Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Memahami Pemikiran Al-Gazali, Ibnu Khaldun, Dan Moh. Abduh Tentang


Pendidikan Islam

KELOMPOK (10):

Syukron Rosadi (171220007)

Iif Iflahiyah (171220011)

Risti Zaenal Abidin (171220032)

PBA II KELAS A

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

PERIODE 2018/2019
KATA PENGATAR

Dengan menyebut nama Allah swt. Yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala
puji selalu kami panjatkan kepada-Nya, yang telah melimpahkan berbagai rahmat dan
nikmat-Nya yang tidak terhitung kepada kami. Sehingga dengan nikmat tersebut kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul
Memahami Pemikiran Al-Gazali, Ibnu Khaldun, Dan Moh. Abduh Tentang Pendidikan Islam.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak dosen yang telah


membimbing kami selama mengikuti perkuliahan dan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Namun demikian, pastinya makalah yang kami buat ini, masih jauh dari kata
sempurna, baik dalam segi penulisan, susunan kalimat maupun referensi yang kami gunakan,
dan lain sebagainya. Dengan demikian kami harap bapak dapat memakluminya.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................................................. 1

BAB II : KAJIAN TEORI ...................................................................................................... 2


A. Pengertian Pemikiran Islam ........................................................................................... 2
B. Biografi Al-Gazali Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan Islam ......................... 2
C. Biografi Ibnu Khaldun Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan Islam................... 5
D. Biografi Moh. Abduh Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan islam .................... 8

BAB III : PENUTUP ............................................................................................................. 13


A. Kesimpulan .................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam
pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk
menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam kategori
pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam,
seorang guru dan pendidik.

Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa
pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan
berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan
banyaknya ulama-ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran
secara mendalam. Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal
dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada
dalam pendidikan Islam.

Pada masa sekarang, masa dimana globalisasai tidak bisa dihindari, akan tetapi
adanya perkembangan zaman itulah yang harus diterima dengan cara memfilter apa
yang seharusnya dipilih untuk maslahah bersama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendidikan islam?
2. Jelaskan biografi Al-Gazali serta pemikiran-Nya mengenai pendidikan islam?
3. Jelaskan biografi Ibnu Khaldun serta pemikiran-Nya mengenai pendidikan islam?
4. Jelaskan biografi Moh. Abduh serta pemikiran-Nya mengenai pendidikan islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan islam.
2. Untuk mengetahui biografi Al-Gazali serta memahami pemikiran-Nya tentang
pendidikan islam.
3. Untuk mengetahui mengetahui biografi Ibnu Khaldun serta memahami pemikiran-
Nya tentang pendidikan islam.
4. Untuk mengetahui biografi Moh. Abduh serta memahami pemikiran-Nya tentang
pendidikan islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pendidikan islam


Ilmu Pendidikan Islam Ilmu Pengetahuan Perbedaan dengan Ilmu pengetahuan
yang lain penggongan-penggolongan suatu masalah dan pembahasan masalah demi
masalah di dalam pendidikan. pendidikan Islam memerlukan beberapa metodologi
pengembangan, antara lain: test, pendidik memberikan test kepada anak didiknya
untuk mengetahui perkembangan anak didik dari berbagai literatur terdapat berbagi
macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam
adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,
mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya
teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur
sapanya.

Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam


adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu


proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem
penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan
pendidikan tersebut.

Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat- tempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.

Selama ini buku-buku ilmu pendidikan islam telah memperkenalkan paling


kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan islam yaitu, al-tarbiyah, al-
ta’lim dan al ta’dib. Jika ditelusuri ayat-ayat al-Quran dan matan as-Sunah secara
mendalam dan komperhensif sesungguhnya selain tiga kata tersebut masih terdapat
kata-kata lain tersebut, yaitu al-tazkiyah, al-muwa’idzah, al-tafaqqu, al tilawah, al-
tahzib, al-irsyad, al-tafakkur, al-ta’aqqul dan al-tadabbur.

