Anda di halaman 1dari 5

GLYCOCALIX IN CRITICALLY ILL

(old song new lyrics) - reposted

Beberapa penelitian dan penemuan2 baru dalam bidang kedokteran termasuk bidang critical
care medicine dan perioperative high risk banyak bermunculan, salah satunya adalah tentang
glicocalix, dan tema mengenai glycocalix ini cukup mendominasi pada acara Brussel Critical
Care and Emergency Meeting bulan April 2013. Terutama dikaitkan dengan teori ernest
starling atau pemahaman akan “fluid shifting” perioperative dan critically ill. Para ahli
fisiologi kedokteran mempunyai banyak peran dalam pengembangan ilmu2 dasar unttuk
menunjang dan mengimbangi perkembangan teknologi kedokteran yang makin pesat.

Glycocalix

Latar belakang fisiologi

Ernest starling, seorang ahli fisiologi dari Inggris, (1859-1927) mengutarakan teori tentang
pergeseran cairan dalam vaskular ke ekstra vaskular. Dan implementasinya secara singkat
teori ini mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid (NaCl, RL dll) dalam beberapa menit
akan keluar ke eksravaskular. Sedangkan pada pemberian cairan koloid, apalagi dgn berat
molekul besar (>100 KD) akan bertahan dalam vaskular bahkan sampai beberapa jam.

Persamaan Starling:

where:
▪ ([Pc − Pi] − σ[πc − πi]) adalah net driving force,
▪ Kf is the proportionality constant, and
▪ Jv is the net fluid movement between compartments.

Dengan teori ini dibuatlah cairan koloid sintetik yg kita kenal sebagai golongan gelatin,
starch dan dextran. Dgn asumsi ada 2: pertama, pada keadaan syok hipovolemia/perdarahan,
pemberian cairan koloid akan lebih baik mempertahankan tekanan darah dibanding kristaloid,
dikarenakan koloid dapat bertahan lebih lama dalam intravascular karena cairan koloid
mempunyai tekanan osmotic onkotik lebih besar. Dengan dasar ini pula di buat pemikiran
bahwa pemberian koloid tidak akan menyebabkan edema paru seperti halnya kristaloid.
Kedua, pada pasien sepsis dimana sudah terjadi kebocoran kapiler, pemberian koloid yg
bermolekul besar (lebih besar dari albumin yg hanya 60.000 dalton) akan menutupi
kebocoran kapiler yg terjadi (sealing effect) sehingga dapat membantu mencegah kebocoran
kapiler yang terjadi.

Namun dgn berkembangnya kedokteran biomolekuler nuklir (isotop labeled) dan imaging
seperti PET scan dll, maka teori Starling ini mulai diragukan. Telah ditemukan bagian
struktur dari endotel yaitu yg disebut glikokalix. Glikokalix merupakan lapisan permukaan
dalam endotel intraluminal (ESL = Endothelial Surface Layer), yang berinteraksi pertama
kali dengan darah sebelum darah mencapai endotel kapiler oleh sebab itu bisa diasumsikan
bahwa glycocalyx berfungsi sebagai filter dinding vaskular. Struktur ini sebenarnya sudah
dtemukan sejak 70 tahun lalu, namun kepentingan fisiologisnya terlupakan sampai saat ini.

Penemuan2 terbaru menunjukkan bahwa glikokalix selain merupakan “barrier” vaskular juga
sebenarnya yang menentukan pergeseran cairan (fluid shift) antara intra dan ekstravaskular.
Jadi kalau menurut ernest starling yg menentukan pergeseran cairan adalah “driving force” yg
ditentukan oleh tekanan hidrostatik dan onkotik dari interstitial dan vaskular, namun ternyata
glikokalix lah yg menentukan pergeseran ini.

