1. Etiologi
2. Patogenesa
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum adalah bahwa adanya dorongan terus untuk
buang air besar. Rektum terasa "penuh" atau bisa mengalami sembelit (tidak
dapat memiliki gerakan usus).
Gejala ringannya seperti nyeri di daerah anus dan iritasi ringan rektum.
Gejala yang lebih serius dapat terjadi, seperti nanah dan darah pada cairan
disertai spasme dan rasa sakit saat buang air besar.
4. Pemeriksaan Fisik
3. USG
Tes pencitraan menggunakan gelombang suara untuk menyediakan
gambar kolon. Alat ini dapat membantu dalam mengesampingkan gangguan
lain, seperti penyakit inflamasi usus. Untuk prosedur, alat yang disebut
transduser yang memancarkan gelombang suara disepanjang abdomen.
Informasi yang ditangkap oleh transduser tersebut dikirim ke komputer
yang menghasilkan gambar.
4. Abdomen Computerized Tomography (CT) scan.
Terkadang CT-Scan digunakan untuk menyingkirkan kondisi-kondisi
lain yang dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan proctitis. Tes ini
menggunakan teknologi canggih X-ray untuk menghasilkan gambar
penampang kolon, dan mungkin dapat mendeteksi penebalan dinding kolon.
5. Penatalaksanaan
Perawatan Medis
Pembedahan
Jika penyakit timbul dari penyakit kronis, pembedahan mungkin
diperlukan atau rujuk kedokter spesialis.
Follow – Up
Follow up merupakan bagian dari terapi proctitis. Pemberian
antibiotik harus diselesaikan. Tidak melakukan hubungan seksual selama
terapi dan mengunjungi dokter setelah 1-2 minggu setelah peradangan
membaik atau melanjutkan terapi jika gejala bertambah buruk.
Fisura anal
Fisura Anal adalah retak atau robeknya jaringan sensitif pada dubur
yang disebabkan oleh keluarnya feses (tinja) yang keras dan besar.
Gejalanya dapat berupa rasa nyeri ketika mengeluarkan feses yang keras
atau besar, ada bercak darah di kertas toilet atau celana dan gatal disekitar
dubur. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur namun paling sering
terjadi pada bayi, anak-anak dan orang dewasa di atas 60 tahun dan lebih
sering terjadi pada perempuan dari pada laki-laki.
7. Komplikasi
Severe bleeding
Anemia
Recto – vaginal fistulas ( women )
Anal fistula
HEMOROID
A. Definisi
1. Derajat I :
Terdapat perdarahan merah segar pada rectum pasca defekasi
Tanpa disertai rasa nyeri
Tidak terdapat prolaps
Pada pemeriksaan anoskopi terlihat permulaan dari benjolan hemoroid yang
menonjol ke dalam lumen
2. Derajat II :
Terdapat perdarahan/tanpa perdarahan sesudah defekasi
Terjadi prolaps hemoroid yang dapat masuk sendiri (reposisi spontan)
Hemorrhoid Grade II
3. Derajat III :
Terdapat perdarahan/tanpa perdarahan sesudah defekasi.
Terjadi prolaps hemoroid yang tidak dapat masuk sendiri jadi harus didorong
dengan jari (reposisi manual)
4. Derajat IV :
Terdapat perdarahan sesudah defekasi
Terjadi prolaps hemoroid yang tidak dapat didorong masuk (meskipun
sudah direposisi akan keluar lagi)
Hemorrhoid Grade IV
B. Etiologi
1. Perdarahan
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemoroid interna
akibat trauma oleh feces yang keras. Darah yang keluar adalah darah segar
yang tidak bercampur dengan feces (hematochezia), dengan kuantitas yang
bervariasi, kadang menetes tapi kadang juga memancar deras. Bila
perdarahan ini terjadi berulang-ulang dapat menyebabkan anemia.
2. Nyeri hebat
3. Benjolan
Bila hemoroid semakin besar maka dapat menonjol keluar, mula-mula
hanya waktu defekasi dan setelah selesai defekasi benjolan tersebut dapat
masuk sendiri secara spontan (derajat II). Tahap berikutnya setelah keluar
waktu defekasi tidak dapat masuk sendiri dan harus dimasukan secara
manual (derajat III). Kemudian hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk
yang mengalami prolaps menetap dan tidak dapat didorong masuk lagi.
