Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Miasis hidung adalah adanya infestasi larva lalat dalam rongga hidung. Lalat
Chrysomya bezziana dapat bertelur di organ atau jaringan tubuh manusia, yang
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
kemudian menetas menjadi larva (ulat = belatung). Miasis hidung
biasanya ditemukan di daerah tropis di mana cuaca hangat dan lembab
memberikan lingkungan yang sangat baik untuk serangan ini. Miasis hidung
jarang terjadi di negara maju dan Eropa tetapi tidak jarang di negara berkembang
dan tropis seperti India dan negara – negara Afrika. 4,5 Di Indonesia, satu kasus
miasis hidung pada manusia yang disebabkan oleh Chrysomyia sp. pernah
dilaporkan oleh Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Berdasarkan data
rawat inap pasien THT di Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang dari
Januari 2009 sampai November 2014 didapatkan 3 kasus miasis hidung.8
Miasis hidung mempengaruhi individu dari semua kelompok umur, namun
sering terlihat pada pasien usia setengah baya dan lebih tua dan sama pada kedua
jenis kelamin laki – laki dan perempuan.3,4 Tempat paling umum di daerah kepala
dan leher yang terkena adalah telinga, hidung, nasofaring, sinus paranasal, dan
kulit. Faktor risiko miasis adalah otitis media supuratif kronis, status sosial
ekonomi rendah, diabetes mellitus, dan berenang di air yang tergenang. Tingkat
keparahan manifestasi klinis pada miasis hidung tergantung pada lokasi infestasi,
lesi, dan peradangan jaringan. Penderita myiasis hidung sering datang dengan
epistaksis, nyeri wajah, bau busuk, sumbatan hidung, nasal discharge, sakit
kepala, adanya sensasi benda asing di dalam hidung, dan disfagia.2,3,6,8
Tujuan dari perawatan myiasis hidung adalah untuk sepenuhnya
menghilangkan parasit yang menyerang. Penderita miasis hidung membutuhkan
rawat inap segera. Pengobatan miasis hidung termasuk tindakan lokal dan
sistemik. Terapi larva secara non medikamentosa adalah debridemen dan
desinfeksi. Perawatan sistemik pada miasis hidung termasuk antibiotik spektrum
luas. Perawatan topikal atau lokal termasuk aplikasi minyak terpentin, eter,

1
kloroform, minyak mineral, etil klorida, merkuri klorida, creosote, saline,
butazolidine sistemik, atau thiabendazole untuk menghilangkan larva. Perawatan
pada miasis hidung sering dilakukan dengan operasi pengangkatan larva.
Endoskopi hidung sering dilakukan untuk menghilangkan larva dengan
penglihatan langsung dengan bantuan forcep.3,4,8,9,10,12,13,14
Larva di dalam hidung dapat menyebabkan komplikasi orbital. Infestasi larva
di hidung adalah situasi klinis yang sangat berbahaya karena ada kemungkinan
penetrasi ke ruang intrakranial. Larva dapat menembus lateral ke sinus paranasal
dan dalam beberapa kasus menembus ke inferior dan menyebabkan perforasi
palatum.8,15 Prognosis myiasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan
benar. Dua bulan setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda – tanda kekambuhan
pada pasien. Namun, kematian dapat terjadi yang disebabkan oleh sepsis dan
meningitis.1

2
BAB II
ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI

A. Anatomi Hidung
1. Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian yaitu yang paling atas kubah tulang yang tak dapat
digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.1,16

Gambar 1. Anatomi hidung luar17


Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak
hidung (hip), 4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os

3
nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.1
Belahan bawah apertura piriforrnis hanya kerangka tulangnya saja,
memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur
tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua
tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu
bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan
bagian dari prosesus maksilaris medial embrio yang rneliputi premaksila anterior,
dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis
superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula dengan tepi atas
kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus
hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus
menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolurnela, di lateral
oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung
penting untuk ekspresi wajah, gerakan rnengendus, dan bersin. Otot ekspresi
wajah yang terletak subkutan di atas tulang hidung, pipi anterior, dan bibir atas
menjamin mobilitas lobulus. Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut
menyokong hidung luar. Jaringan lunak di antara hidung luar dan dalam dibatasi
di sebelah inferior oleh krista piriformis dengan kulit penutupnya, di medial oleh
septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan
lateral. Struktur tersempit dari seluruh saluran pernapasan atas adalah apa yang
disebut sebagai limen nasi atau os internum oleh ahli anatomi, atau sebagai katup
hidung Mink oleh ahli faal. Istilah "katup" dianggap tepat karena struktur ini
bergerak bersama, dan ikut mengatur pernapasan. 16

4
Gambar 2. Anatomi hidung luar 17

2. Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut – rambut panjang yang disebut vibrise. 1

5
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago
septum (kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang
etmoidalis di sebelah atas, vorner dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista
1,16
di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan krista palatina. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan bagian luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. 1

Gambar 3. Septum nasi dan struktur di dekatnya16

Bagian dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema
dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara
konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan
dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior

6
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 1

Gambar 4. Sinus paranasal 17

Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior.


Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis
anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etrnoidalis posterior bermuara pada
meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus
sfenoetmoidalis (Gambar 3). 16

7
Gambar 5. Dinding lateral diperlihatkan tanpa konka. Muara sinus
paranasalis, demikian pula duktus lakrimalis dapat terlihat membuka pada
meatus yang bersesuaian16

Batas rongga hidung pada dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk ole hos maksilla dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung
sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang
yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang – lubang (kribrosa = saringan)
tempat masuknya serabut – serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior atap
hidung dibentuk ole hos sfenoid. 1

3. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis
interna. 1 Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai
sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris
diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis
serta alveolaris dari arteri maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri
maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. 16 Bagian bawah rongga
hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna diantaranya
adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari

8
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Cabang sfenopalatina dari arteri
maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari cabang – cabang arteri Fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang – cabang arteri sfenopalatina, etmoid,
labialis superior, dan palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada
anak. 1,16

Gambar 6. Suplai darah dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis


merupakan cabang-cabang arteri oftalmika yang berasal dari arteri
karotis interna. Sedangkan arteri sfenopalatina dan palatina mayor
merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna 17

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di
bawah membrana rnukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan
inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.

