Anda di halaman 1dari 19

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare merupakan gejala yang umum dijumpai dan merupakan salah satu alasan
seseorang harus mendapat perawatan baik secara rawat jalan atau rawat inap di
Rumah Sakit. Komplikasi paling sering dari diare yang merupakan yang paling
ditakutkan adalah dehidrasi, terlebih akibat diare dengan dehidrasi yang berat1.
Diare merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien dengan kasus
keganasan, salah satu penyebab dari diare pada kasus ini adalah sebagai efek samping
dari kemoterapi yang dijalani pasien. Diare yang dialami pada pasien setelah
menjalani kemoterapi sering tidak mendapat perhatian dan dianggap hal yang sepele,
dan sering tidak mendapat penanganan yang tidak adekuat2.
Diare pada kasus kemoterapi dikenal dengan istilah Chemotherapy induced
diarrhea (CID). Kejadian CID pada pasien yang menjalani kemoterapi sebagai salah
satu efek samping, menyebabkan dampak bagi pasien yang menjalani kemoterapi,
yaitu sebesar 60% pasien harus menerima perubahan jenis regimen kemoterapi, 22%
menerima perubahan dosis, 28% mengalami penndaan pemberian terapi, 15%
pembatalan terapi kemoterapi. Diare pada kasus CID dapat menyebabkan dehidrasi
yang berat bila tidak terdapat penanganan yang adekuat. Kasus kematian akibat
dehidrasi yang berhubungan dengan CID berdasarkan dari sebuah penelitian dapat
mencapai 5% dari jumlah pasien yang menjalani terapi dengan kemoterapi dalam
penelitian tersebut. Walaupun diare yang berkaitan dengan kemoterapi sudah sejak
lama diteliti, namun patofisiologi pasti dari mekanisme terjadinya diare akibat
kemoterapi sendiri masih belum pasti. Pada bab berikut akan didiskusikan lebih lanjut
mengenai penyebab dari diare, patomekanisme diare, dan kasus diare yang dijumpai
pada pasien dengan kanker serviks stadium IIB2,3.
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Diare
Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar dan konsistensi feses
menjadi encer. Seseorang dikatakan mengalami diare bila frekuensi buang air besar
lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi cair. Adapun yang menggunakan
definisi berupa buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat) dengan kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya atau lebih
dari 200gram atau lebih dari 200ml/24jam. Buang air di besar ini dapat disertai
dengan lendir atau darah atau tanpa keduanya1.

2.2.Diare pada Pasien dengan Penyakit Keganasan


Diare adalah salah satu masalah umum yang dijumpai pada pasien kanker yang
harus menjalani terapi lanjutan. Etiologi diare pada pasien dengan kasus keganasan
dapat berhubungan dengan berbagai penyebab seperti3 :
1. Radioterapi
2. Obat-obatan Kemoterapi
3. Imunoterapi
4. Pembedahan
5. Terapi hormonal
6. Terapi target
7. Penurunan kemampuan fisik
8. Graft vs host disease
9. Infeksi
Diare adalah efek samping yang sering ditemukan pada pasien yang menjalani
kemoterapi. Kebanyakan kasus pasien yang menjalani kemoterapi mengalami diare
yang tidak berat, namun pada kasus tertentu membutuhkan perubahan dosis regimen
3

kemoterapi yang digunakan, pada kasus yang lain dapat menyebabkan diare yang
mengancam nyawa.

2.3.Diare Akibat Kemoterapi


Diare akibat kemoterapi dikenal dengan istilah Chemotherapy induced diarrhea
(CID). CID dapat terjadi pada 50-80% pasien kanker yang menerima regimen
kemoterapi. Pasien dengan kasus kanker ada yang menerima kemoterapi kuratif dan
ada yang menerima kemoterapi paliatif. Walaupun kemoterapi dapat memberikan
kemajuan yang besar dalam hal peningkatan angka harapan hidup pasien dengan
kasus keganasan, kemoterapi memiliki efek sitotoksik yang secara signifikan dapat
memberikan efek samping yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan
terapinya. Efek samping gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh karena
pemberian obat-obatan kemoterapi adalah mual, muntah, ulkus, perut kembung,
konstipasi, dan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan diare yang merupakan
hambatan utama dalam pemberian kemoterapi2,3.

kejadian CID memberikan dampak yang berarti terhadap penatalaksanaan untuk


kanker pada penderita yang mengalami, berupa perubahan regimen untuk kemoterapi
(60% kasus), penurunan dari dosis kemoterapi (22% kasus), penundaan pemberian
dosis regimen kemoterapi (28%), dan pada beberapa kasus sampai diberhentikan
pemberian kemoterapinya (15% kasus). CID yang menimbulkan dehidrasi berat atau
berdasarkan dari drajat, masuk keadalam kategori 3 atau 4, dapat menimbulkan
komplikasi serius seperti kematian, dengan perkiraan terjadinya kematian hampir 53,4.

