Anda di halaman 1dari 16

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

A. PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot/dan nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.1
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan
karibia. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Di wilayah pengawasan WHO Asia
Tenggara, Thailand merupakan Negara peringkat pertama yang melaporkan banyak kasus
demam berdarah dengue yang dirawat di rumah sakit. Sedangkan Indonesia termasuk
peringkat kedua berdasarkan jumlah kasus DBD yang dilaporkan.1,2
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan
air laut. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada tahun 1998.1-3
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak
terencana & tidak terkendali, tidak adanya control vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis, dan peningkatan sarana transportasi.4
Banyaknya kasus DBD setiap tahun, telah menimbulkan dampak kerugian yang
luas, terutama pada aspek ekonomi dan kesehatan. Karena itu, diperlukan adanya suatu
upaya terpadu serta keterlibatan dan kepedulian semua pihak, baik pemerintah,
masyarakat maupun para mitra di bidang kesehatan untuk secara sungguh-sungguh
berupaya menekan laju penyakit DBD di masyarakat.4
Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Banyak penyakit yang dapat
menimbulkan keluhan utama demam. Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar
infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor
non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi lainnya. Ketika virus atau bakteri
masuk ke dalam tubuh, leukosit akan melepaskan pirogen endogen yang selanjutnya
memicu produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian
meningkatkan nilai-ambang temperatur dan terjadilah demam. Demam bisa muncul pada
infeksi, dehidrasi, drug fever, heat stroke, koma, perdarahan otak, keganasan, dan lain-
lain. Penyebab demam tersering adalah infeksi, bisa infeksi virus atau infeksi bakteri.
Pada kasus ini demam muncul akibat infeksi virus dengue yang dikenal dengan demam
berdarah dengue atau sering disebut pula dengue haemorrhagic fever (DHF).

B. ETIOLOGI
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30
nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.1,2
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan tranmisi virus dengue yaitu:
1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, tranportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain. Nyamuk Aedes
aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari
penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan
vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban), sedangkan Aedes albopictus
pada daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam
penularan.
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.2,3

C. PATOGENESIS
Virus dengue yang telah masuk ke tubuh penderita akan menimbulkan viremia.
Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun
Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membentuk dan melepaskan zat (C3a, C5a,
bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus
sehingga terjadi termoregulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan
reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Pengeluaran Histamin yang
mengakibatkan Vasodilatasi (vasoaktif), jika keadaan ini terjadi pada pembuluh darah
otak maka dapat mengakibatkan gangguan tekanan intracranial yang akan memicu sakit
kepala. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh
darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga
menimbulkan agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit,
trombositopeni, dan koagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan
yang jika berlanjut terjadi syok dan jika syok tidak teratasi, maka akan terjadi hipoksia
jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan
karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga
perfusi jaringan menurun dan jika tidak teratasi dapat menimbulkan hipoksia jaringan.
Selain itu, terjadinya perubahan imunulogi seluler karena adanya virus yang selalu
bereplikasi terkhususnya virus dengue. Hal ini memberikan respon yang signifikan
terhadap system imun seluler untuk membunuh virus yang sekaligus mengorbankan
dirinya sendiri yang lama kelamaan akan mengakibatkan leukopenia. 1-3,6

Gambar 1. Patogenesis Demam Berdarah Dengue


Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup
dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam
kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.
Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi:
1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan
plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular,
2. Agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan
kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit
muda dari sumsum tulang
3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor
pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
kelainan hemostasis yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan
koagulopati.1
Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan hepar untuk
mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar
terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue. Bila
kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi, maka pasien dapat
jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock Sydrome) dan sering
menyebabkan kematian.7

D. GAMBARAN KLINIS
Terdapat empat gejala utama DBD, yaitu demam tinggi, tanda-tanda perdarahan,
hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DHF diawali dengan demam
mendadak, disertai dengan muka kemerahan (flushed face) dan gejala jenis lain yang
tidak khas, menyerupai gejala demam dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri
retroorbital dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa pasien mengeluh sakit
tenggorok dan pada pemeriksaan ditemukan faring hiperemi. Gejala lain adalah rasa tidak
enak di daerah epigastrium, nyeri dibawah lengkung iga kanan, kadang-kadang nyeri
perut dapat dirasakan diseluruh perut.
Pada pasien ini ditemukan 3 gejala utama DBD, yaitu demam tinggi mendadak
disertai perdarahan spontan pada pervaginam dan peteki di ekstremitas atas dan bawah,
serta hepatomegali. Adapun gejala lain yang ditemukan adalah batuk, sakit kepala, dan
keluhan gastrointestinal (mual, muntah, dan nyeri ulu hati), dan nyeri tekan epigastrium.

