Anda di halaman 1dari 35

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Tenaga Listrik


Sistem Tenaga Listrik adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen berupa
pembangkitan, transmisi, distribusi dan beban yang saling berhubungan dan berkerja sama untuk
melayani kebutuhan tenaga listrik bagi pelanggan sesuai kebutuhan. Secara garis besar Sistem
Tenaga Listrik dapat digambarkan dengan skema di bawah ini. (Slamet Suripto, Buku Ajar Sistem
Tenaga Listrik Universitas Muhammadiyah Yogyarkarta)

Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik

Dimulai dari unit pembangkitan dimana tenaga listrik dibangkitkan di Pusat Tenaga Listrik seperti
PLTA, PLTU, PLTD, PLTP, PLTG dan PLTGU kemudian disalurkan melalui unit transmisi
setelah terlebih dahulu dinaikkan tegangannya oleh transformator penaik tegangan (step up
transformer) yang ada di unit pembangkitan. Unit Transmisi ini yang menghubungkan antara unit
pembangkitan dengan Gardu Induk (GI). Di lingkungan operasional PLN saluran transmisi dibagi
menjadi tiga macam nilai tegangan yaitu saluran transmisi yang bertegangan tinggi 70 kV, 150
kV, dan 500 kV dimana saluran 150 kV lebih banyak digunakan dari pada saluran 70 kV. Setelah
tenaga listrik disalurkan melalui saluran transmisi maka sampailah tenaga listrik di Gardu Induk
(GI) sebagai pusat beban untuk diturnkan tegangnnya melalui transformator penurun tegangan
(step down transformer) menjadi tegangan 20 kV, 12 kV, dan 6 kV pada unit distibusi yang lebih
dikenal dengan tegangan distribusi primer. Saat ini tegangan 20 kV pada sakuran distribusi primer
lebih dikembangkan oleh PLN.

2.2 Sistem Distribusi Tenaga Listrik


Sistem distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik. Sistem distribusi ini berguna untuk
menyalurkan tenaga listrik dari sumber daya listrik besar sampai ke konsumen. Fungsi distribusi
tenaga listrik adalah untuk pembagian atau penyaluran tenaga listrik ke beberapa tempat
pelanggan, dan merupakan sub sistem tenaga listrik yang langsung berhubungan dengan
pelanggan, karena catu daya pada pusat-pusat beban atau pelanggan dilayani langsung melalui
jaringan distribusi. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik besar dengan
tegangan dari 11 kV sampai 24 kV dinaikan tegangannya oleh gardu induk dengan transformator
penaik tegangan menjadi 70 kV ,150kV, atau 500kV kemudian disalurkan melalui saluran
transmisi. Tujuan menaikkan tegangan ialah untuk memperkecil kerugian daya listrik pada saluran
transmisi, dimana dalam hal ini kerugian daya adalah sebanding dengan kuadrat arus yang
mengalir (PLosses=I2.R). Dengan daya yang sama bila nilai tegangannya diperbesar, maka arus yang
mengalir semakin kecil sehingga kerugian daya juga akan kecil pula.

Dari saluran transmisi, tegangan diturunkan lagi menjadi 20 kV dengan transformator penurun
tegangan pada gardu induk distribusi, kemudian dengan sistem tegangan tersebut penyaluran
tenaga listrik dilakukan oleh saluran distribusi primer. Dari saluran distribusi primer inilah gardu-
gardu distribusi mengambil tegangan untuk diturunkan tegangannya dengan trafo distribusi
menjadi sistem tegangan rendah, yaitu 220/380Volt. Selanjutnya disalurkan oleh saluran distribusi
sekunder ke konsumen-konsumen. Dengan ini jelas bahwa sistem distribusi merupakan bagian
yang penting dalam sistem tenaga listrik secara keseluruhan. (Suhadi. 2008; 11)
Ditinjau dari tegangannya sistem distribusi dibagi menjadi dua macam, yaitu: (Suhadi. 2008; 14)
a. Distribusi Primer
Yaitu suatu saluran distribusi dengan tegangan operasi nominal 20 kV. Dikenal juga sebagai
Jaringan Tegangan Menengah (JTM). Saluran Distribusi Primer dapat berupa Saluran Udara
Tegangan Menengah (SUTM), Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SKUTM) dan
Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM). Hal ini bertujuan untuk menyesuiakan dengan
tingkat keandalan yang diinginkan untuk kondisi beban serta situasi lingkungan.

Trafo distribusi
Trafo distribusi
Trafo Tenaga
150 kV / 20 kV

PMT PMT
Incoming Outgoing

Trafo distribusi Trafo distribusi Trafo distribusi

Gambar 2.2 Sistem Distribusi Primer

b. Distribusi Sekunder
Yaitu suatu saluran distribusi dengan tegangan operasi nominal 380/220 V. Dikenal juga
sebagai Jaringan Tegangan Rendah (JTR).

Gambar 2.3 Sistem Distribusi Sekunder


2.3 Pola Sistem Distribusi di Indonesia
Ada tiga macam pola sistem distribusi utama yang dianut oleh PT PLN (persero) di seluruh
Indonesia. Untuk koordinasi, investasi, tingkat pelayanan, dan keselamatan dalam rangka
pengamanan sistem distribusi, suatu wilayah distribusi hanya diperbolehkan untuk menganut salah
satu pola yang cocok untuk lingkungannya sesuai dengan pola pentanahan yang telah ada. Pola
pentanahan ini berpengaruh pada sistem konfigurasi jaringan, konstruksi jaringan dan koordinasi
sistem proteksi yang digunakan.
Terdapat 3 macam pola pentanahan yang ada di Indonesia, yaitu:
a. Pentanahan netral melalui tahanan tinggi
b. Pentanahan netral secara langsung
c. Pentanahan netral melaui tahanan rendah

2.3.1 Sistem Distribusi 20kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan Pentanahan
Netral Tahanan Tinggi
Sistem distribusi 20kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan netral tahanan tinggi
atau disebut juga dengan sistem distribusi pola 1 menurut SPLN No.26 Tahun 1980 diterapkan di
daerah perkotaan dan luar kota yang padat penduduknya, tidak ada kesulitan teknik yang berarti
dalam pembangunannya dan tidak begitu mengganggu keindahan kota, contohnya di Jawa Timur.
Ketentuan mengenai sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 1 diatur di
dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 1 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut:
a. Tegangan antar fasa sebesar 20kV
b. Sistem pentanahan berasal dari titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk yang
dihubungkan secara bintang, ditanahkan melalui tahanan sebesar 500 ohm. Sehingga arus
hubung singkat ke tanah maksimum 25A.
c. Konstruksi jaringan pola 1 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada saluran utama
menggunakan kawat AAAC 150 mm2 fasa tiga, tiga kawat.
d. Sistem konfigurasi menggunakan jenis konfigurasi radial dengan kemungkinan saluran utama
(main feeder) dapat disambungkan secara loop dengan penyulang lain yang terdekat
70/150 kV 20 kV