(derajat IV)
4. Keluarnya Mukus dan Feces pada pakaian dalam
5. Pruritus ani
D. Pemeriksaan
1. Inspeksi
Pada inspeksi, hemoroid eksterna mudah terlihat apalagi sudah
mengandung trombus. Hemoroid interna yang prolaps dapat terlihat sebagai
benjolan yang tertutup mukosa. Untuk membuat prolaps dapat dengan
menyuruh pasien untuk mengejan.
2. RT
Pada colok dubur, hemoroid interna biasanya tidak teraba dan juga
tidak sakit. Dapat diraba bila sudah ada trombus atau sudah ada fibrosis.
Trombus dan fibrosis pada perabaan padat dengan dasar yang lebar.
3. Anoskopi
Dengan cara ini kita dapat melihat hemoroid interna. Penderita
dalam posisi litotomi. Anaskopi dengan penyumbatnya dimasukkan dalam
anus sedalam mungkin, penyumbat diangkat dan penderita disuruh bernafas
panjang. Benjolan hemoroid akan menonjol pada ujung anaskop. Bila perlu
penderita disuruh mengejan supaya benjolan dapat kelihatan sebesar-
besarnya.
Pada anaskopi dapat dilihat warna selaput lendir yang merah
meradang atau perdarahan, banyaknya benjolan, letaknya dan besarnya
benjolan.
4. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa keluhan
bukan disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat
yang lebih tinggi (rektum/sigmoid), karena hemoroid merupakan keadaan
fisiologik saja atau tanda yang menyertai.
5. Pemeriksaan Feces
Diperlukan untuk mengetahui adanya darah samar (occult
bleeding).
E. Diagnosa Banding
Carcinoma kolorektal
Divertikulitis
Kolitis ulserosa
Polip adenomatosa
F. Komplikasi
1) Perdarahan akut dan banyak dapat menyebabkan syok hipovolemik,
sedangkan perdarahan kronis berulang dapat menyebabkan anemia.
2) Hemoroid interna yang mengalami prolaps dapat menjadi irreponibel,
terjadi inkarserasi, dapat berlanjut menjadi trombosis melingkar dan dapat
menyebabkan nekrosis mukosa dan kulit yang menutupinya.
3) Emboli septik dapat terjadi melalui sistem portal dan dapat menyebabkan
abses hati.
4) Proktitis dapat berkembang menjadi abses, ini seringkali berlanjut menjadi
fistel ani.
5) Fisura ani yaitu koreng di saluran anus, berbentuk lonjong mulai dari linea
dentata sampai ke pinggir anus.
G. Penatalaksanaan
1. Hemoroid Eksterna
2. Hemoroid Interna
Pengobatan hemoroid interna tergantung dari derajat hemoroidnya.
Metode stapled : yaitu dengan cara mengupas mukosa rektum. Metode ini
lebih unggul dan lebih banyak dipakai karena perdarahannya dan nyeri post
operasinya berkurang dibandingkan dengan metode yang lain.
Dalam melakukan operasi diperlukan narkose yang dalam karena sfingter
ani harus benar-benar lumpuh.
Hemorroidektomi Stappler
Tehnik operasi terbaru untuk hemoroid / wasir. Tindakan operasi ini
adalah tindakan yang amat minimal invasif. Dan dari penelitian yang
dilakukan, setelah operasi memakai tehnik ini rasa nyeri nya amat sangat
sedikit serta masa rawat inap nya lebih pendek dibandingkan tehnik operasi
yang konvensional. Meskipun banyak faktor juga yang mempengaruhi tapi
secara garis besar tehnik operasi ini lebih baik dibandingkan tehnik operasi
terdahulu dengan catatan hanya untuk kasus yang betul-betul
direkomendasikan untuk memakai tehnik ini. Sisa jaringan yang di eksisi
akan tetap berada seanatomis mungkin, artinya tidak banyak jaringan sehat
yang ikut rusak.
