Anda di halaman 1dari 7

Status Waspada Gunung Anak

Krakatau Erupsi Setinggi 1.000 Meter

Gunung Anak Krakatau Erupsi Setinggi 1.000 Meter, Status Waspada


Kompas.com - 25/06/2018, 20:03 WIB Gunung Krakatau(Tamasyeah.com/Alfitrahmat
Saputro) LAMPUNG, KOMPAS.com - Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi, Senin
(25/6/2018) pukul 07.14 WIB. Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
melaporkan, Gunung Anak Krakatau erupsi dengan tinggi kolom abu 1.000 meter di atas

puncak kawah atau pada ketinggian 1.305 meter di atas permukaan laut. Sutopo
Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, erupsi
melontarkan abu vulkanik dan pasir. Erupsi, sambung Sutopo, tidak membahayakan
penerbangan pesawat terbang. VONA (Volcano Observatory Notice For Aviation)
orange. Baca juga: Nelayan Masih Dilarang Mendekat ke Gunung Anak Krakatau Erupsi
juga tidak berbahaya selama berada di luar radius 1 km dari puncak kawah. Selain itu
erupsi juga tidak membahayakan pelayaran di Selat Sunda.

"Status Gunung Anak Krakatau tetap Waspada (Level 2)," ujar Sutopo dalam rilis
yang diterima Kompas.com, Senin (25/6/2018). "Status Waspada ditetapkan sejak 26
Januari 2012 hingga sekarang. Tidak ada perubahan status Gunung Anak Krakatau,"
tambahnya. Sutopo mengatakan, status Waspada artinya aktivitas vulkanik di atas
normal sehingga erupsi dapat terjadi kapan saja. "Erupsi Gunung Anak Krakatau
adalah hal yang biasa.
Gunung ini masih aktif untuk tumbuh besar dan tinggi dengan melakukan erupsi,"
tuturnya. Gunung Anak Krakatau baru muncul dari permukaan laut tahun 1927. Rata-
rata tambah tinggi 4-6 meter per tahun. Energi erupsi yang dikeluarkan juga tidak
besar. Sangat kecil sekali peluang terjadi letusan besar seperti letusan Gunung
Krakatau pada 1883. "Bahkan beberapa ahli mengatakan tidak mungkin untuk saat ini.
Jadi tidak perlu dikhawatirkan," bebernya. Aktivitas Vulkanik Meningkat Sutopo
mengaku, sejak 18 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau memang mengalami peningkatan
aktivitas vulkanik. Ada pergerakan magma ke luar permukaan sehingga terjadi erupsi.
Menurut PVMBG pada 18 Juni 2018, selain gempa vulkanik dan tektonik, mulai terekam
gempa tremor menerus dengan amplitudo 1 – 21 mm (dominan 6 mm).

Pada 19 Juni 2018, gempa Hembusan mengalami peningkatan jumlah dari rata-
rata 1 kejadian per hari menjadi 69 kejadian per hari. Selain itu mulai terekam juga
gempa low frekuensi sebanyak 12 kejadian per hari. Gempa Tremor menerus dengan
amplitude 1 – 14 mm (dominan 4 mm). Baca juga: Jika Erupsi Merapi Tak Eksplosif,
Lelehan Magma Akan Mengarah ke Kali Gendol Pada 20 Juni 2018, terekam 88 kali
gempa hembusan, 11 kali gempa low frekuensi dan 36 kali gempa Vulkanik Dangkal.

Tanggal 21 Juni 2018, terekam 49 kali gempa Hembusan, 8 kali gempa Low
Frekuensi, 50 kali gempa Vulkanik Dangkal dan 4 kali gempa Vulkanik Dalam. "Secara
visual terlihat erupsi mengeluarkan abu dan pasir. Tipe letusannya strombolian yang
terjadi erupsi secara berkala pada saat itu," ungkapnya. Sutopo mengimbau,
masyarakat tetap tenang. BPBD Provinsi Banten, BPBD Provinsi Lampung, PVMBG dan
BKSDA telah melakukan langkah antisipasi. "Yang penting masyarakat mematuhi
rekomendasi tidak melakukan aktivitas di dalam radius 1 km dari puncak kawah. Di luar
itu aman. Justru dapat menikmati fenomena erupsi Gunung Anak Krakatau dari tempat
aman,"pungkasnya.
Tsunami akibat longsor Anak Krakatau:
Bagaimana gunung api dapat jadi
pemicu

Tidak ada seorang pun yang memprediksinya. Tidak ada peringatan apa pun.
Namun diyakini bahwa longsor bawah laut di sisi barat daya gunung api Anak
Krakatau menjadi penyebab utama tsunami yang mematikan di Selat Sunda hari
Sabtu lalu.

Tentu saja semua orang di daerah tersebut tahu tentang Anak Krakatau,
gunung api yang terbentuk kurang dari satu abad yang lalu. Namun, letusan dan
gemuruh yang ditimbulkannya oleh para ahli dalam negeri, hanya dideskripsikan
sebagai aktivitas vulkanik berskala rendah dan semi-kontinu.