500 Ω

Gambar 2.4 Sistem Pentanahan Netral Melalui Tahanan Tinggi

Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 1 adalah:


a. PMT (Pemutus Tenaga) dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang dilengkapi dengan
OCR (Over Current Relay) atau Rele Arus Lebih dan DGFR (Directional Ground Fault Relay)
atau Rele Arus Tanah Terarah.
b. Untuk pengamanan gangguan fasa-tanah harus menggunalan DGFR yang konstruksinya rumit
dan mahal disbanding relai arus tinggi normal, karena arus gangguan fasa ke tanah relative lebih
kecil.
c. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan recloser (Relai Penutup Balik) untuk
mengatasi gangguan temporer.
d. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut juga
Sectionalizer, yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam beberapa seksi agar
saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam diminimalisir.
e. Sakelar Seksi Otomatis (SSO) digunakan pada sistem ini harus dari jenis penginderaan
tegangan dan koordinasinya dilakukan dengan penyetelan waktu.
f. FCO (Fuse Cut Out) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan saluran
cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20kV, berfungsi untuk
mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya atau berfungsi juga sebagai pengaman
beban lebih.
g. Alat pengaman fasa-tunggal tidak dapat digunakan untuk mengamankan gangguan satu fasa ke
tanah karena arus gangguannya kecil.
2.3.2 Sistem Distribusi 20kV Tiga Fasa dengan Empat Kawat Menggunakan Pentanahan
Netral Tahanan Langsung:
Sistem distribusi 20kV tiga fasa dengan empat kawat menggunakan pentanahan langsung disebut
juga dengan sistem pola 2 menurut SPLN No.12 Tahun 1978 diterapkan di daerah dengan
kepadatan beban rendah sekitar 115 kVA/km2, contohnya di Jawa Tengah. Ketentuan mengenai
sistem jaringan dan sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 2 diatur di dalam SPLN No.52-
3 Tahun 1983.
Sistem distribusi pola 2 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut:
a. Tegangan nominal antar fasa sebesar 20kV, dan tegangan sebesar 20/√3 untuk tegangan fasa-
netral.
b. Sistem pentanahan dengan tititk netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu Induk ditanahkan
langsung, sepanjang jaringan kawat netral dipakai bersama untuk tegangan menengah dan
tegangan rendah di bawahnya.
c. Konstruksi jaringan pola 2 pada dasarnya adalah saluran udara. Dimana pada saluran utama
menggunakan kawat AAAC 240 mm2 fasa tiga dan 150 mm2 untuk kawat netral. Saluran
percabangan menggunakan kawat AAAC 70 mm2 fasa tiga dan 55 mm2 untuk kawat netral.
Percabangan satu fasa kawat AAAC 55 mm2 fasa tiga dan 35 mm2 untuk kawat netral.
d. Sistem konfigurasi menggunakan konfigurasi radial dengan kemungkinan saluran utama (main
feeder) dapat di sambungkan secara loop dengan penyulang lain yang terdekat.
e. Pada sistem ini kawat netral dikondisikan sebanyak mungkin dan merata ditanahkan. Oleh
karena itu kawat netral JTM dan JTR dihubungkan dan dipakai bersama dimana pentanahannya
dilakukan sepanjang JTM, JTR dan dihubungkan pula pentanahan dari setiap instalasi rumah
konsumen.
f. Sistem pelayanan JTM terutama mempergunakan jaringan 1 fasa yang terdiri dari kawat fasa
dan netrral, memungkinkan penggunaan trafo-trafo kecil 1 fasa yang sesuai bagi beban-beban
kecil yang letaknya berjauhan.
150 kV 20 kV

Gambar 2.5 Sistem Pentanahan Netral Secara Langsung Sepanjang Jaringan

Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 2 adalah:


a. PMT (Pemtutus Tenaga) dipasang pada saluran utama di Gardu Induk yang dilengkapi dengan
OCR (Over Current Relay) atau Rele Arus Lebih dan GFR (Ground Fault Relay) atau Rele
Arus Tanah.
b. PMT (Pemutus Tenaga) dikoordinasikan dengan recloser (Relai Penutup Balik) untuk
mengatasi gangguan temporer. Jika panjang jaringan lebih dari 20 km, perlu dipasang recloser
ke-2 dan ke-3 pada jarak tertentu sepanjang saluran utama atau cabang. Koordinasi antar
recloser dilakukan dengan memilih arus nominalnya dan mengurangi satu tingkat penyetelan
waktu operasi juga jumlah buka-tutup kontak relainya.
c. Recloser juga dikoordinasikan dengan SSO (Saklar Seksi Otomatis) atau disebut juga
sectionalizer, yang berfungsi untuk memisahkan saluran utama ke dalam beberapa seksi agar
saat terjadi gangguan permanen luas daerah yang padam dapat diminimalisir.
d. Pada pola 2 SSO membuka saat rangkaian tidak ada arus dan tidak menutup kembali. SSO
bekerja berdasarkan penginderaan dan hitungan kerja buka tutup kontak recloser saat terjadi
arus hubung singkat.
e. FCO (Fuse Cut Out) dipasang pada titik percabangan antara saluran utama dengan saluran
cabang. FCO juga dipasang pada sisi primer trafo distribusi 20 kV, gunanya untuk
mengamankan jaringan yang berada di sebelah hilirnya. FCO berfungsi sebagai pengaman
beban lebih.
f. Tidak adanya tahanan netral, maka arus hubung tanah relatif menjadi sangat besar dan
berbanding terbalik dengan letak gangguan tanah, sehingga perlu dan dapat dipergunakan alat
pengaman yang dapat bekerja cepat dan memanfaatkan rele dengan karakteristik waktu terbalik
(Inverse Time).
g. Arus gangguan fasa-tanah yang besar maka dapat dilakukan koordinasi antara PMT dengan
recloser atau recloser dengan pengaman lebur (Fuse Cut Out) atau recloser dengan SSO
(Sectionalizer)
h. Besarnya arus gangguan serta tingginya frekuensi dari kejadian gangguan fasatanah, maka
kemampuan peralatan pengaman harus disesuaikan dengan kondisi tesebut, misalnya
menghindari pengggunaan PMT dengan minyak minimum.

2.3.3 Sistem Distribusi 20kV Tiga Fasa dengan Tiga Kawat Menggunakan Pentanahan
Netral Tahanan Rendah
Sistem distribusi 20 kV tiga fasa dengan tiga kawat menggunakan pentanahan netral tahanan
rendahatau disebut juga dengan sistem distribusi pola 3 menurut SPLN No.26 Tahun 1980
diterapkan di daerah perkotaan yang padat penduduknya, daerah yang mengalami kesulitan teknik
yang berarti dalam pembangunan konstruksi saluran udara serta mempertimbangkan keindahan
kota, contohnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun, untuk daerah-daerah yang kurang padat
penduduknya penggunaan saluran udara dapat diijinkan.Ketentuan mengenai sistem jaringan dan
sistem pengamanan dari sistem distribusi pola 3 diatur di dalam SPLN No.52-3 Tahun 1983.