Carcinoma kolorektal
Divertikulitis
Kolitis ulserosa
Polip adenomatosa
FISSURA ANI
A. Patofisiologi
Keighley membagi fissura ani menjadi:
Fissura ani biasanya terjadi pada bagian anterior dan posterior, diduga
daerah ini merupakan daerah lemah. Ketika feses melewati anal canal,
massa akan disalurkan ke bagian anterior dan posterior oleh karena adanya
otot pada bagian lateral.Fissura akan meningkatkan kontraksi internal anal
sphincter dan meningkatkan tekanan istirahat pada anal canal. Peningkatan
tekanan menyebabkan iskemia pada area disekitar fissura. Adanya spasme
yang berulang pada anal canal dan adanya iskemia yang berlanjut akan
menyebabkan fissura menjadi kronis oleh karena ulkus yang tidak
dapatsembuh.
Dasar fissura ani akut merupakan suatu lapisan tipis putih yang melapisi
jaringan ikat submucosa dan otot longitudinal,yang menyebar dari
intersphinteric groove kemudian melapisi otot sirkular sphincter interna.
Sedangkan dasar dari fissura ani kronis tampak serat otot sphincer interna.
Pada fissura ani akut ulkus tampak berbatas tegas,tidak terdapat
indurasi,odema atau kavitasi. Pada fissura ani kronik tampak tepi ulkus
mengalami indurasi dan apabila proses berlanjut ulkus akan bertambah luas
dan bagian luar tampak odematous oleh karena adanya obstruksi
lymphatik,skin tag dan hypertropi papila anus dapat di temukan dalam
keadaan fissura ani kronis.
B. Manifestasi Klinik
1. Anamnesis
Nyeri didaerah rektum, biasanya digambarkan seperti rasa terbakar, rasa
terpotong, atau seperti terasa robekan.
Nyeri sejalan dengan kontraksi usus; spasme anus perlu dicurigai terjadinya
fissura ani.
Buang air besar berdarah :
- Khas, ditemukannya darah warna merah terang pada permukaan feses.
Darah biasanya tidak bercampur dengan feses.
- Kadang-kadang, darah ditemukan pada tisue toilet saat membersihkan anus.
Mucoid discharge
Pruritus
Penderita fistula ani mengeluh timbul bau busuk dari bagian perianal,
pruritus, absces berulang, demam, atau nyeri didaerah perianal.
- Nyeri kadang hilang dengan sendirinya sejalan dengan terbukanya abses
atau terbentuknya saluran baru.
- Nyeri dirasakan saat duduk, bergerak, buang air besar, atau bahkan saat
batuk.
- Nyeri biasanya makin lama makin meningkat dan dapat dirasakan
sepanjang hari.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Diawali dengan memposisikan penderita secara optimal; posisikan pasien
dalam posisi lateral decubitus dengan lutut ditekuk menempel pada nagian
dada.
2. Periksa pasien secara hati-hati untuk menghindari rasa nyeri. Saat
pemeriksaan dapat juga digunakan zat analgetik topikal seperti lidokain
jelly, sebelum dilakukan pemeriksaan rektal toucher.
3. Kebanyakan fissura ani dapat terlihat dari luar saat terjadi pergerakan usus.
4. Perhatikan dalamnya fissura dan posisinya dari garis tengah,
5. Robekan kebanyakan ditemukan dibagian posterior dari garis tengah.
6. Pemeriksaan rektum terkadang sulit dilakukan karena rasa sakit dan spasme
sphincter.
7. Fissura ani akut terlihat eritem dan mudah berdarah.
8. Fissura ani khronik ditandai dengan tiga gejala klasik sebagai berikut :
Ulkus yang dalam
Sentinel pile, dimana terbentuk saat bagian dasar fissura mengalami edema
dan hipertropi
Papilla anal membesar
9. Pemeriksaan rektum pada penderita fistula ani dapat memperlihatkan
saluran dari fistula tersebut.
Fistula dapat diidentifikasi sebagai lingkaran kecil granulasi jaringan,
dimana akan mengeluarkan pus saat ditekan.
Saluran fistula yang terbuka dapat terlihat dengan bantuan anoskopi.
Kelenjar getah bening inguinal dapat membesar dan sakit.
10. Pada fistula akut yang mengalami abses, tanda pasti inflamasi; rubor, dolor,
calor, dan tumor dapat ditemukan.
