Anda di halaman 1dari 146

http://pustaka-indo.blogspot.

com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dahsyatnya Ikhlas
© all rights reserved
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Penulis: Mahmud Ahmad Mustafa


Penyunting: Aning

148 hlm
ISBN: 979-878-044-2
Diterbitkan oleh: MedPress Digital 2012
http://www.media-pressindo.com
medpressdigital@gmail.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana Pasal 72:
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, menge-
darkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

2
http://pustaka-indo.blogspot.com

Mahmud Ahmad Mustafa

Dahsyatnya Ikhlas
Bahagia di Dunia, Bahagia di Akhirat

3
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pengantar Penulis
Segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam. Hanya
kepada-Nya kami mohon pertolongan dalam semua urusan dunia
dan agama.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepa-
da Beliau Nabi Muhammad saw., keluarganya, para sahabat-
nya dan semua pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Sesungguhnya kunci kesuksesan dan keselamatan itu
ada dalam keikhlasan. Al-Qur’an memfirmankan, hanya orang-
orang yang ikhlas yang tidak bisa ditipu dan disesatkan oleh
syaitan.
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mere-
ka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara
mereka.” (QS. Shad: 83)
Al-Qur’an juga memfirmankan, hanya mereka yang ikh-
las yang akan mendapatkan keselamatan di akhirat kelak.
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak bergu-
na, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.” (QS. asy-Syu’araa: 88-89)
Dan hanya orang-orang yang ikhlas yang dapat terhin-
dar dari kehancuran dan kecelakaan.
“Semua manusia akan hancur, kecuali mereka yang
berilmu. Setiap orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-
orang yang beramal. Setiap orang yang beramal akan hancur,
kecuali orang-orang yang ikhlas.”

5
http://pustaka-indo.blogspot.com

Maka, seorang ulama pernah mengatakan, “Siapa yang


bisa menjadikan sesaat saja dari umurnya, tulus ikhlas karena
mengharap wajah Allah, maka dia telah selamat.”
Begitu pentingnya dan begitu tingginya kedudukan
ikhlas ini, sampai-sampai pada hadis qudsi dikatakan:
“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-
rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati
sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Hingga malaikat yang terdekat pun tidak pernah tahu
kondisi keikhlasan hati seorang hamba. Ikhlas merupakan sesu-
atu yang sangat khusus, sangat rahasia, dan sangat spesial antara
seorang hamba dengan Tuhannya. Ikhlas adalah harta hakiki se-
orang manusia. Keikhlasan laksana mutiara yang teramat mahal
yang harus kita miliki dan pelihara terus-menerus.
Buku kecil yang sekarang ada di tangan Anda ini sebe-
narnya merupakan kelanjutan dari buku kami yang sebelumnya,
yakni yang mengungkap tentang keagungan dan keistimewaan
niat. Dalam buku ini dibahas tentang makna ikhlas, keistimewaan
ikhlas, dan kiat-kiat bagaimana kita belajar dan melatih keikhlas-
an. Kami berharap tulisan ini bisa memberikan sumbangan penge-
tahuan dan membuka wawasan tentang keikhlasan, sehingga
akhirnya dapat memberi motivasi diri kita agar lebih giat lagi be-
lajar dan melatih keikhlasan.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita pengetahu-
an, kemauan, dan kemampuan agar kita bisa termasuk dalam
golongan hamba-hamba-Nya yang ahli ikhlas. Hanya kepada-
Nyalah kami memohon pertolongan.

6
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Isi
Pengantar Penulis ~ 5
Daftar isi ~ 7
Bab 1. Makna Ikhlas ~ 9
A.Pengertian Ikhlas ~ 9
B.Tingkatan Ikhlas ~ 15
C. Mengukur Keikhlasan ~ 18
Bab 2. Hukum Amal Perbuatan ~ 37
A.Pengertian Riya’ dan Sum’ah ~ 37
B. Hukum Amal Riya’ ~ 41
C. Amal yang Tercampuri Riya’ ~ 48
D. Amal yang Disertai Niat Lain Selain Riya’ ~ 51
E. Riya’ di Tengah Amal ~ 53
F. Riya’ Setelah Amal ~ 55
G. Amal yang Menyebabkan ‘Ujub ~ 56
Bab 3. Janji Surga bagi Orang yang Ikhlas ~ 61
A. Kebahagiaan dan Kepuasan yang Tak Terputus karena Tidak
Mengharapkan Imbalan Apapun dari Manusia ~ 64
B. Tidak Diliputi oleh Ketakutan dan Kekhawatiran ~ 69
C. Malaikat akan Menjadi Penolongnya dan Menggembira-
kannya dengan Janji-Janji Surga ~ 75
D. Semua Mahluk akan Mencintai dan Menyayanginya ~ 77
E. Mampu Menjalani Hidup dengan Penuh Semangat, Gairah,
dan Prestasi ~ 87

7
http://pustaka-indo.blogspot.com

F. Tegar, Kuat, dan Tidak Putus Asa dalam Menghadapi


Berbagai Persoalan Hidup ~ 87
G. Mampu Mempertahankan, Memelihara, dan Memper-
kuat Ukhuwwah Islamiyyah ~ 90
H. Surga Terindah Bagi Orang yang Ikhlas ~ 91
Bab 4. Kiat Agar Dapat Ikhlas ~ 95
A. Bertanya Sebelum Berbuat ~ 96
B. Menjaga Ikhlas Ketika Beramal ~ 112
C. Menjaga Pahala Setelah Beramal ~ 119
D. Berlatih dan Jangan Putus Asa! ~ 133
E. Selalu Berdoa Kepada Allah ~ 139
Daftar Pustaka ~ 145
Tentang Penulis ~ 146

8
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 1
Makna Ikhlas

A . Pengertian Ikhlas
Ikhlas ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kholusho, yaitu
kata kerja intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau
bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). Ikhlas menurut
bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-
hal yang bisa mencampurinya. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar


terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa
yang ada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.”
(QS. an-Nahl: 66)
Pada ayat di atas Allah swt. telah memberikan pelajaran
bagi kita lewat binatang ternak. Betapa Dia telah memisahkan susu
dari bercampurnya kotoran dan darah, padahal ketiga macam
benda tersebut sama-sama berada dalam satu tubuh (perut). Demi-
kian itulah makna ikhlas, yakni sesuatu yang bersih dan murni dari

9
http://pustaka-indo.blogspot.com

segala campuran. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama


sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar.
Selanjutnya, setelah mengalami penambahan huruf men-
jadi akhlasho, maka kata itu berubah menjadi transitif yang berarti
membersihkan atau memurnikan. Orang yang membersihkan atau
memurnikan dikatakan sebagai al-mukhlis. Dalam al-Qur’an dise-
butkan:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyem-


bah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menja-
lankan) agama yang lurus …” (QS. al-Bayyinah: 5)
Maka, orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan
agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya
dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak’ riya dalam
beramal.
Sedangkan lawan dari ikhlas adalah isyrak, yang berarti
menyekutukan. Ikhlas dan lawannya ini berkenaan dengan tujuan atau
niat seseorang. Niat adalah sesuatu yang mengacu kepada berbagai
respon bermacam hal yang membangkitkan. Apabila faktor pem-
bangkit amal perbuatan hanya satu, maka perbuatan itu disebut
ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan, yaitu Allah. Se-
dangkan orangnya disebut sebagai mukhlish. Dan apabila faktor pem-
bangkit tersebut ada dua atau lebih, maka sudah bisa dikategori-
kan bahwa tanda-tanda tidak ikhlas telah muncul ke dalam hati kita.
Faktor pembangkit lain dalam amal yang bisa merusak keikhlasan
yaitu: riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar orang), dan ‘ujub (mem-
banggakan diri). Dan orang yang menyekutukan dalam amal disebut
musyrik.

10
http://pustaka-indo.blogspot.com

Selanjutnya, para ulama bervariasi dalam mendefinisikan


ikhlas, namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Di
antara mereka ada yang mendefinisikan bahwa ikhlas adalah “men-
jadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu
jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau
arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “membersih-
kan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang me-
lakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu
dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan
(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja
yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau
ikhlas dalam amalanmu itu untuk-Nya.
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya
amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang
ada di batin.”
Ada pula yang mengungkapkan bahwa ikhlas adalah, “me-
lupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada
Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhati-
kanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu se-
akan-akan engkau melihat Allah.
Ulama terkenal Abi Qasimy al-Qusyairi berkata, “Ikhlas
adalah menjadikan tujuan taat satu-satunya hanyalah kepada Allah
swt. Dia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk menda-
pat pujian.”
Hasan al-Banna berkata tentang makna ikhlas, “Ikhlas ada-
lah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya,
amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk men-
cari ridha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa

11
http://pustaka-indo.blogspot.com

melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan


atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentara aqidah dan
fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”
Menurut Sayyid Sabiq, ikhlas adalah, “Menyengajanya
manusia dengan perkataannya, amal, dan jihadnya hanya karena
Allah semata-mata, dan karena mengharap keridhaannya. Bukan
karena mengharap harta, sanjungan, pangkat, kemasyuran, atau
maju mundurnya, amalnya terangkat dari kekurangan-kekurangan
dan terangkat dari akhlak yang tercela dan dengan demikian ia men-
dapatkan kesenangan Allah.”
Dari beberapa penjelasan tentang makna ikhlas di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa keseluruhannya mengarah pada
makna, yakni pengharapan terhadap ridha Allah semata dan tidak
mengiringinya dengan pengharapan terhadap ridha dari selain Allah,
apalagi hanya mengharap ridha dari selain Allah. Oleh karena itu,
wajarlah jika lawan dari sifat ikhlas disebut juga syirik kecil, yakni
ketika kita menyandingkan makhluk sejajar dengan Allah sebagai
pihak yang dimintai keridhaannya.
Penyeketuan dalam ibadah dapat terjadi dengan menye-
kutukan Allah dengan segala sesuatu selain Allah, baik berupa ma-
nusia, materi dunia, atau diri sendiri. Jika menyekutukan dengan
manusia (untuk mendapatkan kemuliaan dan kedudukan di sisinya),
maka ia dinamakan riya’. Dan jika menyekutukan dengan diri
sendiri, maka ia dinamakan ‘ujub.
Dengan kata lain, ikhlas adalah realisasi dari ungkapan
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Iyyaka na’budu berarti menyem-
bah hanya kepada Allah tidak menyertakan tujuan agar dipuji ma-
nusia atau lainnya. Iyyaka nasta’in berarti hanya menyembah pada

12
http://pustaka-indo.blogspot.com

Allah dan tidak menganggap kemampuan menyembah itu dari


dirinya. Dalam shalat kita selalu berdoa demikian.
Selanjutnya hakikat ikhlas itu tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, karena ikhlas tempatnya di hati. Hanya diri kita sendiri
dan Allah Yang Maha Mengetahui yang tahu apakah kita ikhlas atau
tidak. Ikhlas tidak bisa direkayasa. Mungkin saja bibir kita dapat ber-
ucap kata ‘ikhlas’ di hadapan orang lain, lalu kita dapat mengelabui
mereka. Tapi kita tidak mungkin bisa membohongi diri kita sendiri.
Ikhlas adalah rahasia yang hanya diketahui oleh kita sendiri dan
Allah swt. Saat kita memberikan bantuan kepada teman atau sau-
dara, mungkin kita bisa meyakinkan dia dengan kata-kata ‘ikhlas’.
Tapi kata-kata itu belum tentu mewakili kondisi hati kita.
Begitu pula sikap, penampilan, dan tindakan seseorang
belum tentu menggambarkan apakah dia benar orang yang ikhlas
atau tidak. Misalnya ada seorang mubaligh yang sedang mengisi pe-
ngajian di sebuah masjid. Setelah selesai, panitia memberinya uang
sebagai imbalannya. Tapi ternyata ia menolak untuk menerimanya
sambil berkata, “Saya melakukan ini ikhlas lillahi Ta’ala. “Apakah pe-
rilakunya itu menunjukkan bahwa ia benar-benar ikhlas? Belum
tentu. Karena yang tahu ikhlas atau tidak hanya ia sendiri. Bisa jadi
ia menolak menerima pemberian itu, karena takut disebut tidak
ikhlas. Atau ia tolak pemberian itu karena menginginkan kesan ter-
tentu pada orang banyak. Ingin agar nantinya ia disebut dan dikenal
sebagai mubaligh yang alim dan ikhlas. Jika niatnya demikian, maka
ia belum bisa dikatakan ikhlas karena masih mengharapkan sesuatu
dari mahluk.
Dan ikhlas itu tidak terbatas dalam perkara ibadah semata,
seperti shalat, puasa, zakat, membaca al-Qur’an, haji, dan amal-amal
ibadah lainnya. Tapi keikhlasan juga menyangkut amalan-amalan

13
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang berhubungan dengan muamalah (pergaulan sosial). Ketika


kita tersenyum terhadap teman, kita harus ikhlas. Ketika kita me-
ngunjungi saudara, kita harus ikhlas. Ketika kita meminjamkan
kepada saudara kita barang yang dia butuhkan, kita pun harus ikhlas.
Tidaklah kita lakukan semua itu kecuali semata-mata karena Allah,
kita tersenyum kepada teman bukan karena agar dia berbuat baik
kepada kita, tidak pula kita meminjamkan uang atau membantu
saudara kita agar kelak suatu saat nanti ketika kita membutuhkan
sesuatu maka kita pun akan dibantu olehnya, atau tidak pula karena
kita takut dikatakan sebagai orang yang pelit.
Rasulullah saw. bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di
kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya. Ketika
malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, ‘Hendak
ke mana engkau?’ Maka dia pun berkata, ‘Aku ingin mengunjungi
saudaraku yang tinggal di kota ini..’ Maka malaikat itu kembali ber-
tanya, ‘Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntung-
kanmu dengannya?’ Orang itu pun menjawab, ‘Tidak, hanya saja
aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah. Malai-
kat itu pun berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk
mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintai-
mu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.”
(HR. Muslim)
“Senyummu di hadapan saudara adalah sedekah.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Ikhlas juga mencakup segala keadaan dan kondisi kehi-
dupan manusia. Ikhlas ketika menerima cobaan, ikhlas menderita,
ikhlas bahagia, ikhlas beribadah, dan ikhlas-ikhlas yang lainnya. Inti-
nya segala kejadian dan peristiwa hidup ini harus kita terima dengan

14
http://pustaka-indo.blogspot.com

ikhlas. Hingga nanti pada akhirnya kita ikhlas bila suatu saat nanti
jiwa kita semua diambil kembali oleh Allah swt. dalam keadaan yang
sebaik-baiknya.

B. Tingkatan Ikhlas
1. Ikhlasnya seseorang untuk meraih kebahagiaan duniawi. Dia
beramal atau beribadah dengan harapan Allah memberikan
kekayaan di dunia. Seperti orang yang memperbanyak mem-
baca Surat al-Waqiah agar Allah memberinya rezeki. Maka
ketika berdoa, ia berharap keinginan duniawi semata. Ini adalah
tingkatan ikhlas yang paling rendah. Namun demikian, ini masih
lebih baik karena seseorang hanya meminta kepada Allah saja,
dan tidak meminta kepada selain-Nya.
2. Ikhlasul ‘Aabidiin. Yakni ikhlasnya orang yang ahli ibadah.
Dalam menjalankan ibadah, mereka memang benar sudah ikhlas.
Akan tetapi di samping mereka ikhlas juga masih disertai pam-
rih atau keinginan-keinginan, diikuti atau didorong oleh keingin-
an-keinginan tersebut. Seperti ingin surga, takut neraka, ingin
bahagia dunia akhirat dan lain sebagainya. Dan di samping itu,
mereka masih merasa mempunyai kemampuan dalam beramal
atau beribadah. Mereka mengandalkan pada amalnya. Kalau
tidak giat ibadah tak akan memperoleh surga atau tak akan se-
lamat dari neraka atau tak akan bahagia dunia akhirat. Atau
dengan kata lain, keikhlasan mereka masih dipengaruhi atau
didorong oleh nafsu ingin mendapatkan pahala dan menghin-
dar dari ancaman siksa.
3. Ikhlasul Muhibbin. Yakni ikhlasnya orang-orang yang mencintai
Allah. Mereka beramal semata-mata karena Allah. Mengagung-
kan, memuliakan, dan menghormati Allah, karena memang Allah

15
http://pustaka-indo.blogspot.com

pantas dihormati dan diagungkan. Mereka beribadah sudah


tidak didorong lagi oleh keinginan-keinginan atau pamrih pri-
badinya, baik itu masalah dunia ataupun akhirat.
Contoh ikhlasnya muhibbin adalah sebagaimana tergam-
barkan dalam ungkapan seorang kekasih Allah, Rabi’ah al-
’Adawiyah. Beliau berkata dalam munajatnya, ‘’Ya Allah, tiada-
lah ibadahku kepada-Mu karena takut dari neraka siksa-Mu,
dan tiada pula karena mengharapkan masuk surga-Mu. Ya Allah,
bila aku beribadah ini karena menginginkan surga-Mu, maka
jauhkanlah aku dari surga-Mu. Dan bila aku beribadah ini ka-
rena takut dengan neraka-Mu, maka masukkanlah aku ke dalam
neraka-Mu.”
Di sini ibadahnya sudah tepat, tetapi masih ada sisi negatif-
nya, yaitu masih menyandarkan ibadahnya kepada dirinya,
masih ada rasa pengakuan bisa beribadah. Ini negatifnya. Tapi
sudah lebih baik daripada yang pertama tadi.
4. Ikhlasul ‘Arifiin. Yakni ikhlasnya orang-orang yang sadar dan
makrifat pada Allah. Mereka mengetahui, menyadari, dan mera-
sakan bahwa gerak diam mereka semata-mata karena Allah
swt. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa dirinya mempu-
nyai kemampuan atau kekuatan apapun. Mereka tidak beramal,
beribadah atau berbuat melainkan dengan Allah dan atas per-
tolongannya. Tidak dengan daya dan kekuatan dirinya.
Tingkatan ikhlas ini lebih tinggi daripada dua tingkatan
ikhlas sebelumnya. Mereka beribadah tidak karena menengok
pahala atau ingin surga atau takut neraka atau yang lainnya.
Benar-benar sudah ikhlas lillahi Ta’ala, tanpa pamrih atau ke-
inginan sesuatu apapun. Inilah tingkatan ikhlas yang paling
tinggi.

16
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada ikhlas tingkat tinggi, terdapat perbedaan yang halus


antara ikhlasnya ahli malamah dan ikhlasnya ahli tasawuf (sufi). Ahli
malamah mengagungkan terjadinya ikhlas pada diri mereka. Mereka
mempertimbangkannya, mereka peduli padanya. Sedang kaum sufi
menghilang dari keikhlasan mereka dalam keikhlasan mereka sendiri.
Dalam arti, sufi begitu larut dalam keikhlasan mereka sehingga tidak
menyadari ada keikhlasan pada diri mereka.
Seperti dikatakan Abu Ya’qub as-Susi, “Ketika mereka
dalam keikhlasan, mereka menyaksikan ada keikhlasan, maka ke-
ikhlasan mereka membutuhkan pada keikhlasan yang lain.”
Abu Utsman al-Maghribi berkata, “Ikhlas ialah sesuatu
yang di dalamnya tidak ada bagian (tempat) untuk nafsu sama sekali.
Ini adalah ikhlasnya kaum awam. Sedang ikhlasnya kaum khawash
ialah, sesuatu (tidak) yang berlaku atas mereka, dan tidak pada me-
reka. Dari situ, tampaklah dari mereka ketaatan, dan mereka mele-
paskan diri dari hal itu. Tidak terjadi bagi mereka atas hal itu peng-
lihatan. Mereka juga tidak memperhitungkannya. Itulah ikhlasnya
kaum khawash.”
Abu Bakar ad-Daqqaq bertutur, “Orang melihat keikhlas-
annya. Apabila Allah menghendaki supaya dia dapat memurnikan
keikhlasannya, Dia akan menggugurkan penglihatan dia terhadap
keikhlasannya dalam keikhlasannya. Maka jadilah dia seorang mukhlis.”
Imam Ruwaim mengungkapkan dalam kata-katanya, “Ikhlas
ialah bila orang tidak ridha (berharap) mendapat imbalan atas ke-
ikhlasannya itu di dunia dan akhirat serta tidak rela mendapat ba-
gian dalam dua kerajaan ini.”
Bagi orang-orang yang telah sampai pada derajat makri-
fatullah, mereka telah tenggelam dan larut dalam pandangan Allah.
Sehingga ia lupa pada makhluk, lupa pada amalnya, bahkan lupa

17
http://pustaka-indo.blogspot.com

pada dirinya sendiri. Sehingga, jika pun mereka menampakkan atau


memperlihatkan amal ibadah atau kebaikan mereka. Itu tidak akan
berpengaruh sedikit pun terhadap nilai kemuliaan keikhlasannya.
Dalam sebuah ungkapannya, Abu Said al-Kharraz menje-
laskan, “Riya’-nya kaum ahli makrifat itu lebih utama daripada ikhlas-
nya para murid.” Makna kata-katanya ini: ikhlasnya para murid itu
menjadi cacat lantaran dia masih melihat pada keikhlasan. Sedang
ahli makrifat bersih dari riya’ yang membatalkan amal. Hanya saja,
mungkin dia memperlihatkan satu hal dan amalnya dengan ilmu
yang sempurna padanya guna menarik murid atau menanggung
derita dari makhluk lain dalam memperlihatkan hal dan amal. Bagi
ahli makrifat dalam hal seperti itu memiliki ilmu yang lembut yang
tidak diketahui oleh orang lainnya. Maka, orang yang kurang ilmu-
nya akan melihat yang demikian itu sebagai riya’. Padahal, itu bukan
riya’. Itu tidak lain adalah ilmu karena Allah dan dengan Allah tan-
pa kehadiran nafsu dan adanya penyakit di dalamnya.

C. Mengukur Keikhlasan
Kadangkala kita mudah untuk mengatakan bahwa apa
yang selama ini kita lakukan dan perjuangkan telah dilandasi keikhlas-
an untuk mendapatkan keridhaan Allah swt. dan surga-Nya. Terka-
dang dalam hati kita berbisik dan berkata, “Ternyata aku telah sang-
gup ikhlas.” Tapi, apakah benar amal yang kita lakukan selama ini
telah ikhlas? Apakah kita telah mampu meraih prestasi dalam tangga
keikhlasan? Apakah benar pernyataan hati kita bahwa selama ini
kita telah mampu ikhlas?
Perlu kita ketahui dan ingat, bahwa sangat penting bagi
kita untuk terus mencari cara menakar keikhlasan dalam diri kita
sendiri. Dengan inilah, kita akan yakin bahwa apa yang kita lakukan

18
http://pustaka-indo.blogspot.com

bukan karena dunia dan isinya, atau karena wanita yang hendak kita
nikahi. Tapi semata-mata diawali dan dilandasi dengan meniatkannya
untuk memenuhi perintah Allah dan Rasulullah saw.
Lalu apakah ikhlas itu dapat diukur atau ditimbang? Me-
mang keikhlasan adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut,
sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan
tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk
mengukur kemurniannya. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-
Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-
hamba-Ku yang Aku cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Yang bisa mengukur ilmu ini adalah hati masing-masing in-
dividu yang memiliki dan menggunakan ilmu ini, itupun belum tentu
100% pas. Hanya Allah yang paling benar mengukur keikhlasan se-
seorang. Seringkali seseorang termangu lama, setelah itu ia baru
mengetahui bahwa niat yang semula ia sangka sudah ikhlas. Ketika
ditimbang dan diukur, ternyata masih tercampur dengan keinginan
dipuji orang lain, sehingga amalan itu tidak diterima dan dilempar-
kan lagi ke mukanya.
Salah seorang ulama pernah mengatakan bahwa di saat
kita melakukan sesuatu dan kita mengatakan pada orang lain, “Aku
ikhlas kok”, di saat itulah kita malah berbuat riya’, karena kita
telah memamerkan keikhlasan kita kepada orang lain. Tak disadari
namun pasti, walaupun hanya berupa harapan kecil, tapi kita telah
berharap untuk mendapatkan nilai yang baik di mata orang lain
saat kita mengatakan bahwa kita ikhlas. Padahal ikhlas itu adalah ke-
adaan di mana kita tidak mengharapkan apapun dari sesama makhluk
Allah, baik berupa hal yang berwujud maupun yang tidak.

19
http://pustaka-indo.blogspot.com

Begitulah, keikhlasan seseorang sangat rentan dikotori pe-


nyakit riya’. Sebab, keduanya menempati ruang yang sama,
yakni hati. Karena itu, jarak antara ikhlas dan riya sangat dekat. Perbe-
daan di antara keduanya sangat tipis, bahkan lebih tipis dari kulit
bawang. Sungguh sangat sulit mengukur keikhlasan seseorang me-
lalui pandangan lahiriah.
Namun demikian, keikhlasan bukannya sesuatu yang tidak
bisa diukur. Berbuat ikhlas dalam beramal atau memberikan sesuatu
betul-betul tanpa berharap balasan (kecuali ridha Allah saja) ada
ukurannya atau ada ciri-cirinya. Karena bagaimanapun, kondisi
batiniah orang yang ikhlas pasti akan menampak pada sikap dan
perilakunya. Begitu pula sebaliknya. Orang yang tidak ikhlas akan
tampak dari raut muka, perangai, sikap, dan gerak-gerak lahiriahnya.
Walaupun terkadang, semua bentuk penampilan lahiriah itu belum
tentu menggambarkan kondisi batiniahnya.
Ikhlas itu mempunyai bukti penguat dan tanda-tanda yang
banyak sekali macamnya dalam kehidupan orang yang mukhlis. Be-
berapa indikator di bawah mudah-mudahan dapat dijadikan para-
meter keikhlasan yang ada dalam diri kita. Karena akan sia-sia segala
amal perbuatan, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah apa-
bila tidak menghadirkan keikhlasan yang murni semata-mata hanya
untuk Allah.

1. Tidak terpengaruh oleh pujian atau celaan orang lain


Pujian atau sanjungan orang lain terhadap seseorang
merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh ma-
nusia. Siapa yang tidak senang jika dipuji. Bukankah pujian itu
menyenangkan dan menggembirakan? Bahkan Rasulullah saw.
pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang ber-

20
http://pustaka-indo.blogspot.com

amal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya,


Beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan
bagi seorang mukmin” (HR Muslim).
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupa-
kan hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Watak dasar
manusia itu benci, lari, dan bahkan marah jika dicela orang lain.
Tapi bagi orang yang ikhlas, ia tidak akan terpengaruh
dan terkecoh oleh pujuan dan sanjungan. Ia juga tidak akan ter-
pengaruh dan kemudian berubah sikapnya karena dicela orang
lain. Hati dan perilakunya tetap stabil meskipun dalam kondisi di-
puji atau dicaci manusia, bahkan dia lupa kepada amal yang
dilakukan dan tak berharap sedikit pun balasan dari Allah. Itulah
tanda bahwa ia telah benar dalam keikhlasannya.
Ibnul Qoyyim ra. berkata, “Tidaklah akan berkumpul
keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan di-
sanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada
manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”
Ketika orang yang ikhlas mengetahui bahwa dirinya
dipuji karena beramal saleh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali
hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada
Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah
(ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menye-
lamatkannya dari fitnah tersebut. Ia juga tahu dan yakin bahwa
tidak ada pujian yang dapat bermanfaat untuknya dan tidak ada
celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemua-
nya itu berasal dari Allah. Baginya, pujian Allah lebih penting
dan lebih mulia daripada pujian manusia.
Atau ketika ia mendengar ada orang lain yang mence-
la amal perbuatannya, meremehkan, atau mengejeknya, padahal

21
http://pustaka-indo.blogspot.com

ia tahu bahwa ia telah berusaha seikhlas mungkin. Maka ia tidak


akan marah, berubah raut mukanya, atau menjadi benci dan
berpaling dari orang yang mencelanya. Ia mengabaikan begitu
saja segala cemoohan yang diarahkan kepadanya, karena perhatian-
nya hanya tertuju pada keridhaan Allah. Justru ia semakin menya-
dari kekurangan amalnya. Ia sibuk mengoreksi amalnya dan
memohon ampun serta perlindungan kepada Allah dari segala
aib dan celanya.
Dia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan
penilaian sesama yang selalu berubah, tetapi dia bulatkan seutuh-
nya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari
Allah swt. Bagi seorang yang ikhlas, dipuji, dihargai, tidak dipuji,
bahkan dicaci, sama saja. Karena baginya pujian dari Allah-
lah yang terpenting. Allah-lah tujuan dari segala amalnya.
Bila Anda memberikan bantuan kepada orang yang
kesusahan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintah-
kannya, maka Anda telah beramal karena Allah. Dan bila Anda
menghentikan bantuan Anda kepada orang itu, karena ternyata
orang itu tidak berterima kasih bahkan ia menjelek-jelekkan Anda
di mana-mana, maka Anda telah kehilangan ikhlas. Amal Anda
sangat dipengaruhi oleh reaksi orang lain pada Anda. Anda ber-
semangat beramal, ketika orang-orang menghargai Anda, me-
muji Anda, atau paling tidak memperhatikan Anda. Dan Anda
kehilangan gairah untuk berjuang ketika orang-orang mence-
mooh Anda, menjauhi Anda, atau bahkan mengganggu Anda.
Memang sulit untuk sampai pada keadaan seperti ini.
Tapi inilah ujian dari keikhlasan. Inilah bukti kalau kita memang
ikhlas. Dan biasanya ujian ini datang setelah kita melakukan amal.