Sistem distribusi pola 3 memiliki ciri-ciri jaringan seperti berikut:


a. Tegangan nominal antar fasanya sebesar 20 kV
b. Sistem pentanahan dengan titik netral pada sisi sekunder trafo utama Gardu indük dihubungkan
secara bintang dan ditanahkan melalui tahanan sebesar 12 ohm, untuk SKTM (Saluran Kabel
Tengangan Menengah), sehingga arus hubung singkat ke tanah maksimum 1000 A. Sedangkan
tahanan yang ditanahkan untuk SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah) sebesar 40 ohm,
maka arus hubung singkat fasa-tanah maksimum 300 A.
c. Konstruksi jaringan pada daerah padat beban, perkotaan digunakan saluran kabel tanah
sedangkan pada daerah luar kota, pedesaan digunakan saluran udara. Sistem saluran kabel
tegangan menengah mempergunakan kabel aluminium dengan islolasi kertas berminyak tipe
NA HKBA ukuran 150 mm2. Sistem saluran udara mempergunakan kawat AAAC 240 mm2
dan 150 mm2 fasa tiga, 3 kawat bagi saluran utamanya, dan kawat AAAC 70 mm2, 3 kawat
bagi saluran percabangannya.
d. Sistem konfigurasi untuk daerah perkotaan menggunakan SKTM dengan sistem spindle. Untuk
daerah di luar kota menggunakan SUTM dengan sistem radial.
70/150 kV 20 kV

40 Ω untuk SUTM, dan


12 Ω untuk SKTM atau
campuran dari SUTM dan SKTM
Gambar 2.6 Skema Sistem Pentanahan Netral Melalui Tahanan Rendah

Sistem pengaman pada sistem distribusi pola 3 adalah:


a. Pengaman utama adalah PMT pada saluran utama Gardu Induk yabg dilengkapi dengan OCR
sebagai pengaman arus hubung singkat antar fasa dan GFR sebagai pengaman arus hubung
singkat fasa ke tanah.
b. PMT dikoordinasikan dengan recloser untuk mengatasi gangguan yang bersifat temporer.
c. SSO dipasang pada saluran utama dan saluran cabang untuk membagi jaringan ke dalam
beberapa saksi sehingga daerah padam dapat diminimalisir. SSO dikoordinasikan dengan
urutan kerja recloser.
d. Recloser yang dipakai harus tipe dengan pengatur elektronik untuk mendapatkan karakteristik
waktu tetap bagi gangguan fasake tanah. Demikian pula SSO perlu dilengkapi dengan
penginderaan arus fasa tanah yang rendah.
e. FCO dipasang sebagai pengaman terhadap gangguan permanen pada saluran cabang yang tidak
ditempatkan SSO dan pengaman sisi primer trafo distribusi.
f. Arus gangguan fasa tanah pola 3 tidak terlalu besar, 1000 A untuk saluran kabel tanah dan 300
A untuk sistem saluran udara, sehingga gangguan pada lingkungan akibat arus tanah (step
voltage) dan gangguan jaringan telekomunikasi juga lebih sedikit.
g. Mengingat adanya tahanan netral, maka arus gangguan tanah variasinya kecil sehingga tidak
efektif bagi penggunaan relai arus lebih dengan karakteristik waktu terbalik, sehingga dapat
digunakan relai dengan karakteristik waktu tetap yang lebih stabil efektif dan mudah
penyetelannya.
h. Mengingat arus gangguan tanah tidak terlalu besar, maka penyetelannya relai arus lebih fasa-
tanah dan arus kapasitif lebih diperhitungkan untuk sistem kabel tanah.

2.4 Konfigurasi Jaringan Distribusi


Konfigurasi jaringan yang diterapkan di suatu daerah merupakan hasil dari pertimbangan antara
alasan-alasan teknis dan ekonomis dilain pihak. Alasan teknis ini berupa keandalan, stabilitas, dan
kontinyuitas pelayanan energi listrik. Sedangkan alasan ekonomis didasarkan pada peralatan
material yang digunakan untuk membangun suatu konfigurasi jaringan tersebut.
Dari segi keandalan yang ingin dicapai ada dua pilihan konfigurasi jaringan:
a. Jaringan dengan satu sumber pengisian: cara penyaluran ini merupakan yang paling
sederhana. Gangguan yang timbul akan mengakibatkan pemadaman.
b. Jaringan dengan beberapa sumber pengisian: keandalannya lebih tinggi. Secara ekonomi lebih
mahal karena menggunakan perlengkapan penyaluran yang lebih banyak. Pemadaman akibat
gangguan juga dapat diminimalisir.

2.4.1 Konfigurasi Jaringan Radial

Ciri dari konfigurasi radial adalah bila antara titik sumber dan titik bebannya hanya terdapat satu
saluran, tidak ada alternatif saluran lainnya. Bentuk Jaringan ini merupakan bentuk dasar, paling
sederhana dan paling banyak digunakan. Dinamakan radial karena saluran ini ditarik secara radial
dari suatu titik yang merupakan sumber dari jaringan itu dan dicabang-cabang ke titik-titik beban
yang dilayani.
Ciri-ciri dari konfigurasi jaringan radial adalah:
a. Bentuknya sederhana
b. Biaya investasinya relative murah
c. Kualitas pelayanan dayanya relative jelek, karena rugi tegangan dan rugi daya yang terjadi
pada saluran relative besar
d. Kontinyuitas daya tidak terjamin, sebab antara titik sumber dan titik beban hanya ada satu
alternatif saluran sehingga bila saluran tersebut mengalami gangguan, maka seluruh rangkaian
sesudah titik gangguan akan mengalami pemadaman.
Untuk melokalisir gangguan pada konfigurasi radial ialah jaringan dilengkapi dengan peralatan
pengaman antara lain fuse, sectionalizer, recloser, atau alat pemutus beban lainnya. Fungsi
pengaman untuk mengamankan gangguan pada bagian saluran yang dilayaninya.

2.4.1 Gambar 2.7 Konfigurasi Jaringan Radial Konfigurasi Jaringan Loop


Konfigurasi jaringan loop merupakan jaringan dengan bentuk tertutup, disebut juga bentuk
jaringan ring. Konfigurasi loop merupakan variasi dari konfigurasi radial. Susunan rangkaian
saluran membentuk ring, yang memungkinkan titik beban terlayani dari dua arah saluran, sehingga
kontinyuitas pelayanan lebih terjamin serta kualitas dayanya menjadi lebih baik, karena drop
tegangan dan rugi daya saluran lebih kecil.

Struktur jaringan ini merupakan gabungan dari dua buah struktur jaringan radial, dimana pada
ujung dari dua buah jaringan dipasang sebuah saklar (switch) berupa ABSW atau LBS. Pada saat
terjadi gangguan, setelah gangguan dapat diisolir, maka pemutus atau pemisah ditutup sehingga
aliran daya listrik ke bagian yang tidak terkena gangguan tidak terhenti. Pada umumnya
penghantar dari struktur ini mempunyai struktur yang sama, ukuran konduktor tersebut dipilih
sehingga dapat menyalurkan seluruh daya listrik beban struktur loop, yang merupakan jumlah daya
listrik beban dari kedua struktur radial.

Terdapat 2 jenis konfigurasi jaringan Loop, yaitu:


a. Open Loop
Konfigurasi Jaringan Open Loop ini merupakan pengembangan dari sistem radial, sebagai
akibat diperlukannya keandalan yang lebih tinggi dan umumnya sistem ini dapat dipasok oleh
satu gardu induk. Dimungkinkan juga dari gardu induk lain tetapi harus dalam satu sistem di
sisi tegangan tinggi karena hal ini diperlukan untuk memudahkan manuver beban pada saat
terjadi gangguan atau kondisi-kondisi pengurangan beban. Proteksi untuk sistem ini masih
sederhana tetapi harus memperhitungkan panjang jaringan pada titik manuver terjauh disistem
tersebut. Sistem ini umumnya banyak digunakan di PLN baik pada SUTM maupun SKTM.