9
Drainase vena terutama melalu vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina.
16
Vena – vena dihidung tidak memiliki katup sehingga merupakan predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial. 1

Gambar 7. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus 17

4. Sistem limfatik
Suplai limfatik hidung amat kaya di mana terdapat jaringan pembuluh anterior
dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang
pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh
bagian anterior hidung-vestibulum dan daerah prekonka. 16
Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung,
menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior,
media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan
bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius dan
bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah
tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar
hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari
septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang
penbuluh jugularis interna.16

10
Gambar 8. Drainase limfatik hidung dan sinus. Jaringan limfatik anterior
mengurus bagian luar hidung dan daerah prekonka lewat kelenjar-kelenjar
pada daerah pre aurikularis dan submandibularis. Jaringan posterior
mengurus mayoritas bagian dalam hidung lewat kelenjar retrofaringea . 16

5. Persyarafan
Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik
lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar, dan
sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama rnelalui ganglion sfenopalatina,
guna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus,
dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban
aliran udara. 16
Bagian atas dan depan rongga hidung mendapat persyarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari
n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya mendapat persyarafan sensoris
dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dan n. petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior
konka media. 1

11
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari permukaan bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel – sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung. 1

Gambar 9. Suplai Saraf hidung. 16

6. Sinus paranasal

a) Sinus maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat
dewasa. 1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding

12
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid. 1
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, 2) Sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita, 3) Ostium sinus maksila terletak lebih
tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak
silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalang drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis. 1

b) Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke-empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang
pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun. 1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih
besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempuyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. 1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita

13
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. 1
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 1

c) Sinus etmoidal
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus
etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid,
yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel
ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan
lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak
di posterior dari lamina basalis. 1
Di bagian terdepan sinus etmoid aterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 1

14
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi snus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid. 1

d) Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. ukuranya adalah 2 cm, tingginya 2.3 cm dan lebarnya 1.7
cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sfenoid. 1
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. 1

15
Gambar 10. Hidung dan Sinus.1

e) Kompleks osteomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus
medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan
kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila. 1

B. Histologi hidung
1) Mukosa Pernapasan Hidung
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks bersilia, bertingkat
palsu (pseudostratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung
pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat
kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit
melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia-
lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel

16
menjadi toraks; silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan inferior
yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang
tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan silia yang sama panjang dan
jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga
mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina
propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat atau lemah, namun tebal di
daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet,
yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan
bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring,
selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin
A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut
terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam
satu jam. Silia-struk1ur kecil mirip rambut- bergerak serempak secara cepat ke
arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kernbali tegak dengan lebih
lambat' Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit. 16

Gambar 11. Mikrofotograf dari epitel saluran napas sehubungan


dengan dampak udara respirasi20

17
2) Silia
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar
250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir
otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa
menghentikan gerakan silia; suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian
kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya.
Semua silia pada suatu daerah epitel dikoordinasikan dengan cara yang
mengagumkan. Masing-masing silia pada saat melecut, bergerak secara
metakronis dengan silia di sekitarnya. Bila lecutan silia diamati, maka lajur silia
akan membengkok serempak dan baris silia membengkok berurutan. Lecutan
tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut arahnya
pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam mengangkut
mukus ke nasofaring. 16
Struktur silia telah terungkap melalui mikroskop elektron. Terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus,
semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh.
Masing- masing silium terdiri dari suatu batang, ujung yang makin mengecil, dan
korpus basalis. Tidak semua mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua
mikrotubulus sentral tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan sel.
Namun, tepat di bawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus perifer
bergabung dengan mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis, yaitu struktur yang
ditemukan dalam sitoplasma apikal. Triplet ini terus berjalan turun ke dalam
sitoplasma apikal sebagai radiks silia, dan perlahan-lahan menghilang. 16

18
Gambar 12. Rincian anatomis silium16

3) Area Olfaktorius
Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu;
perbedaan ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron),
ukuran sel, dan vesikel olfaktorius. Perbatasan regio penghidu dengan regio
pernapasan umunlnya bcrbatas tegas meskipun tidak teratur. Pada manusia, epitel
penghidu bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis sel: (L) sel-saraf bipolar
olfaktorius; (2) sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya; dan (3)
sejumlah sel basal yang kecil, agaknya merupakan sel induk dari sel sustentakular
(Gambar 12). 16

19
Gambar 13. Area olfaktrius20

Masing-masing scl olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam


lapisan epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel
penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai
permukaan tubuh. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang tclah
mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa
yang disebut vesikel olfaktorius. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15
silia nonmotil. Ujung proksimal sel mengccil mcmbcntuk suatu tonjolan yang
halus berdiameter sekitar 0,1 mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung
dengan akson lainnya mcmbentuk saraf olfaktorius, yang menembus lamina
kribriflormis dan membentuk bulbus olfaktorius di mana terjadi sinaps dengan
dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius,
yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan
traktus lainnya. Aparatus olfaktorius scntral merupakan struktur yang sangat
komplcks. 16
Sel sustentakular penyokong agaknya lcbih dari sekedar menyokong; telah
diajukan bahwa sel-sel ini mcnyokong di sebelah Iateral namun juga merupakan

20
suatu sarana komunikasi ionik intraepitel lewat kompleks perbatasannya dengan
neuron bipolar olfaktorius. Pada permukaan sel-sel ini terdapat banyak mikrovili
mencapai ribuan per sel yang membentuk suafri brush border yang tebal. Sel-sel
ini tidak memiliki silia yang dapat bergerak. Mikrovili merupakan tonjolan-
tonjolan kecil dari membran sel yang menyerupai jari-jari sarung tangan karet,
dan sama sekali tidak mirip silia saluran napas yang lazim. Mikrovili sangat
menrperluas daerah perrnukaan, namun fungsinya rnasih belum dimengerti
benar.16
Sejumlah besar kelenjar (kelenjar Bowman) terdapat dalam lamina propria
pada regio olfaktorius. Sel-sel kelenjar adalah sel kubus alau toraks rendah yang
bermuara ke permukaan lewat duktus yang rclatif lebar. 16
Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke depan dan ke
belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan memiliki suatu fase
dengan kekuatan penuh yang berlangsung cepat searah aliran di mana silium tegak
dan kaku, yang diikuti suatu fase pemulihan yang lebih lambat di mana silium
membengkok. Hubungan waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah
diteliti dengan percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif
memerlukan sepertiga dari waktu fase pemulihan. 16

