk metabolism kalsium.
Mekanisme nongenomic vitamin D belum sepenuhnya dipahami.

332
Banyak penelitian yang menyatakan terdapat efek langsung vitamin D terhadap kekuatan
otot. Penelitian NHANES III pada usia >60 tahun status vitamin D rendah (serum 1,25-hidroksi
vitamin D <15 ng/mL-1) berhubungan dengan empat kali peningkatan risiko frailty. Studi
metanalisis suplementasi vitamin D (700-1000 IU per hari) menunjukkan berkurang risiko jatuh
19%.
Antioksidan
Kerusakan yang disebabkan stress oksidatif dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
fisik usia lanjut. Kerusakan DNA, lipid, dan protein dapat terjadi bila reactive oxygen species
(ROS) pada sel meningkat. Kerja ROS diimbangi oleh mekanisme pertahanan anti oksidan yang
termasuk enzim dismutase peroksidase dan peroksidase gluthation, sebagai antioksidan eksogen
pada diet, misalnya selenium, karotenoid, tokopherol, flavonoid, tanaman polyphenol yang lain.
Pada usia lanjut, akumulasi ROS memicu kerusakan oksidatif dan berperan pada hilangnya
massa dan kekuatan otot. Sejumlah studi observasional menunjukkan hubungan positif antara
status anti oksidan tinggi dengan pengukuran fungsi fisik.Pada studi cross-sectional dan
longitudinal, status oksidan rendah merupakan prediksi penurunan fungsi fisik. Studi
InCHIANTI pada usia lanjut laki-laki dan perempuan, kadar karotenoid plasma tinggi
berhubungan dengan risiko yang rendah terhadap disabilitas berjalan yang berat, di follow up
selama 6 tahun. Pada studi ini setelah diperhitungkan faktor pencetus termasuk level aktivitas
fisik dan morbiditas yang lain, OR 0,4 (95% Cl 0,27-0,74).
Long chain polyunsaturated fattu acids (LCPUFAs)
Sarkopenia meruapakan suatu keadaan inflamasi yang diperantarai sitokin dan stres
oksidatif.Salah satu mediator dan regulator inflamasi adalah eicosanoids yang berasal daro 20-
carbon polyunsaturated fattu acids.Peningkatan eicosanoids didapat dari asupan diet seimbang
yang mengandung n-3 dan n-6 LCPUFA.n-3 LCPUFAs agen inflamasi yag potent. Studi
observasional membuktikan bahwa kekuatan genggaman (grip strength) pada usia lanjut
meningkat setelah konsumsi minyak ikan, sumber makanan yang kaya kandungan n-3 LCPUFA.
Studi lain pada rheumatoid artritis yang mengkonsumsi minyak ikan, dapat meningkatkan
kekuatan genggaman. Pada penelitian randomized controlled trial, suplementasi n-3 LCPUFA
(eicosapentaenoic dan docosahexaenoic acids) meningkatkan respons anabolic asam amino.
Stimulasi sintesis protein otot oleh n-3 LCPUFA berguna untuk pencegahan dan tatalaksana
sarkopenia.

333
NUTRISI DAN EXERCISE
Intervensi “exercise” terbukti efektif meningkatkan kekuatan otot dan fungsi pada usia
lanjut. Kombinasi asupan nutrisi dan execise lebih efektif dari asupan nutrisi saja dalam
mengatasi frailty/sarkopenia. Studi tentang efek interaksi diet dan exercise pada perbaikan fungsi
fisik telah banyak dilakukan, terutama yang berhubungan dengan suplementasi protein/asam
amino. Konsumsi asupan tinggi protein dapat meningkatkan sintesis protein otot pada usia lanjut
sampai 50%, sedangkan kombinasi asupan tinggi protein dengan exercise dapat meningkatkan
sintesa lebih dari 100%.

KESIMPULAN
Perlu pemahaman strategi mencegah atau menunda frailty/sarkopenia pada usia lanjut.
Faktor gaya hidup (lifestyle) berpengaruh pada penurunan massa dan kekuatan otot. Hal yang
paling penting dalam diet adalah asupan nutrisi yang adekuat dalam hal kualitas dan kuantitas
yang mencakup nutrien protein, vitamin D dan antioksidan. Nutrisi dan diet adekuat selama
hidup merupakan kunci dalam pencegahan sarkopenia dalam meningkatkan kapabilitas fisik
pada usia lanjut. Gabungan asupan nutrisi yang adekuat dan exercise lebih baik dalam
pencegahan dan tatalaksana sarkopenia.

PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN GERIATRI (COMPREHENSIVE GERIATRIC


ASSESMENT)

Batasan dan Uraian


Pendekatan paripurna pasien geriatri / P3G (Comprehensive Geriatric Assesment/CGA)
merupakan prosedur evaluasi multidimensi. Pada prosedur ini berbagai masalah pada pasien
Geriatri akan diungkap, diuraikan, semua aset pasien (berbagai sumber dan kekuatan yang
dimiliki pasien) ditemu-kenali, jenis pelayanan yang dibutuhkan diidentifikasi, rencana asuhan
dikembangkan secara terkoordinir, dimana semua itu berorientasi kepada kepentingan pasien.
Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau
lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien memiliki karakteristik multipatologi, daya

334
cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status
fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu perbaikan kondisi medis, kadangkala kurang
dramatis dan lebih lambat timbulnya.
Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien
terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah
menurunnya daya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam
kondisi gagal pulih (failure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau
sistem organ sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun
menandakan menipisnya daya cadangan faali, Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda
penyakit yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti
batuk, demam, dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat
adalah menurunnya status fungsional pasiern geriatri. Status fungsional adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari. Status fungsional
menggambarkan kemampuan umum seoseorang dalam memerankan fungsinya sebagai
manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima
adalah adanya gangguan nutrisi, gizi kurang, atau gizi buruk. Gangguan nutrisi ini akan secara
langsung mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan. Jika karena sesuatu hal, pasien
geriatri mengalami kondisi akut sepeti pneumonia, maka pasien geriatri juga seringkali muncul
dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi, dan inkontinensia (sindrom
geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial terdapat hendaya
seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah finansial).
Berdasarkan uraian di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam evaluasi
medis bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna yang tidak semata –
mata dari sisi bio-psiko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperhatikan aspek
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Komponen atau domain dari Pendekatan
Paripurna Pasien Geriatri / P3G (Comprehensive Geriatric Assesment / CGA) meliputi status fisik
medik, status fungsional, status kognitif, status emosional / psiko-afektif, status nutrisi, dna
status sosial-ekonomi.

Status Fisik Medik


Dalam melakukan penilaian fisik medik pada pasien geriatri, maka anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan suatu keharusan. Anamnesis yang dilakukan adalah
anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat seringkali pasien
geriatri memiliki hambatan dalma menyampaikan keluhan atau tidak menganggap hal tersebut
sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan
neurologis dan muskuloskeletal.

Status Fungsional

335
Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak
akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya sudah
teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalagi
berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan diri tanpa
bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting,
bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi
medis pada orang usia lanjut dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian atau status
fungsionalnya. Kegagalan mengatasi hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan
kegagalan pengobatan secara keseluruhan.
Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen
tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan index aktivitas
kehidupan sehari – hari (Activity Daily Living / ADL) Barthel atau Kartz. Pasien dengan status
fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status
fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih, mempersiapkan lama rawat, meningkatkan
kualitas hidup dan kepuasaan pasien.

Status Kognitif
Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama
saat mereka sakit. Faal kognitif yang paling sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat
inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, persepsi, proses pikir,
dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data
anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut. Adanya gangguan kognitif tentu
akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program yang
telah direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu
juga.
Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (Mild Cognitive Impairment /
MCI dan Vascular Cognitive Impairment / VCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan,
sedang, dan berat). Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik
sendiri. Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara obyektif antara lain dapat dilakukan
dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test (AMT) dan Mini-Mental
State Examination (MMSE).

Status Emosional / Psiko-Afektif


Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi, juga dapat
mempengaruhi hasil pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk dapat diajak bekerja
sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis
terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan
dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan.

336
Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam
proses penyembuhan dan pemulihan.
Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale
(GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan . Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya
gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan
psikiater amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.

Status Nutrisi
Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang pasien
geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum pasien. Adanya
gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan
makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pada pasien geriatri. Sampai kondisi
status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi.
Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun
program untuk mengobati status gizi buruk.
Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan),
pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa
kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata – rata dikonsumsi
pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah
vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat
instrumen lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim
dilakukan adalah pengukuran index massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi
tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan Ras
Asia dapat dipakai untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang
dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara
biokimiawi
Instrumen untuk mengkaji status nutrisi pasien geriatri yang dengan Mini Nutritional
Assesment (MNA). Mini Nutritional Assesment terdiri dari pertanyaan penapisan dan pengkajian
meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, emosional, dan nutrisi dapat
dilihat pada lampiran.

Lampiran 1.
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI – HARI BARTHEL (AKS – BARTHEL)
No Fungsi Skor Keterangan Nilai Sko

1 Mengendalikan rangsang pembuangan tinja 0 Tidak terkendali / tak teratur (perlu pencahar

1 Kadang – kadang tak terkendali (1 x seminggu)

337
2 Terkendali teratur

2 Mengendalikan rangsang berkemih 0 Tidak terkendali atau pakai kateter

1 Kadang – kadang tidak terkendali (hanya 1 x/24 jam)

2 Mandiri

3 Membersihkan diri (seka muka, sisir 0 Butuh pertolongan orang lain


rambut, sikat gigi)
1 Mandiri

4 Pengguanaan jamban, masuk dan keluar 0 Tergantung pertolongan orang lain


(melepaskan, memakai celana,
membersihkan, menyiram) 1 Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat
mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain

2 mandiri

5 Makan 0 Tidak mampu

1 Perlu ditolong memotong makanan

2 Mandiri

6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk 0 Tidak mampu

1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang)

2 Bantuan minimal 1 orang

3 Mandiri

7 Berpindah / Berjalan 0 Tidak mampu

1 Bisa pindah dengan kursi roda

2 Berjalan dengan bantuan 1 orang

3 Mandiri

8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain

1 Sebagian dibantu (misalnya mengancing baru)

2 Mandiri

9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu

1 Butuh pertolongan

2 Mandiri

338
10 Mandi 0 Tergantung orang lain

1 Mandiri

Total Skor

Keterangan Skor AKS Barthel :

20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat

12 – 19 : Ketergantungan ringan 0–4 : Ketergantungan Total

9 – 11 : Ketergantungan sedang

Lampiran 2.
ABBREVIATED MENTAL STATE / AMT
1. Umur :.................................Tahun 0. Salah 1. Benar

2. Waktu / Jam sekarang : ......................... 0. Salah 1. Benar

3. Alamat tempat tinggal : ............................... 0. Salah 1. Benar

4. Tahun sekarang : ........................................ 0. Salah 1. Benar

5. Saat ini berada di mana : .............................. 0. Salah 1. Benar

6. Mengenali orang lain di ruangan (pengantar responden, satpam petugas wawancara, atau petugas 0. Salah 1. Benar
bank
7. Tahun Kemerdekaan RI : .................................. 0. Salah 1. Benar

8. Nama Presiden RI yang pertama : .............................. 0. Salah 1. Benar

9. Tahun kelahiran anda sendiri : .................................. 0. Salah 1. Benar

10. Menghitung terbalik (20 s/d 1) : .................................................. 0. Salah 1. Benar

Skor :

Skor AMT :

0–3 : gangguan ingatan berat 8 – 10 : normal

4–7 : gangguan ingatan sedang

11. Perasaan hati : 1. Baik 2. Labil

3. Depresi 4. Gelisah

5. Cemas

Lampiran 3.

339
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
Nilai Maks Nilai

ORIENTASI

5 Sekarang ini : .......(tahun), ......(musim), .......(bulan), ...........(tanggal), ............(hari) apa?

5 Kita berada dimana?........(negara), .........(propinsi), ...........(kota), .......... (rumah sakit), ..........(lantai / kamar)

REGISTRASI

3 Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda : satu detik untuk setiap benda, kemudian pasien diminta
mengulangi nama ketiga objek tadi. Berilah nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan benar. Ulangi lagi
sampai pasien menyebut dengan benar : (bola, kursi, buku)

Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : .................kali

ATENSI DAN KALKULASI

5 Pengurangan 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja
secara terbalik kata “W A H Y U” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misal “ U Y H A W “ =
2 nilai)

MENGENAL KEMBALI

3 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek di atas tadi. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar

BAHASA

2 Apakah nama benda ini? (Perlihatkanlah pensil dan arloji)

1 Pasien disuruh mengulangi kalimat berikut : “Jika tidak, dan atau tetapi”

3 Pasien disuruh melakukan perintah : “ambil kertas itu dengan tangan anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan
di lantai”

1 Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kalimat “pejamkan mata anda”

1 Pasien disuruh menulis kalimat lengkap dengan spontan (tulis apa saja)

1 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini :

Jumlah

340
Nilai

Lampiran 4.
GERIATRIC DEPRESSION SCALE
Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan pasien / responden dalam dua minggu terakhir.
Jawaban yang bercetak tebal diberi nilai 1
1 Apakah bapak / ibu sebenarnya puas dengan kehidupan bapak / ibu? ya tidak

2 Apakah bapak / ibu telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan bapak / ibu? ya tidak

3 Apakah bapak / ibu merasa kehidupan bapak / ibu kosong? ya tidak

4 Apakah bapak / ibu sering merasa bosan? ya tidak

5 Apakah bapak / ibu mempunyai semangat yang baik setiap saat? ya tidak

6 Apakah bapak / ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada bapak / ibu? ya tidak

7 Apakah bapak / ibu merasa bahagia untuk sebagian besar hidup bapak / ibu? ya tidak

8 Apakah bapak / ibu sering merasa tidak berdaya? ya tidak

9 Apakah bapak / ibu lebih senang tinggal di rumah daripada pergi keluar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru? ya tidak

10 Apakah bapak / ibu merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat bapak / ibu dibandingkan kebanyakan ya tidak
orang?

11 Apakah bapak / ibu pikir bahwa hidup bapak / ibu sekarang ini menyenangkan? ya tidak

12 Apakah bapak / ibu merasa tidak berharga seperti perasaan bapak / ibu saat ini? ya tidak

13 Apakah bapak / ibu merasa penuh semangat? ya tidak

14 Apakah bapak / ibu merasa bahwa keadaan bapak / ibu tidak ada harapan? ya tidak

15 Apakah bapak / ibu pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari bapak / ibu? ya tidak

Total Nilai : ....................(hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal)

Setiap jawaban yang bercetak tebal / huruf Kapital mempunyai nilai 1

Nilai 5 – 9 : Kemungkinan besar Depresi

Nilai ≥10 : Depresi

341
Lampiran 5.
MINI NUTRITIONAL ASSESMENT (MNA)
No Fungsi Skor Keterangan Nilai
Skor

Nama : Umur : Jenis Kelamin : TB : BB : No RM : Tanggal Pemeriksaan :

Jawablah pertanyaan (penapisan) berikut ini dengan menulis angka yang tepat pada kotak. Jumlahkan jawabannya
jika skor 11 atau kurang, teruskan dengan pengkajian untuk mendapatkan skor indikator malnutrisi :

Penapisan (Screening)

A Apakah ada penurunan asupan makanan 0 Nafsu makan yang sangat berkurang
dalam jangka waktu 3 bulan oleh karena
kehilangan nafsu makan, masalah 1 Nafsu makan sedikit berkurang
pencernaan, kesulitan menelan, atau (sedang)
mengunyah
2 Nafsu makan biasa aja

B Penurunan berat badan dalam 3 bulan 0 Penurunan berat badan lebih dari 3
terakhir kg

1 Tidak tahu

2 Penurunan berat badan 1 – 3 kg

3 Tidak ada penurunan berat badan

C Mobilitas 0 Harus berbaring di tempat tidur atau


menggunakan kursi roda

1 Bisa keluar dari tempat tidur atau


kursi roda, tetapi tidak bisa keluar
rumah

2 Bisa keluar rumah

D Menderita stress psikologis atau penyakit 0 Ya


akut dalam 3 bulan terakhir
2 Tidak

E Masalah neuropsikologis 0 Demensia berat atau depresi berat

1 Demensia ringan

2 Tidak ada masalah psikologis

F Index Massa Tubuh (IMT) = Berat Badan 0 IMT <19

342
dalam kg/tinggi badan dalam m2 1 IMT 19 - <21

2 IMT 21 - <23

3 IMT ≥23

SKOR PENAPISAN (sub total maksimum 14 poin)

Skor ≥12 normal, tidak beresiko  tak perlu melengkapi form pengkajian

Skor ≤11 kemungkinan malnutrisi  lanjutkan pengkajian

Pengkajian (Assesment)

G Hidup mandiri, tidak tergantung orang lain 0 Tidak


(bukan di rumah sakit atau panti werdha)
1 Ya

H Minum obat lebih dari 3 macam dalam 1 hari 0 Ya

1 Tidak

I Terdapat ulkus dekubitus / luka tekan atau 0 Ya


luka di kulit
1 Tidak

J Berapa kali pasien makanan lengkap dalam 1 0 1 kali


hari?
1 2 kali

2 3 kali

K Konsumsi bahan makanan tertentu yang 0 Jika 0 atau 1 pertanyaan jawabannya


diketahui sebagai bahan makanan sumber “ya”
protein (asupan protein) :
0.5 Jika 2 pertanyaan jawabannya “ya”
- Sedikitnya satu penukar dari produk susu
(susu, keju, yogurt) per hari : ya / tidak 1 Jika 3 pertanyaan jawabannya “ya:
- dua penukar atau lebih dari kacang –
kacangan atau telur perminggu : ya / tidak
- daging, ikan atau unggas tiap hari : ya /
tidak

L Adakah mengkonsumsi 2 penukar atau lebih 0 Tidak


buah atau sayuran per hari?
1 Ya

M Berapa banyak cairan (air, jus, kopi, teh, susu, 0 Kurang dari 3 gelas
......) yang diminum setiap hari?
0.5 3 – 5 gelas

343
1 Lebih dari 5 gelas

N Cara makan 0 Tidak dapat makan tanpa bantuan

1 Makan sendiri dengan sedikit


kesulita

2 Dapat makan sendiri tanpa masalah

O Pandangan pasien terhadap status gizinya 0 Merasa dirinya kekurangan makan /


kurang gizi

1 Tidak dapat menilai / tidak yakin


akan status gizinya

2 Merasa tidak ada masalah dengan


status gizinya

P Dibandingkan dengan orang lain yang 0 Tidak sebaik mereka


seumur, bagaimana pasien melihat status
kesehatannya? 0.5 Tidak tahu

1 Sama baik

2 Lebih baik

Q Lingkar Lengan Atas (LLA) dalam cm 0 <21

0.5 21 - <22

1 ≥22

R Lingkar Betis (LB) dalam cm 0 <31

1 ≥31

Skor PENGKAJIAN (maksimum 16 poin) :

Skor PENAPISAN :

Penilaian Total (maksimum 30 poin) :

Skor Indikator Malnutrisi :

17 – 23.5 poin : beresiko malnutrisi

< 17 poin : malnutrisi

344
SINDROM DELIRIUM AKUT

Pengertian
Sindrom Delirium Akut (Acute Confusional State / ACS) adalah sindrom mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan
persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi. Penyebabnya yaitu defisiensi
neurotransmiter asetilkolin, gangguan metabolisme oksidatif di otak yang berkaitan dengan
hipoksia dan hipoglikemia, meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut; sehingga
mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second messenger system dan akibatnya
menimbulkan gejala serebral dan aktivitas psikomotor. Faktor predisposisi dan faktor pencetus
yaitu :
Tabel 1. Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Sindrom Delirium Akut
Faktor Predisposisi Faktor Pencetus

 Usia sangat lanjut >80 tahun  Iatrogenik : pembedahan, kateterisasi urin, physical
 Jenis kelamin pria restraint
 Gangguan faal kognitif ringan (mild cognitive  Gangguan metabolik / cairan; insufisiensi ginjal,
impairment / MCI) sampai demensia dehidrasi, hipoksia, azootemia
 Gangguan ADL  Penyakit fisik / psikiatrik : pneumonia, infeksi saluran
 Gangguan sensorium (penglihatan dan atau kemih, hipoglikemia, hiperglikemia, hipernatremia,
pendengaran) hipokalemia, demam, infeksi, stress, fraktur,
 Usia lanjut yang rapuh (fragile) malnutrisi, gangguan pola tidur, CVD (Cerebro
 Usia lanjut yang sedang menggunakan obat yang Vascular Disease)
menggangu faal neurotransmiter otak (simetidin,  Overstimulation : perawatan ICU, perpindahan ruang
ranitidin, siprofloksasin, psikotropika) rawat
 Polifarmasi  Intoksikasi alkohol, pemakaian obat antikolinergik
 Komorbiditas

Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang dapat dijumpai yaitu gangguan kognitif global berupa gangguan memori
jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), gangguan proses pikir (disorientasi waktu,
tempat, orang), komunikasi tidak relevan, autoanamnesis sulit dipahami. Pasien mengomel
terus atau terdapat ide – ide pembicaraan yang melompat – lompat, gangguan siklus tidur
(siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga). Gejala – gejala tersebut terjadi secara akut
dan fluktuatif, dari hari ke hari dapat terjadi perubahan gejala secara berganti – ganti. Pada
anamnesis perlu ditanyakan fungsi intelektual sebelumnya, status fungsional, awitan dan

345
perjalanan konfusi, riwayat serupa sebelumnya. Faktor pencetus dan faktor predisposisi juga
perlu ditanyakan pada anamnesis.

Pemeriksaan Jasmani
Perubahan kesadaran dapat dijumpai. Perubahan aktivitas psikomotor baik hipoaktif
(23%), hiperaktif (25%), campuran keduanya (35%), atau normal (15%). Pasien dapat berada
dalam kondisi fully alert di satu hari, namun hari berikutnya pasien tampak gelisah. Gangguan
konsentrasi dan perhatian terganggu saat pembicaraan. Pemeriksaan neurologis, tingkat
kesadaran (Glasgow Coma Scale), pemeriksaan tanda – tanda vital (adanya demam).

Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menemukan penyebab / pencetus
:
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal, adanya
cerebrovascular disease atau transcient ischemic attack; lakukan Brain CT Scan jika ada
indikasi.
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah, fungsi hati
 Analisa gas darah
 Urin lengkap dan kultur resistensi urin
 Foto Thoraks
 EKG
 Kultur Darah
 Uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan dalam
setahun, mengeja balik kata “pintu”)
 Uji Status Mental : MMSE (Mini Mental State Examination), Delirium Rating Scale, Delirium
Symptom Interview.
 Pemeriksaan lain sesuai indikasi yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan jasmani
:
 CT Scan : jika ditemukan kelainan neurologis
 Kadar B12 dan Asam Folat
 Analisis gas darah
 Kultur sputum
 Pungsi lumbal jika dicurigai adanya meningitis
Kriteria Diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
IV-TR) :
 Meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat,

346
disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan
akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan
cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan
jasmani, atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis
umum akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat / zat. Berdasarkan DSM-IV telah
disusun algoritma (CAM / Confussion Assesment Method) ditambah uji status mental
lainnya yang dapat dipakai sebagai uji baku emas diagnosis.

Gambar 1. Algoritme Confussion Assesment Menthode

Tabel 3. Confussion Assesment Methode (CAM) dalam mendiagnosis Delirium


No Gejala Ya Tidak

1 Onset akut atau berfluktuasi

Anamnesis didapatkan dari keluarga atau perawat dengan menanyakan adakah


perubahan status mental akut? Apakah abnormalitas tingkah laku berfluktuasi dalam
sehari, cenderung muncul atau hilang, meningkat atau menurun keparahannya?

2 Inattention

Apakah pasien mempunyai gangguan atensi seperti mudah teralihkan perhatiannya


atau mempunyai kesulitan mengingat apa yang dikatakan

3 Pemikiran tidak teratur

Apakah pasien berpikir inkoheren seperti melantur atau percakapan irelevan, ide
pemikiran yang tidak jelas atau tidak logis, atau berpindah dari satu subjek ke subjek
lain

4 Altered Level of Consciousness

Menilai kesadaran pasien apakah alert (normal), waspada (hyperalert), letargi


(mengantuk, mudah dibangunkan), stupor (sulit untuk dibangunkan), atau koma

Diagnosis DELIRIUM ditegakkan jika ada nomor 1 dan 2 atau 3 dan 4

Sistem Penskoran Paska-Operasi


Ada beberapa sistem penskoran untuk menentukan resiko demensia setelah tindakan
operasi setelah tindakan operasi seperti dapat dilihat pada tabel 2 :
Tabel 2. Sistem Skoring untuk Faktor Resiko setelah Tindakan Operasi :

347
Faktor Resiko Skor

Usia >70 tahun 1

Riwayat ketergantungan alcohol 1

Adanya gangguan kognitif 1

Kelainan jasmani berat (menurunnya kemampuan berjalan atau melakukan aktivitas sehari – hari) 1

Abnormalitas hasil pemeriksaan darah, elektrolit, atau glukosa 1

Operasi thorax non-cardiac 1

Operasi aneurisma abdominal aorta 2

Keterangan : Skor 0 : resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 2%

Skor 1 – 2 : resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 11%

Skor ≥3 : resiko timbulnya delirium post operasi sebesar 50%

Diagnosis Banding
Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis, gangguan cemas, gangguan depresi,
dan gangguan kognitif paska operasi (GKPO)

Penatalaksanaan
 Tujuan pengobatan : menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor predisposisi :
- Penanganan tidak hanya dari aspek jasmaniah, namun juga aspek psikologis / psikiatrik,
kognitif, lingkungan, serta pemberian obat.
 Berikan oksigen, pasang infus dan monitor tanda – tanda vital pasien setidaknya 4 jam
sekali
- Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya;
tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus.
 Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa nasogastrik
 Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin.
 Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi)
- Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang
diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepin dan
monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal. Kaji
ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat antipsikotik dan
pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya (algoritme 2)
- Kaji status hidrasi secara berkala, hitung urine output setiap 4 jam

348
Gambar 2. Algoritme Pedoman Pemberian Sedasi :

- Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang
besar dan jika memungkinkan diletakkan barang – barang yang familiar bagi pasien dari
rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya
sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis
sudah memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan
oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga
dan tenaga kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu kepada pasien
bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat
membaik.

Komplikasi
Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis

Prognosis
Gejala dan tanda sindrom delirium dapat bersifat akut maupun menetap sampai
berbulan – bulan. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 kali lebih tinggi
untuk meninggal dalam tiga tahun ke depan. Peningkatan resiko demensia paska delirium
sebesar 5,97. Delirium berhubungan dengan status fungsional yang lenih rendah, baik pada
kelompok dengan maupun tanpa demensia. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai skor
ADL Barthel (Activities Daily living) yang lebih buruk dibandingkan dengan kontrol. Gejala sisa
delirium dari 125 pasien didapatkan hanya 44% dari pasien yang gejalanya sudah tidak sesuai
kriteria diagnostik DSM-IV untuk delirium. Setelah enam bulan paska rawat, terdapat 13%
pasien menunjukkan gejala delirium, 69% pasien menunjukkan gejala perubahan aktivitas
namun tidak sesuai kriteria diagnostik delirium, dan hanya 18% pasien menunjukkan gejala
resolusi komplit. Resiko kematian meningkat jika komorbiditasnya tinggi, penyakit yang lebih
berat, dan jenis kelamin laik – laki. Pencegahan delirium :
Tabel 4. Pencegahan delirium dan keluarannya
Panduan Tindakan Keluaran
Intervensi

Reorientasi Memasang jam dinding, kalender Memulihkan orientasi

Memulihkan siklus Memadamkan lampu, minum susu hangat Tidur tanpa obat
tidur atau teh herbal, musik yang tenang,
pemijatan punggung

349
Mobilisasi Latihan lingkup ruang sendi, mobilisasi Pulihnya mobilitas
bertahap, batasi penggunaan restraint

Penglihatan Kenakan kacamata, menyediakan bacaan Meningkatkan kemampuan penglihatan


dengan huruf berukuran besar

Pendengaran Bersihkan cerumen prop, alat bantu dengar Meningkatkan kemampuan pendengaran

Rehidrasi Diagnosis dini dehidrasi, tingkatkan asupan BUN / Kreatin <18


cairan oral, pemberian cairan infus sesuai
indikasi

Unit Yang Menangani :


 RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Geriatri
 RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

Unit Yang Terkait :


 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Departemen Psikiatri
 RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Bagian Psikiatri

ULKUS DEKUBITUS

Pengertian
Ulkus Dekubitus (UD) atau luka akibat tekanan merupakan salah satu komplikasi
immobilisasi pada usia lanjut. UD adalag luka akibat peningkatan tekanan pada daerah kulit
yang sama secara terus menerus. Pada posisi berbaring, tekanan akan memberikan pengaruh
pada daerah kulit, dimana terjadi penonjolan tulang yang menyebabkan aliran darah
terhambat, dan terbentukny anoksia jaringan dan nekrosis. UD dapat terjadi dimana saja,
namun 80% nya terjadi pada tumit, maleolus lateralis, sakrum, tuberositas ischium, dan
trokanter mayor. Opini bahwa semua UD dapat dicegah masih kontroversial. Beberapa faktor
resiko UD pada geriatri tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Faktor Resiko Ulkus Dekubitus pada Geriatri
Intrinsik Ekstrinsik

Mobilisasi terbatas Tekanan dari berbagai permukaan keras (seperti tempat tidur,
kursi roda, atau brankar / stretcher)
Jejas medula spinalis, penyakit serebrovaskuler, kelainan

350
neurologis progresif (Parkinson, Alzheimer, Sklerosis Multipel),
nyeri, fraktur, prosedur paska operasi, koma atau sedasi, artropati

Nutrisi buruk Friksi dari ketidakmampuan pasien untuk bergerak dengan baik di
tempat tidur
Anoreksia, dehidrasi, gigi keropos, restriksi makanan, lemahnya
sensasi kecap atau penghidu, kemiskinan atau berkurangnya akses
makanan

Penyakit Komorbid Tergores (shear) akibat gerakan otot involunter

Diabetes, depresi atau psikosis, vaskulitis atau penyakit vaskular


kolagen lainnya, penyakit vaskuler perifer, berkurangnya sensasi
nyeri, imunodefisiensi atau terapi kortikosteroid, gagal jantung
kongestif, keganasan, gagal ginjal, demensia, penyakit paru
obstruktif kronik

Kulit Menua Kelembapan (menyebabkan maserasi) : inkontinensia urine atau


buang air besar, keringat berlebihan, drainase luka
Elastisitas menghilang, berkurangnya aliran darah kutaneus,
perubahan pH kulit, hilangnya lemak subkutaneus, berkurangnya
aliran darah epidermis – dermis, flattening of rete ridges

Diagnosis
Anamnesis
 identifikasi faktor – faktor resiko seperti tercantum pada Tabel 1.
 onset dan durasi ulkus
 riwayat perawatan luka sebelumnya
 identifikasi faktor resiko lainnya : kesehatan fisiologis, status kognitif dan perilaku, sumber
daya sosial dan finansial, akses terhadap caregiver dan kemungkinan penelantaran
(abuse/neglected case)

Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, depan hingga belakang, palpasi sesuai indikasi :
perhatikan jumlah, lokasi, ukuran (panjang, lebar, kedalaman) ulkus dan periksalah apakah
ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau eschar, undermining (cekungan),
tunneling (terowongan), infeksi, penyembuhan (granulasi dan epitelialisasi), dan batas luka.
Kemudian klasifikasikan ke dalam stadium klinis seperti tercantum pada Tabel 2.
 Penilaian ulang kulit tiap 8 – 24 Jam, dengan perubahan kondisi atau level of care
 Tanda infeksi

351
Tabel 2. Stadium Ulkus Dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP)
Stadium Deskripsi

Suspek jejas jaringan Perubahan warna ungu atau marun pada area terlokalisir, kulit utuh (intact) atau luka lecet terisi darah yang
profunda (suspected disebabkan oleh kerusakan pada jaringan lunak akibat tekanan atau goresan (shear); diskolorisasi ini dapat
deep tissue injury) muncul sebelum rasa nyeri, keras, lunak, basah, lebih hangat atau lebih dingin daripada jaringan sekitarnya

I Kemerahan non-blanchable terlokalisir pada kulit utuh, biasanya pada puncak tulang; pada kulit hitam, warna
pucat mungkin tidak terlihat, dan area yang terkena dapat berbeda dengan sekitarnya; area yang terkena
mungkin nyeri, keras, lunak, lebih hangat atau lebih dingin daripada jaringan sekitarnya

II Partial-thickness loss dari dermis yang tampak sebagai ulkus dangkal, terbuka dengan dasar kemerahan tanpa
slough (tidak bergaung); luka dapat juga tampak utuh atau terbuka dan terisi serum; stadium ini tidak termasuk
luka robek (tear), luka bakar adhesif (tape burns), dermatitis perineum, maserasi, atau ekskoriasi.