22
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bisa jadi, saat sedang beramal kita mampu ikhlas dan


menghindari kecenderungan riya. Kita bisa saja berkata ketika
menolong seseorang, “Benar saya ikhlas melakukan ini, saya tulus
memberikan bantuan ini.” Dan kata-kata itu benar keluar dari
lubuk hati kita yang terdalam. Tapi jangan menganggap kita telah
lulus dari ujian ikhlas. Ikhlas tidak hanya berhenti sampai di situ
saja. Setelah beramal kita pun harus menjaga keiklasan kita.
Keikhlasan kita itu akan terlihat saat kita mendengar
pujian atau celaan orang lain. Saat itulah kita akan tahu bahwa
niat kita itu benar-benar ikhlas atau tidak.
Dzun Nun ra. berkata, “Tiga hal termasuk pertanda ke-
ikhlasan: samanya pujian dan celaan dari masyarakat umum,
lupa melihat amal di dalam amal, lupa mendapatkan pahala di
akhirat.”

2. Tidak marah atau kecewa jika orang lain tidak mem mem--
balas budi baik kita
Jika suatu ketika orang yang pernah kita bantu balik acuh
terhadap kita, tidak mau menghargai kebaikan kita, atau bahkan
mencela dan menggunjing kita. Bagaimanakah sikap kita ketika
itu? Jika kita tetap tenang dan respek terhadapnya dan me-
ngembalikan semua urusannya pada Allah, maka itu pertanda
bahwa kita telah mampu ikhlas. Tapi jika kita kemudian kecewa
dengan amal baik kita, berubah membencinya, mengatakan tidak
baik kepadanya, tidak mau lagi menghormati dan acuh terha-
danya, itu pertanda bahwa kita belum benar-benar ikhlas. Amal
perbuatan kita masih dipengaruhi oleh balasan dari orang lain.
Mungkin kita pernah mendengar orang yang berkata mirip
begini, “Sudah capek-capek saya tolong, saya sudah korban waktu,

23
http://pustaka-indo.blogspot.com

biaya, saya sudah beri kamu kesempatan, saya sudah …, eh se-


karang tidak tahunya malah ngelunjak. Dasar orang tidak punya
sopan santun, tidak tahu balas budi. Gak ngormatin saya?” Kalau
ia ditanya balik, “Jadi kamu nggak ikhlas nih?” Ia menjawab, “Ya
ikhlas dong! Tapi kan kamu harus tahu diri!”
Kalaupun kita belum pernah mendengar ucapan yang
seperti ini, mungkin saja secara tidak sadar pernah terdengar di
hati kita kata-kata yang semisal itu. Mulut kita tidak mengu-
capkan kata-kata, bibir kita membisu, tapi hati kita tetap meng-
omel dan mengatakan hal-hal yang mencela dan memarahinya.
Ya, budaya saling membalas memang sudah membudaya
di masyarakat kita. Misalnya kalau kita ditolong oleh seseorang,
maka sudah selayaknya kita menghormati, memuliakan, dan
kadang bahkan ada yang mendekati, mengidolakan, atau memu-
ja. Kalau suatu saat kita pernah dipinjami uang oleh teman kita,
maka sudah sepatutnya jika di kemudian hari kita pun mau meng-
utangi uang kepadanya. Hal ini memang baik, dan sudah selayak-
nya. Tapi yang perlu diwaspadai, orang yang menolong kadang-
kadang akhirnya malah terbiasa untuk dihormati ketika dia me-
nolong seseorang. Maka apabila suatu saat dia menolong seseorang
yang kemudian tidak menghormatinya, keluarlah dari mulut-
nya kata-kata mirip begini, “Dasar tidak tahu terima kasih, tidak
tahu balas budi! Udah ditolong juga. Coba kalau tidak ada saya,
…” Atau bisa jadi mulutnya tidak berucap kata-kata itu, tapi
hatinya tetap mengatakan demikian. Sikap seperti itu jelas meng-
gambarkan kalau ia tidak ikhlas dalam memberikan bantuan.
Ciri orang yang ikhlas tidak pernah berusaha untuk men-
dapatkan cinta, kepuasan, penghargaan, perhatian, dan pujian
dari siapa pun kecuali Allah. Adanya keinginan untuk menda-

24
http://pustaka-indo.blogspot.com

patkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia telah


gagal menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan
dan kesucian.

3. Sama amalnya dalam kesendiriannya atau keramaiannya


Di antara tanda kalau kita telah ikhlas adalah kesamaan
amal ibadah kita di kala sendiri dan di waktu dilihat orang ba-
nyak. Sahabat Ali ra. berkata, “Ada empat tanda orang yang
riya: Malas bila beribadat sendirian, rajin di depan orang ba-
nyak, bertambah amalnya bila dipuji, dan berkurang bila ti-
dak ada yang memujinya.”
Jika memang benar kita ikhlas beribadah hanya karena
Allah, maka tentu ibadah kita akan tetap berkualitas, baik saat
sendiri atau ketika dalam keramaian. Orang-orang yang ikhlas
adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau
tidak ada orang yang memperhatikan tetap sama. Ia tidak pernah
cari perhatian dan bikin aksi di depan orang banyak dengan amal-
nya. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru
lebih bagus dilakukan ketika ada orang lain yang memperhatikannya.
Ketika shalat berjamaah apalagi sebagai imam, kita menger-
jakannya dengan khusyuk dan lama. Tapi apakah hal tersebut akan
kita lakukan dengan kadar yang sama di saat kita beramal sen-
dirian? Apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik,
lebih lama, lebih enak, dan lebih khusyuk, maka itu bisa diharap-
kan kita telah mampu ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya,
ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.
Ada seorang menjadi imam shalat. Dia membaca al-Qur’an
dengan tajwid dan tartil. Ia membaca surat-surat yang panjang
tanpa rasa lelah sedikit pun hingga makmumnya kelelahan. Ia

25
http://pustaka-indo.blogspot.com

rukuk dan sujud dengan sangat tertib. Tapi ketika ia shalat sen-
dirian (munfarid), ia membaca surat-surat yang pendek, tanpa
memperhatikan tajwid dan tartil.
Ada lagi orang yang shalat di masjid dengan khusyuk. Ia
lakukan shalat sunat dan menyelesaikan wirid panjang. Ia kerjakan
semua itu dengan mudah dan ringan. Tetapi bila ia shalat di rumah,
ia shalat dengan super cepat. Sesudah shalat membaca wirid yang
sangat pendek, lalu meninggalkan tempat shalat tanpa melakukan
shalat sunat.
Ada juga seorang penceramah yang sedang memberikan
ceramah keagamaan. Ketika ia melihat audiensnya sedikit dan
melihat para pendengarnya hanya orang-orang biasa, maka ia
menyampaikan ceramah dengan biasa-biasa saja. Tapi di saat ia
melihat audiensnya adalah orang-orang penting, maka tanpa
tersadar ia menyampaikan ceramahnya dengan penuh semangat
dan berusaha dengan sebaik mungkin.
Begitulah, maka kita harus selalu waspada dan hati-hati
terhadap gejala-gejala yang seperti ini. Jika muncul gejala atau
tanda-tanda yang demikian, maka kita harus cepat-cepat intros-
peksi diri karena barangkali amal kita telah tersusupi riya’.

4. Tidak berbangga diri di hadapan manusia


Indikator lain dari orang yang ikhlas adalah tidak adanya
kebanggaan dan kecongkakan di hadapan manusia atas amal-
amal salehnya. Misalnya, seorang yang ikhlas tidak akan memulai
pembicaraan tentang dirinya dengan memuji dirinya pada setiap
majlis yang didudukinya. Jika ia melakukan itu, maka itu adalah
salah satu bentuk dari kecongkakkan dan berbangga-bangga de-
ngan amal yang justru akan menghilangkan pahala amalnya.

26
http://pustaka-indo.blogspot.com

Orang yang ikhlas juga tidak mencari perhatian, popu-


laritas dan tidak menonjolkan diri. Karena ia sadar, sehebat apa
pun ketenaran di sisi manusia tiada artinya di hadapan Allah
andaikata tidak memiliki keikhlasan. Seorang hamba ahli ikhlas
tidak sibuk menonjolkan diri, menyebut-nyebut amalnya, mema-
merkan hartanya, keilmuannya, kedudukannya, dan aneka topeng
duniawi lainnya. Karena itu tidak berguna kalau Allah meng-
hinakannya.

5. Suka beramal secara diam-diam


Orang yang ikhlas adalah orang yang mencukupkan dengan
pendangan dan pengawasan Allah saja terhadap dirinya. Ia telah
puas dan bahagia dengan penilaian dan pahala dari Allah swt.
Orang lain tidak perlu tahu dengan amal ketaatannya. Karena
itu, ia justru suka jika amalnya tidak dilihat orang. Ia senang ber-
buat taat secara diam-diam.
Ia berusaha menyembunyikan kebaikannya sebagaimana
ia berusaha menyembunyikan keburukannya. Ketika tangan kanan-
nya mengeluarkan sedekah, maka ia menyembunyikan tangan
kirinya. Ia banyak berzikir dan mengingat Allah dalam kesendiri-
annya. Dia lebih suka memilih menjadi prajurit bayangan yang
rela berkorban namun tidak diketahui dan menjadi pejuang
tidak dikenal. Dia lebih suka menjadi bagian dari suatu jamaah
layaknya akar pohon yang menjadi penopang dan saluran kehi-
dupan bagi si pohon, tetapi tidak terlihat mata karena tersem-
bunyi di dalam tanah. Atau seperti fondasi bangunan. Tanpa
fondasi, dinding tidak akan berdiri, atap tidak bisa dijadikan
tempat berteduh dan bangunan tidak bisa ditegakkan. Tetapi ia

27
http://pustaka-indo.blogspot.com

tetap tidak terlihat meskipun bangunan yang menjulang tinggi


di atasnya dibangun megah.

6. Keberhasilan dan kegagalan baginya sama saja


Ikhlas adalah motivasi yang kuat agar amal kita tetap
berlanjut, tidak usang karena kepanasan dan tidak luntur karena
kehujanan, tidak tertipu karena pujian, dan tidak frustasi karena
kegagalan atau kekalahan, terus bergerak ke arah tujuan yang
paling puncak dari cita-cita. Melihat sesuatu yang paling indah di
balik setiap amal, selalu mampu menghadirkan sang Khaliq yang
tak pernah salah dalam menilai.
Orang ikhlas itu pandangannya selalu tertuju pada cita-
cita agung, yakni bagaimana ia bisa mempersembahkan ketaatan
dan ketundukan yang terbaik untuk Allah swt. dalam rangka
meraih pahala surga dan agar Allah ridha terhadapnya. Bagi orang
yang ikhlas, hasil bukanlah segalanya. Yang terpenting baginya
adalah proses bagaimana mendapatkan pahala dan kerelaan
Allah. Berhasil atau gagal, itu adalah urusan kehendak Allah. Ia
hanya sebatas menjalankan perintah-Nya.
Karena itu, jika suatu ketika orang yang ikhlas mengalami
kegagalan, ia tidak akan berubah menjadi putus asa, berprasangka
negatif terhadap Allah. Ia tetap rela dengan segala ketentuan dan
ketetapan Allah. Ia akan tetap senang dan bahagia karena apa
yang diinginkannya telah berhasil dicapainya, yakni proses me-
nuju keridhaan Allah. Baginya tidak ada yang sia-sia dari amalnya.
Allah tetap akan menilai dan mengganjar jerih payahnya. Ia yakin
benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik, lalu terjadi atau
tidak yang ia niatkan itu, semuanya pasti telah dilihat dan dinilai
oleh Allah swt.

28
http://pustaka-indo.blogspot.com

7. Tetap dalam pendiriannya dan tidak berubah


Ciri lain dari orang yang ikhlas adalah tetap istiqamah
dan tidak berubah dengan sikapnya. Dalam segala keadaan dan
kondisi, ia tetap taat dan patuh pada Allah. Ketika mendapat
kenikmatan dan kesenangan, ia mampu bersyukur dan beriba-
dah dengan semangat. Begitupun saat mengalai kesusahan atau
ditimpa musibah, ia mampu rela, ibadahnya tetap terjaga dan
berkualitas.
Sesungguhnya, keikhlasan sejati adalah ketundukan dan
penyerahan total kepada Allah swt., tanpa bersyarat. Keikhlasan
itu tercermin dalam sikap ridha terhadap semua ketentuan Allah.
Seseorang yang ridha kepada ketentuan Allah, tetapi hanya
bersyukur dan berserah diri kepada-Nya dalam kondisi tertentu
saja, tidak dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pem-
berontak dan tidak patuh saat kondisinya berubah. Sebagai contoh,
orang yang memiliki hubungan bisnis yang baik dan menda-
patkan sejumlah uang. Ia seringkali mengatakan bahwa Allah-lah
yang mengizinkan kondisi kekayaan dan keberuntungannya.
Tetapi saat segalanya memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan me-
lupakan kepatuhannya kepada Allah. Sifatnya tiba-tiba berubah
dan ia mulai mengeluh terus-menerus dan mengatakan bahwa
ia adalah orang yang baik, bahwa ia tidak seharusnya mendapat
musibah, dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa segalanya
terjadi demikian buruk. Ia bahkan melewati batas dan mulai
menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir selalu ber-
jalan sesuai dengan apa yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-
tanya pada dirinya akan pertanyaan yang tidak ada hubungan-
nya, seperti: mengapa segala sesuatunya berjalan seperti ini? Me-
ngapa semua ini terjadi pada saya?

29
http://pustaka-indo.blogspot.com

Keikhlasan juga tercermin dari kestabilan semangat dan


motivasi kerja. Ikhlas dapat diukur dari kuat lemahnya amal atau
kerja saat kita ditempatkan pada posisi yang tidak penting, kita
diturunkan kedudukannya, atau dipecat dari jabatan.
Misalnya jika seseorang diberi amanah untuk menduduki
jabatan atau kedudukan penting dalam dakwah, kemudian kare-
na suatu hal ia ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Maka
penempatan jabatan itu dapat diterimanya dengan ikhlas. Ia tidak
berubah menjadi kendor dan hilang semangat. Baginya semua
masalah ini sama saja.
Bahkan jika ia ditentukan untuk menduduki suatu jabatan
atau diserahi suatu tanggung jawab, lalu ia mengetahui bahwa
ada orang lain yang lebih pantas darinya dan lebih mampu me-
lakukannya, maka saat itu juga ia bersedia meninggalkan tanggung
jawab tersebut dan menyerahkannya kepada orang yang lebih
mampu.
Hati seorang yang ikhlas tidak dikuasai kesenangan untuk
tampil, menguasai barisan, dan menduduki jabatan strategis
dalam kepemimpinannya. Tetapi dia lebih mementingkan kemas-
lahatan bersama karena takut ada kewajiban dan tuntutan ke-
pemimpinan yang dia lewatkan.
Bagi orang yang ikhlas, reward dan punishment tidak akan
mengubah fokus kerja seseorang, dari kerja untuk menaati
Allah dan Rasulullah beralih kepada kerja untuk mendapatkan
pujian dan menghindari hukuman, dari kerja untuk meraih pa-
hala Allah beralih kepada kerja untuk mendapatkan keuntungan
duniawi. Seringkali kita hanya bekerja untuk menghindari “black
list”. Kalo tidak kerja, nanti dianggap bermasalah. Kalau tidak
memimpin kelompok, termasuk dalam daftar “orang yang ku-

30
http://pustaka-indo.blogspot.com

rang produktif”. Kalau tidak hadir rapat, nanti dianggap pem-


berontak. Sesungguhnya, semuanya untuk Allah. Bukan untuk
jabatan, kedudukan, uang, atau pimpinan.
Dikisahkan ketika Khalid bin Walid ra. sedang memimpin
satu peperangan dan kemenangan sudah hampir diperoleh,
tiba-tiba datang surat “pemecatan” dari Khalifah Umar bin
Khatab ra. kepadanya, tanpa menyebutkan alasannya. Panglima
perang harus diserahkan kepada salah seorang anak buahnya
yang jauh lebih junior darinya. Perintah itu diterima Khalid
tanpa reserve. Kini ia menjadi prajurit biasa. Namun, semangat
juangnya tidak berkurang sedikit pun. Usai peperangan, yang
dimenangkan oleh kaum muslimin, salah seorang bertanya ke-
padanya, “Kenapa semangat juang Anda tidak kendor setelah
jabatan Anda sebagai panglima perang diserahkan kepada anak
buah Anda?” Dengan enteng Khalid bin Walid menjawab, “Saya
berjuang bukan karena Umar, tapi karena Allah swt.”. Begitu
ikhlasnya Khalid bin Walid.
Ingatlah, jika ternyata sikap dan perbuatan kita menjadi
berubah, motivasi kerja dan perjuangan menjadi berkurang,
itu pertanda bahwa kita belum bisa ikhlas dengan sebenarnya.
Kerja kita masih bergantung pada keuntungan duniawi.

8. Sama antara lahir dan batinnya


Ciri khusus dari orang yang ikhlas adalah sama antara
kondisi batinnya dengan lahirnya. Hudzaifah al-Mar’asyi ra.
berkata, “Ikhlas adalah ketika perbuatan seorang hamba sama
dalam lahir maupun batinnya.”
Mudahnya, orang yang ikhlas adalah orang yang apa ada-
nya, tidak berpura-pura, tidak plin-plan, tidak ada yang ber-

31
http://pustaka-indo.blogspot.com

beda antara kemauan hatinya dengan perilakunya. Jika ia ber-


kata A berarti hatinya juga A, dan jika ia mengatakan B maka
hatinya juga B. Misalnya ketika ia bersedekah dan berkata ke-
pada penerimanya, “Saya memberi ini ikhlas lillahi ta’ala”, maka
ia tidak sedang berpura-pura dengan kata-katanya, dan kata
yang keluar dari mulutnya itu memang berasal dalam lubuk
hatinya. Dan yang mengetahui dari semua keadaan ini adalah
diri kita sendiri. Kita bisa mengoreksi pada diri kita, apakah kita
telah benar antara omongan dan tindakan, antara kata-kata de-
ngan perbuatan.
Jika kesamaan antara lahir dan batin merupakan ciri orang
yang ikhlas, maka kebalikannya adalah orang munafik yang
tidak sama antara lahiriahnya dan batiniahnya. Al-Qur’an de-
ngan jelas menerangkan sifat orang-orang beriman yang ikhlas
dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan
orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antara-
nya adalah firman Allah:
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad
dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-
orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka
selalu bimbang dalam keragu-raguannya.” (QS. at-Taubah; 44-
45)

9. Suka jika mendengar orang lain mendapat nikmat


Di antara tanda keikhlasan seseorang adalah ia senang jika
mendengar orang lain mendapatkan nikmat, walaupun ia sen-

32
http://pustaka-indo.blogspot.com

diri tidak mendapatkan atau bisa ikut merasakannya. Ia selalu


suka dan ikhlas jika ada orang lain yang mendapatkan nikmat
atau keistimewaan tertentu. Ia senang dan bahagia ketika meli-
hat ada orang yang berbuat taat kepada Tuhannya. Mengapa?
Karena orang yang ikhlas selalu menyukai perbuatan Allah.
Ia mampu rela terhadap segala kehendak dan keputusan Allah.
Apapun yang dilihat dan disaksikannya dari perbuatan Allah
adalah baik, indah, dan penuh hikmah.
Keikhlasan yang demikian ini sebagaimana tergambar
dalam ungkapan sahabat Ibnu Abbas ra., “Bila aku mendengar be-
rita tentang hujan yang turun di suatu daerah, maka aku akan
gembira, meskipun aku di daerah itu tak mempunyai binatang
ternak atau padang rumput. Bila aku membaca sesuatu ayat
dari Kitabullah, maka aku ingin agar kaum muslimin semua me-
mahami ayat itu seperti apa yang aku ketahui.” Orang seperti
Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari
kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya de-
ngan mendengar informasi kebaikan yang mungkin tidak terkait
langsung dengan kepentingannya.
Orang yang ikhlas tidak pernah keberatan dengan keber-
adaan orang lain yang lebih pandai, lebih saleh, lebih bermutu
darinya. Meski menurut pandangan manusia ia akan tersaingi
dengan keberadaan orang yang melebihi dirinya, namun orang
yang ikhlas beramal bukan untuk mencari popularitas. Baginya
yang terpenting adalah maju bersama demi kepentingan bersama.
Seorang mukhlis tidak pernah merasa terganggu, terganjal,
dengki, ataupun gelisah melihat ada orang lain yang diberi il-
mu dan kepandaian yang melebihi dirinya. Justru ia merasa bahagia
karena ia punya teman yang bisa membantunya untuk diajak

33
http://pustaka-indo.blogspot.com

bekerja sama. Adanya sikap iri dan dengki, saling mengalahkan,


dan berebut pengaruh, saling membenci dan berbagai sifat tercela
lainnya, itu disebabkan karena ketidakikhlasan hati kita.

10.Tidak mengungkit-ungkit atau menyebut-nyebut amal amal--


nya
Jika kita mau meneliti lebih dalam, ternyata banyak dari
kita yang belum bisa ikhlas sepenuhnya ketika beramal. Ada se-
seorang yang hendak menitipkan jariyah di masjid, pondok pe-
santren, rumah sakit, atau tempat-tempat kemaslahatan umat
lainnya. Ketika ia memberikan sedekahnya kepada panitia masjid
misalnya, barangkali ia berkata, “Saya ikhlas memberikan jariyah
ini.” Namun di belakang ternyata ia selalu memantau, menye-
lidiki dan mengintai kalau saja amal itu tidak digunakan sebagai-
mana semestinya. Di belakang ia suka menyebut-nyebut sedekah-
nya agar jariyah itu tidak dilupakan orang. Dan kalau pun perlu
ia menuliskan namanya di bangunan masjid itu. Seakan ia tidak
rela jika sedekahnya itu tidak disebut dan diingat orang lain.
Jika kita memang ikhlas lillhi Ta’ala, tentu kita tidak akan
peduli dan mengingat lagi amal kita. Apabila kita telah mem-
berikannya kepada orang yang dapat dipercaya, tidak perlulah
kita menyelidiki atau menelitinya. Bagaimana pen-tasaruf-annya
dan digunakan untuk apa saja. Apakah uang itu di-tasaruf-kan
untuk bangunan masjid apa untuk panitia yang mengerjakan
bangunan, apa justru digunakan untuk keperluan masjid lainnya.
Itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah kita telah beramal
dan melakukan niat yang benar. Allah Mahatahu segalanya. Jika
kita ikhlas, maka Allah sanggup memberikan pahala yang tiada
terkira dan terbatas. Jika Allah saja bersedia memberikan pahala

34
http://pustaka-indo.blogspot.com

terhadap niat kita, lalu apa susahnya Allah memberikan pahala


yang besar terhadap amal kita.

11. Ringan dan nikmat dalam beramal


Keikhlasan adalah buah keyakinan yang mendalam dari
seorang hamba Allah sehingga perbuatan apapun yang disukai
oleh Allah dan dapat membuatnya bertambah dekat dengan
Allah akan menjadi program kesehariannya. Semua dilakukan
dengan ringan, enjoy, nikmat, dan penuh semangat.
Dalam mensifati orang-orang mukmin yang ikhlas, Allah
swt. berfirman:
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaik-
an dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.
(QS. al-Mukminun: 41)
Mereka adalah orang yang bersegera ketika diajak berbuat
ketaatan, karena mereka ikhlas dalam menjalaninya. Mereka sa-
ngat menginginkan dan merindukan pahala dari Allah. Karena-
nya, mereka menjadi sangat ringan, senang, dan mampu menik-
mati segala aktivitas ketaatan mereka. Ketika mendengar panggil-
an azan berkumandang, hati mereka menjadi berbunga-bunga
dan bahagia.
Kemudian Allah swt. menyifati orang-orang munafik yang
suka berbuat riya’ sebagai orang yang malas berbuat ibadah dan
ketaatan. Al-Qur’an memfirmankan:
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri
dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadap-
an manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali.” (QS. an-Nisa: 142)

35
http://pustaka-indo.blogspot.com

12. Tidak fanatik golongan.


Seorang muslim yang ikhlas sangat sadar bahwa tujuan
dari perjuangan hidupnya adalah untuk Allah swt., maka yang
akan dibela pun adalah kepentingan yang diridhai oleh Allah.
Tidak tergantung pada keinginan dan kepentingan pribadinya.
Selama apa yang diperjuangkan adalah untuk membela agama
Islam, maka ia pun akan turut membela. Selama apa yang dila-
kukan adalah diridhai Allah, maka ia akan mendukung dan
membantunya.
Seorang yang ikhlas tidak akan membeda-bedakan teman.
Tegur sapanya tidak akan terbatas pada orang tertentu, senyum-
nya tidak akan terbatas pada yang dikenalnya saja, dan pintunya
selalu terbuka untuk siapa saja.

36
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 2
Hukum Amal Perbuatan

A. Pengertian Riya’ dan Sum’ah


Kata riya’ merupakan bentuk mashdar dari kata raa-a
yuraa-i, yang maknanya adalah melakukan suatu amalan agar
orang lain bisa melihatnya kemudian memuji. Al-Hafizh Ibnu Hajar
menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan
agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”
Termasuk ke dalam kategori riya’ yaitu sum’ah. Kata sum’ah
(reputasi) berasal dari kata dasar sami’a (mendengar). Sum’ah ber-
arti melakukan amal perbuatan agar orang lain mendengar apa yang
diperbuat, lalu mereka memuji dan ia menjadi tenar.
Bedanya, jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita
dilihat orang lain, sedangkan sum’ah adalah menginginkan ibadah
kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun sum’ah
sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indra pen-
dengaran (telinga), sedangkan riya’ berkaitan dengan indra peng-
lihatan (mata).”
Jika seseorang beramal dengan tujuan ingin dilihat atau
ditonton orang, misalnya dengan membaguskan dan memperlama
shalat karena ingin dilihat orang lain, maka ini yang dinamakan riya’.