Gambar 2.8 Konfigurasi Jaringan Terbuka/Open Loop

b. Close Loop
Konfigurasi Jaringan Close Loop ini layak digunakan untuk jaringan yang dipasok dari satu
gardu induk, memerlukan sistem proteksi yang cukup rumit biasanya menggunakan rele arah
(directional relay). Sistem ini mempunyai kehandalan yang lebih tinggi dibandingkan sistem
lainnya, dan sistem ini jarang digunakan di PLN tetapi biasanya dipakai untuk pelanggan-
pelanggan khusus yang membutuhkan keandalan tinggi.
Gambar 2.9 Konfigurasi Jaringan Tertutup/Close Loop

2.4.2 Konfigurasi Jaringan Spindle


Sistem spindle merupakan sistem yang relatif handal karena disediakan satu buah express feeder
yang merupakan feeder/penyulang tanpa beban dari gardu induk sampai Gardu Hubung, banyak
digunakan pada jaringan SKTM. Sistem ini relative mahal karena pembangunannya
mempertimbangkan perkembangan beban di masa yang akan datang, proteksinya relatif sederhana
hampir sama dengan sistem Open Loop. Biasanya di tiap-tiap feeder dalam sistem spindle
disediakan gardu tengah (middle point) yang berfungsi untuk titik manuver apabila terjadi
gangguan pada jaringan tersebut.

PMT

PMT

PMT
150/20 kV

PMT
Express Feeder

Trafo GI PMT

PMT

PMT
Gardu
Tengah Gardu
Hubung

Gambar 2.10 Konfigurasi Jaringan Spindle


Sistem ini biasanya menggunakan hantaran kabel tanah dan mempunyai kontinuitas pelayanan
yang baik, karena gangguan yang terjadi dapat dilokalisir dan beban dari kabel yang terganggu
dapat dipindahkan ke kabel cadangan (Express Feeder) yang selalu standby.

2.4.3 Konfigurasi Jaringan Cluster


Konfigurasi saluran udara tegangan menengah yang sudah bertipikal sistem tertutup, namun
beroperasi radial (radial open loop). Saluran bagian tengah merupakan penyulang cadangan
(express feeder) dengan luas penampang penghantarnya besar. Sistem operasinya lebih mudah
dibandingkan dengan sistem spindle dikarenakan tempat switching (Gardu Hubung) tidak dalam
satu tempat sehingga proses switching bisa dilakukan disepanjang penyulang cadangan (express
feeder)

Gambar 2.11 Konfigurasi Jaringan Cluster

2.4.4 Konfigurasi Jaringan Grid (Jala-Jala)


Sistem ini mempunyai mutu pelayanan dan keandalan yang jauh lebih baik dari sistem-sistem yang
telah dibicarakan terdahulu. Setiap gardu distribusi dapat dipasok dari dua sumber atau lebih
sehingga kontinyuitas pelayananya lebih terjamin. Mutu tegangannya juga lebih baik karena bebas
dipikul oleh beberapa buah penyulang yang paralel.
Namun demikian sistem ini membutuhkan biaya dan peralatan yang jauh lebih mahal
dibandingkan dengan kedua sistem yang telah dibicarakan terdahulu. Sistem ini biasanya
digunakan pada kota metropolitan yang kepadatan bebannya sangat tinggi.

Gambar 2.12 Konfigurasi Jaringan Jala-jala/Grid

2.5 Pengoperasian Jaringan Distribusi


Pengoperasian sistem jaringan distribusi merupakan segala kegiatan yang mencakup pengaturan,
pembagian, pemindahan, dan penyaluran tenaga listrik kepada konsumen secepat mungkin serta
menjamin kelangsungan penyaluran atau pelayanan. Sebagai tolok ukur atas keberhasilan pada
pengoperasian dapat dilihat dari beberapa parameter. Parameter-parameter berupa kualitas listrik
yang baik dan keandalan dari sistem penyaluran energi listriknya.
2.5.1 Tolok Ukur Kinerja Pengoperasian Jaringan Distribusi
Sebagai tolok ukur atas keberhasilan pada pengoperasian dapat dilihat dari beberapa parameter,
yaitu:
a. Kualitas Listrik Harus Terjaga
Ada 2 (dua) hal yang menyatan yang menjadi ukuran mutu listrik yaitu:
tegangan dan frekuensi.
Tegangan pelayanan ditentukan oleh:
1) Batasan toleransi tegangan, pada konsumen TM adalah  5 %, sedangkan pada konsumen
TR maksimum +5 % dan minimum –10 %.
2) Keseimbangan tegangan pada setiap titik sambungan
3) Kedip akibat pembebanan sekecil mungkin
4) Hilang tegangan sejenak akibat manuver secepat mungkin
Sedangkan untuk frekuensi batasan yang diijinkan adalah batas toleransi frekuensi adalah  1
% dari frekuensi standar 50 Hz
Faktor yang membuat baik-tidaknya mutu listrik terebut dari sisi distribusi adalah faktor
pembebanan pada sistem distribusi yaitu pembebanan yang tidak stabil oleh karena
pengoperasian normal atau karena lebih banyak akibat gangguan pada suplai dari GI dan
penyulang
c. Keamanan dan keselamatan terjamin
Sebagai indikator adalah jumlah angka kecelakaan akibat listrik pada personil dan kerusakan
pada instalasi / peralatan serta lingkungan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan adalah:
1) Kondisi instalasi memenuhi persyaratan
2) Sistem proteksi berfungsi dengan baik
3) Pemeliharaan instalasi sesuai jadwal
4) Alat kerja dan peralatan keselamatan kerja memenuhi syarat
5) Koordinasi kerja berjalan dengan baik
6) Sikap dan cara kerja memperhatikan aturan K3 / K2
7) Menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya listrik dan berusaha
menghindarinya
d. Biaya Pengoperasian Efisien
Sebagai indikator adalah angka susut jaringan, yaitu selisih antara energi yang dikeluarkan oleh
gardu / pembangkit dengan energi yang digunakan oleh pelanggan.
Penyebab susut jaringan:
1) Pencurian listrik
2) Kesalahan alat ukur
3) Kesalahan rasio CT
4) Kesalahan ukuran penghantar
5) Jaringan terlalu panjang
6) Faktor daya rendah
7) Kualitas konektor dan pemasangannya jelek
e. Mempertahankan Kepuasan Pelanggan
Mempertahankan kepuasan pelanggan dapat terjadi bila kebutuhan akan listrik oleh konsumen
baik kwantitas, kualitas dan kontinyuitas pelayanan terpenuhi, untuk itu hal yang perlu
dilakukan adalah:
1) Pengendalian tegangan, yaitu mengadakan pengaturan mulai dari tingkat suplai sampai ke
titik ujung tegangan pada batas toleransi yang diijinkan.
2) Pengendalian beban, yaitu membatasi pembebanan sesuai kemampuan sumber pasokan
tenaga listrik, maupun peralatan dan material jaringan.