III Full-thickness tissue loss; lemak subkutan dapat terlihat, dasar luka dapat bergaung tapi tidak dapat
menentukan kedalaman hilangnya jaringan, dapat termasuk undermining dan tunneling

IV Full-thickness tissue loss dengan otot, tulang, dan tendon yang terlihat, dasar luka dapat bergaung atau eschar,
seringkali termasuk undermining dan tunneling.

Tidak dapat Full-thickness tissue loss dengan dasar ulkus tertutup gaung (kuning, abu – abu, hijau, atau coklat), atau nekrosis
diklasifikasikan / eschar (coklat, atau hitam)
(unstageable)

Keterangan : kedalaman UD stadium III atau IV bervariasi tergantung lokasi anatomi. Karena jembatan jaringan antara hidung, telinga,
dan oksiput, dan malelolus tidak memiliki jaringan subkutan, maka ulkus pada daerah ini dapat dangkal. Sebaliknya, area dengan
jaringan lemak yang cukup dapat berkembang menjadi ulkus stadium III dan IV dalam. Pada ulkus stadium IV, tulang atau tendon dapat
terekspos atau dipalpasi secara langsung.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium (sesuai indikasi) : darah perifer lengkap, protein total, albumin, gula darah
 Sesuai indikasi : foto thoraks, USG, termografi

Diagnosis Banding
 Eritema non-palpable yang menghilang pada penekanan, penyebab lainnya
 Dermatitis terkait kelembapan (moisture associated dermatitis)
 Luka kronis tipe lainnya (ulkus Diabetikum, ulkus venosus, ulkus arteriosus)
 Ulkus Dekubitus atipikal
 Pioderma gangrenosum
 Osteomielitis

352
Tatalaksana
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Ulkus Dekubitus :

 Pencegahan : skrining resiko dengan skala Braden, yang menilai durasi dan intensitas
tekanan eksternal (fungsi sensoris, aktivitas, mobilitas), hindari kulit terhadap faktor yang
berpotensi melukai (kelembapan, status gizi kurang, friksi). Preventive positioning (miring
30o ke kanan dan ke kiri setiap dua jam diberikan untuk mencegah dekubitus pada sakrum
dan spina iliaka anterior superior (SIAS). Therapeutic positioning diberikan dengan teknik
yang sama namun dilakukan setiap satu jam
 Komponen dasar tatalaksana UD : mengurangi tekanan pada kulit, membersihkan luka,
debridement jaringan nekrotik, mengatasi kolonisasi dan bacterial load, dan pemilihan
wound dressing
 Status gizi pada semua stadium UD : pada pasien malnutrisi, diet tinggi kalori (30 – 35
kal/kg/hari) tinggi protein (1,25 – 1,5 g/kg/hari) dan hidrasi cukup dapat membantu
penyembuhan luka, durasi rawat inap lebih pendek, dan komplikasi yang lebih sedikit.
Protein, vitamin C, dan suplemen zinc dapat dipertimbangkan apabila intake kurang atau
terdapat bukti defisiensi.
 Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, osteomielitis, atau baktermeia.
Rejimen terapi ditujukan untuk gram positif, negatif, dan anaerob. Karena tingginya angka
mortalitas, antibiotik empiris dapat diberikan pada suspek sepsis atau bakteremia. Antibiotik
topikal tidak diindikasikan
 Tempat tidur khusus : penggunaan kasur anti-dekubitus yan berisi udara (alternating
pressure air mattress) menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus pada tumit daripada
kombinasi matrasviskoelastis dan reposisi tiap 4 jam, namun tidak untuk sakral
 Perawatan luka : luka harus dibersihkan sebelum mengganti dressing (pemilihan dressing
dapat dilihat pada Tabel 3). Debridement jaringan nekrotik secara pembedahan atau dengan
menggunakan kompres kasa dengan normal saline. Antiseptik seperti povidone iodine, asam
asetat, hidrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan Dakin) harus dihindari karena
menghancurkan jaringan granulasi. Antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin sebaiknya
digunakan selama 2 minggu untuk membersihkan luka yang tidak sembuh seperti
seharusnya setelah perawatan optimal 2 – 4 minggu
 Konsultasi bedah dipertimbangkan pada UD stadium III dan IV yang tidak respon dengan
perawatan optimal atau bila kualitas hidup pasien dapat meningkat dengan penutupan luka
secara cepat.
 Wrap Therapy dapat dipertimbangkan pada UD stadium III dan IV
 Manfaat terapi elektromagnetik, ultrasound, oksigen hiperbarik belum jelas
 Transplantasi kulit (skin grafting) sesuai indikasi
 Terapi sel punca (stemcell therapy) (masih dalam fase penelitian pendahuluan)

353
Tabel 3. Pemilihan Dressing
Klasifikasi Stadium II Stadium III Drainase Ringan Drainase Drainase Berat
Dressing Sedang

Film Transparan* √ √

Hidrokoloid* √ √ √ √ √

Alginates √ √ √

Foam √ √ √ √

Hydrogels** √ √

Hydrofibers √ √

Keterangan :

* Dapat digunakan pada UD Stadium I

**Diindikasikan pada dasar luka kering untuk rehidrasi atau rehidrasi jaringan nekrosis untuk debridement

Komplikasi
Hipoalbuminemia, anemia, infeksi, sepsis

Prognosis
Prognosis ulkus dekubitus stadium I dapat diprediksi dengan penilaian awal dan
manajemen yang sesuai. Studi di Texas menunjukkan angka mortalitas sebanyak 68,9%
ditemukan pada pasien yang mengalami ulkus dekubitus stadium III dan IV nosokomial, dengan
rata – rata 47 hari mulai dari onset ulkus dekubitus hingga kematian. Menurut penelitian ini,
pasien dengan beban penyakit berat yang mendekati akhir hidupnya, berkembangnya ulkus
dekubitus full-thickness nosokomial merupakan suatu proses patologis komorbid.

Kompetensi :
 Spesialis Penyakit Dalam : A3, B3
 Konsultan Geriatri : A3, B3/B4

Unit Yang Menangani :


 RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Geriatri, Departemen
Rehabilitasi
Medik, Bedah Ortopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskuler,
Departemen

354
Gizi Klinik
 RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

Unit Yang Terkait :


 RS Pendidikan : Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
 RS Non Pendidikan : -

SARKOPENIA

Definisi Sarkopenia
Sarkopenia merupakan sindroma yang ditandai dengan berkurangnya massa otot rangka
serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia umumnya diiringi inaktivitas
fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lambat, dan endurasi fisik yang rendah. Otot
rangka mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya usia baik pada wanita ataupun
pria. Massa dan kekuatan otot tertinggi dicapai pada usia belasan sampai dengan dua puluhan
dan kemudian mulai mengalami penurunan pada usia tiga puluhan. Kecepatan penurunan
kekuatan otot sekitar 10 – 15% per dekade setelah usia 50 tahun, dan akan menurun dengan
cepat setelah usia 75 tahun.
Definisi Sarkopenia menurut The European Working Group on Sarkopenia in Older
People (EWGSOP) 2010 dapat ditegakkan bila didapatkan penurunan massa otot rangka
ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot buruk dan atau
performa fisik yang kurang.
Penurunan massa otot didefinisikan berdasarkan Indeks Otot Rangka (Skeletal Muscle
Index / SMI), yaitu massa otot rangka apendikular (Appendicular Skeletal Muscle / ASM) (kg)
dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (SMI = kg/m2). Massa otot rangka apendikular
didapatkan dari penjumlahan total dari massa otot rangka dapat dilakukan dengan pemeriksaan
Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) tau dengan Bioelectric Impedance Analysis (BIA).
Kriteria diagnostik tersebut sulit diterapkan di Indonesia, karena belum ada data normatif
besaran massa otot rangka pada populasi dewasa muda serta data referensi kekuatan otot
pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Selain itu, hingga kini belum ada standar teknik
pengukuran besaran massa otot untuk usia lanjut.

Tabel 1. Kriteria Sarkopenia pada Populasi Asia


Kriteria Pemeriksaan Metode Nilai Titik Pintas sesuai Jenis Kelamin Negara / Etnik

Massa otot DXA ASM / Tinggi badan Jepang

355
Klas 1 dan Klas 2 Sarkopenia

Pria : 7,77 dan 6,87 kg/m2

Wanita : 6,12 dan 5,46 kg/m2

ASM / Tinggi badan China

Pria <5,72 kg/m2

Wanita <4,82 kg/m2

ASM / Tinggi badan Korea

Pria : 7,40 kg/m2

Wanita : 5,14 kg/m2

BIA SMI Taiwan

Pria <8,87 kg/m2

Wanita <6,42 kg/m2

ASM / Tinggi badan Jepang

Pria <7,0 kg/m2

Wanita <5,8 kg/m2

ASM / Tinggi badan Korea

Pria <6,75 kg/m2

Wanita <5,07 kg/m2

Kekuatan Otot Kekuatan Pria : 30,3 kg Jepang


Mengenggam
Wanita : 19,3 kg

Pria : <22.4 kg Taiwan

Wanita : <14,3 kg

Ekstensi lutut Wanita : <1,01 Nm/kg Jepang

Fisik Berjalan Kecepatan berjalan Jepang

Pria : <1,27 m/dtk

Wanita : <1,19 m/dtk

356
Kecepatan berjalan <1 m/dtk Jepang

SPBB Nilai SPPB <9 Korea

Saat ini teknik yang dianggap sesuai sebagai baku emas untuk pemeriksaan massa otot
adalah pemeriksaan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), Bioelectric Impedance Analysis
(BIA), Computed Tomography, Magnetic Resonance Imaging serta pengukuran ekskresi
kreatinin urin, pengukuran antropometri, dan aktivasi neuron.

Pendekatan Diagnosis
Diagnosis Sarkopenia
Berdasarkan The European Working Group on Sarkopenia in Older People (EWGSOP)
tahun 2010 oleh Cruz-Jentoft AJ dkk., kriteria sarkopenia harus memenuhi yaitu adanya massa
otot yang kurang serta kekuatan otot yang berkurang dan atau performa aktivitas fisik yang
menurun. Seperti yang terlihat di bawah ini mengenai algoritme diagnosis sarkopenia.
Gambar 3. Algoritme Diagnosis Sarkopenia menurut EWGSOP

Menurut EWGSOP, sarkopenia dibagi menjadi tiga tahap yaitu : presarkopenia,


sarkopenia, dan sarkopenia berat, seperti terlihat pada Tabel 3 di bawah ini. Dimana pada
stadium presarkopenia hanya ditemukan penurunan massa otot tanpa adanya penurunan
kekuatan otot atau performa otot, sedangkan pada sarkopenia ditemukan adanya penurunan
massa otot disertai dengan penurunan kekuatan otot atau performa otot, sedangkan pada
sarkopenia berat ditemukan penurunan dari ketiga hal tersebut.
Tabel 3. Kriteria Sarkopenia
Tahapan Massa Otot Kekuatan Otot Performa Status

Presarkopenia ↓

Sarkopenia ↓ ↓ atau tidak ↓

Sarkopenia Berat ↓ ↓ ↓

Manajemen Sarkopenia
Keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada latihan fisik,
gaya hidup, dan pola makan. Latihan fisik memberikan dampak positif pada sarkopenia
terutama yang berkaitan dengan kondisi penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi,
dan penyakit jantung koroner. Pengaturan pola makan sebaiknya tetap dikombinasikan dengan
program latihan fisik, mencakup latihan tahanan dan peregangan. Latihan tahanan progresif
sebanyak 2 – 3 kali per minggu terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan mencegah /
mengurangi disabilitas dan kelemahan otot pada usia lanjut. Faktor psikologis pada pasien

357
dengan sarkopenia dan frailty syndrome juga penting, sehingga terapi suportif psikologis
diperlukan pada penatalaksanaan sarkopenia.
Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari keluaran
primer dan sekunder; untuk terapi yang bersifat intervensi EWmGSOP merekomendasikan tiga
variabel keluaran yaitu massa otot, kekutan otot, dan performa fisik.

Latihan dan Aktivitas Fisik


Latihan fisik dibedakan menjadi dua jenis latihan yaitu latihan aerobik dan latihan
tahanan. Dalam latihan aerobik, sejumlah besar otot bergerak secara ritmis dalam waktu yang
cukup lama, sedangkan pada latihan tahanan adalah menitikberatkan pada daya tahan dalam
melawan beban seperti pada olahraga angkat berat. Latihan tahanan merupakan pilihan yang
dapat digunakan untuk pencegahan dan penanggulangan sarkopenia. Program 2 minggu latihan
tahanan dengan 60 – 90% kekuatan maksimum sarkopenia. Program 2 minggu latihan tahanan
dengan 60 – 90% kekuatan maksimum pada otot kuadrisep terbukti meningkatkan kecepatan
sintesis protein sampai 100%
Latihan tahanan pada usia lanjut adalah meningkatnya kadar hormon yang akan
meningkatkan IGF-1 plasma. IGF-1 plasma mempunyai efek anabolik yaitu merangsang sintesis
protein dan selanjutnya menimbulkan hipertrofi otot. Latihan tahanan merupakan stimulus
hipertrofi otot yang jauh lebih kuat dibandingkan latihan aerobik (endurance). Kekuatan otot
dan massa otot atlet angkat berat yang berusia lanjut lebih baik dibandingkan perenang.
Latihan kekuatan otot pada usia lanjut perlu diawasi secara ketat. Pengawasan yang
dilakukan menyangkut intensitas, lama, dan frekuensi latihan. Intensitas beban dimulai dari
yang paling ringan misalnya 1 kg kemudian sedikt demi sedikit ditingkatkan. Lakukan 2 – 3 set
dari setiap macam latihan, seminggu berlatih 2 – 3 kali dengan paling sedikit satu hari istirahat.
Sebelum melakukan latihan penderita kiranya menjalani pemeriksaan medis terlebih dahulu.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui penyakit yang merupakan kontraindikasi dalam
melakukan latihan beban.
Berdasarkan American College of Sports Medicine, penderita dalam melaksanakan
latihan harus sesuai dengan petunjuk tenaga medis, jika terdapat kondisi yang tidak stabil :
seperti diabetes yang tidak terkontrol, hipertensi, hernia, katarak, dan perdarahan retina.
Sedangkan latihan beban harus dihindari oleh pasien dengan irama jantung tidak teratur,
gangguan kognitif berat dan demensia. American College of Sports Medicine (ACSM) dan
American Heart Association (AHA) merekomendasikan latihan dengan intensitas 70 – 90 % dari
1-RM (Maximal Repetition) dengan frekuensi 2 hingga 3 kali per minggu secara tidak berurutan
(selang 1 hari) cukup untuk meningkatkan massa dan kekuatan otot pada usia lanjut.
Sedangkan latihan aerobik, walaupun peningkatan massa otot yang didapat tidak sebanyak
pada latihan tahanan, namun latihan aerobik terbukti dapat mengurangi presentase lemak

358
tubuh, dimana hal ini cukup berperan penting untuk meningkatkan fungsi otot relatif terhadap
berat badan.

Nutrisi
Sebagian besar populasi usia lanjut tidak dapat memenuhi asupan nutrisi terutama
protein sesuai jumlah yang dianjurkan sehingga terjadi pengurangan massa otot dan gangguan
fungsional. Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan ekonomi untuk membeli
bahan makanan dengan nilai biologis tinggi, kesulitan mengunyah, ketakutan untuk
mengkonsumsi terlalu banyak lemak atau kolesterol dan intoleransi terhadap beberapa jenis
makanan.

Protein
Kreatin
B-Hydroxy-B-Methylbutirate (HMB)
Vitamin D
Terapi Hormonal
Miostatin
ACE Inhibitor
Inhibitor Sitokin
Obat – Obat lain
 Agonis B
 Urokortin II
 Bimagrumab
 SARM

359
DIVISI ENDOKRINOLOGI

360
1. DIABETES MELLITUS

PENGERTIAN
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia kronik yang terjadi karenak kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya. Dalam praktek sehari-hari DM tipe 2 yang paling sering ditemui, sehingga pembahasan
lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2.

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus


I. Diabetes mellitus tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
A.Melalui proses imunologik
B.Idiopatik
II. Diabetes mellitus tipe 2
(Bervariasi dimulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
III. Diabetes mellitus tipe lain
A. Defek genetik fungsi sel beta
 Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)
 Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
 Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)
 Kromosom 13, insulin promoter factor (dahulu MODY 4)
 Kromosom 17, HNF-β (dahulu MODY 5)
 Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria
 Lainnya
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, Leprechaunism, sindrom Rabson Medenhall,
diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma,
aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid,
aldosteronoma, lainnya
F. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang): sindrom “Stiffman”, antibodi antireseptor insulin, lainnya
H. Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s,
ataksia Friedrich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl, distrofi miotonik, porfiria,
sindrom Prader Willi, lainnya

IV. Diabetes mellitus gestasional

361
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO:


 Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap beristirahat dan tidak merokok

ANAMNESIS
 Gejala yang timbul
 Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
 Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak / dewasa muda

362
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis
dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta
kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan, dan
program latihan jasmani
 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta kaki
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, jantung, susunan
saraf, mata, saluran pencernaan, dll.)
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
 Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat
penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
 Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan

Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
 Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
 Pemeriksaan funduskopi
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
 Pemeriksaan jantung
 Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran dalam posisi berdiri untuk mencari
kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari
kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

363
Pemeriksaan penunjang
 Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
 HbA1c
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
 Kreatinin serum
 Albuminuria
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada

Diagnosis banding
 Hiperglikemia reaktif
 Pre diabetes

TATALAKSANA
Non farmakologis
 Edukasi
 Terapi gizi medis
 Kebutuhan kalori

Cara menghitung berat badan ideal pada pasien DM dengan menggunakan rumus Brocca:
Berat Badan Ideal (BBI) = 90% x (TB dalam cm-100) x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan wanita <150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kgBB
Normal: BBI + 10%
BB kurus: <(BBI - 10%)
BB gemuk: >(BBI + 10%)

Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:

364
IMT = BB (kg) / TB (m2)

Kebutuhan kalori basal:


Kalori basal = Berat badan ideal x 25 kal/kgBB (untuk wanita)
Kalori basal = Berat badan ideal x 30 kal/kgBB (untuk pria)

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori:


1.Umur
 40-59 tahun: -5%
 60-69 tahun: -10%
 >70tahun: - 20%
2.Aktifitas fisik atau pekerjaan
 Istirahat: +10%
 Aktivitas ringan +20%
 Aktivitas sedang +30%
 Aktivitas sangat berat +50%
3.Berat badan
 Kegemukan: -20-30%
 Kurus: +20-30%
4.Stress metabolik: +10-30%

Klasifikasi IMT (WHO/IASO/IOTF)

Tabel 2. Klasifikasi IMT


Kriteria berat badan IMT
BB kurang < 18.5
BB normal 18.5-22.9
BB lebih > 23.0
Dengan risiko 23-24.9
Obese I 25.0-29.9
Obese II >30

365
Untuk wanita, paling sedikit 1000-1200 kkal, untuk pria 1200-1600 kkal, dibagi menjadi makan
pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.
 Karbohidrat
- Karbohidrat 45-65% total asupan energi, diutamakan yang berserat tinggi
- Pembatasan karbohidrat total <130gram/hari tidak dianjurkan
- Gula dalam bumbu diperbolehkan, sukrosa <5% total asupan energi
- Pemanis alternatif dapat digunakan asal tidak memenuhi batas aman konsumsi harian
- Makan 3x/hari, makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori lain dapat diberikan
 Lemak
- Asupan lemak 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total
asupan energi.
- Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori
- Lemak tak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: dagung berlemak dan penuh susu (whole milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol <200mg/hari
 Protein
- 10-20% total asupan energi
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe
- Pada pasien dengan nefropati: 0,8g/kgBB/hari atau 10% kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi
 Natrium
- <3000mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok the) garam dapur
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400mg
- Sumber natrium antara lain: garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit
 Serat
- Kacang-kacangan, buah, sayuran, serta sumber karbohidrat tinggi serat + 25g/hari
 Pemanis alternatif

366
- Fruktosa tidak dianjurkan
- Pemanis sesuai batas aman konsumsi harian
- Pemanis tak berkalori yang dapat digunakan: aspartam, sakarin, acesulfam potassium,
sukralose, dan neotame
 Latihan
- Teratur, 4-5x seminggu selama lebih kurang 30 menit (total durasi minimal 150 menit
/minggu)
- Yang dianjurkan yang bersifat aerobik: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang

Farmakologis

Tabel 3. Obat Hipoglikemik Oral


Golongan Generik Mg/tab Dosis harian Lama Frek/hari Waktu
(mg) kerja
(jam)
Sulfonilurea Glibenklamid 2.5-5 2.5-20 12-24 1-2
Glipizid 5-10 5-20 10-16 1-2
Glipizid XL 5-10 5-20 12-16 1
Gliklazid 5-10 80-320 10-20 1-2
Gliklazid MR 80 30-120 24 1
Glikuidon 30-60 30-120 6-8 2-3
Glimiperid 1-2-3-4 0.5-6 24 1
Glinid Repaglinid 1 1.5-6 3
Nateglinid 120 360 3
Tiazolidindion Pioglitazon 15-30 15-45 24 1
Penghambat Acarbose 50-100 100-300 3
glukosidase alfa
Biguanid Metformin 500-850 250-3000 6-8 1-3
500 500-3000 6-8 2-3
Metformin XR 500-750 24 1
500 24 1
Penghambat Vildagliptin 50 50-100 12-24 1-2
DPP-IV Sitagliptin 25,50,100 25-100 24 1
Saxagliptin 5 5 24 1
Linagliptin 5 5 24 1
Obat kombinasi Metformin+ 250/500 Total 12-24 1-2
tetap Glibenklamid 500/2,5 glibenklamid
500/5 Max 20mg/
Hari
Glimiperid+ 1/250 2/500 2
Metformin 2/500

Pioglitazon+ 15/500 4/1000 18-24 1


Metformin 30/850

367
Sitagliptin+ 50/500 Total 1
Metformin 50/1000 sitagliptin
max
100mg/hari
Vildagliptin 50/500 Total 12-24 2
+Metformin 50/850 vildagliptin
50/1000 Max
100mg/hari
Saxagliptin 5/500 Total 24 1
+Metformin 5/1000 saxagliptin
2.5/1000 max 5mg/hari
Linagliptin 2,5/500 Total 12 2
+Metformin 2,5/850 linagliptin
2.5/1000 max 5mg/hari

Tabel 4. Indikasi penggunaan insulin


Indikasi mutlak
DMT1
Indikasi relatif
Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan)
DMT2 dengan:
 Kehamilan
 Infeksi paru (tuberculosis)
 Kaki diabetik terinfeksi
 Fluktuasi glukosa darah yang tinggi
 Riwayat ketoasidosis berulang
 Riwayat pankreatektomi
Selain indikasi di atas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang memerlukan pemakaian insulin,
seperti penyakit hati kronik, gangguan fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi

Tabel 5. Jenis-jenis insulin


Insulin manusia atau insulin analog Profil kerja
Awal Puncak
Kerja cepat (insulin analog)
Insulin lispro (humalog) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin aspart (novorapid) 0,2-0,5 0,5-2
Insulin gluisin (apidra) 0,2-0,5 0,5-2
Kerja pendek (insulin manusia, insulin regular)
Humulin R 0,5-1 0,5-1
Actrapid
Kerja menengah (insulin manusia, NPH)
Humulin N 1,5-4
Insulatard 4-10
Kerja panjang (long acting insulin analog)
Insulin glargine (lantus) 1-3 Hampir
Insulin detemir (levemir) tanpa
Campuran (premixed, insulin manusia) puncak

368
70/30 Humulin (70% NPH, 30% regular)
70/30 mixtard (70% NPH, 30% regular) 0,5-1 3-12
Campuran (premixed, insulin manusia)
75/25 Humalog (75%NPL, 25% lispro) 0,2-0,5 1-4
70/30 Novomix (70% protamin aspart, 30% aspart) 0,2-0,5 1-4

Komplikasi
Ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemi, retinopati,
nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular.

Prognosis
Diabetes merupakan penyebab kematian pada 3 juta orang setiap tahun (1,7-5,2% kematian di
dunia).

369
2. HIPOGLIKEMIA

PENGERTIAN
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah <70mg/dl, atau kadar glukosa
darah <80mg/dl dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak dijumpai pada penderita
diabetes, sehingga pada panduan pelayanan medis ini akan dibatasi pada kondisi tersebut.
Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi karena:
 Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemia oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan
 Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
 Kegiatan jasmani berlebihan

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Gejala dan Tanda Klinis


 Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
 Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir, atau tangan gemetar
 Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian
terakhir, perubahan dosis
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
 Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll

Pemeriksaan fisik

370
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung meningkatm penurunan kesadaran,
defisit neurologik fokal transien

Trias Whipple untuk membuktikan adanya hipoglikemia:


1.Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2.Kadar glukosa plasma rendah
3.Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-Peptide

Diagnosis banding
Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti:
 Obat:
o Sering: alkohol
o Kadang: kinin, pentamidine
o Jarang: salisilat, sulfonamid
 Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik
 Gagal ginjal, sepsis, starvasi, gagal hati, gagal jantung
 Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin
 Tumor non-sel: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma
 Pasca prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol

TATALAKSANA

Stadium Permulaan (sadar)


 Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat)
 Hentikan obat hipoglikemik sementara
 Pantau glukosa darah sewaktu

371
 Pertahankan GD di atas 100mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
 Cari penyebab

Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (50ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infus, 8 jam per kolf bila tanpa penyulit lain
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer:
 Bila GDS<50mg/dl  bolus dekstrosa 40% 50ml IV
 Bila GDS<100mg/dl  bolus dekstrosa 40% 25ml IV
4. Periksa GDS setiap 15 menit setelah pemberian dekstrosa 40%:
 Bila GDS<50mg/dl  bolus dekstrosa 40% 50ml IV
 Bila GDS<100mg/dl  bolus dekstrosa 40% 25ml IV
 Bila GDS 100-200mg/dl  tanpa bolus dekstrosa 40%
 Bila GDS >200mg/dl  pertimbangkan menurunkan kecepatan drip dekstrosa 10%
5. Bila GDS>100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 2 jam
dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS>200mg/dl  pertimbangkan mengganti infus
dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
6. Bila GDS>100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 2 jam,
pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDS>200mg/dl 
pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
7. Bila GDS>100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 4 jam,
pemantauan GDS dapat diperpanjang sesuai kebutuhan sampai efek obat penyebab
hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan seperti biasa.
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti:
glukagon 0,5-1 mg IV/IM atau kortison, adrenal
9. Bila pasien belum sadar, sementara hipoglikemia sudah teratasi, maka cari penyebab lain
atau sudah terjadi brain damage akibat hipoglikemia berkepanjangan.

Komplikasi
Kerusakan otak, koma, kematian

372
Prognosis
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis. Pada 22% pasien
mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas meningkat sesuai dengan
parahnya derajat hipoglikemia.