C. Fisiologi hidung
1. Penghiduan
Seperti halnya anatomi hidung biasanya tidak memungkinkan inspeksi
celah olfaktorius dengan spekulum hidung, maka untuk alasan yang sama,
lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai
celah tcrsebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat. Bila
kita ingin mengenali suatu bau, biasanya kita mengendus, yaitu, menambah
tekanan negatif guna rnenarik aliran udara yang masuk ke area olfaktorius. Pada
sumbatan hidung yang patologik, pasien sering mengeluh anosmia sebelum
mengemukakan bahwa ia juga bernapas lewat mulut. Lebih lanjut, karena kita
membedakan berbagai makanan lewat kombinasi rasa dan bau, keluhan pasien
dapat pula berupa makanan tidak Iagi “pas" rasanya. 16

21
Indra penghidu pada manusia tergolong rudimcnter dibandingkan hewan
lainnya, namun kepekaan organ ini cukup rnengejutkan. McKenzie menyatakan
vanilin dapat dipersepsi manusia sebagai suatu bau bila terdapat dalam
konsentrasi hingga serendah 5 x 10-10 gm/L udara. Proses persepsi bau belum
dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme
kimia atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau
disebarkan secara difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat
mencapai epitel olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa
dengan tempaan ringan pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang
mekanismenya, indra penghidu dengan cepat menghilang. 16
Masih sangat sulit untuk melakukan standarisasi uraian ciri-ciri beragam
bau atau pengukuran kadar bau yang dapat dibandingkan dalam suatu uji
laboratorium. Amoore mengidentifikasi tujuh kategori utama dari bau, yang
cukup memadai untuk menjembatani dan menjelaskan semua perbedaan yang
dirasakan. Meskipun banyak peneliti dapat menerima teori ini, namun sistem ini
belum diterima dalarn praktek klinis rutin ataupun sebagai dasar untuk
menentukan derajat kecacatan. Sebaliknya, peneliti sering kali mencoba
membedakan anosmia, hiposmia, penghiduan normal dan parosrnia (penghiduan
yang berubah) memakai suatu zat yang berbau, misalnya minyak cengkeh dalam
berbagai derajat pengenceran pada subjek yang diuji. 16

2. Tahanan Jalan Napas


Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas
nenghantarkan udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli
paru dalam volume, tekanan, kelembaban, suhu dan kebersihan yang cukup,
untuk menjamin suatu kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses
sebaliknya, juga menjanmin proses eliminasi karbon dioksida yang optimal, yang
diangkut ke alveoli lewat aliran darah (Gambar 13). 16

22
Gambar 14. Pola aliran udara melalui hidung16

Hidung dcngan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip
katup dari jaringan erektil konka dan septunr, menghaluskan dan membentuk
aliran udara, mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan
berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembaban
udara). 16
Perubahan tekanan udara di dalam hidung selama siklus pernapasan telah
diukur memakai rinomanometri. Selama respirasi tenang, perubahan tekanan
udara di dalam hidung adalah minimal dan normalnya tidak lebih dari 10-15 mm
H2O, dengan kecepatan aliran udara bervariasi antara 0 sampai 140 ml/menit.
Pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan; udara keluar dari sinus. Sementara pada
ekspirasi tekanan sedikit meningkat; udara masuk ke dalam sinus. Secara
keseluruhan, pertukaran udara sinus sangat kecil, kecuali pada saat mendengus,
suatu mekanisme di mana hantaran udara ke membrana olfaktorius yang melapisi
sinus meningkat. 16
Suatu rentang tahanan jalan napas hidung yang luas telah diamati pada
individu norrnal. Lebih dari 50 persen tahanan jalan napas total selama respirasi
normal merupakan tahanan hidung total. Sebaliknya, hanya 20 persen dari tahanan
pernapasan total dikaitkan dengan jalan mulut pada pernapasan lewat mulut. Pada

23
individu umumnya, terdapat perubahan dari pernapasan hidung menjadi
pernapasan hidung-mulut selama berolahraga dengan meningkatnya kebutuhan
udara. Namun, normalnya terdapat variasi yang cukup luas, saat terjadinya
peralihan tersebut. Meskipun pernapasan mulut jelas lebih mudah, individu
biasanya hanya rnelakukannya pada keadaan stenosis hidung yang tak
terkompensasi atau bila fungsi paru yang buruk tidak mampu mengatasi tahanan
hidung normal. Pada sumbatan hidung total dengan akibat pernapasan lewat
mulut, beberapa peneliti telah nrengamati adanya peningkatan PCo2.
Kecenderungan untuk bernapas lewat hidung telah diperoleh dalam enam bulan
pertama kehidupan dan berlanjut sebagai perlindungan terhadap risiko lewat udara
untuk seumur hidup. 16
Beberapa daerah hidung di mana jalan napas menyempit dapat diibaratkan
sebagai "katup." Pada bagian vestibulum hidung, terdapat dua penyempitan
demikian. Penyempitan yang lebih anterior terletak di antara aspek posterior
kartilago lateralis superior dengan septum nasi. Tiap deviasi septum nasi pada
daerah ini sering kali makin menyempitkan jalan napas dengan akibat gejala
gejala sumbatan jalan napas. Deviasi demikian dapat disebabkan trauma atau
pertumbuhan yang tidak teratur. Penyempitan kedua terletak pada aperfura
piriformis tulang. Kedua daerah ini dapat dianggap sangat bermakna secara klinis
pada kasus-kasus yang cenderung rnembutuhkan koreksi bedah intranasal. 16
Perubahan tahanan hidung yang normal antara hidung kiri dan kanan telah
diperagakan memakai rinomanometri. Volume pernapasan dalam kedua hidung
berubah akibat kongesti dan dekongesti jaringan erektil yang melapisi konka
nasalis di kedua sisi septum. Siklus pada individu normal ditemukan bervariasi
antara l jam hingga 6 jam, dengan rata-rata lanma siklus 2 jam. Fluktuasi ini
bukan merupakan temuan normal pada individu unumnya, karena tahanan hidung
total cenderung menetap pada tingkat yang konstan. 16