37
http://pustaka-indo.blogspot.com

Adapun jika ia beramal karena ingin didengar orang lain, seperti


seseorang yang memperindah bacaan al-Qur’annya karena ingin
disebut qari’, maka ini disebut sebagai sum’ah.
Baik riya’ atau sum’ah, keduanya berkait erat dengan moti-
vasi atau tujuan suatu amal. Motivasi yang mendorong terjadinya
riya’ adalah: senang terhadap pujian dan sanjungan, menghindari
terhadap celaan orang, mengharapkan kedudukan di hati orang
lain. Dan ujungnya, semua itu berhubungan dengan kesenangan
dan kenikmatan dunia yang ingin diraihnya.
Jelasnya, orang yang riya’ tidak mendasarkan amalnya
karena Allah, melainkan ingin mendapatkan sanjungan, pujian dan
eksistensi atau penghargaan dari orang lain. Sehingga apapun yang
dia kerjakan, orientasinya hanya ingin dilihat orang lain. Bisa jadi
ketika berhadapan orang lain, ia akan tampak begitu alim dan khu-
syuk dalam beribadah. Namun, ketika tidak dilihat orang lain, ia
beribadah seenaknya saja.
Karena itu, riya’ adalah bagian dari sifat atau ciri khas orang-
orang munafik. Sebab, orang yang riya’ suka berpura-pura dan
hendak mengelabuhi Allah. Al-Qur’an menyebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan
Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya‘
(dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka me-
nyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. an-Nisaa: 142)
Ada banyak perilaku, sikap, atau perbuatan yang bisa di-
tunjukkan untuk tujuan riya’. Secara garis besarnya, ada lima bagian
yang semuanya merupakan sarana yang biasa digunakan oleh se-
seorang untuk berhias di hadapan manusia, yaitu: fisik (badan), pa-

38
http://pustaka-indo.blogspot.com

kaian, perkataan, perbuatan, pengikut, dan barang-barang yang


tampak di luar.
Kemudian, riya’ dapat terjadi baik dalam masalah kedunia-
an ataupun agama. Riya’-nya ahli dunia adalah dengan menampil-
kan sikap, perilaku dan perbuatan agar dilihat dan disangka orang
sebagai orang yang kaya, memiliki kedudukan dan prestasi dunia. Misal-
nya seseorang memakai pakaian atau perhiasan dunia agar perhatian
orang lain tertuju kepadanya, lalu ia disanjung, dipuji, dihormati,
diutamakan serta dimuliakan.
Sebagaimana yang dapat kita lihat sekarang ini, banyak
orang berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian masyarakat
umum. Seperti yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun
para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil menarik di hadapan
umum, bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh
dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popula-
ritas. Bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang
didambakan oleh banyak manusia. Popularitas merupakan kenik-
matan dunia yang mahal harganya.
Kita lihat di layar televisi ada orang yang mengecet rambut-
nya berwarna-warni. Ada yang kepalanya setengah gundul dan
setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya, lalu dicat hijau.
Ada yang rambutnya cuma di tengah saja panjang adapun sisanya
gundul. Ada yang dipotong seperti warna macan tutul. Ada yang
tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya. Ada
yang seluruh kepalanya gundul namun tersisa satu pelintiran yang
panjang sekali. Dan masih banyak model-model yang lainnya yang
aneh-aneh. Ini baru masalah rambut, belum lagi masalah telinga,
hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilaku-
kan demi ketenaran dan sebuah nama.

39
http://pustaka-indo.blogspot.com

Jika kita bertanya, apa motivasi dari semua itu selain agar
menjadi tenar, dikenal banyak orang dan mendapatkan pujian serta
sanjungan dari sana sini. Sungguh seandainya salah seorang dari
mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali
kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman dengan binatang dan
pepohonan. Pasti dia tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti itu
karena tidak ada manusia yang memperhatikannya.
Adapun riya’-nya ahli agama, maka terlihat dengan menam-
pakkan sikap, perangai, atau prilaku saleh agar orang yang melihatnya
menganggapnya sebagai ahli ibadah, seorang alim dan khusyuk.
Banyak sekali contoh untuk menggambarkan riya’ jenis ini. Misalnya:
1. Menampakkan kekurusan dan wajah yang pucat, agar orang-
orang yang melihatnya dan menilainya memiliki kesungguhan
dan rasa takut terhadap akhirat. Yang mendekati penampilan
seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua
matanya cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menam-
pakkan bahwa ia rajin berpuasa.
Luqman al-Hakim pernah berwasiat kepada anaknya, “Wa-
hai anakku! Janganlah kamu memperlihatkan dirimu kepada ma-
nusia bahwa kamu takut kepada Allah padahal hatimu lacur.”
2. Membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian
jenis tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang
yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama. Maka dia me-
ngenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai orang alim.
Rasulullah saw. mengecam orang-orang yang menampak-
kan kesalehan, padahal jiwanya kotor penuh cinta dunia. Beliau
bersabda:
“Celakalah orang-orang yang menutupi kecintaannya pa-
da dunia dengan agama dan dia mengenakan pakaian bulu

40
http://pustaka-indo.blogspot.com

domba di hadapan manusia serta melembut-lembutkan kata-


katanya. Kata-katanya lebih manis daripada madu padahal hati
mereka laksana hati srigala. Allah berfirman, “Bagaimana dia
bisa tertipu?”
3. Memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan hadis-
hadis dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan
melakukan perdebatan. Menampakkan kelebihan ilmu, berzikir
dengan menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, me-
nampakkan kemarahan terhadap kemungkaran di hadapan
manusia, membaca al-Qur’an dengan merendahkan dan melem-
butkan suara. Dan semua itu bertujuan untuk menunjukkan
rasa takut, sedih, dan khusyuk kepada Allah.
4. Seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama, me-
manjangkan rukuk, sujud, dan menampakkan kekhusyukan
agar dirinya disebut-sebut sebagai ahli ibadah yang khusyuk.
Rasulullah saw. berwasiat kepada sahabat Ibnu Mas’ud
ra., “Wahai Ibnu Mas’ud! Janganlah kamu menampakkan
kekhusyukan dan kerendahan hatimu di hadapan manusia,
padahal antara engkau dan Tuhanmu dibatasi maksiat dan
dosa.”

B. Hukum Amal Riya’


Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya,
karena memiliki dampak negatif yang luar biasa. Rasulullah saw.
bersabda:
“Cukuplah kejelekan seseorang jika dia menginginkan agar
orang-orang memberikan acungan jempol atas kebaikan dirinya,
baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, kecuali bagi orang-
orang yg mendapatkan pemeliharaan Allah.” (HR. Baihaqi)

41
http://pustaka-indo.blogspot.com

Riya’ bisa menggugurkan dan menghapuskan setiap amal


saleh yang telah kita laksanakan. Allah swt. telah memperingatkan
bahaya dari berbuat riya’ ini dalam firman-Nya:

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus


amalmu.” (QS. az-Zumar: 65)

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasan-


nya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mere-
ka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di
akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan?” (QS. Hud: 15-16)
Suatu amal baik bisa jadi merupakan amal saleh di mata
manusia, namun karena mengandung unsur riya’, maka di hadapan
Allah amalan-amalan baiknya tiada bernilai, ibarat batu yang licin
yang tiada berbekas.
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu batalkan sede-
kah kamu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan
penerima, seperti orang yang membelanjakan hartanya karena
riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari

42
http://pustaka-indo.blogspot.com

kemudian. Perumpamaan mereka seperti batu yang licin yang


di atasnya tanah lalu hujan lebat menimpanya maka ia menjadi
bersih. Mereka tidak memperoleh apapun dari apa yang mereka
usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”
(QS. al-Baqarah: 264)
Pada ayat di atas, Allah swt. memberitakan akibat amalan
sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si pene-
rima, maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’.
Yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah Ta’ala.
Mengapa amal riya’ tidak diterima oleh Allah Ta’ala? Ka-
rena orang yang riya’ sesungguhnya tidak mengharapkan ridha
dan pahala dari Allah. Ia telah menggantikan ridha Allah dengan
mengharapkan ridha dan balasan dari manusia. Ia lebih ingin amal-
amalnya disaksikan oleh manusia daripada disaksikan oleh Allah. Ia
lebih mengharapkan pujian dan balas budi manusia daripada meng-
harapkan berkat dan karunia dari Allah. Maka, di hari pembalasan
nanti, Allah Ta’ala tidak sudi memberikan ganjaran apapun dari
amal-amalnya. Dan kepada mereka yang riya’ diminta agar pergi dan
meminta ganjaran kepada manusia-manusia yang dulu ia mengha-
rapkan ridha dari mereka. Rasulullah saw. dalam sabdanya menjelas-
kan:
“Ketika semua orang mendapatkan pembalasan amal saleh-
nya. Allah berfirman kepada orang yang suka riya’ dalam amalnya,
‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu jadikan riya’ atas
mereka, dan lihatlah apakah kamu dapat menemukan balasan dari
mereka!’” (HR. Ahmad bin Hambal)
Suatu ketika seseorang menemui Rasulullah saw. dan ber-
tanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berpe-
rang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia menda-

43
http://pustaka-indo.blogspot.com

patkan pahala? Rasulullah saw. menjawab, “Ia tidak mendapatkan


apa-apa.” Orang tadi mengulangi pertanyaannya tiga kali, dan Ra-
sulullah saw. pun tetap menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-
apa.” Lalu Beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa taala tidak mene-
rima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni kepada-Nya dan
mengharap wajah-Nya.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad
bagus).
Sesungguhnya, segala amalan itu tergantung pada niatnya.
Bila suatu amalan diniatkan ikhlas karena Allah swt., maka amalan
itu akan diterima oleh Allah Ta’ala. Begitu juga sebaliknya, bila suatu
amalan diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin me-
raih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan dite-
rima oleh Allah swt. Hadis Nabi saw. menjelaskan:
“Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatinya. ‘Barangsiapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu
karena kesenangan dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang
wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya)
Kita tahu bahwa amal-amal seperti berjihad, puasa, mem-
baca al-Qur’an, menuntut ilmu agama, sedekah, dan lain sebagainya,
itu semua adalah amal shaleh yang memiliki pahala besar dan dapat
meninggikan derajat seorang hamba di sisi Allah.
Jihad fi sabilillah adalah merupakan amalan yang mulia
dan tinggi nilainya di mata Allah, bahkan sebagaimana disabdakan
oleh Rasulullah saw.:

44
http://pustaka-indo.blogspot.com

‘’Dan puncak agama adalah jihad fi sabilillah.’’ (HR Tir-


midzi)
Dan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
‘’Dan janganlah kamu mengatakan bahwa orang yang
gugur di jalan Allah itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya.’’ (QS. al-Baqarah: 154)
Akan tetapi, tatkala amalan agung ini telah ternodai
oleh niat selain Allah, maka ia bukan lagi jihad yang membuahkan
pahala dan membawa kemuliaan. Dalam sebuah hadis yang diriwa-
yatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan sahabat Abu Musa al-
Asy’ari, ia berkata, “Seorang Badui datang kepada Rasulullah saw.
dan bertanya, ‘’Wahai Rasulullah, seseorang berperang karena
harta rampasan, seseorang berperang karena ingin terkenal, dan
seseorang berperang agar dilihat oleh manusia. Siapakah yang di
jalan Allah?’’ Maka Rasulullah menjawab,
‘’Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat
Allah, maka ia berada di jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Menuntut ilmu agama adalah perbuatan yang disukai
Allah swt. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
“Sesungguhnya Allah Azza wa jalla, para malaikat-Nya,
penduduk langit dan bumi, hingga semut di lubangnya dan hingga
ikan di lautan, mereka semua mendoakan pada orang yang meng-
ajarkan kebaikan pada manusia.” (HR. Tirmidzi)
Namun, jika seseorang mencari ilmu agama dengan tu-
juan riya’, misalnya agar menjadi terkenal dan memiliki nama baik
di kalangan manusia, maka amalnya tersebut akan sia-sia dan ia akan
merugi.

45
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari


wajah Allah Azza wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali
untuk meraih kesenangan dunia dengan ilmu itu, ia tidak akan men-
dapat aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dengan
sanad yang sahih)
Tidak saja amalnya orang yang riya’ tertolak dan tidak
diterima Allah. Bahkan Allah swt. telah memberikan peringatan
keras dan mengancam kesudahan yang akan dialami orang-orang
yang berbuat riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak.
Allah swt. berfirman:
“Wail (kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu
orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang ber-
buat riya’, … “ (QS. al-Maa’uun: 4-7)
Kita harus selalu ingat dan waspada, karena mungkin saja
dan bisa jadi amal saleh yang dilakukan seseorang justru bukannya
membuahkan pahala dan keridhaan Allah untuknya, tapi malah
menjadi penyebab kemurkaan-Nya dan kecelakaanya di akhirat
kelak. Dan itu bisa terjadi dikarenakan amal saleh itu dilakukan atas
dasar niat riya’.
Perhatikan peringatan yang disebutkan hadits di bawah ini:
‘’Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili oleh
Allah adalah seorang yang mati syahid (di mata manusia), maka
orang ini didatangkan (menghadap Allah), diberitahukan kepadanya
nikmat-nikmatnya dan ia pun mengetahuinya. Maka Allah bertanya
kepadanya, ‘’Apa yang engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?’’
Maka ia menjawab, ‘’Sungguh aku telah berperang karena Engkau,
sehingga aku mati syahid.’’ Maka Allah berfirman, ‘’Engkau dusta.
Akan tetapi, engkau berperang supaya dikatakan pemberani, dan

46
http://pustaka-indo.blogspot.com

pujian itu telah engkau dapatkan,’’ kemudian orang ini diperin-


tahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.
Kemudian orang yang mempelajari ilmu dan mengajar-
kannya serta membaca al-Qur’an, maka orang ini didatangkan (meng-
hadap Allah), maka diberitahukan kepadanya nikmat-nikmat-
Nya, dan iapun mengetahuinya. Maka Allah bertanya kepadanya,
‘’Apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat tersebut?’’ Orang
ini menjawab, ‘’Sesungguhnya aku telah mempelajari ilmu dan meng-
ajarkannya, dan aku membaca al-Qur’an karena Engkau.’’ Maka
Allah berfirman, ‘’Engkau berdusta, akan tetapi engkau belajar
ilmu agar dikatakan alim dan membaca al-Qur’an supaya dikatakan
qarri’, dan pujian itu telah engkau dapatkan.’’ Kemudian orang
ini diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.
Kemudian orang yang diberi keluasan rezeki oleh Allah,
maka Allah memberikan kepadanya berbagai macam harta. Maka
orang ini didatangkan (menghadap Allah). Diberitahukan kepadanya
nikmat-nikmat-Nya, dan ia pun mengetahuinya. Maka Allah berta-
nya kepadanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dalam nikmat
tersebut?’’ Orang ini menjawab, ‘’Tidaklah aku meninggalkan satu
jalan yang Engkau cintai atau diinfakkan di dalamnya, kecuali aku
menginfakkan di jalan tersebut karena Engkau,’’ maka Allah berfir-
man, ‘’Engkau dusta, akan tetapi engkau berinfak supaya dikatakan
dermawan, dan pujian itu telah dikatakan.’’ Kemudian orang ini
diperintahkan agar dicampakkan wajahnya ke dalam api neraka.”
(HR. Muslim)
Apa yang menyebabkan tiga orang ini dicampakkan Allah
ke dalam neraka Jahannam? Bukankah mereka telah melakukan
amalan-amalan yang mulia? Bukankah mereka telah bersusah payah

47
http://pustaka-indo.blogspot.com

melakukannya? Tiada lain karena mereka melakukan semua itu


bukan karena Allah, tapi karena ingin dipandang oleh manusia.

C. Amal yang Tercampuri Riya’


Jika amalan yang dilakukan karena tujuan riya’ semata
menjadi tertolak dan terhapus pahalanya, lalu bagaimana jika suatu
amal yang tercampuri niat riya’?
Amalan yang ditujukan bagi Allah swt. dan disertai riya’
dari asalnya, maka amalan seperti itu batil dan terhapus (tidak men-
dapatkan pahala apa pun di sisi Allah, bahkan berdosa). Misalnya
seseorang hendak mengerjakan shalat sunat, lalu datang seseorang
yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyuk ka-
rena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut ada dari awal
hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk menghilang-
kannya, maka amalannya tersebut menjadi terhapus.
Rasulullah saw. bersabda:
“Allah berfirman, ‘Aku adalah yang paling tidak butuh ke-
pada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuk-
Ku lantas ia mensyarikatkan amalannya tersebut (juga) kepada
selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadis dari Abu Umamah al-Bahili, dia
berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan ber-
tanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang sese-
orang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia di-
sebut-sebut oleh orang lain?’ Maka Rasulullah pun menjawab,
‘Dia tidak mendapatkan apa-apa.’ Orang itu pun mengulangi per-
tanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab, ‘Dia tidak menda-
patkan apa-apa.’ Kemudian Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah

48
http://pustaka-indo.blogspot.com

tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu di-
lakukan ikhlas karena-Nya.’” (HR. Abu Daud dan Nasai)
Maka, perkara apa saja yang merupakan perkara agama
Allah, jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan meneri-
manya. Adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan
kepada selain Allah (siapapun juga ia), maka Allah tidak akan mene-
rimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang disarikatkan,
Dia hanya menerima amalan agama yang khalis (murni) untuk-
Nya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut
kepada pelakunya, bahkan Allah memerintahkannya untuk meng-
ambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syari-
katkan.
Ketika kita melakukan suatu amal, mungkin saja kita bisa
terhindar dari niatan riya’ semata. Karena, sebagai seorang mukmin
tentunya kita selalu mendambakan dan merindukan pahala dari Allah.
Sewaktu kita mengerjakan ibadah seperti shalat sunat, membaca
al-Qur’an atau berzikir, kita senantiasa berharap agar amal saleh
kita itu diterima di sisi Allah swt. Di kala kita bersedekah atau mem-
bantu orang lain, tentu terbersit di hati kita niatan agar mendapatkan
pahala dan keridhaan Allah.
Tapi, apakah niat baik kita itu sejak awal tidak ternodai
oleh riya’ atau sum’ah? Itulah masalah sulit yang seharusnya menjadi
perhatian kita. Karena jika kita mencampuri dengan tujuan riya’
dalam amal saleh yang kita lakukan, maka berarti kita telah berbuat
kesyirikan atau menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya.
Sedangkan Allah tidak menerima amal yang disekutukan.
Oleh sebab itulah, maka Rasulullah saw. sangat khawatir
umatnya terjangkit penyakit ini. Beliau bersabda,

49
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu sekalian


adalah syirik yang paling kecil.” Sahabat bertanya: “Apakah syirik
yang paling kecil itu?” Rasul menjawab,”Syirik yang paling kecil
adalah riya’.” (HR Ahmad bin Hambal)
Mengapa Beliau sangat takut dan khawatir terhadap riya’
atau syirik kecil ini? Karena jika syirik besar atau yang dilakukan
secara terang-terangan, itu sudah jelas dosa besar, sehingga umat
Islam bisa menghindarinya dengan mudah. Tapi lain halnya dengan
syirik kecil atau riya’, maka sedikit sekali umat Islam yang bisa ter-
lepas darinya.
Syidad bin Aus ra. pernah berkata, “Suatu hari saya meli-
hat Rasulullah saw. sedang menangis, lalu saya pun bertanya kepada
Beliau, “Ya Rasulullah, mengapa Anda menangis?”
Sabda Rasulullah saw., “Ya Syidad, aku menangis karena
khawatir terhadap umatku akan perbuatan syirik. Ketahuilah bahwa
mereka itu tidak menyembah berhala tetapi mereka berlaku riya’
dengan amalan perbuatan mereka.”
Rasulullah saw. bersabda lagi, “Para malaikat penjaga akan
naik membawa amal perbuatan para hamba dari puasanya, shalatnya,
dermanya dan sebagainya, dengan suara seperti suara lebah dan
mereka mempunyai sinar seterang matahari dan bersama mereka
itu 3.000 malaikat dan mereka membawa amal-amal itu ke langit
ketujuh. Sesampainya di pintu langit, malaikat penjaga pintu langit
berkata kepada para malaikat penjaga yang membawa amal-amal
hasil dari perbuatan riya’, ‘Berdirilah kamu semua dan pukulkan-
lah amal perbuatan ini ke muka pemiliknya dan semua anggotanya
dan tutuplah hatinya, sungguh saya menghalangi amal ini untuk
sampai kepada Tuhan. Setiap amal perbuatan yang tidak dikehen-

50
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

daki untuk Tuhan, maka amal itu untuk selain Allah (membuat se-
suatu amal bukan karena Allah). Berlaku riya’ di kalangan ahli fiqh
adalah karena inginkan ketinggian posisi, untuk kemudian supaya
mereka menjadi sebutan. Di kalangan para ulama terjadi pula
riya’ untuk menjadi populer di kota dan di kalangan umum. Allah
swt. telah memerintahkan agar saya tidak membiarkan amal-amal
yang bukan untuk Allah melewati saya.
Tiba giliran malaikat penjaga yang membawa amal orang-
orang saleh. Amal-amal itu kemudian dibawa oleh malaikat di langit
sehingga terbuka tabir dan penghalang dan sampai kepada Allah
swt. Mereka berhenti di hariban Allah dan memberikan persaksian
terhadap amal orang tersebut yang betul-betul saleh dan ikhlas ka-
rena Allah. Kemudian Allah swt. berfirman, “Kamu semua adalah
para malaikat Hafazdah (malaikat penjaga) pada amal-amal per-
buatan hamba-Ku, sedang Aku-lah yang mengawasi dan menge-
tahui hatinya, bahwa sesungguhnya, jika dia menghendaki amal
ini bukan untuk-Ku, laknat para malaikat dan laknat segala sesua-
tu di langit baginya.”

D. Amal yang Disertai Niat Lain Selain Riya’


Seseorang beribadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt. sekaligus menyertakan tujuan-tujuan duniawi yang ingin
dihasilkannya. Di samping bermaksud ibadah, ketika bersuci sese-
orang bermaksud menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran-
kotorannya. Ketika mengerjakan shalat dia bermaksud mengolah
dan menggerakkan tubuh. Tatkala berpuasa dia juga bermaksud me-
langsingkan badan dan mengurangi kegemukan. Sewaktu menu-
naikan haji dia bermaksud dapat melihat syiar-syiar Islam dan para
jamaah haji. Yang seperti ini tidak sampai menghapuskan pahala

51
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

ibadahnya secara keseluruhan, hanya saja dapat mengurangi pahala


ikhlasnya. Dan apabila keinginannya ini lebih mendominasi daripada
niat beribadah, maka dia kehilangan kesempurnaan pahala, tetapi
tidak menjadikannya berdosa atau maksiat, sebagaimana firman
Allah swt.
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Rabbmu?” (QS. al-Baqarah: 198)
Misalnya lagi orang yang jihad fi sabilillah hanya karena
Allah dan karena menghendaki harta rampasan perang, maka amalan
seperti ini berkurang pahalanya, dan tidak sampai batal dan ter-
hapus. Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada seorang pun yang berjihad di jalan Allah kemu-
dian mendapatkan ghanimah melainkan telah menyegerakan dua
pertiga pahala mereka di akhirat dan tersisa bagi mereka sepertiga-
nya, dan jika tidak mendapatkan ghanimah maka mereka menda-
patkan pahala yang sempurna.”
Tapi dikhawatirkan jika niat selain ibadah yang lebih men-
dominasi, dia tidak mendapatkan pahala di akhirat, tetapi pahala-
nya adalah apa yang dia dapatkan di dunia. Itu karena ia telah men-
jadikan ibadah, yang merupakan tujuan tertinggi, sebagai wasilah
untuk mendapatkan dunia yang hina.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa seorang
lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki ingin berjihad
dan juga ingin mendapatkan bagian dari perkara dunia? Nabi saw.
menjawab, “Dia tidak mendapat pahala.” Orang itu mengulangi
pertanyaannya sebanyak tiga kali dan Nabi saw. (tetap) menja-
wab, “Dia tidak mendapat pahala.” (HR Abu Dawud)

52
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada hadis lainnya beliau saw. bersabda,


“Barangsiapa berperang di jalan Allah dan tidak ada niat
kecuali belenggu kaki unta (barang ghanimah), maka baginya apa yang
diniatinya.” (HR. Imam Ahmad, Al-Hakim dan Nasa’i)
Beliau saw. juga telah bersabda,
“Barangsiapa berhijrah untuk mendapatkan kepentingan
dunia atau wanita yang ingin dia nikahi, maka (pahala) hijrahnya
(sekadar) apa yang dia hijrahi.”
Kemudian apabila kedua niat tersebut sama, tidak ada
yang lebih mendominasi, baik niat beribadah maupun niat selain
beribadah, maka hal ini menjadi masalah yang diperselisihkan (me-
merlukan penelitian). Namun, yang lebih dekat pada kebenaran
adalah bahwa dia tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang
yang beramal untuk Allah dan juga untuk selain-Nya.
Lalu jika kita bertanya, apa timbangan untuk dapat menen-
tukan bahwa keinginan kita kepada beribadah lebih mendominasi
daripada keinginan kita pada yang selainnya? Timbangannya adalah
jika kita tidak peduli dengan tujuan selain ibadah, baik itu dapat
kita raih atau tidak. Maka hal itu menunjukkan bahwa niat beriba-
dah lebih mendominasi. Begitu pula sebaliknya?

E. Riya’ di Tengah Amal


Bagaimana jika riya’ tersebut muncul di tengah pelaksanaan
ibadah. Artinya yang menjadi motivator awal sebenarnya mengha-
rapkan pahala dari Allah, namun kemudian di tengah jalan terbersit
riya’.

53
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:


1. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada
hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang
bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya
seperti seseorang yang ber-shadaqah dengan ikhlas sebesar
100 ribu, kemudian dia melihat di dompet masih ada sisa, lalu
dia tambah shadaqah-nya 100 ribu kedua namun dicampuri
riya’. Nah dalam kondisi ini, 100 ribu pertama sah dan berpa-
hala sedangkan 100 ribu yang kedua gugur.
2. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan
dengan bagian awalnya, maka hal ini juga terbagi dalam dua
keadaan:
· Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali
tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh
untuk tetap ikhlas sampai ibadahnya selesai, maka bisikan
riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai
pahala ibadah tersebut. Sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang
terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau
diucapkan.” (HR. al-Bukhari)
Contohnya seperti seseorang yang shalat dua rakaat dan
sejak awal ia telah ikhlas karena Allah semata. Kemudian
pada rakaat kedua terbersitlah riya’ di hatinya lataran
dia sadar ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun
ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlas karena
Allah semata. Nah, yang demikian ini maka shalatnya tidak
rusak dan Insya Allah dia tetap akan mendapatkan pahala
shalatnya.

54
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

· Pelakunya tidak berusaha melawan dan menyingkirkan


riya’ yang muncul, bahkan larut dan terbuai di dalamnya.
Yang demikian ini maka amalnya rusak dan pahala ibadah-
nya terhapus.
Contohnya seperti seseorang yang shalat maghrib ikhlas
karena Allah semata. Lalu pada rakaat yang kedua muncul
riya’ di hatinya. Nah, yang demikian ini kalau dia hanyut
dalam riya’-nya dan tidak berusaha melawan, maka gugur-
lah pahala shalatnya.
Akan tetapi, diharapkan dia tetap mendapatkan pahala
dengan niatnya yang pertama sebelum dimasuki oleh riya’.

M. Riya’ Setelah Amal


Artinya riya’ tersebut muncul setelah ibadah itu selesai
dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama
sekali terhadap ibadahnya tadi.
Namun perlu dicatat, jika apa yang dilakukan adalah se-
suatu yang mengandung benih permusuhan, seperti misalnya al-
mannu wal adzaa (mengungkit-ungkit dan menyakiti) dalam ber-
shadaqah, maka yang demikian ini akan menghapus pahalanya.
Allah swt. berfirman:
“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian
dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima)
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(QS. al-Baqarah: 264)
Bukanlah termasuk riya’ seseorang yang merasa senang
apabila ibadahnya diketahui orang lain setelah ibadah itu selesai
ditunaikan. Dan bukan termasuk ke dalam riya’ juga apabila sese-

55
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

orang merasa senang dan bahagia dalam menunaikan suatu ketaatan,


bahkan yang demikian ini termasuk bukti keimanannya. Nabi saw.
bersabda:
“Barangsiapa yang kebaikannya membuat dia senang serta
kejelekannya membuat dia sedih, maka dia adalah seorang mukmin
(sejati).” (HR. at-Tirmidzi)

G. Amal yang Menyebabkan ‘Ujub


Asal makna kata ‘ujub dari segi bahasa adalah kagum, takjub,
dan heran. Orang yang ‘ujub berarti orang yang mengagumi diri
sendiri, yaitu ketika ia merasa bahwa dirinya memiliki kelebihan
tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ibnul Mubarok ra. berkata,
“Perasaan ‘ujub adalah ketika engkau merasa bahwa dirimu memi-
liki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain.”
Imam al-Ghazali menuturkan, “Perasaan ‘ujub adalah
kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya
sendiri, tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Allah.”
Sufyan ats-Tsauri ra. meringkas definisi ‘ujub sebagai berikut,
“Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah diri-
nyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi
ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi
saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya
ketimbang dirinya.”
Orang yang ‘ujub menganggap besar nikmat dan cende-
rung kepadanya tetapi lupa menisbatkannya kepada Pemberi nikmat.
Jika di samping itu dia merasa punya hak di sisi Allah dan bahwa
dia punya posisi di sisi-Nya sehingga dengan amalnya ia yakin men-
dapat kemuliaan di dunia dan menganggap tidak mungkin meng-
alami hal-hal yang tidak disukai sebagaimana yang terjadi pada

56
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

orang-orang fasiq, maka hal ini disebut idlal (lancang) dengan amal
perbuatannya.
‘Ujub dapat menjangkiti siapa pun. Termasuk juga ahli dunia,
yakni dengan berbangga diri dan merasa lebih unggul atas segala ke-
pemilikan dunia yang dipunyainya, mulai dari bentuk fisik, kecerdas-
an, keluarga, anak, harta benda, rumah dan berbagai perhiasan
dunia lainnya. Dalam al-Qur’an, Allah swt. mengabarkan tentang
orang yang memiliki dua kebun yang bersikap ‘ujub:
“dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata
kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia,
“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku
lebih kuat. “ (QS. al-Kahfi: 34)
Ada beberapa hal yang bisa menimbulkan perasaan ‘ujub
di hati setiap orang, di antaranya adalah:
1. Banyak dipuji orang.
Pujian seseorang secara langsung kepada orang lain dapat
menimbulkan perasaan ‘ujub dan egois pada diri orang yang
dipujinya. Makin lama perasaan itu akan menumpuk dalam hati-
nya, maka ia akan semakin dekat kepada kebinasaan dan kegagalan
sedikit demi sedikit. Karena orang yang mempercayai pujian itu
akan selalu merasa bangga dan dirinya punya kelebihan, sehingga
menjadikannya malas untuk berbuat kebajikan.
Rasulullah saw. pernah terkejut ketika melihat seseorang
yang memuji orang lain secara langsung, sampai-sampai Beliau
bersabda, “Sungguh dengan pujianmu itu, engkau dapat membi-
nasakan orang yang engkau puji. Jikalau ia mendengarnya, niscaya
ia tidak akan sukses.”