2.4.Patogenesis Diare Akibat Kemoterapi


Faktor risiko utama yang berkontribusi terhadap terjadinya efek toksik langsung
pada traktus gastrointestinal yang menyebabkan diare masih belum diketahui secara
pasti. Efek sitotoksis dapat menyebabkan banyak lesi sepanjang traktu intestinal
tanpa menimbulkan gejala. Suatu lesi dianggap bermakna bila sampai merubah fungsi
fisiologis dari traktus intestinal3,4.
4

Fungsi sekresi, absorbsi, dan fungsi propulsi dari traktus intestinal dipengaruhi
oleh proses yang kompleks, dari fungsi neurologis, fungsi hormonal, sistem imun,
dan sistem enzim. Selain itu, disfungsi pada sisi traktus intestinal yang berbeda akan
menyebabkan efek fisiologis berbeda pula, walaupun gejalanya sama3.
Mekanisme fisiologi dari diare yang diinduksi oleh kemoterapi (CID), cenderung
bergantung dari regimen atau obat yang digunakan, namun penelitian mengenai hal
ini masih sangat langkah. Diare terjadi karena tiga prinsip alasan : substansi
intralumen yang hipertonik, seperti substansi dari diet yang sulit untuk dicerna atau
tidak dimetabolisme secara menyeluruh (diare osmotik) ; adanya kerusakan pada
epitel atau pada pompa ion dan molekul yang mengatur proses perpindahan masuk
dan keluar dari ion atau cairan dari sel enterosit atau tautan sel atau sebagai respon
terhadap cairan empedu yang tidak diserap secara adekuat(diare sekretorik) ; atau
adanya gangguan pada motilitas traktus intestinal3.
Adanya disfungsi pada epitel dari lumen usus adalah alasan yang paling umum
dijumpai sebagai penyebab CID pada beberapa penelitian. Disfungsi dari epitel ini
berkaitan erat dengan adanya mukositis yang diduga merupakan patigenesis yang
mendasari terjadinya CID. Mekanisme mukositis menyebabkan CID secara umum
dibagi menjadi lima mekanisme yaitu, initiation ; up-regulation ; signaling and
amplification ; inflammation and ulceration ; dan healing. Berikut ada bagan
mekanisme mukositis menyebabkan diare pada CID 3,5:
5

Gambar 2.1. Mekanisme CID akibat mukositis

Selain disfungsi pada epitel yang mendasari terjadinya CID, gangguan pada
sistem persarafan pada traktus intestinal juga memainkan patogenesis yang penting
dari terjadinya CID. Sistem persarafan utama dari traktus intestinal adalah siatem
persarafan enterik (Enteric nervous system = ENS). Sistem saraf enteric ini kemudia
dibagi menjadi tiga pleksus utama yaitu pleksus ganglionic, myenterik dan pleksus
submukosa (meissnerr), ketiga pleksus saarf ini berperan dalam mengontrol fungsi
motilitas, fungsi sekresi, fungsi absorbs dan tonus vaskulas di sepanjang traktus
intestinal. Disfungsi ENS yang menjadi dasar CID berkaitan dengan terjadinya
neuropati. Neuropati pada ENS akan berakibat pada fungsi regulasinya di epitel
intestinal dan fungsi motilitas usus. Neuropati yang berkaitan dengan CID dapat
berupa hilangnya fungsi dari persarafan enterik, hipersensitifitas persarafan enteric
yang ditandai dengan peningkatan amplitudo dari saraf sehingga terjadi peningkatan
6

kontraksi usus yang pada akhirnya dapat menimbulkan diare. Patomekanisme


disfungsi ENS akibat pemberian regimen kemoterapi sehingga dapat menyebabkan
diare dapat dilihat pada bagan dibawah ini5,6,7 ;