24
3. Penyesuaian Udara
Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horisontal hidung
yaitu sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (atau didinginkan)
mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen.16
Suhu ekstrim dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara
mengubah aliran udara (Gambar 14). Hal ini dilakukan melalui perubahan fisik
pada jaringan erektil hidung. 16

Gambar 15. Pengaturan suhu hidung16

4. Purifikasi Udara
Rambut hidung, atau vibrisa pada vestibulum nasi yang berlapis kulit
berperanan dalam filtrasi udara. Lebih nyata pada pria, namun tidak dimengerti
apa peranan perbedaan seks ini dalam kebutuhan filtrasi udara. 16
Anatomi hidung dalam yang iregular menimbulkan arus balik udara
inspirasi, dengan akibat penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring.
Benda asing, termasuk bakteri dan virus (sering kali menggumpal membenluk
partikel besar) akan diekspektorans atau diangkut melalui transpor mukosiliar ke
dalam larnbung untuk disterilkan sekresi lambung.16

25
Gambar 16. Variasi penimbunan pada jalan napas dalam kaitannya
dengan frekuensi pernapasan untuk berbagai ukuran partikel16

Gambar 17. Presentase partikel yang diinhalasi yang melewati


(menembus) rongga hidung dihubungkan dengan ukuran partikel rata-
rata16

Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara saat melewati hidung.
Makin larut air suatu gas, makin sempurna pengeluarannya oleh mukosa hidung.
Polutan seperti hidrogen klorida, sulfur dioksida, dan amonia semuanya sangat
larut dan karena itu dibenihkan sepenuhnya dari udara inspirasi. Sebaliknya,
karbon monoksida dan hidrokarbon mempunyai kelarutan yang sangat rendah dan
langsung menuju paru-paru. 16

26
5. Sitem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.1
Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi
belum tentu ada sekret di rongga hidung. 1

Gambar 18. Anatomi sinus paranasal. 16

6. Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.1

27
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung. 1
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus
dan rongga hidung. 1
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak
mukosa hidung. 1
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. 1
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 1
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruh kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. 1

28
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 1
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis. 1

29
BAB III
MYIASIS HIDUNG

A. Definisi
Miasis hidung adalah adanya infestasi larva lalat dalam rongga hidung. Lalat
Chrysomya bezziana dapat bertelur di organ atau jaringan tubuh manusia, yang
kemudian menetas menjadi larva (ulat = belatung). Sering terjadi pada luka yang
bernanah, luka terbuka, terutama jaringan nekrotik dan dapat mengenai setiap
lubang atau rongga, seperti mata, telinga, hidung, mulut, vagina dan
anus.1,2,3,4,5,6,7,8,9,10

B. Epidemiologi
Myiasis hidung biasanya ditemukan di daerah tropis di mana cuaca hangat dan
lembab memberikan lingkungan yang sangat baik untuk serangan ini. Myiasis
hidung jarang terjadi di negara maju dan Eropa tetapi tidak jarang di negara
berkembang dan tropis seperti India dan negara – negara Afrika. Insidensi miasis
hidung di Korea dan Malaysia masing – masing satu kasus. Genera paling umum
yang menyebabkan miasis di India adalah Chrysomya.4,5
Myiasis hidung akibat Lucilia sericata dan Eristalis tenax dilaporkan terjadi di
Iran, serta kasus miasis hidung nosokomial dilaporkan terjadi di Taiwan. Di
Indonesia, satu kasus miasis hidung pada manusia yang disebabkan oleh
Chrysomyia sp. pernah dilaporkan oleh Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Berdasarkan data rawat inap pasien THT di Rumah Sakit Muhammad Hoesin
Palembang dari Januari 2009 sampai November 2014 didapatkan 3 kasus miasis
hidung. 8

C. Etiologi
Myiasis hidung adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Diptera atau lalat
bersayap. Ada dua sistem utama untuk mengklasifikasikan myiasis yaitu
klasifikasi anatomi dan ekologis. Sistem klasifikasi anatomi pertama kali

30
diusulkan oleh Bishopp, dianggap berguna untuk diagnosis praktis dan untuk
mengklasifikasikan infestasi yang berhubungan dengan lokasi pada host. Karena
satu spesies dapat ditugaskan ke lebih dari satu lokasi anatomis, dan lokasi yang
sama dapat dipenetrasi oleh spesies yang berbeda, maka klasifikasi tersebut
didasarkan pada derajat parasitisme yang ditunjukkan oleh lalat juga
digunakan.3,18
Sistem klasifikasi anatomi didasarkan pada Bishopp, kemudian dimodifikasi
oleh James dan oleh Zumpt. Masing – masing penulis menggunakan istilah yang
berbeda dengan makna yang sama. 3

Gambar 19. Klasifikasi anatomi miasis 3

Klasifikasi ekologis memperhitungkan tingkat parasitisme parasit dan host.