57
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

2. Banyak meraih kesuksesan


Seseorang yang selalu sukses dalam meraih cita-cita dan
usahanya akan mudah dirasuki perasaan ‘ujub dalam hatinya,
karena ia merasa bisa mengungguli orang lain yang ada di sekitar-
nya dan tidak menyadari bahwa segala sesuatu yang diraihnya
adalah atas kehendak Allah.
3. Menduduki kekuasaan
Setiap penguasa biasanya mempunyai kebebasan bertindak
tanpa ada protes dari orang yang ada di sekelilingnya, dan banyak
orang yang kagum dan memujinya. Fenomena semacam ini
akan menyebabkan hati seseorang mudah dimasuki perasaan
‘ujub. Seperti kisah Raja Namrud yang menyebut dirinya seba-
gai Tuhan, karena dia menjadi seorang penguasa. Dan seandai-
nya di lemah dan miskin, tentulah tidak akan menyebut dirinya
sebagai Tuhan.
4. Terkenal di kalangan orang banyak
Terkenal di kalangan orang banyak merupakan cobaan
besar bagi diri seseorang. Karena semakin banyak yang menge-
nalnya, maka dia semakin kagum terhadap dirinya sendiri. Semua-
nya itu akan memudahkan timbulnya perasaan ‘ujub pada hati
seseorang.
5. Mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi
Orang yang mempunyai intelektualitas dan kecerdasan
yang lebih, biasanya merasa bangga dengan dirinya sendiri dan
egois, karena merasa mampu dapat menyelesaikan segala perma-
salahan kehidupannya tanpa campur tangan orang lain. Kondisi
seperti itu akan melahirkan sikap otoriter dengan pendapatnya
sendiri. Tidak mau bermusyawarah, menganggap bodoh orang-

58
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

orang yang tak sependapat dengannya, dan melecehkan pen-


dapat orang lain.
6. Memiliki kesempurnaan fisik
Orang yang memiliki kesempurnaan fisik seperti suara
bagus, cantik, postur tubuh yang ideal, tampang ganteng dan
sebagainya, lalu ia memandang kepada kelebihan dirinya dan
melupakan bahwa semua itu adalah nikmat Allah yang bisa lenyap
setiap saat, berarti orang tersebut telah kemasukan sifat ‘ujub.
Dalam konteks amal, orang yang ‘ujub akan merasa bahwa
amalnyalah yang paling baik dan yang akan diterima oleh Allah.
Orang yang ‘ujub mengira amal dan ketaatannya sudah besar
dan menyebut-nyebut dengan kegum perbuatannya tersebut.
Orang yang ‘ujub akan kagum dengan dirinya sendiri dan iba-
dahnya serta merasa aman dari makar Allah dan siksa-Nya. Orang
yang ‘ujub juga mengira dirinya mendapat tempat di sisi Allah
serta tidak mau mendengar nasihat orang yang menasihati dan
peringatan orang yang memperingati.
‘Ujub bisa membahayakan amal ketaatan seorang hamba,
karena ia bisa menjadikan pelakunya sombong. Seseorang yang
merasa ‘ujub dengan amal kebajikannya, maka pahalanya akan
gugur dan amalannya akan sia-sia. Karena Allah tidak akan mene-
rima amalan kebajikan sedikitpun kecuali dengan ikhlas karena-
Nya. Firman Allah dalam al-Qur’an:
“Janganlah kamu semua membatalkan (yakni merusakkan)
sedekahmu dengan membangga-banggakan serta cercaan (yang
menyakiti hati orang yang diberi).” (QS. al-Baqarah: 264)
Di sini membangga-banggakan diri adalah hasil dari meng-
anggap besar pada sesuatu yang disedekahkan, padahal meng-
anggap besar atas suatu pemberian adalah ‘ujub.

59
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Rasulullah saw. dalam sabdanya menjelaskan:


“Tiga hal yang membinasakan: kekikiran yang diperturut-
kan, hawa nafsu yang diumbar dan kekaguman seseorang pada
diri-nya sendiri.” (HR. Thabrani)
“Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia menanti
rahmat Allah. Sedang seseorang yang merasa ‘ujub, maka ia
menanti murka Allah.” (HR. Baihaqi)
‘Ujub adalah penghalang terbesar kesempurnaan dan ke-
celakaan terbesar di dunia dan akhirat. Betapa banyak nikmat
berubah menjadi siksa karena ‘ujub. Betapa banyak orang mulia
terhina karena ‘ujub. Betapa banyak orang kuat menjadi lemah
karena ‘ujub. ‘Ujub adalah penyakit yang membahayakan, dan
menimbulkan petaka bagi pelakunya. Oleh karena itu, setiap
muslim harus selalu mewaspadainya dan takut kepadanya.

60
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 3
Janji Surga Bagi Orang yang Ikhlas

M anakala ikhlas telah tertanam dalam pengamalan suatu


ketaatan, sedangkan ketaatan itu murni hanya dalam rangka
mencari wajah Allah saja, maka kita dapat menyaksikan bahwa pasti
Allah akan memberi balasan yang besar terhadap orang-orang yang
ikhlas meskipun ketaatannya itu sedikit.
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (QS. asy-Syuura: 20)
Jika seorang hamba benar-benar mengikhlaskan tujuannya
hanya untuk mencari keridhaan Allah dan kampung akhirat, maka
Allah akan meridhainya dan memberinya kebahagiaan dunia dan
akhirat. Firman-Nya:

“Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami


berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(QS. al-Imran: 145)

61
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Imam Hasan ra. berkata tentang penggalan ayat ‘Dan


Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’,
(artinya) Allah akan memberikan kepada seorang hamba dengan
niatnya (niat akhirat) (pahala) dunia dan akhirat.
Pada ayat di atas Allah berjanji akan memberikan balasan
kepada orang-orang yang bersyukur. Ini berarti bahwa orang yang
niat dan motivasinya akhirat akan dicatat sebagai orang-orang yang
bersyukur. Sedangkan orang yang bersyukur akan ditambah pahala-
nya dan rezekinya. Sebagamana firman Allah pada ayat lainnya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu …’” (QS. Ibrahim: 7)
Bersyukur itu indah dan nikmat. Karena hanya dengan
bersyukur kita bisa menikmati nikmat dan karunia yang ada dan
tersedia. Jika kita tidak bersyukur, maka nikmat sebesar apapun tidak
pernah akan bisa membuat kita senang, suka, dan gembira. Orang
yang bersuyukur akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Yakni
pahala di dunia berupa kebahagiaan dan bertambahnya nikmat du-
nia. Dan pahala di akhirat yang sudah tentu akan lebih besar lagi.
Jadi, orang yang tujuan dan keinginannya akhirat, maka
ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Dalam
sebuah hadis Qudsi, Allah swt. berfirman yang artinya:
“Wahai anak Adam, beribadah-lah kepada-Ku sepenuh-
nya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi
kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi
Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi
kedua tanganmu dengan kesibukan.” (HR. al-Hakim)

62
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pada hadis Qudsi yang lainnya Allah swt. berfirman:


“Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan keka-
yaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-
caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi
kebutuhanmu (kepada manusia).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan al-Hakim)
Perhatikan, pada hadis yang mulia ini Allah telah menjan-
jikan kepada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan
dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepada-
Nya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah
Allah mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya
dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua
siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak ber-
ibadah kepada-Nya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membu-
tuhkan kepada manusia.
Alangkah ruginya usaha kita jika hanya diniatkan untuk
dunia semata. Untuk itulah pentingnya meluruskan niat dalam ber-
ibadah. Sungguh Allah telah mengingatkan kepada kita dalam salah
satu firman-Nya, bahwa bagi-Nya ada dua pahala, dunia dan akhirat,
dan Dia memerintahkan kepada hamba-Nya agar memilih keduanya:
“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka
ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisa’: 134)
Kalau kita berniat murni melaksanakan perintah Allah,
maka Allah akan membalas di dunia dan juga di akhirat. Inilah ke-
lebihan kita sebagai orang Islam, karena dengan hanya melaksana-
kan satu perbuatan baik saja, jika murni karena Allah, maka untuk

63
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

dunianya pasti dapat dan akhiratnya mendapat pahala keridhaan


Allah. Bukankah kehidupan kita yang sebenar-benarnya adalah akhirat?
Dunia ini sekedar tempat singgah untuk mencari bekal pahala
akhirat, karena kita ini makhluk yang diperjalankan melalui lima alam,
yaitu: alam ruh, alam janin, alam dunia, alam kubur, dan alam akhirat.
Alam akhirat ada dua pilihan, yakni surga dan neraka. Kesempatan
menentukan pilihan itu ada pada saat ini. Jika kita berniat ikhlas
karena Allah, maka ibarat kita akan mendapatkan sekeping uang lo-
gam yang dapat dua sisi. Dengan satu niat, tapi insya Allah dapat
dua keuntungan sekaligus.

A. Kebahagiaan dan Kepuasan yang Tak Terputus


karena Tidak Mengharapkan Imbalan Apapun
dari Manusia
Setiap manusia pasti menginginkan dan mendambakan ke-
hidupan yang bahagia, menikmati hidup ini tanpa merasa terbebani
oleh berbagai masalah. Itulah di antara surga dunia yang selalu kita
impikan. Dan hal ini hanya akan dirasakan oleh orang yang sungguh-
sungguh berupaya ikhlas, menjaga setiap amalnya, baik amal ibadah
maupun amal saleh dalam kehidupan bermasyarakatnya, hanya bagi
Allah.
Mengapa kebahagiaan sejati itu hanya bisa dinikmati oleh
orang yang ikhlas? Karena betapapun baiknya perbuatan seseorang,
jika hal itu tidak dilandasi atas dasar keikhlasan, maka yang akan
muncul kemudian adalah rasa kecewa, menyesal, dan bahkan sakit
hati. Sebagian orang mampu melakukan perbuatan baik, tetapi
bukan karena mereka takut kepada Allah, melainkan ingin menda-
patkan kehormatan dan pujian di mata manusia. Mereka mempunyai
tujuan untuk mendapatkan balasan dan keuntungan dunia, besar

64
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

maupun kecil. Sebagai contoh, seseorang yang mengirimkan barang-


barang dan pakaiannya untuk orang-orang yang kehilangan tempat
tinggal karena bencana alam. Ia mungkin saja membantu saudaranya
atau bersikap baik, sayang, dan baik budi. Ia mungkin juga ramah,
lembut, dan memahami karyawannya. Ia mungkin hormat dan penuh
toleransi kepada orang yang lebih tua. Jika perlu, ia bisa saja mengor-
bankan dirinya, ikut serta dalam kegiatan kemanusiaan. Semua itu
adalah perbuatan yang baik. Tapi jika ia tidak ikhlas dalam melakukan-
nya, pasti ujung-ujungnya ia akan kecewa dan merugi.
Seseorang yang riya’, ketika harapan dan keinginannya
tidak terwujud, maka terasa sempitlah kehidupannya dan gelisah
lah hatinya. Sebab, dia tidak mendapatkan ridha Allah dan tidak
memperoleh hasil yang diharapkan dari orang banyak.
Fondasi kebahagiaan orang yang tidak ikhlas sangatlah
rapuh. Hatinya gampang sekali kecewa, bersedih, dan gelisah, karena
semua perbuatannya selalu dikaitkan dengan kepentingan dirinya.
Ia tak senang karena tak diberi, senang karena diberi, membenci karena
dibenci, mencintai karena dicintai, memukul karena dipukul, tak
menghormati karena tidak dihormati, dan seterusnya.
Hatinya menjadi selalu gelisah dan tidak tenang karena
ia diperbudak oleh penantian mendapat penghargaan ataupun im-
balan dari makhluk. Sedangkan penantian adalah hal yang tidak
nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal yang dapat me-
resahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang sebalik-
nya, caci-maki.
Tentang hal ini hadis Nabi saw. menyebutkan:
“Celakalah para materialis (penghamba dinar, dirham, dan
sutera). Senang jika diberi, dan tak senang jika tak diberi.” (HR. al-
Bukhari)

65
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Berbeda dengan hamba yang ikhlas, ia tidak pernah meng-


harapkan imbalan atau balasan apapun dari manusia. Dia melakukan
amal ibadahnya murni hanya karena mengharapkan ridha dan pahala
dari Allah. Ia hanya berpikir dan bergantung kepada Allah swt. Yang
Maha Sempurna, yang akan memberi balasan yang terbaik untuknya.
Ia yakin bahwa setiap perbuatannya tidak ada yang kecil dalam
pandangan Rabb-nya.
Sayyidina Ali ra. pernah berkata, “Orang yang ikhlas itu
jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima
kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya,
karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi
dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa
tertuju kepada keridhaan Allah semata.”
Karena itu, orang yang ikhlas batinnya akan selalu dipenuhi
oleh kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, dan kepuasan. Ia tidak
bersedih jika orang lain tidak menghargai jerih-payahnya. Tidak akan
risau jika sikapnya atau perilakunya dicela orang lain. Tidak gundah
ketika tangan tulus yang ia ulurkan dibalas dengan tamparan yang
menyakitkan. Dan ia tidak takut atau khawatir bila perbuatannya di-
hujat manusia. Bahkan seandainya semua orang membencinya, ia
tetap dalam pendiriannya, tidak akan pernah peduli dengan semua
itu. Ia tetap asyik dengan kebahagiaan dan keindahan mengharap-
kan ridha dan pahala Allah.
Demikian itu karena tidak pernah terbersit di hatinya ke-
inginan untuk dipuji, dihargai, dihormati makhluk atau meminta
balasan dari mereka. Ringan saja ketika melakukan sesuatu, yang penting
baginya adalah ridha dan berkah Allah. Ia tahu bahwa tugasnya di
dunia ini hanya dua, pertama meluruskan niat hanya demi meraih
cinta Allah, lalu selanjutnya ia harus menyempurnakan ikhtiar agar

66
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

hasil yang diharapkan betul-betul optimal, terbaik yang dapat di-


persembahkannya.
Sehingga ia tidak peduli dengan penghargaan orang lain,
ia tetap bersemangat beramal saleh, baginya yang terpenting, apa
yang dilakukannya mendapatkan ridha Allah. Rezeki baginya adalah
ketika ia mampu berbuat meluruskan niat dan beramal dengan amal
terbaik. Apakah amalnya akan mendapat pujian manusia atau tidak,
itu bukan urusannya. Apakah ia akan diabaikan dan dicela, itu tidak
menjadi perhatiannya. Justru ia takut jika sanjungan manusia akan
membuatnya sombong dan ujub dengan amalnya. Ia berusaha melu-
pakan dan mengabaikan amal baiknya di hadapan makhluk.
Sesungguhnya, yang membuat kesuntukan dan kegelisahan
itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari
simpati mereka, keinginan untuk dipuji dan dihargai, dan keinginan
untuk tidak dicela.
Maka, tidak usah heran, jika kita tidak ikhlas kita akan banyak
mengalami kekecewaan dalam hidup ini. Orang yang tidak ikhlas akan
banyak tersinggung dan terkecewakan karena ia memang terlalu
banyak berharap kepada manusia. Menginginkan agar orang lain
menghargainya, memujinya, memuliakannya, merelakan dan begi-
tulah seterusnya.
Padahal, membuat manusia rela pada kita itu adalah sesuatu
yang mustahil. Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang
temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berusaha dengan sebenar-
benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan
niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Tabiat untuk mengingkari, membangkang, dan meremeh-
kan suatu kenikmatan adalah penyakit yang umum menimpa manu-

67
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

sia. Kita tak perlu heran dan resah jika mendapatkan mereka meng-
ingkari kebaikan yang pernah kita berikan, mencampakkan budi baik
yang telah kita tunjukkan.
Sungguh orang yang berharap sesuatu pada makhluk, apa-
kah itu imbalan, sanjungan atau ucapan terima kasih, maka ia akan
selalu resah dan capek sendiri. Demikian itu karena memang tabiat
makhluk suka membenci dan iri terhadap orang lain.
Jika kita tidak ikhlas, maka kita ibarat orang yang terpenja-
rakan dan dibelenggu oleh orang lain. Kita tidak merdeka karena
dalam tindakan-tindakan itu, hati kita terbelenggu oleh pujian, appla-
us, dan sikap-sikap orang lain. Kalau tidak mendapat pujian, kita
tak mau melakukannya. Kalau tidak diperhatikan, kita cenderung
berbuat semaunya. Kalau tidak mendapat penghormatan, kita men-
jadi kurang semangat.
Riya’ itu ibaratnya menjual (kemerdekaan) diri kita ditukar
dengan (belenggu) pujian, penghormatan, atau sikap-sikap simpati
lainnya dari orang lain. Betapa kerdilnya diri kita jika demikian. Sungguh
andai saja ada orang lain yang tahu maksud riya’ di hati kita, pasti
tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memuji dan menghor-
mati kita, bahkan mereka akan mencela dan memandang rendah di-
ri kita.
Intinya, puncak kebahagiaan dan kemerdekaan diri hanya
bisa diraih dengan keikhlasan. Kita akan menjadi manusia yang ba-
hagia dan merdeka serta bebas dari segala belenggu jika kita mampu
menjadi orang yang ikhlas. Kita akan senang, puas, dan bahagia
karena kita bisa menghargai amal perbuatan kita sendiri, bukan meng-
harapkan orang lain menghargai perbuatan kita. Silakan, orang mau
tahu atau tidak, mau memuji atau tidak, mau menghormati atau

68
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

tidak, yang penting saya adalah saya, kokoh dengan tindakan dan
pendirian saya. Beginilah kemerdekaan.
Karenanya, biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu, kita
lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yang pasti aman.
Jangan disebut-sebut dan diingat-ingat lagi. Mengingat-ingat dan me-
nyebutnya justru akan mengurangi pahala amal kita. Di samping
akan menyebabkan kita terkena penyakit ‘ujub, cari perhatian dan
simpati orang lain. Dan akhirnya menjadikan kita tidak tenang, ke-
cewa dan sedih karena kita mengharapkan sesuatu yang sangat sulit
untuk diraih.

B. Tidak Diliputi o leh Ketakutan dan Kekhawatiran


Tidak ada orang yang tidak pernah ditimpa ketakutan dan
kekhawatiran. Begitu pula tidak ada orang yang tidak pernah mera-
sakan kebahagiaan dan kegembiraan. Hidup ini senantiasa dipenuhi
oleh berbagai macam keadaan: ada suka dan duka, ada keberhasilan
dan kegagalan, ada pertemuan dan perpisahan, ada terang dan gelap,
ada cinta dan benci, dan begitu seterusnya. Beragam kondisi luar
itu pada akhirnya pasti akan memengaruhi keadaan jiwa dan hati
kita.
Jika kita bertanya, apakah dan siapakah yang menyebab-
kan jiwa ini menjadi takut dan khawatir? Dihantui oleh oleh kege-
lisahan dan keresahan? Takut miskin, takut ditimpa musibah, takut
sakit, takut mati, takut kehilangan harta dan jabatan, takut ditinggalkan
teman atau saudara, takut dicela orang dan berbagai macam takut
lainnya. Jawabnya adalah, diri kita sendirilah yang sebenarnya memun-
culkan perasaan takut itu. Berbagai ketakutan itu bersumber dari
diri kita.

69
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Dan pada kenyataannya, kebanyakan manusia lebih sering


ditimpa ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan, daripada merasa-
kan kebahagiaan dan ketenangan. Memang ketika mendapatkan
kenikmatan dunia, maka ia akan senang dan bahagia, berbangga diri
dan dan cenderung lupa diri. Tapi, sebentar saja kebahagiaan itu
datang, perasaan takut dan khawatir segera datang menghantuinya.
Ketika sedang menggenggam dunia, ia khawatir dunia terlepas darinya.
Ketika menduduki jabatan atau kedudukan, ia takut digeser, diturun-
kan, atau ada orang lain yang menjegalnya. Ketika punya harta, ia
takut kalau sewaktu-waktu ada orang lain yang merampasnya. Ba-
nyak pintu gerbang rumah tertutup rapat di siang hari. Tidak sedikit
pejabat yang rela melakukan tipu daya dan kejahatan. Banyak peda-
gang atau pengusaha yang melakukan hal yang aneh-aneh. Itu
semua adalah di antara bukti bahwa dalam kegembiraan dan kesenang-
an yang mereka dapatkan, mereka selalu dihantui perasaan takut,
khawatir, dan tidak tenang.
Mengapa kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan itu
begitu menguasai dan mendominasi jiwa mereka? Jawabnya hanya
ada satu, yakni karena mereka kurang ikhlas dalam menjalani hidup
ini. Mereka hanya mengarahkan tujuan dan cita-citanyanya pada
kesenangan dunia yang sudah pasti akan sirna dan menghilang. Pan-
dangan mereka hanya tertuju pada harta, jabatan, kepopuleran,
dan gemerlapnya perhiasan dunia. Maka, segala sikap, perilaku, dan
tindakannya hanya akan diperuntukkan untuk memperoleh dunia
dan mengumpulkannya yang sebanyak-banyaknya. Adanya dunia
membuat mereka takut dari kehilangannya. Dan tidak adanya dunia
menjadikan ia bersedih, khawatir, kecewa, dan putus asa. Begitulah,
kehidupan mereka selalu diliputi oleh kabut kegelisahan, kepanikan,
ketakutan, kekecewaan dan berbagai macam hal buruk lainnya.

70
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Allah swt. telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:


“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka se-
sungguhnya baginya penghidupan yang sempit. Dan Kami akan me-
ngumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha:
124)
Kondisi dan keadaan yang demikian ini sangat berbeda de-
ngan orang yang ikhlas. Walaupun orang yang ikhlas juga bisa me-
rasa takut dan gelisah, namun ketakutannya itu tidak akan sampai
menguasai hatinya, menjadikannya hilang kendali. Ia tidak pernah
takut kehilangan dunia, karena ia percaya dan berkeyakinan bahwa
dunia dan segala isinya hanyalah milik Allah. Ia juga tidak akan ber-
sedih jika ditimpa kesulitan dan kemalangan dunia, karena ia yakin
bahwa Allah akan tetap menyayangi dan mengasihinya.
Tidak ada yang ditakutkan dan dicemaskan oleh orang yang
ikhlas selain daripada Allah Tuhannya. Ia hanya takut jika Allah ti-
dak meridhainya, memurkainya, dan menimpakan siksa kepadanya.
Ia hanya khawatir dan gelisah memikirkan bagaimana nasibnya kelak
di hari pembalasan.
Ketakutan orang yang ikhlas itu sebagaimana digambarkan
Allah dalam firman-Nya:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, nis-
caya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. az-Zumar: 23)
Saat mereka mengingat Allah, ingat akan dahsyatnya an-
caman dan siksa-Nya. Hati mereka menjadi bergetar ketakutan.

71
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Jiwa dan pikiran mereka diliputi oleh perasaan takut, khawatir ber-
campur perasaan mengagungkan, memuliakan, dan dan tunduk
kepada-Nya. Kemudian setelah itu, hati mereka menjadi tenang dan
damai. Jiwa dan perasaan mereka berganti menjadi senang, bahagia,
bercampur perasaan penuh harap akan rahmat dan kasih-Nya.
Begitulah, hati orang yang ikhlas, selalu dipenuhi perasaan cemas
dan harap. Cemas pada ancaman siksa Allah. Dan berharap besar
pada rahmat-Nya.
Ketakutannya pada Allah dan hari akhirat benar-benar
akan membuat hatinya menjadi lapang, jiwanya menjadi tenang dan
tenteram. Justru dengan takut kepada Allah, ia tidak akan takut ke-
pada selain-Nya.
Karena, bagaimana mungkin orang yang ikhlas terhadap
Rabb-nya, merasa selalu di sertai-Nya, ia akan takut pada orang lain?
Bagaimana mungkin orang yang sadar bahwa segala sesuatu itu ada
di bawah kekuasaan Allah, lalu akan takut pada orang-orang yang
berada di bawah kekuasaan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang
takut kepada Allah juga takut kepada selain Allah? Padahal Allah
telah berfirman:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan
yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang
musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang ber-
iman.” (QS. al-Imran: 175)
Dan, bagi orang yang ikhlas, tidak ada yang perlu dirisaukan
dari perkara dunia yang menimpanya. Baginya, apa yang datang
atau hilang dari perkara dunia adalah hal kecil yang tidak perlu mem-
buatnya takut dan bersedih. Ia tidak perlu resah dan menyesali atas
apa yang telah terjadi, apalagi meratapi kegetiran-kegetiran kisah

72
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

hidupnya. Yang terpenting dan yang menjadi perhatian utamanya


adalah bagaimana ia bisa menyiapkan bekal untuk episode kehidupan
yang sebenarnya, yakni kehidupan akhirat.
Dunia itu kecil dan hina di mata Allah, sebagaimana sabda
Nabi saw.:
“Seandainya dunia ini di sisi Allah sama nilainya dengan
sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan pernah memberi
minum seorang kafir walau seteguk air.”
Menurut Allah, dunia lebih tidak berharga dari sayap se-
ekor nyamuk. Inilah hakikat nilainya dan timbangannya di sisi Allah.
Lalu mengapa ia harus takut dan resah karenanya.
Pemilik hati yang seperti ini adalah para hamba Allah yang
ikhlas, para kekasih-Nya. Mereka tidak akan pernah ditimpa ketakutan
dan kesedihan, sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada ke-
khawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS. Yunus: 62)
Dalam hidupnya, orang yang ikhlas akan selalu merasa
senang, bahagia, dan gembira. Mengapa? Karena ia punya harapan
besar dan cita-cita yang tinggi. Yakni harapan dan cita-citanya bahwa
kelak ia akan diberi pahala surga dan bisa bertemu dengan Rabb-
nya. Dan ia telah memperjuangkan harapannya itu, berusaha me-
wujudkan cita-citanya tersebut. Ia tidak perlu khawatir dan bersedih
karena Allah pasti akan menepati janji-Nya. Jadi, orang yang ikhlas
itu punya harapan besar yang membuat hidupnya selalu dalam ke-
bahagiaan dan kebermaknaan.
Berbeda dengan orang yang riya’ dan tidak ikhlas, maka ia
tidak punya harapan tinggi yang bisa mambuatnya senang dan
bahagia. Harapannya hanya tertuju pada dunia. Baginya, dunia

73
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

adalah tempat dan tujuan akhir dari semua harapan. Padahal, ha-
rapan dan cita-cita dunia itu belum tentu dapat diperolehnya atau
dinikmatinya. Makanya, tidak mengherankan bila kita sering melihat
mereka adalah orang-orang yang paling gelisah ketika menghadapi
suatu musibah dan paling mudah larut dalam penyesalan saat mala-
petaka merenggut semua milik mereka. Itu semua, tak lain dikarenakan
mereka hanya memandang, memikirkan, mementingkan, dan hanya
berbuat segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dunia yang
sangat singkat, fana, dan tidak bernilai ini. Bahkan seolah-oleh me-
reka tak rela sedikitpun keceriaan dan kegembiraan mereka di dunia
ini terkotori dan terusik oleh hal apapun.
Berkaitan dengan hal ini, seorang ulama salaf pernah mem-
beri wasiat kepada saudaranya, “Bawalah ambisimu ke satu arah
saja, yakni bertemu dengan Allah, bahagia di akhirat, dan damai di
sisi-Nya.
Sungguh tidak ada ambisi yang lebih mulia dan lebih tinggi
selain daripada ambisi yang demikian itu. Yakni ambisi yang digan-
tungkan dan diarahkan pada cita-cita tertinggi nan agung yang be-
gitu indah. Itulah ambisi orang yang ikhlas. Apalah arti sebuah am-
bisi jika hanya tertuju pada kehidupan dunia ini saja. Karena semua
itu hanya akan bermuara pada ambisi yang palsu dan sulit diraih.
Ambisi pada kedudukan, jabatan, emas dan harta, anak-anak, nama
besar, kemasyhuran, istana-istana, dan rumah yang besar yang se-
muanya akan musnah dan pasti kita tinggalkan.
Jibril pernah menasihatkan kepada Muhammad saw., “Hai
Muhammad, hiduplah sesuai yang kamu inginkan, sesungguhnya
kamu pasti mati! Dan cintailah orang yang kamu cintai, sesungguh-
nya kamu pasti akan berpisah dengannya.” (HR. Baihaqi)

74
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Apabila tujuan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia


adalah surga yang kekal abadi, niscaya setiap bencana akan terasa
ringan, berbagai beban kehidupan akan membuat matanya tetap
berbinar, dan semua kesengsaraan hidup tetap dapat dijalani dengan
riang hati.

