Anda di halaman 1dari 16

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :

“Efisiensi Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Dibandingkan Dengan Penyelesaian Sengketa


Melalui Pengadilan (Litigasi)“

Dosen Pengampu :

H. Syarifudin Latief, S.H., M. HES

Disusun Oleh :

Muna Anjumi Zuhro (C95216080)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Adapun makalah ini dirasakan telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, terutama Dosen Pengampu, H. Syarifudin Latief,
S.H., M. HES. sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak
lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.

Namun tidak lepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan, baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini dari para pembaca khususnya. Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.

Surabaya, 16 Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................

Daftar Isi ............................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................

A. Latar belakang .....................................................................................................................

B. Rumusan masalah ................................................................................................................

C. Tujuan penulisan .................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................................

A. Pengertian Umum Dan Penyebab Timbulnya Sengketa .....................................................

B. Latar Belakang Lahirnya Pilihan Penyelesaian Sengketa ...................................................

C. Bentuk – Bentuk Dan Pelaksanaan Pilihan Penyelesaian Sengketa ...................................

BAB III KESIMPULAN....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Kegiatan sehari-hari bagi individu maupun suatu kelompok, dihadapkan pada


sebuah sengketa adalah keniscayaan. Baik kegiatan di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya dan lain sebagainya. Sengketa yang timbul harus segera dicari jalan keluarnya
agar tidak semakin runyam. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya sengketa
antara lain, kesalah pahaman, pelanggaran terhadap undang-undang, ingkar janji,
kepentingan yang berlawanan dan kerugian yang dialami oleh salah satu pihak.
Penyelesaian sengketa pada umumnya dilakukan melalui badan pengadilan. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan (litigasi) lambat laun menunjukkan kelemahannya dan
dianggap tidak efektif dan efisien. Hal ini disebabkan lambannya proses pengadilan, dan
memakan biaya yang tidak sedikit nominalnya. Kelemahan penyelesaian sengketa litigasi,
mendorong beberapa kalangan yang menghendaki keadilan untuk mencari cara lain atau
alternatif dalam menyelesaikan sengketa di luar badan pengadilan.

Penyelesaian sengketa di luar pegadilan tidak hanya terjadi di Indonesia.


Bahkan, di negara-negara maju pun penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah
dilakukan jauh sebelumnya. Misalnya di Amerika Serikat (AS), pengembangan alternatif
penyelesaian sengketa di AS di latarbelakangi oleh kebutuhan- kebutuhan sebagai
berikut:1 untuk mengurangi penumpukkan perkara di pengadilan, keterlibatan otonomi
masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa, memperlancar serta memperluas akses
ke keadilan, memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang
menghasilkan kepuasan yang dapat diterima oleh dan memuaskan semua pihak. Adapun
tujuan dari penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan antara lain 2: menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan demi keuntungan para pihak, mengurangi biaya litigasi
konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, mencegah sengketa hukum yang
biasanya diajukan ke pengadilan.

1
Stephen B. Goldberg, Dispute Resolution, Negoisation, Mediation and Other Process, (Boston-Toronto-
London : Little Brown and Company, 1992), hlm. 10
2
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Fikahati Aneska dan BANI,
2002), hlm. 15
A. Rumusan Masalah
1. Pengertian Umum Dan Penyebab Timbulnya Sengketa
2. Bagaimana Latar Belakang Lahirnya Pilihan Penyelesaian Sengketa
3. Bentuk – Bentuk Dan Pelaksanaan Pilihan Penyelesaian Sengketa

B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Pengertian Umum Dan Penyebab Timbulnya Sengketa
2. Mengetahui Belakang Lahirnya Pilihan Penyelesaian Sengketa
3. Mengetahui Bentuk – Bentuk Dan Pelaksanaan Pilihan Penyelesaian Sengketa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Umum Dan Penyebab Timbulnya Sengketa

Sengketa merupakan hal yang dapat timbul kapan saja dalam kehidupan
bermasyarakat. Timbulnya sengketa dapat terjadi secara tiba-tiba tanpa diperhitungkan
sebelumnya. Manusia yang merupakan makhluk sosial sehingga sejak awal kehidupannya
manusia sudah terlibat dengan masyarakat yang ada disekelilingnya, dimana dalam
kehidupan bermasyarakat pertentangan akan selalu ada karena masyarakat memiliki
pandangan atau persepsi yang berbeda-beda. Persengketaan dalam kehidupan bermasyarakat
tidak pula menutup kemungkinan adanya pihak penengah dalam suatu sengketa.