2.5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kelangsungan Pelayanan


Ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kelangsungan pelayanan, yaitu dari faktor ketersediaan
pasokan energi dari pembangkit sampai gardu induk dan faktor dari sisi distribusi sendiri sebagai
akibat dari:
a. Adanya pekerjaan jaringan.
b. Kecepatan mengisolasi gangguan dan manuver beban

2.6 Manuver Jaringan Distribusi


Manuver/manipulasi jaringan adalah serangkaian kegiatan membuat modifikasi terhadap operasi
normal dari jaringan akibat adanya gangguan/pekerjaan jaringan sehingga tetap tercapaianya
kondisi penyaluran tenaga listrik yang maksimal atau dengan kata lain yang lebih sederhana adalah
mengurangi daerah pemadaman. Kegiatan yang dilakukan dalam manuver antara lain:
a. Memisahkan bagian-bagian jaringan yang semula terhubung dalam keadaan
bertegangan/tidak bertegangan
b. Menghubugkan bagian-bagian yang terpisah menurut keadaan operasi normalnya dalam
keadaan bertegangan/tidak bertegangan.

Jadi manuver merupakan pekerjaan menutup (memasukkan) atau membuka (melepas) peralatan-
peralatan penghubung/pemisah seperti: Seksionaliser (pemisah), interupter (pemutus) dan
pemutus tenaga (PMT).

2.7 Peralatan Manuver


Optimalisasi atas keberhasilan manuver dari segi teknis ditentukan oleh konfigurasi jaringan dan
peralatan manuver yang tersedia di sepanjang jaringan. Peralatan jaringan yang dimaksud adalah
peralatan-hubung yang terdiri dari:

2.7.1 Pemisah (Disconecting Switch)


Peralatan ini tidak memiliki kemampuan memutus atau menutup jaringan, bila memiliki
kemampuan ini sangat kecil. Perlu diketahui kemampuan memutus dan kemampuan menutup
merupakan dua hal yang berbeda. Misalnya sebuah pemutus beban dengan kemampuan membuka
hanya 200 A (arus nominal), tetapi memiliki kemampuan menutup 10.000 A (arus hubung
singkat).

2.7.2 Air Break Switch (ABSW)


ABSW merupakan salah satu peralatan jaringan yang berfungsi sebagai switching (sakelar) yaitu
peralatan yang dapat menghubungkan atau memisahkan jaringan dalam kondisi tidak berbeban.
Media kontaknya adalah udara yang dilengkapi dengan peredam busur api / interrupter berupa
hembusan udara yang berfungsi sebagai peredam busur api yang ditimbulkan saat dibukanya pisau
ABSW dalam kondisi bertegangan. ABSW juga dilengkapi dengan isolator tumpu sebagai
penopang pisau ABSW, pisau kontak sebagai kontak gerak yang berfungsi memutus dan
menghubungkan ABSW.
Pada saat terjadi gangguan pada jaringan distirbusi, fungsi ABSW adalah untuk melokalisir
gangguan. Selain sebagai pemisah ABSW berfungsi untuk membagi beban. Dalam konidisi
operasi normal dua buah penyulang dipisahkan oleh ABSW pada posisi buka/NO (Normaly Open).
Titik posisi NO tidak selalu pada ABSW tertentu saja, namun bisa dipindah ke ABSW lain yang
sebelumnya pada posisi tutup/NC (Normaly Close) yang berada pada batas pembagi/seksi atau
zone, pemindahan titik ABSW NO ini dengan mempertimbangkan regulasi beban antara kedua
penyulang yang disesuaikan dengan kemampuan/kapasitas dari masing-masing penyulang. Pada
kondisi tertentu untuk keperluan pemeliharaan atau peralatan disuatu seksi diperlukan manuver
(pelimpahan) beban dari penyulang satu ke penyulang yang lainnya, untuk meminimalkan daerah
padam. Kondisi yang sifatnya hanya sementara ini tetap harus diperhitungkan koordinasi
pengamannya, sehingga apabila terjadi gangguan dimanapun titiknya, kinerja pengaman jaringan
akan tetap terpenuhi.

Untuk mengoperasikan ABSW dilakukan secara manual menggunakan handle ABSW. Handle
ABSW ini terletak di tiang dimana ABSW dipasang. ABSW hanya dioperasikan pada beban yang
relatif kecil, karena media pemadam busur api ABSW berupa hembusan udara dengan tekanan
kecil sekitar 100 kg/N2. Oleh karena itu perlu diperhatikan spesifikasi ABSW yang terpasang pada
jaringan distribusi.

Gambarr absw

2.7.3 Pemutus Beban (Load Break Switch)


Saklar pemutus beban (Load Break Switch, LBS) merupakan saklar atau pemutus arus tiga fasa
untuk penempatan di luar (outdoor) pada tiang JTM, yang dikendalikan secara elektronis. Saklar
dengan penempatan di atas tiang ini dioptimalkan melalui kontrol jarak jauh dan skema
otomatisasi. Jenis pemutus beban tergantung penggunaan bahan dari pemadaman busur api yang
timbul pada waktu pembukaan kontak pemutus (misalnya pemutus gas, pemutus udara vacum).
Kemampuan dalam memutus biasanya disesuaikan dengan rating arus nominal saluran dimana alat
ini ditempatkan, tetapi ia harus mampu melakukan tugas penutupan dengan arus sangat besar (arus
hubung singkat) tanpa mengalami kerusakan.
Ciri-ciri LBS:
a. Dapat digunakan sebagai pemisah maupun pemutus tenaga dengan beban nominal
b. Tidak dapat memutuskan jaringan dengan sendirinya saat terjadi gangguan pada jaringan
c. Dibuka dan ditutup hanya untuk memanipulasi beban

LBS dapat dioperasikan dalam keadaan berbeban (onload) namun tidak boleh membuka saat
terjadi gangguan berupa arus hubung singkat. Hal ini disebabkan karena SF6 yang terdapat di
dalam peredam busur api LBS memiliki kemampuan terbatas terhadap besarnya arus yang
melaluinya. Apabila pada saat terjadi gangguan hubung singkat, LBS ikut membuka hal ini justru
dapat menyebabkan kerusakan pada LBS tersebut ataupun dikhawatirkan LBS bisa meledak.

LBS dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu secara lokal melalui panel kontrol LBS maupun
menggunakan Hook Stick atau secara remote melaui SCADA. Pada panel kontrol LBS terdapat
tombol operasi open/ close untuk mengoperasikan kontak-kontak LBS saat melakukan manuver
jaringan. Jika panel kontrol tidak berfungsi, LBS dapat dioperasikan menggunakan hook stick
dengan cara mengaitkannya pada lubang handle operasi open/ close LBS

Jenis LBS yang digunakan pada Jaringan SUTM adalah Pole-Mounted Load Break Switch. Sesuai
dengan namanya Pole-Mounted LBS yang dipasang pada tiang - tiang JTM (outdoor). Beberapa
LBS jenis ini dilengkapi dengan fitur sebagai Sectionalizer. LBS tipe ini dipasang pada main
feeder dan berfungsi sebagai pembatas tiap seksi-seksi jaringan untuk melokalisir daerah gangguan
maupun pemadaman.