11. Lokasi abses pada fistula ani :
o Perianal(60%)
o Ischiorectal(20%)
o Intersphincteric(5%)
o Supralevator(4%)
o Submucosal(1%)
D. Terapi
Tindakan yang dapat dilakukan :
1. Penggunaan WASH regimen dalam menangani fissura ani.
Warm water (air hangat)
Analgesic
Stool softener (melunakan feses)
High-fiber diet (diet tinggi serat)
2. Fissura ani khronik sering memerlukan tindakan pembedahan. Kebanyakan
prosedur pembedahan biasanya dilakukan dengan melebarkan atau
memotong sphincter bagian dalam. Prosedur pembedahan yang sering
dilakukan adalah lateral internal sphincterotomy. Botulinum toxin juga
dapat digunakan sebagai alat terapi fissura ani.
3. Terapi fistula ani tergantung pada (1) keadaan penderita, (2) ada sepsis atau
abses yang besar, atau (3) tidak ditemukan hal yang membahayakan pada
pemeriksaan fisik.
4. Dapat diberikan antibiotik intravena, antipyretic, dan analgesic.
5. Obat-Obatan :
Antibiotik mungkin diperlukan dalam penanganan fistula ani, khususnya
pada penderita yang memperlihatkan tanda-tanda gejala sistemik.
1. Laxative/Zat pelunak
Psyllium (Fiberall, Metamucil, Konsyl)
Dewasa : 1-2 wafers, 1-2 packets, or 1-2 sendok teh diencerkandalam 240
mL cairan 3x1
2. Muscle relaxant
Diazepam (Valium) 5 mg/kg/d PO tid prn spasm 5-10 mg slow IV/IM
3. Antibiotics
Metronidazole (Flagyl) Loading dose 1 g atau 15 mg/kg IV, kemudian 500
mg atau 7.5
mg/kg IV/PO q6h
Ampicillin and sulbactam (Unasyn) 1.5-3 g IV/IM q6-8h
Ticarcillin and clavulanate potassium (Timentin) 3.1 g IV q6h
DIVERTIKULOSIS
I. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya divertikulosis ada 2 yaitu :
1. Peningkatan tekanan intralumen
Diet rendah serat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intralumen kolon sehingga menyebabkan herniasi mukosa melewati lapisan
dinding otot kolon yang menebal dan memendek (sebuah kondisi yang
disebut-mychosis).
2. Kelemahan otot dinding kolon
Penyebab lain terjadinya divertikulosis adalah terdapat daerah yang
lemah pada dinding otot kolon dimana arteri yang membawa nutrisi
menembus submukkosa dan mukosa. Biasanya pada usia tua karena proses
penuaan yang dapat melemahkan dinding kolon.
II. PATOGENESIS
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan di kolon, khususnya
di sigmoid. Divertikel kolon adalan divertikel palsu karena terdiri dari
mukosa yang menonjol melalui mukosa otot seperti hernia kecil. Divertikel
sejati jarang ditemukan di kolon. Divertikel ini disebut divertikel pulsi
karena disebabkan oleh tekanan tinggi di usus bagian distal ini. Besarnya
dapat beberapa millimeter hinga dua sentimeter; leher divertikel atau
pintunya biasanya sempit, tetapi mungkin lebar. Kadang terbentuk fekolit
(batu feses) didalamnya.5
Divertikulosis sigmoid sering disertai obstipasi yang dipengaruhi oleh
diet, terutama makanan kurang berserat. Patogenesis dipengaruhi tekanan
intralumen dan defek dinding sigmoid. Tekanan intralumen bergantung
pada kepadatan feses yang meningkat bila kekurangan serat.5
Dikenal 3 gambaran anatomi penyakit divertikular yang khas : 3,9
- Penyakit Predivertikular :
Menunjukkan hipertrofi dari kedua otot sirkular dan longitudinal
(taenia coli) dengan tanpa disertai dengan penonjolan kantong yang dapat
diperlihatkan. Menebalnya taenia sering menyebabkan pemendekan dan
pengerutan dinding kolon yang bersangkutan.
- Divertikulosis :
Adanya penonjolan kantung dengan diameter 1mm sampai dengan
beberapa sentimeter yang menonjol ke dalam jaringan lemak perikolik atau
appendices epiploicae. Kelainan ini khususnya terdapat di antara taenia
mesenterika dan antimesenterika, jarang di taenia antimesenterium.
Secara histologist, dinding kantong hanya terdiri dari mukosa dan
submukosa dan biasanya tanpa lapisan otot sama sekali dan tanpa disertai
dengan inflamasi. Sering kantong berisi feses yang mungkin tidak dapat
segera dikeluarkan sebab leher divertikel lebih sempit dari kantongnya.