Gambar 2.2. Disfungsi ENS yang menimbulkan CID setelah pemberian regimen
kemoterapi

Gamabar 2.1. Obat-obatan kemoterapi yang memberikan efek toksik pada sistem
gastrointestinal2
7

2.5.Tatalaksana pada Diare Akibat Kemoterapi


1) Penilaian Klinis
Pada pasien yang datang dengan keluhan diare akut sebagai efek toksik dari terapi
membutuhkan penilaian dan penentuan drajat diare yang ditimbulkan. Drajat dari
diare ditentukan berdasarkan kriteria diare sebagai bentuk efek samping, kriteria
tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini2,

Tabel 2.3. Kriteria toksisitas diare, Common Terminology


Criteria for Adverse Events, oleh National Cancer Institute
Drajat Karakteristik
Drajat 1 Meningkatnya frekuensi BAB dari frekuensi normal tiap
harinya (< 4 kali), atau adanya peningkatan ringan dari
feses yang keluar dari stoma.
Drajat 2 Meningkatnya frekuensi BAB dari frekuensi normal tiap
harinya (4-6 kali), atau adanya peningkatan sedang dari
feses yang keluar dari stoma. (tidak mengganggu ADL).
Drajat 3 Meningkatnya frekuensi BAB dari frekuensi normal tiap
harinya (≥7 kali), inkotinensia, atau adanya peningkatan
yang berat dari feses yang keluar dari stoma. (
mengganggu ADL).
(indikasi pemberian terapi cairan intravena ≥24 jam),
indikasi rawat-inap.
Drajat 4 Diare dengan dehidrasi berat dan dalam kondisi yang
mengancam nyawa (gangguan hemodinamik).
Drajat 5 Dehidrasi berat yang menimbulkan kematian

Pada pasien dengan diare drajat 1-2 , umumnya keadaan klinisnya asih baik dan
hasil labnya umumnya normal, pada pasien ini dapat diberikan terapi secara rawat
jalan, sementara pada pasien dengan diare drajat 3 dan 4 membutuhkan perawatan
secara rawat inap, dan pemberian terapi secara intravena segera, kecuali pasien tidak
8

dalam keadaan dehidrasi. (Bagan alur tatalaksana pasien dengan CID dapat dilihat
pada halaman lampiran).

2) Tanda bahaya
Tanda bahaya yang harus diwaspadai pada pasien dengan diare antara lain3 :
 Nyeri abdomen tidak berkurang dengan pemberian loperamide
 Kesulitan untuk makan
 Rasa lelah dan lemah meningkat
 Nyeri dada
 Mual dan muntah yang tidak berkurang dengan pemberian antiemetic
 Dehidrasi disertai penuruan jumlah urin
 Demam (>38.5°C)
 Perdarahan gastrointestinal
 Riw. Diare sebelumnya.

3) Anamnesis dan riwayat penyakit


Anamnesis yang perlu diketahui pada pasien diare dengan riwayat menjalani
kemoterapi adalah karakteristik tinja, drajat keluhan kelemahan dan kelelahan yang
dialami pasien, riwayat obat-obatan yang dikonsumsi, diet, gejala penyerta
kemoterapi lainnya seperti : mual, muntah, ulserasi pada mulut, odinofagia,
kemerahan pada kaki dan tangan, atau adanya rash3,4.

4) Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan fisik yang dilakukan sesuai dengan pemeriksaan standar meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, laju pernapasan, saturasi oksigen, suhu, pemeriksaan
capillary refill time, dan pemeriksaan fisik lengkap dari kepala hingga kaki3.

Pemeriksaaan penunjang awal yang dikerjakan meliputi pemeriksaan darah


lengkap untuk melihat kadar hemoglobin, hitung jenis sel, dan pemeriksaan biokimia
9

darah untuk melihat elektrolit, albumin, glukosa darah, serta fungsi ginjal.
Pemeriksaan laboratorium lanjutan dan segera perlu dikerjakan pada kasus diare
dengan komplikasi atau drajat 3-4 , baik pemeriksaan darah (fungsi hepar, glukosa
darah, fungsi tiroid, C-reaktif protein, dan pada kasus dengan tandadehidrasi berat
dapat dipemeriksaan analisa gas darah dan kadar laktat), dan pemeriksaan tinja
(evaluasi Clostridium Difficile)4.