373
3. KRISIS HIPERGLIKEMIA

PENGERTIAN
Krisis hiperglikemia, mencakup ketoasidosis diabetik (KAD) dan status hiperglikemia
hiperosmolar (SHH), merupakan komplikasi metabolik akut paling serius pada pasien diabetes
mellitus. Krisis hiperglikemia terjadi akibat defisiensi insulin dan peningkatan hormon
counterregulatory (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone). SHH terjadi ketika
defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan hiperglikemia berat dan
dehidrasi dan akhirnya menyebabkan kondisi hiperosmolalitas. KAD terjadi bila defisiensi
insulin yang berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi, tapi juga mengakibatkan
produksi keton meningkat serta asidosis metabolik. Spektrum kedua kondisi ini dapat saling
overlap.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. KAD
 Anamnesis
Mual, muntah, haus, poliuria, nyeri perut, sesak napas; gejala berkembang dalam waktu
<24jam. Faktor presipitasi meliputi riwayat pemberian insulin inadekuat, infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal, sepsis), infark (serebral,
koroner, mesenterika, perifer), obat (kokain), kehamilan.
 Pemeriksaan fisik
Takikardi, hipotensi, dehidrasi, takipnea, pernapasan Kussmaul, distres pernapasan, napas
bau keton, nyeri tekan perut (menyerupai pankreatitis akut), letargi, atau koma.
 Pemeriksaan penunjang
Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (>250mg/dl), ketonemia dan
atau ketonuria, dan asidosis metabolik (HCO3<18) dengan anion gap meningkat.

2. SHH
 Anamnesis

374
Riwayat poliuria, berat badan turun, dan berkurangnya asupan oral yang terjadi dalam
beberapa minggu dan akhirnya terjadi letargi/koma. Faktor presipitasi meliputi infark
miokard, stroke, sepsis, pneumonia, infeksi berat lainnya, keadaan seperti riwayat stroke
sebelumnya atau demensia atau situasi sosial yang menyebabkan asupan air berkurang.
 Pemeriksaan fisik
Dehidrasi, hipotensi, takikardia, perubahan status mental
 Pemeriksaan penunjang
Hiperglikemia (dapat >600mg/dl), hiperosmolalitas (>350mOsmol/L), azotemia prerenal.
Asidosis dan ketonemia tidak ada atau ringan. pH>7,3 dan bikarbonat >18mEq/L.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik KAD dan SHH


KAD SHH
Ringan (kadar Sedang (kadar Berat (kadar GD Kadar GD
GD >250mg/dL) GD >250mg/dL) >250mg/dL) >600mg/dL
pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00 >7,30
Bikarbonat serum 15-18 10-15 <10 >18
Keton urin Positif Positif Positif Kecil
Keton serum Positif Positif Positif Kecil
Osmolalitas serum Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320mOsm/kg
efektif
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Status mental Sadar Sadar/mengantuk Stupor/koma Stupor/koma

Diagnosis banding
Starvation ketosis, alcoholic ketoasidosis, asidosis laktat, penyalahgunaan obat-obatan (salisilat,
metanol, etilen glikol, paraldehid), akut pada gagal ginjal kronik.

375
TATALAKSANA
1. Pemberian cairan
Pemberian cairan mengikuti algoritma:

CairanIntravena

Menentukan status hidrasi

Hipovolemiaberat Dehidrasiringan Renjatankardiogenik

NaCl 0,9% (1L/hari) Evaluasinatrium serum Observasihemodinamik


terkoreksi

Na serum tinggi Na serum normal Na serum rendah

NaCl 0,45% (250-500 ml/jam) NaCl 0,9% (250-500


mL/jam)
Tergantung status hidrasi

Jika glukosa serum mencapai 200mg/dL (KAD) atau 300mg/dL (SHH),

Ganticairandekstrosa 5% menjadiNaCl 0,45% (150-250ml/jam)

376
2. Terapi insulin

Insulin regular

0,1U/kgBBsebagai
bolus IV

0,1U/kgBBsebagai infuse
insulin kontinu IV

Jika GD tidakturun 50-75 mg/DL, naikkan drip insulin

Ketikakadar GD mencapai 200mg/Dl, Ketika GD mencapai 200 mg/DL,


turunkaninfus insulin regular menjadi 0,05-0,1 turunkaninfus insulin regular menjadi 0,05-
U/kgBB/jam IV. Pertahankankadar GD antara 0,1 U/kgBB/jam IV. Pertahankankadar GD
150 dan 200mg/dLsampaiterjadiresolusi KAD antara 200-300 mg/DL,
sampaipasiensadarpenuh

Periksakadarelektrolit, pH vena, kreatinin, dan GD tiap 2-4jam sampaipasienstabil.


Setelahterjadiresolusi KAD atau SHH danketikapasienmampuuntukmakan, berikan
regimen insulin subkutan, lanjutkaninfus insulin IV selama 1-2jam setelah insulin
subkutandimulaiuntukmencapaikadar insulin plasma yang adekuat. Padapasien
insulin naïve, mulaidengan 0,5U/kgBBsampai 0,8U/kgBB per
haridansesuaikankebutuhan. Carifaktorpresipitasi.

377
3. Koreksi kalium

Kalium

Periksafungsiginjal (urine output


~50mL/hari/kgBB)

Kalium<3,0mEq/L Kalium 3,0-5,0mEq/L Kalium>5,0mEq/L

 Jangan memberikan insulin Kalium 20-30mEq/L JanganberikanKalium.


terlebihdahulu dalamsetiap liter Periksakadarkaliumsetiap
 Kalium 20-30mEq/L cairanintravenauntukme 2 jam
4.Bikarbonat
sampaiKalium>3,0mEq/L njagakadarKalium 4-
5mEq/L

 Jika pH vena <6,9, berikan 100mmol natrium bikarbonat dalam 400ml sterile water
ditambah 20mEq KCl diberikan selama 2 jam. Jika pH masih <7, ulangi setiap 2 jam
sampai pH>7. Periksa kadar kalium serum setiap 2 jam.
 Jika pH > 6,9: tidak perlu diberikan natrium bikarbonat.

4. Pemantauan
Pantau tekanan darah, nadi, napas, status mental, asupan cairan dan urin tiap 1-4 jam.

Komplikasi
Renjatan hipovolemik, thrombosis vena, perdarahan saluran cerna atas, sindrom distress
pernapasan akut.
Komplikasi pengobatan adalah hipoglikemia, hipokalemia, overload, edema serebral.

Prognosis
KAD memiliki angka kematian 2% untuk usia <65 tahun dan 22% untuk usia >65 tahun.
SHH memiliki angka mortalitas 20-30%.

378
4. KAKI DIABETIK

Pengertian
Kaki diabetes merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan kelainan neuropati sensorik,
morotik, maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah. Alasan terjadinya peningkatan
insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen: neuropati, biomekanika kaki abnormal,
penyakit arteri perifer, penyembuhan luka yang buruk dan infeksi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Lama menderita DM, kontrol gula darah, gejala komplikasi (jantung, ginjal, pengluhatan),
penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada callus, ada kelainan
bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri pada tungkai saat beristirahat.

Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan vaskular
Palpasi pulsasi arteri, perubahan warna kulit, adanya edema, perubahan suhu, riwayat
perawatan sebelumnya, kelainan lokal di ekstremitas: kelainan pertumbuhan kaki,
rambut, atrofi kulit.
b. Pemeriksaan neuropati
Vibrasi dengan garputala 128 Hz, sensasi halus dengan kapas, perbedaan dua titik,
sensasi suhu, panas dan dingin, pinprick untuk nyeri, pemeriksaan refleks fisiologis,
pemeriksaan klonus, dan tes Romberg.
c. Pemeriksaan kulit
Tekstur, turgor dan warna, kulit kering, adanya callus, adanya fissura, ulkus, gangren,
infeksi, jamur, sela-sela jari, adanya kelainan akantosis nigrikans, dan dermopati.

d. Pemeriksaan tulang dan otot

379
Pemeriksaan biomekanik, kelainan struktur kaki (hammer toe, charcot, riwayat amputasi,
foot drop), keterbatasan tendon achilles, evaluasi cara berjalan, kekuatan otot, tekanan
plantar kaki.
e. Pemeriksaan sepatu atau alas kaki
Jenis sepatu, kecocokan dengan bentuk kaki, insole, benda asing di dalam.

Tabel 1. Klasifikasi pada ulkus diabetik berdasarkan klasifikasi PEDIS (PEDIS


International Consensus on the Diabetic Foot 2003)
Impaired perfusion 1.-
2.Penyakit arteri perifer
3.critical limb ischemia
Size/extent in mm2 Tuliskan dalam ukuran mm2
Tissue loss/depth 1.Superfisial, tidak mengenai dermis
2.Ulkus dalam melewati lapisan dermis, meliputi struktur subkutan,
fascia, otot, atau tendon
3.Meliputi tulang dan sendi
Infection 1.Tidak ada keluhan atau gejala infeksi
2.Infeksi pada kulit dan jaringan subkutan saja
3.Eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan. Tidak ada
gejala sistemik
4.Infeksi dengan gejala sistemik: demam, leukositosis, shift to the left,
ketidakstabilan metabolik, hipotensi, azotemia
Impaired sensation 1.-
2.+

Diagnosis banding
Peripheral arterial disease (PAD), vaskulitis, tromboanglitis obliterans (penyakit Buerger’s),
venous stress ulcer

Tatalaksana

380
Pengelolaan kaki diabetik dimulai sejak diagnosis diabetes ditegakkan. Pengelolaan awal
meliputi deteksi dini kaki diabetik dan identifikasi kaki diabetik. Terdapat sistem skoring
neuropati yang dibuat untuk mempermudah deteksi dini yaitu Modified Diabetic Examination
Score yaitu:
a. Pemeriksaan kekuatan otot
 Otot gastroknemeus: plantar fleksi kaki
 Otot tibialis anterior: dorsofleksi kaki
b. Pemeriksaan refleks
 Tendon patella
 Tendon achilles
 Pemeriksaan sensorik pada ibu jari kaki
 Sensasi terhadap tusukan jarum
 Sensasi terhadap perabaan
 Sensasi terhadap vibrasi
 Sensasi terhadap gerak posisi
Pengelolaan kaki diabetik dengan risiko tinggi dan kaki diabetik dengan luka, dapat dijelaskan
sebagai berikut:

A.PERAWATAN KAKI DIABETIK TANPA LUKA DAN RISIKO TINGGI

Deteksi Dini
 Kaki berisiko tinggi
o Penyandang DM yang memiliki satu atau lebih risiko terdiri dari kelainan
neuropati, vaskular (iskemia), deformitas, kalus, dan pembengkakan.
o Dilakukan kontrol mekanik, metabolik, edukasi, dan ditambah dengan kontrol
vaskular.
 Kaki dengan sensasi normal disertai deformitas
o Kelainan deformitas yang lazim dapat dijumpai antarta lain claw toes, hammer
toes, metatarsal heads yang menonjol, hallux rigidus, hallux valgius, dan callus.

381
o Adanya kulit kering atau fisura akibat neuropati dapat diatasi dengan pemberian
krim pelembab untuk mencegah timbulnya lecet, mengingat setiap lecet
berpotensi sebagai tempat masuknya bakteri.
 Kaki insensitifitas dengan deformitas
 Iskemia dengan deformitas

Tindakan pencegahan
Dilakukan bila belum ada luka di kaki (Texas Modifikasi Stadium A Tingkat 0) dan berdasarkan
kategori risiko lesi kaki diabetik.
Langkah-langkah pencegahan perlu dijelaskan saat edukasi perawatan kaki diabetes, di antaranya
sebagai berikut:
 Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di atas pasir dan di air.
 Periksa kaki setiap hari untuk deteksi dini dan laporkan pada dokter/perawat apabila ada
kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.
 Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
 Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim pelembab
ke kulit yang kering.
 Potong kuku secara teratur.
 Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki teratur setalah dari kamar mandi.
 Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-ujung
jari kaki.
 Kalau ada kalus atau mata ikan, ditipiskan secara teratur.
 Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
 Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
 Jangan gunakan bantal panas atau botol berisi air panas atau batu untuk kaki.
Studi yang dilakukan dr Allaida S.R.SpRM membuktikan edukasi perawatan kaki yang diberikan
terus menerus meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku penderita kaki diabetes.
Senam kaki yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan ketahanan otot, mempertahankan
lingkup gerak sendi dorso dan plantar fleksi serta mempertahankan vaskularisasi daerah kaki.

382
Sepatu diabetes
 Kategori risiko 0: meskipun belum ada gangguan sensasi, karena gangguan sensasi pada
kategori tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu.
 Kategori risiko 1: saat mana sudah terdapat gangguan sensoris dan pembentukan kallus.
 Kategori risiko 2 dan 3: sudah terdapat deformitas dan kerapuhan jaringan akibat tukak
terdahulu.

Peran senam kaki


1.Latihan untuk sendi pergelangan kaki, otot kaki, serta jari-jari kaki.
2.Latihan yang ditujukan pada otot paha (otot adduktor, abduktor, quadriceps, hamstring) dan
otot betis (gastrocnemeus dan soleus).
3.Latihan umum yang menggunakan/menggerakan kaki: jalan kaki, bersepeda (statis) khusus
bagi yang gemuk, senam aerobik, berenang (bila tidak ada luka terbuka).

B.PERAWATAN KAKI DIABETIK DENGAN LUKA


Tatalaksana holistik kaki diabetes meliputi 6 aspek kontrol yaitu kontrol mekanik, kontrol
metabolik, kontrol vaskular, kontrol luka, kontrol infeksi, dan kontrol edukasi.

1.Kontrol mekanik:
 Mengistirahatkan kaki
 Menghindari tekanan pada daerah kaki yang luka (non weight bearing)
 Menggunakan bantal saat berbaring pada tumit kaki/bokong/tonjolan tulang, untuk
mencegah lecet.
 Memakai kasur anti dekubitus bila perlu.
 Mobilisasi (bila perlu dengan alat bantu berupa kursi roda atau tongkat).
 Pada luka yang didominasi oleh faktor neuropati maka tujuan utama adalah
mendistribusikan beban tekanan pada kaki, sedangkan yang didominasi faktor vaskular
tujuan utamanya adalah menghindari luka pada daerah yang rentan.
2.Kontrol luka:
 Evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat perlu dilakukan secapat mungkin, jika
perlu dapat dilakukan dengan tindakan operatif.

383
 Pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab.
 Debridemen dan nekrotomi.
 Amputasi.

3.Kontrol infeksi (mikrobiologi):


Diperlukan pada ulkus neuropati maupun ulkus neuroiskemia (PAD)
 Terapi antimikroba empirik pada saat awal bila belum ada hasil pemeriksaan kultur
mikroorganisme dan resistensi.
 Luka yang superfisial: diberikan antibiotik untuk kuman gram positif. Luka lebih dalam
diberikan antibiotik untuk kuman gram negatif ditambah golongan metronidazol bila ada
kecurigaan infeksi bakteri anaerob.
 Pada luka yang dalam, luas, disertai gejala infeksi sistemik yang memerlukan perawatan
di rumah sakit: dapat diberikan antibiotik spektrum luas yang dapat mencakup kuman
gram positif, gram negatif, dan anaerob. Sehingga dapat digunakan 2 atau 3 golongan
antibiotik.
 Penggunaan antibiotik diobservasi seminggu kemudian, dan disesuaikan dengan hasil
kultur mikroorganisme.

4.Kontrol vaskular:
Sebaiknya ditelusuri sampai diketahui perlu tidaknya penilaian status vaskular secara invasif
 Periksa ankle brachial index (ABI), trans cuteneus oxygen tension, toe pressure bahkan
angiografi.
 Pemeriksaan TcPO2: untuk menentukan daerah dengan oksigenasi yang masih cukup
sehingga terapi revaskularisasi diharapkan masih memiliki manfaat.
 Tindakan bedah vaskular atau tindakan endovaskular.

5.Kontrol metabolik:
 Perencanaan nutrisi yang baik selama proses infeksi dan penyembuhan luka.
 Regulasi glukosa darah yang adekuat.

384
 Pengendalian komorbiditas bila ada (misalnya hipertensi, dislipidemia, gangguan fungsi
hati/ginjal, gangguan elektrolit, anemia, infeksi penyerta serta hipoalbuminemia).
6.Kontrol edukasi:
 Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai kondisi luka kai pasien saat ini, rencana
diagnosis, penatalaksanaan/terapi, penyulit yang mungkin timbul, serta bagaimana
prognosis selanjutnya. Pemberian edukasi penting mengingat kerjasama pasien dan
keluarganya mutlak diperlukan dalam penatalaksanaan yang optimal dan untuk
menghindari salah pengertian.

Nekrotomi dan amputasi


 Tujuan:
o Membuang semua jaringan nekrotik yang avital (non viable), jaringan infeksi, dan
juga kallus di sekitar ulkus.
o Mengurangi tekanan pada jaringan kapiler dan tepi luka.
o Memungkinkan drainase dari eksudat dan pus.
o Meningkatkan penetrasi antibiotik ke dalam luka yang terinfeksi.

 Indikasi:
a.Debridement/nekrotomi
Indikasi nekrotomi adalah sebagai berikut:
- Terdapat debris dan jaringan nekrosis pada luka kronis di jaringan kulit, jaringan
subkutan, fascia, tendon, otot, bahkan tulang.
- Terdapat kerusakan jaringan dan pus pada ulkus yang terinfeksi.

b. Amputasi
Tindakan amputasi biasanya dilakukan secara elektif, namun bila ada infeksi dengan
ancaman kematian dapat dilakukan amputasi secara emergensi. Indikasi amputasi:
- Jaringan nekrotik luas
- Iskemi jaringan yang tidak dapat direkonstruksi
- Gagal revaskularisasi
- Charcot’s of Foot dengan instabilitas

385
- Infeksi akut dengan ancaman kematian (gas gangren dan necrotizing fasciitis)
- Infeksi/luka yang tidak membaik dengan terapi adekuat
- Gangren
- Deformitas anatomi yang berat dan tidak terkontrol
- Ulkus berulang

Peran nutrisi dalam penyembuhan luka


 Fungsi nutrisi: membantu proses penyembuhan luka (inflamasi, granulasi dan epitelisasi/
remodelling).
 Perhitungan kecukupan kalori sama seperti pada penatalaksanaan ulkus DM.
 Protein 1,5-2 gram/kgBB/hari. Lemak 20-25% kebutuhan energi dengan jenuh <7%,
lemak tidak jenuh <10% dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal.
 Vitamin A: kebutuhan per hari 5000 IU
 Vitamin B kompleks: kofaktor atau koenzim pada sejumlah fungsi metabolik yang
terlibat dalam penyembuhan luka, terutama pada penglepasan energi dari karbohidrat.

Komplikasi
Osteomielitis, sepsis, amputasi

Prognosis
Di RSUPN Cipto Mangunkusumo angka kematian dan angka amputasi masih tinggi masing-
masing 16 dan 25% (data RSUPN Cipto Mangunkusumo 2003). Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca
amputasi.

386
5. PERIOPERATIF DIABETES MELITUS

PENGERTIAN
Perioperatif secara umum merupakan tiga fase pembedahan yaitu preoperatif,
intraoperatif dan pasca operaqsi. Tujuan dari evaluasi dan penatalaksanaan perioperatif adalah
mempersiapkan kondisi pasien yang optimal sebelum operasi, selama opeasi dan setelah operasi.
Secara umum evaluasi perioperatif pada pasien DM sama dengan kondisi pasien lain yang akan
menjalani operasi. Pada pasien DM maka evaluasi difokuskan pada evaluasi komplikasi jangka
panjang DM (mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati) yang akan meningkatkan risiko
operasi. Perhatisan khusus perlu diberikan pada evaluasi fungsi kardiovaskular Dn ginjal.
Evaluasi resiko kardiovaskular nerupakan prioritas utama. Adanya neuropati otonom juga dapat
memperberat dan memperpanjang fase pemulihan pasca operasi.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Evaluasi pra operasi pasien DM
 Penilaian resiko operasi
- Faktor risiko rutin : jantung, paru, ginjal, hematologi
- Faktor risiko terkait DM: komplikasi makrovaskular, mikrovaskular
 Penatalaksanaan diabetes
- Klasifikasi DM
- Farmakologi : tipe, obat, dosis, waktu
- Perencanaan makan: kandungan KH, waktu makan
- Aktivitas
- Hipoglikemia : frekuensi, kewaspadaan, beratnya
 Antisipasi pembedahan
- Tipe prosedur pembedahan
- Rawat jalan atau rawat inap
- Tipe anestesia
- Waktunya mulai pembedahan
- Lamanya pembedahan
Pemeriksaan penunjang

387
 Glukosa darah
 Profil lipid
 HbA1C
 DPL
 Fungsi hati : SGOT/PT
 Fungsi ginjal : Ur/Cr
 Elektrolit
 Hemostasis
 Urinalisa
 EKG
 Foto toraks

DIAGNOSIS BANDING
-

KOMPLIKASI
Hipoglikemia

TATALAKSANA
1. Kontrol gula darah (GD)
 Biasanya dilakukan saat rawat jalan sebelum tindakan
 Target GD belum ada keseragaman (secara umum GD 140-180 mg/dL)
 Untuk memperbaiki kontrol GD
- Pemeriksaan GD lebih sering
- Dosis insulin disesuaikan
2. Pemberian insulin
 GD dikendalikan dengan insulin kerja pendek (insulin manusia) atau insulin kerja cepat
analog
 Regimen insulin di rumah dapat dilanjutkan, terutama jika menggunakan insulin basal

388
 Pemberian insulin
- Metode pemberian insulin sebaiknya dapat memberikan kontrol GD yang baik
sehingga dapsat mencegah hiper- atau hipoglikemia dan mencegah gangguan
metabolik lain
- Regimen insulin intravena (IV) sebaiknya mudah dimengerti dan dapat sditerapkan
dalam berbagai situasi
- Pemberian insulin intravena (IV) harus diserrtai pemantauan GDS secara bedside.
- Kecepatan infus insulin dapat disesuaikan dengan kadar GD
- Perkiraan kebutuhan insulin awal dapat diperkirakan berdasarkan tipe DM, terapi
sebelumnya, derajat kontrol glikemik, terapi steroid obesitS, infeksi dan gagal ginjal
3. Obat oral
 Umumnya dihentikan selama tindakan
 SU kerja panjang : 48-72jam sebelum tindakan
 SU kerja pendek, pemicu skeresi insulin lain dan metformin dapat dihentikan pada malam
sebelum tindakan atau pada hari tindakan
4. Tipe operasi
 Operasi kecil
- OAD oral atau insulin dapat diteruskan bila kadar GD terkendalu baik
- Tidak memerlukan persiapan khusus
 Operasi sedang
- Paling sering ditemukan
- Persiapan sama dengan operasi besar
 Operasi besar
- Memerlukan anestesi umum dan dipuasakan
- Diberikan infus insulin dan glukosa
- Periksa gula darah setiap jam di meja operasi
5. Operasi rawat jalan
 Jika tidak membutuhkan anestesin umum
 OAD atau insulin dapat dilanjutkan bila GD sudah terkontrol baik
 Tidak memerlukan puasa dan pasca tindakan dapat makan seperti biasa
 Jika memungkinkan tindakan dilakukan sepagi mungkin
389
6. Operasi gawat darurat
 Stres kondisi akut maka kontrol GD dapat memburuk dan bahkan dapat mencetuskan
KAD
 Nilai kontrol GD, dehidrasi, asam basa
 Lebih agresif, periksa GD setiap jam di meja operasi
 Pada KA maksa operasi ditunda 4-6 jam juika mungkin, dan sebelumnbya diberikan
terapi standar KAD
 Pengosongan lambung
 Infusninsulin intravena
7. Penatalaksanaan intra operasi
 Semua pasien yang menggunakan insulin baik tipe 1 maupun tipe 2 harus mendapatkan
insulin selama prosedur operasi
 DM tipe 2 yang terkontrol baik dengan diet dan OSD mungkin tidak membutuhkan
insulin jika prosdur relatif mudah dan singkat
 Kontrol GD yang buruk dan prosedur operasin yang sulit : pemberian insulin bermanfaat
8. Pemberian glukosa, cairan dan elektrolit
 Selama puasa sebaiknya diberika glukosa yang adekuat dengan tujuan mencegah
hipoglikemia, mencukupi nkebutuhan energi dan katabolisme berat
 Dapat diberikan dekstrosa 5% 100 cc/jam, disesuaikan dengan status hidrasi
 Pada stress berat diperlukan glukosa lebih banyak
 Jika dibutuhkan penambahan cairan dapat diberikan cairan yang tidak mengandung
dekstrosa
 Kalium seharusnya dilakukan monitor seelum dan sesudah operasi
9. Paska tindakan operasi
 Infus dekstrosa dan insulin dilanjutkan sampai pasien bisa makan lalu dimulai dengan
pemberian insulin subkutan sesuai dengan kebutuhan
 Pada pasien dengan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja singkat tiap 6
jam dan pengawasan hipoglikemia
 Bila tidak bisa makan peroral maka dapat diberikan nitrisi parenteral.

390
DISLIPIDEMIA

PENGERTIAN
Dislipidemia adalah kelainan metabolismelipid yang ditandai dengan peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, LDL, trigliserida, serta penurunan HDL. European Atherosclerosis Society
(EAS) menetapkan klasifikasi sederhana yaitu :
 Hiperkolesterolemia (peningkatan LDL, kolesterol > 240 mg/dL)
 Hipertrigliseridemia (peningkatan VLDL, trigliserida > 200 mg/dL)
 Dislipidemia campuran (peningkatan VLDL + LDL, kadar TG > 200 mg/dL, kolesterol > 240
mg/dL)
Berdasarkan patogenesanya, dislipidemia terbagi 2 yaitu dislipidemia primer (akibat kelainan
genetik) dan dislipidemia sekunder (akibat penyakit lain).

PENDEKATAN DIAGNOSIS
 Untuk menegakkan diagnosis, perlu pemeriksaan kadar kolesterol total, HDL, LDL dan TG
plasma darah vena. Persiapan puasa 12 jam sebelumnya diperlukan untuk pemeriksaan TG
dan LDL indirek yang menggunakan rumus Friedwald yaitu :
LDL = Kol Total – HDL – TG/5
Cat :Rumus tidak dapat digunakan apabila TG > 400 mg/dL

 Pemeriksaan penyaring dianjurkan untuk setiap orang usia > 20 tahun (bila normal dapat
diulang tiap 5 tahun)
 Pemeriksaan lain dapat disesuaikan dengan klinis untuk mencari adakah penyakit lain yang
menyertai atau menjadi penyebabnya (misalnya glukosa darah, tes fungsi hati, urine lengkap,
tes fungsi ginjal, TSH, EKG)
 Penting untuk menilai seberapa besar faktor risiko PJK sebelum memulai terapi dislipidemia.
Faktor risiko utama (selain LDL) yang menentukan sasaran LDL yang ingin dicapai
diantaranya yaitu :

 Merokok

391
 Hipertensi (TD > 140/90 atau sedang dala terapi hipertensi)
 HDL rendah (< 40 mg/dL)
 Riwayat PJK dini dalam keluarga (ayah < 55 thn, ibu < 65 thn)
 Umur pria > 45 thn, wanita > 55 thn
Terdapat 3 kelompok faktor risiko menurut NCEP ATP III dengan Framingham Risk
Score(FRS)untuk menghitung besarnya risiko PJK yang meliputi : umur, kadar kolesterol total,
HDL, kebiasaan merokok dan hipertensi. Hasil dari FRS ini akan menghasilkan angka presentase
risiko PJK dalam 10 tahun.
1. Risiko tinggi :
a. Mempunyai riwayat PJK
b. Memiliki risiko yang disamakan dengan PJK, yaitu :
 Diabetes
 Gagal ginjal kronik
 Bentuk lain aterosklerosis : stroke, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis
 Faktor risiko multipel (> 2 faktor) dan mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20%
2. Risiko multipel (> 2 faktor risiko dengan risiko PJK dalam 10 tahun < 20%
3. Risiko rendah (0-1 faktor risiko dengan risiko PJK dalam 10 tahun < 10%

Tabel 1. Klasifikasi Kadar Kolesterol Menurut NCEP ATP III (2001)


Kadar Kolesterol Klasifikasi

Kolesterol LDL :

 < 100 mg/dL Optimal


 100 – 129 mg/dL
Hampir optimal
 130 – 159 mg/dL
 160 – 189 mg/dL Borderline tinggi
 > 190 mg/dL
Tinggi

Sangat tinggi
Kolesterol Total :

 < 200 mg/dL Yang diinginkan


 200 – 239 mg/dL

392
 > 240 mg/dL Borderline tinggi

Tinggi

Kolesterol HDL :

 < 40 mg/dL Rendah


 > 60 mg/dL
Tinggi

Tabel 2. Target LDL (mg/dL) dan Batasan untuk Pemberian Terapi berdasarkan Kelompok
Risiko
Kelompok Risiko Target LDL (mg/dL)

1. Risiko Rendah < 160


Risiko rendah ( 0 – 1 faktor risiko)
2. Risiko Multipel < 130
Risiko multipel ( > 2 faktor risiko)
3. Risiko Tinggi < 100
 Mempunyai riwayat PJK
 Memiliki risiko yang disamakan dengan PJK :
DM, penyakit aterosklerotik (stroke, PAD,
aneurisma aorta abdominalis), faktor risiko
multipel (>2 faktor risiko)
4. Risiko Sangat Tinggi < 70
Kelompok ini dikhususkan untuk pasien paska
penyakit kardiovaskuler dengan keadaan khusus,
yaitu :
 Disertai faktor risiko multipel (terutama DM)
 Disertai faktor risiko yang tidak dapat
dikendalikan, seperti masih tetap merokok
 Sindroma metabolik dengan faktor risiko multipel
(terutama kadar TG > 200 mg/dL, dimana kadar
kolesterol non-HDL > 130 mg/dL dengan HDL
< 40 mg/dL)
 Pasien dengan sindrom koroner akut

DIAGNOSIS BANDING
 Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom
nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide)

393
 Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi,
glycogen storage disease, alkohol, stres, sepsis, kehamilan, obat, hepatitis akut, SLE,
gammopati monoklonal : MM, limfoma, AIDS
 HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penyekat beta, steroid anabolik

TATALAKSANA
A. Pasien dengan Hiperkolesterolemia
1. Non-Farmakologis (Perubahan Gaya Hidup/PGH) :
 Terapi nutrisi medis, dengan :
 Mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh sampai < 7 – 10%
total energi
 Mengurangi asupan kolesterol sampai < 250 mg/hari
 Menggantikan makanans umber kolesterol dan lemak jenuh dengan makanan
alternatif lainnya (misal produk susu rendah lemak, karbohidrat dengan indeks
glikemik rendah)
 Mengkonsumsi makanan padat gizi dan kardioprotektif (sayuran, kacang-
kacangan, buah, ikan, dsb)
 Menghindari makanan tinggi kalori (makanan berminyak, soft drink)
 Mengkonsumsi suplemen yang dapat menurunkan kadar lipid (asam lemak omega
3, makanan tinggi serat, dan sterol sayuran)
 Mengurangi berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik
 Aktivitas fisik deiperbanyak dengan rutin berolahraga
 Menghentikan rokok dan minuman beralkohol, terutama bila disertai hipertensi,
hiperTG, atau obesitas sentral
 Mempertahankan atau menurunkan berat badan
Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan LDL,
maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan
latihan jasmani.