C. Malaikat Akan Menjadi Penolongnya dan Meng-


Meng-
gembirakannya dengan Janji-Janji Surga
Tentu sebuah anugerah yang teramat besar tatkala hidup
kita di dunia ini selalu dilindungi, dijaga, dan ditolong oleh para
tentara Allah. Yakni para malaikat Allah yang selalu siap menjaga
dan membantu kita, di manapun dan kapanpun Mereka selalu meng-
gembirakan di kala kita bersedih, memberi ketenangan di saat-saat
kita mengalami ketakutan dan kegelisahan, menjadi pendamping
dan penolong di waktu kita butuh pertolongan.
Dan semua perlindungan serta penjagaan itu Allah spesial-
kan kepada para hamba-Nya yang ikhlas. Allah swt. berfirman dalam
al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan
kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:
‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembira-
kanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’”
(QS. Fushshilat: 30)
Ayat di atas melukiskan bagaimana penyertaan khusus
Allah terhadap para kekasih-Nya, yakni dengan cara mengutus ma-
laikat yang selalu menjaga, mengawasi, melindungi, dan menggembira-
kannya.

75
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Makna bahwa para malaikat menjadi penolong orang muk-


min adalah malaikat punya pengaruh pada ruh-ruh manusia dengan
ilham dan mukasyafah keyakinan, sebagaimana syaitan juga mempu-
nyai pengaruh pada ruh dengan menimpakan was-was dan khayalan
batal.
“Sesungguhnya syaitan itu punya suatu bisikan terhadap anak
Adam, begitu pula malaikat juga mempunyai bisikan. Adapun bisikan
syaitan menjanjikan pada keburukan dan mendustakan kebenaran.
Sedangkan bisikan malaikat menjanjikan pada kebaikan dan mem-
benarkan kebenaran. Barangsiapa yang mendapatkan hal itu, ke-
tahuilah bahwa itu dari Allah, lalu memujilah pada-Nya. Dan barang-
siapa menemukan yang lainnya, berlindunglah kepada Allah dari
syaitan.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Baihaqi)
Orang-orang yang istiqamah dan ikhlas, mereka benar-
benar akan merasa bahagia dengan janji-janji baik dari Allah. Malaikat
selalu membisikkan ketenangan dan kegembiraan di hatinya, “Jangan
takut, jangan bersedih, tenanglah dan berbahagialah karena janji
surga Allah pasti ditepati dan telah dekat.”
Orang yang ikhlas yakin bahwa Allah akan mencukupinya,
melindunginya, dan ridha padanya, dan itu disebabkan karena ia
telah mau rela dan ikhlas dengan keputusan-Nya.
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu
dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. al-Anfaal:
64)
Ketika Nabi Musa as. dan para pengikutnya dikejar Fir’aun
dan bala tentaranya, para pengikutnya khawatir dan takut, menyangka
mereka akan dapat terkejar oleh mereka. Tapi, saat itu Musa as.
dengan tenang berkata,

76
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku


besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-
Syu’araa: 62)
Allah adalah Dzat yang selalu ada dan abadi. Kapanpun
dan manapun seorang hamba, Allah pasti bisa melihat dan menga-
wasinya, mampu menolong dan melindunginya. Orang yang tujuan-
nya hanya diarahkan pada Allah, maka ia akan selalu bahagia dan
gembira karena cinta pada-Nya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah ra. menjelaskan, “Ikhlas dan tauhid
adalah satu pohon yang tumbuh di dalam hati, cabang-cabangnya
adalah amal dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan
kenikmatan yang kekal di akhirat. Sebagaimana buah yang ada di
dalam surga tidak pernah terputus dan terhalang untuk didapat,
begitu pula buah tauhid dan ikhlas di dalam dunia ini.”

D. Semua Mahluk akan Mencintai dan Menyayanginya


Salah satu nikmat terbesar di dunia ini adalah apabila kita
bisa dicintai dan disayangi oleh banyak orang. Kita dicintai oleh ke-
luarga, kerabat, teman, dan saudara-saudara kita, bahkan musuh
kita sekalipun segan terhadap kita. Bukan cinta dan kasih sayang palsu,
melainkan kecintaan yang keluar dari ketulusan dan keikhlasan hati.
Apalah arti sebuah cinta jika terkotori oleh berbagai pamrih duniawi?
Apalah arti kasih sayang jika keluar dari hati yang riya’? Dan kecintaan
yang demikian ini hanya akan mampu didapatkan dan dirasakan oleh
orang-orang yang benar-benar ikhlas.
Orang yang ikhlas akan dicintai oleh banyak manusia.
Mengapa? Karena ia adalah kekasih Allah, hamba yang disayangi Allah.
Dan jika Allah menyayangi hamba-Nya, maka ia memerintahkan

77
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

kepada seluruh malaikat, setiap penghuni langit dan bumi agar me-
reka juga menyayanginya. Dalam hadis yang sahih dinyatakan:
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba,
maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya
Aku mencintai fulan, maka cintailah ia, maka Jibril pun mencintainya.
Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesungguhnya
Allah mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit
pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya
di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba,
maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya
Aku membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membenci-
nya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesung-
guhnya Allah membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka penduduk
langit pun membencinya. Kemudian ditanamkanlah kebencian
padanya di bumi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam
(hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Hasan al-Bashri pernah bercerita, “Ada seorang laki-laki
yang berkata, ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-
sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat,
dia adalah orang yang paling pertama masuk masjid dan yang paling
terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh
bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang
kecuali mereka berkata, ‘lihatlah orang yang riya’ ini’. Dia pun me-
nyadari hal ini dan berkata, ‘tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya
dengan kejelekan, sungguh aku akan melakukan amalan hanya ka-
rena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang

78
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang


mereka berkata, ‘semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian
Hasan al-Bashri pun membaca ayat, “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah
akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”
Barangsiapa yang dimuliakan oleh Allah, maka semua
makhluk akan memulikannya. Dan barangsiapa yang dihinakan oleh
Allah, maka semua makhluk pun akan menghinakannya. Karena
hanya Dia-lah yang berkuasa dan menggenggam segalanya. Dia-lah
yang membolak-balikkan hati manusia. Dia yang menciptakan ke-
baikan dan keburukan, cinta dan benci, pujian, dan celaan.
Lalu, bagaimana memahami bahwa orang yang ikhlas
akan dicintai dan disayangi makhluk? Di manakah letak kekuatan
hamba-hamba Allah yang ikhlas? Kita semua tahu bahwa setiap per-
buatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji
dan tersanjung. Begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan yang tercela,
walau berusaha mencari pujian dan sanjungan, tetap saja tercela.
Sedangkan orang yang ikhlas perbuatannya selalu baik dan terpuji.
Demikian itu karena Allah tidak pernah memerintahkan kepada
hamba-Nya yang ikhlas kecuali pada kebaikan dan keindahan.
Orang yang ikhlas tidak pernah mengharapkan imbalan
atau balas jasa apapun dari manusia. Jika ia memberi, maka ia mem-
beri karena ikhlas. Jika ia menolong, ia menolong dengan tulus.
Kinginan dan cita-citanya hanya tertuju untuk mendapatkan keri-
dhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi. Karena itu, ia tidak
akan pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, banyak
pamrih, dan tidak wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan
dan ucapannya. Hal ini karena ia tidak akan berusaha mempenga-
ruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan cepat disukai dan mem-

79
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

buat orang lain merasa nyaman dengannya. Ia menyadari sepenuh-


nya bahwa sifat-sifat menipu yang dilakukan untuk mendapatkan
pengaruh pada orang lain akan merusak ketulusan hatinya. Ia akan
merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa Allah adalah
satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.
Inilah yang membuat kebanyakan manusia mencintai dan
menyayanginya. Karena sesungguhnya, watak dasar manusia itu
suka dan cinta pada pada ketulusan, kejujuran, dan keikhlasan. Siapa
pun orangnya, sampai pun ia seorang penjahat, pencuri atau penipu,
pasti ia suka pada orang yang tulus dan jujur. Maka itu, orang yang
ikhlas sudah pasti akan banyak dicintai, mulia di mata manusia.
Imam Ibnu al-Qayyim ra. berkata, “Jika hanya Allah yang
kamu tuju, maka kemuliaan akan datang dan mendekat padamu,
serta segala keutamaan akan menghampirimu. Kemuliaan sifatnya
mengikut. Artinya, jika kamu menuju Allah, kemuliaan akan meng-
ikutimu. Tapi jika kamu hanya mencari kemuliaan, Allah akan me-
ninggalkanmu. Jika kamu telah menuju Allah kemudian tergoda untuk
mencari kemuliaan lain bersama-Nya, maka Allah dan kemuliaan-
Nya akan pergi meninggalkanmu.”
Seorang hamba yang ikhlas memiliki kekuatan ruhiyah yang
begitu besar. Ia seakan-akan menjadi pancaran energi yang melimpah.
Ia bagai magnet yang mampu menyedot kecintaan semua orang
yang ada di sekitarnya. Keikhlasan seorang hamba Allah dapat dilihat
dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya. Siapapun
orangnya pasti akan suka berteman dengan orang yang ikhlas. Kita
akan merasa aman bergaul dengan orang yang ikhlas. Kita tidak
khawatir akan ditipu atau dikhianati, tidak curiga akan dikecoh oleh-
nya. Justru sebaliknya, kita akan merasa nyaman karena sikap dan
tutur katanya menghargai dan menyejukkan, penuh manfaat, karena

80
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

orang yang ikhlas perhatiannya fokus memberi yang terbaik untuk


Allah yang selalu menatapnya. Dia benar-benar bening dari berbuat
rekayasa. Setiap tumpahan kata-kata dan perilakunya tidak ada
yang tersembunyi. Semua itu ia lakukan tanpa mengharap apapun
dari orang yang dihadapinya, yang ia harapkan hanyalah membe-
rikan yang terbaik untuk siapapun.
Lain halnya dengan orang yang berbuat riya’ dan tidak
ikhlas dengan amalnya. Ia akan dijauhi dan banyak mendapatkan
celaan orang. Sikap riya’ akan menghilangkan rasa hormat dari mas-
yarakat kepada dirinya. Hal ini karena Allah akan mencabut rasa
hormat masyarakat kepada seseorang yang bersikap riya’. Allah
berfirman:
“Dan barangsiapa dihinakan Allah, maka tidak ada seorang-
pun yang memuliakannya.” (QS. al-Hajj: 18)
Betapapun baiknya penampilan suatu amal, jika orang
yang melakukannya tidak ikhlas, maka pasti amal itu ujungnya akan
dicela orang, pasti pelakunya akan dibenci dan dijauhi. Mengapa?
Karena orang yang riya’ itu suka berpura-pura, berpenampilan baik
padahal tidak, ambisius, banyak pamrih, penuh tipu daya, dan reka-
yasa. Ketika bergaul atau berteman dengan orang yang riya’, kita
tidak akan tenang, gelisah, dan risau. Karena jika ia berbuat sesuatu,
pasti ia berharap sesuatu pada diri kita, minimalnya ucapan terima
kasih. Maka kemudian, kita pun dituntut agar selalu memenuhi ha-
rapan dan keinginannya tersebut. Dan lama kelamaan, kita akan
dibuat capek, bosan, dan merasa muak dengan sikap dan perilakunya.
Begitulah orang yang riya’, ia akan mendapatkan keben-
cian dan celaan semua orang. Sesungguhnya orang yang berbuat
riya’ adalah orang yang menipu diri mereka sendiri.

81
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang ber-


iman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka
tidak sadar.” (QS. al-Baqarah: 9)

E . Mampu Menjalani Hidup dengan Penuh Sema


Sema--
ngat, Gairah, dan Prestasi
Hidup adalah perjuangan untuk meraih cita-cita, cita-
cita untuk meraih kesuksesan dunia dan cita-cita untuk menggapai
kebahagiaan surga yang abadi. Hidup ini akan terasa indah dan
nikmat jika kita mampu tetap bersemangat dan bergairah dalam
berusaha dan berjuang mewujudkan setiap cita-cita yang kita ingin-
kan. Lihatlah orang-orang yang selalu bergairah dan bersemangat
dalam hidup ini! Mereka terlihat begitu senang dan gembira, selalu
optimis dalam menjalani hidup, raut muka mereka memancarkan
sinar kebahagiaan. Tapi lihatlah seorang pemalas, ia terlihat lemah
dan selalu sedih, mudah kecewa dan putus asa, pesimistis, wajah
mereka tampak murung, kusut, dan suram. Seakan mereka tidak lagi
punya keinginan untuk menjalani hidup ini.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, Rasulullah saw.
telah mengajarkan kepada kita:
“Beramallah untuk duniamu seakan engkau akan hidup
selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau akan
mati besok.”
Tidak ada motivator dan motor penggerak dalam hidup
ini yang lebih kuat daripada ikhlas. Ikhlas memiliki daya ubah dan
daya gugah yang begitu besar. Keikhlasan dapat menyemangatkan
hidup dan beraktivitas apapun. Karena ikhlas itu bersikap aktif,
bukannya pasif. Ikhlas berbeda dengan pasrah. Ikhlas adalah mene-
rima ketetapan Allah sambil terus berusaha mencari solusi dalam

82
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

menyelesaikan masalah atau problem yang terjadi, bukan berdiam


diri. Sedangkan pasrah sama dengan ngalah, menyerah sebelum ber-
usaha.
Contohnya bila suatu ketika kita tersandung atau terjatuh,
kita akan merasakan sakit. Konsep pemikiran ikhlas dengan aktif
mengajak kita menyadari bahwa kita telah jatuh dan kita sakit karena-
nya (bukan malah mengingkarinya, bukan malah menolak sakit ter-
sebut, bukan mencari-cari sebab kejatuhan secara berlebihan, bukan
mencari kambing hitam untuk disalahkan). Ketika kita mampu me-
nerima kenyataan tersebut dengan tidak meratapinya, maka hal
ini ini akan membuat sakit hanya sebatas sakit saja. Tidak berkembang
menjadi berlipat-lipat akibat penolakan kita. Tidak berkembang men-
jadi berkali-kali akibat ketidakmampuan kita menerima hal tersebut.
Dan yang perlu kita lakukan setelah menyadari rasa sakit
itu hanya satu, obati! Berikan obat dan selanjutnya biarkan waktu
yang bekerja menyembuhkannya secara alami, tidak dipaksakan.
Kita bisa melihat bagaimana kekuatan ikhlas ini telah mampu
mengubah dan menjadikan para sahabat Nabi saw., sehingga mereka
menjadi orang-orang yang bersemangat dalam menjalani kebaikan
dan menyebarkannya. Mereka terlihat bersemangat dalam menjalani
hidup, senantiasa optimis, dan selalu ringan dalam mengerjakan setiap
kebaikan. Dan itu tidak lain karena dorongan ikhlas dari hati mereka.
Dikisahkan, Syaddad bin al-Hadi mengatakan, “Seorang
Arab gunung datang kepada Rasulullah saw., lalu beriman dan meng-
ikutinya. Orang itu mengatakan, ‘Aku akan berhijrah bersamamu.’
Maka Rasulullah saw. menitipkan orang itu kepada para sahabatnya.
Saat terjadi perang Khaibar, Rasulullah saw. memperoleh ghanimah
(rampasan perang). Lalu beliau membagi-bagikannya dan menyisih-
kan bagian untuk orang itu seraya menyerahkannya kepada para

83
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

sahabat. Orang itu biasa menggembalakan binatang ternak mereka.


Ketika ia datang maka para sahabat menyerahkan jatahnya itu. Orang
itu mengatakan, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah bagianmu
yang dijatahkan oleh Rasulullah saw.’ Orang itu mengatakan lagi,
‘Aku mengikutimu bukan karena ingin mendapatkan bagian seperti
ini. Aku mengikutimu semata-mata karena aku ingin tertusuk dengan
anak panah di sini (sambil menunjuk tenggorokannya), lalu aku
mati lalu masuk surga.’ Rasulullah saw. mengatakan, ‘Jika kamu jujur
kepada Allah, maka Dia akan meluluskan keinginanmu.’
Lalu mereka berangkat untuk memerangi musuh. Para
sahabat datang dengan membopong orang itu dalam keadaan ter-
tusuk panah di bagian tubuh yang ditunjuknya. Rasulullah saw. me-
ngatakan, ‘Inikah orang itu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah
saw. berujar, ‘Ia telah jujur kepada Allah maka Allah meluluskan
keinginannya.’ Lalu Rasulullah saw. mengafaninya dengan jubah
Beliau kemudian menshalatinya. Dan di antara doa yang terdengar
dalam shalatnya itu adalah Allaahumma haadza ‘abduka kharaja
muhaajiran fii sabiilika faqutila syahiidan wa ana syahidun ‘alaihi
(Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Dia keluar dalam rangka berhijrah
di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi
atasnya).” (HR. an-Nasai)
Ketika kita lemah, malas, dan mengalami penurunan se-
mangat, maka ingatlah dan luruskanlah niat. Tanyakan pada diri,
untuk apa dan untuk siapa kita beribadah dan bekerja keras? Bukan-
kah keuntungannya akan kembali kepada diri kita sendiri? Bukankah
kita punya cita-cita dan harapan yang agung, yakni surga yang di-
janjikan Allah?
Misalnya saat kita mencari nafkah. Mencari nafkah adalah
merupakan ibadah kepada Allah, bahkan seorang yang mencari

84
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

nafkah disamakan dengan mujahid. Jika imbalan yang akan didapat


bukan hanya materi di dunia, maka sudah seharusnyalah kita lebih
bersemangat untuk mencari nafkah. Jika Allah yang menjadi tujuan,
mengapa harus dikalahkan oleh rintangan-rintangan yang kecil
di hadapan Allah? Jika mencari nafkah merupakan ibadah, semakin
kita kerja keras, Insya Allah semakin besar pula pahala yang akan
diberikan oleh Allah.
Orang yang ikhlas dalam beramal, berdakwah, dan me-
lakukan perjuangan apa pun, ia tidak mudah terjebak dan tergoda
oleh kondisi-kondisi sesaat. Ia bekerja penuh semangat dan berjuang
terus tiada henti, baik ada orang yang menghargainya atau tidak,
baik ketika dilihat orang atau sendiri. Tidak ada yang dapat meng-
hentikan orang yang ikhlas dari amal dan perjuangannya selain
kematian.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-
nya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Ciri seorang mukmin yang ikhlas adalah ia tidak pernah
puas melakukan amal kebaikan sebelum ia sampai di surga nanti.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
“Seorang mukmin tidak akan pernah puas dari kebaikan
yang didengarnya hingga ia sampai pada tempat pemberhentiannya
yakni surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Orang-orang beriman yang ikhlas, mereka suka berlomba-
lomba dalam mengerjakan amal baik untuk mendapatkan keridha-
an Allah. Mereka berjuang terus-menerus hingga batas kekuatan
yang mereka miliki agar berhasil mendapatkan keridhaan, rahmat,
kasih sayang, dan surga Allah. Mereka selalu ingin beribadah kepada

85
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Allah dalam situasi apa pun. Tidak pernah merasa enggan dalam
mengabdi dan beribadah kepada Allah.
“Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan
mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. al-
Anbiyaa: 90)
Di samping itu, orang yang ikhlas juga akan bekerja dan
berbuat dengan sebaik mungkin. Mengapa? Karena jika ia memang
ikhlas, tentu ia akan mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan-
nya. Bukahkah ia bekerja untuk memperoleh keridhaan dan penilaian
yang terbaik dari Tuhannya? Maka itu, bekerja secara maksimal dan
profesional adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari makna
ikhlas itu sendiri. Nabi saw. bersabda:
“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan seorang pe-
kerja yang melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya (profesional).”
(HR. Ahmad)
“Kerjakanlah kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh.
Dan sembahlah Allah di waktu siang dan malam, dan selalu mengambil
jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga).”
Seorang guru boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apa-
bila ia tidak menyiapkan materi dan silabus pengajaran dengan
sebaik-baiknya. Seorang pembantu rumah tangga boleh jadi belum
sempurna ikhlasnya, ketika ia tidak berupaya memisahkan pakaian
yang luntur dari pakaian yang tidak luntur pada saat mencuci
pakaian. Seorang pegawai boleh jadi belum sempurna ikhlasnya
ketika tidak berupaya optimal untuk mencapai target pekerjaan
yang telah ditetapkan. Seorang pelajar boleh jadi belum sempurna
ikhlasnya, apabila ia bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas-

86
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

tugas sekolah. Jadi, ikhlas itu sesuatu yang dinamis, bergerak, dan
kunci prestasi.
Hasan al-Banna pernah mengatakan, “Ikhlas itu kunci ke-
berhasilan. Para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali karena
kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan mereka. Bila kalian
sudah memiliki tiga karakter tersebut, maka ketika engkau berpikir,
Allah akan mengilhamimu petunjuk dan bimbingan. Jika engkau
beramal, maka Allah akan mendukungmu dengan kemampuan dan
keberhasilan…”

F . Tegar, Kuat, dan Tidak Putu


Putuss Asa dalam Mengha-
dapi Berbagai Persoalan Hidup
Hidup ini adalah masalah, ujian dan cobaan. Tidak ada
seorang pun dalam kehidupan ini yang tidak menemui masalah.
Setiap manusia pasti akan diuji dengan masalah. Allah swt. berfirman:
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-
lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiyaa: 25)
Orang yang sukses dalam hidup ini adalah mereka yang
berhasil menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah dengan se-
baik mungkin. Ia tetap tegar dan kuat menghadapi berbagai macam
ujian dan cobaan hidup.
Hanyalah orang yang ikhlas yang mampu menghadapi
hidup ini dengan tetap tegar, tabah, dan sabar. Kekuatan keyakinan
akan indahnya pahala di sisi Allah swt. bagi orang yang beramal
dan berjuang secara ikhlas, akan membuahkan sikap mental: segala
beban dan penderitaan yang didapat saat berjuang dirasakan ringan,
bahkan dirasakan sebagai sesuatu yang nikmat, menyenangkan,
dan membahagiakan. Ia menjalaninya tanpa keluh-kesah.

87
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam catatan sejarah para Nabi, kita bisa mengetahui


bagaimana Nabi Ibrahim as. tidak takut dan tidak gentar mence-
burkan dirinya dalam kobaran api yang telah siap membakarnya.
Nabi Nuh as. tidak pernah bosan dan putus asa mengajak kaumnya
agar menyembah Allah, walaupun ia harus menanggung beban pen-
deritaan dari kaumnya selama seribu tahun. Nabi Musa as. tidak
mundur tatkala para penyihir Fir’aun mengeluarkan sihir-sihirnya.
Nabi Mu-hammad saw. tetap tegar dan bersemangat dalam dakwah-
nya, walaupun orang-orang kafir Quraisy berusaha terus-menerus
menakut-nakutinya, menyakitinya, dan bahkan mengancam mau mem-
bunuhnya.
Semua ketegaran dan keteguhan itu disebabkan karena
mereka sangat ikhlas dalam menjalani perintah Allah. Mereka selalu
menyuarakan dalam dakwahnya:
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi
seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah men-
ciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Huud: 1)
Dalam sejarah para sahabat Nabi saw. juga dikisahkan,
sebagian dari mereka ada yang dikucilkan masyarakatnya, diper-
sulit jalur perekonomiannya, dicemarkan nama baiknya, dijatuhkan
martabat dan kewibawaannya di depan umum, diusir dari kampung-
nya, dan disiksa bersama keluarganya.
Di antara mereka ada yang pernah dijemur di tengah pa-
dang pasir yang panas, dikurung dalam penjara bawah tanah, dan
disiksa dengan berbagai cara. Dari mereka banyak yang harus ber-
cerai berai dengan keluarganya, berpisah dengan kawan karibnya
dan meninggalkan harta bendanya. Meski demikian, mereka tetap
ikhlas dan berpegang teguh pada agama Islam dan mencintai Ra-
sulullah saw.

88
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Mengapa mereka sangat bahagia dengan risalah yang


dibawanya? Merasa tenteram dengan manhaj-nya, dan mampu
melupakan semua rasa sakit, kesulitan, tantangan, dan ancaman
yang begitu besar?
Itu karena Rasulullah saw. telah berhasil menancapkan
ketulusan dan kerelaan pada jiwa setiap sahabatnya. Maka tak mus-
tahil bila mereka tidak pernah lagi memperhitungkan berbagai
rintangan yang menghadang jalan dakwah mereka. Sebab kokohnya
keyakinan yang ada dalam dada mereka telah melupakan semua
luka, tekanan, dan kesengsaraan itu. Jiwa raga mereka menjadi ten-
teram, hati mereka senantiasa sejuk damai, dan otot-otot mereka
selalu kendur dan mudah terkendali.
Saat terjadi perang Tabuk, Abu Dzar al-Gifari ra. tertinggal
rombongan mujahidin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah
saw. Itu terjadi karena kendaraan yang dinaikinya berjalan lambat.
Akhirnya Beliau turun dari kendaraannya itu dan memanggul
barang-barang bawaannya di atas pundaknya. Tidak ada keluh
kesah dan tidak ada perasaan berat saat Beliau harus menempuh
perjalanan dari kota Madinah ke Tabuk, yang jaraknya kurang lebih
900 km. Padahal perjalanan itu ditempuh sendirian dan berjalan
kaki pula. Perjalanan yang bagi orang-orang munafik dirasakan
amat berat. Karena Abu Dzar tahu bahwa dalam perjalanan jihad
itu ada pahala dan ganjaran dari Allah swt. Beliau benar-benar dapat
menikmati kepenatan-kepenatan dakwah.
Demikianlah, orang yang ikhlas tidak akan gampang me-
nyerah dan putus asa. Prinsip yang dipegang orang yang mukhlis
hanya bagi Allah semata. Dia tegar dalam hal ini dan terus seperti
itu. Hasil dan buah di dunia diserahkan kepada Allah, karena Allah-
lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia hanya

89
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

sekedar berusaha, kalaupun benar-benar berhasil, maka segala puji


hanya bagi Allah. Dan jika kandas, maka daya dan kekuatan itu
hanya milik Allah.