Selain pemeriksaan diatas, pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan


tergantung dari beberapa keadaan dan keluhan terhadap terapi awal. Pada kasus diare
yang tidak tertangani dengan pemberian Loperamide selama 24 jam, disarankan
pemeriksaan darah ualng, dan dilakukan biopsy duodenum dan aspirasi duodenum.
Pada kasus diare yang tidak tertangani dalam 48 jam, makan CT abdomen penting
untuk dilkerjakan dan pemeriksaan tinja untuk menilai fungsi pankreas terlebih
pasien dengan riwayat menerima radioterapi atau operasi pada pankreas.

5) Pemberian Resusitasi
Pemberian resusitasi yang menjadi pilihan untuk rehidrasi utama dan awal pada
pasien dengan dehidrasi atau pasien dengan drajat 3-4 adalah larutan kristaloid.
Larutan kristaloid yang dipilih adalah Ringer Lactate, kecuali bila tidak tersedia dapat
diberikan larutan normal saline 0,9% dengan rehidrasi awal sebanyak 500cc sambil
menilai tanda perbaikan klinis3,4.
Pada keadaan dehidrasi berat dengan tanda-tanda presyok berupa hipotensi, taki-
kardi, dan penurunan kesadaran diberikan cairan sebesar 20cc/kgBB/jam, sambil
memonitor hemodinamik dan keseimbangan cairan dari pasien3.

6) Pemberian Obat-obatan
a) Anti-diare
Obat yang dapat mengurangi gejala diare misalnya3,4,5 :
10

 Derifat opioid : loperamide, Ocreotide dan tinktur opium. Derifat opiod ini
merupakan pilihan antidiare yang direkomendasikan berdasarkan Consensus
Conference on the Management of CID From Benson and Colleagues.
 Pemberiaan obat-obatan lain seperti : Glutamine, Budesonide, glutamine,
celecoxib juga dapat ditemukan pada beberapa literatur dan beberapa jurnal
sebagai anti-diare namun belum terdapat evidence based medicine yang kuat
tetang penggunaan preparat ini sebagai anti-diare pada kasus CID.
11

BAB 3

KASUS

Seorang wanita berusia 48 tahun diantar ke RSU Prof.W.Z.Johannes, Kupang,


dengan keluhan buang air besar cair sebanyak 8 kali sejak 1 hari sebelumnya. Pasien
mengaku buang air besarnya diawali dengan buang air besar encer berwarna coklat
sebanyak setengah gelas aqua (volume 240cc), dan kemudian diikuti buang air besar
encer berikutnya, tidak ada darah, konsistensinya encer seperti air dengan sedikit
ampas warna putih ke kuningan, berlendir, tidak berminyak, dan tidak berbau, jumlah
cairan yang keluar dalam sekali buang air besar dapat mencapai setengah gelas aqua
dengan volume 240cc. Keluhan ini juga disertai dengan muntah lebih dari 10 kali,
rasa kram pada perut setiap pasien hendak buang air besar, dan nyeri pada ulu hati,
demam tidak ada, rasa kembung pada perut tidak dialami oleh pasien, dan adanya
rasa kentut yang terus-menerus juga disangkal oleh pasien. Buang air besar yang
dialami masih dapat ditahan oleh pasien, namun bila jumlahnya banyak dan encer,
cairannya akan keluar dengan sendiri, keluhan hilangnya sensasi untuk menahan
buang air besar sebelumnya tidak dialami oleh pasien. Keluhan buang besar seperti
ini diketahui baru pertama kali dialami oleh pasien, hingga membuat pasien merasa
lemas disertai rasa pusing. Keluhan ini juga hanya dialami oleh pasien di dalam
rumahnya.

Pasien 2 hari yang lalu menjalani kemoterapinya yang pertama sebanyak 2 kali
dalam 2 hari yang berbeda. Pasien menjalani kemoterapi untuk penyakit Kanker
Serviksnya yang terdiagnosa 1 tahun yang lalu. Diketahui obat kemoterapi yang
diterima oleh pasien adalah Paclitaxel 270 mg pada hari kemoterapi pertama dan
Carboplantin 600mg pada hari kemoterapi kedua.