Ketika merancang program pemberantasan wabah untuk rumah sakit atau
kedokteran hewan, perlu untuk mempertimbangkan klasifikasi ekologis bersama
dengan siklus hidup spesies. 3

31
Gambar 20. Klasifikasi ekologi miasis 3

Lalat adalah jenis serangga dari ordo Diptera. Perbedaan yang paling jelas
antara lalat dan ordo serangga lainnya adalah lalat memiliki
sepasang sayap terbang dan sepasang halter, yang berasal dari sayap belakang.
Lalat ada di mana – mana sekitar 150.000 spesies dalam 10.000 genera dan 150
famili. Lalat ini berisi sebagian besar penyakit infeksi yang menginvasi manusia.
Ordo Diptera dibagi menjadi dua subordo, Nematocera dan Brachycera.
Nematocera termasuk sebagian besar lalat pemakan darah yang berfungsi sebagai
vektor untuk berbagai penyakit virus, protozoa, dan cacing, terutama Culicidae.
Jarang, agen di subordo ini dapat menyebabkan myiasis. Brachycera terdiri dari
infraorders. Muscomorphaor infraorder "Cyclorrhapha" (istilah yang digunakan
dalam klasifikasi non-filogenetik) termasuk semua spesies yang menyebabkan
myiasis spesifik dan sebagian besar spesies yang bertanggung jawab untuk
myiasis fakultatif, terutama spesies dalam Calyptratae. 3

32
Gambar 20. Taksonomi Diptera 3

Gambar 21. Taksonomi Calyptratae 3

33
Lalat C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan.
Kepala lalat ini berwarna oranye dengan mata berwarna merah gelap. Perbedaan
antara lalat betina dan jantan terletak pada matanya. Lalat betina memiliki celah
yang memisahkan mata kanan dan kiri lebih lebar dibandingkan lalat jantan.
Ukuran lalat ini bervariasi tergantung pada ukuran larvanya. Panjang tubuhnya
rata-rata 10 mm dengan lebar kepala berkisar rata-rata 4,1 mm. Tidak ada tanda-
tanda makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata
sehingga identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik.11
Telur C. bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan
berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua ujungnya .
Larva C. bezziana terbagi menjadi tiga instar, yaitu instar I, II dan III (L1, L2 dan
L3). Larva ini mempunyai dua belas segmen, yaitu satu segmen kepala, tiga
segmen torak dan delapan segmen abdominal . Ketiga instar tersebut dapat
dibedakan dari panjang tubuh dan warnanya. Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan
diameter 0,25 mm dan berwarna putih, sedangkan L2 mempunyai panjang 3,5 -
5,5 mm dengan diameter 0,5 - 0,75 mm dan berwarna putih sampai krem. Adapun
panjang L3 mencapai 6,1 - 15,7 mm dengan diameter 1,1 - 3,6 mm. Larva instar
III muda berwarna krem namun jika telah dewasa berwarna merah muda. Tubuh
larva dilengkapi bentukan duri dengan arah condong ke belakang. Spirakel
anterior mempunyai empat sampai enam papila sedangkan spirakel posterior
dilengkapi tiga celah dengan peritreme yang kuat dan berwarna kehitaman. Saat
akan menjadi pupa, L3 berubah warna menjadi coklat hingga hitam dengan
panjang rata-rata 10,1 mm yang berdiameter 3,6 mm. 11

Gambar 22. Morfologi tubuh lalat Chrysomya bezziana dewasa 11

34
Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat. Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan L3
memerlukan waktu enam hingga tuj uh hari, selanjutnya L3 akan membentuk
pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat yang akan
bertelur setelah enam hingga tujuh hari. Lalat betina akan meletakkan kumpulan
telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu sekitar 4,1
menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai
245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12 - 24 jam
atau sepuluh jam pada suhu 30°C, selanjutnya LI menuju ke daerah luka yang
basah. Sehari kemudian, LI akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam
jaringan inang. Larva instar II (L2) akan berkembang menjadi L3 pada hari
keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva
tersebut akan membuat terowongan sepanjang 2 - 3 cm untuk menghindari sinar
matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada
suhu 28°C. 11

Gambar 23. Siklus hidup Chrysomya bezziana 11

35
D. Patofisiologi
Myiasis hidung adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Diptera atau lalat
bersayap. Ini sering terlihat di iklim panas dan lembab. Biasanya lazim di
kalangan kelompok sosial ekonomi rendah. Pengembangan larva dari telur
tergantung pada kelembaban dan suhu di sekitarnya. Lalat betina sering tertarik
pada lesi supuratif yang berbau dan meletakkan telurnya di permukaan mukosa,
kulit lunak, dan berbagai bagian tubuh yang terkontaminasi oleh lendir atau
darah.4 Miasis biasanya dimulai ketika lalat tertarik oleh adanya luka dan bertelur
di lesi nekrotik, hemoragik, atau bernanah. Tahap larva berlangsung enam hingga
delapan hari di mana merupakan periode parasitik bagi manusia. Larva ini bersifat
fotofobik dan karena itu cenderung menyembunyikan diri jauh ke dalam jaringan
dan juga untuk menemukan tempat yang cocok untuk berkembang menjadi pupa.
Infeksi bakteri sekunder sering terjadi. Parasitnya selalu bergerak dengan tanda
dan gejala klinisnya selalu muncul tiba – tiba. Gejala utama adalah sensasi benda
asing dan gatal di tenggorokan, diikuti oleh batuk dan manifestasi pernapasan dan
hidung lainnya seperti adanya nasal discharge, epistaksis, bersin, laringospasme,
dyspnoea, dan stridor. 11
Larva melepaskan racun untuk menghancurkan jaringan host. Terkadang dapat
menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa. Perdarahan hidung terus
menerus menunjukkan kerusakan yang disebabkan oleh racun yang dikeluarkan
oleh larva. Destruksi progresif dan kavitasi terjadi ketika larva tumbuh di jaringan
2
tubuh. Adanya erosi pada hidung dan area wajah yang berdekatan yang
menyebabkan selulitis orbital dan selulitis difus pada wajah. 4

E. Gejala Klinis
Miasis hidung mempengaruhi individu dari semua kelompok umur, namun
sering terlihat pada pasien usia setengah baya dan lebih tua dan sama pada kedua
jenis kelamin laki – laki dan perempuan. 3,4
Larva menggali jauh ke dalam jaringan lunak dan memisahkan epitel dan
mucoperiosteum dari tulang dan mendapatkan nutrisi dari jaringan di sekitarnya.