2. Farmakologis
 Golongan Statin
394
 Simvastatin 5 – 40 mg
 Lovastatin 10 – 80 mg
 Pravastatin 10 – 40 mg
 Fluvastatin 20 – 80 mg
 Atorvastatin 10 – 80 mg
 Rosuvastatin 10 – 40 mg
 Pitavastatin 1 – 4 mg
 Golongan bile acid sequestrant
 Kolestiramin 4 – 16 mg
 Golongan nicotinic acid
 Nicotinic acid (immediate release) 2x100 mg s/d 1,5 – 3 g
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer dimulai dengan statin atau bile acid
sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu.
Bila target sudah tercapai, pemantauan setiap 4 – 6 bulan. Bile setelah 6 minggu terapi
target belum tercapai, intensifkan atau naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain.
Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi
terapi obat saat pulang dari RS bila kadar LDL > 100 mg/dL.

B. Pasien dengan Hipertrigliseridemia


1. Penanganan non-farmakologis sesuai di atas
2. Farmakologis :
 Target terapi :
 Pasien dengan kadar TG borderline tinggi atau tinggi : tujuan utama terapi
adalah mencapai target kadar LDL
 Pasien dengan kadar TG tinggi : target sekunder adalah kadar non-HDL, yakni
sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar LDL
 Pendekatan terapi obat :
 Obat penurun kadar LDL, atau
 Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat yaitu:
 Gemfibrosil 2x600 mg atau 1x900 mg

395
 Fenofibrat 1x200 mg
Penyebab primer dislipidemia sekunder juga harus ditatalaksana.

KOMPLIKASI
Aterosklerosis, PJK, stroke, pankreatitis akut

HIPOTIROIDISME

PENGERTIAN
Hipotiroidisme adalah berkurangnya efek hormon tiroid di jaringan. Terdapat 3 bentuk
hipotiroidisme, yaitu hipotiroidisme sentral (kerusakan hipotalamus/hipofisis seperti, tumor,
nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi), hipotiroidisme primer (kerusakan kelenjar tiroid seperti
pasca radiasi, tiroiditis, atrofi, dishormogenesis, hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena
sebab lain (farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium dan rssitensi perifer).
Hipotiroidisme juga dfapat dibedakan berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan
subklinik.

DIAGNOSIS
Anamnesis
 Rasa capek
 Sering mengantuk
 Tidak tahan dingin
 Lesu, lamban
 Rambut alis mata lateral rontok
 Rambut rapuh
 Lamban bicara
 Berat badan naik
 Mudah lupa

396
 Dispnea
 Suara sesak
 Otot lembek
 Depresi
 Obstipasi
 Kesemutan
 Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis
 Tipe sentral: gangguan visu, sakit kepala, muntah

Pemeriksaan Fisik
 Kulit kering, dingin, pucat, kasar
 Gerakan lamban
 Edema wajah
 Refleks fisiologi menurun
 Lidah tebal dan besar
 Otot lembek, kurang kjuat
 Obesitas
 Edeme ekstrimitas
 Bradikardia

Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap
 Kreatin fosfokinase
 Antibodi TPO
 Anti-Tg-Ab
 Pemeriksaan TSH, T#, FT$
 Profil lipid
 Biopsi aspirasi jarum halus bila terdapat struma
 Elektrokardiogram (untuk mencari komplikasi jantung)

397
Pada hipotiroidisme subklinis, TSH naik, namum kadar hormon tiroid dalam batas
normal. Gejala dan tanda tidak ada atau minimal

DIAGNOSIS BANDING
Euthyroid sick syndrome, insufisiensi adrenal, gagal hati, efek obat-obatan, depresi,
sindrom lelah kronik

TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, pemantauan fungsi tiroid berkala

Farmakologis
 Levotiroksin: pagi hari dala keadaan perut kosong. Dosis rerata substitusi L-T adalah 112
µg/hari atau 1,6 µg/kgBB atau 100-125 µg/hari. Untuk pasien-pasien kanker tiroid pasca
tiroidektomi, dosis T$ rata-rata adalah 2,2 µg/kgBB/hari. Target TSH disesuaikan dengan
latar belakang kasus.
 Untuk hipotiroidisme subklinis, tidak dianjurkan memberikan terapi rutin apabila TSH < 10
mU/L. Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan dan kelainan objektif
jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah (25-50 µg/hari) hingga
menapatkan kadar TSH normal.

HIPOTIROIDISME PADA KEHAMILAN


WHO merekomendasikan intake iodium sebesar 200 µg/hari selama kehamilan untuk
mempertahankan produksi hormin tiroid yang adekuat. Hipotiroidisme pada kehamilan
berbahaya bagi ibu maupun bayi. Hipotiroidisme berat pada ibu dapat menyebabkan anemia,
miopati, gagal jantung kongestif, pre-eklamsia, abnormalitas plasenta, berat bayi lahir rendah
dan perdarahan postpartum. Hipotiroidisme ringan dapat bersifat asimptomatik pada kehamilan.
Bagi bayi, hipotiroidisme pada ibu dapat menyebabkan hipotiroidisme kongenital yang dapat

398
menyebabkan abnormalitas fungsi kognitif, neurologik dan gangguan perkembangan. Krena itu,
semua bayi baru lahir hendaknya dilakukan penapisan untuk mengetahui ada tidaknya
hipotiroidisme kongenital sehingga bayi dapat segera diberikan terapi. Abnormalitas ringan pada
perkembangan otak bayi dapat timbul pada wanita hamil dengan hipotiroidisme ringan yang
tidak diterapi. Karena itu, beberapa ahli merekomendasikan untuk memeriksa kadar TSH wanita
sebelum hamil atau segera setelah kehamilan ditegakkan, terutama apabila wanita tersebut
beresiko tinggi memiliki kelinan tiroid (wanita yang sebelumnya mendaoat terapi
hipertiroidisme, wanita dengan riwayat keluarga menderita kelainan tiroid atau goiter). Kadar
TSH ≥ 2,5 mIU/L dapat dianggap abnormal. Kadar TSH 2,5-10 mIU/L tanpa penurunan FT4
dianggap sebagai hipotiroidisme subklinik. Kadar TSH > 10mIU/L dianggap sebagai
hipertiroidisme primer tanpa melihat ada tidaknya penurunan kadar FT4.
Wanita dengan riwayat hipotiroidisme harus memeriksa kadar TSH pada awal kehamilan.
Apabila TSH normal, maka perlu dimonitor lebih lanjut. Namun apabila diketahui terdapat
hipotiroidisme, maka terapi dengan levotiroksin diperlukan untuk mencapai kadar TSH (0,1-
2,5mIU/L pada trimester 1, 0,2-0,3 mIU/L pada trimester 2, 0,3-3,0 mIU/L pada trimester) dan
FT4 normal. Terapi hipertiroidisme pada kehamilan sama dengan pasien yang tidak hamil, hanya
saja kebutuhan levotiroksin saat kehamilan meningkat 25-50%. Tes fungsi tiroid dapat diulang
setiap 6-8 minggu selaam kehamilan. Apabila terdapat perubahan pada dosis levotiroksin, maka
tes fungsi tiroid harus dilakukan 4 minggu kemudian. Setelah melahirkan, maka dosis
levotiroksin kembali seperti tidak hamil. Suplemen kehamilan yang mengandung zat besi dapat
menurunkan absorbsi hormin tiroid padsa saluran cerna sehungga harus dikonsumsi dengan jarak
minimal 2-3 jam dari konsumsi levotiroksin.

KOMPLIKASI
Koma miksedema, depresi, kelainan neuropsikiatri (myxedema madness) , penyakit
jantung,komplikasi pengobatan.

PROGNOSIS
Kebanyakan kasus hipertiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur hidup. Komplikasi
koma miksedema terkait dengan kematian. Sekitar 40% kasus hipotiroidisme subklinis akan

399
berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini terkait dengan kadar awal TSH. Sisanya akan
megalami resolusi spontan dalam waktu 1-5 tahun.

400
TIROTOKSIKOSIS

PENGERTIAN
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid
yangb hiperaktif. Penyakit graves adalah penyakit autoimun yang dikarakteristikkan dengan
adanya antibodi terhadap reseptor tirotropin (TRAb). Penyakit graves merupakan penyebab
tersering hipertiroidisme
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang dikarakterisitikkan dengan hipertiroid
karena adanya autoantibodi yang bersirkulasi dalam darah. TSH Receptors Antybody (TRAb)
berikatan dengan reseptor tirotropin aktif sehingga menyebabkan kelenjar tiroid berkembang
dan terjadi peningkatan sintesis hormon tiroid oleh folikel tiroid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Gejala dan tanda tirotoksikosis
Gejala : hiperaktifitas, iritabilitas, dsiforia, intoleransi panas, mdah berkeringat, palpitasi, lemah
dan lesu, berat badan turun dengan peningkatan nafsu makan, diare, poliuria, oligomenorrhea,
hilangnya libido
Tanda: takikardia; atrial fibrilasi pada usia lanjut, tremor, goitr, kulit hangat dan lembab,
kelemahan otot, miopati proksimal, lid lag retraction dan lid retraction, ginekomastia.
Gejala dan tanda penyakit Graves
Pada penyakit Graves selain gejala dan tanda tirotoksikosis, dapat ditemukan pula
oftalmopati Graves, dermopati tiroid, akropati tiroid.
Akronim untuk perubahan pada oftalmopati Graves, yaitu “NO SPEC”
0 = No sign or symtoms
1 = Only signs (lid lag retraction dan lid retraction), no symptoms
2 = Soft-tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular-muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight lost

401
Pemeriksaan Penunjang
TSH, FT4, FT3 (dengan indikasi) sidik tiroid

DIAGNOSIS BANDING
 Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik,
metastase karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mjutasi reseptor TSH, obat: kelebihan
iodium (fenomena Jod basedow)
 Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid,
(karena amiodarone, radiasi,infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan
(tirotoksikosis factitia)
 Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi
hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasuional

TATALAKSANA
Farmakologis
1. Obat antitiroid
 Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari
 Metimazol dosis awal 20-40 mg/hari
 Indikasi:
- Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda
dengan struma ringan-sedang dan tirotoksikosis
- Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan iodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil, lanjut usia
- Krisis tiroid

2. Penyekat adrenergik beta


Pada awal terapi diberuikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12
minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 2-3 dosis.

402
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan
setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab FT4 dan TSHs. Setelah
tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis yangbterkecil
yang masih memberikan keadaan eutiroid selaam 12-24 bulan. Kemudian pengobatan
dihentikan, dan dinulai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat
antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat
tetap eutiroid atau terjadi relaps.

Bedah
Indikasi
 Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
 Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
 Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima terapi iodium radioaktif
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
 Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioiodine
Indikasi
 Pasien berusia > 35 tahun
 Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
 Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
 Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
 Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

KOMPLIKASI
Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves,
infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan antitiroid.

403
PROGNOSIS
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia > 40 tahun dengan ukuran gondok
yang besar dan tirotoksikosis yang klinis lebih berat (didapatkan titer antibodi respetor TSH yang
tinggi)

KRISIS TIROID

PENGERTIAN
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau
struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: infeksi, operasi, trauma,
zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, oenghentian obat anti-tiroid, terapi I131,
ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/stroke, palpitasi tiroid
terlalu kuat.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan
suasana hati, bingung sampai tidak sadar, diare, amenorea.

Pemeriksaan fisik
 Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain
 Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma
 Demam tinggi sampai 400C
 Takikardia sampai 130-200 x/menit
 Dapat terjadi gagal jantung kongestif
 Diare
 Ikterus

Pemeriksaan Penunjang

404
 TSHs sangat rendah, FT4/FT3 tinggi, anemia normositik nromokromik, loimfositosis relatif,
hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, hiperbilirubinemia, azotemia prerenal
 EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat

Tatalaksana
1. Perawatan suportif :
 Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
 Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus dekstrosa 5% dan Nacl
0,9%
 Mengatasi gagal jantjng: O2, diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid
 Blokade produksi hormon tiroid:
PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO
Alternatif: metimazol 20-3- mg tiap 4 jam PO
Pada keadaan sangat berat, dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT) PTU 600-
1000 mg atau metimazol 60-100 mg.
 Blokade ekskresi hormon tiroid
Solutio lugol (saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam
 Penyekat beta
Propanolol 60-80 mg tiap 6 jam PO atau 1-5 mg tiap 6 jam intravena, dosis disesuaikan
respons (target frekuensi jantung <90 x/ menit)
 Glukokortikoid
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam; dexametason 2 mg tiap 6 jam.
 Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik spektrum luas, dll.

KOMPLIKASI
Krisis tiroid: kematian

PROGNOSIS
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15 %

405
STRUMA TIROID

STRUMA DIFUSA NON TOKSIK


PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid difus tanpa adanya nodul maupun hipertiroid. Struma difusa
non toksik ini paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dan disebut juga goiter endemik
apabila menyerang > 5% populasi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Goiter kebanyakan asimptomatik. Apabila goiter sangat besar, maka dapat menimbulkan
gejala-gejala kompresi trakea atau esofagus. Goiter substernal dapat mengobstruksi thoracic
outlet.
2. Pemeriksaan Fisik
 Palpasi kelenjar tiroid menunjukkan adanya pembesaran yang tidak nyeri, lunak dan
tidak adanya nodul pada kelenjar tiroid
 Apabila terjadi obstruksi thoracic outlet dapat ditemukan Pemberton’s sign positif (rasa
pusing yang disertai dengan kongesti wajah dan obstruksi vena jugularis eksterna saat
lengan dinaikkan di atas kepala)
3. Pemeriksaan Penunjang
 Tes fungsi tiroid : untuk menyingkirkan adanya hipotiroid atau hipertiroid. Pada simpel
goiter kadar T4 dan TSH normal. Pada bentuk yang baru dan lama T4 dapat ditemukan
rendah.
 Antibodi TPO : untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko penyakit tiroid
autoimun
 Kadar iodium urin : rendah, < 10 g/dL
 Scan tiroid : peningkatan ambilan yodium radioaktif
 Pengukuran laju pernapasan/CT/MRI : diperlukan pada pasien goiter substernal yang
memiliki gejala atau tanda obstruksi

406
DIAGNOSIS BANDING
Tiroiditis, adenoma non neoplastik, kista tiroid/paratiroid/tiroglossus, hiperplasia remnant
post bedah, keganasan

TATALAKSANA
1. Non-farmakologis : Edukasi
2. Farmakologis
Terapi dengan iodium maupun hormon tiroid dapat mengecilkan goiter pada defisiensi
iodium, tergantung pada lamanya goiter dan derajat fibrosis yang timbul. Pemberian hormon
tiroksin harus hati-hati terutama bila kadar TSH rendah atau normal. Pada pasien muda,
dosis levotiroksin dapat dimulai pada 100 mcg/hari sedangkan pada pasien yang lebih tua
dimulai pada 50 mcg/hari. Regresi nyata biasanya terlihat dalam 3 – 6 bulan terapi.
3. Bedah
Terapi bedah dilakukan bila terjadi kompresi trakea ataupun thoracic outlet. Tiroidektomi
subtotal atau hampir total dapat dilakukan untuk kepentingan kosmetik. Operasi harus
diikuti penggantian hormon dengan levotiroksin agar TSH tetap pada batas bawah nilai
normal sehingga mencegah timbulnya kembali goiter.

KOMPLIKASI
Kompresi saluran napas dan esofagus, obstruksi thracic outlet, sindroma vena cava
superior, penekanan nervus frenikus atau laringeus rekuren, sindrom Horner. Stroke dan iskemik
serebral dapat terjadi akibat kompresi arteri atau sindrom pintas tiroservikal.

PROGNOSIS
Pada pasien tua, goiter yang telah lama diderita dan tingkat fibrosis yang lebih tinggi,
kurang dari sepertiga ayng menunjukkan respons dengan terapi farmakologis.

407
STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT)
PENGERTIAN
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme.
Berdasarkan jumlah nodul dibagi menjadi struma mononodosa non toksik dan struma
multinodosa non toksik. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif dibagi manjadi
nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas. Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi nodul
lunak, nodul kistik, nodul keras dan nodul sangat keras.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Ditanyakan mengenai sejak kapan benjolan timbul; Adakah rasa nyeri spontan atau tidak
spontan, berpindah atau tetap; Bagaimana cara membesarnya apakah cepat atau lambat;
Pada awalnya berupa satu benjolan saja yang membesar menjadi beberapa benjolan atau
hanya pembesaran leher saja; Riwayat keluarga adakah yang menderita keluhan yang sama;
Apakah pernah dilakukan penyinaran di leher saat muda; Apakah ada perubahan suara;
Adakah gangguan menelan atau sesak napas; Penurunan berat badan; Keluhan
tirotoksikosis.
2. Pemeriksaan Fisik
 Umum
 Lokal : Nodus tunggal atau majemuk atau difus, nyeri tekan, konsistensi, permukaan,
perlekatan pada jaringan sekitar, pendesakan atau pendorongan trakea, pembesaran
KGB regional, Pemberton’s sign.
3. Pendekatan Risiko Keganasan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi
tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid:
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difus jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis hashimoto atau penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroid
 Nyeri berhubungan dengan nodul

408
 Nodul lunak, mudah digerakkan
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid :
 Umur < 20 atau > 70 tahun
 Jenis kelamin laki-laki
 Nodul disertai disfagi, sesak, atau obstruksi jalan napas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu – bulan)
 Riwayat radiasi di daerah leher saat anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan risiko
kejadian nodul tiroid jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, iregular, dan sulit digerakkan
 Paralisis pita suara
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru, dll)
4. Pemeriksaan Penunjang
 BAJAH nodul tiroid
BAJAH merupakan prosedur diagnostik yang penting dilakukan pada kasus SNNT, dapt
dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium bila klinis eutiroid.
 Laboratorium : T4 atau FT4, TSHs sesuai gambaran klinis
 USG tiroid
USG baik untuk mengukur jumlah, ukuran dan karakteristik sonografi nodul. Yang
dicurigai keganasan yaitu hypoechoic, mikrokalsifikasi, makrokalsifikasi, intranodular
vaskularity, taller-than-wide dimensions, dan batas yang samar.

DIAGNOSIS BANDING
Struma nodosa (pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa pertumbuhan,
pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, infeksi, stres lain), tiroiditis akut, tiroiditis subakut,
tiroiditis kronis, simple goiter, struma endemik, kista tiroid, adenoma, karsinoma tiroid primer
atau metastastik, limfoma.
TATALAKSANA
Sesuaikan dengan hasil BAJAH :
409
 Ganas : Operasi tirodektomi near-total / total tiroidektomi
 An Undeterminate Significance (AUS) :
 Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku :
Bila hasil ganas  Operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil jinak  Operasi lobektomi
 Alternatif : Sidik tiroid. Bila hasil cold nodule operasi
 Tidak cukup / sediaan tidak representatif :
 Jika nodul solid : ulang BAJAH
Bila klinis curiga ganas tinggi  Operasi lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah  Observasi
 Jika nodul kistik : aspirasi
Bila kista regresi  Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah  Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi  Operasi lobektomi
 Jinak :
Tatalaksana dengan Levotiroksin (LT4) dosis subtoksis (terapi supresi)
 Dosis dititrasi mulai 2x25 mg (3 hari)
 Dilanjutkan 2x50 mg (3 – 4 hari)
 Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis : dosis dinaikkan menjadi 2x100mg
sampai 4 – 6 minggu, kemudian evaluasi TSH (Target 0,1 – 0,3 mlU/L)
 Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
 Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (mengecil > 50 %
dari volume awal)
 Bila nodul mengecil atau tetap  Stop LT4 dan observasi
 Bila setelah itu struma membesar lagi, lanjutkan terapi LT4 (Target TSH 0,1 – 0,3
mlU/L)
 Bila setelah LT4 stop, struma tidak membesar  Observasi
 Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat sementara dalam terapi supresi  Obat
dihentikan, direncanakan operasi tiroidektomi, dan dilakukan pemeriksaan
histopatologi.

410
Bila hasil PA jinak  Observasi
Bila hasil PA ganas  Tatalaksana dengan LT4, dengan target TSH : jika individu
risiko ganas tinggi (< 0,01 – 0,05 mlU/L); Jika individu dengan risiko ganas rendah
(0,05 – 0,1 mlU/L).

KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut / subakut.

PROGNOSIS
Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lambat. Bila ada pertumbuhan yang
cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi, perdarahan pada nodul atau adanya
neoplasma.

STRUMA NODOSA TOKSIK

PENGERTIAN
Adalah nodul tiroid soliter berkapsul yang berfungsi secara autonom menghasilkan
hormon tiroid. Disebut juga adenoma tiroid toksik. Sebagian besar pasien mengalami mutasi
somatik pada gen reseptor TSH. Mutasi ini menyebabkan peningkatan proliferasi dan fungsi sel
folikular tiroid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala tirotoksikosis ringan (kelelahan, tidak tahan panas, refelks hiperaktif, peningkatan
berkeringat, peningkatan nafsu makan, palpitasi, polidipsia, tremor, berat badan turun).
2. Pemeriksaan Fisik
Nodul tiroid yang biasanya cukup besar (> 3 cm) sehingga dapat dipalpasi.
3. Pemeriksaan Penunjang
 Tes fungsi tiroid : TSH rendah
 Scan tiroid : dapat menjadi tes diagnostik difinitif, menunjukkan adanya uptake lokal
pada nodul dan berkurangnya uptake pada bagian lain dari kelenjar tiroid
 USG tiroid

411
DIAGNOSIS BANDING
Grave’s disease, struma multinodosa toksik, tiroiditis, nodul tiroid

TATALAKSANA
1. Farmakologis
 Antitiroid dan penyekat beta
 Dapat menormalkan fungsi tiroid namun bukan terapi jangka panjang optimal
2. Bedah
 Lobektomi tiroid ipsilateral atau isthmusektomi (jika adenoma terdapat pada isthmus)
Lebih dipilih pada pasien dengan gejala dan tanda kompresi leher, ukuran goiter besar
(> 80g), ekstensi substernal atau retrosternal, atau kebutuhan untuk koreksi cepat atatus
tirotoksikosis. Kontraindikasi mencakup komorbiditas signifikan seperti penyakit
kariopulmoner dan kanker stadium akhir. Kontraindikasi relatif adalah kehamilan.
3. Radiasi
 Terapi radioiodin :
Lebih dipilih pada pasien usia lanjut, memiliki komorbiditas, riwayat operasi atau
jaringan parut pada anterior leher, dan ukuran struma kecil. Kontraindikasi mencakup
kehamilan, laktasi, wanita yang merencanakan hamil dalam 4 – 6 bulan.
4. Terapi lainnya
 Injeksi ethanol berulang atau ablasi termal radiofrekuensi per kutan

KOMPLIKASI
Hipertiroidisme, tirotoksikosis, krisi tiroid. Komplikasi terapi : hipotiroid

PROGNOSIS
Kebanyakan pasien yang diterapi memiliki prognosis baik. Prognosis buruk berhubungan
dengan hipertiroid yang tidak ditangani. Jika tidak ditangani, hipertiroid dapat menyebabkan
osteoporosis, aritmia, gagal jantung, koma dan kematian.

412
DIVISI REUMATOLOGI

413
ARTRITIS REUMATOID
PENGERTIAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistematik
kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama selain organ lain, sehingga
mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi, bahkan disabilitas dan kematian.1

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis 1,2

 Radang sendi (merah, bengkak, nyeri) umumnya menyerang sendi-sendi kecil, lebih dari
empat sendi (polikartikular) dan simetris.
 Kaku pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam atau membaik dengan beraktivitas
 Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia, demam ringan

Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu


timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul antara 3-5 hari dan diselingi masa remisi
sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. AR awal juga dapat bermanifestasi
sebagai pauciarticular rheumatism yaitu gejala oligoartikuler yang melibatkan 4 persendian atau
kurang. Kedua gambaran ini seringkali menyulitkan dalam menegakkan diagnosis AR dalam
masa dini.

Pemeriksaan Penunjang 2,3

 Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis


 Rheumatoid factor (RF0, anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (ACPA/anti-
CCP/anti-CMV)
 Laju endap darah atau C- reactive protein (CRP) meningkat
 Fungsi hati, fungsi ginjal
 Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000 /mm3).
 Pemeriksaan radiologi (foto polo /USG Doppler): gambaran dini berupa pembengkakan
jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang.
 Biopsi sinovium/nodul reumatoid.

414
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid berdasarkan ACR 2010
Kriteria diagnosis diperiksakan pada pasien dengan keluhan sonovitis yang jelas (minimal satu sendi) dan
keluhan sinovitis tidak dijelaskan lebih baik dengan penyakit lain

Tambahkan seluruh skor pada kategori A-D, pasien dengan skor >6/10 diperlukan untuk dimasukkan dalam
klasifikasi pasien yang memiliki artritis reumatoid.

A. Keterlibatan semdi Satu sendi besar*** 0

2-10 sendi besar 1

1-3 sendi kecil **** dengan atau tanpa keterlibatan


sendi besar 2

4-10 sendi kecil dengan atau tanpa keterlibatan sendi


besar 3

> 10 sendi, minimal satu sendi kecil 5

RF negative dan ACPA negatif 0

B. Serologi (minimal 1 pemeriksaan untuk RF positif atau ACPA positif lemah 2


dimasukkan dalam klasifikasi)
RF positif kuat atau ACPA positif kuat 3

CRP normal dan LED normal 0


C. Protein fase akut (minimal 1 pemeriksaan
untuk dimasukkan dalam klasifikasi)## CRP abnormal atau LED abnormal 1

D. Lama gejala ###

< 6 minggu 0

≥ 6 minggu 1

DIAGNOSIS BANDING

Lupus eritematosus sistemik, gout, osteoartritis, spondiloartropati seronegatif, sindrom


Sjogren 2,6

TATALAKSANA

Nonfarmakologis

415
Edukasi, protein sendi pada stadium akut, foot orthotic/splint (jika perlu), terapi spa,
latihan fisik (dynamic strength training) 30 mnit setiap latihan 2-3 kali seminggu dengan
intensitas sedang, suplemen minyak ikan, suplemen asam lemak esensial.2,4

Farmakologis1,2,6

 Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional : MTX,


hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid, azatioprin, siklosporin
 Agen biologik: infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab, adalimumab
 Glukokortikoid
 OAINS: non- selektif atau selektif COX-2

Terapi Bedah

Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang
ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi, keterbatsan gerak yang bermakna atau
Keterbatasan fungsi yang berat, kompresi saraf dan adanya ruptur tendor1,2

KOMPLIKASI

Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula, peningktan infeksi,


deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi pernapasan, nodulreumatoid,
vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder, komplikasi akibat pengobatan.6

Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan dengan aktivitas
penyakit AR dan pemakaian glukokortikoid, sehingga perlu terapu terhadap pencegahan
osteoporosis dan patah tulang.

ARTRITIS GOUT DAN HIPERURISEMIA

PENGERTIAN
Hiperurisemia adalah meningkatnya kadar asam urat darah diatas normal (pria >7 mg/dL,
wanita >6 mg/dL) yang bisa disebabkan oleh peningkatan produksi asam urat, penurunan
ekskresi asam urat pada urin, atau gabungan keduanya hiperurisemia yang berkepanjangan dapat
menyebabkan gout, namun tidak semua hiperurisemia menimbulkan patologi berupa gout.1
Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemukan pada laki-laki >40
tahun dan perempuan pasca menopause, karena penumpukan kristal monosodium urat (MSU)
pada jaringan akibat dari hiperurisemia. Biasanya ditandai dengan episode artritis akut dan
kronis, pembentukan tofus, serta risiko untuk deposisi di interstitum ginjal (Nefropati) dan
saluran kemih (nefrolitiasis).1

416
Artritis gout adalah peradangan akut yang hebat pada jaringan sendi disebabkan oleh
endapan kristal- monosodium urat dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik.2,3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Diagnosis Hiperurisemia
Anamnesis
Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode yaitu : periode hiperurisemia tanpa gejala
klinis, episode artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis, dan artritis gout kronis.
Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering mengenai tungkai bawah (80-90% kasus)
umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I) yang secara klasik disebut podagra, onsetnya
tiba-tiba, sendi terkena mengalami eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya
disertai gejala sistematik, seperti demam, enggigil, dan malaise.1,2
Anamnesis arthritis, perjalanan penyakit ditujukan untuk mencari adanya riwayat
keluarga, penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia, riwayat minum minuman
beralkohol, obat-obat tertentu.1

Pemeriksaan Fisik
Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, seperti eritema,
hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas sendi dan tofi (tanda khas gout). Sendi
yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I).