G . Mampu Mempertahankan, Memelihara, dan


Memperkuat Ukhuwwah Islamiyyah
Ciri dari dunia ini adalah sempit, sedikit, akan rusak dan
pasti menghilang. Dunia ini tidak bisa menampung banyak orang.
Seorang yang tujuannya hanya untuk mencari dunia, maka ia harus
rela berusaha dan berjuang untuk memperebutkannya. Ibarat sebuah
kursi kedudukan atau jabatan yang hanya muat diduduki oleh satu
orang saja, maka untuk mendapatkannya ia harus mau saling berebut
dengan lainnya. Ibarat satu piring nasi yang diinginkan dan dipe-
rebutkan oleh sepuluh orang, maka ia harus berjuang keras agar
dapat ikut makan.
Maka, orang yang orientasi perbuatannya hanya tertuju
pada dunia, ia akan mudah terjangkiti penyakit iri dan dengki. Ada-
nya sikap dan perilaku seperti iri dan dengki, berebut pengaruh dan
perhatian orang, saling dendam, melakukan tipu daya, sikut sana
dan sikut sini, hilangnya persaudaraan dan silaturahim, timbulnya
bermacam konflik dan permusuhan, semua itu merupakan akibat
dari ketidakikhlasan dan ketidaktulusan.
Andai saja seseorang tujuannya ikhlas hanya mengharapkan
keridhaan dan pahala Allah, maka tidak akan timbul sikap saling
iri dan dengki, saling berebut. Karena ridha Allah itu amat luas, tak
berbatas. Surga Allah itu juga luas seluas langit dan bumi. Mereka
justru akan saling menyayangi dan mencintai. Ketika salah seorang
dari mereka melihat saudaranya rajin berbuat ketaatan dan kebaikan,
maka ia akan ikut bahagia karena ia suka dan senang jika Allah di-

90
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

taati dan disembah banyak orang. Kecintaannya itu merupakan


tanda bahwa ia benar-benar mencintai Allah.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Tidak akan terjadi saling
dengki di kalangan para ulama. Sebab yang mereka tuju adalah
ma’rifatullah (mengenal Allah). Dan tujuan seperti itu bagaikan
samudra luas yang tidak bertepi. Dan yang mereka cari adalah ke-
dudukan di sisi Allah. Dan itu pun merupakan tujuan yang tidak
terbatas. Karena kenikmatan paling tinggi yang ada pada sisi Allah
adalah memandang-Nya. Dan dalam hal itu tidak akan ada saling
dorong dan berdesak-desakan. Orang-orang yang melihat Allah
tidak akan merasa sempit dengan adanya orang lain yang juga me-
lihat-Nya.
Bahkan, semakin banyak yang melihat semakin nikmat-
lah mereka. Memang, bila para ulama, dengan ilmunya itu mengingin-
kan harta dan wibawa, mereka pasti saling dengki. Sebab harta
merupakan materi. Jika ia ada pada tangan seseorang, pasti hilang
dari tangan orang lain. Dan wibawa adalah penguasaan hati. Jika
hati seseorang mengagungkan seorang ulama, pasti orang itu tidak
mengagungkan ulama lainnya.”

H . Surga Terindah Bagi Orang yang Ikhlas


Setiap manusia yang beriman di dunia ini pasti mengingin-
kan dan mendambakan bisa masuk surga. Betapa tidak, sedangkan
surga adalah kenikmatan dan kesenangan tertinggi yang dijanjikan
oleh Sang Pencipta jagad raya ini. Terlalu sulit bagi kita membayang-
kan keindahan dan keagungan surga secara pasti. Gemerlap dan
segala kemewahannya pasti tidak ada di dunia ini.
Lalu, apakah kunci surga itu? Kunci surga adalah kalima-
tul ikhlas. Kalimat ikhlas adalah sebuah ungkapan kesaksian kepada

91
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Tuhan yang diucapkan dengan ketulusan dan keikhlasan. Tanpa ke-


ikhlasan, maka ia tidak dinamakan kalimat ikhlas. Diceritakan
dalam sebuah hadis:
“Datanglah malaikat maut menemui seorang laki-laki
yang hendak meninggal. Lalu malaikat itu merobek hatinya dan tidak
menemukan satu kebaikan pun padanya. Kemudian ia merobek
kedua janggutnya, maka ia menemukan ujung lidahnya melekat
dengan langit-langit mulutnya. Dia berkata, ‘La ilaaha Illallah’
(tiada Tuhan selain Allah). Maka Allah mengampuninya dengan ka-
limatul ikhlas.” (HR. Ibnu Abi Dunnya, Baihaqi, dan Daelami)
Ternyata hanya dengan keikhlasan, surga Allah itu dapat
diraih. Ternyata hanya dengan keikhlasan, seorang hamba mampu
selamat dari siksa neraka.
Rasulullah saw. pernah menceritakan ada seseorang yang
hanya karena menyingkirkan sepucuk duri dari tengah jalan, maka
kepadanya diganjar dengan rahmat oleh Allah swt., sehingga meraih
surga. Mengapa bisa begitu? Ternyata pada saat dia memungut
duri itu, hatinya teramat ikhlas. Dia tidak ingin duri itu mencederai
para pengguna jalan. Dia mengharapkan rahmat dan keridhaan Allah
semata.
Ada lagi kisah tentang seorang wanita pemaksiat, tapi bisa
diampuni dosanya dan diberikan rahmat oleh-Nya, lantaran mem-
beri minum seekor anjing yang tengah kehausan. Wanita itu sangat
kasihan melihat penderitaan anjing, sehingga hatinya tergugah
untuk memberinya minum, walaupun ia harus turun ke dalam sumur
untuk mencedok air dengan menggunakan sepatunya.
Dua kisah sebagaimana yang diceritakan dalam hadis yang
sahih ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa betapa tingginya
dan berharganya nilai sebuah keikhlasan. Andai saja seseorang dalam

92
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

satu kesempatan hidupnya sanggup mengerjakan satu amal saja


dengan ikhlas, walaupun amal itu hanya seberat atom, sedangkan ia
orang yang beriman, tentu ia akan masuk surga.
Jika kita mendapatkan seseorang yang ikhlas dalam setiap
perilaku dan amalnya, maka ketahuilah, ia adalah seorang ahli surga.
Walaupun ia orang yang tidak banyak amalnya, dan walaupun
ia tidak dikenal oleh orang banyak dengan kesalehannya.
Diceritakan dalam al-Hadis, bahwa suatu ketika Rasulullah
saw. menatap satu per satu para sahabat yang sedang berkumpul
dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah,” ujar salah se-
orang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini
tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawab-
nya.” “Apa yang hendak engkau tanyakan itu,” tanya Rasulullah
dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak
tegang si sahabat itupun langsung bertanya, “Siapakah di antara
kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyam-
bar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena
murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat
menilainya mengandung ‘ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’.
Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi,
bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh
ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah. Beliau dengan tenangnya men-
jawab, “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan mun-
cul.” Lalu setiap pasang mata pun menoleh ke ambang pintu, dan
setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut
Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka
tunggu pun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan
salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan

93
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak


sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang
pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia ada-
lah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak
ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan
pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebat-
an pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Meng-
hadapi kebisuan ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia
ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang
membuat Allah menyukainya.”

94
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Bab 4
Kiat Agar Dapat Ikhlas

I khlas dalam amal adalah sesuatu yang sungguh sulit kita laku-
kan. Hal ini sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar
Sufyan ats-Tsauri ra. Beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang
paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku,
karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”
Karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk melatih dan
mengevaluasi keikhlasan secara rutin. Terkadang kita bisa terlepas
dari riya’ yang satu, tapi kemudian muncul riya’ dalam bentuk yang
lainnya. Riya, sum’ah, dan ‘ujub adalah penyakit hati yang begitu
lembut, yang bisa datang kapan saja, dan terkadang kedatangannya
tanpa kita sadari.
Jangan sampai kita merasa telah berhasil menyingkirkan
penyakit berbahaya itu, kemudian tidak mau berusaha dan berhenti
berlatih. Kita harus selalu waspada pada ajakan nafsu yang begitu
liar.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)

95
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Berikut ini kami kemukakan beberapa kiat agar kita bisa


ikhlas. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemauan dan ke-
mampuan agar kita bisa terus berlatih dan mencapai ikhlas.

A. Bertanya Sebelum Berbuat


Hal pertama yang harus kita lakukan setiap kali hendak
melakukan amal apapun adalah meneliti, memeriksa, dan menim-
bang suatu perbuatan. Terlebih dahulu kita harus tahu bahwa yang
kita perbuat itu benar dan baik. Kita harus tahu syarat diterima-
nya amal. Untuk itu, biasakan berpikir dan berupaya keras memu-
tuskan dengan tepat setiap langkah yang hendak kita tempuh.
Jangan berpikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu
menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan kita jauh ke
depan: manfaat dan madharat-nya. Sehingga tidak ada alasan untuk
tidak bersikap tegas dan berani.
Jika sudah mampu demikian, maka kita akan penuh per-
caya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk ber-
beda, selama kita yakin apa yang kita perbuat itu benar. Ikhlas itu
identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan, dan kekokoh-
an jiwa, juga kecerdasan. Sedangkan riya’ (sum’ah, ‘ujub) identik dengan
keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.
Ada beberapa pemeriksaan yang harus kita lakukan sebelum
kita memutuskan untuk berbuat sesuatu, yakni:
1. Tentang syarat formal
Mula-mula kita harus menanyakan, apakah perbuatan
yang kita lakukan itu telah benar secara syar’i. Artinya terlebih
dahulu kita harus mengetahui kalau amal perbuatan yang akan
kita lakukan itu baik dan benar dari segi hukumnya maupun
tata-caranya.

96
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Pertanyaan ini terkait dengan syarat formal suatu ibadah.


Syarat formal ibadah adalah syarat yang biasa dibahas dalam
fiqh. Syarat formal ini relatif lebih mudah untuk dipenuhi karena
tolak ukurnya sangat jelas, sebagaimana telah dijelaskan secara
rinci dalam fiqh.
Tentang hal ini, ada dua pertanyaan yang harus kita
jawab:
· Apa yang aku kerjakan?
· Bagaimana aku mengerjakannya?
Pertanyaan pertama adalah menyangkut diri amal tersebut.
Dalam arti dari sisi hukumnya, apakah wajib, sunah, haram,
makruh, mubah, atau masih syubhat (keserupaan dalam hukum).
Sedangkan pertanyaan kedua menyangkut cara atau metode
pengerjaan amal. Artinya, kita pun harus mengetahui caranya
agar kita tidak terjebak pada kesalahan, dosa, dan kesia-siaan.
Hadis Nabi saw. menyebutkan:
“Barangsiapa yang membuat sesuatu dalam urusan kami
(agama ini) ini, apa yang yang tidak termasuk di dalamnya, maka
sesuatu itu tertolak.” (HR. al-Bukhari)
2. Tentang syarat materiil
Jika pertanyaan pertama telah terjawab dengan benar,
maka giliran pertanyaan kedua, yakni tentang syarat meteriil
suatu amal. Apakah niat kita itu telah benar dan ikhlas? Perhatikan
motif yang menggerakkan perilaku kita. Allah swt. mengingatkan
kita dalam firman-Nya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah
ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi: 110)

97
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan agar amal yang


dikerjakan ialah amalan saleh, yaitu amal perbuatan yang se-
suai dengan aturan syariat. Selanjutnya, Allah memerintahkan
orang yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu
kepada Allah semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari
selain-Nya dengan amalan itu.
Al-Hafiz Ibnu Katsir ra. berkata dalam tafsirnya, “Dua per-
kara ini merupakan rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amal-
an itu harus murni untuk Allah swt. dan benar sesuai dengan
petunjuk Rasulullah saw.”
Rasulullah saw. dalam sabdanya menjelaskan:
“Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya. Dan
bagi setiap orang apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Maka sebelum beramal, kita harus melontarkan perta-
nyaan-pertanyaan seperti berikut ini:
· Haruskah hal ini aku kerjakan?
· Untuk apa aku berbuat hal ini?
· Mengapa aku mengerjakan?
· Untuk siapa aku mengerjakan?
· Karena siapa aku mengerjakan?
Dalam memeriksa niat, kita pun harus jeli dan cermat.
Jangan sampai kita tertipu dan terjebak pada keinginan nafsu
belaka, dan akhirnya kita merugi.
Yang sering terjadi, kita tidak sibuk meluruskan niat, tapi
sibuk dengan perbuatannya. Misalnya saja kita ingin membeli
pakaian, kita harus bertanya dulu pada diri kita: perlukah saya
membeli pakaian lagi, padahal persedian yang ada di almari
masih banyak? Untuk apa aku membeli pakaian?” Kita mungkin

98
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

menjawab, “Tapi yang ada di almari kan sudah tidak layak.” Atau
mungkin kita berkata dalam hati, “Namun yang itu kan warna-
nya kurang cocok,...” Kurang cocok kata siapa? Jujur saja, apa-
kah warnanya yang kurang cocok ataukah ingin lagi?
Mau membeli sepeda motor yang baru. Kita harus berta-
nya dulu, apakah itu hanya karena keinginan dan kemauan se-
mata, atau karena kita memang membutuhkannya? Untuk apa
aku membeli sepeda motor yang baru? Bukankah yang lama
masih bisa dipakai? Jika memang tidak terlalu penting dan men-
desak, alangkah lebih baiknya bila aku mengalokasikan uangnya
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya.
Bukannya membeli pakaian dan sepeda motor baru itu
tidak boleh dan tidak baik, tapi jika motifnya hanya karena me-
nuruti kemauan nafsu, maka itu akan membuat kita rugi sendiri.
Yang banyak terjadi justru bukan hanya sekedar keinginan hati
saja, tapi nafsu untuk mengumpulkan harta dan berbangga diri
dengan kepemilikan dunia.
Kita harus berpikir dan mempertimbangkan, untuk apa
memberatkan hisab. Jikalau pakaian indah tapi kelakuan tidak
indah, tidak ada gunanya. Bila pakaian baru tapi hati semakin
keruh, apa artinya. Untuk apa membeli sepeda motor atau mobil
baru yang mewah jika hanya menyebabkan kesombongan dan
memperkeruh hati.
Ketika sudah akan beli, tanya lagi pada diri kita, ‘Benarkah
kita beli sesuatu itu karena Allah atau karena ingin dipuji?’ tanya,
tanya, tanya,.....!
Pikirkan dan renungkan, untuk siapa atau untuk apa kita
bergerak, berlari atau bertanya tentang sesuatu? Apa tujuan
dan target kita? Apakah kita mencari Allah atau ego kita? Bila

99
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

kita ulurkan tangan dan menangkap sesuatu, kita harus perhati-


kan untuk siapa kita membawa atau menyentuhnya.
Telitilah dirimu dengan cermat. Usahakan untuk menilai
perbuatanmu dengan introspeksi apakah amal itu dilakukan
untuk mewujudkan kebaikan atau karena motif-motif yang lain.
Apa yang mendorong kamu untuk bersedekah membantu orang
lain? Mengapa kamu begitu gembira dan bersemangat ketika men-
dengar diundang untuk berceramah? Mengapa kamu begitu ber-
semangat menceritakan kepada orang lain dengan berbagai
cara tentang ibadah hajimu? Mengapa kamu tidak puas dengan
membatasi amal salehmu hanya untukmu saja? Apa yang kau
inginkan dari pemberitahuan kepada orang lain tentang amal
salehmu? Jika perbuatan itu dilakukan karena Allah, atau kamu
bermaksud agar orang lain menirumu, atau kamu berpikir se-
suai dengan hadis ‘yang menunjukkan kebaikan sama dengan yang
melakukannya’ sambil kamu melakukannya, maka perbuatan-
mu itu masih dapat dibenarkan. Bersyukurlah kepada Allah, ka-
rena Dia telah menolong kamu bertindak dengan sepenuh kesa-
daran dan kemurnian hati. Tetapi hendaknya kamu selalu berhati-
hati akan jebakan-jebakan setan ketika memeriksa dirimu, sebab
syaitan dapat memproyeksikan amal riya’ sebagai amal yang
suci dan ikhlas.
Jikapun kita bisa melakukan sesuatu bukan karena pamrih
pada manusia atau keuntungan duniawi. Tapi kita juga harus
bertanya lagi, apakah ada pendorong lain selain itu? Tanpa ter-
sadar terkadang kita melakukan sesuatu bukan atas dasar mencari
keridhaan Allah, tapi misalnya karena didorong rasa malu, sung-
kan atau takut. Seperti kita malu dikatakan orang yang pelit
karena tidak mau bersedekah. Kita ikut kerja bakti karena malu

100
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

nanti dikata orang yang tidak tahu etika sosial. Kita bersedia
menghadiri undangan karena takut nanti mendapat gunjingan
orang.
Atau, kita memberi sesuatu kepada pengemis di pinggir
jalan karena kita kasihan dan iba melihat keadaannya. Rasa iba
dan kasihan adalah cerminan dari sifat kemanusiaan kita. Namun,
pernahkah kita memberi sesuatu kepada seseorang tanpa harus
tahu kita kasihan atau tidak? Seorang ahli hikmah mengatakan
bahwa memberi sesuatu lantaran adanya sebab, seperti kasihan,
prihatin, iba dan sebagainya, itu belum bisa dikategorikan sebagai
ikhlas. Namun tidak lebih sebagai suatu bentuk kerelaan atau
ketulusan hati saja yang bisa menjadi sebagai pemuasan hawa
nafsu ego kasihan atau ego iba kita. Namun memberi atas dasar
rasa kasihan atau iba pun itu sudah cukup baik. Terlebih lagi
jika kita bisa berlaku ikhlas.
Ingatlah, apa yang dilakukan untuk ego kita atau untuk
dunia ini, maka ia palsu dan akan lenyap. Semua itu hanya se-
mentara dan tidak bernilai. Tetapi apa yang kita lakukan untuk
Allah swt., maka itu suatu keberuntungan yang sejati dan tidak
akan berakhir.
Apabila kita berkata atau berbuat tidak punya niat apa-
apa, atau niat riya’ lebih mendominasi hati kita, maka lebih baik
diam dan menangguhkannya terlebih dahulu. Jangan tergesa-
gesa dan grasa-grusu. Janganlah kita memberatkan diri dengan
amalan-amalan yang banyak. Karena, alangkah banyak orang
yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan
manfaat kepadanya kecuali rasa capek dan keletihan semata di
dunia dan siksaan di akhirat.

101
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Orang yang melakukan banyak amal tanpa mau berpikir


dulu, maka ia akan mengalami kerugian. Pertama, jika amalan
itu mubah tanpa niat maka akan memperberat hisab. Jika amal
itu riya’ maka akan mendatangkan siksa. Jika tidak niat apa-apa
maka hanya mendapatkan rasa capek dan lelah, perbuatan kita
tidak bermakna. Mungkin ada yang beralibi, ‘tapi kan ini berman-
faat untuk dunia saya’. Namun bagi orang yang berakal akan
rugi jika ia hanya dapat keuntungan satu saja, yakni dunia. Pa-
dahal mungkin saja suatu amal bisa memberi dua manfaat se-
kaligus, yakni akhirat dan dunia. Jika kita niat dunia maka kita
hanya akan dapat dunia. Tapi jika kita niat akhirat maka kita
jelas akan dapat pahala dan terbuka kemungkinan mendapat-
kan pahala dunia.
Intinya kita harus bersabar dan mengevaluasi motif setiap
perbuatan yang hendak kita lakukan. Dan tanggung jawab ini
dimulai sejak kita bangun tidur di pagi hari sampai kita tidur lagi.
Hendaknya kita melihat untuk apa dan siapa kita mengerjakan
dan apa manfaatnya? Bila tidak bermanfaat untuk diri kita sen-
diri atau untuk orang lain, tinggalkan niat itu, karena saat itu
akan mengundang kutukan atas diri kita.
Bila kita telah mengevaluasinya secara benar dan kita ber-
amal untuk Allah, maka semua yang kita kerjakan pasti akan
diberkahi, dinilai tinggi dan diterima oleh-Nya. Tapi bila peker-
jaan kita bukan untuk-Nya, maka sia-sialah pekerjaan itu dan
kita menghancurkan diri sendiri. Kesukaran yang tidak terhitung
akan mengelilingi kita. Perhatikan selalu pekerjaan kita, apakah
benar-benar untuk Allah swt. semata?
Imam al-Ghazali pernah memberi nasihat, “Telitilah ting-
kah lakumu dan janganlah kamu bergerak sebelum merenung-

102
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

kan terlebih dahulu, mengapa kamu bergerak? Apa yang kamu


dapatkan dari duniamu, apa yang terlewatkan dari akhiratmu?
Mengapa dunia lebih mengungguli akhirat? Jika kamu sudah
tahu bahwa tidak ada penggeraknya selain agama, maka terus-
kanlah niatmu. Dan jika tidak, maka tahanlah. Kemudian, teliti-
lah juga penahananmu dan pencegahanmu dari berbuat. Sesung-
guhnya meninggalkan berbuat itu merupakan perbuatan yang
juga membutuhkan niat yang benar…”
3. Menyembunyikan atau menampakkan amal
Ketika kita mau melakukan amal, hendaknya diperhati-
kan terlebih dahulu, apakah amalnya itu mau kita sembunyikan
atau ditampakkan. Kita harus pandai dan cermat dalam melihat
kondisi hati kita. Hal ini menjadi penting karena ini menyangkut
keikhlasan yang akan kita dapatkan.
Allah swt. berfirman:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah
baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu beri-
kan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih
baik bagimu.” (QS. al-Baqarah: 271)
Ayat di atas memberikan dua alternatif pilihan dalam
beramal. Yakni menampakkan amal atau menyembunyikannya.
Artinya kita boleh menampakkan amal atau menyembunyikan-
nya. Keduanya sama-sama baik dan utama, asalkan niat dan ke-
ikhlasan kita tetap terjaga.
Memang pada dasarnya amal kebaikan haruslah disembu-
nyikan dan tidak perlu di tampakkan kepada orang lain. Cukup-
lah Allah sajalah yang menjadi saksi atas diri kita. Namun begitu,
jika kita berkeinginan menampakkan amal atau menceritakan-

103
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

nya kepada orang lain, hal itu juga tidak dilarang atau keliru,
asalkan punya niat yang benar. Hadis Nabi saw. menyebutkan:
“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam
Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat bagi-
nya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa meng-
urangi sedikit pun dari kebaikannya.” (HR. Muslim)
Dalam keadaan tertentu, memperlihatkan amal saleh
dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:
· Bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)
· Terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.
Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguat-
kan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan membe-
rikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Suf-
yan bin Harits, salah seorang paman Nabi saw. menjelang wafat-
nya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam
aku tidak pernah melakukan dosa.”
Para ulama telah menjelaskan bahwa keutamaan menyem-
bunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan
dari riya’) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan
amalan-amalan yang wajib.
Ibnu Hajar ra. berkata, “At-Thobari dan yang lainnya
telah menukil ijmak bahwa sedekah yang wajib secara terang-
terangan lebih afdal daripada secara tersembunyi. Adapun
sedekah yang mustahab maka sebaliknya.”
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam me-
nyatakan, “Amalan riya’ yang murni jarang timbul pada amal-
amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun
terkadang riya’ muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya
yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang membe-

104
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

rikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu


orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amal-
an semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan
sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan
dan hukuman dari Allah.”
Imam Izzuddin bin Abdus Salam menjelaskan hukum me-
nyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai be-
rikut. Beliau berkata, “Ketaatan itu ada tiga:
· Amalan yang disyariatkan untuk dinampakkan seperti azan,
iqamat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr,
khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan
shalat jumat dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-
hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, meng-
antar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembu-
nyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya’, maka
hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolak-
nya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakan-
nya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan men-
dapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesung-
guhannya menolak riya’, karena amalan-amalan ini maslahat-
nya juga untuk orang lain.
· Amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhal
dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti membaca
qira’ah secara perlahan tatkala shalat (yaitu shalat yang
tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qira’ah), dan berzikir
dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih
baik daripada jika dijahirkan (diperkeras suaranya).
· Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang
dinampakkan seperti sedekah. Jika dia khawatir tertimpa riya’

105
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia menampakan


amalannya dia akan riya’, maka menyembunyikan amalan
(sedekah) tersebut lebih baik daripada jika menampakkannya.
Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam bukunya yang
berjudul Silsilah Amalan Hati mengutip pendapat Ibnu Quda-
mah dan kemudian merinci prinsip-prinsip dalam memperlihat-
kan dan menyembunyikan amal sebagai berikut:
· Amal perbuatan yang dianjurkan oleh sunah untuk diker-
jakan secara rahasia hendaknya dikerjakan secara rahasia.
· Amal perbuatan yang dianjukan oleh sunah untuk dikerja-
kan dengan terang-terangan, hendaknya dikerjakan dengan
cara terang-terangan.
· Amal perbuatan yang dapat dilakukan, baik secara rahasia
maupun terang-terangan, jika orang yang bersangkutan
termasuk orang yang kuat menanggung pujian orang lain
atau celaan mereka, maka bagi dia boleh dilakukan secara
terang-terangan. Akan tetapi, jika dia termasuk orang yang
tidak kuat menyangga hal tersebut, maka hendaklah dia
mengerjakannya dengan sembunyi-sembunyi. Dari penjelas-
an di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jiwa seseorang kuat
untuk menghindar dari riya’, tidaklah mengapa baginya jika
menonjolkan amalnya, karena sesungguhnya dalam keadaan
seperti itu hal yang lebih baik adalah dengan menonjol-
kannya, agar dapat diteladani oleh yang lain.
Tapi demikian, kita perlu waspada dan hati-hati, jangan sam-
pai kita tertipu oleh keinginan yang nampaknya baik, padahal
kita kurang mampu menjaga keikhlasan. Mungkin saja dalam hati
kita berkata, “Saya menampakkan amal supaya diikuti dan memberi
contoh baik pada orang lain.” Kita harus waspada dengan bisik-

106
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

an ini. Bisa jadi itu hanya alasan pembenaran setan agar kita
terjebak dalam tipu dayanya. Bagi orang yang belum benar-benar
ikhlas, sungguh sulit baginya menghindarkan diri dari pengaruh
pujian dan dikenal banyak orang.
Ketahuilah, mayoritas manusia itu sangat lemah dan riskan
dari akibat buruk menampakkan amal. Sedikit sekali manusia
yang bisa lepas dan selamat dari fitnah ketenaran, kepopuleran
dan kemasyhuran. Kebanyakan mereka justru terjerumus dalam
ketertipuan amal mereka sendiri. Posisi terkenalnya seseorang
merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan sese-
orang. Karenanya, jika kita merasa kalau diri kita tidak mampu
terhindar dari bahaya memperlihatkan amal, sedangkan tidak
ada hal lain yang mengharuskan kita menampakkannya, maka
lebih baiknya kita sembunyikan saja amal kita. Jangan membuka
pintu yang bisa mengantarkan kita terjatuh dalam riya’.
Basyr bin al-Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar
engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagai-
mana engkau menyembunyikan keburukanmu.”
Para ulama dan orang-orang saleh terdahulu, mereka sangat
suka menyembunyikan berbagai amal ketaatan. Mereka senang
kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka
senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal itu mereka
lakukan demi untuk menjaga keikhlasan, dan karena mereka kha-
watir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Imam Ahmad ra. berkata, “Aku ingin tinggal di jalan-jalan
di sela-sela gunung-gunung yang ada di Makkah hingga aku
tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran.”
Seseorang bertanya pada Tamim ad-Dari, “Bagaimana shalat
malam engkau?” Maka marahlah Tamim, sangat marah, ke-

107
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

mudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja shalatku di tengah


malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada
aku shalat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia.”
Ayyub as-Sikhtiyani shalat sepanjang malam, dan jika men-
jelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya.
Dan jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya
seakan-akan dia baru saja bangun pada saat itu.
4. Memilih suatu amal
Ketika suatu saat kita di hadapkan pada beberapa pilih-
an ibadah atau amal kebajikan, jika ibadah itu selain yang wajib,
maka hendaknya kita memeriksa kondisi hati kita, lalu memi-
lih ibadah yang dirasa paling ikhlas menjalankannya. Hal ini
penting, karena ia akan sangat menentukan hasil akhir suatu
amal. Apakah suatu amal akan menghasilkan pahala yang sedikit
atau banyak, atau bahkan justru mengundang dosa dan murka
Allah, itu semua tergantung pada niatnya.
Untuk itu, kita harus mendahulukan amal yang dirasa
paling ikhlas walaupun amal itu hanya mubah saja. Misalnya, kita
lebih baik melakukan makan yang hukumnya mubah tapi kita
punya niat yang benar dan ikhlas, daripada mengerjakan shalat
sunat tapi kurang ikhlas dan tidak khusyuk. Kita lebih baik pergi
ke pasar mencari rezeki dengan niat bersedekah kepada keluarga,
daripada menjalankan puasa sunah di rumah tapi menelantarkan
keluarga. Kita lebih baik diam dan berpikir terlebih dahulu, dari-
pada berkata baik tapi tidak ikhlas dan menyakitkan. Dan demi-
kianlah amal-amal lainnya, tinggal kita pandai-pandai men-
cermatinya.
Perlu diingat, jika kita mendahulukan yang mubah daripada
yang sunah, yang sunah ghairu muakkad daripada yang sunah

108
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

muakkad. Ini bukan berarti mengecilkan, meremehkan, atau


mengesampingkan amalan yang derajatnya lebih tinggi. Tapi
tujuannya adalah untuk mencari keikhlasan yang tertinggi dalam
amal. Bukankah kunci pahala itu ada pada keikhlasan. Setinggi
atau semulia apapun perbuatan kita, jika tidak dilakukan dengan
ikhlas, maka amal itu akan sia-sia dan bahkan bisa mengundang
siksa. Dan sebaliknya, sekecil atau seremeh apapun amal kita,
jika dilakukan ikhlas karena Allah, maka amal itu akan menjadi
bernilai tinggi di sisi-Nya. Yang menjadi penilaian utama Allah
itu bukan bentuk amalnya, tapi niat dan tujuannya.
Firman Allah swt. dalam al-Qur’an:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah
yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj: 37)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan me-
reka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan per-
damaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demi-
kian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi
kepadanya pahala yang besar.” (QS. an-Nisa’: 114)
Sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat kepada tubuh
dan rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian.”
Namun demikian, pemilihan yang seperti itu tidaklah
mutlak. Jika kita mampu memperbaiki niat kita dalam yang sunah,
lalu kita bisa berbuat ikhlas, tentu saja yang sunah lebih utama
dan hendaknya lebih didahulukan daripada yang mubah.