36
Miasis terjadi ketika lalat betina bertelur, yang segera menyebabkan manifestasi
klinis yang terkait dengan lokasi tubuh yang terlibat. 4,11
Tempat paling umum di daerah kepala dan leher yang terkena adalah telinga,
hidung, nasofaring, sinus paranasal, dan kulit. Faktor risiko miasis adalah otitis
media supuratif kronis, status sosial ekonomi rendah, diabetes mellitus, dan
berenang di air yang tergenang. Tingkat keparahan manifestasi klinis pada miasis
hidung tergantung pada lokasi infestasi, lesi, dan peradangan jaringan. Larva
dapat menyebabkan nekrosis yang luas, destruksi daerah intranasal. Mungkin
mencapai jaringan hidung yang lebih dalam dan sinus paranasal. 11
Penderita miasis hidung sering datang dengan epistaksis, nyeri wajah, bau
busuk, sumbatan hidung, nasal discharge, sakit kepala, adanya sensasi benda asing
di dalam hidung, dan disfagia. 2,3,6,8 Pendarahan dapat terjadi dari lesi intranasal
yang terinfestasi di mana jaringan di sekitarnya menjadi edematosa, kaku, dan
mengeluarkan bau menyengat yang khas. Kadang – kadang, miasis hidung
menyebabkan nyeri hebat, tetapi pada lesi karsinomatosa atau jaringan yang
dipicu radiasi, nekrosis dapat merusak ujung saraf di dalam rongga hidung yang
dihancurkan oleh larva selama invasi larva, sehingga mungkin tidak ada rasa sakit.
Lubang hidung kanan lebih sering terkena daripada yang kiri, ini mungkin
disebabkan oleh kecenderungan untuk tidur pada posisi lateral kanan dan
meletakkan jari di lubang hidung kanan oleh orang yang kidal. Seekor lalat tidak
dapat bertelur di kedua lubang hidung pada saat yang bersamaan, namun migrasi
larva dapat terjadi melalui koana ke lubang hidung yang berlawanan. 4

F. Gambaran Endoskopi
Endoskopi nasal diagnostik akan memperlihatkan adanya larva di dalam
rongga hidung. Adanya edema selaput lendir dan ulserasi dari rongga hidung
dengan jaringan nekrotik dapat terlihat selama endoskopi hidung. Sekret purulent
berbau busuk. Pada kasus yang lebih lanjut dapat menyebabkan sumbatan duktus
nasolakrimalis dan perforasi palatum. Larva dapat merayap ke sinus atau ke
intrakranial. 1,2,3,4

37
Gambar 24. Endoskopi menunjukan adanya larva di kavum nasi. 4,19

G. Gambaran Radiologi

1. Gambaran CT Scan
Pemindaian computed tomography (CT) pada hidung dan sinus sangat
membantu untuk mengetahui adanya erosi tulang dan penyebaran larva di luar
area sinonasal. Bagian koronal dan aksial dari CT sinus paranasal sering
menunjukkan penebalan jaringan lunak daerah palatum, septum hidung, dan erosi
dinding tulang hidung dan sinus, dan air cell ethmoid. 2,4,15

38
Gambar 25. CT scan menunjukkan penebalan pada palatum, kavum nasi
kanan dan septum nasi yang terkait dengan penipisan bagian kartilago
septum nasi. 12

Gambar 26. CT scan menunjukkan erosi ringan dari tulang septum nasi,
palatum dan interseluler septa air sel ethmoid. 12

39
1. Gambaran MRI
Pencitraan magnetik resonansi adalah pencitraan pilihan dalam kasus myiasis
hidung untuk menemukan infiltrasi larva ke wajah, orbita, dan otak. 4

Gambar 27. MRI orbita dan sinus paranasal menunjukan adanya larva di
sekitar region orbita kiri.19

40
BAB IV
DIAGNOSIS

A. Anamnesis
Penderita myiasis hidung sering datang dengan epistaksis, nyeri wajah, bau
busuk, sumbatan hidung, nasal discharge, sakit kepala, adanya sensasi benda asing
di dalam hidung, dan disfagia. Pendarahan dapat terjadi dari lesi intranasal yang
terinfestasi di mana jaringan di sekitarnya menjadi edematosa, kaku, dan
mengeluarkan bau menyengat yang khas. Kadang – kadang, miasis hidung
menyebabkan nyeri hebat, tetapi pada lesi karsinomatosa atau jaringan yang
dipicu radiasi, nekrosis dapat merusak ujung saraf di dalam rongga hidung yang
dihancurkan oleh larva selama invasi larva, sehingga mungkin tidak ada rasa sakit.
Lubang hidung kanan lebih sering terkena daripada yang kiri, ini mungkin
disebabkan oleh kecenderungan untuk tidur pada posisi lateral kanan dan
meletakkan jari di lubang hidung kanan oleh orang yang kidal. Seekor lalat tidak
dapat bertelur di kedua lubang hidung pada saat yang bersamaan, namun migrasi
larva dapat terjadi melalui koana ke lubang hidung yang berlawanan.2,3,4,6,8

B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Dengan bantuan alat rhinoskopi dapat terlihat dengan jelas larva yang
tertanam dalam mukosa rongga hidung.8

1) Palpasi
Untuk mengetaui adanya nyeri tekan dapat dilakukan penekanan pada sinus
yang dicurigai mengalami miasis.1

41
C. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan foto polos sinus paranasal


Pemeriksaan foto polos sinus paranasal dengan posisi Waters dan Caldwell
untuk mengidentifikasi penyebaran larva di area sinonasal. 1,8,12

2. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT scan dengan posisi axial, coronal, dan sagital untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi larva dan luasnya kerusakan pada sinus
paranasal.1,8,12

2. Pemeriksaan MRI
Pencitraan magnetik resonansi untuk menemukan infiltrasi larva ke wajah,
orbita, dan otak. 4

3. Pemeriksaan endoskopi
Endoskopi nasal untuk memperlihatkan adanya larva di dalam rongga hidung.

4. Histopatologi
Biopsi tidak diperlukan untuk diagnosis myiasis. Temuan histopatologis
menunjukan ulserasi dengan larva.3,15

D. Diagnosis Banding
Miasis hidung sering terjadi pada daerah lembab, jarang didapatkan di negara
maju, namun sering terjadi di negara berkembang seperti India dan Afrika.
Diagnosis banding nasal miasis yaitu rhinitis alergi, sellulitis, dan luka gigitan
serangga bahkan keganasan.4

E. Penatalaksanaan
Tujuan dari penanganan miasis hidung adalah untuk sepenuhnya
menghilangkan parasit yang menyerang. Penderita miasis hidung membutuhkan