Pemeriksaan Penunjang 1-3


 Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin
 Ekskresi asam urat urin 24 jam
 Bersihan kreatinin
 Radiologis sendi (jika perlu)

Diagnosis Artritis Gout

Berdasarkan kriteria ACR (America College Rheumatology), diagnosis ditegakkan bila


salah satu dari poin (A), (B) dan (C) berikut terpenuhi. 4-5

A. Didapatkan kristal MSU di dalam cairan sendi, atau


B. Didapatkan kristal MSU pada tofus, atau
C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
 Inflamasi maksimal pada hari pertama
 Serangan artritis akut lebih dari 1 kali
 Serangan artritis monoartikular
 Sendi yang terkena berwarna kemerahan
 Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal (MTP) I

417
 Serangan pada sendi MTP unilateral
 Serangan pada sendi tarsal unilateral
 Tofus (atau suspek tofus)
 Hiperurisemia
 Pembengkakan sendi asimetris (radiologis)
 Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
 Kultur bakteri cairan sendi negatif

DIAGNOSIS BANDING4

 Pseudogout (penimbunan kristal kalsium piro fosfat dehydrogenase/CPPD)


 Artritis septik
 Artritis reumatoid
 Palindromic rheumatism

TATALAKSANA
Prinsip pengelolaan hiperrurisemia maupun gout, yaitu :
1. Non-farmakologis:1,2,6
 Penyuluhan diet rendah purin (hindari jerohan, seafood)
 Hidrasi yang cukup
 Penurunan berat badan (target BB ideal)
 Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan asam urat darah
(etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal, tiazid)
 Olahraga ringan
2. Farmakologis:2
 Pengobatan fase akut:
- Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baik yang non selektif maupun
yang selektif.
- Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral, atau injeksi lokal
IA (Seperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi kecil atau 20-40 mg untuk sendi
besar) terutama bila ada kontraindikasi dari OAINS.
- Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat dibandingkan
OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih nyata untuk pencegahan serangan
akut, terutama pada awal pemberian obat antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1
mg/hari.
- Obat anthihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan pada fase akut
kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.
 Obat antihiperurisemik:
a. Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebihan), misalnya
allopurinol

418
b. Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid,

KOMPLIKASI

Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing (obstruksi
dan/atau infeksi).

ARTRITIS SEPTIK

PENGERTIAN

Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh bakteri
gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis bakterialis, artritis supuratif,
atau artritis infeksiosa.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis3

 Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas, gangguan
fungsi, pada 90 % pasien umumnya hanya terkena satu sendi, yaitu sendi lutut. Lokasi
lainnya dapat juga terjadi pada sendi panggul, bahu, pergelangan tangan atau siku
meskiupun lebih jarang. Selain itu, keluhan demam ditemukan pada rentang suhu tubuh
38.3o-38.9oC (101o-102oF), namun dapat pula ditemukan suhu tubuh yang lebih tinggi
pada keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi renal atau heptik, dan kondisi yang
membutuhkan terapi imunosupresif.
 Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi-artikular, trauma sendi.

Pemeriksaan Fisik2

Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah dan
bengkak. Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%).

Pemeriksaan Penunjang

1. Evaluasi cairan Sinovial:1,3


 Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguin, atau purulen.
 Jumlah sel dan diferensiasi
 Jumlah sel leukosit, yang berkisar 100,000/L (50,000-250,000/L), dengan >90%
neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut. Pada Crystal-induced,
reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya biasanya <30,000-50,000 sel/L,

419
sedangkan, hitung sel 10,000-30,000/L, 50-70% neutrofil dan sisanya limfosit,
merupakan gambaran yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi
fungal.
 Penawaran gram dan kultur untuk antibiotik
 Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. Aurens dan streptokokus
hampir mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50% infeksi disebabkan oleh
gram negatif bakteri lain. Kultur cairan sinovial positif pada >90% kasus.
 Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.
2. Pemeriksaan darah:
Kultur darah bisa positif walupun kultur cairan sinovial negatif. Jumlah sel darah putih
dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap darah juga dapat membantu monitoring
terapi.1,3
3. Gambaran rontgen
Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik artritis
septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian kerusakan sendi. Rontgen polos
dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak yang membengkak, pelebaran ruang sendi,
dan pergeseran jaringan oleh kapsul yang mengalami distensi. Gambaran penyempitan
ruang sendi dan erosi tulang menunjukkan bahwa telah terjadi infeksi lanjut dan
prognosis yang buruk. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya efusi
sendi dan bisa sebagai pemandu pada tindakan aspirasi. CT scan dan MRI dapat
digunakan untuk membantu menilai luasnya infeksi 1,3,5

DIAGNOSIS BANDING

Selulitis, bursitis, osteomieeitis akut, artritis reumatoid, still disease, gout dan pseudogout

TATALAKSANA

A. Aspirasi sendi yang adekuat1,2


B. Pengobatan empiris dengan obat antibiotik intravena dapat dimulai setelah sampel kultur
dan jenis gram didapatkan 1,3,4-5
1. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau Cefazolin
2. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka antibiotik
empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxon atau cefotaxim
3. Antibiotik definitif intravena diberikan sesuai dengan hasil kultur selama dua
minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama empat minggu.
C. Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi

KOMPLIKASI

420
Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ

FIBROMIALGIA

PENGERTIAN

Sindrom kronik yang ditandai dengan nyeri otot dan sendi yang menyebar luas. Sering
terkait dengan kelelahan, kesulitan tidur, gangguan kognitif, ansietas, dan depresi.1-3

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Diagnosis fibromialgia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis American College of


Rheumatology (ACR) tahun 2010 (tabel).3

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR 2010:3


Pasien memenuhi kriteria diagnosis jika 3 kondisi berikut dipenuhi:

1. Widespread pain index (WPI) ≥7 dan skor skala sympton severity (SS) ≥3-6 dan skor skala ss≥9
2. Gejala telah ada selama minimal 3 bulan
3. Pasien tidak memiliki penyakit lain yang dapat menjelaskan nyeri yang dialami

Skor

1. WPI: perhatikan daerah-daerah di mana pasien mengalami nyeri selama seminggu terakhir. Pada berapa
banyak daerah pasien mengalami nyeri skor antara 0 dan 19
Bahu, kiri Panggul (bokong, trokanter), kiri Rahangn kiri punggung atas
Bahu, kanan Panggul (bokong, trokanter), kanan Rahang, kanan Punggung
Bawah
Lengan atas, kiri Tungkai atas, kiri Dada Leher
Lengan atas, kanan Tungkai atas, kanan Abdomen
Lengan Bawah, kiri Tungkai bawah, kiri
Lenan Bawah,Kanan Tungkai bawah, kanan
2. Skor skala ss
c. Kelelahan
d. Tidak segar pada waktu bangun tidur
e. Gejala kognitif
untuk masing-masing dari gejala di atas, tentukan keparahan dalam satu minggu teralhir menggunakan
skala nerikut:

0 = tidak ada masalah

1 = masalah minimal atau ringan, biasanya ringan atau intermiten

2 = masalah sedang, sering muncul dan atau pada tingkat sedang

3 = masalah berat: pervasif, berkesinambungan dan mengganggu kehidupan

421
Mempertimbangkan gejala somatik secara umum, tentukan apakah pasien memiliki:

0 = tidak ada gejala

1 = sedikit gejala

2 = gejala dalam jumlah sedang

3 = banyak gejala

Skor skala ss adalah jumlah dari keparahan tiga gejala (kelelahan, tidak segar pada waktu bangun tidur, gejala
kognitif) ditambah keparahan gejala somatik secara umum. Skor akhir antara 0 dan 12

DIAGNOSIS BANDING1,2

Sindrom nyeri regional miofasial, miopati karena kelainan endokrin (hipotiroid,


hipertiroid, hiperparatiroid, insufisiensi adrenal), miopati metabolik, neurosis, metastasis
karsinoma, sindrom lelah kronik.

TATALAKSANA

 Edukasi, olahraga aerobik, pemanasan, cognitive-behaviorial therapy, terapi kolam-


panas, relaksasi, fisioterapi.
 Farmakologis1,2,4
1. Antinyeri : tramadol, parasetamol, opioid lemah lainnya
2. Antidepresan : amitriptilin, fluoxetin, duloxetin
3. Antikonvulsan: pregabalin. Gabapentin

KOMPLIKASI

Depresi, penurunan kualitas hid

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


PENGERTIAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ atau sistem dalam tubuh.
DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Berdasarkan ACR.
422
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar, atau menonjol, pada malar eminensia tanpa
melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis non-erosif Melibatkan dua tau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak
dan efusi
Pleuritis atau Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar
perikarditis oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura
Atau
Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pericardial
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+, atau
b. Cetakan selular dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tabular, atau
c. Gabungan
Gangguan Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic
neurologi (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
Atau
Psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic
(uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologic b. Leucopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 yang tidak disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan a. Anti-DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibody terhadap antigen nuclear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibody untikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
2) tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standar,
atau
3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum
atau tes efloresensi antibody treponemal
Antibody Titer abnormal dari antibody anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
antinuclear (ANA) imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
positif perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

423
Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap: Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, LED
 Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid
 Urinalisis
 ANA, anti dsDNA
 Foto toraks
 C3 dan C4 (untuk menilai aktifitas penyakit)
Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi:
 Protein urin kuantitatif 24 jam
 Profil ANA: Anti Sm, Anti-Ro/SS-A, anti La/SS-B dan anti RNP
 Antiphospholipid antibodies, lupus anticoagulant, anticardiolipin, anti-β2-glycoprotein /
bila ada kecurigaan sindroma anti-fosfolipid
 Coomb test,bila ada kecurigaan AIHA
 EKG, ekokardiografi
 Biopsi kulit

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan SLICC 2012*3


A. Kriteria klinis:
1. Lupus kutaneus akut:
Ruam malar (kecuali malar disckid)
Lupus bulosa
Nekrolisis epidermal toksik
Ruam makulopapular
Ruam fotosensitivitas
Tanpa adanya dermatomiositis
ATAU lupus kutaneus subakut (nonindurated psoriasiform dan/atau lesi anular
polisiklik yang hilang tanpa jaringan partum walaupun terkadang timbul pigmentasi
abnormal setelah inflamasi atau telangiektasis
2. Lupus kutaneus kronis:
Ruam discoid klasik:
Terlokalisisr (diatas leher)
Menyeluruh (diatas dan dibawah leher)
Lupus hipertropik (veruka)
Lupus panikulitis (profundus)
Lupus mucosal
Lupus eritematosus tumidus
424
Lupus chilblain
Lupus discoid bersamaan dengan linchen planus
3. Ulkus mulut
Langit-l;angit
Bukal
Lidah
ATAU ulkus nasal
Tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis, infeksi virus herpes, penyakit Behcet,
inflammatory bowel disease, arthritis reaktif, dan makanan asam
4. Alopesia tanpa jaringan parut (penipisan yang menyeluruh, atau rambut rapuh dengan
kerusakan yang jelas)
Tanpa adanya penyebab lain, seperti alopseia areata, obat-obatan, defisiensi besi, dan
alopesia androgenic
5. Sinovitis yang melibatkan 2 sendi/lebih ditandai dengan adanya pembengkakan atau efusi
ATAU nyeri pada 2 sendi/lebih dan kekakuan pagi setidaknya selama 30 menit
6. Serositis
Pleuritis tipikal lebih dari 1 hari
ATAU efusi pleura
ATAU pleural rub
Nyeri pericardial tipikal lebih dari 1 hari
ATAU efusi pericardium
ATAU pericardial rub
ATAU perikarditis pada EKG
Tanpa adanya penyebab lain seperti infeksi, uremia, dan Dressler’s pericarditis
7. Ginjal
Rasio protein kreatinin urin (atau protein urin 24 jam) menunjukkan 500mg protein/24
jam ATAU cast eritrosit
8. Neurologi
Kejang
Psikosis
Manoneuritis multiplex
Tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis primer
Mielitis
Neuropati perifer atau cranial
Tanpa adanya penyebab lain, seperti toksik/metabolic, uremia, obat-obatan
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia (<4000/mm3) setidaknya sekali
Tanpa adanya penyebab alin seperti sindrom Fetty, obat-obatan, dan hipertensi portal
ATAU limfopenia (<1000/mm3) setidaknya sekali
Tanpa adanya penyebab lain, seperti pemakaian kortikosteroid dan infeksi
11. Trombositopenia (<100.000/mm3) setidaknya sekali.
Tanpa adanya penyebab lain seperti obat-obatan, hipertensi portal, dan thrombotic
thrombocytopenic purpura (TTP)

B. Kriteria imunologis
1. Level ANA yang meningkat melebihi batas atas normal

425
2. Level antibody anti-dsDNA yang meningkat melebihi batas atas normal (atau 2x batas
atas normal bila pemeriksaan dilakukan dengan ELISA)
3. Anti-Sm: adanya antibody terhadap antigen nuklir Sm
4. Adanya antibody antifosfolipid yang ditentukan dengan:
Tes lupus antikoagulan positif
Pemeriksaan RPR (rapid plasma regain) yang positif palsu
Titer antibody antikardilipin (IgA, IgM atau IgG) yang sedang atau tinggi
Anti-β2-glikoprotein I (IgA, IgM, atau IgG) yang sedang atau tinggi
5. Kadar komplemen yang rendah
Rendah C3
Rendah C4
Rendah CH50
6. Tes Coombs langsung tanpa adanya anemia hemolitik

DIAGNOSIS BANDING
Undifferentiated connective tissue disease (UCTD), arthritis rheumatoid, sindrom
vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti-fosolipid primer, fibromyalgia, lupus imbas
obat.

PENGELOLAAN
Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai
factor seperti jenis organ yang terlihat dan derajat berat ringannya, afinitas penyakit,
komorbiditas, dan komplikasi.
Pengelolaan ini terdiri dari:
1. Edukasi dan konseling: penjelasan tentang penyakit Lupus, perjalanan penyakit, program
pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan perlunya upaya pencegahan termasuk
menghindari paparan sinar matahari (ultraviolet)
2. Rehabilitasi: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortosis
3. Medikamentosa berdasarkan keterlibatan organ dan dertajat aktifitas penyakit:
- SLE ringan: parasetamol, OAINS, kortikosteroid topical, klorokuin, kortikosteroid
oral dosis rendah, tabir surya.
- SLE sedang: kortikosteroid dosis sedang-tinggi, beberapa immunosupresan seperti
azatioprin dan mikofenolat mofetil (MMF)
- SLE berat atau mengancam nyawa: kortikosteroid pulse dose siklofosfamid

426
Terapi lain yang dapat digunakan pada kondisi respons steroid yang tidak adekuat atau
diperlukan steroid sparing agent antara lain: MMF, siklosporin, azatioprin, metotrexat,
klorokuin, rituximab.

KOMPLIKASI
Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder

NYERI PINGGANG
PENGERTIAN
Nyeri pinggang diartikan sebagai nyeri pada daerah pinggang atau punggung bagian
bawah (low back pain) yaitu daerah di daerah lumbal antara tulang rusuk paling bawah dan garis
pinggang. Klasifikasi nyeri pinggang (LBP)
- Akut : durasi 0-3 bulan
- Kronik : durasi >3 bulan
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
 Deskripsi nyeri pinggang: sifat, tingkat beratnya nyeri, onset, durasi, frekuensi, lokasi
nyeri, distribusi/penjalaran, serta factor pencetus atau yang memperberat.
 Adakah tanda bahaya (red flags) atau tanda waspada (yellow flags)
 Adakah defisit neurologis
Tabel 1. Tanda-tanda alarm nyeri pinggang
Red flags (tanda bahaya) Yellow flags (tanda waspada)
Sindrom kauda equine Sikap dan kepercayaannya tentang sakit
Nyeri yang memberat, terutama malam hari pinggangnya
dan saat istirahat Suasana hati/emosi
Trauma yang signifikan Perilaku saat sakit
Penurunan berat badan Problem diagnosis dan terapi
Riwayat keganasan Problem keluarga
Demam Problem pekerjaan
Penggunaan obat intravena atau steroid
Pasien berusia ≥ 50 tahun

Pemeriksaan Fisik

427
 Inspeksi bentuk tulang belakang dengan posisi pasien berdiri, terlentang, atau
telungkup: adakah kifosis/skoliosis/hiperlordosis/gibbus/deformitas lain
 Palpasi untuk menilai kelainan struktur anatomis, lokasi dan adanya nyeri tekan
 Perkusi daerah sekitar tulang belakang seperti pemeriksaan nyeri ketok pada daerah
kostovertebra untuk menyingkirkan kemungkinan sumber nyeri dari ginjal
 Pemeriksaan persendian sakroiliaka: tes Fabere atau Patrick yaitu abduksi dan rotasi
eksternal panggul; pelvic rock test dengan cara meletakkan jari-jari pada Krista iliaka
biulateral dan ibu jari pada spina iliaka anterior superior dan kemudian dilakukan
tekanan kearah garis tengah.
 Pemeriksaan neurologis sesuai dermatom keluhan nyeri, tes Laseque atau straight elg
raising (SLR) atau reverse SLR, serta pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas inferior.
 Pemeriksaan pergerakan tulang belakang: Schober test, lateral flexion.
 Sindrom kauda ekuina ditandai dengan kesulitan miksi, berkurangnya tonus sphincter
ani atau inkontinensia alvi, saddle anaesthesia, gangguan berjalan.
DIAGNOSIS ETIOLOGI
Berasal dari tulang belakang dan sekitarnya
 Mekanis: herniasi diskus, spondilolistesis, stenosis spinalis, hyperostosis skeletal difus
idiopatik, fraktur, idiopatik (lumbago, sprain and strain)
 Neoplasma
 Infeksi (spondilitis TB)
 Inflamasi (spondilitis ankilosa)
 Metabolik
Berasal dari visera
 Nefrolitiasis
 Pielonefritis
 Pankreatititis
 Kolelitiasis
 Endometriosi

428
Nyeri pinggang
(diuar sebab trauma, non-spinal, atau penyakit sistemik)

Anamnesis dansebab
(diuar pemeriksaan
trauma,fisik:
non-spinal, atau penyakit sistemik)
 Lama gejala
 Factor resiko yang mengarah ke kondisi berat (RED FLAG)
 Gejala-gejala yang mengarah pada radikulopati atau stenosis spinal
 Adanya tanda dan keparahan defisit neurologis
 Faktor risiko psikososial

Kecurigaan kuat adanya keganasan, infeksi/inflamasi, sindrom Konsul ke spesialis


kauda ekuina, atau defisit neurologis berat/progresif MRI atau CT-scan

Ya

Tidak
 Pertimbangkan pemeriksaan
radiologi/foto polos awal (pada
Tidak mengarah kuat pada keganasan, infeksi/inflamasi, atau banyak kasus)
fraktur kompresi vertebra, atau kondisi spesifik lain, tetapi terdapat  Pertimbangkan pemeriksaan LED
satu atau lebih factor resiko untuk evaluasi keganasan, infeksi
atau inflamasi
Ya
 Jika factor risiko lemah kea rah
Tidak kondisi berat -> pertimbangkan
terapi awal

Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi rutin atau tes diagnosis


lain. Berikan informasi dan nasehat perawatan diri pada pasien

 Berikan informasi tentang target yang diharapkan serta Terdapat kondisi spesifik
perawatan diri yang efektif
 Sarankan sebisa mungkin melanjutkan aktifitas, tidak
dianjurkan bed rest Ya
 Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali dan untuk
diagnosis
Evaluasi dan Berikan terapi yang sesuai

Ya
Lanjutkan perawatan diri
Nyeri pinggang sedang dan tidak ada gangguan fungsi yang sesuai
Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali

Tidak

Pertimbangkan terapi farmakologi, non-farmakologi/non-invasif, sebagai terapi awal.


Terapi farmakologi : asetaminofen, NSAID, opioid, tramadol, benzodiasepin, obat pelemas otot (nyeri pinggang akut), antidepresan
trisiklik (nyeri pinggang kronik)
Terapi non-farmakologi: (untuk nyeri pinggang kronik): akupuntur, latihan fisik, massage, yoga, terapi behavioral, manipulasi spinal
(juga untuk nyeri pinggang akut), rehabilitasi fisik yang holistik Tidak

Ya
Pasien bersedia menerima risiko dan manfaat Terapi inisial
terapi Evaluasi respon terapi

Lanjutkan perawatan diri, pasien kontrol setelah


satu bulan

Ya Lanjutkan perawatan diri


Nyeri pinggang teratasi atau memberat dengan tanpa Jelaskan indikasi untuk kontrol
disertai gangguan fungsi

429
KOMPLIKASI
Kerusakan saraf pada ganglion nervus dorsalis

OSTEOPOROSIS
PENGERTIAN
Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai compromised
bone strength sehingga tulang mudah patah. Meningkatnya aktivitas resorpsi tulang (bone
resorption) melebihi aktivitas pembentukan tulang (bone formation) merupakan pathogenesis
utama terjadinya osteoporosis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
 Keluhan utama: Seringkali pasien tidak disertai keluhan sampai timbul fraktur: Apabila
sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur (leher femur;
vertebra torakal dan lumbal, distal radius) misanya nyeri pinggang bawah, penurunan
tinggi badan, kifosis.
 Faktor risiko osteoporosis atau penyebab osteoporosis sekunder:
- Riwayat konsumsi obat-obatan rutin: kortikosteroid, hormone tiroid, anti konvulsan
(fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, pirimidon, asam valproat), warfarin
- Penyakit-penyakit lain yang berkaitan dengan osteoporosis: penyakit ginjal kronik,
saluran cerna, hati, hipertiroidisme, hipogonadisme, sindrom Cushing, insufisiensi
pancreas, arthritis rheumatoid.
- Faktor-faktor lain: merokok, peminum alcohol, riwayat haid, menarche, menopause
dini, penggunaan obat-obat kontrasepsi, riwayat keluarga dengan osteoporosis,
asupan kalsium kurang.

Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum, tinggi dan berat badan, gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality.

430
 Evaluasi gigi geligi
 Tanda-tanda goiter, atau adanya jaringan parut pada leher dapat menandakan riwayat
operasi tiroid.
 Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis
 Kifosis dorsal (Dowager’s Hump), spasme otot paraverterbra
 Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur
 Kulit yang tipis (tanda McConkey)

Pemeriksaan Penunjang
 Radiologis
 Foto polos (untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur vertebra
atau panggul)
 Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur Bone Mineral
Density (BMD)
- Indikasi: wanita premenopause dengan risiko tinggi, laki-laki dengan satu atau
lebih factor risiko (hipogonadisme, pengguna alkohol, osteoporosis pada
radiografi, fraktur karena trauma ringan), imobilisasi lama (lebih dari 1 bulan),
masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun, arthritis rheumatoid atau
spondilitis ankilosa selama lebih dari 5 tahun terus menerus, awal pengobatan
kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1-2 tahun pengobatan, menggunakan
terapi antikonvulsan dengan dilantin atau fenobarbital selama lebih dari 5
tahun, kreatinin klirens <50 militer/menit atau penyakit tubular ginjal,
osteomalasia, hiperparatiroidisme, penggunaan terapi pengganti tiroid lebih
dari 10 tahun, evaluasi terapi osteoporosis, wanita postmenopause dengan 2
atau lebih factor resiko.
- Pada wanita postmenopause dan laki-laki ≥50 tahun tanpa adanya fraktur
patologis menggunakan T-score:
- Nilai T-score ≥ -1 dikatakan normal
- Nilai T-score -1 sampai dengan -2,5 dikatakan osteopenia
- Nilai T-score ≤-2,5 dikatakan osteoporosis

431
 Pada wanita premenopause dan laki-laki <50 tahun, dan anak-anak menggunakan
Z-score
- Nilai Z-score > -2 dikatakan within expected range for age
- Nilai Z-score ≤ -2 dikatakan low BMD for chronological age
 Keterangan:
Bagian tulang yang diperiksa adalah: tulang belakang (L1-L4), tulang panggul
(femoral neck, total femoral neck), lengan bawah (diperiksa bila tuang belakang
dan/atau panggul tidak dapat diukur; hiperparatiroidisme, obesitas).
 Petanda biokimia tulang

DIAGNOSIS BANDING
Osteomalasia, tumor, ostenonekrosis, metastasis, osteogenesis imperfecta, renal
osteodystrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis-sekunder yang disebabkan metastasis.

TATALAKSANA
Non farmakologis
 Edukasi dan pencegahan
 Latihan dan program rehabilitasi
- Belum terkena osteoporosis sifat latihan adalah pembebanan pada tulang
- Pasien osteoporosis: latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian
ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai latihan beban yang adekuat.
 Memenuhi kebutuhan kalsium >1200 mg/hari dan Vitamin D 800-1000 U/hari
 Paparan sinar matahari yang cukup

Farmakologis
 Bifosfonat:
Alendronat, dosis 10 mg/hari atau 70 mg/minggu peroral
Risendronat, dosis 5 mg/hari atau 35 mg/minggu atau 150 mg/bulan peroral
Ibandronat, dosis 150 mg/buan peroral atau 3 mg/3 bulan intravena
Asam Zoedronat, dosis 5 mg/tahun intravena
 Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM): Raloxifene, dosis 60-120 mg/hari

432
 Terapi lainnya
- Kalsitriol
- Hormon Paratiroid
- Strontium Ranelat
- Kalsitonin injeksi (untuk pencegahan acute bone loss pada pasien dengan imobilisasi,
diberikan paling lama empat minggu)
- Denosumab (belum tersedia di Indonesia)

Bedah
Tindakan pembedahan dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa
hal yang harus diperhatikan:
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan bedah,
sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari imobilisasi yang lama dan komplikasi
fraktur.
2. Tujuan pembedahan adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi
dapat dilakukan sedini mungkin.
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna.
4. Walaupun dilakukan pembedahan, terapi medikamentosa tetap diberikan.

KOMPLIKASI
Kifosis, penurunan tinggi badan, nyeri punggung, nerve entrapment syndrome,
peningkatan resiko jatuh, dan fraktur.

433
OSTEOARTRITIS

PENGERTIAN
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai dengan
perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang terjadi adalah
hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang subkondral, pertumbuhan
osteofit pada tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis ringan, dan kelemahan otot yang
menyokong sendi.

Tabel 1. Kriteria diagnosis osteoarthritis lutut berdasarkan ACR tahun 1986


Klinis dan laboratorium Klinis dan radiografi Klinis
Nyeri lutut dan setidaknya 5 Nyeri lutut dan setidaknya 1 Nyeri lutut dan setidaknya 3
dari 9 kriteria berikut: dari 3 kriteria berikut dari 6 kriteria berikut:
1. Usia >50 tahun 1. Usia >50 tahun 1. Usia >50 tahun
2. Kaku sendi <30 menit 2. Kaku sendi <30 menit 2. Kaku sendi <30 menit
3. Krepitus 3. Krepitus + osteofit 3. Krepitus
4. Nyeri tulang 4. Nyeri tulang
5. Pembesaran tulang 5. Pembesaran tulang
6. Tidak teraba hangat 6. Tidak teraba hangat
pada palpasi pada palpasi
7. LED ≤ 40mm/jam
8. Faktor rheumatoid
(RF) <1:40
9. Cairan synovial
petanda OA
(jernih,viscous, atau
hitung leukosit
<2000/mm3)

Sensitifitas 92%, Spesifisitas Sensitifitas 91%, Spesifisitas


75% 86% Sensitifitas 95%, Spesifisitas
69%

Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan berdasarkan kriteria ACR tahun 1990


1. Nyeri tangan atau kaku, dan
2. Tiga dari empat kriteria berikut:

434
a. LED ≤ 20mm/jam
b. Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
c. Radiologi: terdapat penyempiutan celah sendi (superior; aksial, dan/atau medial)

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipikirkan terutama pada osteoarthritis dengan efusi sendi atau
inflamasi minimal. Diagnosis banding pada kasus tersebut adalah:Reumatik ekstraartikuler
(bursitis, tendinitis), arthritis gout, arthritis rheumatoid, arthritis septic, spondilitis ankilosa, dan
hemokromatosis.
TATALAKSANA
Nonfarmakologis
Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan berlebih pada sendi,
olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobic, penurunan berat badan jika berat
badan berlebih atau obes, aplikasi loka panas atau dingin, peregangan sendi, transcutaneus
electrical nerve stimulation ((TENS), penggunaan penyokong sendi, penggunaan alat bantu pada
yang mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari.
Farmakologis
1. Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID) topical atau sistemik
(baik yang nonspesifik maupun spesifik COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan
inflamasi
2. Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama untuk OA lutut dengan
efusi.
3. Injeksi hialuronat atau viscosupplement intra-artikular untuk OA lutut
Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak
memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan mengurangi kualitas
hidup mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk osteoarthritis lutut dan sendi panggul
adalah total joint arthroplasty.

KOMPLIKASI
Deformitas s

435
REUMATIK EKSTRAARTIKULER

PENGERTIAN
Rematik ekstrartikuler adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik umumnya
berupa nyeri dan kekakuan jaringan lunak, otot atau tulang tanpa hubungan yang jelas dengan
sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik serta tidak semuanya dapat dibuktikan
penyebabnya. Beberapa penyakit reumatik ekstraartikuler yang penting dan sering ditemui
adalah periarteritis kalsifik, entesopati, tenosivitis, bursitis. Pada bab ini, reumatik ekstrartikuler
yang akan dibahas adalah berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terkena.1,2

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Kelainan Reumatik pada bahu1,3,4


1. Rotator cuff tendinitis
Anamnesis : nyeri saaat abduksi aktif terutama pada sudut 60°-120°, nyeri hebat pada otot
deltoid lateral, nyeri biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang lebih berat, nyeri
dirasakan mulai awal abduksi dan sepanjang lingkup gerak sendi (LGS). Neri bertambah
hebat apabila lengan dalam posisi menjangkau, mendorong, menarik, mengangkat,
meluruskan lengan setinggi bahu atau berbaring ke sisi yang sakit.
Pemeriksaan fisik : pemeriksaan LGS aktif dengan tahanan akan menimbulkan rasa nyeri
sesuai dengan tendon yang terlibat, misalnya supraspinatus untuk gerakan abduksi.
Diagnosis banding : robekan rotator cuff, angina pektoris, tendinitis bisipital.