Studi2 in vitro

Dari studi-studi klinis terbukti bahwa glikokalix memegang peranan penting dalam
pergeseran cairan ini, terutama pada periode perioperative. Studi lain juga menemukan
hubungan glikokalix dgn penyakit diabetes, reperfusion injury, dialysis kronik, vasc
stretching pada kronik hipertensi, sepsis dan proses aterosklerosis terutama dalam
hubungannya dgn disfungsi vaskular.

Dalam bidang perioperatif, Rehm dan Jacob di tahun 2000-2003 melakukan 5 study awal
menilai “intravascular volume effect of colloid” yaitu melihat efek pemberian HES 130, HES
200 dan albumin 5% terhadap status volume intravascular. Penelitian menentukan peran
glycocalix dalam pemberian cairan koloid. Mereka membandingkan dua kelompok, yg
pertama kelompok pasien2 yg menjalani teknik hemodilusi preoperative atau (ANH = Acute
Normovolemic Hemodilution) dimana pasien diambil darahnya 1-2 L bbrp minggu sebelum
menjalani operasi resiko tinggi dan darah yang diambil tersebut di ganti oleh larutan koloid,
sehingga saat diambil darah pasien sebenarnya mengalami hypovolemia dan kelompok pasien
kontrol yaitu pasien normovolemia namun sengaja diberikan cairan koloid. Kelompok
pertama, populasi yg hipovolemia, setelah diberikan koloid, status volume cairan
intravascular diukur dengan teknik label isotop tetap berkisar 90%, artinya, cairan koloid yg
diberikan benar menetap dalam vaskular. Namun pada populasi yg normovolemia, setelah
diberikan koloid (induksi hypervolemia), status volume intravaskular justru tinggal 40%,
berarti 60% berpindah ke ekstravaskular atau interstitial. Hal ini dibuktikan dgn pemberian
label isotop yang di tracing menggunakan imaging PET scan. Jadi jelas, walaupun diberikan
koloid namun jika diberikan pada keadaan normovolemia (sehingga terjadi hipervolemia)
akan terjadi kebocoran kapiler (leakage). Mekanismenya yaitu pada keadaan hipervolemia,
hormone ANP (Atrial Natriuretic Peptide) akan disekresi oleh atrium akibat dilatasi atrium,
dan terbukti ANP merupakan stimulan kuat untuk merontokkan glikokalix kapiler (hasil
histopatologi dengan mikroskop elektron). Dengan rontoknya glycocalix tersebut maka
plasma dan bbrp komponen darah mudah keluar pembuluh darah dan masuk ke interstitial
sehingga ditemukan transudasi cairan beserta molekul cairan koloid didalam interstitial. Hal
ini tentu berlawanan dengan teori sebelumnya yang mengatakan bahwa pemberian koloid
akan bertahan dalam intravascular sehingga tidak menyebabkan edema interstitial.

Penelitian in vitro, isolated perfused heart, oleh Matthias Jacob yg di publikasi di jurnal
Anesthesiology 2006; 104:1223–31 dengan judul “Contrasting Effects of Colloid and
Crystalloid Resuscitation Fluids on Cardiac Vascular Permeability”, meneliti binatang yang
dibuat sepsis dan reperfusi injury yaitu suatu kondisi kebocoran kapiler di miokard. Animal
yg di buat reperfusi injury diberikan 3 jenis cairan (NaCl 0.9%, Starch dan albumin 5%)
Setelah diukur jumlah transudasi net ke ekstravaskular, ditemukan transudasi NaCl yang
paling banyak ditemukan di interstitial (hal ini wajar karena fisiologi shift kristaloid). Namun
yg mengherankan adalah antara cairan Starch dan Albumin. Net transudasi dari starch
ternyata lebih besar dan signifikan dibanding albumin. Padahal berat molekul starch lebih
besar (130-200 versus 60 ribu dalton). Hasil ini menggugurkan mitos tenang “sealing effect”
selama ini. Di duga mekanismenya krn albumin natural koloid dan mempunyai sifat anionik
terhadap kapiler glikokalix sehingga dapat memperbaiki glycocalix.