B. Biografi Al-Gazali Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan Islam


1. Biografi Al-Gazali
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil,
Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia
tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang
dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat,
sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama
Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka

2
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup
dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya
pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua
asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke
Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq
(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam
Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk


menuju ke Mu’askar,[3]ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada
Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana,
ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya
mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al
Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru
besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat)
tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang
dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.

Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga


diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung
lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik
pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di
antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah
pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik
Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang
sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat
karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat
Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat
pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.

Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang


selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai
menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat
ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan
bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk,

3
meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan
bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi
sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama
dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam
pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.

Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir


Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan
menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran
Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat
dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat
umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu
dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah,
tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.

Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan


pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk
mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah
yang pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara lain:

a) Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan


Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b) Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia
menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang
keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan
mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c) kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan
Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai
Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d) tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut
di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada
tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan
pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e) Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah.
Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan
muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang
telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan
pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan
niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di
Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam

4
rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi
kuburan Nabi Ibrahim.
f) Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun
asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi
di tempat kelahirannya.

2. Pemikiran Al-Gazali Tentang Pendidikan Islam


Menurut Al-Ghazali pendidikan merupakan salah satu cara seorang hamba
untuk mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan mahkota kemuliaan. Hal
tersebut tertuang dalam kata bijak yang pernah dinyatakannya, “selama ilmu itu
dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi
lebih dekat kepada Allah”.

Adapun pendidikan dalam dunia sosial dapat memajukan kehidupan sosial


manusia agar lebih bermartabat, sebab itu dia menegaskan “bahwa tinggi
rendahnya kehidupan manusia sangat ditentukan oleh sifat penguasaan ilmu
pengetahuan. Al-Ghazali sangat percaya pendidikan sangat bermanfaat bagi
pelakunya dengan rumusan, pendidikan harus mengedepankan pembersihan jiwa
dari noda-noda akhlak dan sifat tercela, sebab “ilmu itu merupakan ibadah hati
shalatnya nurani dan pendekatan jiwa menuju Allah”. Dari penjabaran tasi dapat
dilihat dengan jelas bahwa gaya pemikiran Al-Ghazali cenderung ke sufistik dan
lebih banyak bersifat rohaniah, karena berdasarkan analisisnya ciri khas
pendidikan islam lebih fokus pada penanaman nilai moralitas yang dibangun dari
cabang-cabang akhlak islam.

Dalam kitab Mizan Al-A’mal, Al-Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh


ilmu dalam pendidikan yaitu dengan cara 1. pengilhaman dari Tuhan atau biasa
yang kita kenal dengan ilmu Laduni, 2. Dengan cara belajar. Pemikiran Imam Al-
Ghazali mengenai urgentnya pendidikan terdiri dari 5 aspek utama yakni:
1) Pendidikan dalam aspek kerohanian (keimananan)
2) Pendidikan dalam aspek prilaku (akhlak)
3) Pendidikan dalam aspek pengembangan (intelektualitas dan
kecerdasannya)
4) Pendidikan dalam aspek social-engineering (rekayasa sosial)
5) Pendidikan dalam aspek biologis manusia atau kejasmaniahan

C. Biografi Ibnu Khaldun Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan Islam


1. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin
Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau pada tanggal 27
Mei 1332 M dan wafat pada tahun 457 H/1065 M. Pendidikan yang diperoleh
Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika, dan filsafat.

5
Gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri. Disamping menghafal Al-Qur’an,
Ibnu Khaldun juga mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar
pada masanya.

Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Ibnu Khaldun memutuskan


pinah ke Marok, namun dicegah oleh kakaknya, baru pada tahun 1354 Ibnu
Khaldun melaksanakn niatnya pergi ke Maroko untuk menyelesaikan pendidikan
tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Maroko, ada empat ilmu yng
dipelajarinya secara mendalam yaitu: kelompok bahasa Arab yang terdiri dari:
Nahwu, Sharf, Balaghah, Kitabah, dan Sastra. Kelompok ilmu syari’at yang terdiri
dari: Fiqh, Tafsir, Hadits, Ushul Fiqh, dan Ilmu Al-Qur’an. Kelompok Ilmu
‘Aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) yang terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika,
falak, music, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan yang terdiri dari: ilmu
administrasi, organisasi, ekonomi, dan politik. Sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun
tidak pernag berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wasendonk:
bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan
sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu.

2. Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan Islam


a. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat
dari Muqaddimah-nya, ilmu pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir
dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Menurutnya, ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala
sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.

Dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai


pengertian yang cukup luas, pendidikan bukan hanya merupakan proses
belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi merupakan suatu
proses, dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-pristiwa alam sepanjang zaman. Menurut Ibnu Khaldun, secara
esensial manusia itu bodoh dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu
pengetahuan dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan
diberi akal pikiran.

6
Adapun tujuan pendidikan berdasarkan Muqaddimah Ibnu Khaldun
ada 6, diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan
syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi.
2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan seseorang dari segi pekerjaan.
5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran
seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau keterampilan.
6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, termasuk music, syair, khat,
seni bina, dan lain-lain.
b. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan
Dalam pembahasannya mengenai kurukulum Ibnu Khaldun mencoba
mebandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu
kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di Negara-negara Islam bagian
Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa system pendidikan dan pengajaran
yang berlaku di Maghrib adalah bahwa orang-orang Maghrib membatasi
pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dan
kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-
Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, mereka tidak membatasi
pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, tetapi dimasukkan
juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang-megarang, khat, kaidah-
kaidah bahasa Arab, dan hafalan-hafalan lain. Sedangkan metode yang dipakai
orang Timur menurut Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui adalah bahwa
orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuranantara pengajaran al-
Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, Ibnu Khaldun
telah mengklasifikasikanilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia
pada waktu itu menjadi dua macam, yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Ilmu-
ilmu naqliyah antara lain: olmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul
fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu
ta’bir mimpi.

7
2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia karena diperoleh melaui
kemampuan berfikirnya. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat
(aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: ilmu logika, ilmu
fisika, ilmu metafisika, dan ilmu matematika.

D. Biografi Moh. Abduh Serta Pemikiran-Nya Mengenai Pendidikan Islam


1. Biografi Moh. Abduh
Muhammad Abduh bin Hassan Khair Allah atau sering disebut Muhammad
Abduh, lahir di Desa Mahallat Nasr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada tahun 1849.
Ayahnya bernama Abdul Khair Allah, warga Mesir keturunan Turki. Sedangkan
ibunya berasal dari suku Arab yang nasabnya sampai pada Umar ibn Khattab,
sahabat nabi Muhammad. (Mohammad, 2006: 225).

Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan belajar menulis dan membaca


di rumah. Ia menghafal Alquran dalam masa dua tahun, di bawah bimbingan
seorang guru yang hafal kitab suci itu. Pada tahun 1863, ia dikirim oleh orang
tuanya ke Thanta untuk meluruskan bacaannya (belajar tajwid) di Mesjid
alAhmadi. Setelah berjalan dua tahun barulah ia mengikuti pelajaran-pelajaran
yang diberikan di masjid itu. Karena metode pengajaran yang tidak tepat, setelah
satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut
pernyataanya sendiri guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan
kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang nahwu atau fiqh yang tidak dimengerti
artiartinya. (Nawawi, 2002: 22). Mereka seakan-akan tidak peduli apakah
muridmurid mengerti atau tidak tentang arti istilah-istilah itu. Karena tidak puas ia
meninggalkan Thanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat tidak akan
kembali lagi belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.