2. Frozen shoulder syndrome


Anamnesis : nyeri pada bagian atas humerus dan menjalar ke lengan atas bagian ventral,
scapula, lengan bawah serta terutama bila lengan atas digerakkan dan kambuh pada malam
hari, gerakkan abduksi,elevasi dan rotasi eksternal terbatas, umumnya menyerang usia dia ats
40 tahun.
Pemeriksaan fisik : nyeri pada palpasi, pemeriksaan LGS aktif dan pasif terbatas ke semua
arah.
Diagnosis banding : robekan labral, osteoartritis, robekan rotator cuff, rotator cuff tendinitis,
bursitis subakromial.

3. Tendinitis bicipital
Anamnesis : nyeri difus pada anterior bahu, nyeri bersifat kronis dan berkaitan dengan
penjepitan tendon bisep oleh akromion.
Pemeriksaan fisik : palpasi daerah bisipital, terdapat nyeri pada manuver supinasi lengan
bawah melawan tahanan (Yergason’s sign), fleksi bahu melawan tahanan (speed’s test),
ekstensi bahu.
Diagnosis banding : robekan labral, osteoartitis, robekan rotator cuff, rotator cuff tendinitis,
bursitis subakromial.

436
Kelainan Reumatik pada Siku 1,2
1. Epikondilitis lateral (tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer’s elbow)
Anamnesis : nyeri lokal subakut atau kronik pada bagian medial (golfer’s elbow) atau lateral
sendi siku (tennis elbow), menyerang lengan yang dominan, kadang-kadang dapat timbul
bilateral, tidak ditemukan adanya hambatan sendi.
Pemeriksaan fisik : nyeri tekan pada atau sekitar (epicondylus) lateral atau medial.
Diagnosis banding : radikulopati servikal, fibromialgia, robekan pronator teres, neuritis ulnar.
2. Bursitis olekranon
Anamnesis : pembengkakan pada daerah posterior siku, nyeri yang memberat dengan adanya
tekanan, adanya riwayat trauma terisolasi atau mikrotrauma berulang.
Pemeriksaan fisik : pembengkakan, nyeri dan hangat pada palpasi olekranon dan sering
disertai efusi.

Kelainan Reumatik pada Jari dan Tangan1,2,4


1. Stenosing tenosivitis (trigger finger)
Anamnesis : nyeri lokal pada basis jari yang terkena gerakan makin lama makin kaku hingga
suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa terutama malam hari, sensasi ‘pop’
atau ‘klik’ bila jari digerakkan, bengkak, bila terkena > 3 jari tangan cari kaitan dengan
diabetes dan hipotiroid.
Pemeriksaan fisik : nodul yang teasa nyeri pada telapak tangan distal yang bergerak dengan
fleksi dan ekstensi jari dan bunyi ‘klik’.
2. Tenosinovitis De Quervain
Anamnesis : nyeri lokal pada bagian punggung pergelangan tangan menjalar ke ibu jari dan
lengan atas sisi radial, benda yang dipegang terlepas sendiri dari genggaman.
Pemeriksaan fisik : nyeri dan pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus radii, tes
Finkelstein positif (nyeri bertambah dengan adduksi ibu jari dan deviasi ulnar).
3. Carpal Tunnel Syndrome
Anamnesis : parastesis atau mati rasa pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, dapat menjalar
hingga elapak tangan, keluhan semakin bertambah pada saat mengetuk, memeras,
menggerakkan pergelangan tangan, nyeri bertambah hebat pada malam hari, pergelangan
tangan terasa diikat ketat dan kaku gerak.
Pemeriksaan fisik: kekuatan tangan menurun, atrofi tenar, tes provokasi (phalang test),
tinnel’s sign.
Diagnosis banding : sindroma nyeri servikobrakial, mononeuritis multipleks.

Kelainan Reumatik pada Panggul1,2,8

Bursitis trokanterik

Anamnesis : nyeri di daerah trokanter mayor, pembengkakan okal, rasa nyeri terutama
malam hari, nyeri dirasakan intensif bila berjalan, gerakan yang bervariasi dan berbaring pada
sisi yang terkena.
437
Pemeriksaan fisik : nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar ke bawah,
ke kaki atau ke lutut, nyeri bertambah pada rotasi eksternal dan abduksi melawan tahanan,
tenderness pointpada daerah trokanterik.
Diagnosis banding : radikulopati, osteoartritis panggul.

Kelainan Reumatik pada Lutut


1. Kista Popliteal (Baker’s cyst)1,2
Anamnesis : bengkak ringan pada lutut bagian belakang, rasa tidak nyaman di lutut, terutama
dalam keadaan fleksi dan ekstensi penuh.
Pemeriksaan fisik : tampak kista apabila pasien berdiri dan diperiksa dari belakang,
pembengkakan yang difus dari betis bila terjadi ruptur kista.
Diagnosis banding : tromboflebitis (bila ruptur kista).
2. Bursitis pes anserina7
Anamnesis : nyeri, kadang-kadang bengkak dan terasa panas di bagian medial inferior dan
distal garis sendi lutut, nyeri bertambah berat apabila naik tangga.
Pemeriksaan fisik : nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah bursa anserine (anteromedial
dan tibia proksimal), nyeri memberat dengan kontraksi otot sartorius, grasilis, dan
semitendinosus.
3. Bursitis prepatelar (Housemaid’s knee)1,2
4. Tendinitis patellar1,2,6
Anamnesis : nyeri di daerah tendon patella, nyeri saat melompat, naik tangga atau jongkok.
Pemeriksaan fisik : nyeri tekan pada tendon patellar.

Kelainan Reumatik pada Kaki dan Pergelangan1,2


1. Tendinitis Achilles
Anamnesis : nyeri tumit posterior, nyeri tajam di atas tumit terutama pada saat awal
melangkah setelah duduk, nyeri dan kaku terlokalisasi pada distal tendon Achilles,
fleksibilitas pergelangan kaki terbatas saat berjalan.
Pemeriksaan fisik: pembengkakan, nyeri tekan tendon Achilles, nyeri pada pergerakan aktif
dan pasif dorsofleksi.
2. Fascitis plantaris
Anamnesis: nyeri pada area plantar tumit, serangan biasanya bertahap atau diikuti beberapa
trauma atau penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan terlalu lama atau memakai
sepatu yang tidak sesuai, nyeri timbul pada pagi hari dan bertambah berat saat awal berjalan.
Pemeriksaan fisik : nyeri tekan pada palpasi di anteromedial pada tuberkel kalkaneus medial
dari fasia plantaris.

Pemeriksaan Penunjang

438
Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain ultrasonografi
muskuloskletal, MRI, foto polos untuk menyingkirkan diagnosis banding, artrografi, aspirasi
bursa untuk mencari etiologi (pada bursitis), elektromiografi.1-8

TATALAKSANA1-5,8
Nonfarmakologis : edukasi, meghindari faktor pencetus, istirahat, latihan, rehabilitasi,
fisioterapi (kompres air dingin, pemanasan, ultrasound, diatermi), pemasangan bidai.
Farmakologis : OAINS, Analgesik, Injeksi intralesi (kortikosteroid, lidokain lokal)
Bedah :apabila dengan terapi konservatif tidak menunjukkan perbaikan.

KOMPLIKASI
Kontraktur, jepitan saraf.

SKELRODERMA

PENGERTIAN
Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui
penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelaianan mikrovaskuler.
Penyakit ini merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi oleh limfosit.1,2

DIAGNOSIS
Pada tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria
pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas :3
1. Kriteria Mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan, dan pengerasan kulit yang simetrik pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen).
2. Kriteria Minor :
 Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
 Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. Daerah yang
mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia.
 Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikuler terutama
dibagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru
mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan
merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila 1 kriteria mayor atau ≥ 2 kriteria minor. Pada
tahun 2013, American College of Rheumatology/ European Against Rheumatism (ACR/EULAR)
menetapkan kriteria untuk klasifikasi sistemik sklerosis (Tabel 2). Berdasarkan kriteria ini,
diagnosis dapat ditegakkan apabila skor total pasien ≥

439
Tabel 2. Kriteria Sistemik Sklerosis Berdasarkan ACR/EULAR 2013
Item Sub item skor

Penebalan kulit jari pada kedua tangan sampai 9


ke bagian proksimal sendi metakarpofalangeal
(kriteria yang mencukupi)

Penebalan kulit pada jari (hanya menghitung Jari bengkak 2


nilai yang tinggi) Sklerodaktili pada 4
jari (bagian distal

dari sendi
metakarpofalangeal
tetapi proksimal dari
sendi interfalangeal)

Lesi pada ujung jari (hanya menghitung nilai Ulkus pada ujung 2
yang paling tinggi) jari
Luka yang 3
mencekung pada
ujung jari

Telangiektasia 2

Kapiler abnormal pada lipatan kuku 2

Hipertensi pulmonar dan/atau penyakit paru Hipertensi pulmonal 2


interstisial (skor maksimal 2) Penyakit paru 2
interstisial
Fenomena Raynaud 3

Autoantibodi yang berhubungan dengan sklerosis Anticentromer 3


sistemik (skor maksimal 3) Anti-topoisomerase
(anti-Scl-70
antibody)
Anti-RNA
polymerase III

Pemeriksaan Penunjang1,2
Laboratorium
Autoantibodi ditemukan hampir pada semua pasien dengan skleroderma (sensitivitas >95%).
ANA merupakan antibodi yang paling sering ditemukan, tetapi tidak cukup spesifik untuk
skleroderma.4

440
Pemeriksaan Patologi
Biopsi kulit

Pemeriksaan Penunjang lainnya1,2


 Oesophagus maag duodenum (OMD): untuk menilai adanya dismotilitas saluran cerna bagian
atas.
 Ekokardiografi: untuk mmendeteksi kelaianan kardiologi, seperti efusi perikard, dan
hipertensi pulmonal
 Spirometri untuk menilai adanya restriksi paru
 Urinalisis dan kadar kreatinin serum : untuk menilai keterlibatan ginjal.
 Kapiloroskopi untuk menilai status mikrovaskuler pasien, pada skleroderma didapatkan
gambaran kapiler-kapiler yang berdilatasi dengan area pembuluh yang dropout tampak jelas
 Esofagogastroduodenoskopi dilakukan sesuai indikasi

DIAGNOSIS BANDING1,2
Nephrogenic sistemik fibrosis, eosinofilic fascitis, scleroderma diabeticorum dan
scleremyxedema

TATALAKSANA5
 Penyuluhan dan dukungan sosial
 Penanganan Fenomena raynaud dan kelainan kulit
- Menghindari merokok dan udara dingin
- Pada keadaan berat, bila disertai ulkus pada ujung jari atau menganggu aktivitas sehari-hari
dapat dicoba vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin, atau nitrogliserin topikal
- Obat lain adalah iloprost suatu analog protasiklin, diberikan secara intravena dengan dosis
3 ng/kgBB/mnt, 5-8 jam/hari selama 3 hari berturut-turut. Selain itu obat ini juga
digunakan untuk mengobati ulkus pada jari.
- Perawatan kulit dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder, bila luka cukup dalam
dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi, dan pemberian antibiotik parenteral.
 Pemberian obat remitif
D-penisilamin, kolkisisin, metotreksat, siklofosfamid dan obat-obat imunosupresif lainnya.
 Penanganan kelainan muskuloskletal
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan. Bila nyeri menetap
dipertimbangkan injeksi steroid sistemik dosis kecil dalam waktu singkat. Fisioterapi untuk
mencegah dan mengatasi kontraktur.
 Penanganan kelainan gastrointestinal
- Pasien dengan dismotilitas esofagus disarankan meninggikan kepalanya pada waktu
berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering.
- Antasida, antagonis H2 dan obat sitoprotektif pada kasus ringan sedang, pada kasus berat
dianjurkan PPI

441
- Obat prokinetik pada keadaan disfagia dan hipomotilitas usus
- Bila terdapat striktur esofagus dilakukan dilatasi secara berkala
- Bila konstipasi diberikan pelunak tinja dan diet serat tinggi
 Penanganan kelainan paru
Pneumonitis interstisial diterapi mnggunakan kortikosteroid atau siklofosfamid. Bila terjadi
hipertensi arteri pulmonal, pengobatan dimulai dengan oral endothelin-1 receptor antagonist
phosphodiesterase inhibitor seperti sildenafil, selain itu pasien mungkin membutuhkan
diuretik, antikoagulan, dan digoksin.
 Penanganan kelainan ginjal
Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang serius dan angka kematian
yang cukup tinggi, yang dapat diturunkan dengan menggunakan obat penghambat enzim
pengkonversi angiotensin. Jika diperlukan dapat dilakukan dialisis.

KOMPLIKASI
Hipertensi pulmonal, krisis renal sistemik, Barret’s esofagitis, ulkus dan gangren ujung
jari.1,2,5

SPONDILOARTROPATI

PENGERTIAN
Spondiloartropati adalah sekelompok penyakit radang sendi yang mempunyai faktor
predisposisi dan tampilan klinis yang mirip. Yang termasuk spondiloartropati adalah spondilitis
ankilosa, artritis reaktif (termasuk Reiter’s syndrome), artritis psoriatik, inflamatory bowel
disease-associated spondyloarthropaty.

DIAGNOSIS SPONDILOARTROPATI
Spondiloartropati dicurigai pada setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi ≥3 bulan
(spondiloartritis aksial), maupun artritis parsial yang asimetris, dan/atau yang predominan di
ektrimitas bawah (spondiloartritis perifer). Kriteria nyeri pinggang inflamasi mengikuti kriteria
ASAS tahun 2009 (tabel 1). Selanjutnya penegakan diagnosis spondiloartropati berdasarkan
kriteria menurut ASAS tahun 2010 (gambar 1).
Tabel 1. Kriteria Nyeri Pinggang Inflamasi menurut ASAS (2009)

Pada pasien dengan nyeri pinggang > 3bulan

Onset usia pasien <45 tahun

Onset insidious (perlahan-lahan)

Perbaikan dengan aktivitas/latihan

442
Tidak membaik dengan istirahat

Nyeri di malam hari

Nyeri pinggang inflamasi jika minimal terdapat 4 dari 5 kriteria tersebut


terpenuhi.

Sensitifitas 77% dan spesifisitas 91,7%

(diadaptasi dari Sieper J. Dkk. Ann Rheum Dis 2009;68:784-8)

Pada pasien nyeri pinggang bawah = 3 bulan Pada pasien dengan manifestasi perifer
(dengan/tanpa manifestasi perifer) saja :
dengan onset usia pasien <45 tahun

Sakroilitis pada HLA-B27 PLUS =2 Artritis atau entesitis atau daktilitis PLUS
pencitraan PLUS =1 gambaran SpA yang
gambaran SpA lain

Gambaran SpA yang dimaksud : = 1 gambaran SpA :


• Nyeri pinggang inflamasi •Uveitis
•Artritis •Psoriasis
•Entesitis (tumit) •Penyakit Crohn/colitis ulseratif
•Uveitis •Infeksi yang mendahului
•Daktilitis •HLA-B27
•Psoriasis •Sakrolilitis pada pencitraaan
•Penyakit chron/colitis ulseratif
•Respon baik dengan OAINS
•Riwayat keluarga dengan SpA
•HLA-B27
•Peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP)

Gambar 1. Kriteria Diagnosis Spondiloartropati ASAS 2010

SPONDILITIS ANKILOSA
Nyeri pinggang pada spondilitis ankilosa timbul secara bertahap dan sifat nyerinya tumpul,
dengan penjalaran ke arah gluteal. Nyeri pinggang memberat pada pagi hari dan membaik
dengan aktivitas dan serta mempunyai komponen nyeri nokturnal.Pemeriksaan tulang belakang
seperti tes Schober dan tes jarak occiput ke dinding memberikan hasil positif terutama yang
sudah lanjut.5-8

Pemeriksaan Penunjang5-8
 DPL, LED, dan CRP

 HLA-B27 ( dapat dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis tetapi tidak

direkomendasikan dilakukan secara rutin)

443
 Pemeriksaan radiologis : foto polos sendi sakroiliaka dan vertebra serta sendi lain yang
terlibat, bila diperlukan dapat dilakukan MRI pada sendi sakroiliaka, terutama pada awal
perjalanan penyakiy

DIAGNOSIS
Diagnosis AS dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria modifikasi New York 1984
seperti pada tabel 2.9

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Ankilosing Spondilosis (AS), New York 1984


Kriteria:

- Nyeri pinggang bawah minimal 3 bulan, yang membaik dengan aktivitas, dan tidak membaik dengan
istirahat

- Keterbatasan gerak vertebrae lumbalis pada arah sagital dan frontal

- Penurunan ekspansi rongga dada, jika dibandingkan umur dan jenis kelamin yang sesuai

- Sakroilitis bilateral grade 2 sampai 4

- Sakroilitis unilateral grade 3 sampai 4

Ankilosing spondilitis definitif : jika didapatkan kriteria sakroilitis dengan salah satu kriteria klinis

(diadaptasi dari van der Linden S, dkk. Arthritis Rheum 1984;27:361-8)

TATALAKSANA10,11
Non Farmakologis
Edukasi, terapi fisik, program latihan di rumah, sikap tubuh yang tepat dan sesuai.
Rehabilitasi pasien rawat mungkin dibutuhkan pada pasien-pasien tertentu.

Farmakologis
 OAINS adalah pilihan utama untuk mengatasi nyeri dan kaku. Analgesik lain seperti
asetominofen dan tramadol bisa dipertimbangkan untuk kombinasi.
 Injeksi steroid lokal dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi lokal, sedangkan pemberian
sistemik tidak dianjurkan.
 DMARD konvensional seperti metotrexat dan sulfasalazine tidak terbukti bermanfaat, kecuali
sulfasalazine yang bisa digunakan pada kasus yang disertai artritis perifer.
 Agen biologik yang saat ini direkomendasikan untuk terapi AS adalah golongan anti-TNFα.
Agen biologik sebaiknya diberikan pada kasus dengan aktifitas penyakit yang tinggi dan
menetap serta kurang respon dengan terapi konvensional.

444
TINDAKAN BEDAH
 Artroplasti panggul dilakukan pada nyeri panggul yang refrakter disertai dengan kerusakan
struktural secara radiologis.
 Spinal corrective osteotomy dipertimbangkan pada pasien dengan deformitas tulang belakang
berat.

ARTRITIS REAKTIF 1,12,13

Anamnesis
Artritis reaktif terjadi satu samapi empat minggu setelah infeksi saluran pencernaan atas
genitourinarius. Organisme penyebab diantaranya adalah Chlamydia, Ureaplasma, Shigella,
Salmonella,Yersinia, dan Campylobacter sp. Diare akut seringkalai merupakan manifestasi yang
terlihat jika artritis reaktif terjadi setelah infeksi Shigella, Yersinis dan Salmonella.
Pemeriksaan Fisik
Oligoartritis akut terjadi beberapa hari, dengan distribusi asimetris, terutama di ekstrimitas
bawah. Entesitis sering terjadi, terutama pada tumit. Menifestasi ekstrartikuler dapat berupa
konjungtivitis (50%) atau uveitis (akut, unilateral, dan berulang)
Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium : darah perifer lengkap, LED,CRP, dana analisa cairan sendi (gambaran
inflamasi). Pemeriksaan mendapatkan sumber infeksi pemicu seperti dengan kultur atau
serologi, dapat membantu penegakkan diagnosis terutama untuk Chlamydiae) namun tidak
dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.
 Radiologi : pada kasus artritis reaktif, periostitis, sindesmofit non-marginal, erosi sendi dan
penyempitan celah sendi, pemeriksaan USG dan MRI pada sendi terutama sendi sakroiliak
akan sangat membanti deteksi dini perubahan tersebut.
Tatalaksana
 Non Farmakologis : edukasi, terapi fisik/rehabilitasi medik
 Farmakologis :
- Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
- Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan pada artritis yang mengenai 1-2 sendi
atau monoartritis yang berat
- Pada artiritis reaktif yang kronik dan berat dapat diberikan DMARD, seperti sulfasalazine
dan metotrexat, atau steroid sistemik
- Terapi terhadap infeksi pemicu hanya diindikasikan pada infeksi Chlamydia trachomatis,
antara lain dengan kombinasi sinovektomi dan azitromisin selama 3 bulan

ARTRITIS PSORIATIK1,14,15,16

445
Pada kebanyakan kasus, manifestasi kulit mendahului keterlibatan sendi. Walaupun dapat
terjadi sebaliknya pada 15-20 % kasus. Ada beberapa tipe, yaitu tipe oligoartikuler (empat atau
kurang sendi terlibat), tipe poliartikuler (lima ataiu lebih sendi terlibat), pola dengan predominan
keterlibatan sendi interfalangeal distal, artritis mutilan, dan spondilitis psoriatik. Lebih dari 70%
kasus merupakan tipe oligoartikuler.

Tabel 2. Kriteria CASPAR 17


Untuk memenuhi kriteria CASPAR, pasien harus mempunyai penyakit radang sendi (joint, spine, atau
entheseal) dengan ≥ 3 poin dari 5 kategori berikut :a
1. Bukti adanya psoriasis, b,c riwayat psoriasis pribadi, atau riwayat keluarga psoriasisd
2. Distrofi kukue yang khas psoriatik, didapatkan pada pemeriksaaan sekarang
3. Faktor rematoid (-)
4. Dactylitis saat ini atau riwayat dactylitisfyang dinilai oleh seorang ahli rematologi
5. Bukti radiologi adanya pembentukan tulang baru juxtaarticulergpada telapak tangan dan kaki

Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dapat ringan hingga berat (destruktif). Selain di tempatnya yang khas,
permukaan ekstensor lutut, psoriasis dapat pula terdapat pada bagian kecil pada kulit kepala,
telinga, celah anus, perineum, umbilikus. Lesi kuku terasuk pitting dan onikolisis, terdapat pada
lebih dari 80% pasien dengan artritis psoriatik, uveitis cenderung kronik dan terjadi bilateral.
Tempat Predileksi
Asimetris, pada sendi distal. Jika akan dibuat diagnosis artritis psoriatik, maka kulit diperiksa
secara hati-hati untuk mencari lesi psoriatik
Radiologi
Gambaran radiografi pasiendengan artritis psoriatik memperlihatkan adanya artritis erosif,
dengan tersering terjadi pada sendi DIP dan terjadi perubahan pencil-in-cup akibat resorpsi
tulang. Temuan lain diantaranya adalah enthesitis dengan reaksi periosteal, sakroilitis, dan
spondilitis, sama seperti yang ditemukan pada artritis reaktif
Tatalaksana
 Non Farmakologis
 Farmakologis
- Manifestasi kulit
 Terapi topikal kortikosteroid, retinoid
 Terapi UV
- Manifestasi sendi
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
 Kortikosteroid oral

446
 Injeksi kortikosteroid intraartikuler
 Metotreksat, sulfasalazine, dan inhibitor TNF-α

SPONDILOARTROPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMMATORY


BOWEL DISEASE1

Anamnesis
Penyakit ini behubungan dengan penyakit Crohn atau kolitis ulseratif. Pada beberapa pasien,
manifestasi artritis terjadi sebelum manifestasi penyakit usus.
Pemeriksaan Fisik
Penyakit ini biasanya terjadi tiba-tiba dan pola nyeri berpindah-pindah. Artritis secara umum
berkurang dalam waktu enam hingga delapan minggu. Walaupun rekurensi sering terjadi, 10%
pasien dengan artritis kronik. Pada 20% pasien, manifestasi spondiloartropati yang berhubungan
dengan inflammatory bowel disease tidak berbeda dengan spondilitis idiopatik.
Tempat Predileksi
Artritis terjadi pada ekstrimitas bawah secara asimetris
Tatalaksana
 Non farmakologis: edukasi, terapi fisik/rehabilitasi medik
 Farmakologis :
- Obat anti inflamasi non steroid harus digunakan secara hati-hati, karena dapat
mengeksaserbasi penyakit usus
- Sulfasalazine, metotreksat, dan azatioprin
- TNF-α inhibitor

UNDIFFERENTIATED SPONDYLOARTHRITIS1,2

Kriteria Diagnosis
Kebanyakan pasien mempunyai gejala yang tidak spesifik termasuk nyeri punggung, nyeri
pada bokong unilateral atau bergantian, entesitis, daktilitis, dan kadang-kadang terdapat
manifestasi ekstrartikuler. Undifferentiated spondyloarthritis merupakan diagnosis eksklusi,
dimana terdapat manifestasi spondiloartritis tanpa adanya spondilitis ankilosa, infeksi yang
mendahului, psoriasis, kolitis ulseratif, ataupun penyakit Chron.
Tatalaksana (sesuai klinis yang muncul)
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
 Sulfasalazine, Metotreksat
 Injeksi intrartikuler kortikosteroid
 TNF-α inhibitor

Tabel 3. Karakteristik Spondiloartropati Seronegatif 1-8

447
Spondilitis Artritis reaktif Artritis IBD-associated
Ankilosa (termasuk Reiter’s psoriatik spondyloarthropathy
syndrome)
Prevalensi 0,1-0,2% 0,1% 0,2-0,4% jarang

Onset akhir remaja akhir remaja 35-45 tahun umur berapapun


sampai awal sampai awal
dewasa muda dewasa

Laki-laki:wanita 3:1 5:1 1:1 1:1

HLA-B27 90-95% 80% 40% 30%

Sacroilitis

Frekuensi 100% 40-60% 40% 30%

Distribusi simetrik asimetrik asimetrik simetrik

Sindesmofit delicate, bulky, bulky, delicate, marginal


marginal nonmarginal non
marginal
Artritis perifer

Frekuensi jarang sering sering sering

Distribusi asimetrik, asimetrik, asimetrik, asimetrik, ekstrimitas


ekstrimitas ekstrimitas bawah setiap sendi bawah
bawah

Entesitis sering Sangat sering Sangat Jarang


sering
Daktilitis jarang sering sering Jarang

Lesi kulit Tidak ada carcinate psoriasis Eritema


balanitis, nodosum,pyoderma
keratoderma, gangrenosum
blennorhagicum
Perubahan kuku Tidak ada onikolisis Pitting, clubbing
onikolisis
Kondisi mulut ulkus ulkus ulkus ulkus

Kondisi jantung aortic aortic aortic Aortic regurgitation


regurgitation, regurgitation, regurgitatio
conduction conduction n,conduction
defects defects defects

Paru-paru Fibrosis lobus Tidak ada Tidak ada Tidak ada


atas

448
Saluran Tidak ada diare Tidak ada Penyakit chron,
pencernaan ulcerative colitis

Kondisi ginjal Amiloidosis, amiloidosis amiloidosis Nefrolitiasis


IgA nefropati

Kondisi prostatitis Uretritis, servisitis Tidak Ada Tidak ada


genitourinarius

KOMPLIKASI
Deformitas

449
DIVISI KARDIOLOGI

450
ANGINA PEKTORIS STABIL

PENGERTIAN
Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort yang terjadi karena
keadaan seperti olahraga atau stress emosional yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Karakteristik nyeri dada khas angina yang mengarah ke infark miokard/ iskemia miokard akut
adalah:
1. Lokasi di dada/substernal/sedikit di kiri, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri, sampai
dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung/pundak kiri.
2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri tumpul seperti rasa tertindih, terdesak, diremas-remas,
dada mau pecah. Seringkali disertai keringat dingin, sesak napas.
3. Nyeri pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai < 20 menit.
Nyeri dada ada yang memiliki ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak
diragukan lagi diagnosisnya disebut nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri dada yang
meragukan tidak memiliki ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati
disebut, nyeri dada (angina) atipik. Nyeri dada lain yang sudah jelas berasal dari luar jantung
disebut nyeri non kardiak. Klasifikasi angina prektoris stabil dapat dilihat pada tabel 1.

Terdapat 3 kriteria untuk membantu menentukan jenis Angina: 1. Nyeri dada substernal,
2. Dicetuskan oleh aktifitas/ emosi, 3. Membaik dengan istirahat atau NTG. Pasien disebut non
anginal chest pain bila hanya ada ≤ 1 gejala, disebut angina atipik bila terdapat 2 gejala, dan
angina tipikal bila ada 3 gejala. Kemungkinan penyakit arteri koroner berdasarkan kombinasi
usia, jenis kelamin dan gejala dapat dilihat pada Tabel 2.

451
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Biasa muncul pada pria > 50 tahun atau wanita > 60 tahun dengan keluhan chest
discomfort (seperti berat, tertekan, diremas, terdesak, dan jarang nyeri yang nyata), biasanya
lokasi di dadas, crescendo-decrescendo, berlangsung 2-5 menit (dapat menjalar ke bahu maupun
kedua lengan, punggung, interscapular, leher, rahang, gigi, dan episgatrium). Biasanya episode
angina muncul karena latihan atau emosi, dapat juga saat istirahat dan membaik setelah istirahat.
Pasien dapat terbangun pada malam hari karena chest discomfort dan dispnea.

Pemeriksaan Fisik
Auskultasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus. Pada
auskultasi dapat ditemukan bruit nyeri, bunyi jantung III atau VI, jika iskemi akut atau infark
sebelumnya merusak fungsi otot papilar maka dapat ditemukan murmur sistolik di apikal karena
regurgitasi mitral, meskipun tidak khas untuk iskemi miokard.

Pemeriksaan Penunjang
 Elektrikardiografi (EKG): tidak spesifik, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel
 Stress testing dengan EKG
 Rontgen dada: pembesaran jantung, aneurisma ventrikular (tidak khas)
 Darah (untuk mengetahui faktor yang memperberat seperti DM, gangguan ginjal, dan lain-
lain): GDS, profil lipid, hemoglobin A1C, fungsi ginjal
 Pencitraan jantung: SPECT, MSCT

452
 Arteriografi koroner; dipertimbangkan pada : pasien yang tetap pada kelas III-IV meskipun
telah mendapat terapi yang cukup, pasien dengan resiko tinggi tanpa mempertimbangkan
beratnya angina, pasien-pasien yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat
sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi, dan pasien-pasien yang diketahui
mempunyai disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi < 45%)

DIAGNOSIS BANDING NYERI DADA


 Kardiovaskular: infark miokard, unstable agina, perikarditis, mioperikarditis, diseksi aorta.
 Paru: pneumonia, pleuritis,pneumothoraks,efusi pleura, hipertensi pulmonal
 Saluran cerna: refluks esofagus, spasme esofagus, Mallory-weiss, pankreatitis, penyakit
bilier.
 Muskuloskeletal dan lainnya: costochondroitis, herpes zoster, ansietas.