42
rawat inap segera. Pengobatan miasis hidung termasuk tindakan lokal dan
sistemik.4,12

1. Konservatif

a) Non medikamentosa
Terapi larva secara non medikamentosa adalah debridemen dan desinfeksi.
Debridemen adalah pengangkatan debris seluler dan jaringan nekrotik yang
tidak dapat dipertahankan lagi dari dasar luka. Pengangkatan jaringan
nekrotik, yang bertindak sebagai substrat mikroba, juga dapat mengurangi
risiko infeksi. Debridemen luka dengan cepat dan efektif tanpa merusak
jaringan yang masih bias dipertahankan. Larva adalah fotofobik dan secara
alami akan bergerak ke celah – celah yang dalam yang mungkin berada di luar
jangkauan pisau bedah.4,8,10
Beberapa mekanisme telah disarankan untuk desinfeksi, termasuk irigasi
mekanis sederhana dari luka dengan peningkatan sekresi / ekskresi yang
dihasilkan oleh larva, aksi midgut commensal Proteus mirabilis pada bakteri
yang dicerna, dan eliminasi produk antibakteri dari larva hidup. 3,4,8,10

b) Medikamentosa
Pengobatan sistemik pada miasis hidung termasuk antibiotik spektrum luas
ketika lesi terinfeksi sekunder. Pengobatan topikal atau lokal termasuk
aplikasi minyak terpentin, eter, kloroform, minyak mineral, etil klorida,
merkuri klorida, creosote, saline, butazolidine sistemik, atau thiabendazole
untuk menghilangkan larva. Komplikasi serius miasis hidung dapat dicegah
dengan perawatan yang cepat. Seiring dengan antibiotik spektrum luas
profilaksis biasanya diberikan untuk mengendalikan infeksi sekunder,
vaksinasi dapat dipertimbangkan dalam penyakit ini karena miasis hidung
dapat bertindak sebagai pintu masuk portal untuk Clostridium tetani.
2,3,4,8,9,12,13,14

43
Penanganan oral miasis manusia didasarkan pada laporan anekdotal, dan
sebagian besar pengalaman berasal dari kedokteran hewan. Ivermectin, agen
semisintetik macrolide (berasal dari bahan alami, avermectin, yang diperoleh
dari actinomycetes), kerjanya dengan memblokir impuls saraf pada ujung
saraf melalui pelepasan gamma amino butyric acid, yang menyebabkan
kelumpuhan dan kematian parasit berikutnya. adalah agen yang paling umum
digunakan untuk pengobatan myiasis. Diperkenalkan untuk penggunaan medis
pada 1980-an sebagai obat antiparasit broadspectrum, ivermectin terbukti
efektif terhadap sebagian besar parasit usus, sebagian besar arthropoda, dan
beberapa nematoda. Penggunaan medis pada manusia dimulai sebagai
pengobatan aprofilaktik fibrosis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus,
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Akhir-akhir ini, itu
juga telah digunakan untuk pengobatan skabies, dengan hasil yang sangat
baik. 2,3,4
Berbagai terapi kimia telah diadopsi untuk ivermectin agar digunakan
dalam pengobatan miasis: hanya satu dosis oral 150 hingga 200 mg / kg berat
badan adalah dosis yang paling sering diresepkan. Efek yang mungkin tidak
diinginkan dari ivermectin terdiri dari erupsi kulit, demam, pusing, migrain,
nyeri otot, dan nyeri sendi dan limfatik. Meskipun menjanjikan, penggunaan
ivermectin untuk pengobatan myiasis adalah pengobatan yang tidak diberi
label di banyak negara dan harus disediakan untuk kasus-kasus tertentu. Tidak
ada penelitian double-blind terkontrol yang mengukur dampak penggunaan
ivermectin pada myiasis. Sangat sulit untuk merancang penelitian terkontrol
yang baik, karena myiasis mewakili sekelompok besar proses patologis yang
disebabkan oleh beragam agen. Bahkan kasus miasis luka yang disebabkan
oleh agen yang sama mungkin tidak sepenuhnya sebanding: jumlah larva,
jenis lesi, dan adanya nekrosis dapat bervariasi antara kasus. 2,3,4
Agen lain untuk penanganan oral miasisis yaitu tiabendazole. Ini telah
digunakan untuk pengobatan belatung O. ovis yang belum matang pada
domba, dan dalam satu kasus myiasis manusia yang disebabkan oleh A. baeri,
dengan pengobatan yang berhasil. 2,3,4

44
2. Operatif
Penanganan pada miasis hidung sering dilakukan dengan operasi
pengangkatan larva dengan bantuan endoskopi. Dengan bantuan endoskopi dapat
dilihat larva secara langsung. Dengan bantuan forcep larva diangkat dari mukosa
sampai larva terangkat seluruhnya.3,4,6,12 Larva dapat menyebabkan nekrosis yang
luas, pengelupasan, dan penghancuran jaringan lunak intranasal dan menyebar ke
daerah yang tidak dapat dijangkau dari hidung dan sinus paranasal. Dalam kasus –
kasus seperti itu, larva sangat sulit dilepaskan, sehingga dibutuhkan beberapa
kelengkapan untuk menghilangkan larva. Prosedur endoskopi hidung lebih unggul
daripada ekstraksi manual larva dari rongga hidung. Oleh karena itu,
penanganannya mencakup pengangkatan larva, antibiotik spektrum luas, dan
ivermectin oral sebagai antibiotik makrolida semisintetik. Pada miasis nasal,
pengangkatan larva dengan menanamkan eter anestesi dan minyak terpentinin
secara lokal dengan perbandingan 1:4 dan pengangkatan larva secara hati – hati
13
adalah pengobatan terbaik. Minyak terpentin tidak membunuh larva tetapi
membantu mereka keluar dari jaringan nekrotik yang dalam. Semua larva dari
rongga hidung tidak dapat dihilangkan dalam sekali pengangkatan karena larva
sering bersembunyi di jaringan yang lebih dalam, jadi membutuhkan banyak kali
pengangkatan total. Dengan demikian, pengangkatan larva yang cepat dan
lengkap dari rongga hidung dimungkinkan sebelum menyebabkan kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki pada jaringan di sekitarnya. 3,4,8,10