Dalam usia 20 tahun, ia menikah dengan modal niat mau menggarap ladang
pertanian seperti ayahnya. Tetapi empat puluh hari setelah pernikahannya, ia
dipaksa orang tuanya untuk kembali lagi ke Thanta. Dalam perjalanannya ke
Thanta itu ia singgah ke desa Kanisah Urin, tempat tiinggal kaum kerabat dari
pihak ayahnya.salah satu diantara mereka adalah Syaikh Darwisy Khadr, seorang
alim yang banyak mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai ilmu
agama Islam. Ia juga mempunyai perhatian besar pada bidang tafsir dan hafal
beberapa kitab penting, seperti kitab al-Muwatha’ dan kitab-kitab hadis lainnya.
Syaikh Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca
buku. Atas bantuan pamannya itu, akhirnya beliau mengerti apa yang dibacanya
itu. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia berusaha membaca
buku-buku secara mandiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya ditanyakan
kepada Darwisy Khadr. (Nawawi, 2002: 23).

8
Pada tahun 1866, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar. Tetapi keadaan di
Al-Azhar ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana, masih dalam
kondisi terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar
menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran.
Membaca buku-buku geografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai
sepatu adalah bid’ah. (Amin, 1960: 23-24).

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh


mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang
intelektual bernama Syekh Hasan al-Thawil. Tetapi pelajaran yang diberikan
Hasan al-Thawil pun kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di
al-Azhar juga kurang menarik perhatianya. Ia lebih suka membaca buku-buku di
perpustakaan al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika,
etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani. Pada tahun 1877
ia menempuh ujian untuk mencapai gelar al-Amin. Ia lulus dengan predikat baik.
Setelah lulus, tidak lama kemudian ia mengajar di al-Azhar, di Dar al-Ulum dan di
rumahnya sendiri. (Ramayulis & Nizar, 2006: 291). Di antara buku-buku yang
diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn Miskawaih, Mukaddimah karangan
Ibn Khaldun dan Sejarah Kebudayaan Eropa karangan Guizot, yang
diterjemahkan oleh al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun 1857.

Sewaktu al-Afghani diusir dari Mesir di tahun 1879, karena dituduh


mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga
dipandang turut campur dalam soal ini, dibuang keluar kota Cairo. Tetapi di tahun
1880 ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat
kabar resmi pemerintah Mesir al-Waqa’i al-Mishriyah. Di bawah pimpinan
Muhammad Abduh “al-Waqa’i al-Mishriyah” bukan hanya menyiarkan
beritaberita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan
nasional Mesir. (Nasution, 1975: 61).

Dari perjalanan pengalaman yang diperoleh, mendorong Abduh memilih


bidang pendidikan sebagai media pengabdian ilmunya dan sekaligus menjadikan
pendidikan sebagai tempat melontarkan ide-ide pembaharuannya. Dalam melihat
dinamika dan wacana yang digagasnya, terlihat demikian jelas pengaruh
AlAfghani terhadap pemikiran pembaharuan Abduh (Adam,1964: 63).

Dinamika ide-ide pembaharuannya yang demikian dinamis sering kali


bertentangan dengan kebijakan penguasa pada waktu itu. Untuk itu, dalam
menghembuskan ide-idenya, acapkali abduh harus berhadapan dengan berbagai
fitnah yang mengakibatkan ia dihukum. Di antara konsekuensi ini dapat dilihat
dalam kebijakan pemerintah yang menagkap dan membuangnya ke luar negeri
karena diindikasikan penguasa waktu itu sebagai salah satu tokoh yang ikut dalam
revolusi Urabi Pasya pada tahun 1882 M. Pada tahun 1884 M, ia diminta oleh
AlAfghani untuk datang ke Paris dan bersama-sama menerbitkan majalah al-

9
Urwat al-Wusqa. Pada tahun 1885 M, ia pergi ke Beirut dan ia mengajar di sana.
Akhirnya, atas bantuan temannya di antaranya seorang Inggris, pada tahun 1888
M, ia kemudian di izinkan pulang ke Kairo. Di sini, ia kemudian diangkat sebagai
hakim. Pada tahun 1894 M, ia menjadi anggota Majlis Al-A’la Al-Azhar dan telah
banyak memberikan kontribusi bagi pembaharuan di Mesir (Al-Azhar) dan dunia
Islam pada umumnya. Kemudian pada tahun 1899 M, ia diangkat sebagai Mufti
Mesir dan jabatan ini diemban sampai ia meninggal pada tahun 1905 M dan usia
kurang lebih 56 tahun. (Ramayulis & Nizar, 2006: 292).