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang pekerjaan sehari-harinya hanya
mengurusi pekerjaan dalam rumah dan terkadang sering terlambat makan walaupun
12

pasien tetap makan 3 kali sehari, riwayat bepergian jauh sebelumnya disangkal,
Riwayat mengkonsumsi jajanan makanan atau makanan yang tidak diolah disangkal,
Riwayat pengobatan dengan antibiotik juga disangkal oleh pasien. Dari Rekam
medis dan anamnesis juga diketahui bahwa pasien hanya menderita penyakit Kanker
serviks dan tidak ada penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertiroid atau
sistemik lainnya seperti hipertensi, sehingga tidak ada obat rutin yang dikonsumsi
oleh pasien.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital saat pertama kali pasien diantar ke Instalasi
Gawat Darurat, didapatkan pasien dalam keadaan lemah, namun masih sadar baik
dengan GCS E4V5M6, Tekanan darah 100/60mmHg, Nadi 92 kali/menit, laju
pernapasan 20x/menit dan suhu tubuh 36.7°C. Tanda-tanda vital dari pasien masih
dalam batas normal kecuali frekuensi nadi pasien yang sedikit meningkat.

Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan tanda-tanda dehidrasi yang bermakna


seperti mata cekung, penurunan kesadaran, penurunan turgor kulit, atau mulut
kering, lidah kering dan akral yang dingin. Dalam pemeriksaan fisik ditemukan
adanya nyeri tekan epigastrium dengan visual analogue score 2-3. Sementara
pemeriksaan fisik yang lainnya dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan pada kasus ini meliputi pemeriksaan


darah rutin dan pemeriksaan elektrolit. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa pasien ini mengalami anemia ringan mikrositik hipokrom (Hb 10.4g/dL ;
MCV 79.1 Fl ; MCH 25.8 pg), adanya peningkatan Neutrofil (83.4%), penurunan
limfosit (14.1%), peningkatan kreatinin serum (6.61 mg/dL) dan hipokalemia sedang
(2.6mmol/L).

Pasien pada kasus ini di diagnosa dengan diare Akut dan Ca Cervix dengan
komplikasi hipokalemia sedang. Pada kasus ini pasien menerima terapi awal di
Instalasi Gawat Darurat berupa rehidrasi menggunakan cairan Ringer laktat 500cc
yang di guyur, dan dilanjutkan dengan pemberian cairan Ringer laktak dengan 30
13

tetesan per menit. Pasien juga mendapat anti-diare berupa Atapulgit 2 tab, dan 1 tab
tiap BAB encer.

Pasien kemudian dirawat-inapkan selama empat hari dan mendapatkan terapi


harian dengan : Omeprazole 2x40 mg i.v ; Atapulgit 1 tab tiap BAB cair max. 12
tablet/hari ; Ciprofloxaxin 2x 200mg i.v ; KCL 25meq yang didrip dalam NaCl 0.9%
500cc/8 jam ; dan Aspar K 3x1 tab p.o.

Perkembangan kesehatan pasien yang dipantau mulai mengalami kemajuan pada


hari perawatan ke-2, dimana keluhan diare sudah tidak lagi dialami dan nyeri ulu hati
pasien dirasakan sudah berkurang. Setelah mendapatkan terapi dengan KCL 25meq
dalam NaCl 500cc/8 jam selama 2 hari, dilakukan pengecekan elektrolit pada
perawatan hari ke-3 dan hasil kadar kalium dari pasien mengalami kenaikkan ke
kadar kalium normal. Pasien kemudian dipulangkan pada hari ke-4 setelah keadaan
pasien secara klinis membaik dan hasil elektrolit dari pasien terkoreksi.
14

BAB 4
DISKUSI

Diare yang diakibatkan oleh kemoterapi atau Chemotherapy in duced diarrhea


(CID) adalah samping yang umum terjadi pada penderita kanker yang menjalani
kemoterapi. CID merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan
dehidrasi berat, malnutrisi hingga kematian. Terdapat banyak kasus CID yang terjadi,
namun hanya sedikit kasus CID yang dilaporkan dan yang mendapat perhatian. CID
terjadi mengikuti riwayat menerima pengobatan kemoterapi, atau diare yang terjadi
ada kemungkinan berhubungan dengan kemoterapi yang dijalani sebelumnya.
Berdasarkan dari beberapa studi penelitian, kejadian CID memberikan dampak yang
berarti terhadap penatalaksanaan untuk kanker pada penderita yang mengalami, oleh
karena itu perhatian terhadap kasus CID atau yang dicurigai CID sangat penting
mengingat efek yang dapat ditimbulkan, tujuan utama dari investigasi terhadap pasien
dengan CID adalah untuk pencegahan dari komplikasi dan untuk menentukan dan
mempertimbangkan tatalaksana yang tepat pada kasus CID, mengingat tatalaksana
dan pedoman khususnya mengenai pemberian obat anti-diare dan obat lainnya yang
diteliti memiliki efek dalam mengatasi keluhan pada CID dan masih membutuhkan
penelitian lanjutan.