109
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

5. Mengembangkan niat amal


Sebelum beramal, hendaknya kita berhenti untuk berpikir
dan merenung terlebih dahulu. Yakni memikirkan tentang be-
rapa banyak niat baik yang bisa kita peroleh dan kumpulkan.
Terkadang, dalam satu amal kebaikan, kita bisa mendapat-
kan tiga, lima, atau bahkan mungkin lebih dari sepuluh niat
kebaikan. Dan dalam setiap niat baik yang kita lakukan itu, kita
akan diganjar dengan pahala satu kebaikan. Maka, semakin ba-
nyak niat baik, semakin banyak pula pahala yang diraih.
Kita akan mendapatkan pahala itu sesuai dengan tingkat
keikhlasan dan seberapa banyak niat baik yang kita maksudkan.
Tentang hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan pahala-Nya


sesuai kadar niatnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)
Misalnya kita hendak berangkat mengikuti pengajian di
masjid. Kita tahu bahwa mengaji atau menuntut ilmu agama
itu merupakan amal yang mulia dan utama. Dengan niat ini
saja, jika kita ikhlas, maka kita akan mendapatkan pahala yang
besar. Namun bila kita mau berpikir lebih dalam, kita sebenar-
nya dapat mengembangkan niat amal kita itu, sehingga dengan
kita dapat meraih keutamaan orang-orang yang bertakwa dan
mencapai derajat muqarrabiin. Di antara niat-niat baik yang
bisa dilakukan adalah:
· Menyengaja untuk mendapatkan ilmu yang manfaat.
· Niat menghilangkan kebodohan.

110
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

· Niat mencari ilmu untuk diamalkan.


· Mensyukuri atas nikmat akal.
· Niat bersilaturahim dengan saudara muslim.
· Niat i’tikaf di masjid.
· Kita meyakini bahwa masjid adalah Baitullah, dan orang yang
memasukinya berarti mengunjungi Allah. Maka dengan itu,
kita juga niat mengunjungi Tuhan kita dengan berharap
apa yang dijanjikan Rasulullah saw., “Barangsiapa duduk
di masjid, sungguh ia telah berziarah Allah Ta’ala, dan hak
bagi yang dikunjungi memuliakan pengunjungnya.”
· Niat menunggu pelaksanaan shalat berjamaah.
· Mengekang pendengaran, mata, serta anggota-anggota lain-
nya dari perbuatan maksiat.
· Memusatkan zikir pada Allah dan berpikir tentang akhirat
dengan mengasingkan diri ke masjid.
· Niat meninggalkan dosa-dosa karena malu pada Allah dan
malu berbuat dosa di rumah Allah.
Sewaktu kita makan atau sarapan pagi, kita bisa meniat-
kannya dengan beberapa niat: niat mensyukuri nikmat Allah,
niat untuk memperoleh kekuatan agar dapat berbuat taat pada
Allah. Lalu, ketika di pagi hari kita berangkat kerja, maka kita
bisa meniatkannya dengan beberapa niat: Niat berbuat taat
kepada Allah swt. dan Rasul-Nya, niat mencari keridhaan-Nya,
niat mencari pahala akhirat dari sisi-Nya, niat mencari nafkah
untuk menghidupi keluarga, niat menghindarkan diri dari me-
minta-minta, niat menjaga kehormatan diri dan keluarga.
Lihatlah, betapa satu amal kebaikan bisa diniatkan untuk
lebih dari sepuluh niat kebaikan. Dan begitulah, setiap amal
kebaikan itu bisa diniatkan untuk banyak sekali niat kebaikan.

111
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Maka, sungguh sangatlah rugi apabila satu kebaikan yang ter-


nyata bisa menghasilkan sepuluh pahala kebaikan, seratus, seribu,
atau bahkan mungkin tidak terbatas, namun kita hanya meniat-
kannya satu kebaikan saja. Ini semua adalah tergantung pada
niat kita, kejelian, dan kepandaian kita dalam mengumpulkan
niat kebaikan.

B. Menjaga Ikhlas Ketika Beramal


Setelah kita menentukan amal dan menata niat dengan
benar, maka awalilah dengan membaca basmalah. Segala aktivitas
kita: mau keluar rumah, mau pergi ke sekolah, jalan-jalan, ke rumah
teman, memasak, mencuci, sampai memakai pakaian, seyogyanya
kita mulai dengan mengucap basmalah. Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap perkara itu punya keadaan yang mulia. Jika tidak
dimulai dengan membaca basmalah maka ia terputus (berkurang
kebaikannya).”
Sabda Beliau ini mengandung maksud bahwa ucapan bas-
malah yang keluar dari mulut kita itu hendaknya bukan hanya se-
kedar ucapan semata, namun ia mampu mengingatkan hati kita
sehingga perbuatan yang kita lakukan benar-benar ikhlas karena
Allah. Karena jika hanya di mulut saja, maka ia sedikit manfaatnya,
walaupun itu sudah baik.
Dan jika kita terlupa membaca basmalah di awal amal,
maka kita tetap dianjurkan dan disunahkan agar membacanya mes-
kipun saat itu kita sedang melakukannya, atau bahkan kita hampir
selesai sekalipun. Sabda Rasulullah saw.:
“Jika salah seorang dari kalian memakan makanan, hendak-
lah ia membaca ‘bismillah’. Bila ia lupa membaca ‘bismillah’ di awal-
nya, hendaklah ia membaca: ‘Bismillahi fi awwalihi wa aakhirihi’

112
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

(Dengan menyebut nama Allah di walah dan akhirnya (perbuatan-


ku).” (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)
Dengan mengucapkan basmalah di setiap kali berbuat,
Insya Allah kita akan selalu ingat dan sadar dalam amal yang sedang
kita lakukan. Niat awal kita yang telah tulus yang diawali dengan
asma Allah akan membangun kesadaran hati kita hingga selesai
beramal.
Selanjutnya ketika beramal, kita pun harus selalu ingat
dan menjaga keikhlasan kita. Karena bukannya tidak mungkin, niat
ikhlas yang telah kita bangun sejak awal menjadi rusak di tengah-
tengah kita mengerjakan amal. Bisa jadi karena munculnya keadaan-
keadaan tertentu, kita menjadi lupa, tertipu dan akhirnya rusaklah
keikhlasan kita. Misalnya karena dilihat orang banyak, diawasi orang
yang kita hormati, didengar oleh teman-teman kita. Karena itu,
ada beberapa kesadaran yang harus selalu kita bangun ketika ber-
amal. Yakni antara lain:
a. Ketahuilah dan sadarilah bahwa Allah swt. adalah Rabb yang
berhak disembah. Karena Dia-lah pencipta alam semesta, yang
telah memberikan nikmat yang tiada terhitung kepada kita.
Kita adalah makhluk yang lemah, sedang Dia-lah yang Perkasa
dan Kuasa. Maka hanya Dia-lah yang patut kita sembah.
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang
Mahasuci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keaman-
an, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha-
kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Mahasuci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-Hasyr: 23)
Camkan dalam hati bahwa saat ini saya sedang berbuat
dan berurusan dengan Allah, Pencipta dan Penguasa Yang
Maha Mendengar dan Maha Menyaksikan. Jika saya beramal

113
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

bukan untuknya, maka Dia akan memurkai saya. Tapi jika saya
beramal untuk mencapai ridha-Nya, maka Dia akan mengasihi
dan memuliakan saya.
b. Konsentrasikan pikiran dan hati kita hanya kepada Allah swt.
Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita.
Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan dengan penge-
tahuan Allah akan segala tindakan kita. Jika terbetik dalam
benak kita bahwa orang-orang sedang melihat dan mengawasi
kita, maka lawanlah dengan mengatakan pada diri kita: apa
urasanmu dengan orang-orang itu, mereka tahu atau tidak,
Allah swt. mengetahui keadaan kita. Apa manfaatnya orang
mengetahui (amal kita)? Toh mereka semua tidak akan mampu
memberi manfaat atau menolak madharat dari diri kita. Untuk
dunia dan juga untuk akhirat kita. Hanya Allah yang berkuasa
atas segalanya. Sandainya kelak di hari pembalasan nanti kita
dihisab oleh Allah, maka tak satu pun dari mereka yang dapat
menolong kita untuk masuk surga ataupun menyelamatkan
kita dari neraka. Bahkan, seandainya seluruh manusia mulai
dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakang
kita, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorong kita
masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka,
mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan
amalan hanya untuk mereka?.
Apapun yang dilakukan kalau konsentrasi kita hanya ter-
tuju kepada Allah, maka kita akan mudah mencapai ikhlas.
Imam Ali ra. berkata, “Orang yang ikhlas adalah orang yang
memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh
Allah.”

114
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

c. Selalu ingatlah pada surga Allah yang luasnya seluas langit


dan bumi, yang disediakan bagi para hamba-Nya yang beriman
dan beramal ketaatan kepada-Nya. Renungkanlah secara men-
dalam bahwa para penghuni surga itu tak akan pernah sakit,
tak mungkin bersedih hati, tak bakal mati, tak pernah menjadi
tua. Penghuni surga itu akan menempati istana-istana yang
bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya ter-
lihat dari luar. Di dalam surga itu terdapat semua hal yang
tidak pernah dilihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan ter-
betik di dalam hati manusia. Sebatang pohon di surga tak akan
selesai dikelilingi oleh seorang pengendara kendaraan selama
seratus tahun lebih. Panjang semua kemah yang didirikan di
surga dapat mencapai tujuh puluh mil lebih, sungai-sungai-
nya mengalir dengan deras, istana-istananya sangat indah nan
megah, buah-buahannya menggelayut rendah hingga mudah
dipetik, takhta-takhtanya demikian tinggi, gelas-gelasnya ter-
tata rapi, permadani-permadaninya terhampar luas.
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebab-
kan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Dan itulah surga
yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang
dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang
banyak untukmu yang sebahagiannya kamu makan.” (QS. az-
Zukhruf: 72-73)
Demikianlah seyogyanya kita selalu mengingatkan diri
bahwa di surga itu terdapat kesenangan yang sempurna, ke-
gembiraan yang agung. Kita beramal bukan untuk mendapat-
kan kesenangan dunia yang sedikit dan cepat menghilang, tapi
kita beramal untuk meraih surga Allah swt. yang kekal abadi.

115
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

d. Yakinlah akan besarnya pahala di sisi Allah swt. bagi orang


yang beramal dan berjuang secara ikhlas. Ketika hati kita telah
mampu melihat pahala yang dijanjikan Allah, maka segala
sesuatunya akan terasa ringan. Seperti orang yang ada dalam
perniagaan dunia, walaupun ia bekerja banting tulang siang
dan malam, namun semua itu terasa ringan di hatinya dan ia
melakukannya dengan gembira dan penuh harapan. Begitu-
pun selayaknya orang yang mencari perdagangan akhirat,
hendaklah ia selalu teringat dan yakin dengan pahala yang
telah dijanjikan di akhirat.
Sungguh jika kita melakukan perdagangan akhirat, maka
tidak akan ada perbuatan yang sia-sia manakala dilakukan
dengan keikhlasan.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab
Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi agar Allah menyempurna-
kan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada
mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengam-
pun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fhaathir: 29-30)
Lain halnya dengan perdagangan dunia, maka penuh
dengan tipu daya dan kebohongan. Terkadang kita sudah capek
dan berjuang mati-matian untuk memperoleh uang, namun
pada akhirnya tidak dapat juga.
e. Lakukan amal ketaatan dengan perasaan penuh harap akan
rahmat Allah disertai dengan rasa takut dan cemas kalau amal-
nya tidak diterima Allah. Al-Qur’an menggambarkan kondisi

116
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

hati orang yang ikhlas ketika beramal sebagai orang-orang


yang hatinya dipenuhi perasaan takut dan cemas.
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mere-
ka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.”
(QS. al-Mu’minun: 60)
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.
Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”
(QS. al-Anbiyaa: 10)
Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang maksud ayat ini,
Beliau menjawab, “Yang dimaksud dengan ayat itu adalah me-
reka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak
diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad sahih).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani ra. berkata, “Yang demi-
kian dikarenakan seorang mukmin mungkin sekali datang ke-
padanya sesuatu yang menodai amalnya sehingga berubah
niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus
kepada kemunafikan, dikarenakan ketakutan mereka tersebut,
tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara’
dan takwa, semoga Allah meridhai mereka semuanya.”
Demikianlah, mereka merasa takut belum bisa melaksa-
nakan amalan-amalnya sesuai dengan syarat-syarat ibadah
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Maka mereka
tidak bisa memastikan bahwa mereka telah melaksanakannya
sesuai dengan keinginan Allah, tapi mengira telah melakukan
kekurangan dalam hal tersebut.

117
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Abdul Aziz bin Abi Rawwaad ra,. berkata, “Aku menjumpai


mereka (salafush shaleh) bersungguh-sungguh dalam beramal,
apabila telah mengerjakannya mereka ditimpa kegelisahan
apakah amal mereka dikabulkan ataukah tidak?”
f. Ingatlah selalu bahwa ajal selalu mengintai kita. Kita selalu
bergerak maju menjeput kematian. Beramallah kepada Allah
seakan kita akan meninggalkan dunia ini esok hari. Sabda
Rasulullah saw.:
“Beramallah kepada Allah seakan engkau melihat-Nya!
Anggaplah dirimu sebagai orang-orang yang telah mati!”
(HR. Thabrani dan Baihaqi)
Ketika seseorang selalu mengingat kematian, maka ia
akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan.
Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap
menjemputnya tanpa minta izin terlebih dahulu. Sehingga ia
takut meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul kha-
timah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
Apabila kesadaran di atas benar-benar mampu dibangun
dan dirasakan, Insya Allah kita akan bisa menikmati setiap amal
yang sedang kita lakukan. Kita akan enjoy, suka, dan gembira
serta bahagia ketika beramal. Kita tidak akan terpesona dan
tergiur oleh godaan-godaan dunia. Karena semua kesenangan
dunia itu telah tergantikan dan tertutupi oleh indahnya beribadah
kepada Allah, indahnya bermunajat kepada-Nya, kegembiraan
melihat pahala surga yang dijanjikan oleh-Nya.
“Sembahlah Allah seakan engkau melihat-Nya. Jika engkau
tidak mampu melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

118
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

C. Menjaga Pahala Setelah Beramal


Sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita
sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada
baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan.
Setelah beramal, kita juga harus terus menjaga keikhlasan.
Karena bukan berarti ketika kita telah selesai beramal, lalu kita telah
aman dari sesuatu yang bisa merusak amal. Penyakit berbahaya yang
biasa akan muncul setelah amal adalah perasaan ‘ujub, berbangga
diri dengan ibadah dan amal kebaikan.
‘Ujub adalah sesuatu yang sangat lembut, hingga terka-
dang kita tanpa terasa sebenarnya telah terjerumus dalam penyakit
ini. Ada beberapa anak panah iblis yang diarahkan kepada kita agar
amal yang telah kita lakukan rusak dengan ‘ujub.
1. ‘Ujub yang nampak dalam perilaku serta sikap kita. Yakni me-
rasa lebih unggul, lebih mulia, dan lebih layak masuk surga dari-
pada orang lain disertai dengan meremehkannya. Hingga ter-
kadang muncul ucapan yang cenderung merendahkan dan
memvonis orang lain.
Rasulullah saw. pernah menceritakan kepada para sahabat
bahwasanya seseorang berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan
mengampuni si fulan.” Allah swt. berfirman, “Siapakah yang
bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si
fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku
telah menghapus amalmu.” (HR. Muslim)
Lihatlah bagaimana orang yang ‘ujub dengan ibadahnya,
semuanya pahala ketaatannya itu menjadi hilang dan terhapus.
2. ‘Ujub yang tidak nampak tapi dapat dirasakan di hati. Seseorang
mungkin saja tidak menampakkan dan tidak mengucapkan
kata-kata yang menandakan ia orang yang ‘ujub. Tapi jika di

119
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

hatinya ia merasa kagum dan takjub terhadap amal ibadahnya,


maka ia adalah orang yang ‘ujub. Karena sesungguhnya ‘ujub
itu perbuatan hati.
Atau seseorang bisa saja mengatakan, “Aku tak ‘ujub de-
ngan amal-amalku, aku tak melebihkan amal yang kukerjakan,
dan aku selalu berusaha mengingat dosa-dosaku….” Tapi begitu
pun, jangan lengah, karena itu semua belum menandakan kita
selamat dari perangkap ‘ujub yang lain.
3. Mungkin saja kita bisa menghindar dari merasa kagum pada diri
sendiri. Tapi kita tidak bisa menghindar dari perasaan senang
ketika mendengar pujian orang lain kepada kita. Sufyan Tsauri
ra. memberi nasihat yang mengingatkan kita tentang hal ini.
Katanya, “Kalau engkau tidak ‘ujub dengan dirimu, engkau
mungkin saja senang dengan orang yang memujimu dan eng-
kau mungkin juga senang bila dengan pujian itu orang-orang
memuliakanmu dengan amalmu. Mereka melihat dirimu mulia
dan engkau memiliki tempat tersendiri dalam hati mereka….”
Inilah anak panah syaitan berikutnya untuk merusak amal.
Dan sedihnya, sangat sedikit orang yang bisa selamat dari bi-
sikan syaitan ini. Karena itu, Fudhail bin Iyadh memiliki pan-
dangan tajam untuk menimbang dan menyikapinya. Ia menga-
takan, “Sesungguhnya terrmasuk tanda-tanda kemunafikan
adalah jika seseorang menyukai pujian apa yang tidak ada pada
dirinya. Kemudian ia membenci orang yang tidak menyukai
dirinya karena sesuatu yang memang ada pada dirinya. Semen-
tara, ia juga membenci orang yang mengetahui aib-aibnya….”
4. Panah ‘ujub tak habis sampai di sini. Mungkin saja seseorang
tidak ‘ujub pada dirinya, dan tidak suka dengan pujian, tapi
ada celah lain yang bisa menjerumuskannya dalam penyakit

120
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

‘ujub. Apa itu? “Siapa yang mencaci dirinya sendiri di hadap-


an orang lain sesungguhnya dia itu termasuk alamat riya’,”
begitu kata Hasan al-Bashri. Itu juga termasuk bagian dari ‘ujub,
yang kerap tidak disadari oleh pelakunya. Berniat untuk me-
rendahkan diri, tapi yang muncul syaitan justru membalik ke-
adaannya menjadi ‘ujub.
5. Ada panah ‘ujub yang lainnya, yakni jika kita cenderung se-
nang bila mendapatkan orang lain melakukan kesalahan. Se-
perti diingatkan oleh Fudhail, “Di antara alamat munafik
adalah bila sesorang senang mendengar kesalahan dan kekeli-
ruan orang lain.” Ini yang paling aneh dan paling sulit dideteksi.
Syaitan tidak pernah putus asa. Ketika seseorang dapat
menyelesaikan amalnya dengan ikhlas, syaitan mulai menggelitik
hatinya dan merayunya untuk menceritakan amal salehnya itu pada
manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, “Ini bukanlah
riya’…, tapi supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya ter-
jebaklah orang tersebut dan dia pun mengungkapkan kebaikan-
kebaikannya di hadapan orang. Maka bisa jadi dia pun mencerita-
kan kabaikan-kebaikannya pada manusia karena riya’ dan ‘ujub de-
ngan amalnya.
Maka, untuk menghindarkan diri dari sifat ‘ujub, sebisa
mungkin jangan sampai kita menceritakan amal baik yang telah
kita lakukan kepada orang lain. Tidaklah perlu kita menyebutkan atau
menceritakannya kalau tidak punya niat yang benar.
Adapun cara mongobati sifat ‘ujub ini adalah dengan ke-
makrifatan dan pengertian, karena penyebab sifat ‘ujub adalah ke-
bodohan semata. Beberapa pengetahuan di bawah ini semoga dapat
menyadarkan diri kita sehingga kita bisa terhindar dari sifat yang
berbahaya ini. Semoga Allah mengaruniakan petunjuk yang lurus,

121
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

menyelamatkan kita dari kekhilafan dan kesesatan, dan melindungi


serta menjauhkan kita dari sifat ‘ujub yang merugikan dunia dan
akhirat ini.

a. Yakinlah bahwa kita bisa mengerjakan amal karena


pertolongan Allah
Kita harus yakin dan selalu ingat bahwa kita bisa mengerja-
kan shalat, bersedekah, berangkat haji, membantu orang lain,
dan berbuat amal kebajikan, itu semua adalah karena perto-
longan Allah. Coba saja kita pikir, misalnya kita berkeinginan
shalat tahajud nanti malam. Siapakah yang menggerakkan niat
di hati sehingga kita ingin mengerjakannya. Jika pun hati kita
tergerak, tapi bila tidak ada pertolongan Allah, tentu itu tidak
akan menjadi niat yang benar-benar kuat. Karena, banyak se-
kali lintasan pikir, ide, gerak hati, yang hanya sekedar keinginan
semata, dan tidak sampai pada derajat niat. Untuk sampai pada
niatan yang kuat, dibutuhkan perjuangan melawan berbagai
bisikan nafsu serta syaitan. Tanpa pertolongan Allah, semuanya
mustahil bisa tercapai.
Lalu ketika di waktu malam kita terbangun, siapakah yang
membangunkan kita? Bisa saja kita telah mempersiapkan segala
sesuatunya, alarm sudah dipasang dan orang yang ada di rumah
sudah diperintahkan untuk membangunkan kita. Tapi jika Allah
tidak menolong kita, kita tidak akan mampu bangun. Sewaktu
kita terjaga dan kita telah mulai membuka mata, mungkin saja
kita tidak jadi bangun shalat tahajud karena kita masih merasa
kantuk atau ogah-ogahan.

122
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Dan menakala kita bangun dan akhirnya mengerjakan


shalat, kita menggunakan kekuatan siapa? Bukankah tubuh ini
bisa kuat beribadah karena Allah. Mata, telinga, tangan, kaki,
dan keseluruhan anggota tubuh ini semuanya adalah milik Allah
dan ada dalam genggaman-Nya. Sungguh kita tidak mampu
beribadah tanpa bantuan Allah.
Misalnya lagi kita bersedekah. Siapakah yang memuncul-
kan niat di hati hingga kita terbetik dan mau bersedekah? Sesung-
guhnya sifat hati itu selalu berbolak-balik. Jika tidak ada perto-
longan Allah, tentu hati kita tidak berkeinginan bersedekah.
Banyak orang yang dikaruniai harta yang melimpah, namun
sedikit dari mereka yang mau bersedekah. Siapakah yang mem-
beri dan mengirimkan uang kepada kita? Uang itu sebenarnya
adalah milik Allah dan kita hanya dititipi? Kita kerja mati-matian
siang malam cari uang, tapi jika Allah tidak menghendaki tentu
kita tidak dapat memperolehnya.
Jika demikian keadaannya, apakah pantas kita mengaku-
aku kalau amal itu berasal dari diri kita? Apakah patut bagi kita
membanggakan diri dan mengagumi pada diri kita, sementara
perbuatan itu bukan milik kita?
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-
lah yang melempar.” (QS. al-Anfaal: 17)
“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-
Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-
lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-

123
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.


an-Nuur: 21)

b. Ucapkanlah Hamdalah dengan sepenuh hati setiap


kali selesai beramal
Setelah selesai beramal, ucapkanlah selalu Alhamdulillah.
Bersyukurlah kepada Allah atas segala nikmat dan karunianya
sehingga kita mampu berbuat taat kepadanya. Inilah ajaran
yang selalu diingatkan oleh Beliau Rasulullah saw. Beliau selalu
memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya dalam setiap keadaan.
Sampai Beliau bersabda:
“Seandainya dunia dengan segala isinya ada di tangan
seseorang dari umatku, kemudian ia mengucapkan ‘Alhamdu-
lillah’, maka ‘Alhamdulillah’ itu lebih utama dari semua itu.” (HR.
Ibnu ‘Asakir)
Dan hendaknya ucapan hamdalah itu tidak hanya sekedar
di mulut saja. Namun mampu mengingatkan, menggugah dan
menyadarkan hati kita sehingga tidak lupa bahwa amal itu sum-
bernya dari Allah. Segala ketaatan yang telah kita lakukan adalah
berkat karunia dan pertolongan Allah.
Jadi ada dua kewajiban yang harus kita lakukan setelah
beramal. Pertama, kita bersyukur karena Allah telah memberi
kita kekuatan dan kemampuan sehingga kita mampu menyempur-
nakan amal kita dengan baik. Kedua, kita berlepas diri dari
segala daya dan upaya kita. Kesadaran dan pengetahuan ini ha-
ruslah dimiliki oleh setiap orang yang beramal agar amalnya
tidak rusak oleh sikap ‘ujub.
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya) …” (QS. an-Nahl: 53)

124
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

c. Bergembiralah karena rahmat dan karunia Allah,


bukan kerena kemampuan amal kita
Apabila kita tidak bisa berbuat ketaatan dan kebajikan
tanpa bantuan dan pertolongan Allah, maka semua yang kita
kerjakan adalah karena rahmat dan pertolongan Allah. Karena-
nya, kalau pun kita bergembira dan merasa senang, hendak-
lah kegembiraan itu karena rahmat dan nikmat Allah, bukan
karena kemampuan diri kita.
Allah telah memerintahkan kita dalam firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kum-
pulkan.” (QS. Yunus: 58)
Firman Allah swt. itu mengandung makna agar kita me-
ngakui rahmat dan anugerah Allah dalam setiap hasil apapun
yang kita dapatkan. Ketika kita mampu berbuat ibadah atau
kebajikan, hendaknya kita bergembira karena nikmat Allah,
bukan karena nikmat itu sendiri. Dengan kata lain, ketika kita
bisa bersedekah misalnya, kita bahagia karena Allah telah me-
ngaruniakan rahmat dan pertolongannya sehingga kita bisa
bersedekah.

d. Semuanya adalah milik Allah


Memang setiap orang mempunyai kelebihan tertentu
yang tidak dimiliki oleh orang lain, tetapi milik siapakah semua
kelebihan itu? Jika kita punya otak yang cerdas, milik siapakah
otak itu, siapakah yang selalu menjaganya sehingga bisa tetap
berpikir dengan sehat? Jika kita punya mata yang indah, hidung
yang mancung, bibir yang seksi, muka yang ganteng, wajah

125
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

yang cantik dan perawakan yang semampai, apakah semua


itu milik kita? Allah swt. berfirman:
“Bagi Allah semua kerajaan langit dan bumi dan apa yang
ada di antaranya.” (QS. al-Maidah: 120)
Maksud dari ayat di atas adalah apapun yang kita miliki,
semuanya adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada kita
agar kita dapat memanfaatkannya dan sebagai ujian bagi kita.
Tidak seorang pun yang memiliki sesuatu di alam semesta
ini walaupun sekecil atom kecuali Allah. Uang, harta, kekayaan,
nyawa, hidup, keluarga dan sebagainya, semuanya milik Allah,
semuanya hanya titipan.
Jika Allah berkehendak, mudah saja bagi-Nya menumpul-
kan otak yang cerdas, menghilangkan kejeniusannya secara
keseluruhannya. Tidak sedikit orang yang dulunya punya kecer-
dasan dan kepintaran yang gemilang dan akhirnya ia menjadi
hilang ingatan secepat kilat. Bila Allah mau, tidak sulit bagi-
Nya mengubah wajah seorang wanita yang dulunya cantik
jelita menjadi buruk dan menakutkan. Kalau Allah menghen-
daki, sangat mudah bagi-Nya memusnahkan segala harta
benda yang kita miliki, melepaskan setiap kekayaan yang kita
genggam erat.

e. Selalu ingatlah, di atas orang yang kuat ada yang


lebih kuat
Sesungguhnya perasaan kagum, takjub, dan berbangga
diri itu sumbernya dari kebodohan, ketidaktahuan, dan kepicik-
an pikiran kita. Seandainya kita mau membuka mata, mema-
sang telinga, dan memancangkan pikiran kita, lalu berpikir jauh
ke depan, membuka lembaran kisah-kisah orang saleh ter-

126
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

dahulu, membaca catatan orang-orang yang telah menuai


kesuksesan, maka tentu kita tidak akan pernah merasa kalau
diri kita ini lebih saleh, lebih kuat ibadahnya, lebih sukses, lebih
kaya, dan lebih yang sebagainya.
Dunia ini dalam setiap tahapan sejarahnya selalu dipenuhi
oleh orang-orang yang sukses. Di atas orang yang kaya, pasti
ada yang lebih kaya. Di atas orang yang pandai pasti ada yang
lebih pandai. Di atas orang yang saleh pasti ada yang lebih
saleh. Dan begitu seterusnya. Dalam segala hal selalu ada orang
yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.
Jika kita membanggakan diri dan kagum pada ibadah
dan kesalehan kita, maka lihatlah orang-orang saleh dan para
ahli ibadah generasi terdahulu. Bacalah kisah-kisah kesaleh-
an mereka. Sungguh amal ibadah dan kesalehan yang selama
ini kita kagumi tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan
kesalehan mereka.
Allah telah memberikan contoh untuk umat manusia,
para hamba pilihannya-Nya yang punya kelebihan di atas
rata-rata manusia. Allah telah memberikan kepada Nabi Sulai-
man kekayaan, kekuasaan, dan kerajaan yang takkan tertandingi
oleh manusia manapun di dunia ini. Allah telah menganuge-
rahkan berkat agung kepada Nabi Ibrahim as., yang tidak
ada yang melebihi dari keberkatannya. Allah juga telah me-
ngaruniakan kemuliaan kepada Nabi Muhammad saw., yang
tidak pernah Dia berikan kepada yang selainnya.