2. Pemikiran Moh. Abduh Tentang Pendidikan Islam


Pemikiran Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal kebangkitan umat
Islam di awal abad ke-19. Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan
melalui tulisannya di majalah al-Manar dan al-‘Urwat al-Wusqa menjadi rujukan
para tokoh pembaharu dalam dunia Islam, sehingga di berbagai dunia Islam
muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum
yang dirintis oleh Abduh.

Pendapat Muhammad Abduh tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan


dari sejumlah tokoh pembaharu. Murid-muridnya seperti Rasyid Ridha
meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar.
Kemudian Kasim Ami dengan bukunya Tahrir al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan
bukunya Dairat al-Ma’arif, Syekh Thanthawi Jauhari melalui karangannya al-Taj
alMarshub bi al-Jawahir Alquran wa al-Ulum. Demikian pula pelanjutnya seperti
Muhammad Husein Haykal, Abbas Mahmud al-Akkad, Ibrahim A. Kadir
alMazin, Mustafa Abd al-Raziq, dan Sa’ad Zaglul (Bapak kemerdekaan Mesir.

Menurut Abduh, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian,


moral agama, yang dengannya diharapkan mampu menumbuhkan sikap politik,
sikap sosial, jiwa gotong royong dan semangat ekonomis. Kesalahan sistem
pendidikan dan orientasi serta tujuannya mengakibatkan kelemahan umat Islam
yang sekaligus memperlemah dan merendahkan agama Islam. Oleh karena itu,
Abduh menyatakan: “Islam itu diperlemah (ter-halang) oleh umat Islam sendiri”.

Menurut al-Bahiy (1986: 64), pemikiran Abduh meliputi; segi politik dan
kebangsaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan, serta aqidah dan keyakinan.
Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam
menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitik beratkan (concern)
pada bidang pendidikan. Diantara pemikiran tentang pendidikan dapat dilihat pada
penjelasan data historis berikut:
a. Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan
Dalam pandangan Abduh, ia melihat bahwa semenjak masa
kemunduran Islam, system pendidikan yang berlaku di seluruh dunia Islam
lebih bercorak dualisme. Bila diteliti secara seksama, corak pendidikan yang
demikian lebih banyak dampak negatif dalam dunia pendidikan. Sistem

10
madrasah lama akan menghasilkan lmu pengetahuan agama, sedangkan
sekolah pemerintah mengeluarkan tenaga ahli yang tidak memiliki visi dan
wawasan keagamaan.

Dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum madrasah dan


sekolah maka jurang pemisah antara golongan ulama dan ilmuan modern akan
dapat diperkecil. Pembaharuan pendidikan ini dilakukan dengan menata
kembali struktur pendidikan di al-Azhar, kemudian di sejumlah institusi
pendidikan lain yang berada di Thanta, Dassuq, Dimyat, dan Iskandariyah.
Abduh berharap melalui upayanya melakukan pembaharuan di lembaga
pendidikan al-Azhar, maka pendidikan di dunia Islam akan mengikutinya.
(Ramayulis & Nizar, 2006: 292). Sebab menurut pertimbangannya, al-Azhar
merupakan lambang dan panutan pendidikan Islam di Mesir secara khusus dan
dunia Islam umumnya ketika itu.

Pada tanggal 15 Januari 1895, atas usul Muhammad Abduh


dibentuklah Dewan Azhar, yang terdiri dari ulama-ulama besar mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Dewan ini diketuai oleh Syaikh Hasan
al-Nawawi, sedangkan Muhammad Abduh dan Syaikh al-Karim al-Sulaiman
masuk sebagai wakil pemerintah Mesir. Muhammad Abduhlah yang menjadi
jiwa penggerak Dewan itu. Perbaikan yang dilakukannya adalah penentuan
hononarium yang layak bagi ulama al-Azhar, sehingga mereka tidak lagi
bergantung pada usaha masingmasing atau pada pemberian dari mahasiswa.