Studi2 klinis
Pouta, seorang residen Obstetrics dan Gynaecology, Department of obstetrics and
Gynaecology, dan Karinen, Senior Lecturer of Anaesthesiology, Department of Anaesthesia,
Helsinki City Maternity Hospital, Helsinki Finland melakukan penelitian dengan judul
“Effect of intravenous fluid preload on vasoactive peptide secretion during Caesarean section
under spinal anaesthesia” yang dipublikasi di Anaesthesia: Volume 51 February 1996.
Penelitian ini membagi dua kelompok, pertama kelompok yg diberikan preloading kristaloid
1000 ml dan kedua pemberian kristaloid plus koloid 500 ml. Hasil penelitian menunjukkan
pada kedua kelompok ditemukan peningkaan signifikan kadar ANP plasma seiring dengan
terjadinya peningkatan central venous pressure. Dan peningkatan kadar ANP lebih nyata pada
kelompok yang mendapat tambahan koloid. Penelitian ini hanya membuktikan terjadinya
peningkatan kadar ANP saja.

Tahun 2006, Niewdorp melakukan studi dengan judul “Loss of Endothelial Glycocalyx
During Acute Hyperglycemia Coincides With Endothelial Dysfunction and Coagulation
Activation In Vivo’ yg di publikasi di jurnal Diabetes Februari 2006. Beliau dkk menemukan
bahwa short term hyperglycemia dengan pemberian infus glukosa “alone” akan menyebabkan
hilangnya lapisan glikokalix yang lebih banyak dibanding dengan kelompok yang diberikan
infus glukosa + antioksidant. Kesimpulan studi ini selain bahwa hiperglikemia merupakan
stimulant kuat merontokan glikokalix, pemberian antioksidan pada hiperglikemia dapat
menurunkan kejadian kerusakan glikokalix dan endotel. Penemuan ini sangat membuka tabir
yang selama ini sult dimengerti mengenai patofisiologi terjadinya kejadian2 gangguan
kardiovaskular pada pasien2 diabetes, sehingga nantinya target terapi akan semakin jelas
yaitu glycocalyx atau endotel. Dan hasil studi ini juga dapat menjelaskan bahwa pemeriksaan
glikokalix baik itu pemeriksaan laboratorium maupun video microscopy untuk melihat
langsung struktur glycocalix dan endotel pada small vascular merupakan tools yang sangat
menjanjikan untuk melakukan estimasi resiko kardiovaskular dan dampak dari terapi2 untuk
menurunkan resiko kardiovaskular pada pasien2 diabetes. Dan studi dapat di tarik “link”
dengan “tight control glycemia” (TGC) in critically ill, apakah ini yg mendasari efek benefit
dari TGC, dimana dengan mengontrol kadar gula darah maka terhindar dari terjadinya
kerusakan glikokalix pada pasien2 ICU? Jadi bukan hanya karena “circulating” insulin
sebagai antiinflamasi nya, juga karena pengontrolan GD menyebabkan glycocalyx tetap
intact, namun tentu perlu study lebih lanjut.

Tahun 2007 Holte dkk melakukan penelitian RCT membandingkan restriktif dan liberal fluid
pada operasi fast colonic surgery. Study ini membandingkan kelompok satu dengan RL dosis
tinggi + HES voluven dengan RL dosis kecil + voluven. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan bermakna kadar ANP plasma pada kelompok yang menerima RL dosis tinggi +
voluven dan peningkatan kadar ANP ini berhubungan bermakna dengan kejadian2
komplikasi post operasi berupa insiden desaturasi dan saturasi SpO2 terendah pada postop
hari kedua. Hal ini menjelaskan bahwa hypervolemia menyebabkan sekresi ANP dari atrium,
dan sekresi ANP merupakan stimulant kuat terhadap rusak nya barrier vascular glikokalix
sehingga terjadi perpindahan cairan (fluid shift) ke interstitial yang menyebabkan terjadinya
edema sel.