(a) (b)
Gambar 6. (a) Gambaran makroskopis divertikulosis
(b) Gambaran mikroskopis divertikulosis.
Dikutip dari kepustakaan no 10
- Divertikulitis :
Merupakan peradangan sekunder dari satu atau lebih divertikel yang
terjadi bila feses yang ada di dalam kantong mengalami pemadatan dan
kemudian disertai dengan infeksi sekunder e. coli dan organism enteric
lainnya. Sering terjadi perforasi kecil pada kantong.Sebuah divertikulum
merupakan penonjolan pada titik-titik yang lemah, biasanya pada titik
dimana pembuluh nadi (arteri) masuk ke dalam lapisan otot dari usus besar.
Kejang (spasme) diduga menyebabkan bertambahnya tekanan dalam usus
besar, sehingga akan menyebabkan terjadinya lebih banyak divertikula dan
memperbesar divertikula yang sudah ada.
Divertikulosis terbentuk bila mukosa dan lapisan submukosa kolon
mengalami herniasi sepanjang dinding muskuler yang mengalami
kelemahan yaitu pada titik tempat masuknya arteri ke dalam usus akibat
tekanan intraluminal yang tinggi, volume kolon yang rendah (isi kurang
mengandung serat), dan penurunan kekuatan otot dalam dinding kolon
(hipertrofi muskuler akibat massa fekal yang mengeras). Divertikulum
menjadi tersumbat dan kemudian terinflamasi bila obstruksi terus berlanjut.
Inflamasi cenderung menyebar ke dinding usus sekitar, mengakibatkan
timbulnya kepekaan dan spastisitas kolon. Abses dapat terjadi,
menimbullkan peritonitis, sedangkan erosi pembuluh darah (arterial) dapat
menimbulkan perdarahan.Divertikulanya sendiri tidak berbahaya, tetapi
tinja yang terperangkap di dalamnya bukan saja bias menyebabkan
perdarahan, tetapi juga menyebabkan peradangan dan infeksi sehingga
timbul diverticulitis.
(a) (b)
Gambar 7. (a) Diverticulosis yang berkembang menjadi diverticulitis
(dikutip dari kepustakaan no 15)
(b) Divertikel dengan tinja yang terperangkap di dalamnya
(dikutip dari kepustakaan no 16)
IV. DIAGNOSIS
Anamnesis yang cermat sering sudah dapat menentukan diagnosis, harus
ditanyakan tentang perubahan pola defekasi, frekuensi, dan konsistensi
feses.Dalam anamnesis tentang nyeri perut perlu dibedakan antara nyeri
kolik dan nyeri menetap, serta hubungannya dengan makan dan dengan
defekasi. Perlu pula ditanyakan warna tinja, terang atau gelap, bercampur
lender atau darah, dan warna darah segar atau tidak. Juga perlu ditanyakan
apakah terdapat rasa tidak puas setelah defekasi, bagaimana nafsu makan,
adakah penurunan nafsu makan, dan rasa lelah.
Gejalan dan tanda yang sering ditemukan pada kelainan kolon adalah
dyspepsia, hematokezia, anemia, benjolan, dan obstruksi karena radang dan
keganasan. Pada divertikulosis 80% penderita tidak bergejala
(asimptomatik). Keluhan lain yang bias didapat adalah nyeri, obstipasi, dan
diare oleh karena adanya gangguan motilitas dari sigmoid.5
Pada pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan local ringan dan sigmoid
sering dapat diraba sebagai struktur padat. Tidak ada demam maupun
leukositosis bila tidak ada radang. Bisa teraba tegang pada kuadran kiri
bawah, dapat teraba massa seperti sosis yang tegang pada sigmoid yang
terkena. Pada pemeriksaan fisis dilakukan rectal touché ke dalam rectum
untuk mengetahui adanya nyeri tekan, penyumbatan, maupun darah.
Didapatkan juga keadaan umum tidak terganggu dan tanda sistemik juga
tidak ada.
Pada foto roentgen, barium tampak divertikel dengan spasme local dan
penebalan dinding yang menyebabkan penyempitan lumen.