Walaupun Muhammad Abduh belum berhasil mengubah universitas


alAzhar menjadi universitas yang setara dengan universitas di Barat, namun ia
berhasil memasukkan beberapa mata pelajaran umum seperti matematika,
aljabar, ilmu ukur dan geografi ke dalam kurikulum al-Azhar. Di samping itu,
perpustakaan al-Azhar yang pada waktu sebelumnya kurang terpelihara
dengan baik, mendapat perhatian secara penuh. Buku-buku al-Azhar yang
berserakan di berbagai tempat penyimpanan ia kumpulkan dalam satu
perpustakaan yang teratur.
b. Kurikulum
1) Kurikulum al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukkan
ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam
kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar out-put-nya dapat
menjadi ulama modern. (Hanafi, t.th :157).
2) Kurikulum Sekolah Dasar
Muhammad Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan
jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak.
Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai
inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan

11
bahwa ajaran agama (Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan
pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, rakyat
mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat
mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih
kemajuan. (Abdul Sani, 1998: 53).
3) Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan
Ia mendirkan sekolah menengah pemerintah untuk
menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan administrasi,
militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga
pendidikan ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk memasukkan
beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islam, dan
kebudayaan Islam.
Di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-
Azhar, Abduh mengajarkan Ilmu Manthiq, Falsafah dan Tauhid,
sedangkan selama ini al-Azhar memandang Ilmu Manthiq dan
Falsafah itu sebagai barang haram. Di rumahnya Abduh mengajarkan
pula kitab Tahzib al-Akhlaq oleh Ibn Maskawayh, dan kitab sejarah
peradaban Eropa susunan orang Prancis yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab dengan judul al-Tuhfat alAdabiyah fi Tarikh
Tamaddun al-Mamalik al-Awribiyah.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-
angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat- tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.

Menurut Al-Ghazali pendidikan merupakan salah satu cara seorang hamba


untuk mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan mahkota kemuliaan. Hal
tersebut tertuang dalam kata bijak yang pernah dinyatakannya, “selama ilmu itu
dimiliki seorang itu lebih banyak dan lebih sempurna, maka seharusnya ia menjadi
lebih dekat kepada Allah”.

Dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai


pengertian yang cukup luas, pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi merupakan suatu proses, dimana
manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-pristiwa alam
sepanjang zaman. Menurut Ibnu Khaldun, secara esensial manusia itu bodoh dan
menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan dan Allah SWT telah
membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran.

Pemikiran Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal kebangkitan umat


Islam di awal abad ke-19. Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui
tulisannya di majalah al-Manar dan al-‘Urwat al-Wusqa menjadi rujukan para tokoh
pembaharu dalam dunia Islam, sehingga di berbagai dunia Islam muncul gagasan
mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum yang dirintis oleh
Abduh.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. 1960. Muhammad Abduh. Kairo; Mu’assasat al-Khanji.

Junaedi, Mahfud. 2017. Paradigma baru filsafat pendidikan islam. Kencana: PT. Kharisma
Putra Utama

Jalaluddin & Usman Said. 1994. Filsafat: Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nata, Abdullah. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Ramayulis & Samsul Nizar. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.

Hadi, Sutrisno. 1982, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Andi Offset

Mukti Ali, 1970, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida

Thoha, Nashruddin. 1979, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara,

Baali, Fuad dan Wardi, Ali. 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta : Pustaka
Firdaus,

Ahmad, Zainal Abidin. 1979, Ilmu Politik Islam, Jilid V, Jakarta: Bulan Bintang,
Sulaiman, Fathiya Hasan 1987, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan,
Bandung: Diponegoro.

At-Toumy, 1989, dalam Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna,

14

Anda mungkin juga menyukai