Marcus Rhem dkk thn 2007 juga melakukan study dengan judul “Shedding of the Endothelial
Glycocalyx in Patients Undergoing Major Vascular Surgery With Global and
Regional Ischemia” yang di publikasi di majalah Circulation. Hasil study pertama pada
manusia ini terbukti terjadi kerontokan glycocalix selama prosedur iskemia reperfusi injury.
Kerusakan glikokalix ini akibat sekresi mediator2 pada reperfusi injury yang bermanifestasi
pada gangguan2 fungsi organ sistemik maupun regional.
Steppan MD dkk thn 2009 melakukan study menilai glycocalix pada postoperative pasien
dengan judul “Sepsis and Major Abdominal Surgery Lead to Flaking of the Endothelial
Glycocalix yg di publikasi di Journal of Surgical Research 165, 136–141 (2011). Hasil study
ini jelas ditemukan level konstituen glycocalix yg tinggi dalam darah, menunjukan terjadinya
kerontokan glycocalix pada pasien2 sepsis dan pasien2 post abdominal surgery. Penemuan ini
dapat menjelaskan mekanisme terjadinya sindrom kebocoran kapiler yg non spesifik pada
sepsis dan post operasi abdominal, sehingga dapat di indentifikasi target terapi pada pasien2
tersebut.

Vlahu dkk di jurnal America Society of Nephrologist 2012, melakukan study observasi
menggunakan glycocheck (pemeriksaan video mikrosirkulasi dan glicocalix di sublingual)
dan di konfirmasi dengan pemeriksaan kadar syndecan-1 dan hyaluronan (merupakan
konstituen glycocalix yang soluble dalam plasma) pada pasien2 dengan gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa dan membandingkannya pada orang sehat. Hasil study ini
menunjukkan bahwa pada pasien2 yg menjalani dialisa ditemukan kadar syndecan-1 dan
hyaluronan yang tinggi dalam plasma yang membuktikan terjadi gangguan pada “barrier”
glycocalixnya dimana hal ini yang menyebabkan menetapnya aktivasi sel2 endotel pada
pasien2 end state renal disease yang bermanifestasi dalam bentuk gangguan2 kardiovaskular
seperti stroke dan MCI..

Hofmann-Kiefer dkk thn 2013 melakukan study observasional dengan judul “ Increased
Serum Concentrations of Circulating Glycocalyx Components in HELLP Syndrome
Compared to Healthy Pregnancy” yang di publikasi di jurnal Reproductive Sciences 2013 20:
318. Hasil study jelas menunjukkan bahwa pada HELLP syndrome berhubungan erat dengan
terjadinya kerontokan glycocalix baik di pembuluh darah ibu maupun di placenta.

Kesimpulan

Melihat data2 perkembangan yg cepat akan glikokalix ini membuka pintu untuk melakukan
penelitian2 yg lebih banyak terutama dalam perioperative medicine dan critical ill. Dengan
ditemukannya glikokalix menambah lagi point2 kemajuan dalam dunia kedokteran terutama
di bidang critically ill dan perioperative, dan penemuan ini lebih membantu kita untuk
meneliti dalam menentukan target terapi yg lebih konkrit terutama pada kasus2 dengan
sindrom kebocoran kapiler. (YWH George, ICU Pondok Indah - updated glycocalix –
teaching fellow critical care, 2013)

3535
1 Comment12 Shares
Like
CommentShare
Comments
 Agus W. Budi Santoso Wow..bagaimakah metode fiksasinya sampai glikokaliks bisa
divisualisasikan dengan Transmission Electron Microscopy, Dr Yohanes George.
Microcirculation was my prefered research area.

 Like


o · Reply
o · 35m
o · Edited

Anda mungkin juga menyukai