Gambar LBS

2.7.4 PMT (Pemutus Tenaga)


Pemutus Tenaga (PMT) atau Circuit Breaker adalah suatu peralatan listrik yang dapat
menghubungkan atau memutuskan rangkaian listrik dalam keadaan normal atau gangguan yang
dilengkapi dengan alat pemadam bususr api. Pada kondisi gangguan, operasi kontak PMT bekerja
secara otomatis sesuai dengan perintah dari relai pengaman. Bekerjanya kontak-kontak PMT ini
akan menimbulkan busur api karena besarnya arus yang mengalir. Oleh karena itu untuk meredam
busur api tersebut, kontak-kontak PMT berada di dalam tempat tertutup yang dilengkapi dengan
pemadam busur api yang dapat berupa minyak, udara, maupun gas SF6. Pembeian nama pada PMT
ditandai dengan media isolasinya.

Gambar PMT

Jenis-jenis PMT 20kV menurut media pemadam busur apinya:


a. PMT Minyak atau Oil Circuit Breaker (OCB)
b. PMT Udara Hembus atau Air Blast Circuit Breaker (ABCB)
c. PMT Hampa Udara atau Vacuum Circuit Breaker (VCB)
d. PMT Gas SF6 atau SF6 Circuit Breaker

Kontak-kontak PMT dapat beroperasi secara otomatis saat terjadi gangguan maupun manual
dengan dioperasikan saat pemadaman/ pemeliharaan terencana. Operasi kontak-kontak PMT
secara otomatis, dikendalikan oleh relai proteksi yang bekerja saat gangguan seperti hubung
singkat.

Pada saat terjadi gangguan, arus yang mengalir di jaringan menjadi sangat besar, hal ini juga
dirasakan oleh CT (Current Transformer). Fungsi CT adalah mentranformasikan besaran arus
yang terukur pada sisi primer ke sisi sekunder CT sesuai dengan rasio CT tersebut. Jika arus yang
terukur pada CT melebihi arus setting relai proteksi, maka rele proteksi akan bekerja menutup
kontaknya. Kontak relai yang menutup tersebut akan mengalirkan sumber DC ke Trip Coil,
kemudian Trip Coil akan memerintahkan PMT untuk trip atau membuka kontak-kontaknya.

Pengoperasian PMT secara manual dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara local melalui
tombol operasi open/close PMT yang ada pada kubikel, maupun secara remote (kontrol jarak jauh)
melalui komputer dengan sistem SCADA.

2.7.5 Recloser / Penutup Balik Otomatis


Recloser merupakan pemutus tenaga yang dilengkapi dengan relai penutup balik dan dipasang
pada jaringan SUTM (Saluran Udara Tegangan Menengah). Relai penutup balik pada dasarnya
bukan merupakan jenis relai pengaman, namun dapat digabungkan/ dipasangkan dengan relai
hubung tanah atau relai arus lebih jika terjadi gangguan yang bersifat sementara. Reclose artinya
menutup kembali, oleh karena itu recloser berfungsi untuk mengamankan peralatan jaringan
SUTM apabila terjadi gangguan hubung singkat yang sifatnya temporer atau permanen.

Contoh gangguan-gangguan temporer:


a. Terhubungnya penghantar satu dengan yang Iain yang disebabkan oleh tiupan angin.
b. Adanya ranting pohon yang bergesekan dengan penghantar pada saat ada tiupan angin.
c. Adanya surja petir yang melewati penghantar

Adanya hewan yang melintas di atas penghantar dan bersentuhan dengan permukaan grounding.
Bypass
ABSW

Disconnecting
Switch (DS)

PT

Recloser

Panel
Kontrol

Gambar 2.13 Recloser 3 Fasa 20 kV Konstruksi 1 Tiang dengan 3 Pasang DS

Cara kerja recloser adalah untuk menutup balik dan membuka secara otomatis yang dapat diatur
selang waktunya, dimana pada sebuah gangguan temporer, recloser tetap membuka sampai waktu
setting yang di tentukan, kemudian recloser akan menutup kernbali setelah gangguan itu hilang.
Apabila gangguan bersifat permanen, maka setelah membuka atau menutup balik sebanyak setting
yang telah ditentukan kemudian recloser akan membuka tetap (lock out).
Pada suatu gangguan permanen, recloser berfungsi memisahkan daerah atau jaringan yang
terganggu sistemnya secara cepat sehingga dapat memperkecil daerah yang terganggu. Pada
gangguan sesaat, recloser akan memisahkan daerah gangguan secara sesaat sampai gangguan
tersebut akan dianggap hilang, dengan demikian recloser akan masuk kembali sesuai settingannya
sehingga jaringan akan aktif kembali secara otomatis. Sebuah recloser memiliki dua buah elemen
utama yaitu :
a. Dead Time Element (DT)
Berwujud suatu saklar tunda waktu "On Delay" yang waktu tundanya dapat disetel menurut
kebutuhan. Berfungsi untuk menentukan sela waktu dari saat PMT trip hingga saat PMT
diperintahkan masuk kembali, dan dead time element ini dimaksudkan agar PMT mempunyai
kesempatan untuk memadamkan busur api yang terjadi saat kontak-kontak PMT membuka.
b. Blocking Time Element (BT)
Berwujud saklar tunda waktu "Off Delay" yang waktu tundanya dapat disetel menurut
kebutuhan. Berfungsi untuk memblock dead time element selama beberapa waktu setelah
bekerja memasukkan PMT. Blocking time element ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan PMT agar siap melakukan siklus auto reclosing berikutnya.
PMT
CT

TC CC

C
GFR S
BT2

DT
BT

DT2

+
- DT1 BT1

Gambar 2.14 Rangkaian Relai Penutup Balik


Keterangan:
TC = Trip Coil
CC = Closing Time
PMT = Pemutus Tenaga/ CB
C = Counter/ Penghitung kerja rele
S = Saklar on-off
DT = Dead Time
BT = Blocking Time

2.7.6 Saklar Seksi Otomatis (SSO)


SSO atau sectionalizer adalah saklar yang dilengkapi dengan kontrol elektronik/ mekanik
yang digunakan sebagai pengaman seksi jaringan tegangan menengah. SSO sebagai alat
pemutus rangkaian/beban untuk memisah-misahkan saluran utama dalam beberapa seksi,
agar pada keadaan gangguan permanen, luas daerah (jaringan) yang harus dibebaskan di
sekitar lokasi gangguan sekecil mungkin. Bila tidak ada PBO atau relai recloser di sisi
sumber maka SSO tidak berfungsi otomatis (sebagai saklar biasa).
Sectionalizer pada jaringan dipasang setelah recloser, sistem kerjanya ketika recloser
membuka, sectionalizer akan mendeteksi tegangan yang hilang. Sectionalizer akan
menghitung ketika berapa kali terjadi hilang tegangan. Setelah setting kehilangan tegangan
pada sectionalizer terpenuhi, sectionalizer akan lock out. Seting sectionalizer adalah n-1,
dimana n adalah setting pada recloser. Hal ini dimaksudkan agar ketika terjadi gangguan
yang bersifat permanen, sectionalizer akan melokalisir daerah gangguan dan recloser tidak
lock out sehingga daerah yang padam dapat lebih diminimalisir.