 LANGSUNG: Tsunami Selat Sunda


 Muncul kecemasan tsunami akan terjadi lagi karena gunung Anak Krakatau terus
meletus
 Mengapa 'wisata gunung berapi' tetap marak, walaupun berisiko dan berbahaya?

Dengan kata lain, kegiatan vulkanik tersebut sudah menjadi bagian latar
belakang hidup sehari-hari di sana.

Namun, sudah diketahui secara luas bahwa gunung api mampu menimbulkan
gelombang besar. Hal itu terjadi karena pemindahan volume air dalam skala besar.

Gambar satelit pertama yang didapat setelah kejadian Sabtu lalu menunjukkan sisi
barat-barat daya gunung api itu ambruk selama erupsi. Hal tersebut menyebabkan jutaan
debu bebatuan masuk ke dalam laut, mendorong gelombang ke segala arah.
Profesor Andy Hooper dari Universitas Leeds, Inggris, seorang ahli gunung api,
menyatakan keraguannya akan interpretasi itu saat mempelajari gambar-gambar dari radar
pesawat Europe's Sentinel-1.

"Selain bertambahnya ukuran kawah, terdapat fitur-fitur gelap baru di sisi barat yang
mengindikasikan bayangan lereng curam, mungkin karena ambruknya sisi gunung api dan
perubahan pada garis pantai."

Perbandingan antara gambar di hari Sabtu dan gambar Sentinel mengungkapkan hal
itu. Namun, anatomi presisi kejadian tidak dapat diketahui sampai tim meninjau langsung
area gunung api dan melakukan studi komprehensif.

Studi seperti itu belum bisa dilakukan sekarang karena masih terlalu bahaya.
Runtuhan-runtuhan yang terjadi kemudian dapat menyebabkan tsunami.

Sudah sejak lama para peneliti sudah mempelajari Anak Krakatau -yang
terbentuk di tempat yang sama dengan Gunung Krakatau yang meletus pada tahun
1883.
Ada pula sebuah kelompok yang memperagakan tentang apa yang akan terjadi jika sisi
barat daya gunung api -sisi yang dianggap paling tidak stabil- itu ambruk.
Gelombang setinggi 10 meter akan menerjang pulau-pulau sekitarnya seperti
Sertung, Panjang, dan Rakata dalam waktu kurang dari satu menit, kata tim
tersebut.
 Seventeen Band yang jadi korban tsunami: Basis dan manajer tewas, sebagian pemain
dan kru masih belum ditemukan
 Benarkah letusan gunung Anak Krakatau sebabkan tsunami Selat Sunda?
 Tsunami sudah menerjang Indonesia sejak tahun 416

Oleh karena gelombang itu menyebar di seluruh Selat Sunda, gelombang itu
akan terpecah dan menerpa daratan dengan ketinggian satu sampai tiga meter.

Skenario tersebut luar biasa, khususnya terkait dengan waktu air masuk ke
darat. Pengukur air pasang di Selat Sunda merekam tingginya permukaan air sekitar
setengah jam setelah erupsi terakhir Anak Krakatau, sekitar pukul 9 malam pada hari
Sabtu. Dalam model yang sudah dibuat, masuknya air itu terjadi dalam jangka waktu
yang beberapa menit lebih lama.

Area ini akan menjadi subyek penelitian yang intens beberapa minggu ke depan.

Tsunami yang disebabkan tanah longsor -atau ambruknya bebatuan- bisa


berskala sangat besar. Dalam catatan geologi, hal tersebut merupakan penyebab
dari berbagai bencana besar.

Dalam peristiwa tahun 2017 di Greenland, gelombang setinggi 100 meter yang
disebabkan longsoran bebatuan memasuki fyord -celah sempit yang jauh masuk ke
darat di pantai daerah pegunungan yang curam dan berbatu-batu- di sisi sebelah
barat negeri itu.
Lalu Tsunami yang menerpa Pulau Sulawesi pada September lalu, setidaknya
beberapa bagiannya, juga diduga jadi berskala raksasa akibat pergerakan sedimen,
baik yang memasuki perairan dari arah pantai atau yang menjelajahi lereng bawah
laut di Teluk Palu.

Kemungkinan penyebab tsunami

Salah satu hal yang memilukan dalam kejadian seperti ini adalah melihat video orang-
orang yang tidak tahu, bencana apa sebenarnya yang menyongsong mereka.

Jika terjadi gempa bumi besar yang berkaitan dengan erupsi Anak Krakatau,
orang-orang itu mungkin dapat mengambil langkah antisipasi.

Walaupun ada laporan aktivitas seismik, tetap tidak cukup signifikan untuk
membuat orang bersiap-siap. Mereka harus mengandalkan diri sendiri untuk
menyelamatkan diri karena dalam kasus seperti ini, jarak mereka dengan sumber
tsunami sangatlah pendek.