E. DIAGNOSIS
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue
Menurut WHO 2009 derajat berat-ringan penyakit, DHF dibagi 3 tingkat :
1. Derajat I (Dengue Fever)
Panas 2-7 hari, gejala umum tidak khas, uji “Tourniquet” (+). Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan trombositopenia (< 100.000/ul)
2. Derajat II (Dengue Fever Dengan Tanda Bahaya)
Sama dengan derajat I ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti
peteki ekimosis, epistaksis, hematemasis, melena, perdarahan gusi uterus, telinga dan
sebagainya. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia (<
100.000/ul)
3. Derajat III-IV (Dengue Syok Sindrom)
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat
(> 120/menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg), tekanan darah menurun (120/80 
120/100  120/110  90/70  80/0  0/0). Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur (denyut jantung > 140/menit) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan
kulit tampak biru. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia (<
100.000/ul)
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cel/culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis
yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, I gM
maupun Ig G.
a. Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasrna biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
b. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
c. Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
d. Hemostasis :Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahaan atau kelainan pembekuan darah..
e. Protein/albumin : Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotansferase) dapat meningkat,
g. Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h. Elektrolit : Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan transfusi
darah atau komponen darah.
j. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
k. IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, rneningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
l. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeksi hari ke-2.
m. Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
n. Pemeriksaan NS1 Ag yang berarti nonstruktural 1 antigen adalah pemeriksaan
yang mendeteksi bagian tubuh virus dengue sendiri. Karena mendeteksi bagian
tubuh virus dan tidak menunggu respon tubuh terhadap infeksi maka pemeriksaan
ini dilakuukan paling baik pada saat demam hari ke-0 hingga ke-4, karena itulah
pemeriksaan ini dapat mendeteksi infeksi virus dengue bahkan sebelum terjadi
penurunan trombosit. Hasil positif menunjukkan seseorang ‘hampir pasti’ terkena
infeksi virus dengue.

Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi pemrembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Pada pasien ini kita dapat mendiagnosis berdasarkan temuan klinis dari anamnesis
yaitu demam tinggi mendadak disertai perdarahan spontan pada pervaginam, disertai
keluhan batuk, sakit kepala, dan keluhan gastrointestinal (mual, muntah, dan nyeri ulu
hati). Tanda vital : Tekanan Darah = 110/60 mmHg, Nadi = 112x/menit, Pernapasan =
20x/menit, Suhu = 39,2oC. Pada pemeriksaan fisis ditemukan hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan (-). Terdapat nyeri tekan epigastrium, dan peteki di ekstremitas atas dan
bawah. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan PLT : 23 x 103/ul, HGB : 14,2 g/dl,
HCT : 42,6%, WBC : 2,34 x 103/ul, NS 1: (+).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan laboratorium
dari pasien ini dapat dikategorikan sebagai Dengue Haemorrhagic Fever Derajat II.

F. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-
28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan
jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik FKUI
telah menyususn protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa.
Protokol 1 : Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita
DBD diruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit(Ht),
dan trombosit, bila:
1) Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,Ht leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat Darurat.
2) Hb, Ht, normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk di rawat
3) Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Gambar 2. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan1
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:
1500+ {20x(BB dalam kg-20)}
1) Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Ht, Hb tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti diatas tetapi pemantauan Hb,Ht, trombo dilakukan tiap 12 jam
2) Bila Hb, Ht meningkat >20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Gambar 3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat1


Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5 %. Pada keadan ini, terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus
cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
kembali dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat diberhentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kg/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah turun <20
mmHg, produksi urin menurun, maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
10ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila membaik
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam, tetapi bila tidak menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infus di naikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam.
Gambar 4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%.1
Protokol 4 : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada pasien DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis/melena atau hematokezia), perdarahan otak dan
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD
tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, urin, nadi, pernafasan dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera
dilakukan dan pmeriksaan HB, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular disseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai HB kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID. Pemberian transfusi
trombosit juga harus dilakukan hati-hati dengan melihat komponen sistem pembekuan
darah yang lain. Oleh karena itu, jumlah trombosit yang rendah bahkan lebih rendah dari
20.000 tanpa perdarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi dilakukan transfusi
trombosit.
Protokol 5 : Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrome syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan /pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tetap termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 l/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis
gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

Gambar 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Pada pasien ini ditemukan perdarahan spontan, yaitu perdarahan pervaginam dan
peteki di ekstremitas atas dan bawah, sehingga menggunakan protokol 4. Pada keadaan
seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok
lainnya, yaitu terapi awal pemberian cairan dengan memberikan infus cairan kristaloid
sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi
turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus kembali dikurangi
menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat diberhentikan 24-48 jam kemudian. Pemeriksaan tekanan darah, urin, nadi,
pernafasan dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta
hemostase harus segera dilakukan dan pmeriksaan HB, Ht, dan trombosit sebaiknya
diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskular disseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai HB kurang dari 10
g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID. Pemberian
transfusi trombosit juga harus dilakukan hati-hati dengan melihat komponen sistem
pembekuan darah yang lain. Oleh karena itu, jumlah trombosit yang rendah bahkan lebih
rendah dari 20.000 tanpa perdarahan yang signifikan bukan merupakan indikasi
dilakukan transfusi trombosit.
Penanganan lain yang diberikan pada pasien ini adalah Diet TKTP, Bed Rest,
Paracetamol 1 botol/8 jam/iv, Ranitidin 1 amp/12 jam/iv, serta observasi tanda-tanda
vital dan tanda-tanda perdarahan. Adapun anjuran yang diberikan adalah kontrol darah
rutin per 12 jam.