Dipasangnya sectionalizer dan recloser pada SUTM maka diperlukan adanya koordinasi
antara kedua peralatan ini, sehingga ketika terjadi gangguan yang bersifat permanen dan
gangguan berada di posisi depan sectionalizer tidak akan menyebabkan recloser lock out
atau bahkan menyebabkan PMT pada pangkal penyulang trip. Dengan demikian, jika
koordinasi antara pengaman pada penyulangbekerja dengan baik, akan dapat
meminimalisir daerah yang padam akibat gangguan.
Penempatan SSO:
a. Ditepampatkan pada jaringan saluran udara tegangan menengah radial, seri dengan recloser
b. SSO dapat dihubung seri pada jaringan loop
c. Sebagai pengaman cadangan (backup) untuk arus gangguan minimum di ujung jaringan
setelah SSO
d. SSO dapat ditempatkan di percabangan jaringan SUTM

a) Programmable Ressetable Sectionalizer b) Pengoperasian SSO dengan Hook Stick


Single Phase

Gambar 2.15 Saklar Seksi Otomatis (SSO)

Pada kondisi lock out kontak SSO dapat membuka secara otomatis, namun untuk memasukkan
kontak SSO kembali, petugas harus mendatangi lokasi pemasangan SSO dan memasukkan kontak
SSO dengan menggunakan hook stick.

2.8 Perhitungan Beban Section


Beban section merupakan beban yang dibatasi oleh dua buah peralatan pemisah yang berdekatan,
yang berupa LBS dan ABSW. Untuk menghitung beban section ini diperlukam data pengukuran
pada masing-masing fasa R, S, dan T di jaringan tegangan menengah 20kV. Pada saat dilakukan
pengukuran beban disebuah titik ABSW/LBS, sesungguhnya beban yang terukur tersebut adalah
beban dari titik pengukuran hingga ujung jaringan tersebut. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan Amp Stick (Ampere Meter Stick). Sehingga untuk menghitung beban section kita
harus mengetahui di titik mana letak LBS dan ABSW pada suatu penyulang, sehingga dengan
mengurangi hasil pengukuran beban di awal dengan hasil pengukuran beban dititik selanjutnya
dapat diketahui berapa beban tiap section tersebut.

Gambar 2.16 Amp Stick

Pengukuran beban per section ini pada dasarnya mengacu pada persamaan Kirrchoff Current Low
(KCL) dimana pada setiap titik percabangan dalam rangkaian listrik, jumlah dari arus yang masuk
kedalam titik itu sama dengan jumlah arus yang keluar dari titik tersebut atau jumlah total arus
pada sebuah titik adalah nol.
I2

I1

I3

I4
Gambar 2.17 Rangkaian Persamaan KCL

Kirrchoff Current Low:

ΣI = 0 .......................................................................................................... (2.3)
Atau

ΣI = I1 – I2 – I3 – I4 ..................................................................................... (2.4)
I1 = I2 + I3 + I4 ............................................................................................. (2.5)
Keterangan
Σ𝐼 = Arus masuk (A)
In = Arus cabang (A)

2.9 Rugi-Rugi Jaringan Distribusi Primer


Rugi-rugi atau losses dapat diartikan sebagai selisih antara energi listrik yang disalurkan dengan
energi yang diterima. Terjadinya rugi-rugi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
jauhnya daerah penyaluran tenaga listrik dari sumber/suplai, ketidakseimbangan beban, umur
peralatan, ukuran dan jenis penghantar, dan sebagainya.

Rugi-rugi energi tersebut tidak dapat dihilangkan sepenuhnya namun bisa diminalkan (direduksi).
Kerugian pada sistem tenaga listrik dari pembangkit hingga ke konsumen diperkiran 14% dari total
daya pembangkitan, kerugian tersebut terdiri dari 3% susut transmisi dan 11% susut distribusi.
Pada tabel 2.1 disampaikan prosentase kerugian daya yang diijinkan pada saluran distribusi.
Tabel 2.1 Kerugian daya pada system distribusi tenaga listrik
Distribution System Losses at Full
Load
Cable 1% - 4%
Transformer 0,4% - 3%
Capasitors 0,5% - 2%
Low Voltage Switchgear 0,13% - 0,34%
Busbar 0,05% - 0,5%
Motor Control Centers 0,01%-0,4%
Medium Voltage Switchgear 0,006% - 0,02%
Load Break Switches 0,003%-0,025%
Outdoor Circuit Breaker 0,002%-0,015%

Terdapat dua jenis rugi-rugi pada jaringan distribusi, yaitu rugi daya dan jatuh tegangan. Rugi-rugi
ini disebabkan karena panjangnya penghantar yang digunakan dalam jaringan distribusi. Pada
umumnya jaringan distribusi menggunakan penghantar jenis tembaga atau alumunium. Namun,
mahalnya harga tembaga membuat penghantar jenis alumunium lebih banyak digunakan.
Sehingga untuk menghitung rugi-rugi pada jaringan distribusi kita perlu mengetahui berapa nilai
impedansi penghantar jenis AAAC (All Aloy Aluminium Conductor), faktor daya jaringan, panjang
penghantar dan beban pada saluran tersebut.
AAAC merupakan jenis penghantar yang terbuat dari alumunium-magnesium-silicon campuran
logam, keterhantaran elektris tinggi yang berisi magnesium silicade, untuk memberi sifat yang
lebih baik. Kabel ini biasanya dibuat dari paduan aluminium 6201. AAAC mempunyai suatu anti
karat dan kekuatan yang baik, sehingga daya hantarnya lebih baik.

Gambar 2.18 Penghantar AAAC (All Aloy Alumunium Conductor)

Tabel 2.2 Nilai Tahanan (R) dan Reaktansi (XL) Penghantar AAAC
Luas
Jari2 GMR Impedansi urutan Impedansi urutan Nol
Penampang Urat
[mm] [mm] positif [Ohm / km] [Ohm / km]
[mm2]
16 2,2563 7 1,6380 2,0161 + j 0,4036 2,1641 + j 1,6911
25 2,8203 7 2,0475 1,2903 + j 0,3895 1,4384 + j 1,6770
35 3,3371 7 2,4227 0,9217 + j 0,3790 1,0697 + j 1,6665
50 3,9886 7 2,8957 0,6452 + j 0,3678 0,7932 + j 1,6553
70 4,7193 7 3,4262 0,4608 + j 03572 0,6088 + j 1,6447
95 5,4979 19 4,1674 0,3096 + j 0,3449 0,4876 + j 1,6324
120 6,1791 19 4,6837 0,2688 + j 0,3376 0,4168 + j 1,6324
150 6,9084 19 5,2365 0,2162 + j 0,3305 0,3631 + j 1,6180
185 7,6722 19 5,8155 0,1744 + j 0,3239 0,3224 + j 1,6114
240 8,7386 19 6,6238 0,1344 + j 0,3158 0,2824 + j 1,6034

2.9.1 Perhitungan Jatuh Tegangan


Untuk mempermudah dalam menghitung jatuh tegangan digunakan diagram beban satu garis
seperti pada Gambar 2.23
Gambar 2.19 Diagram Beban Satu Garis