F. Pencegahan
Sanitasi yang buruk mungkin merupakan faktor risiko paling penting untuk
miasis manusia. Status sosial ekonomi rendah, terutama di negara – Negara
miskin, memil kurangnya sanitasi dasar dan pembuangan sampah yang tidak
memadai, meninggalkan bahan organik yang terbuka yang menarik serangga.
Sanitasi yang memadai hanya dapat dicapai jika pemerintah, populasi, dan
program pendidikan bekerja bersama. Tindakan individu juga harus dilaksanakan
termasuk pengosongan tempat sampah, mencuci makanan dan melakukan inspeksi
visual terhadap makanan sebelum dikonsumsi, menyimpan makanan di wadah

45
yang memadai, memastikan luka dibersihkan dan berpakaian yang bersih. Sanitasi
yang baik dapat mencegah kasus miasis. Di daerah endemisitas, tidur telanjang di
luar ruangan, dan di lantai harus dihindari. Tindakan pencegahan yang tepat akan
membantu menghindari infestasi. Penggunaan layar penghalang untuk mencegah
lalat sampai ke kulit. Penggunaan bahan pengusir serangga yang mengandung
diethyltoluamide (DEET). Mengeringkan pakaian di bawah sinar matahari dan
menyeterika adalah metode yang efektif. Tindakan pencegahan umum lainnya
termasuk mengenakan pakaian lengan panjang, menutupi luka, dan menghindari
tidur di luar ruangan. Semua metode keselamatan harus digunakan, termasuk
semprotan udara, pemusnahan bangkai, dan pembersihan sampah di dekat rumah.3

G. Komplikasi
Larva di dalam hidung dapat menyebabkan komplikasi orbital. Ada beberapa
area lemah di dinding orbital seperti lamina papyracea dan kanal infraorbital di
dasar orbita tempat penyebaran larva terjadi pada orbita. Infestasi larva di hidung
adalah situasi klinis yang sangat berbahaya karena ada kemungkinan penetrasi ke
ruang intrakranial. Larva dapat menembus lateral ke sinus paranasal dan dalam
beberapa kasus menembus ke inferior dan menyebabkan perforasi palatum.8,15

H. Prognosis
Prognosis miasis hidung dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh
sepsis dan meningitis. 1

46
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga hidung tenggorok, kepala dan leher. Edisi 7. Jakarta: FKUI,
2012. p.122-130
2. Lageju N, Shahi SC. 2015. Nasal myiasis presented with palatal perforation: a
Case report. JMCJMS. vol. 3 (1):56-59.
3. Francesconia F, Lupi O. Myiasis. CMR. 2012. vol. 25, no. 1.
http://cmr.asm.org/
4. Swain SK, Sahu MC, Baisakh MR. Nasal myiasis in clinical practice. Apollo
Medicine. 2019. 1 February 2019 http://www.apollomedicine.org
5. Nazni WA, JefferY J, Lee HL, et al. 2011. Nosocomial nasal myiasis in an
intensive care unit. Malaysian J Pathol 2011; 33(1) : 53 – 56
6. Herdiana F, Nurdian Y. 2017. Myiasis of ears and nose are dangerous because
of the capability of the larva to penetrate into the brain and the tissue damage
due to inflammatory reaction and secondary bacterial infection.
http://www.researchgate.net/puclication/321904542
7. Duraipandi K, Gupta N, Karunakaran A, et al. 2016. Naso-ophthalmic myiasis
and pubic louse infestation of nose. Journal of Case Reports, vol. 6, no. 1.
8. Zuleika P. 2015. Penatalaksanaan Tiga Kasus Miasis Hidung.
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya / RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
9. Zakaria PB, Abdelhalim R. Report of a case of human nasal myiasis caused by
second instar larvae of oestrus ovis in CHU Oran: Review of Literature. 2017.
Imedpub journal. Vol. 1 No. 3:9. http://www.imedpub.com/applied-
microbiology-and-biochemistry
10. Hidayat R, Rahaju P, Surjotomo H, Dwijo M. 2016. Case Report: Myiasis on
Peristoma Tracheostomy. Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol. 29, no. 1
11. Wardhana AP. 2006. Chrysomya bezziana penyebab myiasis pada he wan dan
manusia: permasalahan dan penanggulangannya. Wartazoa. vol. 16. no. 3.

47
12. Thomas S, Nair P, Hegde K, Kulkarni A. 2010. Nasal myiasis with orbital and
palatal complications. BMJ Case Reports
13. Mircheraghi SF, Riabi HRA, Parsapour A. 2016. Nasal Nosocomial Myiasis
Infection Caused by Chrysom y a be zziana (Diptera: Calliphoridae)
Following the Septicemia: A Case Report. Iran J Parasitol. vol. 11, no. 2,p.
284-289. http://ijpa.tums.ac.ir
14. Manjunath NM, Pinto PM. 2018. Management of recurrent rhinomaxillary
mucormycosis and nasal myasis in an uncontrolled diabetic patient. IJABMR.
31 Januari 2019. http://www.ijabmr.org
15. Hoyer P, Williams RR, Lopez M, Cabad MM. Human nasal myiasis caused by
oestrus ovis in the highlands of cusco, peru: report of a case and review of the
literature. Hindawi Publishing Corporation. http://dx.doi.org/10.1155
/2016/2456735
16. Adams GL, Boies L, Higler P. Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997.
17. Landis BN. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Unité
de Rhinologie-Olfactologie Service d’Oto-Rhino-Laryngologie et de Chirurgie
cervicofaciale, Hôpitaux Universitaires de Genève, Suisse
18. Derraik JGB, Heath ACG, Rademaker M. 2010. Human myiasis in New
Zealand: imported and indigenously-acquired cases; the species of concern
and clinical aspects. NZMJ., Vol 123 No 1322
19. Singh K, Prepageran N, Nor KM. 2017. Nasal cavity myiasis presenting with
preseptal cellulitis. Acta Oto-Laryngologica Case Reports, 2017 vol. 2, no. 1,
26–28
20. Mescher LA. Histologi Dasar Junqueira. Edisi 12. Jakarta: EGC, 2011. p.295

48

Anda mungkin juga menyukai