Pasien pada kasus diketahui seorang wanita berusia 48 tahun dengan riwayat
penyakit kanker serviks dan telah menjalani kemoterapinya yang pertama 2 hari
sebelum pasien datang ke IGD. Pada kasus ini pasien mengalami diare akut dengan
penyebab yang dicurigai pada kasus ini adalah akibat infeksi dan CID. Pasien ini
mengalami diare akibat infeksi bakteri karena anamnesis dan pemeriksaan
laboratorium dengan peningkatan neutrophil yang mengindikasikan adanya suatu
infeksi bakteri, dan pada kasus CID pun tidak jarang ditemukan pasien dengan diare
sebagai akibat dari infeksi. Pada kasus ini pasien juga dicurigai dengan CID karena
15

keluhan diare timbul 2 hari setelah pasien pertama kali menerima kemoterapi dengan
regimen kemoterapinya Paclitaaxel 270mg dan Carboplantin 600mg. Pemantauan
pada kasus yang diduga CID penting karena komplikasi serius yang dapat
ditimbulkan. CID dapat menimbulkan terjadinya diare berdasarkan dari beberapa
literatur dan penelitian sebelumnya, terdapat hubungan pemberian kemoterapi dengan
terjadinya mukositis, gangguan fungsi persarafan enteric, hingga terjadinya
penurunan komposisi mikroflora usus normal yang ketiganya dapat mencetuskan
terjadinya diare pada pasien dengan CID. ketiga mekanisme ini dapat terjadi akibat
efek langsung maupun tidak langsung dari regimen kemoterapi, namun mekanisme
yang mendasari hingga regimen kemoterapi dapat menyebabkan ketiga
patomekanisme diatas masih belum diketahui secara pasti dan masih membutuhkan
penelitian lanjutan. Pada beberapa laporan kasus yang telah dipublikasikan,
kombinasi regimen paclitaxel dan carboplating pernah dilaporkan menyebabkan
colitis iskemik, dan keluhan pada kasus tersebut berupa diare dan darah pada tinja.
Pada kasus tersebut, pemberian regimen paclitaxel kemudian diberikan secara tunggal
tanpa kombinasi, dan pasien dalam kasus tersebut menunjukkan toleransi yang baik
pada pemberian obat tersebut8,9. Pada laporan kasus yang berbeda, ada juga yang
melaporkan efek samping dari Paclitaxel tunggal dengan kejadian colitis 7. Mukositis
yang berkaitan dengan CID, dapat dibuktikan melalui pemeriksaan lanjutan seperti
endoskopi atau CT-abdomen, namun dalam kasus ini tidak dilakukan karena
keterbatasan sarana, dan berdasarkan dari pemantauan selama terapi pemberian terapi
emperik, kondisi umum dan keluhan dari pasien membaik, sehingga tidak
membutuhkan tatalaksana invasive lanjutan. Berdasarkan sumber yang di salur dari
Guidance on the management of diarrhoea during cancer chemotherapy, tidak semua
kasus dengan CID dilakukan pemeriksaan endoskopi. Endoskopi dilakukan bila pada
keadaan >24 jam keluhan tidak membaik dengan pemberian terapi intensif dengan
menggunakan loperamide atau octreotide. Pada tatalaksana diare akut juga umumnya
tidak dianjurkan untuk dilakukan endoskopi atau penunjang radiologi lanjutan kecuali
pada kasus diare kronik dan diare yang refrakter terhadap pengobatan antidiare.
16