G. PROGNOSIS
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya
terjadi pada hari sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/ul atau
kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit
20% atau lebih mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk
pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat
diberikan larutan garam isotonis atau ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan
dengan berat ringan penyakit. Ada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat diberikan
selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/ul.
H. KOMPLIKASI
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DHF yang tidak
disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan,
dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah
otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula
bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
2. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml /
kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan
volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat
sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
3. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada.
4. Koagulasi Intravaskular Disseminata
Suatu sindrom yang ditandai adanya dengan adanya akibat perdarahan trombin
bersirkulasi dalam darah pada daerah tertentu. Dasarnya ialah pembentukan bekuan
darah dalam pembuluh-pembuluh darah kapiler, diduga karna masuknya
tromboplastin jaringan ke dalam darah. Akibat pembekuan ini terjadi trombositopeni,
pemakaian faktor-faktor pembekun daarah dan fibrinolisis.

I. PENCEGAHAN
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga dewasa ini belum
tersedia, maka upaya pencegahan dan pemberantasan DBD, dilakukan dengan cara
memberantas nyamuk Aedes yang merupakan vektor penyakit DBD. Pemberantasan
vector ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan insektisida dan
tanpa insektisida. Insektisida yang umum digunakan dalam pemberantasan DBD adalah
bubuk abate, dengan penaburan bubuk abate di sekolah, tempat – tempat umum dan
disemua tempat penampungan air, dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik Aedes
aegypti ditaburi bubuk abate sesuai dengan dosis 1 sendok makan (10 g) abate untuk 100
liter air.
Pemberantasan DBD tanpa menggunakan insektisida dilakukan dengan cara 3M di
rumah dan halaman masing-masing dengan melibatkan seluruh keluarga, dengan cara
sebagai berikut :
1. Menguras bak mandi sekurang-kurangnya 1 minggu sekali
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
3. Menimbun barang-barang bekas yang dapat menampung air

CDC (2010) telah memberikan aturan umum untuk mencegah transfer virus dan
patogen lain yang disebabkan nyamuk dan vektor pengigit lainnya.
 Mencegah Wabah: Untuk menjauhkan kemungkinan, pejalan sebaiknya menghindari
daerah-daerah yang terkenal sebagai transmisi penyakit. CDC Travelers' Health telah
memberikan informasi-informasi mengenai daerah yang berpotensi mentransmisikan
penyakit.
 Sadari puncak pajanan dalam aspek waktu dan tempat.Pajanan gigitan artopoda dapat
berkurang jika pejalan memodifikasi aktivitas dan kebiasaan mereka. Walaupun
nyamuk dapat mengigit kapanpun dalam sehari, namun aktivitas tertinggi gigitan dari
vektor untuk penyakit-penyakit tertentu (dengue dan chikunguya) adalah sepanjang
pagi dan siang. Vektor untuk penyakit lain seperti malaria lebih aktif pada hari senja
atau malam hari. Hindari pergi keluar ruangan atau mengurangi aktivitas saat pajanan
sedang tinggi. Lokasi juga harus diperhatikan tempat yang berumput dan atau
tumbuh-tumbuhan sering sebagai lokasi pengigitan. Kantor kesehatan resmi setempat
juga dapat membantu menunjukan tempat-tempat yang memiliki aktivitas artopoda
tertinggi.
 Kelambu: kelambu penting untuk memberikan proteksi dan mengurangi
ketidaknyamanan karena gigitan nyamuk. Jika kelambu tidak dapat mennyentuh
tanah, kelambu dapat diselipkan di bawah kasur. Kelambu menjadi lebih efektif bila
diberikan permetrin.Permetrin dapat berfungsi selama beberapa bulan jika kelambu
tidak dicuci.
 Insektisida: Aerosol insektisida, obat nyamuk dapat membantu namun perlu dihindari
inhalasi langsung.
 Pembasmi nyamuk. CDC merekomendasikan pembasmi nyamuk harus mengandung
hingga 50% DEET (N,N-diethyl-m-toluamide).
DAFTAR PUSTAKA

1. Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo dkk
(ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2006. p.1731-6.
2. Norhayati, Mardjono S. Demam Berdarah Dengue. USU Institutional Repository. 2010.
p. 11-20
3. Rezeki S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2004
4. Dharma R, Hadinegoro S R, Priatni I. Disfungsi Endotel Pada Demam Berdarah Dengue.
Makara Kes. 2006; 10, (1): 17-23.
5. Arman. Analisis Faktor–faktor Yang Berhubungan Dengan Kontainer Indeks Jentik
Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Makassar. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Muslim Indonesia. J Kes Masyarakat Madani. 2008; 1, (02): 34-42
6. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas Of Pathophysiology. Thieme: New York. 2006. p.1418-
31

Anda mungkin juga menyukai