TATALAKSANA
 Non farmakologis: stop rokok, stop alkohol, kurangi berat badan, olahraga 30-60 menit
setiap hari.
 Farmakologis:
- Aspirin 75-162mg/hari
- Hipertensi: ACE inhibitor, Renin-Angiotensin-Aldosterone System Blockers, Penyekat
Beta
- Kontrol gula darah, lipid
Untuk obat-obatan nitrat, nitrogliserin, penyekat beta dan calcium channel blocker dapat
dilihat pada tabel 3,4 dan5.
KOMPLIKASI
Aritmia jantung, regurgitasi mitral, gagal jantung kongestif, perikarditis, emboli paru,
renjatan kardiogenik, stroke.

453
PROGNOSIS
Prognosis menggunakan bantuan tes Treadmill, akan didapatkan Dukes Treadmill score
seperti tercantum pada tabel 6.

454
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : -
 RS non pendidikan :-
UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Kardiovaskular
 RS non pendidikan: Departemen Penyakit Dalam – Divisi Kardiovaskular

455
ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL/ NON ST ELEVATION
MYOCARDIAL INFARCTION (APTS/NSTEMI)

PENGERTIAN
Unstable angina (UA) adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort dengan
1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya berlangsung > 10
menit, 2. Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3. Muncul dengan pola crescendo (
lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya). Diagnosis Non ST Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) ditegakkan jika pasien dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang
terlihat pada peningkatan cardiomarkers.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
 Nyeri dada: lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar ke leher,
bahu kiri, dan atau tangan kiri
 Sesak napas, epigastric discomfort

Pemeriksaan Fisik
Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan hipotensi.

Pemeriksaan Penunjang
 EKG: depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi gelombang
T tampak pada 30-50% pasien.
 Cardiac Biomarkers: CK-MB dan Troponin meningkat
 Stress Testing
 CT Angiography

456
Pendekatan untuk triage:
 Jika hasil anamnesis PF, EKG, dan biomarker tidak mengarah diagnosis, ulangi EKG dan
biomarker 12 jam kedepan.
 Jika tetap normal dan kemungkinan kecil sindrom koroner akut, cari penyebab nyeri dada
lain.
 Jika tetap normal dan nyeri hilang  singkirkan infark miokard
 Jika curiga sindrom koroner akut berdasarkan anamnesis PF, singkirkan NSTEMI dengan tes
treadmill. Jika risiko rendah (usia >70 tahun, tidak memiliki penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer sebelumnya, tidak ada sisa angina), pasien
dapat dipulangkan dalam 72 jam. Jika tidak risiko rendah  rawat inap dan evaluasi iskemi (
tes treadmill atau kateter)
 Jika EKG atau biomarker abnormal atau kemungkinan tinggi sindrom koroner akut rawat
inap dan terapi.

DIAGNOSIS
BANDING
ST
Elevation
myocardial
infarction
(STEMI)

457
TATALAKSANA
 Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray (0,3-0,6 mg). Jika telah diberikan 3 dosis
dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin intravena (5-
10g/menit), titer infus dapat dinaikan 10 gram/ menit setiap 3-5 menit sampai gejala hilang
atau tekanan darah sistol turun jadi < 100mmHg. Setelah 12-24 jam bebas nyeri, ganti
nitroglycerin iv dengan oral/topikal.
 Beta Adrenergik Blocker: Metoprolol 4 x 25-50mg po. Jika diperlukan dan tidak ada gagal
jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1-2 menit.
 Atorvastatin 20-80 mg.
 Calcium Channel Blockers: verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk pasien yang
memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker dan nitrat dosis penuh, atau
pada pasien yang kontraindikasi ca channel blocker
 Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor
 Morfin ( bila diperlukan); 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5-30 menit
 Antitrombotik

Tabel 1. Obat antitrombotik pada NSTEMI

458
PROGNOSIS
Prognosis NSTEMI berdasarkan TIMI Risk Score dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. TIMI risk score.

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Kardiovaskular
 RS non pendidikan: Departemen Penyakit Dalam – Divisi Kardiovaskular

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : -
 Rs non pendidikan :-

459
ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (NSTEMI)

PENGERTIAN
Menurut ACC/AHA STEMI Guidelines 2004, STEMI adalah elevasi segmen ST > 1mm
pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads). Progesifitas infark miokard dibagi
menjadi 1. Akut (beberapa jam pertama-7 hari), 2. Healing (7-28 hari), dan 3. Sembuh (29 hari).

DIAGNOSIS

Anamnesa
Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk, letaknya biasanya didda tengah atau
epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat juga ke
perut, punggung, rahang bawah, dan leher, nyeri dibarengi dengan lemah, nausea, keringat,
muntah, ansietas.

Pemeriksaan Fisik
Pucat, ekstremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi (pada
anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi (posterior infarc). Terdapat bunyi jantung III dan
IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting pada bunyi jantung II, dapat juga
ditemukan transient midsystolic atau late systolic apical systolic murmur karena disfungsi katup
mitral. Pericardial friction rub dapat ditemukan pada transmural STEMI. Pulasi karotis
seringkali menurun dalam volume.

Laboratorium
1. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q

460
2. Serum Cardiac Biomarkers:
 Cardiac-specific troponin T (cTnT) and Cardiac-specific troponin I (cTnI) meningkat > 20
kali dari nilai normal tertinggi dan bertahan 7-10 hari setelah STEMI.

3. Pencitraan jantung
 Ekokardiografi: infark ventrikel kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial, dan trombus
ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas defek septum ventrikel dan
regurgitasi mitral.
 Cardiac MRI

461
DIAGNOSIS BANDING
Unstable angina, Non ST elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi
segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard, dressler’s
syndrome.

TATALAKSANA
Pada ruang emergensi
1. Aspirin: 160-325 mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mg / hari.
2. Jika hipoksemia, berikan suplementasi O2 2-4l/menit selama 6-12 jam
3. Kontrol ketidaknyamanan
 Nitrogliserin sublingual 3x0,4mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang berikan
nitrogliserin intravena.
 Morfin 2-4mg intra vena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit.
 Betablocker iv: Metoprolol 5 mg. 2-5 menit sebanyak 3 kali. 15 menit setelah dosis ke-3, berikan
4x50 mg p.o selama 2 hari, lalu 2x100mg. atenolol: 2,5-5 mg selama 2 menit, total 10 mg selama
10-15 menit. Bisoprolol 1x2,5-10mg. Percutaneous Coronary Intervention (PCI): jika diagnosis
meragukan, kontra indikasi terapi fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, resiko perdarahan
meningkat, atau gejala tidak tertangani dalam 2-3 jam.
4. Terapi revaskularisasi
 Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau tidak mungkin
mengerjakan IKP primer < 2 jam.
a. Terapi Fibrinolisis
 Waktu pemberian : efektivitas menurun dengan lamanya waktu, terutama bila > 3 jam
setelah onset
 Indikasi: serangan < 12 jam, elevasi segmen ST ≥ 0,1 mV (≥1mm) dalam 2 lead berturut-
turut atau adanya Left Bundle Branch Block (LBBB)
 Kontraindikasi:
- Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena, stroke non
hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir, perdarahan internal aktif
atau adanya perdarahan diastesis, curiga diseksi aorta

462
- Relatif: hipertensi berat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol > 110 mmHg,
strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama > 10 menit, trauma atau operasi besar
dalam 3 minggu terakhir, perdarahan interna dalam 2-4 minggu terakhir,
noncompressible vascular puncture, kehamilan, menggunakan antikoagulan.
 Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15 mg bolus iv, lanjutkan 50 mg selama 30 menit, lalu
35 mg selama 60 menit
 Streptokinase: 1,5 juta unit iv selama 1 jam
 Tenecteplase (TNK) : 0,53 mg/kg iv bolus
 Reteplase (rPA): 2x10 juta unit bolus dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara dosis pertama
dan kedua
b. Intervensi Koroner Perkutan (IKP): Jika ersedia sarana ikp dan ikp bisa dikerjakan < 2 jam.
Jika tidak bisa berikan fibrinolitik
5. Tienopiridin
 Clopidogrel 300-600 mg
 Plasugrel 60mg
6. Glycoprotein IIb/IIa Inhibitors (GP IIb/IIIa Inhibitors): bekerja menghambat agregasi trombosit
7. ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard infark anterior, atau disfungsi ventrikel kiri:
captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam atau ketika stabil (tekanan darah sistolik >
100mmHg)
8. Lipid-lowering agent (jika LDL >70-100 mg/dL, total cholesterol >135 mg/dL): Atorvastatin 10-
80mg/hari, rosuvastatin 20-40 mg/hari.

KOMPLIKASI
Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gagal jantung kongestif, renjatan kardiogenik, infark
ventrikel kanan aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi.

PROGNOSIS
Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent ( biasanya aspirin) mengurangi angka
kekambuhan STEMI sebesar 25%.

UNIT YANG MENANGANI

463
 RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam – Divisi Kardiovaskular
 RS non pendidikan: Departemen Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Rehabilitasi Medik
 RS non pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL/ NON ST ELEVATION


MYOCARDIAL INFARCTION (APTS/NSTEMI)

PENGERTIAN
Unstable angina (UA) adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort dengan
1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya berlangsung > 10
menit, 2. Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3. Muncul dengan pola crescendo (
lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya). Diagnosis Non ST Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) ditegakkan jika pasien dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang
terlihat pada peningkatan cardiomarkers.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
 Nyeri dada: lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar ke leher,
bahu kiri, dan atau tangan kiri
 Sesak napas, epigastric discomfort

Pemeriksaan Fisik
Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus
takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan hipotensi.

464
Pemeriksaan Penunjang
 EKG: depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi gelombang
T tampak pada 30-50% pasien.
 Cardiac Biomarkers: CK-MB dan Troponin meningkat
 Stress Testing
 CT Angiography

Pendekatan untuk triage:


 Jika hasil anamnesis PF, EKG, dan biomarker tidak mengarah diagnosis, ulangi EKG dan
biomarker 12 jam kedepan.
 Jika tetap normal dan kemungkinan kecil sindrom koroner akut, cari penyebab nyeri dada
lain.
 Jika tetap normal dan nyeri hilang  singkirkan infark miokard
 Jika curiga sindrom koroner akut berdasarkan anamnesis PF, singkirkan NSTEMI dengan tes
treadmill. Jika risiko rendah (usia >70 tahun, tidak memiliki penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer sebelumnya, tidak ada sisa angina), pasien
dapat dipulangkan dalam 72 jam. Jika tidak risiko rendah  rawat inap dan evaluasi iskemi (
tes treadmill atau kateter)
 Jika EKG atau biomarker abnormal atau kemungkinan tinggi sindrom koroner akut rawat
inap dan terapi.

DIAGNOSIS BANDING
ST Elevation myocardial infarction (STEMI)
TATALAKSANA
 Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray (0,3-0,6 mg). Jika telah diberikan 3 dosis
dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin intravena (5-
10g/menit), titer infus dapat dinaikan 10 gram/ menit setiap 3-5 menit sampai gejala hilang
atau tekanan darah sistol turun jadi < 100mmHg. Setelah 12-24 jam bebas nyeri, ganti
nitroglycerin iv dengan oral/topikal.

465
 Beta Adrenergik Blocker: Metoprolol 4 x 25-50mg po. Jika diperlukan dan tidak ada gagal
jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1-2 menit.
 Atorvastatin 20-80 mg.
 Calcium Channel Blockers: verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk pasien yang
memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker dan nitrat dosis penuh, atau
pada pasien yang kontraindikasi ca channel blocker
 Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor
 Morfin ( bila diperlukan); 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5-30 menit
 Antitrombotik

PROGNOSIS
Prognosis NSTEMI berdasarkan TIMI Risk Score dapat dilihat pada tabel 2.

PENYAKIT JANTUNG KORONER

PENGERTIAN

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade arteri yang mensuplai
oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat disebabkan ateroskeloris yaitu akumulasi
zat lemak pada bagian dalam arteri yang menyebabkan keterbatasan aliran darah ke jantung.

Faktor risiko PJK:

1. Yang tidak dapat dimodifikasi: usia, riwayat keluarga, riwayat penyakit jantung koroner
sebelumnya, jenis kelamin (laki-laki)
2. Yang dapat dimodifikasi: merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

466
Nyeri dada, napas pendek, letih, lemah, berkurangnya kapasitas aktivitas, palpitasi, kaki
bengkak, berat badan turun, gejala yang berkaitan dengan faktor risiko seperti DM dan
hipertensi.

Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan hipo/hipertensi, S4/S3 gallop, murmur, edema tungkai, dan


pemeriksaan fisik lain yang berkaitan dengan faktor risiko.3

Pemeriksaan Penunjang

• Darah: Darah lengkap, profil lipid, hemoglobinAlc, gula darah


• Elektrokardiografi: inversi gelombang T pada lead aVL
• Stress testing
• Ekokardiografi
• Arteriografi jika ditemukan hasil tes risiko tinggi yaitu pada Tes Treadmillditemukan depresi
ST ≥ 2 mm atau ≥ 1 mm pada stage 1 atau di ≥ 5 lead atau recovery ≥ 5 menit, menurunnya
tekanan darah, angina selama latihan, dukescore ≤ -11, serta fraksi ejeksi < 35%.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit jantung hipertensi, angina pektoris stabil dan tidak stabil, infark miokard.
Gambaran EKG T inverted: miokarditis, kardiomiopati.

TATALAKSANA

Tujuan terapi: tekanan darah ≤ 140/90 mmHg, HbAlc ≤ 7%, kolesterol LDL ≤ 100
mg/dL (≤ 70 mg/dL pada pasien dengan DM).

Non farmakologis : stop rokok, olahraga 30-60 menit/hari, kurangi berat badan (BMI 21-25
kg/m2}

• Hipertensi: ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, diuretik


• Aspirin 81-162 mg/hari, ciopidogrel 75 mg/hari, prasugrel
• Nitrat
• Hiperkolesterolemia: statin

467
KOMPLIKASI

Strok, infark miokard, aritmia.

PROGNOSIS

Prognosis tergantung beratnya penyakit.

BRADIARITMIA

PENGERTIAN

Bradikardia adalah laju denyut jantung kurang dari 60 kali/menit. Pada orang yang sering
berolahraga, laju denyut jantung 50 kali/menit saat terjaga dapat merupakan hal yang normal.

Klasifikasi bradiaritmia secara umum dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.Klasifikasi Bradikardia

Disfungsi nodus sinus sinus node dysfunction(SND)


 Sinus bradikardia <45 kali menit
 Sinoatrial exit block (SA block) : derajat satu,derajat dua,derajat tiga
 Sinus arrest
 Bradycardia-tachycardia syndrome
Blok atrioventrikular (AV block)
Derajat satu
Derajat dua : Mobitz tipe1 (fenomena Weckenbach), Mobitz tipe 2, derajat lebih
tinggi (contoh 2:1, 3:1)
Derajat tiga (blok total) : atrioventricular node, sistem His Purkinje

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

 Gejala bradikardia : pusing, lelah, exertional dyspnea, perburukan gagal jantung


lightheadedness (presinkop), atau pingsan/ sinkop
 Sindrom nervus vagus: episode vasovagal, muntah, bedah abdomen, prosedur invasif
saluran cerna atas dan bawah
 Penyakit komorbid: penyakit jantung koroner, iskemik atau infrak miokard, tumor
intrakranial, tumor servical dan mediastinum, peningkatan tekanan intrakranial, hipoksia

468
berat, myxedema, hipotermia, perubahan fibrodegeneratif, fase konvalesens dari infeksi
tertentu, depresi mental, sepsis gram negatif
 Riwayat konsumsi obat digitalis, antiaritmia
 Riwayat penyakit infeksi (mis. penyakit Chagas, meningitis)
 Pasca bedah jantung dengan trauma pada sinus node
 Riwayat oprasi mata, arteriografi koroner

Pemeriksan Fisik

 Tekanan darah, nadi: dapat ditemukan bradikardia, takikardia (pada bradycardia-


tachycardia syndrome).
 Stimulasi sinus karotis: masase karotis dilakukan saat pasien supine dan nyaman, dengan
kepala menengok ke arah berlawanan dengan sisi yang distimulasi.
 Temuan fisik lain sugestif penyakit struktural jantung.

Pemeriksaan Penunjang

 EKG 12 sadapan. InterpretasiEKG dapat di lihat pada tabel 2.


 Ambulatory monitoring, Holter monitors (lebih lengkap lihat pada bab prosedur Hotler
Monitoring), event monitors, implantable loop recorders
 Tilt table testing: untuk menyingkirkan diagnosis sinkop neurokardiogenik
 Sulphate Atropine test
 Studi elektrofisiologis
 Ekokardiografi
 Exercise testing

DIAGNOSIS BANDING

Sinus bradikardia fungsional, peningkatan rangsang vagal, kondisi gastrointestinal dan


neuorologis, sinkop neurokardiogenik, hipersensitivitas sinus karotis (carotid sinus syndrome/
collar syndrome), inflamasi (perikarditis, miokarditis, penyakit jantung reumatik, penyakit
Lyme), pasca operasi, penyakit jantung kongenital, penyakit infeksi.

TATALAKSANA

 Apabila tanpa gejala (asimptomatik) terapi tidak diperlukan


 Manajemen SDN dan blok AV derajat II dan III: atropine 1 mg IV atau isoproterenol 1-2
ug/menit infusan, pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan.

469
 Sinus bradikardia : apabila curah jantung tidak cukup atau bila aritmia berkaitan dengan
laju denyut pelan, berikan atropine 0,5 mg IV sebagai dosis inisial, dapat diulang bila
perlu. Pada episode sinus bradikardia simtomatk yang lebih dari sesaat atau rekuren (mis:
saat infrak miokard), pacu jantung sementara melalui elektroda transvena lebih di sukai
dari pada terapi obat yang lama atau berulang. Pada sinus bradikardia kronis, pacu
jantung permanen mungkin dibutuhkan bila ada gejala
 Sinus aritmia: terapi biasanya tidak diperlukan. Meningkatkan laju denyut jantung
dengan olahraga atau obat-obatan umunya menghilangkan sinus aritmia. Pada pasien
simtomatik, palpitasi dapat reda dengan sedatif/penenang, sedangkan atropin, efedrin,
atau isoproterenol untuk terapi sinus bradikardia
 Blok AV: Pacu jantung buatan sementara atau permanen.

BRADIARITMIA PADA USIA LANJUT

SDN paling sering terjadi pada dekade ketujuh atau kedelapan kehidupan akibat penuaan
dari sinus node. Chronotropic incompetence (CI) merupakan suatu kegagalan peningkatan laju
denyut jantung saat olahraga. Diagnosis CI dapat dipertimbangkan pada pasien yang memiliki
keluhan lelah atau dispneu saat berolahraga tanpa laju denyut jantung meningkat menjadi
>100x/menit (atau lebih tinggi pada pasien usia muda).

KOMPLIKASI

Pacemaker syndrome, takikardia terkait pacu jantung.

PROGNOSIS

Beberapa penelitian mengevaluasi morbiditas dan mortalitas pasien dengan SSS yang
menggunakan berbagai mode pacu jantung. Bila dibandingkan dengan pacu ventrikel, pacu
atrium berkaitan dengan insidens komplikasi tromboemboli, atrial fibrilasi, gagal jantung,
mortalitas kardiovaskular, dan morbiditas total lebih rendah. Pasien dengan SSS dengan gejala
sinus bradikardia saja, memiliki prognosis yang lebih baik.

470
TAKIARITMIA

PENGERTIAN

Sinus takikardia didefinisikan sebagai peningkatan laju sinus >100x/menit sebagai


respons stimulus fisiologis sesuai (mis.olahraga) atau stimulus berlebihan (mis.hipertiroidisme).
Kegagalan mekanisme yang mengatur laju denyut dapat menyebabkan sinus takikardia yang
tidak sesuai. Penyebabnya antara lain pireksia, hipovolemia, atau anemia, yang dapat berasal dari
infeksi. Obat-obatan yang dapat menginduksi sinus takikardia termasuk stimulan
(kafein,alkohol,nikotin); komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine,
katekolamine); terapi antikanker (doxorubicin/adriamycin, daunorubicin); dan beberapa obat
rekreasional/ilisit (amfetamin, kokain, kanabis, “ecstasy”).

PENDEKATAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

o Palpitasi, melambatnya nadi atau pusing akibat denyut prematur, dengan takiaritmia cepat
dapat terjadi gangguan hemodinamik seperti pusing atau pingsan akibat penurunan curah
jantung atau sulit bernapas.
o Terkadang dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menyerupai gejala iskemi
miokard.
o Kegagalan hemodinamik dengan berkembangnya fibrilasi ventrikel dapat menyebapkan
kematian mendadak/sudden cardiac death (SCD).
o Kondisi jantung komorbid umumnya menentukan derajat keparahan gejala pada laju jantung
tertentu.
o Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme.
o Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan stimulan (kafein, alkohol, nikotin);
komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi
antikanker (duxorubicin/adriamycin, daunorubicin); dan obat adiktif (amfetamin, kokain,
kanabis, ”ecstasy”)

Pemeriksaan Fisik

o Maneuver fisik saat takikardia : maneuver valsava atau masase sinus karotis dapat
menyebabkan peningkatan tonus vagal sementara; takiaritmia yang bergantung pada nodus
AV untuk kontinuasi dapat berhenti atau melambat dengan maneuver ini, namun dapat juga
tidak ada perubahan.
o Stimulasi sinus karotis
o Temuan fisik sugestif penyakit struktural jantung
471
Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium (sesuai indikasi) : tes fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit
 EKG 12 sadapan untuk mengkorfirmasi aritmia.
 Holter monitoring selama 24 jam sebaliknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala
harian, event monitor (King of Hearts) apabila gejala mingguan
 Rawat inap dan pemeriksaan elektrofisiologis pada pasien dengan penyakit jantung
struktural dan sinkop yang dicurigai takikardia ventrikel dengan pertimbangan kuat alat
implantable cardioverter/defibrillator (ICD).
 Penilaian ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan dengan ekokardiografi pada pasien
takikardia ventrikel.

Kriteria diagnosis takikardia sinus berdasarkan metode invasif dan non-invasif


(ACC/AHA/ESC 2003) :

 Adanya takikardia sinus persisten (laju denyut jantung >100x/menit) saat siang hari
dengan peningkatan laju denyut jantung pada malam hari yang dikonfirmasi dengan
monitor Holter selama 24 jam.
 Takikardia dan gejalanya bersifat non-paroksismal.
 Morfologi gelombang P dan aktivasi endokardium identik dengan ritme sinus.
 Eksklusi penyebab sekunder sistemik (mis.hipertiroidisme, feokromositoma, physical
deconditioning)

DIAGNOSIS BANDING

Hipertiroidisme, tirotoksikosis, feokromositoma, sindrom Brugade, sindrom Wolff-


Parkinson –white, sindrom long QT.

TATALAKSANA

Tatalaksana primer takikardia sinus yaitu identifikasi penyebab serta mengeliminasi atau
mengobatinya. Beta blocker dapat menjadi sangat berguna dan efektif pada takikardia sinus
simptomatis fisiologis yang dipicu oleh stres emosional, dan gangguan lain terkait ansietas;
manfaat prognostik pasca infark miokard; simptomatis dan manfaat prognostik pada kondisi lain
dengan etiologi sinus takikardia ireversibel seperti gagal jantung kongestif; dan tirotoksikosis
simptomatis yang dikombinasikan dengan carbimazole atau propylthiouracyl (PTU).
Nondihydropyridine calcium-channel blockers, seperti dilitiazem atau verapamil, dapat
bermanfaat pada pasien tirotoksikosis simptomatis apabila beta blocker dikontraindikasikan.

472
Pencegahan tromboemboli pada AF

 Terapi antitrombotik diberikan pada semua pasien dengan AF, kecuali pasien dengan
lone AF memiliki kontraindikasi
 Pemilihan agen antitrombotik sebaiknya berdasarkan risiko absolut stroke dan
perdarahan, dan risiko relatif dan manfaat pemberian bagi pasien.
 Pada pasien tanpa kutup jantung mekanis dengan resiko tinggi stroke, terapi antikoagulan
kronis dengan antagonis vitamin K dianjurkan pada dosis penyesuaian untuk mencapai
target INR 2,0-3,0 kecuali dikontraindikasikan
 Pada pasien dengan kutup jantung mekanis, target intensitas antikoagulan sebaiknya
berdasarkan tipe prostetik dengan pemeliharaan INR sedikitnya 2,5
 INR sebaiknya diperiksa sedikitnya setiap minggu selama inisiasi terapi dan bulanan
setelah antikoagulasi stabil
 Aspirin 81-325 mg/hari dianjurkan sebagai alternatif antagonis vitamin K pada pasien
resiko rendah atau pada pasien dengan kontraindiksi oral antikoagulasi

KOMPLIKASI

Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak.

PROGNOSIS

Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi

GAGAL JANTUNG

PENGERTIAN

Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur dan/ataufungsi jantung yang
diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuanpompa jantung. Ada beberapa istilah
gagal jantung :

 Berdasarkan onset tejadinya:


o Gagal jantung akut: adalah suatu kondisi curah jantung yang menurun secara tiba-tiba
menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer, disebabkan
sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut

473
o Gagal jantung kronik/kongestif: adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, terjadi
sejak lama.
 Gagal jantung(sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah
janiung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi. Gagal jantung diastolik yaitu
gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel atau disebut juga gagal jantung dengan
fraksi ejeksi > 50%.
 Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri disebabkan kelemahan
ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru, sedangkan gagal
jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik.
 Low output dan high output heartfailure (secara klinis tidak dapat dibedakan)
o Low output heartfailure adalah gagal jantung yang disertai disebabkan oleh
hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikardium.
o High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan resistensi
vaskular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-
beri, dan penyakit Paget.
 Berdasarkan klasifikasi NYHA :

Tabel 2. Penyebab Gagal Jantung Akut


Dekompensasi pada gagal Jantung kronik yang sudah ada

• Sindrom koroner akut: infark miokard/angina pectoris tidak stabil dengan iskemia yang bertambah luas
dan disfungsi iskemik
• Komplikasi kronik infark miokard akut
• Infark ventrikel kanan
• Krisis hipertensi
• Aritmia akut: takikardia ventrikular, fibrilasi ventricular, fibrilasi atrial atau fluter atrial, takikardia
supraventikular lain
• Refurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
• Stenosis katop aorta berat
• Miokarditis berat akut
• Tamponade jantung

474
• Diseksi aorta
• Kardiomiopati pasca melahirkan
• Faktor predisposisi non kardiovaskular: pelaksanaan terhadap pengobatan kurang
• Overload volume
• Infeksi
• Severe brain insult
• Penurunan fungsi ginjal
• Asma
• Penyalahgunaan obat
• Penggunaan alkohol
• Feokromositoma
Klasifikasi gagal jantung akut

Klasifikasi Killip
a. Stage I : tidak ada gagal jantung, tidak ada tanda klinis yang menunjukkan dekompensasi
kardiak
b. Stage II : gagal jantung, kriteria diagnosis : ronki di basal paru, S3 gallop, dan hipertensi
vena pulmonal
c. Stage III : gagal jantung berat yang ditandai adanya edema pulmonal dengan ronki di seluruh
lapangan paru.
d. Stage IV : renjatan kardiogenik yang ditandai hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHG),
vasokontriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaforesis.

Klasifikasi ini dikembangkan untuk pasien dengan infark miokard akut, terdiri dari:
1. Klasifikasi Forrester
Pasien diklasifikasikan berdasarkan hipoperfusi perifer, kongesti pulmonal, hemodinamik,
dan meningkatnya tekanan kapiler pulmonal, dikembangkan untuk infark miokard akut
2. Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti (Klasifikasi Stevenson):
a. Kategori Forrester 1 (grup A) : warm and dry. Berisiko tinggi menderita gagal jantung
tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa adanya keluhan gagal jantung
b. Kategori Forrester 2 (grup B) : warm and wet. Adanya penyakit struktur jantung tanpa
keluhan atau tanda gagal jantung, PCWP > 18 mmHg
c. Kategori Forrester 3 (grup C) : cold and dry. Adanya penyakit struktur jantung dengan
keluhan atau tanda gagal jantung, hipoperfusi : cardiac index < 2,2

475
d. Kategori Forrester 4 (grup D) : cold and wet. Gagal jantung refrakter, kongesti paru dan
hipoperfusi
3. Klasifikasi berdasarkan Framingham
a. Kriteria major :
o Paroxysmal nocturnal dyspnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor ;
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dispnea d'effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
o Penurunan kapasitas vital 1 /3 dari normal
o Takikarida (> 120 kali/menit)
4. Klasifikasi berdasarkan dominasi jantung yang kiri atau kanan yaitu:
a. Forward acute heart failure.
b. Left heart backward failure: yang dominan gagal jantung kiri
c. Right heart backward failure: berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung sebelah
kanan

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis
Fatigue, dyspnea, shortness of breath. Keluhan dapat berupa keluhan saluran pencernaan
seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. jika berat dapat terjadi konfusi, disorientasi, gangguan
pola tidur dan mood.

476
Pemeriksaan Fisik
Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat normal
atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel kiri.
Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena, adanya murmur sistolik,
murmur diastolik, dan irama gallop perlu dideteksi dalam auskultasi jantung. Kongesti paru
ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru. Penilaian vena jugular dapat normal saat
istirahat tetapi dapat meningkat dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux
positif). Pada abdomen adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung,
asites, ikterus karena fungsi hepar yang terganggu. Edema ekstremitas yang umumnya simetris
dapat ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang

• Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati.
• Analisa gas darah
• Natriuretic peptide (B type natriuretic peptides/BNP atau NT'pro BNP)
• Elektrokardiografi
• Foto toraks
• Ekokardiografi
• Exercise Testing

DIAGNOSIS BANDING
Acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal.