Sengketa terjadi disaat munculnya suatu situasi dimana adanya pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak yang lainnya sehingga pihak yang merasa dirugikan ini
menyampaikannya ke pihak tersebut sehingga dalam hal ini akan terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka sehingga terjadilah sengketa itu.

Jika terlibat dalam suatu sengketa, maka hal sebaiknya yang dilakukan terlebih
dahulu mengidentifikasi masalah yang sedang terjadi. Dimana dalam hal ini, sebaiknya
menetapkan terlebih dahulu mana yang dapat diminta pertanggungjawaban dan meneliti
apakah ada perjanjian atau kontrak. Perlu dipertimbangkan peraturan mana yang berlaku
meskipun di dalam perjanjian tidak ditetapkan secara tegas mengenai peraturan yang terkait
dengan sengketa itu.

Kemudian yang selanjutnya dilakukan adalah dipertimbangkan tindakan dan sikap


yang bagaimana yang harus dipersiapkan dalam menangani sengketa tersebut. Dalam
penyelesaian sengketa diperlukan adanya suatu analisa dan pengelompokan yang dapat
memberikan kita pemahaman dalam menghadapi segala persoalan dan sekaligus menentukan
rencana apa saja yang harus digunakan dalam pemecahan masalah tersebut. Berikut suatu
pengelompokkan dasar sengketa atau perselisihan, termasuk yang bersifat kompleks dan
batas-batasnya yang dapat saja saling tumpang tindih sebagai berikut : 3

1. Internasional – termasuk masalah-masalah hukum publik.


2. Konstitusional, administratif dan fiskal – termasuk masalah-masalah yang berkaitan
dengan kewarganegaraan atau status; pemerintahan, instansi pemerintah, jenis instansi
pemerintah, perijinan, perencanaan, perpajakan dan jaminan sosial.
3. Organisasi – termasuk masalah-masalah yang timbul dalam berbagai bentuk
organisasi dan mencakup manajemen, struktur, prosedur dan perselisihan dalam
organisasi.
4. Tenaga kerja – termasuk tuntutan gaji, jam kerja dan perselisihan ketenagakerjaan
(kalau di Indonesia termasuk dalam kelompok yang diatur oleh undang-undang
perburuhan).

3
Priyatna Abdurrasyid, Op.,Cit.,hal. 4-5
5. Korporasi – termasuk perselisihan di antara pemegang saham dan masalah-masalah
yang timbul dalam liquidasi, kepailitan dan keuangan.
6. Perdagangan; bidang ini sangat luas dan mencakup perselisihan di bidang kontrak,
masalah-masalah dalam hubungannya seperti kemitraan, usaha
7. Perselisihan mengenai harta benda – termasuk perselisihan antara pemilik dan
penyewa, atau antara para penyewa, peninjauan sewa dan perselisihan tentang batas-
batas pekarangan rumah – dan sejenisnya.
8. Sengketa yang timbul akibat kerugian atau kesalahan – termasuk kealpaan atau
kelalaian melakukan kewajiban akibat tuntutan terhadap perusahaan asuransi dan
yang berkaitan dengan itu.
9. Masalah yang timbul akibat perceraian – termasuk masalah yang berkaitan dengan
anak, harta benda dan keuangan (khusus di Indonesia, sengketa soal keluarga harus
diselesaikan melalui Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama islam).
10. Masalah keluarga lainnya – termasuk tuntutan hak waris, bisnis keluarga dan
perselisihan antara anggota keluarga (di Indonesia menjadi wewenang Pengadilan
untuk mereka yang beragama bukan islam).
11. Masalah perwalian – termasuk masalah-masalah yang timbul antara wali dan ahli
waris.
12. Perselisihan yang menimbulkan konsekuensi dalam undang-undang pidana.
13. Masalah-masalah berkehidupan masyarakat, jenis kelamin, ras dan suku.
14. Perselisihan antara pribadi.

Sengketa atau perselisihan mungkin saja dalam sengketa itu hal-hal yang
berhubungan dengan uang atau yang melibatkan uang yang dapat ditentukan ataupun
dihitung jumlahnya. Ada pula didalam sengketa itu hal-hal yang berkaitan dengan status, hak,
maupun hal lainnya dalam kegiatan perdagangan dan juga perjanjian. Dalam hal perjanjian
sengketa ini bisa muncul bilamana salah satu pihak ada yang wanprestasi sehingga pihak
lainnya jelas merasa bahwa kepentingan hak nya dirugikan. Sengketa atau perselisihan
mungkin juga berhubungan dengan soal yang sederhana atau kompleks dan melibatkan
berbagai jenis persoalan, misalnya : 4

1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau dari
data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-penjelasan tentang
kenyataan-kenyataan data tersebut.
2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran menyesatkan
yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait.
3. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik dan
profesionalisme dari para pihak.
4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam penggunaan
kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi.
5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai-
nilai dan sikap.