"Buoy tsunami dipasang untuk mengumumkan bahwa terjadi tsunami yang


berasal dari gempa bumi pada batas-batas lempeng tektonik. Walaupun terdapat
buoy di sekitar Anak Krakatau, buoy itu terlalu dekat dengan garis pantai yang
terdampak sehingga, waktu peringatan akan menjadi sangat minim mengingat
kecepatan tsunami," Profesor Dave Rothery dari Universitas Terbuka Inggris.

Peristiwa ini dan peristiwa di Palu, di mana orang-orang tidak siap menghadapi
bencana, menunjukkan bahwa investigasi lebih jauh dibutuhkan untuk daerah-
daerah rawan bencana.

Riset-riset besar telah menyimpulkan apa yang disebut dengan gempa bumi
subduksi dan tsunami, seperti bencana di tahun 20004 yang bersumber dari Palung
Sunda, di mana lempeng-lempeng tektonik menukik satu sama lain. Sains perlu
memberi perhatian lebih terhadap ancaman-ancaman besar tsunami terhadap
daerah-daerah tertentu.

Hal tersebut diungkapkan dalam Rapat Persatuan Geofisik Amerika -


pertemuan peneliti sedunia terbesar yang diadakan setiap tahun.

"Fokus akan selalu diberikan kepada daerah yang terdampak," ujar Profesor
Hermann Fritz dari Institut Teknologi Georgia, Amerika Serikat, saat konferensi itu.

"Kami selalu memberi perhatian pada Sumatera dan Jawa, dua pulau dengan
palung subduksi yang besar. Pusat peringatan selalu berfokus ke sana - karena kita
mengalami bencana besar, seperti di Jepang (2011), Chile pada tahun 2010 dan
Sumatera pada tahun 2004 ,"kata Hermann Fritz.

"Semua itu adalah peristiwa yang terkait dengan zona subduksi klasik, maka
semuanya berfokus ke sana- sains dari para ilmuwan dan peringatan-peringatan dari
pusat-pusat peringatan."
BMKG: Status Waspada, Gunung
Anak Krakatau Erupsi Selasa Siang Ini

Letusan Gunung Anak Krakatau itu dengan tinggi kolom abu teramati
600 meter di atas puncak (938 meter di atas permukaan laut).
tirto.id - Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan,
mengalami erupsi dengan tinggi kolom abu teramati 600 meter di atas puncak
atau 938 meter di atas permukaan laut, Selasa (6/11/2018) pukul 10.00 WIB.

Hal ini disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)


dalam rilisnya hari ini. Kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas
tebal condong ke arah utara.

Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 58 mm dan


durasi 54 detik.

Saat ini, Gunung Anak Krakatau berada pada Status Level II (Waspada)
dengan rekomendasi masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati
kawah dalam radius 2 km dari kawah.

Pada Senin hingga Selasa dini hari, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda,
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung mengalami kegempaan
letusan 281 kali dan visual malam hari dari CCTV teramati sinar api serta
lontaran material pijar ke segala arah.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam rilis


meneruskan laporan aktivitas Gunung Anak Krakatau oleh Deny Mardiono
AMd, staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG Pos Pengamatan
Gunung Anak Krakatau periode pengamatan 5 November 2018, pukul 00.00
sampai dengan 24.00 WIB, terdengar suara dentuman dan dirasakan getaran
dengan intensitas lemah hingga kuat (kaca dan pintu Pos Pengamatan
Gunung Anak Krakatau bergetar), ombak laut tenang.

Gunung Anak Krakatau itu sepanjang pengamatan menunjukkan aktivitas


kegempaan Letusan 281 kali, amplitudo 40-58 mm, durasi 24-120 detik.
Embusan 28 kali, amplitudo 6-24 mm, durasi 17-61 detik.

Selain itu, Tremor Harmonik 4 kali, amplitudo 7-39 mm, durasi 11-77 detik.
Vulkanik Dangkal 13 kali, amplitudo 7-40 mm, durasi 5-17 detik. Vulkanik
Dalam 6 kali, amplitudo 40-45 mm, S-P 1-2,2 detik, durasi 13-17 detik.
Kegempaan Tremor Menerus (Microtremor) terekam dengan amplitudo 2-27
mm (dominan 8 mm).

Gunung api di dalam laut dengan ketinggian 338 meter dari permukaan laut
(mdpl).

Kondisi cuaca cerah, berawan, mendung, dan hujan. Angin bertiup lemah ke
arah timur dan barat. Suhu udara 25-31 derajat Celsius, kelembapan udara
68-92 persen, dan tekanan udara 0-0 mmHg.

Kondisi gunung kabut 0-III. Asap kawah tidak teramati.

Kesimpulannya, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau Level II (Waspada),


sehingga direkomendasikan masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan
mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah.

Anda mungkin juga menyukai