TATALAKSANA

Gagal jantung akut

Oksigen

• Ventilasi non invasif (dengan PEEP/positive end-expiratory pressure)


o Indikasi: Edema paru kardiogenik, gagal jantung akut hipertensif.

477
o Kontraindikasi: pasien tidak kooperatif, diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi
endotrakial karena hipoksia yang progresif
o Penyakit obstruksi saluran napas berat leih hati-hati dalam pemberian
• Morfin: jika pasien gelisah atau ada nyeri dada. Dosis 2.5-5 mg IU bolus intravena (iv).
• Diuretika loop
• Vasodilator (tabel 5)
o diberikan jika tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik, tekanan sistolik <
90 mmHg atau penyakit valvuler yang serius
o Nitrat/nitroprusside iv bila tekanan darah >110 mmHg.
• Nesiritide : menurunkan tekanan pengisisan ventrikel kiri.
• Obat-obat inotropik (tabel 6)
o Indikasi: tekanan sistolik rendah, cardiac index rendah dengan adanya tanda- tanda
hipoperfusi atau kongesti.
o Dobutamin
o Dopamin
o Milrinone dan enoximone
o Levosimendan

Tabel 4. Jenis Diuretika pada Gagal Jantung Akut

Retensi air Jenis Diuretik Dosis harian (mg) Keterangan

Sedang Furosemid atau 20-40 Oral/iv sesuai klinis


BumetankJe atau 0.5-1 Dosis dititrasi
Torasemid 10-20 Monitor
kalium,natrium,kreatinin,
tekanan darah

Berat Furosemid 40-100 Dosis iv ditinggikan


Furosemid infus 5-40 mg/jam Lebih baik daripada
bolusdosis tinggi
Bumetanid 1-4 Oral/iv
Torasemid 20-100 Oral

Refraktor Tambah HCT atau 50-100 Kombinasi lebih baik


terhadapdiuretika daripada loop diuretikadosis
tinggi
Metolazon atau 2,5-10 Labih poten jika CCT<
30ml/menit
Terutama bila fungsirenal

478
Spironofakton 25-50 baik dan kalium normalatau
rendah

Dengan Acetazolamid 0.5 iv


AlkalosisRefraktor Tambah dopamin Pertimbangkan
terhadap atau dobutamin ultrafiltrasidan HD apabila
diuretika dan HCT adagangguan renal
danhiponatremia.

Tabel 5. Jenis Vasodilator pada Gagal Jantung Akut


Indikasi Vasodilator Dosis Keterangan

Kongesti paru atau Nitrogliserin Mulai 10-20 mcg/menit, Hipotensi, sakitkepala.


edema dengan TD ditingkatkan sampai 200
>90 mmHg mcg/menit. Maksimal
40-400 mcg/menit

Isosorbide dinitrate Mulai dengan 1 mg/jam, Hipotensi, sakitkepala


dinaikkan sampai 10
mg/jam

Nitropruside Dosis awal 0.3 Hipotensi, keracunan,


mcg/kg/menit dan isocyanate, sensitif
naikkan dosis sampai 5 terhadap cahaya
mcg/kg/menit. Maksimal
30-350 mcg/menit

Nesiritide Bolus 2 mcg/kg + infus Hipotensi


0.015-0.03
mcg/kg/menit. Maksimal
0.01-0.03 mcg/kg/menit

Tabel 6. Jenis Inotropik pada Gagal Jantung Akut

Jenis Inotropik Bolus Kecepatan infus

Dobutamin Tidak 2-20 mcg/kg/menit (β +)


< 3 mcg/kg/menit : efek renal (β +)

Dopamin Tidak 3-5 mcg/kg/menit : inotropik (β +)


>5 mcg/kg/ menit :(β +), vasopresor α+

Milrinon 25-75 mcg/kg selama 10-20 menit 0.375-0.75 mcg/kg/menit

Enoximon 0.25-0.375 mg/kg 1.25-7.5 mcg/kg/menit

Levosimendan 12 mcg/kg selama 10 menit 0.1 mcg/kg/menit, dapat diturunkan

479
mencapai 0.05 atau ditingkatkan
menjadi 0.2 mcg/kg/menit

Norepinefrine Tidak 0.2-1.0 mcg/kg/menit

Epinefrin 1 mg dapat diberikan selama 0.05-0.5 mcg/kg/menit


resusitasi intravena, diulang setiap
3-5 menit

GAGAL JANTUNG KRONIK

Non farmakologik

a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam: 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal
jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan.
b. Hentikan rokok
c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya
d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis
5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang)
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut berat dan eksaserbasi akut

Farmakologis

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik
regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretic atau tiazid. Bila respons
tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikandiuretik intravena, atau kombinasi
loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitaspasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yangdisebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal
jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis
rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

480
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan
penghambat ACE
e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi hasil yang baik pada pasien yang
intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan
f. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama- sama diuretik,
penghambat ACE , penyekat beta. Dosis : 0.125 qd dengan dosis maksimal 0.375 qd.
g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada
penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient
ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel
yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati
angina atau hipertensi pada gagal jantung.
j. Pemakaian alat dan tindakan bedah :
o Revaskularisasi
o Operasi katup mitral
o Aneurismektomi
o Kardiomioplasti
o External cardiac support
o Pacu jantung konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular
o Implantable carioverter defibrillators (ICD)
o Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart

481
o Ultrafiltrasi, hemodialisis

Tabel7. Jenis Diuretik pada Gagal Jantung Kongestif


Jenis diuretika Dosis inisiasi (mg) Frekuensi pemberian Dosis maksimum (mg/hari)
Furosemid 20-40 1 -2 kali sehari 500
Bumetanid 0.5-1.0 1-2 1 -2 kali sehari 10
Torasemid 10-20 qd atau bid 1 kali sehari 200
Hidroklorotiazid 25 qd 1-2 kali sehari 100
Metolazon 2.5 qd atau bid 1 kali sehari 20
Indapamid 2.5 1 kali sehari 2.5
Amilorid 5 1 kali sehari 40
Triamteren 50 2 kali sehari 200
Spironolakton 1.5-50 qd 1 kali sehari 100-200

Tabel 8. Jenis Obat yang Digunakan pada Gagal Jantung Kongestif


Jenis obat Dosis inisiasi (mg) Dosis pemeliharaan (mg)
Obat ACE inhibitor Captopril 6.25 25-50 tid
Benazepril 2.5 5-10 bid
Enalapril 2.5 10 bid
Lisinopril 2.5-5 5-20 perhari
Ramipril 1.25-2.5 2.5-5 bid
Trandolapril 0.5 4qd
Obat ARB inhibitor Valsartan 40 bid 80-320
Candesartan 4 qd 4-32
Irbesartan 75 qd 150-300
Losartan 12.5 qd 50-100
Obat penyekat ß Carvedilol 3.125 qd 12.5-50 bid
Bisoprolol 1.25 qd 2-10 qd
ci i^cinnt 12.5-25 qd 10-30
KOMPLIKASI
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit

PROGNOSIS

482
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40 %, sedangkan angka
kematian dalam 5 tahun 60-70 %. Kematian disebabkan karena perburuhkan klinis mendadak
yang kemungkinan disebabkan karena arimia ventrikel. Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV
mempunyai angka kematian 30-70 %, sedangkan NYHA kelas II5-10 %.

PENYAKIT ARTERI PERIFER

PENGERTIAN

Penyakit arteri perifer ( PAP ) adalah kelainan klinis karena adanya stenosis atau oklusi
di aorta atau arteri ekstremitas.

Stenosis atau oklusi pada usia > 40 tahun paling banyak disebabkan karena aterosklerosis,
sisanya disebabkan trombosis, emboli, vaskulitis, displasia fibromuskular, tekanan organ sekitar,
cystic adventitial disease, dan trauma.

Lokasi primer terjadi di aorta abdominalis dan arteri iliaka ( 30 % pada pasien dengan gejala),
arteri femoral dan poplitea ( 80-90 % pasien), dan arteri tibia dan peroneus (40-50 % pasien ).

Ada berbagai macam PAP yaitu :

- Vaskulitis : arteritis Takayasu, arteritis sel giant ( temporal )


- Oklusi arteri akut
- Arteroemboli
- Thoracic Outlet Compression syndrome
- Popliteal Artery Entrapment
- Aneurisma arteri poplitea
- Fistula arteriovena
- Raynaud,s Pnenomenon
- Akrosianosis
- Livedo Reticularis
- Pernio (Chilblains)
- Eritromelalgia
- Frostbite

Faktor Risiko PAP pada Ekstremitas Inferior

- Usia < 50 tahun, dengan diabetes melitus dan satu faktor risiko arterosklerosis (merokok,
dislipidemia, hipertensi, atau hiperhomosisteinemia)

483
- Usia 50-69 tahun, dan riwayat merokok atau diabetes melitus.
- Usia ≥ 70 tahun
- Abnormalitas pulsasi ekstremitas bawah
- Diketahui adanya aterosklerotik koroner, carotid, atau penyakit arteri renalis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Keluhan terjadi pada < 50% pasien yaitu klaudikasio intermiten ( rasa nyeri, ache, keram,
baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan istirahat ) yang dirasakan
di distal dari lokasi oklusi, misalnya di bokong, pinggul, dan otot paha jika oklusi di aortoiliaka,
sedangkan sakit dibetis dirasakan jika oklusi di arteri femoral-poplitea. Keluhan dirasakan lebih
sering pada ekstremitas bawah dibandingkan ekstremitas atas. Keluhan lain yaitu pasien
merasakan dingin atau baal pada kaki dan ibu jari kaki yang seringkali dirasakan pada malam
hari ketika posisi tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi
menggantung.Pada kasus iskemia berat, nyeri dapat tetap pada saat istirahat.

Pemeriksaan Fisik

Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit, dan otot
ampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku,kulit tampak halus dan mengkilap,
menurunya suhu kulit, rambut kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus atau gangren dapat ditemui
pada pasien dengan critical limb ischemia. Pemeriksaan refleks tungksi juga dapat menurun
karena neuropati iskemia.

Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium : darah lengkap, PT (prothrombine time), APTT ( activated partial


thromboplastin time), trombosit
- Elektrolt, ureum, kreatinin, gula darah, profil lipid
- Urin lengkap
- Rontgen toraks
- Elektrokardiografi
- Ankle brachial index (ABI) (lengkap pada bab ABI)
- Pengukuran tekanan segmental
- Segmental pulse volume recordings
- Ultrasonografi dupleks: gambaran B-mode dan pengukuran aliran kecepatan darah
dengan Doppler
- Oksimetri transkutaneus
484
- Tes stress (treadmill)
- Arteriogram
- Magnetic resonance angiography (MRA), computed tomographic angiography ( CTA ),
dan angiografi kontras konvensional
o Tidak dilakukan secara rutin untuk mendignosis PAP
o Dilakukan sebelum revaskularisasi

Tabel 1.Klasifikasi Fontaine untuk Penyakit Arteri Perifer

Stage Gejala
I Asimptomatik
IIa Klaudikasio intermiten
IIb Tidak ada nyeri, klaudikasio jika jalan >200 m
III Nyeri saat istirahat dan nocturnal
IV Nekrosis, gangren

DIAGNOSIS BANDING

Pseudoklaudikasio ( nyeri jika berdiri/posisi dan menghilang dengan duduk, tidur


terlentang, membungkuk kedepan, atau merengangkan spinal), penyakit obstruksi vena berat,
kompartemen sindrom kronik, penyakit lumbar dan stenosis spinal, penyakit muskular inflamasi.

TATALAKSANA

- Tujuan : menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi ekstremitas, mencegah


progresifitas menjadi iskemia, dan menjaga viabilitas ekstremitas
- Modifikasi faktor resiko
o Menghentikan rokok
o Mengontrol tekanan darah dengan Angiotensin converting-enzyme inhibitors dan
penghambat B adrenergik
o Mengatasi hiperkolesterolemia : statin. Target penurunan LDL < 100 mg/ dl.
- Antiplatelet
o Aspirin 81-325 mg/hari per oral
o Klopidogrel 75 mg/hari per oral
o Menurunkan risiko kardiovaskular pada pasien dengan aterosklerosis
- Antikoagulan : warfarin
o Sama efektif dengan antiplatelet, tetapi meningkatkan risiko perdarahan sehingga
tidak direkomendasikan pada PAP kronik.
- Suportif
o Perawatan kaki, menjaga kebersihan, dan menjaga kelembapan kulit kaki
o Mengurangi trauma dengan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai

485
o Menghindari pemakaian kaus kaki, ( berbahan karet ) karena dapat menurunkan
aliran darah ke kulit
- Olahraga
o Secara teratur dan meningkat secara progresif
o Olaraga dengan pengawasan dilakukan 30-45 menit, 3-5 kali seminggu selama 12
minggu
o Olahraga dilakukan dengan berjalan kaki sampai muncul klaudikasio hampir
maksimal, lalu beristirahat sampai gejala menghilang sebelum mulai berjalan lagi.
- Obat-obatan :
o Cilostazol : inhibitor fosfodiesterase dengan efek vasodilator dan antiplatelet,
meningkatkan durasi olahraga.Dosis 100 mg (2 kali sehari), hati-hati pemberian
pada gagal jantung ( dosis menjadi 50 mg 2 kali sehari )
o Pentoxifylline : derivate xantin, meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan, meningkatkan durasi olahraga. Dosis 3x400 mg/hari minimal
8 minggu.
- Revaskularisasi
o Indikasi : keluhan klaudikasio intermiten progresif atau berat, adanya diabilitas,
critical limb ischemiabah
o Sebelum revaskularisasi sebaiknya dilakukan angiografi kontras konvesional.
o Operasi :
 Indikasi : pasien dengan keluhan klaudikasio dengan disabilitas fungsi
yang tidak membaik dengan farmakoterapi atau olahraga, pasien yang
beresiko keluhan klaudikasio bertambah berat. Tidak diindikasikan untuk
mencegah progresivitas critical limb ischemia pada pasien dengan
klaudikasio intermiten.
 Tergantung lokasi oklusi, dan komorbid.
 Jenis oprasi untuk penyakit aortoiliaka : aortobifemoral bypass,
axillofemoral bypass, femoro-femoral bypass, and aortoiliac
endarterectomy.
 Jenis oprasi untuk penyakit arteri femoralis-poplitea: autogenous
saphenous vein bypass grafts, penempatan PTFE
(polytetrafluoroethylene), dan tromboendarterterektomi.

o Non-oprasi :
 Percutaneous transluminal angiography (PTA), pemasangan stent,
arterektomi
 Angka keberhasilan pada PTA iliaka sebesar 90-95 %, dan ketahanan
selama 3 tahunsebesar > 75 %

486
 Angka keberhasilan pada PTA dan pemasangan stent pada femoral-
poplitea sebesar 80 %, dan ketahanan selama 3 tahun sebesar 60 %

KOMPLIKASI

Critical limb ischemia, amputasi, ulkus, gangren

PROGNOSIS

Pada 1/3- ½ pasien PAP dengan keluhan, berdasarkan klinis dan EKG juga mengidap
penyakit arteri koroner (CAD/coronary artery disease), sedangkan ½ pasien terdeteksi dengan
angiografi koroner.Angka harapan hidup 5 tahun pada pasien dengan PAP sebesar 15-30 %, dan
meningkatkan resiko kematian akibat CAD sebesar 2-6 kali. Angka kematian meningkat seiring
dengan derajat beratnya PAP, sebanyak 75-80 % pasien dengan PAP tanpa diabetes mellitus
mempunyai keluhan yang stabil, sedangkan 1-2 % berkembang menjadi critical limb ischemia
setiap tahun. Pada kasus critical limb ischemia, 25-30 % kasus menjalani amputasi dalam 1 tahun
dan mempunyai prognosis buruk pada yang merokok dan diabetes mellitus.

PENYAKIT KATUP JANTUNG

PENGERTIAN

Penyakit katup jantung adalah gangguan dari katup jantung, yaitu jaringan yang mengatur
aliran darah melalui bilik jantung. Pada bab ini akan dibahas mengenai stenosis Mitral dan
regurgitas, aorta stenosis dan regurgitas.

STENOSIS MITRAL

PENGERTIAN

Stenosis mitral adalah penyempitan atau konstriksi dari katup mitral, yaitu katup yang
memisahkan atrium kiri dengan ventrikel kiri.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Sesak napas yang diperberat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, fatique.
487
Pemeriksaan Fisik

Opening snap, loud S1 (closing snap), diastolic rumbling murmur dengan hipertensi
pulmonal, a parasternal lift with a loud P2.

Pemeriksaan Penunjang

 Elektrokardiogram : pembesaran atrium kiri, fibrilasi atrial, hipertrofi ventrikel kanan


 Rontgen thorax : pembesaran atrium kiri dan ukuran ventrikel normal
 Echokardiografi dua dimensi : penebalan katup mitral dengan keterbatasan gerakan katub
dan berkurangnya diameter katup.
 Doppler echokardiografi : peningkatan tekanan transmitral dan pressure half-time
memanjang
 Kateter jantung : peningkatan tekanan baji kapiler paru, gradient transmitral biasanya >
10 mmHg, pada kasus berat diarea katup mitral < 1cm2.

DIAGNOSIS BANDING

Atrial septal defect dalam klinis, EKG dan rontgen thorax seringkali mirip dengan
stenosis mitral yaitu ditemukanya pembesaran ventrikel kanan dan peningkatan vaskularisasi
paru, left atrial myxoma dapat menghalangi pengosongan atrium kiri menyebabkan dyspnea dan
murmur diastolik.

TATALAKSANA

 Nor farmakologis : diet rendah natrium, olahraga


 Farmakologis
 Beta bloker, kalsium channel bloker, diuretik, digoksin
 Perkutaneus BMV
 Pembedahan : closed commissurotomy, open commissurotomy, dan mitral valve
replacement

STENOSIS MITRAL PADA KEHAMILAN

488
Pada kehamilan, wanita dengan stenosis Mitral ringan sampai sedang dapat diterapi
dengan diuretik dan beta bloker. Obat antiaritma yang disarankan adalah quinidine atau
procianamide. Jika memerlukan antikoagulan, sebaiknya berikan heparin, hindari warfarin. Pada
stenosis Mitral berat, bila anatomi katup mitral baik, pertimbangkan percutaneus balloon
valvuloplasty.

REGURGITAS MITRAL

PENGERTIAN

Regurgitas mitral (RM) adalah aliran balik darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri karena
insufisiensi dari katup mitral.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Dyspnea karena latihan, orthopnea, paroxysmal dyspnea

Pemeriksaan Fisik

Holosistolik murmur menjalar ke aksila, S3, pergeseran apex jantung

Pemeriksaan Penunjang

 EKG : pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri


 Rontgen thorax : pembesaran jantung kiri
 Echokardiografi : pada mitral regurgitasi yang kronis dan berat dapat ditemukan
pembesaran atrium dan ventrikel kiri
 Doppler echokardiografi : pada MR berat dapat ditemukan jet regurgitasi yang besar
 Kateter jantung : peningkatan tekanan baji kapiler paru (PCWP), ventrikulografi :
regurgitasi kontras ke atrium kiri

DIAGNOSIS BANDING

Stenosis aorta  murmur pada stenosis aorta dapat menyerupai mitral regurgitasi,
terutama bila murmur mitral regurgitasi atipik atau menjalar ke aorta, ventricular septal defect,
prolaps katup mitral.

TATALAKSANA

489
 RM asimptomatik tanpa pembesaran ventrikel kiri, ritme sinus : hindari olahraga atau
latihan isometrik, ekokardiografi ulang setiap 6 bulan
 RM kronik : antikoagulan, ACE inhibitor, pembedahan
 RM akut : vasodilator nitropruside, jika terjadi hipotensi : intra-aortic balloon
counterpulsation
 Pembedahan : valvuloplasti
 Indikasi :
o Regurgitas mitral kronik, berat, atau non iskemik.
o Hipertensi pulmonal : tekana arteri pulmonal > 50 mmHg saat istirahat atau >60
mmHg saat aktivitas.

PROGNOSIS

Mitral regurgitasi kronik memiliki prognosis lebih baik daripada akut.

MITRAL REGURGITASI PADA KEHAMILAN


Regurgitasi mitral pada kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik meskipun berat,
tetapi disfungsi ventrikel kiri dapat menyebapkan gagal jantung. Manajemennya adalah
pemberian diuretik, dan pembedahan jika dibutuhkan. Pembedahan yang disarankan adalah
mitral valve repair diindikasikan bila mitral regurgitasi berat, akut atau ruptur chordae dan gejala
gagal jantung tidak terkontrol.

STENOSIS AORTA

PENGERTIAN

Stenosis aorta adalah penyempitan pada katup aorta yaitu katup antara ventrikel kiri
dengan aorta.

PENDEKATAN DIGNOSIS

Anamnesis

Angina pektoris, sinkop, gejala gagal jantung kongestif : dyspnea saat aktivitas,
orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea.

Pemeriksaan Fisik
490
Murmur ejeksi sistolik; medium pitched, baik terdengar pada area aorta menjalar sampai
arteri karotis, carotid upstroke ; volume rendah, keterlambatan mencapai amplitudo puncak.

Pemeriksaan Penunjang

 EKG pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri


 Rontgen thorax : boot-shaped heart, pada foto lateral tampak kalsifikasi katup aorta
 Echokardiografi : penebalan katup aorta, berkurangnya mobilitas katup, hipertrofi
ventrikel kiri konsentris. Doppler echokardiografi: meningkatnya tekanan gradient
transvalvular dan menurunya area aorta, gradient ratat-rata > 50 mmHg (pada kasus
berat).
 Kateter jantung : meningkatnya left ventricular and-diastolic pressure, gradient
transaorta 50 mmHg, area katup aorta < 0,7cm2.

DIAGNOSIS BANDING

Sindrom koroner akut, mitral regurgitasi, stenosis Mitral, prolaps katup mitral, miokard
infark.

TATALAKSANA

- Hindari aktivitas berat


- Terapi simptomatik
o Hipertensi : ACE inhibitor ( perlu hati-hati dalam penggunaanya karena dapat
menyebabkan hipotensi, penggunaan ACE inhibitor pada pasien asimptomatik
tidak direkomendasikan ), beta bloker
o Angina : nitrogliserin
o Statin untuk memperlambat kalsifikasi katup aorta
- Transcateter Aortic Valve implantation (TAVI)
- Pembedahan : aortic valve replancement
- Indikasi :
o Stenosis aorta berat : area katup <1 cm2 atau 0,6 cm2/m2 area permuakaan tubuh
o Disfungsi ventrikel kiri
o Aneurisma atau expanding aortic root (dimensi maksimal > 4.5 cm atau
peningkatan ukuran > 0,5 cm/ tubuh).
o Hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding > 15 mm

PROGNOSIS

491
Rata-rata kematian sebesar 5% dalam 3 bulan setelah gejala muncul, 75% dalam 3 tahun
setelah gejala muncul, bila tidak dilakukan intervensi pembedahan.

AORTA STENOSIS PADA KEHAMILAN


Bila aorta stenosis berat, lakukan balloon valvuloplasty atau valve replacement.

REGURGITASI AORTA

PENGERTIAN

Regurgitasi aorta adalah aliran balik darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri karena
insufisiensi katup semilunaris aorta.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Anamnesis

Dyspnea, orthopnea, proksimal noctural dyspnea, angina, sinkop.

Pemeriksaan Fisik

Kronik : Diastolic blowing murmur pada batas kiri sternum, sirkulasi hiperdinamik,
perubahan point maximal impulse. Akut : short diastolic blowing murmur, soft S1.

Pemeriksaan Penunjang

 EKG : pembesaran atrium kiri,hipertrofi venrtikel kiri


 Rontgen thorax : kronik  pembesaran jantung, uncoiling of the aorta, akut  kongesti
paru dengan ukuran jantung normal.
 Echokardiografi : kronik  pembesaran ventrikel kiri, large Doppler jet pressure half
time < 400 ms, akut  ventrikel kiri belum membesar
 Kateter jantung tekanan vulsasi lebar, aortografi : regurgitasi kontras ke ventrikel kiri

DIAGNOSIS BANDING

Mitral stenosis, regurgitasi pulmonal, stenosis tricuspid.

TATALAKSANA

 Kronik :

492
Vasodilator jika asimptomatik dan fungsi ventrikel kiri normal
Pembedahan
 Akut : vasodilator
 Pembedahan : aortic valve replacement
Indikasi :
o Kronik: adanya gejala, ejection fraction < 0,55, end-systolic diameter > 55 mm
o Akut : gagal jantung ( walaupun ringan )

PROGNOSIS

Dengan aortic valve replacement, rata-rata kematian 3-4% dan bertahan selama 5 tahun
sebesar 85%.

REGURGITASI AORTA PADA KEHAMILAN


Regurgitas aorta kronik tanpa difungsi ventrikel kiri biasanya ditoleransi dengan baik,
bahkan yang dengan gejala. Manajemen dengan vasodilator, diuretik, dan restriksi garam.
Indikasi pembedahan yaitu pada aorta regurgitasi akut atau yang gejalanya tidak dapat dikontrol.

ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (NSTEMI)

PENGERTIAN
Menurut ACC/AHA STEMI Guidelines 2004, STEMI adalah elevasi segmen ST > 1mm
pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads). Progesifitas infark miokard dibagi
menjadi 1. Akut (beberapa jam pertama-7 hari), 2. Healing (7-28 hari), dan 3. Sembuh (29 hari).

DIAGNOSIS

Anamnesa
Nyeri visera seperti terbakar atau tertusuk, letaknya biasanya didda tengah atau
epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat juga ke
perut, punggung, rahang bawah, dan leher, nyeri dibarengi dengan lemah, nausea, keringat,
muntah, ansietas.

Pemeriksaan Fisik

493
Pucat, ekstremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi (pada
anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi (posterior infarc). Terdapat bunyi jantung III dan
IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting pada bunyi jantung II, dapat juga
ditemukan transient midsystolic atau late systolic apical systolic murmur karena disfungsi katup
mitral. Pericardial friction rub dapat ditemukan pada transmural STEMI. Pulasi karotis
seringkali menurun dalam volume.

Laboratorium
4. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q

5. Serum Cardiac Biomarkers:


 Cardiac-specific troponin T (cTnT) and Cardiac-specific troponin I (cTnI) meningkat > 20
kali dari nilai normal tertinggi dan bertahan 7-10 hari setelah STEMI.

6. Pencitraan jantung
 Ekokardiografi: infark ventrikel kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial, dan trombus
ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas defek septum ventrikel dan
regurgitasi mitral.
 Cardiac MRI

DIAGNOSIS BANDING
Unstable angina, Non ST elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi
segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard, dressler’s
syndrome.

TATALAKSANA
Pada ruang emergensi
9. Aspirin: 160-325 mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mg / hari.
10. Jika hipoksemia, berikan suplementasi O2 2-4l/menit selama 6-12 jam
11. Kontrol ketidaknyamanan

494
 Nitrogliserin sublingual 3x0,4mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang berikan
nitrogliserin intravena.
 Morfin 2-4mg intra vena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit.
 Betablocker iv: Metoprolol 5 mg. 2-5 menit sebanyak 3 kali. 15 menit setelah dosis ke-3, berikan
4x50 mg p.o selama 2 hari, lalu 2x100mg. atenolol: 2,5-5 mg selama 2 menit, total 10 mg selama
10-15 menit. Bisoprolol 1x2,5-10mg. Percutaneous Coronary Intervention (PCI): jika diagnosis
meragukan, kontra indikasi terapi fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, resiko perdarahan
meningkat, atau gejala tidak tertangani dalam 2-3 jam.
12. Terapi revaskularisasi
 Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau tidak mungkin
mengerjakan IKP primer < 2 jam.
c. Terapi Fibrinolisis
 Waktu pemberian : efektivitas menurun dengan lamanya waktu, terutama bila > 3 jam
setelah onset
 Indikasi: serangan < 12 jam, elevasi segmen ST ≥ 0,1 mV (≥1mm) dalam 2 lead berturut-
turut atau adanya Left Bundle Branch Block (LBBB)
 Kontraindikasi:
- Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena, stroke non
hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir, perdarahan internal aktif
atau adanya perdarahan diastesis, curiga diseksi aorta
- Relatif: hipertensi berat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol > 110 mmHg,
strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama > 10 menit, trauma atau operasi besar
dalam 3 minggu terakhir, perdarahan interna dalam 2-4 minggu terakhir,
noncompressible vascular puncture, kehamilan, menggunakan antikoagulan.
 Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15 mg bolus iv, lanjutkan 50 mg selama 30 menit, lalu
35 mg selama 60 menit
 Streptokinase: 1,5 juta unit iv selama 1 jam
 Tenecteplase (TNK) : 0,53 mg/kg iv bolus
 Reteplase (rPA): 2x10 juta unit bolus dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara dosis pertama
dan kedua

495
d. Intervensi Koroner Perkutan (IKP): Jika ersedia sarana ikp dan ikp bisa dikerjakan < 2 jam.
Jika tidak bisa berikan fibrinolitik
13. Tienopiridin
 Clopidogrel 300-600 mg
 Plasugrel 60mg
14. Glycoprotein IIb/IIa Inhibitors (GP IIb/IIIa Inhibitors): bekerja menghambat agregasi trombosit
15. ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard infark anterior, atau disfungsi ventrikel kiri:
captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam atau ketika stabil (tekanan darah sistolik >
100mmHg)
16. Lipid-lowering agent (jika LDL >70-100 mg/dL, total cholesterol >135 mg/dL): Atorvastatin 10-
80mg/hari, rosuvastatin 20-40 mg/hari.

KOMPLIKASI
Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gagal jantung kongestif, renjatan kardiogenik, infark
ventrikel kanan aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi.

PROGNOSIS
Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent ( biasanya aspirin) mengurangi angka
kekambuhan STEMI sebesar 25%.

496

Anda mungkin juga menyukai