4
Ibid, hal. 5-6
Sengketa dapat terjadi karena beberapa sebab dimana para sarjana banyak yang
mencoba membangun teori tentang sebab-sebab Terjadinya sengketa atau konflik. Terdapat
beberapa teori mengenai sebab Terjadinya antara lain yaitu : 5

1. Teori hubungan masyarakat menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi


yang terus terjadi, adanya ketidakpercayaan dan rivalitas kelompok dalam
masyarakat.
2. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena posisi-posisi para
pihak yang tidak selaras dan adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak.
3. Teori identitas menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa
identitasnya terancam oleh pihak lain.
4. Teori kesalahpahaman antarbudaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena
ketidakcocokan dalam berkomunikasi di antara orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda.
5. Teori transformasi menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang mewujud dalam bidang-bidang
sosial, ekonomi, dan politik.
6. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia menjelaskan, bahwa konflik dapat terjadi
karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat terpenuhi atau terhalangi atau
merasa dihalangi oleh pihak lain.

Persengketaan antara para pihak tidak selalu menimbulkan hal negatif, dimana
penyelesaiannya harus dilakukan dengan baik untuk menuju keputusan atau hasil terbaik
bagi para pihak. Sehingga penyelesaian sengketa menjadi salah satu aspek hukum yang
penting dalam suatu negara agar ketertiban serta kedamaian dapat terjaga dengan baik.

B. Latar Belakang Lahirnya Pilihan Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa yang telah dikenal sejak lama adalah penyelesaian di


pengadilan. Proses penyelesaian di pengadilan cenderung menimbulkan permasalahan yang
baru karena hasilnya adalah bahwa akan ada pihak yang menang dan kalah dalam pengadilan.
Penyelesaian perkaranya juga memakan banyak waktu karena proses peradilan dianggap
terlalu berbelit-belit dan penyelesaian perkara melalui pengadilan terbuka untuk umum.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan mulai berkembang seiring perkembangan zaman,
dimana penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup sehingga dapat dijamin
kerahasiaannya dan prosesnya pun lebih cepat. Litigasi (pengadilan) adalah metode
penyelesaian sengketa paling lama dan lazim digunakan dalam menyelesaikan sengketa,
baik sengketa yang bersifat publik maupun yang bersifat privat. Seiring dengan berjalannya
waktu dan perkembangan zaman, di mana k ebutuhan masyarakat akan keadilan dan
kesejahteraan semakin besar, maka penyelesaian sengketa melalui litigasi lambat laun
dirasakan kurang efektif lagi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi dirasakan terlalu lama
dan memakan biaya yang cukup besar. Kondisi demikian menyebabkan pencari keadilan

5
Takdir Rahmadi,Op.Cit.,hal.8-9
(khususnya pelaku bisnis) mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal inilah yang disebut
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). 6

Kalau diteliti istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), maka tampak pokok-
pokok yang perlu dipersoalkan, terutama yang berhubungan dengan kata alternatif (
“alternative”) yang mencerminkan bahwa tata cara APS itu bisa merupakan pilihan
(“alternative”) bagi penyelesaian sengketa secara judicial (publik) yang kita temukan dalam
berbagai sistem hukum di dunia ini (dikenal beberapa bentuk sistem hukum, antara lain
sistem kontinental, Romano Germanic Family, Socialist Laws, The Common Law, Sistem
Hukum Islam, Sistem Hukum Afrika – Malagasi, Sistem Hukum India, Jepang, China,
Pasific, Other conceptions of law dan social orders).7

Sejarah munculnya APS dimulai pada tahun 1976 ketika Ketua Mahkamah Agung
Amerika Serikat Warren Burger mempelopori ide ini pada suatu konferensi di Saint Paul,
Minnesota Amerika Serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan reformasi
pada awal tahun 1970, di mana pada saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan
masyarakat akademisi mulai merasakan adanya keprihatinan yang serius mengenai efek
negatif yang semakin meningkat dari litigasi di pengadilan. Akhirnya American Bar
Assosiation (ABA) merealisasikan rencana itu dan selanjutnya menambahkan komite APS
pada organisasi mereka diikuti dengan masuknya kurikulum APS pada sekolah hukum di
Amerika Serikat dan juga pada sekolah ekonomi.8

Mengenai pengertian Alternatif penyelesaian sengketa dapat kita lihat dalam produk
hukum yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa dimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 10 yaitu :

“ Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda


pendapat melaui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.”

Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diakui keberadaannya dalam Undang-undang


Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 58 “ Upaya penyelesaian
sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.”

6
Nurnaningsih Amriani, Op.Cit.,hal 19-20
7
Priyatna Abdurrasyid,Op.Cit.,hal 12
8
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2011),hal 10
Alternatif Penyelesaian Sengketa ini sangatlah sesuai dengan masyarakat Indonesia
untuk diterapkan karena APS ini mempunyai asas-asas yaitu antara lain: 9

1. Asas itikad baik : bahwa para pihak benar-benar ingin menyelesaikan sengketa
dengan ini dengan cara terbuka antara para pihak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda : bahwa perjanjian itu mengikat bagi para pihak.
3. Asas kerahasiaan : bahwa segala sesuatu yang terjadi antara mereka dijamin
kerahasiaannya tanpa diketahui oleh umum sehingga berbanding terbalik dengan
litigasi di Pengadilan yang dimana penyelesaiannya terbuka untuk umum kecuali hal-
hal yang ditentukan oleh hukum.
4. Asas kebebasan berkontrak : bahwa penyelesaiannya dilakukan dengan cara mufakat
dimana para pihak bebas menentukan cara bagaimana yang akan dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dan memuaskan bagi para pihak.
5. Asas Final and Binding : bahwa hasil dari APS ini merupakan putusan terakhir dan
mengikat para pihak. Keputusan yang dihasilkan mempunyai kekuatan yang sama
dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde).
Dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa ini tidak mengenal banding ataupun kasasi
sebagaimana dalam proses litigasi di Pengadilan.

Bahwa dalam Alternatif penyelesaian sengketa ini tidak ada pihak yang mengambil
keputusan melainkan para pihak sepakat menentukan jalan mana harus ditempuh demi
mencapai hasil yang diharapkan. Adapun keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian
dengan cara ini tidak memberikan pihak ketiga kesempatan untuk mengambil keputusan
melainkan pihak ketiga inilah yang berusaha ataupun mengupayakan agar tercapainya kata
sepakat antara mereka yang bersengketa. Berbeda dengan arbitrase atau pengadilan yang
dimana munculnya pihak ketiga dalam mengambil keputusan, kecuali para pihak dalam
sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa ini memanglah proses penyelesaian yang sangat
sesuai dengan mereka yang bersengketa. Dikatakan demikian karena keadilan itu dapat
muncul dari para pihak sedangkan dalam proses litigasi keadilan itu berasal dari hakim.
Alternatif penyelesaian sengketa juga bersifat kesukarelaan maksudnya penyelesaian dengan
cara ini tidak akan terjadi jika tidak ada kemauan dari para pihak untuk menyelesaikannya
dengan cara ini. Alternatif penyelesaian sengketa memang telah berkembang secara luas
sehingga alternatif ini tidak hanya menyelesaikan sengketa bisnis melain juga menyelesaikan
sengketa yang lainnya.

C. Bentuk – Bentuk Dan Pelaksanaan Pilihan Penyelesaian Sengketa

Pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang berisi aturan tentang bentuk-

9
Frans Hendra Winarta,Op.Cit.,hal.11-12
bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai pengganti dari aturan perundang-
undangan kolonial yang sebelumnya berlaku.10

Adapun bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa antara lain
adalah sebagai berikut :

1. Konsultasi

Bahwa dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak ada menjelaskan mengenai arti dari konsultasi. Adapun
pengertian konsultasi menurut pendapat Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani sebagai berikut :

“Konsultasi adalah tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang
disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang
memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada satu rumusan yang mengharuskan si klien
mengikuti pendapat yang disampaikan oleh konsultan. Dalam hal ini konsultan hanya
memberikan pendapatnya (secara hukum) sebagaimana diminta oleh kliennya yang
untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil
sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
kesempatan untuk merumuskan bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa tersebut.”11

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai pengertian konsultasi maka dapat


disimpulkan bahwa konsultasi adalah bentuk penyelesaian sengketa yang dimana konsultan
memberikan pendapat hukum maupun nasehat berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya
terkait sengketa yang sedang dihadapi pihak lain atau disebut dengan klien. Mengenai
konsultasi ini tidak memberikan kewajiban kepada klien untuk memenuhi pendapat
konsultan tersebut. Dimana ia dapat menentukan sendiri keputusan apa yang akan ia ambil
demi kepentingannya, adapun konsultasi ini dilakukan secara tertutup.