Tatalaksana awal pada pasien dengan kasus diare akut dengan curiga infeksi dan
CID tidak perbedaan secara bermakna. Tatalaksana awal pada kasus diare awal
adalah penilaian klinis, dimana secara umum menggunakan drajat dehidrasi dan
khusus pada kasus CID digunakan drajat dengan tabel Common Terminology
Criteria for Adverse Events, oleh National Cancer Institute, drajat diare pada pasien
di kasus adalah drajat 3. Pada drajat 3 dan 4 termasuk uncomplicated diarrhea. Pada
diare drajat ini, perlu mendapatkan perawatan secara rawat inap dan pemberian terapi
cairan secara intravena. Pengobatan dengan antibiotil perlu diberikan, dan anti-diare
yang menjadi pilihan adalah Ocreotide, hal ini tidak jauh berbeda dengan
penatalaksanaan yang ditemukan pada kasus kecuali dalam hal pemberian terapi
antidiare, seperti atapulgit. Atapulgit terbukti efektif dalam menangani diare akut
pada beberapa penelitian dan menjadi salah satu rekomendasi pilihan pada
tatalaksana diare akut, obat ini memiliki efek untuk mengeraskan tinja dengan
meningkatkan absorbs usus, walaupun dalam penelitian yang meneliti tentang
antidiare pada kasus CID tidak menjadi pilihan rekomendasi. Oleh karena itu,
penelitian dari efektifitas atapulgit untuk digunakan pada kasus diare yang
diakibatkan oleh kemoterapi masih memerlukan penelitian lanjutan.
Pasien dalam kasus ini pulang dengan perbaikan klinis, dan tidak ada penundaan
berkenan dengan jadwal kemoterapinya. Berdasarkan dari pedoman, pasien dengan
dieare drajat 3 dan 4 disarankan untuk penundaan pemeberian kemoterapinya hingga
pasien pasien mengalami perbaikan secara klinis dan keadaan umum pasien baik.
Kekurangan pada kasus ini adalah edukasi kepada pasien dan keluarga tentang efek
samping dari kemoterapi, dan kemungkinan terjadinya diare berulang pada pasien
setelah menjalani kemoterapi berikutnya, dan evaluasi bila timbulnya keluhan yang
sama dengan menggunakan indeks Bristol stool sehingga pasien dapat mengetahui
kapan pasien harus segera meminta pertolongan dari tenaga medis terkait dengan
keluhan yang dialami, dan sekaligus untuk menilai fungsi usus dari pasien sebelum
menjalani kemoterapi. Bekal berupa obat antidiare seperti loperami untuk dibawa
17

pulang juga penting dan menjadi salah satu rekomendasi dari beberapa pedoman
tatalaksana kasus CID.
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Simadibrata M, Daldiyono. DIARE AKUT. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Internal Publishing :
2014. p. 1923.

2. Mcquade RM, Stojanovska V, Abalo R, Bornstein JC, Nurgali K.


Chemotherapy-Induced Constipation and Diarrhea : Pathophysiology ,
Current and Emerging Treatments. Front Pharmacol. 2016;7(November):1–
14.

3. Bossi P, Antonuzzo A, Cherny NI, Rosengarten O, Pernot S, Trippa F, et al.


Diarrhoea in adult cancer patients : ESMO Clinical Clinical Practice
Guidelines. Ann Oncol. 2018;29(June):126–42.
4. Stein A, Voigt W, Jordan K. Chemotherapy-induced diarrhea :
pathophysiology , frequency and guideline-based management. Ther Adv
Med Oncol. 2010;2(1):51–63.
5. Andreyev J, Ross P, Donnellan C, Lennan E, Leonard P, Waters C, et al.
Guidance on the management of diarrhoea during cancer. Lancet Oncol
[Internet]. Elsevier Ltd; 2014;15(10):e447–60. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S1470-2045(14)70006-3

6. Hou J, Li G, Guo C, Lv G. Chemotherapy Induced Diarrhea : A Case Report.


J Cancer Prev Curr Res. 2018;9(Cid):1–4.

7. Park C, Kang H, Kim T, Ki H, Kim E. A Case of Ischemic Colitis Associated


with Paclitaxel Loaded Polymeric Micelle ( Genexol-PM ) Chemotherapy.
Korean Acad Tuberc Respir Dis. 2010;3536:115–8.

8. Elsayed AG, Srivastava R, Limjoco T, Tirona MT, Pacioles T. Ischemic


Colitis Associated with Paclitaxel and Carboplatin Combination. Case Rep
Oncol. 2017;25701:689–93.
19

9. Boulanger J, Boursiquot JN, Cournoyer G, Lemieux J, Masse MS, Almanric


K, et al. Practice Management of hypersensitivity to platinum- and taxane-
based chemotherapy : cepo review and clinical recommendations. Curr Oncol.
2014;21:630–41.

Anda mungkin juga menyukai