Gejala Klinis Diverticulosis Gejala Klinis Diverticulitis
Malaise Diare
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada divertikulosis adalah Barium Enema dan
Kolonoskopi. Sensitivitas barium enema sangat tinggi, bahkan polip kecil
saja dapat terdeteksi. Pemeriksaan barium enema dapat menilai kolon
secara keseluruhan terutama jika terdapat suatu patologi di kolon bagian
distal yang menghalangi masuknya kolonoskop retrograde. Sedangkan
manfaat utama kolonoskopi adalah dimungkinkannya pemeriksaan maupun
intervensi kolon secara menyeluruh. Pada saat ditemukan suatu tumor
ataupun polip, dapat dilakukan biopsy juga.
(A) (B)
Gambar 8. (A) Barium Enema with Extensive Sigmoid Diverticulosis.
(B) Colonoscopy view of Diverticula
Dikutip dari kepustakaan no 7.
VI. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
a. Nyeri dan Asimptomatik
Diet tinggi serat (buah, sayuran, roti gandum, kulit padi)
Tingkatkan asupan cairan
b. Divertikulitis akut
Antibiotik dan istirahatkan usus
Drainase yang dipandu radiologi untuk abses local
Pada kasus divertikulosis asimptomatik diberikan modifikasi diet
berupa makanan atau suplemen tinggi serat untuk mencegah konstipasi dan
diberikan intake cairan yang cukup. Pemberian tambahan serat sekitar 30-
40 gram/hari atau pemberian laktulosa yang dapat meningkatkan massa
feses (sebagai osmotic laksatif pada divertikulosis simptomatik yaitu
2x15ml/hari.
Pada kasus diverticulitis, usus diistirahatkan dengan menunda
asupan oral, memberikan cairan intravena, dan melakukan pemasangan
NGT bila ada muntah atau distensi abdomen, memperbanyak makan sayur
dan buah-buahan, mengurangi makan daging dan lemak, antispasmodic
seperti propantelin bromide (Pro-Banthine) dan oksifensiklimin (daricon)
dapat diberikan, dan antibiotic spectrum luas diberikan selama 7-10 hari.
2. Pembedahan
Pasien yang memerlukan operasi segera adalah yang menunjukkan
tanda-tanda peritonitis atau obstruksi loop tertutup. Dilakukan dengan cara
reseksi segmen usus yang sakit, biasanya kolon sigmoid, dan pengangkatan
kolon (kolostomi) tepat di sebelah proksimal titik reseksi. Rektum biasanya
ditutup dengan stapler.
Pembedahan elektif kolon sebelah kiri tanpa peritonitis : reseksi
segmen yang terlibat dan sambungkan ujung-ujungnya (anastomosis
primer). Pembedahan darurat kolon sebelah kiri dengan peritonitis difus :
reseksi segmen yang terlibat, tutup usus distal (yaitu rectum bagian atas)
dan keluarkan usus proksimal sebagai ujung kolostomi (prosedur
Hartmann). Pada pembedahan darurat pada kasus divertikulosis dengan
komplikasi seperti abses yang luas, peritonitis, obstruksi komplit, dan
perdarahan berat. Pada kasus ini dilakukan pembedahan 2 kali dimana pada
operasi pertama dilakukan pembersihan cavum peritoneum, reseksi segmen
kolon yang terkena, dan dilakukan kolostomi temporer kemudian beberapa
bulan dilakukan operasi kedua dan pada operasi ini dilakukan
penyambungan kembali kolon (re-anastomosis).
dari IBS tersebut Saat ini yang digunkan adalah Kriteria Rome II yang
didasarkan pada adanya keluhan berupa:
Rasa tidak nyaman atau nyeri yang teiah berlangsung selama 12 minggu
(tidak perlu berurutan) dan telah berlangsung dalam 12 bulan terakhir dan
tidak bisa dijelaskan oleh adanya abnormalitas secara kelainan struktur
maupun biokimiawi.
Terdapat 2 dari 3 hal berikut:
- Nyeri hilang setelah defekasi
- Perubahan frekuensi dari defekasi (diare atau konstipasi)
- Perubahan bentuk feses.
c. Karsinoma Kolorektal
Karsinoma kolorektal umumnya juga teijadi pada usia di atas 50
tahun. Adapun keluhan yang paling sering adaiah berupa: perubahan pola
BAB, heraatokezia, dan konstipasi. Pada kasus karsinoma kolorektal yang
perkembangannya lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik yang timbul
seperti gejala obstruksi. Pada obstruksi parsiaJ awalnya ditandai dengan
nyeri abdomen, namun pada obstruksi total dapat menyebabkan nausea,
vomiting, distensi abdomen, dan obstipasi. Untuk membedakan dengan
divertikulosis, periu dilakukan pemeriksaan kolonoskopi.
VIII. KOMPLIKASI
Berikut komplikasinya yang dapat muncul pada divertikulosis adalah :
Perdarahan rektum (hematokezia)
Perdarahan merupakan komplikasi yang jarang teijadi, dilaporkan
sekitar 3-5% penderita dengan divertikulosis mengalami perdarahan rektum
Jika sebuah divertikula mengalami perdarahan, maka dapat muncul
hematokezia. Perdarahan bisa bersifat berat, tetapi juga bisa berhenti
dengan sendirinya dan tidak memerlukan penanganan khusus. Perdarahan
terjadi karena sebuah pembuluh darah yang kecil di dalam sebuah
divertikula menjadi lcmah dan akhirnya pecah.
Abses, Perforasi, dan Peritonitis
Infeksi yang menyebabkan tcrjadinya divertikulitis seringkali
mereda dalam beberapa hari setelah antibiotik diberikan. Divertikulitis
paling umum teijadi pada kolon sigmoid (95%). Hal ini telah diperkirakan
bahwa kira-kira 20% pasien dengan divertikulosis mengalami divertikulitis
pada titik yang sama. Divertikulitis paling umum teijadi pada usia lebih dari
60 tahun. Insidensnya kira- kira 60% pada individu dengan usia lebih dari
80 tahun. Predisposisi kongenital dicurigai bila terdapat gangguan pada
individu yang berusia di bawah 40 tahun.
Fistula
Fistula merupakan hubungan jaringan yang abnormal di anlara 2
organ atau di antara organ dan kulit Jika pada suatu infeksi jaringan yang
roengalami kerusakan bersinggungan satu sama lain, kadang kedua jaringan
tersebut akan menempel, sehingga terbentuklah fistula. Jika infeksi karena
diverticulitis menyebar keluar kolon, maka jaringan kolon bisa menempel
ke jaringan di dekatnya. Organ yang paling sering terkena adalah kandimg
kemih membentuk fistula kolovesika, kemudian usus halus dan kulit Fistula
yang paling sering terbentuk adalah fistula di antara kandung kemih dan
kolon (fistula kolovesika) dan fistula antara kolon dan vagina (fistula
kolovagina). Fistula kolovesika lebih sering ditemukan pada pria. Fistula ini
menyebabkan infeksi saluran kemih (sistitis) yang berat dan menahun.
Kelainan ini bisa diatasi dengan pembedahan untuk mengangkat fistula dan
bagian kolon yang terkena.
Obstruksi Usus
Jaringan fibrosis akibat infeksi bisa menyebabkan penyumbatan
kolon parsial maupun total. Jika hal ini teijadi, maka kolon tidak mampu
mendorong isi usus secara normal. Obstruksi dapat juga disebabkan karena
pembentukan abses atau edema, akibat striktur kolon setelah serangan
divertikulitis rekurens. Obstruksi pada usus halus juga umum teijadi
khususnya pada keadaan dimana terbentuk abses peridivertikular yang
berukuran besar. Obstruksi total memerlukan tindakan pembedahan segera.
Obstruksi usus hanya teijadi pada sekitar 2% kasus divertikulosis. Obstruksi
usus biasanya dapat sembuh sendiri dan berespon terhadap terapi
konservatif.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. Revisi. Jakarta : EGC.
Bickley, Lynn S. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Best.
Jakarta:EGC.
Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Volume 1
Edisi 6. Jakarta : EGC.
R. Gandrasoebrata. 1967. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.
Syamsuhidayat R, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC.
Lindeth,GN. 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Vol. 1 Ed 6. Jakarta : EGC.
Grace P., Borley NR. 2005. At a Glance : ILMU BEDAH Edisi ke3.
Jakarta : EMS.
Akil, H.A.M., Penyakit Divertikular dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
ed IV. Jakarta : FKUI.
Soekamto S, Suparman, dkk. 2004. Penyakit Divertikular dalam Buku Ajar
Patologi II ed 4. Robbins, S.L. Eds. Jakarta : EGC.