2. Negosiasi

Negosiasi merupakan hal yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
dalam dagang ataupun dalam hubungan kerja. Negosiasi merupakan salah satu strategi dalam
menyelesaikan sengketa dimana para pihak telah sepakat untuk menyelesaiakan
permasalahan mereka dengan berunding tanpa perlu adanya pihak ketiga. Dalam hal ini
mereka saling membicarakan tentang masalah mereka demi mencapai kesepakatan bersama.

10
Gunawan Wijaya Dan Ahmad Yani Dalam Buku D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara
Perdata Dilingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 200 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan, (Bandung : Alfabeta, 2011), Hal 10.
11
Ibid, hal. 15
Adapun keuntungan negosiasi adalah para pihak dapat mengungkapkan segala
pikiran atau pendapatnya, dimana dalam hal ini tidak ada kerahasiaan diantara mereka.
Diupayakan solusi yang terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga sesuai
dengan keinginan mereka. Sedangkan kelemahan dalam negosiasi ini adalah bahwa
negosiasi ini tidak akan berjalan lancer tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak,
para pihak saling mengetahui kelemahan diantar mereka, dan dapat menghasilkan
kesepakatan yang kurang menguntungkan.

3. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga dalam proses penyelesaiannya. Mediasi juga didasarkan atas perundingan para
pihak. Pihak ketiga dalam mediasi disebut sebagai mediator yang dimana mediator hanya
berusaha mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator haruslah mampu
mencari dan menemukan solusi-solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan sengketa.
Mediator harus mempunyai keahlian menjadi penengah diantara pihak yang bersengketa.
Dalam mediasi ini mediator harus bersifat netral ataupun tidak memihak pada salah satu
pihak. 12

Pengertian mediasi dan mediator dalam pasal 1 Perma No. 1 Tahun 2016 tentang
prosedur mediasi di pengadilan yaitu :

“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk


memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”

“Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai
pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.”

Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dapat mengakhiri persengketaan dengan


cara yang adil sehingga memberikan keuntungan bagi para pihak. Meskipun mediasi tidak
berhasil tetapi setidaknya dapat mengurangi perselisihan diantara para pihak. Hal mendasar
yang juga berperan penting dalam mediasi ini adalah itikad baik para pihak yaitu bahwa para
pihak yang bersengketa benar-benar menginginkan penyelesaian dengan cara ini berhasil
dilakukan.

Adapun keuntungan lainnya dari mediasi yaitu keputusan yang didasarkan atas
kesepakatan para pihak sehingga memungkinkan hasil yang benar-benar keinginan mereka.
Dalam mediasi ini juga tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar melainkan lebih
menjaga kepentingan para pihak. Penyelesaian dengan cara mediasi juga lebih cepat dan
murah dibanding penyelesaian perkara di pengadilan. Mediasi juga dapat menghindari
konflik antara para pihak yang dimana pada putusan pengadilan senantiasa menimbulkan

12
Ibid, hal 24-25
dendam bagi pihak yang kalah, sehingga mediasi ini dapat menjaga hubungan antara para
pihak.

4. Konsiliasi

Konsiliasi adalah lanjutan dari proses mediasi yang dimana dalam hal ini mediator
berubah menjadi konsiliator. Dalam praktiknya antar mediasi dan konsiliasi memiliki
karakteristik yang sama sehingga sulit untuk membedakannya. Dalam hal konsiliasi maka
yang berwenang menyusun penyelesaian yang akan ditawarkan kepada para pihak adalah
konsiliator. Adanya intervensi pihak ketiga dalam konsiliasi ini diharapkan agar konsiliator
dapat berperan aktif meskipun konsiliator tidak berwenang dalam pengambilan keputusan.

Negara yang pertama kali mengenal sistem konsiliasi adalah Jepang, yang disebut
dengan “chotei”. Di jepang konsilasi digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara
informal, Oppeinhim menyebutkan bahwa : “Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa
dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk
menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak
mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesekapatan) membuat usulan-usulan untuk
suatu penyelesaian namun keputusan tersebut tidak mengikat.”13

Adapun perbedaan antara mediasi dengan konsiliasi yaitu terletak pada penyelesaian
yang ditawarkan pihak ketiga kepada para pihak. Dalam mediasi, adapun mediator hanya
berusaha memberikan pilihan ataupun membimbing para pihak yang bersengketa agar
memperoleh suatu kesepakatan. Dalam konsiliasi keterlibatan pihak ketiga lebih aktif
sehingga dapat dikatakan dalam hal ini keberadaan pihak ketiga dapat lebih memaksa. 14

5. Penilaian Ahli

Dalam PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi menjelaskan tentang
keterlibatan ahli dalam pasal 16 ayat (1) bahwa :

“Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang
seseorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau
pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara
para pihak.”

Penilaian ahli adalah suatu pendapat ataupun keterangan yang diperoleh para pihak
yang bersengketa dari seorang ahli tertentu terkait sengketa yang sedang terjadi. Hal ini
terjadi karena perbedaan pendapat diantara mereka sehingga para pihak meminta pendapat
kepada seorang ahli terkait masalah pokok dalam sengketa maupun hal lain yang diperlukan.
Penilaian ahli ini dilakukan dengan mempertemukan para pihak yang berselisih, yang

13
D.Y. Witanto, Op.Cit., hal 20
14
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta :
Kencana, 2009) hal 36-54
dimana seseorang atau beberapa orang ahli akan menilai pokok permasalahan tersebut yang
tidak lain bertujuan untuk memperoleh kesepakatan. 15

6. Arbitrase

Mengenai arbitrase diatur dalam pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yaitu :

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.” 16

Bahwa arbitase ini adalah salah satu penyelesaian sengketa yang sudah lama
berkembang yang dimana para pihak menyerahkan sengketa mereka kepada pihak ketiga
yang netral atau disebut sebagai arbiter. Pihak ketiga atau arbiter ini ditunjuk berdasarkan
kesepakatan para pihak yang bersengketa. Persamaan arbitrase dan mediasi adalah
keputusannya yang sama-sama bersifat final dan mengikat para pihak. Sedangkan,
perbedaannya adalah bahwa dalam arbitrase ini diberikan kewenangan sepenuhnya kepada
arbiter untuk menyelesaikan sengketa. Dalam arbitrase ada seorang arbiter atau arbitrator
yang ditunjuk malaksanakan fungsi dan kewenangan arbitrase.

Syarat-syarat yang diberikan kepada arbiter diatur dalam pasal 12 uu no. 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yaitu :

“Cakap dalam melakukan tindakan hukum, berumur paling rendah 35 tahun, tidak
mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa, tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase dan memiliki pengalaman serta menguasai
secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.”

Salah satu keuntungan arbitrase ini adalah bahwa fakta-fakta yang berkaitan dengan
permasalahan yang muncul harus diperhatikan dengan baik oleh seorang arbiter sehingga
dapat menghasilkan keputusan yang tidak memihak, sederhana dan adil. Para pihak berhak
menilai arbiter apakah sudah bertindak sebagaimana mestinya.

15
Ibid, hal 21-22
16
Subekti dalam buku Anita, Asas Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak

Melalui Arbitrase, (Bandung : Alumni, 2013), hal.67.


BAB III
KESIMPULAN

Alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan muncul sebagai kritik


terhadap badan pengadilan dimana proses penyelesaian sengketa dianggap tidak efektif dan
efisien. Penyelesaian di luar pengadilan didorong oleh semangat kekeluargaan untuk mencari
titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian yang fleksibel dengan menerapkan
beberapa bentuk mekanisme yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan
demikian, sengketa diharapkan mencapai suatu keputusan yang adil dan final.

Bentuk – Bentuk Dan Pelaksanaan Pilihan Penyelesaian Sengketa

1. Konsultasi
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Penilaian ahli
6. Arbitrase
DAFTAR PUSTAKA

Goldberg, Stephen B. Dispute Resolution, Negoisation, Mediation and Other Process,


Boston-Toronto-London: Little Brown and Company, 1992.

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati


Aneska dan BANI. 2002.

Winarta Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2011
Gunawan Wijaya Dan Ahmad Yani Dalam Buku D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi
Dalam Perkara Perdata Dilingkungan Peradilan Umum Dan Peradilan Agama Menurut
PERMA No. 1 Tahun 200 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Bandung : Alfabeta,
2011
Abbas Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional ,Jakarta : Kencana, 2009
Subekti dalam buku Anita, Asas Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak
Melalui Arbitrase, Bandung : Alumni, 2013

Anda mungkin juga menyukai