Gambar 2.20 Diagram persamaan tegangan

Nilai jatuh tegangan yang disebabkan oleh penghantar dipengaruhi oleh besarnya arus dan
impedansi penghantar (V=I.Z), dimana Z = R+jX =Z θC dan nilai arus (I) tertinggal terhadap
tegangan (Vb) sebesar “θL” seperti yang ditunjukkan pada gambar 3. Besar sudut “θL”adalah
sudut pada faktor beban = cos θL. Sehingga diperoleh persamaan:
VD = I  -θL × Z  θC .................................................................................. (2.6)
= I (cos θL + sin θL)(R+jX) ....................................................................... (2.7)
= I {(Rcos θL + Xsin θL) – j(Rsin θL – Xcos θL)} ..................................... (2.8)

Karena nilai (Rsin θL – Xcos θL) sangat kecil, sehingga besarnya rugi tegangan dapat dihitung
dengan:
VD = I (Rcos θL + Xsin θL) ............................................................................ (2.9)
Dengan demikian besarnya tegangan beban:
VR = VS - I (Rcos θL + Xsin θL)................................................................... (2.10)
Selisih antara tegangan sumber dan tegangan pada beban ini yang disebut dengan drop tegangan
yaitu:
VD (1 ph) = I (Rcos θL + Xsin θL) ................................................................ (2.11)
VD (3 ph) = √3 {I (Rcos θL + Xsin θL)} ..................................................... (2.12)
(Electrical Power Distribution System: V Kamaraju)

Keterangan:
VS = Tegangan sumber (Volt)
Vb = Tegangan pada beban (Volt)
VR = Tegangan pada resistan (Volt)
VX = Tegangan pada reaktansi (Volt)
VD = Tegangan Drop (Volt)
I = Arus (Ampere)
R = Resistansi penghantar (ohm)
X = Reaktansi penghantar (ohm)

Nilai √3 pada sistem 3 fasa diperoleh dari penjelasan di bawah ini:

Gambar 2.21 Diagram Tegangan 3 Fasa


Tegangan fasa-netral = VA-N = VB-N = VC-N
Tegangan fasa-fasa = VA-B = VB-C = VA-C

Gambar 2.22 Diagram Pembuktian Nilai √3 pada Tegangan 3 Fasa

Jadi dimisalkan besarnya VA-N = 1, maka:


VA-X = VA-N × Cos 60o ................................................................................ (2.13)
VA-X = 1 × 1⁄2 √3 ......................................................................................... (2.14)
Sehingga:
VA-B = 2 (VA-X) ............................................................................................ (2.15)
VA-B = 2 (1⁄2 √3) .......................................................................................... (2.16)
VA-B = √3 . VA-N) ......................................................................................... (2.17)

2.9.2 Perhitungan Rugi Daya


Untuk menghitung rugi daya pada suatu saluran, secara sederhana dapat dijelaskan melalui
diagram beban satu garis, seperti pada gambar 2.23.
S = PR + QXL + Pb ........................................................................................ (2.18)
S = I2.R + I2.jX + I2. Beban ......................................................................... (2.19)
Pb = S-(PR + QXL) ........................................................................................ (2.20)

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Pb < PS. Hal ini disebabkan adanya rugi-rugi
adalah selisih antara daya yang dihasilkan dengan daya yang terukur pada beban, sehingga dapat
dikatakan bahwa PR + QXL merupakan rugi daya pada suatu jaringan distribusi.

Persamaan rugi daya (Power Losses) 1 Fasa:


P Losses = PR = I2.R (Watt) ............................................................................. (2.21)
QLosses = QXL = I2.Jx (VAr) .......................................................................... (2.22)

Persamaan rugi (Power Losses) 3 fasa:


P Losses (3ph) = PLosses (R) + PLosses (S) + PLosses (T) ............................................... (2.23)
QLosses (3ph) = QLosses (R) + QLosses (S) + QLosses (T) ............................................. (2.24)

Gambar 2.23 Sistem 3 Fasa 4 Kawat Hubungan Bintang

Untuk sistem 3 fasa 4 kawat dengan beban tidak seimbang, persamaan rugi daya (Power Losses)
adalah sebagai berikut:
P Losses (3ph) = PLosses (R) + PLosses (S) + PLosses (T) + PLosses (N) .............................. (2.25)
P Losses (3ph) = IR2 × R + IS2 × R + IT2 × R + IN2 × R .................................... (2.26)
Q Losses (3ph) = QLosses (R) + QLosses (S) + QLosses (T) + QLosses (N) .......................... (2.27)
Q Losses (3ph) = IR2 × X + IS2 × X + IT2 × X + IN2 × X .................................. (2.28)
(Electrical Power Distribution System: V Kamaraju)
Keterangan:
P Losses (3ph) = Rugi Daya Aktif (Watt)
Q Losses (3ph) = Rugi Daya Reaktif (VAr)
I = Arus (Ampere)
R = Resistansi Penghantar (ohm)
X = Reaktansi Penghantar (ohm)

2.10 Pelimpahan Beban Penyulang


Pada saat melakukan manuver jaringan distribusi yang disebabkan karena pekerjaan pemeliharaan
atau gangguan, untuk meminimalisir daerah padam pada suatu penyulang, maka beberapa beban
yang tidak termasuk ke dalam seksi/daerah gangguan akan dimanuver ke penyulang lain agar tetap
memperoleh pasokan energi listrik. Pada saat manuver tersebut, penyulang yang tidak mengalami
gangguan akan dilimpahi beban dari penyulang yang mengalami gangguan. Di dalam melakukan
pelimpahan beban ada hal-hal yang harus diperhatikan agar kinerja dan kualitas penyaluran energi
listrik tersebut tetap terjaga.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pelimpahan beban antara lain:
a. Urutan fasa antar penyulang harus sama
Urutan fasa R, S, dan T pada dua penyulang yang akan disambung melalui konfigurasi jaringan
loop harus memiliki urutan fasa yang sama. Jika salah satu fasanya tertukar hal tersebut bisa
menyebabkan terjadinnya hubung singkat antar fasa.
b. Tegangan antar penyulang harus sama
Tegangan yang sama bukan berarti harus sama persis antara kedua penyulang tersebut. Ada
batasan toleransi sebesar 5% dari tegangan nominal sebesar 20kV.
c. Setting peralatan penyulang seperti Recloser dan PMT
Pada peralatan-peralatan tegangan menengah seperti recloser dan PMT yang bisa dioperasikan
pada saat kondisi berbeban, memiliki setting arus maksimal yang mampu dipikul oleh recloser
dan PMT. Sehingga beban yang dilimpahkan tidak boleh melebihi dari besarnya arus setting
maksimal Recloser dan PMT.
d. KHA Penghantar
Penghantar yang digunakan pada saluran distribusi adalah jenis alumunium, di dalam SPLN
No.64 Tahun 1985 diatur standarisasi KHA penghantar AAC dan AAAC yang dihitung dalam
kondisi seperti berikut:
1) Kecepatan angina 0,6 m/detik
2) Suhu keliling akibat sinar matahari 35o
3) Suhu penghantar maksimum 80o

Bila tidak ada angin maka KHA dapat dikali dengan 0.7

Anda mungkin juga menyukai