127
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

f. Yang menilai amal ibadah kita hanya Allah


Seseorang bisa saja mendapat nilai seratus dari manusia,
namun sesungguhnya ia tak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah.
Sebaliknya, seseorang bisa saja mendapat nilai seratus di sisi
Allah, namun ia seperti tidak memiliki nilai apapun di hadapan
manusia.
Oleh karena itu, seorang hamba setelah berusaha semaksi-
mal mungkin, hendaknya senantiasa khawatir antara ditolak dan
diterima amal perbuatannya, takut kalau amal ibadahnya terda-
pat penyakit yang bahayanya lebih besar daripada pahalanya.
Jangan sampai ada ‘ujub dan bangga dengan amalnya, dan bahkan
terus meningkatkan kualitasnya.
Imam ash-Shadiq as. pernah bercerita, “Ada dua orang
lelaki memasuki masjid. Salah seorang dari keduanya adalah
ahli ibadah dan yang satunya lagi adalah seorang fasiq (gemar
berbuat maksiat). Ketika keduanya keluar dari masjid, yang fasiq
menjadi shiddiq (benar) sementara si ahli ibadah berubah menjadi
fasiq. Yang demikian itu karena ketika si ahli ibadah memasuki
masjid, ia bersandar pada ibadah-ibadahnya. Begitulah yang
ada dalam benaknya. Sedangkan si fasiq menjadi sadar akan ke-
fasiq-annya, lalu ia menyesalinya dan memohon ampun atas
dosa-dosanya kepada Allah (selama ini).”
Beliau juga berkata, “Seseorang dari Bani Israel telah ber-
ibadat kepada Allah selama empat puluh tahun, tetapi tidak
diterima amal ibadatnya, hingga akhirnya ia mencela dirinya
sendiri. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Celaanmu
kepada dirimu sendiri itu adalah lebih baik daripada ibadatmu
(yang kamu lakukan) selama 40 tahun.”

128
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Yahya bin Ma’in pernah berkata, “Sesungguhnya kami


mencela manusia, padahal mungkin mereka yang dicela terse-
but telah disediakan tempat mereka di surga sejak dua ratus
tahun yang lalu.”
Dikisahkan, pada suatu masa Nabi Daud as. keluar ke
pesisir untuk beribadat dan ketika telah genap setahun, ia ber-
doa, “Ya Rabbi, Ya Tuhanku, telah bongkok punggungku dan
lemah mataku dan kering air mataku, tetapi aku belum juga
mengetahui bagaimana nasibku.”
Maka Allah menyuruh katak untuk menjawab doa Nabi
Daud as. itu. Lalu katak berkata, “Hai Nabi utusan Allah, apakah
Anda mengungkap dan mengingat-ingatkan pada Tuhan ibadat-
mu yang setahun. Demi Allah yang mengutusmu menjadi Nabi,
saya di hutan ini selama tiga puluh tahun (atau enam puluh ta-
hun) bertasbih, bertahmid kepada Tuhan, sedang persendian-
ku tetap gementar karena takut kepada Tuhanku.”
Maka menangislah Nabi Daud mendengar kata-kata katak
yang menyadarkannya.

g. Selalu menganggap orang lain lebih baik daripada


diri kita
Hendaknya kita senantiasa melihat orang lain lebih baik
di sisi Allah daripada diri kita sendiri. Sebagai contoh, jika kita
melihat orang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah
kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak
berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih
tua darinya tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak ada
keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”

129
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita,


maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah
kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tidak ada keraguan
lagi bahwa ia lebih baik daripada aku.”
Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah kita
berkata, “Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya berma-
cam-macam pemberian ilmu yang tidak dikurniakan kepadaku.
Ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya,
dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui,
maka bagaimana aku bisa sepertinya?”
Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita
berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada
Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan
ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah
nanti?”
Saat kita menyaksikan orang fasiq atau ahli maksiat, maka
hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang
dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenar-
nya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan
bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. Terbu-
ka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali
perbuatannya, lalu ia melakukan amal saleh yang nilainya lebih
tinggi di mata Allah daripada amal kita. Sedangkan kita sendiri
sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatan
kita itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan kita juga tidak pernah
mengetahui apa yang akan terjadi pada diri kita esok hari.”
Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita ber-
kata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman,
memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah,

130
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan


ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”
Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan
yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat dapat me-
mastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir
hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang bisa
tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapa-
kah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat?
Semua itu adalah rahasia Allah, yang tidak ada seorang pun yang
dapat mengetahuinya. Bahkan beliau Rasulullah saw. pun berkata:
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku menge-
tahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa
yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang
yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memi-
kirkan(nya)?” (QS. al-An’aam: 50)
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan
bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pem-
beri peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang
yang beriman.” (QS. al-’Araaf: 188)

h. Ingatlah aib sendiri


Jika suatu ketika ada seseorang yang memuji amal kita,
maka janganlah terkecoh tentang hakikat diri kita di hadapan
orang yang memuji, karena toh kita lebih mengetahui tentang

131
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

rahasia hati dan diri kita daripada orang lain yang bisa tertipu
penampilan dan tidak mengetahui batinnya.
Maka jadilah engkau orang yang mencela dirimu sendiri
karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa jika dipuji orang lain, maka
Beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena
apa yang mereka katakan. Berikanlah kebaikan kepadaku dari
apa yang mereka sangkakan dan ampunilah aku karena apa
yang tidak mereka ketahui.”
Tatkala Abu Bakar ra. dipuji di hadapan manusia, maka
Beliau berkata, “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang
mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka
tidak ketahui.” Beliau mengucapkan doa ini dengan keras untuk
mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga
mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Beliau tidak tertipu
dengan pujian mereka, tapi justru semakin teringat dengan aib
dan dosanya.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Seandainya kalian me-
ngetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang ber-
jalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah
di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengam-
puni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Ab-
dullah bin Rowtsah.”
Jika sahabat yang mulia seperti Ibnu Mas’ud mengatakan
yang demikian, maka di manakah letak kedudukan kita? Tidakkah
aib dan dosa-dosa kita lebih banyak dari Beliau? Seseorang jika
semakin bertambah makrifatnya kepada Allah, maka ia akan
sadar dan mengetahui bahwa aib dan dosa-dosanya banyak, dan
banyak, dan sangat banyak. Semakin bertambah makrifat se-

132
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

orang hamba kepada Rabb-nya, maka ia akan takut kepada


Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawa-
tir ia diagungkan di antara manusia, khawatir diangkat-angkat
di antara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga
dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak
Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini
merupakan salah satu bentuk dosa.

D. Berlatih dan Jangan Putus Asa!


Dalam berjuang mencapai ikhlas, butuh keseriusan, kegi-
gihan dan keistiqamahan. Jangan pernah surut melakukan amal
ibadah, melakukan kebajikan sosial, betapa pun kadar keikhlasan-
nya. Karena, untuk sampai pada derajat ikhlas yang tertinggi, butuh
proses yang panjang. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi
dengan sendirinya tanpa melalui proses, kecuali bagi Allah swt.
Ikhlas tidak akan datang sendiri. Keikhlasan itu berjenjang dari mulai
tahapan minimalis sampai tahapan maksimalis.
Misalnya pada tahap awal kita bersedekah mungkin ada
campuran tidak ikhlasnya. Tapi tidak mengapa. Jangan mundur dan
putus asa. Mau berbagi dengan orang lain saja itu sudah baik. Jangan
takut dan khawatir amal kita akan sia-sia. Lakukan dan berusahalah
untuk ikhlas. Jika kita bersungguh-sungguh berlatih ikhlas, Allah
Mahatahu dengan kesungguhan dan niat kita. Dia tidak akan pernah
mengecewakan setiap hamba-Nya yang berusaha keras mencari
ridha-Nya. Allah berjanji dalam al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ke-
ridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-’Ankabuut: 69)

133
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Ada orang yang meninggalkan amal karena takut riya‘.


Ini satu sikap yang salah, cocok dengan keinginan syaitan untuk
mengajak manusia malas (beramal) dan meninggalkan kebaikan.
Selama motivasi awal untuk beramalnya sudah benar dan sesuai
dengan tuntunan syari’at yang lurus, maka jangan meninggalkan
amal karena ada bisikan riya‘. Tetapi kita wajib berusaha mengatasi
bisikan riya‘ itu.
Fudhail bin Iyadl berkata, “Beramal karena manusia adalah
syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya`, dan ikhlas
adalah bila Allah swt. menyelamatkan Anda dari keduanya.”
Abu Thalib al-Makki berkata, “Seseorang tidak boleh
meninggalkan amal saleh karena takut terkena penyakit pada amal,
karena memang itulah yang dikehendaki oleh musuhnya (syaitan).
Tetapi dia harus kembali kepada niatnya semula, niat yang benar.
Jika amal tersebut tersusupi oleh penyakit, maka hendaknya ia se-
gera mencari obatnya, berusaha menghilangkannya dan tetap pada
niat yang benar dan tujuan yang baik. Tidak boleh meninggalkan
suatu amalan karena manusia, atau karena malu terhadap mereka.
Sebab beramal karena manusia adalah syirik, dan meninggalkannya
karena mereka adalah riya’. Meninggalkan amal karena khawatir akan
masuknya penyakit (riya’) di dalam hati adalah kebodohan, dan me-
ninggalkannya ketika amal tersebut sedang dilakukan (karena ke-
ikhlasannya terganggu) adalah suatu kelemahan. Siapa saja yang
beramal karena Allah dan meninggalkannya juga karena Allah, maka
tidak ada masalah baginya selagi masih berada dalam koridor ini,
tentunya setelah ia dapat membuang jauh-jauh segala niat buruk. “
Logikanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mencapai
ikhlas, jika ia sendiri tidak mau berusaha dan berlatih. Sedangkan
melatih ikhlas itu harus dengan amal. Tanpa amal maka tidak ada

134
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

ikhlas. Seseorang yang meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas,


maka selamanya ia tidak akan pernah bisa memperoleh ikhlas. Salah
seorang ulama berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan amal karena
takut tidak ikhlas, maka ia telah meninggalkan ikhlas dan amal.
Ada juga sebagian orang yang menyangka bahwa apabila
amal kebaikan itu dimulai dengan niat yang salah, maka amal tersebut
harus ditinggalkan. Ini adalah anggapan yang keliru. Mengapa? Karena
niat itu dapat diperbaiki dan dibangun di atas amal perbuatan ter-
sebut, tanpa harus meninggalkannya. Sebagian ulama salaf ada
yang pernah mencari ilmu tanpa niat yang sempurna dan benar,
kemudian mereka menyadari dan akhirnya kembali kepada Allah
serta memperbaiki niat mereka, memulai niat menuntut ilmu dengan
niat yang benar.
Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Para salaf mencari ilmu
karena Allah, sehingga mereka menjadi mulia dan menjadi imam
yang diteladani. Ada juga di antara mereka yang mulanya mencari
ilmu bukan karena Allah, setelah mereka mendapatkan ilmu mereka
introspeksi diri, maka ilmu mereka telah mengantarkan mereka
kepada keikhlasan di tengah jalan.”
Sufyan ats-Tsauri ra. berkata, “Kami mencari ilmu, dan
pada mulanya kami tidak memiliki niat yang benar, kemudian Allah
mengaruniakan niat kepada kami.”
Ketika amal-amal saleh yang kita kerjakan terkena polusi,
maka janganlah merasa lemah, sebab kotoran-kotoran tersebut
dapat dihilangakan, sehingga amal tersebut bisa menjadi benar-
benar jernih dan tidak hilang pahalanya.
Seseorang yang telah berusaha beramal dengan ikhlas,
namun ternyata masih ada noda yang mengotorinya, seperti kealpaan
atau syahwat, maka pahala amalnya tidak hilang secara keseluruhan.

135
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Ini merupakan keutamaan dari Allah untuk hamba-hamba Nya,


sehingga kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam keputusasaan dan
kesempitan hidup. Kotoran-kotoran yang semacam ini sangat sulit
dihilangkan, kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian bukan
berarti bahwa noda tersebut tidak berpengaruh terhadap amal,
ia tetap membuat pahala suatu amal menjadi berkurang kesempur-
naannya, namun tidak sampai kepada tingkat menghapuskannya
sama sekali.
Jika kita bersungguh-sungguh berlatih ikhlas, dari keistiqa-
mahan itu Insya Allah kita akan dapat mencapai ikhlas sedikit demi
sedikit, dari tingkatan ikhlas yang terendah sampai tingkatan yang
tertinggi.
Memang bagi seseorang yang hatinya condong pada dunia
dan dikuasai olehnya, sangat sulit baginya menghadirkan niat yang
tulus dalam hatinya, bahkan dalam hal-hal yang wajib (fardhu) sekali-
pun, kecuali dengan kesungguhan yang kuat. Keikhlasan akan sulit
menembus hati orang yang telah terpesona dan tergantung dengan
kehidupan dunia, kecuali atas taufik dari Allah. Jangan jauh-jauh,
kita tengok dalam hati kita masing-masing dalam hal yang ringan
saja, seperti makan atau tidur misalnya, kita melakukan itu biasanya
karena memang kita menginginkannya. Jarang terbetik di dalam
pikiran kita ketika melakukan itu adalah agar badan kita kuat dan
sehat, sehingga dapat melakukan ibadah kepada Allah dengan baik.
Demikian pula dalam melakukan berbagai amal yang lain, kita sering
merasakan adanya berbagai bisikan dan gangguan yang mengge-
rogoti kemurnian niat ikhlas kita kepada Allah.
Maka langkah pertama yang harus kita jalani adalah ber-
upaya membuat hati kita cinta dan rindu pada surga Allah. Orang
yang mengetahui betapa besarnya kenikmatan surga yang abadi,

136
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

tentu ia akan menginginkannya. Dan jika ia telah menginginkannya,


pasti ia akan mengejarnya. Orang yang mendambakan surga, ia
tidak akan rela menggantikan kebahagiaannya yang kekal ditukar
dengan kesenangan dunia yang sementara. Manakala terbersit di
hati kita keinginan untuk riya’ atau berbuat ‘ujub, ingatlah bahwa
kebahagiaan surga itu tidak pernah hilang dan luntur. Jika kita me-
mikirkan hal ini, kemudian membandingkan apa yang kita dapatkan
dari menampakkan keindahan di hadapan manusia di dunia dengan
apa yang tidak bisa kita raih di akhirat dan pahala yang terhapus,
kita akan dengan mudah menghilangkan keinginan tersebut. Seperti
orang yang mengetahui bahwa madu itu enak tetapi kalau ternyata
di dalamnya ada racun yang akan berakibat buruk baginya, ia akan
tinggalkan madu tersebut.
Jika hal itu tidak mampu atau belum sanggup menggugah
keikhlasan hati, maka ingatlah ancaman neraka, takutlah dengan
kedahsyatan siksanya. Orang yang mengingat neraka, tentu ia menjadi
takut kepadanya. Dan jika ia takut, konsekuensinya ia akan lari dari-
nya. Di akhirat kelak hanya ada dua tempat untuk menetap, di surga
atau di neraka. Menjadi penghuni surga atau penghuni neraka, itu
semua tergantung pada pilihan masing-masing manusia.
Dari sinilah mengapa dalam banyak ayat al-Qur’an yang
mengulang-ulang janji dan kabar gembira surga serta ancaman
siksa neraka. Hal itu dimaksudkan agar bisa meluluhkan hati yang
keras, mengingatkan hati yang lupa dan terpesona dengan dunia.
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
(QS. Saba’: 28)

137
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada)


hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna ter-
hadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun
tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Baqarah: 281)
Takut kepada Allah adalah cara yang utama untuk me-
numbuhkan keikhlasan seseorang. Ia harus mendedikasikan dirinya
kepada Allah dengan kecintaan yang mendalam setelah memahami
kebesaran-Nya, bahwa tidak ada kekuatan lain selain Allah, bahwa
hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini dan yang memeli-
hara setiap makhluk hidup dengan penuh kasih. Dengan demikian,
ia menyadari bahwa teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanya-
lah Allah. Karena itulah, keridhaan Allah adalah satu-satunya peng-
akuan yang harus kita cari. Selain rasa cinta yang mendalam, ia sangat
takut kepada Allah, sebagaimana firman Allah:
“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa
kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah: 203)
Rasa takut kepada Allah muncul dari pemahaman dan
penghargaan akan kebesaran dan kekuatan-Nya. Seseorang yang me-
mahami kebesaran kuasa Allah dan kekuatan abadi-Nya, akan me-
ngetahui bahwa ia bisa saja menghadapi murka dan hukuman-Nya
sebagai bagian dari keadilan Illahi jika ia tidak mampu mengarahkan
hidupnya sesuai dengan keinginan Allah. Kesengsaraan yang di-
siapkan oleh Allah dalam kehidupan duniawi dan akhirat untuk
mereka yang menafikan-Nya, dirinci di dalam ayat-ayat al-Qur‘an.
Semua manusia diperingatkan untuk mewaspadai hal itu. Setiap
mukmin sejati selalu menyadari akan hal ini. Takut kepada Allah
dilakukan agar ia selalu ingat bahwa kehidupan dunianya cepat atau
lambat akan berakhir dan bahwa semua manusia pada akhirnya

138
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

harus memperhitungkan perbuatan mereka di hadapan Allah. Jadi,


ia akan selalu menyadari murka Allah. Kesadaran ini menyebabkan
dirinya merasakan takut yang melekat saat menghadapi siksaan
Allah dan karena itu ia berusaha menghindarinya.
Berusahalah meluruskanlah niat sesering mungkin, seti-
daknya setiap hari, saat kita hendak memulai segala aktivitas, baik
beribadah, bekerja, maupun berbisnis. Camkan sampai melekat
di pikiran kita bahwa niat kita dalam beraktivitas apapun adalah
untuk beribadah kepada Allah.

E. Selalu Berdoa Kepada Allah


Ketahuilah bahwa hati manusia cepat berubah. Jika saat
ini dapat beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian
ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore
sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Riya’ adalah penyakit
yang sulit dideteksi dan kerap muncul tiba-tiba dalam hati kita.
Dan kita tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali
dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk meng-
obati riya’, sum’ah, dan ‘ujub, kita selalu membutuhkan perto-
longan dan perlindungan Allah. Dan karenanya kita pun harus selalu
memohon kepada Allah agar hati kita diteguhkan dalam agama ini.
Nabi kita adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan,
namun Beliau selalu memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan.

139
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Berikut ini beberapa untaian doa dan zikir agar Allah mem-
berikan pertolongan kepada kita keikhlasan dan keistiqamahan
dalam menapaki jalan yang lurus.
1. Membaca doa sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad
saw.

Allahumma innii a’uudzubika an-usrika bika wa-anaa


a’lamu wa-astaghfiruka limaa laa a’lamu
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari
perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya,
dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang
tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)

Yaa muqallibal quluubi tsabbit qalbii ‘alaa diinaka


“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku
atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi)

2. Membaca istighfar sebanyak seratus kali dalam sehari.

Astaghfirullaah wa-atuubu ilaihi


“Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya.”

140
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

3. Membaca Sayyidul istighfar di bawah ini satu kali di waktu pagi


dan petang.

Allahumma anta-rabbii laa-ilaha illaa anta khalaqtanii


wa-anaa ‘abduka wa-anaa ‘alaa ‘abdika wa-wa ‘adika
maas-tatha’tu a’uudzubika min syarrimaa shana’tu
abuu-u laka bini’matika ‘alayyaa wa-abuu-u bidzam bii
faaghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta
“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Tuhan selain
Engkau. Engkau ciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku
akan menjalankan semua janjiku untuk-Mu dengan segala
kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan
yang aku lakukan. Aku kembali kepada-Mu dengan segala nikmat-
Mu atasku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah
aku karena tidak ada yang memberi ampunan terhadap dosa-
dosa kecuali Engkau.” (HR. al-Bukhari)

4. Membaca beberapa wirid dan doa di bawah ini:

141
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Allahumma innii asbahtu usyhiduka wa-usyhidu


hamalta ‘arsyika wa lamaa-ikataka wajamii’a
khalqika annaka antallaahulladzii laa ilaha illaa
anta wa-anna muhammadan ‘abduka wa rasuuluka.

“Ya Allah, sungguh aku memasuki waktu pagi dengan aku


bersaksi kepada-Mu, bersaksi kepada para pembawa ‘Arasy-
Mu dan semua makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau
adalah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau dan bahwa Muham-
mad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu.” (HR. Abu Daud).
Satu kali pada pagi dan petang.

Hasbiillaahu laa ilaha illa huwa’alaihi tawakkaltu


wahuwa rabbul ‘arsyil ‘azhiimi.

“Dzat yang mencukupi adalah Allah, tiada Ilah selain Dia,


kepadanya aku berserah diri, dan Dia Tuhan ‘Arasy yang
agung.” (HR. Ibnu Suni dan Ibnu ‘Asakir). Tujuh kali pada pagi
dan petang.

Bismillaahilladzii laa yadhurru ma’asmihi syai-un


fiil ardhi wa laa fiissamaa-i wa huwassamii’ul
‘aliimu.

142
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Dengan nama Allah yang tidak aka nada menimbulkan


bahaya dengan menyebut nama-Nya apapun yang ada di bumi
dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Menge-
tahui.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Tiga kali pada pagi
dan petang.

Radhiitu billaahi rabbaan, wa bil-islaami diinaan wabi


muhammadin nabiyyaan.
“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku,
Muhammad sebagai nabiku.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i,
Ibnu Majah dan Al-Hakim). Tiga kali saat pagi dan petang.

Ya hayyuu yaa qayyuumu bi rahmatika astaghitsu


ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii
tharfata’ainin
“Wahai Yang Mahahidup, Wahai Yang Maha Berdiri dengan
sendiri-Nya. Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.
Perbaikilah untukku semua perilakuku, dan janganlah Engkau
menyerahkan kepadaku (semua urusan) dalam sekejap mata.”
(HR. Nasa’i dan Al-Hakim). Satu kali pada pagi dan petang.

A-’uudzubikalimaatillaahittaammaati min syarrii maa


khalaqa

143
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sem-


purna dari semua kejahatan uang Dia ciptakan.” (HR. Muslim
dan Abu Daud). Satu kali pada sore hari.

Subhaaanallaahi ‘adada khalqihi subhaanallaahi ri-


zhaa-a nafsihi wa subhaanallaahi zinata ‘arsyihi wa-
subhaanallaahi midaada kalimaatihi wal-hamdulillaahi
mits-lu dzaalika
“Maha Suci Allah sejumlah makhluk-Nya, Mahasuci Allah
atas keridhaan diri-Nya, Mahasuci Allah hiasan ‘Arasy-Nya,
Mahasuci Allah tinta kalimat-kalimat-Nya, segala puji bagi Allah
seperti yang demikian itu.” (HR. Ahmad). Tiga kali saat pagi
dan petang.

Allahumma shallii wasallim ‘alaa nabiyyinaa


muhammadin shallaallaahu ‘alaihi wa sallama
“Ya Allah, sampaikanlah shalawat dan salam kepada Nabi
kami Muhammad saw.” Sepuluh kali pagi dan petang.

Wallahu ‘alamu bisshawab

144
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Daftar Pustaka
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy. 1997.
Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Jalan
Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, penerjemah:
Kathur suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil. Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf.
Dar at-Toibah.
Alauddin ‘Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi. 1989 M.
Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwaal wal Af’aal. Bairut:
Muassasah ar-Risalah.
Abu Thalib Al-Makki. Quutul Quluub.
Abdur Ra’uf Al-Manawi. tt. Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ush
Shaghir. Darul Ma’rifah Beirut.
Husain bin Audah Al-Awaisyah. 1413. Al-Ikhlas, Maktabah
Islamiyyah, cetakan VII.
Ibnul Qoyyim. Fawaid Al-Fawaid, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar
Ibnul Jauzi.
Imam Al-Qusyairi. Ar-Risalah al-Qusyairiyah.
Ibnu Katsir. 1413 H. Tafsirul Qur’anil Azhim, Darussalam Riyadh,
cet.-1. Pengantar Syaikh Abdul Qadir Al-Arna’uth.
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. tt. Ihya ‘Ulumaddin,
Darul Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Sulaiman Al-Asyqor. Al-Ikhlas. Dar An-Nafais .
dan berbagai referensi lainnya.

145
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com

Tentang Penulis

M ahmud Ahmad Mustafa, lahir pada tanggal 28 Oktober


1980 di Purworejo, Jawa Tengah. Menuntut ilmu di Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, sambil
nyantri di Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Cilacap (1992-2002). Aktif
di berbagai kajian keislaman, baik di dalam pesantren atau di luar
pesantren. Prinsip hidup yang dijalaninya, “Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Sampai saat ini aktif menulis tentang berbagai kajian ke-
islaman. Mulai menulis sejak tahun 2006. Bukunya yang telah terbit
antara lain Menemukan Kebenaran Islam (Gava Media), Shalat Jama’
dan Qashar (Sketsa), Tuntunan Shalat Wajib Lengkap (Mutiara
Media), Panduan Amalan Hari Jumat (Mutiara Media), Quantum
Shodaqoh (Mutiara Media), Al-Asmaul Husna (Mutiara Media),
Meraih Rezeki dan Menolak Bala’ dengan Shodaqoh (Indah Sura-
baya), Keajaiban Energi Doa (Diglosia Media), Mengapa Sebaiknya
Anda Harus Bangun Malam (DIVA Press), Ketika Mulut Dikunci Tangan
dan Kaki Bersaksi (DIVA Press), Ketika Haram Menodai Tubuh
(DIVA Press).
Buku yang sekarang ada di tangan Anda ini mengungkap
tentang ilmu ikhlas, keistimewaan ikhlas dan kiat-kiat melatih ikhlas.

146
pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai