Dahsyatnya
Dahsyatnya
com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dahsyatnya Ikhlas
© all rights reserved
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
148 hlm
ISBN: 979-878-044-2
Diterbitkan oleh: MedPress Digital 2012
http://www.media-pressindo.com
medpressdigital@gmail.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
2
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dahsyatnya Ikhlas
Bahagia di Dunia, Bahagia di Akhirat
3
http://pustaka-indo.blogspot.com
Pengantar Penulis
Segala puji kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam. Hanya
kepada-Nya kami mohon pertolongan dalam semua urusan dunia
dan agama.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepa-
da Beliau Nabi Muhammad saw., keluarganya, para sahabat-
nya dan semua pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Sesungguhnya kunci kesuksesan dan keselamatan itu
ada dalam keikhlasan. Al-Qur’an memfirmankan, hanya orang-
orang yang ikhlas yang tidak bisa ditipu dan disesatkan oleh
syaitan.
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mere-
ka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara
mereka.” (QS. Shad: 83)
Al-Qur’an juga memfirmankan, hanya mereka yang ikh-
las yang akan mendapatkan keselamatan di akhirat kelak.
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak bergu-
na, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.” (QS. asy-Syu’araa: 88-89)
Dan hanya orang-orang yang ikhlas yang dapat terhin-
dar dari kehancuran dan kecelakaan.
“Semua manusia akan hancur, kecuali mereka yang
berilmu. Setiap orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-
orang yang beramal. Setiap orang yang beramal akan hancur,
kecuali orang-orang yang ikhlas.”
5
http://pustaka-indo.blogspot.com
6
http://pustaka-indo.blogspot.com
Daftar Isi
Pengantar Penulis ~ 5
Daftar isi ~ 7
Bab 1. Makna Ikhlas ~ 9
A.Pengertian Ikhlas ~ 9
B.Tingkatan Ikhlas ~ 15
C. Mengukur Keikhlasan ~ 18
Bab 2. Hukum Amal Perbuatan ~ 37
A.Pengertian Riya’ dan Sum’ah ~ 37
B. Hukum Amal Riya’ ~ 41
C. Amal yang Tercampuri Riya’ ~ 48
D. Amal yang Disertai Niat Lain Selain Riya’ ~ 51
E. Riya’ di Tengah Amal ~ 53
F. Riya’ Setelah Amal ~ 55
G. Amal yang Menyebabkan ‘Ujub ~ 56
Bab 3. Janji Surga bagi Orang yang Ikhlas ~ 61
A. Kebahagiaan dan Kepuasan yang Tak Terputus karena Tidak
Mengharapkan Imbalan Apapun dari Manusia ~ 64
B. Tidak Diliputi oleh Ketakutan dan Kekhawatiran ~ 69
C. Malaikat akan Menjadi Penolongnya dan Menggembira-
kannya dengan Janji-Janji Surga ~ 75
D. Semua Mahluk akan Mencintai dan Menyayanginya ~ 77
E. Mampu Menjalani Hidup dengan Penuh Semangat, Gairah,
dan Prestasi ~ 87
7
http://pustaka-indo.blogspot.com
8
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bab 1
Makna Ikhlas
A . Pengertian Ikhlas
Ikhlas ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kholusho, yaitu
kata kerja intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau
bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). Ikhlas menurut
bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-
hal yang bisa mencampurinya. Dalam al-Qur’an disebutkan:
9
http://pustaka-indo.blogspot.com
10
http://pustaka-indo.blogspot.com
11
http://pustaka-indo.blogspot.com
12
http://pustaka-indo.blogspot.com
13
http://pustaka-indo.blogspot.com
14
http://pustaka-indo.blogspot.com
ikhlas. Hingga nanti pada akhirnya kita ikhlas bila suatu saat nanti
jiwa kita semua diambil kembali oleh Allah swt. dalam keadaan yang
sebaik-baiknya.
B. Tingkatan Ikhlas
1. Ikhlasnya seseorang untuk meraih kebahagiaan duniawi. Dia
beramal atau beribadah dengan harapan Allah memberikan
kekayaan di dunia. Seperti orang yang memperbanyak mem-
baca Surat al-Waqiah agar Allah memberinya rezeki. Maka
ketika berdoa, ia berharap keinginan duniawi semata. Ini adalah
tingkatan ikhlas yang paling rendah. Namun demikian, ini masih
lebih baik karena seseorang hanya meminta kepada Allah saja,
dan tidak meminta kepada selain-Nya.
2. Ikhlasul ‘Aabidiin. Yakni ikhlasnya orang yang ahli ibadah.
Dalam menjalankan ibadah, mereka memang benar sudah ikhlas.
Akan tetapi di samping mereka ikhlas juga masih disertai pam-
rih atau keinginan-keinginan, diikuti atau didorong oleh keingin-
an-keinginan tersebut. Seperti ingin surga, takut neraka, ingin
bahagia dunia akhirat dan lain sebagainya. Dan di samping itu,
mereka masih merasa mempunyai kemampuan dalam beramal
atau beribadah. Mereka mengandalkan pada amalnya. Kalau
tidak giat ibadah tak akan memperoleh surga atau tak akan se-
lamat dari neraka atau tak akan bahagia dunia akhirat. Atau
dengan kata lain, keikhlasan mereka masih dipengaruhi atau
didorong oleh nafsu ingin mendapatkan pahala dan menghin-
dar dari ancaman siksa.
3. Ikhlasul Muhibbin. Yakni ikhlasnya orang-orang yang mencintai
Allah. Mereka beramal semata-mata karena Allah. Mengagung-
kan, memuliakan, dan menghormati Allah, karena memang Allah
15
http://pustaka-indo.blogspot.com
16
http://pustaka-indo.blogspot.com
17
http://pustaka-indo.blogspot.com
C. Mengukur Keikhlasan
Kadangkala kita mudah untuk mengatakan bahwa apa
yang selama ini kita lakukan dan perjuangkan telah dilandasi keikhlas-
an untuk mendapatkan keridhaan Allah swt. dan surga-Nya. Terka-
dang dalam hati kita berbisik dan berkata, “Ternyata aku telah sang-
gup ikhlas.” Tapi, apakah benar amal yang kita lakukan selama ini
telah ikhlas? Apakah kita telah mampu meraih prestasi dalam tangga
keikhlasan? Apakah benar pernyataan hati kita bahwa selama ini
kita telah mampu ikhlas?
Perlu kita ketahui dan ingat, bahwa sangat penting bagi
kita untuk terus mencari cara menakar keikhlasan dalam diri kita
sendiri. Dengan inilah, kita akan yakin bahwa apa yang kita lakukan
18
http://pustaka-indo.blogspot.com
bukan karena dunia dan isinya, atau karena wanita yang hendak kita
nikahi. Tapi semata-mata diawali dan dilandasi dengan meniatkannya
untuk memenuhi perintah Allah dan Rasulullah saw.
Lalu apakah ikhlas itu dapat diukur atau ditimbang? Me-
mang keikhlasan adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut,
sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan
tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk
mengukur kemurniannya. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:
“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-
Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-
hamba-Ku yang Aku cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Yang bisa mengukur ilmu ini adalah hati masing-masing in-
dividu yang memiliki dan menggunakan ilmu ini, itupun belum tentu
100% pas. Hanya Allah yang paling benar mengukur keikhlasan se-
seorang. Seringkali seseorang termangu lama, setelah itu ia baru
mengetahui bahwa niat yang semula ia sangka sudah ikhlas. Ketika
ditimbang dan diukur, ternyata masih tercampur dengan keinginan
dipuji orang lain, sehingga amalan itu tidak diterima dan dilempar-
kan lagi ke mukanya.
Salah seorang ulama pernah mengatakan bahwa di saat
kita melakukan sesuatu dan kita mengatakan pada orang lain, “Aku
ikhlas kok”, di saat itulah kita malah berbuat riya’, karena kita
telah memamerkan keikhlasan kita kepada orang lain. Tak disadari
namun pasti, walaupun hanya berupa harapan kecil, tapi kita telah
berharap untuk mendapatkan nilai yang baik di mata orang lain
saat kita mengatakan bahwa kita ikhlas. Padahal ikhlas itu adalah ke-
adaan di mana kita tidak mengharapkan apapun dari sesama makhluk
Allah, baik berupa hal yang berwujud maupun yang tidak.
19
http://pustaka-indo.blogspot.com
20
http://pustaka-indo.blogspot.com
21
http://pustaka-indo.blogspot.com
22
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Tidak marah atau kecewa jika orang lain tidak mem mem--
balas budi baik kita
Jika suatu ketika orang yang pernah kita bantu balik acuh
terhadap kita, tidak mau menghargai kebaikan kita, atau bahkan
mencela dan menggunjing kita. Bagaimanakah sikap kita ketika
itu? Jika kita tetap tenang dan respek terhadapnya dan me-
ngembalikan semua urusannya pada Allah, maka itu pertanda
bahwa kita telah mampu ikhlas. Tapi jika kita kemudian kecewa
dengan amal baik kita, berubah membencinya, mengatakan tidak
baik kepadanya, tidak mau lagi menghormati dan acuh terha-
danya, itu pertanda bahwa kita belum benar-benar ikhlas. Amal
perbuatan kita masih dipengaruhi oleh balasan dari orang lain.
Mungkin kita pernah mendengar orang yang berkata mirip
begini, “Sudah capek-capek saya tolong, saya sudah korban waktu,
23
http://pustaka-indo.blogspot.com
24
http://pustaka-indo.blogspot.com
25
http://pustaka-indo.blogspot.com
rukuk dan sujud dengan sangat tertib. Tapi ketika ia shalat sen-
dirian (munfarid), ia membaca surat-surat yang pendek, tanpa
memperhatikan tajwid dan tartil.
Ada lagi orang yang shalat di masjid dengan khusyuk. Ia
lakukan shalat sunat dan menyelesaikan wirid panjang. Ia kerjakan
semua itu dengan mudah dan ringan. Tetapi bila ia shalat di rumah,
ia shalat dengan super cepat. Sesudah shalat membaca wirid yang
sangat pendek, lalu meninggalkan tempat shalat tanpa melakukan
shalat sunat.
Ada juga seorang penceramah yang sedang memberikan
ceramah keagamaan. Ketika ia melihat audiensnya sedikit dan
melihat para pendengarnya hanya orang-orang biasa, maka ia
menyampaikan ceramah dengan biasa-biasa saja. Tapi di saat ia
melihat audiensnya adalah orang-orang penting, maka tanpa
tersadar ia menyampaikan ceramahnya dengan penuh semangat
dan berusaha dengan sebaik mungkin.
Begitulah, maka kita harus selalu waspada dan hati-hati
terhadap gejala-gejala yang seperti ini. Jika muncul gejala atau
tanda-tanda yang demikian, maka kita harus cepat-cepat intros-
peksi diri karena barangkali amal kita telah tersusupi riya’.
26
http://pustaka-indo.blogspot.com
27
http://pustaka-indo.blogspot.com
28
http://pustaka-indo.blogspot.com
29
http://pustaka-indo.blogspot.com
30
http://pustaka-indo.blogspot.com
31
http://pustaka-indo.blogspot.com
32
http://pustaka-indo.blogspot.com
33
http://pustaka-indo.blogspot.com
34
http://pustaka-indo.blogspot.com
35
http://pustaka-indo.blogspot.com
36
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bab 2
Hukum Amal Perbuatan
37
http://pustaka-indo.blogspot.com
38
http://pustaka-indo.blogspot.com
39
http://pustaka-indo.blogspot.com
Jika kita bertanya, apa motivasi dari semua itu selain agar
menjadi tenar, dikenal banyak orang dan mendapatkan pujian serta
sanjungan dari sana sini. Sungguh seandainya salah seorang dari
mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali
kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman dengan binatang dan
pepohonan. Pasti dia tidak akan melakukan hal-hal aneh seperti itu
karena tidak ada manusia yang memperhatikannya.
Adapun riya’-nya ahli agama, maka terlihat dengan menam-
pakkan sikap, perangai, atau prilaku saleh agar orang yang melihatnya
menganggapnya sebagai ahli ibadah, seorang alim dan khusyuk.
Banyak sekali contoh untuk menggambarkan riya’ jenis ini. Misalnya:
1. Menampakkan kekurusan dan wajah yang pucat, agar orang-
orang yang melihatnya dan menilainya memiliki kesungguhan
dan rasa takut terhadap akhirat. Yang mendekati penampilan
seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua
matanya cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menam-
pakkan bahwa ia rajin berpuasa.
Luqman al-Hakim pernah berwasiat kepada anaknya, “Wa-
hai anakku! Janganlah kamu memperlihatkan dirimu kepada ma-
nusia bahwa kamu takut kepada Allah padahal hatimu lacur.”
2. Membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian
jenis tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang
yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama. Maka dia me-
ngenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai orang alim.
Rasulullah saw. mengecam orang-orang yang menampak-
kan kesalehan, padahal jiwanya kotor penuh cinta dunia. Beliau
bersabda:
“Celakalah orang-orang yang menutupi kecintaannya pa-
da dunia dengan agama dan dia mengenakan pakaian bulu
40
http://pustaka-indo.blogspot.com
41
http://pustaka-indo.blogspot.com
42
http://pustaka-indo.blogspot.com
43
http://pustaka-indo.blogspot.com
44
http://pustaka-indo.blogspot.com
45
http://pustaka-indo.blogspot.com
46
http://pustaka-indo.blogspot.com
47
http://pustaka-indo.blogspot.com
48
http://pustaka-indo.blogspot.com
tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu di-
lakukan ikhlas karena-Nya.’” (HR. Abu Daud dan Nasai)
Maka, perkara apa saja yang merupakan perkara agama
Allah, jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan meneri-
manya. Adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan
kepada selain Allah (siapapun juga ia), maka Allah tidak akan mene-
rimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang disarikatkan,
Dia hanya menerima amalan agama yang khalis (murni) untuk-
Nya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut
kepada pelakunya, bahkan Allah memerintahkannya untuk meng-
ambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syari-
katkan.
Ketika kita melakukan suatu amal, mungkin saja kita bisa
terhindar dari niatan riya’ semata. Karena, sebagai seorang mukmin
tentunya kita selalu mendambakan dan merindukan pahala dari Allah.
Sewaktu kita mengerjakan ibadah seperti shalat sunat, membaca
al-Qur’an atau berzikir, kita senantiasa berharap agar amal saleh
kita itu diterima di sisi Allah swt. Di kala kita bersedekah atau mem-
bantu orang lain, tentu terbersit di hati kita niatan agar mendapatkan
pahala dan keridhaan Allah.
Tapi, apakah niat baik kita itu sejak awal tidak ternodai
oleh riya’ atau sum’ah? Itulah masalah sulit yang seharusnya menjadi
perhatian kita. Karena jika kita mencampuri dengan tujuan riya’
dalam amal saleh yang kita lakukan, maka berarti kita telah berbuat
kesyirikan atau menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya.
Sedangkan Allah tidak menerima amal yang disekutukan.
Oleh sebab itulah, maka Rasulullah saw. sangat khawatir
umatnya terjangkit penyakit ini. Beliau bersabda,
49
http://pustaka-indo.blogspot.com
50
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
daki untuk Tuhan, maka amal itu untuk selain Allah (membuat se-
suatu amal bukan karena Allah). Berlaku riya’ di kalangan ahli fiqh
adalah karena inginkan ketinggian posisi, untuk kemudian supaya
mereka menjadi sebutan. Di kalangan para ulama terjadi pula
riya’ untuk menjadi populer di kota dan di kalangan umum. Allah
swt. telah memerintahkan agar saya tidak membiarkan amal-amal
yang bukan untuk Allah melewati saya.
Tiba giliran malaikat penjaga yang membawa amal orang-
orang saleh. Amal-amal itu kemudian dibawa oleh malaikat di langit
sehingga terbuka tabir dan penghalang dan sampai kepada Allah
swt. Mereka berhenti di hariban Allah dan memberikan persaksian
terhadap amal orang tersebut yang betul-betul saleh dan ikhlas ka-
rena Allah. Kemudian Allah swt. berfirman, “Kamu semua adalah
para malaikat Hafazdah (malaikat penjaga) pada amal-amal per-
buatan hamba-Ku, sedang Aku-lah yang mengawasi dan menge-
tahui hatinya, bahwa sesungguhnya, jika dia menghendaki amal
ini bukan untuk-Ku, laknat para malaikat dan laknat segala sesua-
tu di langit baginya.”
51
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
52
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
53
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
54
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
55
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
56
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
orang-orang fasiq, maka hal ini disebut idlal (lancang) dengan amal
perbuatannya.
‘Ujub dapat menjangkiti siapa pun. Termasuk juga ahli dunia,
yakni dengan berbangga diri dan merasa lebih unggul atas segala ke-
pemilikan dunia yang dipunyainya, mulai dari bentuk fisik, kecerdas-
an, keluarga, anak, harta benda, rumah dan berbagai perhiasan
dunia lainnya. Dalam al-Qur’an, Allah swt. mengabarkan tentang
orang yang memiliki dua kebun yang bersikap ‘ujub:
“dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata
kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia,
“Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku
lebih kuat. “ (QS. al-Kahfi: 34)
Ada beberapa hal yang bisa menimbulkan perasaan ‘ujub
di hati setiap orang, di antaranya adalah:
1. Banyak dipuji orang.
Pujian seseorang secara langsung kepada orang lain dapat
menimbulkan perasaan ‘ujub dan egois pada diri orang yang
dipujinya. Makin lama perasaan itu akan menumpuk dalam hati-
nya, maka ia akan semakin dekat kepada kebinasaan dan kegagalan
sedikit demi sedikit. Karena orang yang mempercayai pujian itu
akan selalu merasa bangga dan dirinya punya kelebihan, sehingga
menjadikannya malas untuk berbuat kebajikan.
Rasulullah saw. pernah terkejut ketika melihat seseorang
yang memuji orang lain secara langsung, sampai-sampai Beliau
bersabda, “Sungguh dengan pujianmu itu, engkau dapat membi-
nasakan orang yang engkau puji. Jikalau ia mendengarnya, niscaya
ia tidak akan sukses.”
57
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
58
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
59
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
60
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bab 3
Janji Surga Bagi Orang yang Ikhlas
61
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
62
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
63
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
64
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
65
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
66
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
67
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
sia. Kita tak perlu heran dan resah jika mendapatkan mereka meng-
ingkari kebaikan yang pernah kita berikan, mencampakkan budi baik
yang telah kita tunjukkan.
Sungguh orang yang berharap sesuatu pada makhluk, apa-
kah itu imbalan, sanjungan atau ucapan terima kasih, maka ia akan
selalu resah dan capek sendiri. Demikian itu karena memang tabiat
makhluk suka membenci dan iri terhadap orang lain.
Jika kita tidak ikhlas, maka kita ibarat orang yang terpenja-
rakan dan dibelenggu oleh orang lain. Kita tidak merdeka karena
dalam tindakan-tindakan itu, hati kita terbelenggu oleh pujian, appla-
us, dan sikap-sikap orang lain. Kalau tidak mendapat pujian, kita
tak mau melakukannya. Kalau tidak diperhatikan, kita cenderung
berbuat semaunya. Kalau tidak mendapat penghormatan, kita men-
jadi kurang semangat.
Riya’ itu ibaratnya menjual (kemerdekaan) diri kita ditukar
dengan (belenggu) pujian, penghormatan, atau sikap-sikap simpati
lainnya dari orang lain. Betapa kerdilnya diri kita jika demikian. Sungguh
andai saja ada orang lain yang tahu maksud riya’ di hati kita, pasti
tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memuji dan menghor-
mati kita, bahkan mereka akan mencela dan memandang rendah di-
ri kita.
Intinya, puncak kebahagiaan dan kemerdekaan diri hanya
bisa diraih dengan keikhlasan. Kita akan menjadi manusia yang ba-
hagia dan merdeka serta bebas dari segala belenggu jika kita mampu
menjadi orang yang ikhlas. Kita akan senang, puas, dan bahagia
karena kita bisa menghargai amal perbuatan kita sendiri, bukan meng-
harapkan orang lain menghargai perbuatan kita. Silakan, orang mau
tahu atau tidak, mau memuji atau tidak, mau menghormati atau
68
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tidak, yang penting saya adalah saya, kokoh dengan tindakan dan
pendirian saya. Beginilah kemerdekaan.
Karenanya, biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu, kita
lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yang pasti aman.
Jangan disebut-sebut dan diingat-ingat lagi. Mengingat-ingat dan me-
nyebutnya justru akan mengurangi pahala amal kita. Di samping
akan menyebabkan kita terkena penyakit ‘ujub, cari perhatian dan
simpati orang lain. Dan akhirnya menjadikan kita tidak tenang, ke-
cewa dan sedih karena kita mengharapkan sesuatu yang sangat sulit
untuk diraih.
69
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
70
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
71
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Jiwa dan pikiran mereka diliputi oleh perasaan takut, khawatir ber-
campur perasaan mengagungkan, memuliakan, dan dan tunduk
kepada-Nya. Kemudian setelah itu, hati mereka menjadi tenang dan
damai. Jiwa dan perasaan mereka berganti menjadi senang, bahagia,
bercampur perasaan penuh harap akan rahmat dan kasih-Nya.
Begitulah, hati orang yang ikhlas, selalu dipenuhi perasaan cemas
dan harap. Cemas pada ancaman siksa Allah. Dan berharap besar
pada rahmat-Nya.
Ketakutannya pada Allah dan hari akhirat benar-benar
akan membuat hatinya menjadi lapang, jiwanya menjadi tenang dan
tenteram. Justru dengan takut kepada Allah, ia tidak akan takut ke-
pada selain-Nya.
Karena, bagaimana mungkin orang yang ikhlas terhadap
Rabb-nya, merasa selalu di sertai-Nya, ia akan takut pada orang lain?
Bagaimana mungkin orang yang sadar bahwa segala sesuatu itu ada
di bawah kekuasaan Allah, lalu akan takut pada orang-orang yang
berada di bawah kekuasaan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang
takut kepada Allah juga takut kepada selain Allah? Padahal Allah
telah berfirman:
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan
yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang
musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang ber-
iman.” (QS. al-Imran: 175)
Dan, bagi orang yang ikhlas, tidak ada yang perlu dirisaukan
dari perkara dunia yang menimpanya. Baginya, apa yang datang
atau hilang dari perkara dunia adalah hal kecil yang tidak perlu mem-
buatnya takut dan bersedih. Ia tidak perlu resah dan menyesali atas
apa yang telah terjadi, apalagi meratapi kegetiran-kegetiran kisah
72
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
73
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
adalah tempat dan tujuan akhir dari semua harapan. Padahal, ha-
rapan dan cita-cita dunia itu belum tentu dapat diperolehnya atau
dinikmatinya. Makanya, tidak mengherankan bila kita sering melihat
mereka adalah orang-orang yang paling gelisah ketika menghadapi
suatu musibah dan paling mudah larut dalam penyesalan saat mala-
petaka merenggut semua milik mereka. Itu semua, tak lain dikarenakan
mereka hanya memandang, memikirkan, mementingkan, dan hanya
berbuat segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dunia yang
sangat singkat, fana, dan tidak bernilai ini. Bahkan seolah-oleh me-
reka tak rela sedikitpun keceriaan dan kegembiraan mereka di dunia
ini terkotori dan terusik oleh hal apapun.
Berkaitan dengan hal ini, seorang ulama salaf pernah mem-
beri wasiat kepada saudaranya, “Bawalah ambisimu ke satu arah
saja, yakni bertemu dengan Allah, bahagia di akhirat, dan damai di
sisi-Nya.
Sungguh tidak ada ambisi yang lebih mulia dan lebih tinggi
selain daripada ambisi yang demikian itu. Yakni ambisi yang digan-
tungkan dan diarahkan pada cita-cita tertinggi nan agung yang be-
gitu indah. Itulah ambisi orang yang ikhlas. Apalah arti sebuah am-
bisi jika hanya tertuju pada kehidupan dunia ini saja. Karena semua
itu hanya akan bermuara pada ambisi yang palsu dan sulit diraih.
Ambisi pada kedudukan, jabatan, emas dan harta, anak-anak, nama
besar, kemasyhuran, istana-istana, dan rumah yang besar yang se-
muanya akan musnah dan pasti kita tinggalkan.
Jibril pernah menasihatkan kepada Muhammad saw., “Hai
Muhammad, hiduplah sesuai yang kamu inginkan, sesungguhnya
kamu pasti mati! Dan cintailah orang yang kamu cintai, sesungguh-
nya kamu pasti akan berpisah dengannya.” (HR. Baihaqi)
74
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
75
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
76
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
77
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
kepada seluruh malaikat, setiap penghuni langit dan bumi agar me-
reka juga menyayanginya. Dalam hadis yang sahih dinyatakan:
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba,
maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya
Aku mencintai fulan, maka cintailah ia, maka Jibril pun mencintainya.
Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesungguhnya
Allah mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penduduk langit
pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya
di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba,
maka Dia menyeru Jibril dan berkata, ‘Wahai Jibril, sesungguhnya
Aku membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka Jibril pun membenci-
nya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, ‘Sesung-
guhnya Allah membenci fulan, maka bencilah ia.’ Maka penduduk
langit pun membencinya. Kemudian ditanamkanlah kebencian
padanya di bumi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam
(hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Hasan al-Bashri pernah bercerita, “Ada seorang laki-laki
yang berkata, ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-
sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat,
dia adalah orang yang paling pertama masuk masjid dan yang paling
terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh
bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang
kecuali mereka berkata, ‘lihatlah orang yang riya’ ini’. Dia pun me-
nyadari hal ini dan berkata, ‘tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya
dengan kejelekan, sungguh aku akan melakukan amalan hanya ka-
rena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang
78
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
79
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
80
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
81
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
82
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
83
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
84
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
85
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Allah dalam situasi apa pun. Tidak pernah merasa enggan dalam
mengabdi dan beribadah kepada Allah.
“Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan
mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. al-
Anbiyaa: 90)
Di samping itu, orang yang ikhlas juga akan bekerja dan
berbuat dengan sebaik mungkin. Mengapa? Karena jika ia memang
ikhlas, tentu ia akan mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan-
nya. Bukahkah ia bekerja untuk memperoleh keridhaan dan penilaian
yang terbaik dari Tuhannya? Maka itu, bekerja secara maksimal dan
profesional adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari makna
ikhlas itu sendiri. Nabi saw. bersabda:
“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan seorang pe-
kerja yang melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya (profesional).”
(HR. Ahmad)
“Kerjakanlah kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh.
Dan sembahlah Allah di waktu siang dan malam, dan selalu mengambil
jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga).”
Seorang guru boleh jadi belum sempurna ikhlasnya, apa-
bila ia tidak menyiapkan materi dan silabus pengajaran dengan
sebaik-baiknya. Seorang pembantu rumah tangga boleh jadi belum
sempurna ikhlasnya, ketika ia tidak berupaya memisahkan pakaian
yang luntur dari pakaian yang tidak luntur pada saat mencuci
pakaian. Seorang pegawai boleh jadi belum sempurna ikhlasnya
ketika tidak berupaya optimal untuk mencapai target pekerjaan
yang telah ditetapkan. Seorang pelajar boleh jadi belum sempurna
ikhlasnya, apabila ia bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas-
86
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
tugas sekolah. Jadi, ikhlas itu sesuatu yang dinamis, bergerak, dan
kunci prestasi.
Hasan al-Banna pernah mengatakan, “Ikhlas itu kunci ke-
berhasilan. Para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali karena
kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan mereka. Bila kalian
sudah memiliki tiga karakter tersebut, maka ketika engkau berpikir,
Allah akan mengilhamimu petunjuk dan bimbingan. Jika engkau
beramal, maka Allah akan mendukungmu dengan kemampuan dan
keberhasilan…”
87
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
88
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
89
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
90
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
91
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
92
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
93
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
94
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Bab 4
Kiat Agar Dapat Ikhlas
I khlas dalam amal adalah sesuatu yang sungguh sulit kita laku-
kan. Hal ini sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar
Sufyan ats-Tsauri ra. Beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang
paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku,
karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”
Karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk melatih dan
mengevaluasi keikhlasan secara rutin. Terkadang kita bisa terlepas
dari riya’ yang satu, tapi kemudian muncul riya’ dalam bentuk yang
lainnya. Riya, sum’ah, dan ‘ujub adalah penyakit hati yang begitu
lembut, yang bisa datang kapan saja, dan terkadang kedatangannya
tanpa kita sadari.
Jangan sampai kita merasa telah berhasil menyingkirkan
penyakit berbahaya itu, kemudian tidak mau berusaha dan berhenti
berlatih. Kita harus selalu waspada pada ajakan nafsu yang begitu
liar.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)
95
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
96
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
97
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
98
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
menjawab, “Tapi yang ada di almari kan sudah tidak layak.” Atau
mungkin kita berkata dalam hati, “Namun yang itu kan warna-
nya kurang cocok,...” Kurang cocok kata siapa? Jujur saja, apa-
kah warnanya yang kurang cocok ataukah ingin lagi?
Mau membeli sepeda motor yang baru. Kita harus berta-
nya dulu, apakah itu hanya karena keinginan dan kemauan se-
mata, atau karena kita memang membutuhkannya? Untuk apa
aku membeli sepeda motor yang baru? Bukankah yang lama
masih bisa dipakai? Jika memang tidak terlalu penting dan men-
desak, alangkah lebih baiknya bila aku mengalokasikan uangnya
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya.
Bukannya membeli pakaian dan sepeda motor baru itu
tidak boleh dan tidak baik, tapi jika motifnya hanya karena me-
nuruti kemauan nafsu, maka itu akan membuat kita rugi sendiri.
Yang banyak terjadi justru bukan hanya sekedar keinginan hati
saja, tapi nafsu untuk mengumpulkan harta dan berbangga diri
dengan kepemilikan dunia.
Kita harus berpikir dan mempertimbangkan, untuk apa
memberatkan hisab. Jikalau pakaian indah tapi kelakuan tidak
indah, tidak ada gunanya. Bila pakaian baru tapi hati semakin
keruh, apa artinya. Untuk apa membeli sepeda motor atau mobil
baru yang mewah jika hanya menyebabkan kesombongan dan
memperkeruh hati.
Ketika sudah akan beli, tanya lagi pada diri kita, ‘Benarkah
kita beli sesuatu itu karena Allah atau karena ingin dipuji?’ tanya,
tanya, tanya,.....!
Pikirkan dan renungkan, untuk siapa atau untuk apa kita
bergerak, berlari atau bertanya tentang sesuatu? Apa tujuan
dan target kita? Apakah kita mencari Allah atau ego kita? Bila
99
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
100
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
nanti dikata orang yang tidak tahu etika sosial. Kita bersedia
menghadiri undangan karena takut nanti mendapat gunjingan
orang.
Atau, kita memberi sesuatu kepada pengemis di pinggir
jalan karena kita kasihan dan iba melihat keadaannya. Rasa iba
dan kasihan adalah cerminan dari sifat kemanusiaan kita. Namun,
pernahkah kita memberi sesuatu kepada seseorang tanpa harus
tahu kita kasihan atau tidak? Seorang ahli hikmah mengatakan
bahwa memberi sesuatu lantaran adanya sebab, seperti kasihan,
prihatin, iba dan sebagainya, itu belum bisa dikategorikan sebagai
ikhlas. Namun tidak lebih sebagai suatu bentuk kerelaan atau
ketulusan hati saja yang bisa menjadi sebagai pemuasan hawa
nafsu ego kasihan atau ego iba kita. Namun memberi atas dasar
rasa kasihan atau iba pun itu sudah cukup baik. Terlebih lagi
jika kita bisa berlaku ikhlas.
Ingatlah, apa yang dilakukan untuk ego kita atau untuk
dunia ini, maka ia palsu dan akan lenyap. Semua itu hanya se-
mentara dan tidak bernilai. Tetapi apa yang kita lakukan untuk
Allah swt., maka itu suatu keberuntungan yang sejati dan tidak
akan berakhir.
Apabila kita berkata atau berbuat tidak punya niat apa-
apa, atau niat riya’ lebih mendominasi hati kita, maka lebih baik
diam dan menangguhkannya terlebih dahulu. Jangan tergesa-
gesa dan grasa-grusu. Janganlah kita memberatkan diri dengan
amalan-amalan yang banyak. Karena, alangkah banyak orang
yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan
manfaat kepadanya kecuali rasa capek dan keletihan semata di
dunia dan siksaan di akhirat.
101
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
102
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
103
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
nya kepada orang lain, hal itu juga tidak dilarang atau keliru,
asalkan punya niat yang benar. Hadis Nabi saw. menyebutkan:
“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam
Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat bagi-
nya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa meng-
urangi sedikit pun dari kebaikannya.” (HR. Muslim)
Dalam keadaan tertentu, memperlihatkan amal saleh
dapat dibenarkan asalkan memenuhi syarat, yaitu:
· Bebas dari riya’ (bukan untuk pamer)
· Terdapat faedah diniyah dari menampakkannya.
Misalnya untuk memberikan contoh kebaikan, menguat-
kan orang yang lemah, atau untuk menenangkan dan membe-
rikan kabar gembira. Seperti yang pernah dikatakan Abu Suf-
yan bin Harits, salah seorang paman Nabi saw. menjelang wafat-
nya, “Janganlah kalian menangisi aku, karena sejak masuk Islam
aku tidak pernah melakukan dosa.”
Para ulama telah menjelaskan bahwa keutamaan menyem-
bunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan
dari riya’) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan
amalan-amalan yang wajib.
Ibnu Hajar ra. berkata, “At-Thobari dan yang lainnya
telah menukil ijmak bahwa sedekah yang wajib secara terang-
terangan lebih afdal daripada secara tersembunyi. Adapun
sedekah yang mustahab maka sebaliknya.”
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam me-
nyatakan, “Amalan riya’ yang murni jarang timbul pada amal-
amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun
terkadang riya’ muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya
yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang membe-
104
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
105
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
106
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
an ini. Bisa jadi itu hanya alasan pembenaran setan agar kita
terjebak dalam tipu dayanya. Bagi orang yang belum benar-benar
ikhlas, sungguh sulit baginya menghindarkan diri dari pengaruh
pujian dan dikenal banyak orang.
Ketahuilah, mayoritas manusia itu sangat lemah dan riskan
dari akibat buruk menampakkan amal. Sedikit sekali manusia
yang bisa lepas dan selamat dari fitnah ketenaran, kepopuleran
dan kemasyhuran. Kebanyakan mereka justru terjerumus dalam
ketertipuan amal mereka sendiri. Posisi terkenalnya seseorang
merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan sese-
orang. Karenanya, jika kita merasa kalau diri kita tidak mampu
terhindar dari bahaya memperlihatkan amal, sedangkan tidak
ada hal lain yang mengharuskan kita menampakkannya, maka
lebih baiknya kita sembunyikan saja amal kita. Jangan membuka
pintu yang bisa mengantarkan kita terjatuh dalam riya’.
Basyr bin al-Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar
engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagai-
mana engkau menyembunyikan keburukanmu.”
Para ulama dan orang-orang saleh terdahulu, mereka sangat
suka menyembunyikan berbagai amal ketaatan. Mereka senang
kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka
senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal itu mereka
lakukan demi untuk menjaga keikhlasan, dan karena mereka kha-
watir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Imam Ahmad ra. berkata, “Aku ingin tinggal di jalan-jalan
di sela-sela gunung-gunung yang ada di Makkah hingga aku
tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran.”
Seseorang bertanya pada Tamim ad-Dari, “Bagaimana shalat
malam engkau?” Maka marahlah Tamim, sangat marah, ke-
107
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
108
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
109
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
110
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
111
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
112
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
113
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
bukan untuknya, maka Dia akan memurkai saya. Tapi jika saya
beramal untuk mencapai ridha-Nya, maka Dia akan mengasihi
dan memuliakan saya.
b. Konsentrasikan pikiran dan hati kita hanya kepada Allah swt.
Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita.
Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan dengan penge-
tahuan Allah akan segala tindakan kita. Jika terbetik dalam
benak kita bahwa orang-orang sedang melihat dan mengawasi
kita, maka lawanlah dengan mengatakan pada diri kita: apa
urasanmu dengan orang-orang itu, mereka tahu atau tidak,
Allah swt. mengetahui keadaan kita. Apa manfaatnya orang
mengetahui (amal kita)? Toh mereka semua tidak akan mampu
memberi manfaat atau menolak madharat dari diri kita. Untuk
dunia dan juga untuk akhirat kita. Hanya Allah yang berkuasa
atas segalanya. Sandainya kelak di hari pembalasan nanti kita
dihisab oleh Allah, maka tak satu pun dari mereka yang dapat
menolong kita untuk masuk surga ataupun menyelamatkan
kita dari neraka. Bahkan, seandainya seluruh manusia mulai
dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakang
kita, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorong kita
masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka,
mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan
amalan hanya untuk mereka?.
Apapun yang dilakukan kalau konsentrasi kita hanya ter-
tuju kepada Allah, maka kita akan mudah mencapai ikhlas.
Imam Ali ra. berkata, “Orang yang ikhlas adalah orang yang
memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh
Allah.”
114
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
115
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
116
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
117
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
118
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
119
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
120
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
121
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
122
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
123
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
124
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
125
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
126
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
127
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
128
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
129
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
130
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
131
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
rahasia hati dan diri kita daripada orang lain yang bisa tertipu
penampilan dan tidak mengetahui batinnya.
Maka jadilah engkau orang yang mencela dirimu sendiri
karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa jika dipuji orang lain, maka
Beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena
apa yang mereka katakan. Berikanlah kebaikan kepadaku dari
apa yang mereka sangkakan dan ampunilah aku karena apa
yang tidak mereka ketahui.”
Tatkala Abu Bakar ra. dipuji di hadapan manusia, maka
Beliau berkata, “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang
mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka
tidak ketahui.” Beliau mengucapkan doa ini dengan keras untuk
mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga
mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Beliau tidak tertipu
dengan pujian mereka, tapi justru semakin teringat dengan aib
dan dosanya.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Seandainya kalian me-
ngetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang ber-
jalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah
di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengam-
puni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Ab-
dullah bin Rowtsah.”
Jika sahabat yang mulia seperti Ibnu Mas’ud mengatakan
yang demikian, maka di manakah letak kedudukan kita? Tidakkah
aib dan dosa-dosa kita lebih banyak dari Beliau? Seseorang jika
semakin bertambah makrifatnya kepada Allah, maka ia akan
sadar dan mengetahui bahwa aib dan dosa-dosanya banyak, dan
banyak, dan sangat banyak. Semakin bertambah makrifat se-
132
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
133
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
134
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
135
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
136
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
137
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
138
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
139
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Berikut ini beberapa untaian doa dan zikir agar Allah mem-
berikan pertolongan kepada kita keikhlasan dan keistiqamahan
dalam menapaki jalan yang lurus.
1. Membaca doa sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad
saw.
140
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
141
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
142
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
143
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
144
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Daftar Pustaka
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy. 1997.
Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Jalan
Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, penerjemah:
Kathur suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil. Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf.
Dar at-Toibah.
Alauddin ‘Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi. 1989 M.
Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwaal wal Af’aal. Bairut:
Muassasah ar-Risalah.
Abu Thalib Al-Makki. Quutul Quluub.
Abdur Ra’uf Al-Manawi. tt. Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ush
Shaghir. Darul Ma’rifah Beirut.
Husain bin Audah Al-Awaisyah. 1413. Al-Ikhlas, Maktabah
Islamiyyah, cetakan VII.
Ibnul Qoyyim. Fawaid Al-Fawaid, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar
Ibnul Jauzi.
Imam Al-Qusyairi. Ar-Risalah al-Qusyairiyah.
Ibnu Katsir. 1413 H. Tafsirul Qur’anil Azhim, Darussalam Riyadh,
cet.-1. Pengantar Syaikh Abdul Qadir Al-Arna’uth.
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. tt. Ihya ‘Ulumaddin,
Darul Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Sulaiman Al-Asyqor. Al-Ikhlas. Dar An-Nafais .
dan berbagai referensi lainnya.
145
pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Tentang Penulis
146
pustaka-indo.blogspot.com