Anda di halaman 1dari 9

Nama : Amelia Abriani Ismail

Npm : 0227 1611 003


Kelas : VI A - Akuntansi
Mata Kuliah : Akuntansi Forensik dan Audit Investigatis

Investigasi Tindak Pidana Korupsi dan Pengadaan

a. Analisis pasal TPK


Tindak Pidana Korupsi (TPK) dilihat dari ketentuan perundangan
yang berlaku di Indonesia. Yang akan dipakai sebagai acuan dalam
pembahasan ini adalah Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan TPK. Untuk TPK yang dilakukan sebelum
berlakunya undang-undang ini, yakni tanggal 21 november 2001, berlaku
Undang-Undang nomor 3 tahun 1971.
Keberhasilan atau kegagalan suatu investigatif TPK, di luar
masalah penyuapan kepada penegak hukum, ditentukan oleh
kemampuan membuktikan bagian-bagian inti dan meyakinkan majelis
hakim dalam persidangan pengadilan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, mencakup 30 tindak pidana yang diartikan
sebagai tindak pidana korupsi (TPK). Ini dapat dilihat dalam pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berikut:
No. Pasal No. Pasal No. Pasal

1. 2 11. 7 ayat (2) 21. 12 huruf f

2. 3 12. 8 22. 12 huruf g

3. 5 ayat (1) huruf a 13. 9 23. 12 huruf h

4. 5 ayat (1) huruf b 14. 10 24. 12 huruf i

5. 6 ayat (1) huruf a 15. 11 25. 12 B

6. 6 ayat (1)huruf b 16. 12 huruf a 26. 12 C


7. 7 ayat (1) huruf a 17. 12 huruf b 27. 13

8. 7 ayat (1) huruf b 18. 12 huruf c 28. 14

9. 7 ayat (1) huruf c 19. 12 huruf d 29. 15

10. 7 ayat (1) huruf d 20. 12 huruf e 30. 16

Pemeriksa memfokuskan investigasinya pada pencarian indikasi-


indikasi atau bukti awal dari masing-masing unsur atau bagian inti TPK.
Dengan meningkat dan mendalamnya investigasi, maka upaya diarahkan
kepada pengumpulan dan penyajian alat-alat bukti.

Karena itu, penting sekali bagi pemeriksa untuk mengetahui


bagian inti atau berstanddeel dari ke 30 TPK. Dalam uraian pasal-pasal
dan ayat-ayat yang mencangkup ke 30 TPK, berstanddeel ini digaris
bawahi. Pasal-pasal ini juga disertai dengan penjelasan undang-
undangnya.

Dalam dokumentasi investigasinya, pemeriksa merinci semua


indikasi dan alat bukti untuk masing-masing bagian inti atau tindak pidana
korupsi yang disangkakan atau didakwakan.

b. Konsep UU TPK
Dibawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang
secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP, maupun yang khas
untuk TPK. Konsep-konsep itu adalah:
1) Alat bukti yang sah
Alat bukti dalam hukum acara pidana, yaitu: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, yang diperoleh dari keterangan
saksi, keterangan terdakwa, dan surat; keterangan terdakwa; dan,
resume, yaitu ikhtisar dan kesimpulan dari BAP.
2) Beban pembuktian terbalik
Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan di dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Bagian Penjelasan Umum,
disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau
berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban
membuktikan dakwaannya.
3) Nullum delictum
Memiliki makna “Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas
perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-
undangan yang telah ada terlebih dahulu”.
 Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang
diancamkan;
 Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan
perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu
pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-
betul melakukan perbuatan;
 Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan
untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga
perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui
pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
4) Concurcus Idealis
Concursus Idealis terjadi apabila seseorang melakukan satu
perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar
beberapa ketentuan hukum pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 63
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan
norma pidana yang dipakai hanya salah satu dari norma pidana
itu, jika hukumannya berlainan, yang dipakai adalah norma pidana
yang diancam pidana yang terberat.”
5) Concursus Realis
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang mana masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri
sebagai tinddak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu
berhubungan). Dengan catatan diantara perbuatan-perbuatan yang
dilakukan pada concursus realis dan perbuatan berlanjut harus
belum ada putusan hakim atau vonis. Hal ini diatur dalam Pasal
65,66 dan 67 KUHP.
6) Perbuatan Berlanjut
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan
itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut. Mengenai perbuatan berlanjut
diatur dalam Pasal 64 KUHP. Sistem pemberian pidana bagi
perbuatan berlanjut ini menggunakan sistem absorbsi.
7) “Lepas dari tuntutan hukum” versus “bebas”
Konsep ini dimaksudkan untuk membantu investigator yang tidak
mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam analisis kasus
para investigator dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep
ini.
c. Analisis Kasus
Berikut ini disajikan empat matriks (diambil dari buku panduan
yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi) yang masing-masing
menunjukkan unsur-unsur dari Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 11,
dan Pasal 13 Undang-Undang Tipikor. Setiap matriks diberikan contoh
kasus untuk memudahkan dalam memahami unsur-unsur dan
pembuktian.

Contoh kasus 1

B selaku Dirut BUMN telah menjual tanah negara yang merupakan aset
perusahaan (BUMN) yang dipimpinnya kepada F seluas 50 Ha. Akan tetapi
sebelum melakukan transaksi penjualan B mengadakan beberapa kali
pertemuan dengan F sehingga tercapai kesepakatan bahwa B akan
menurunkan harga NJOP tana h serta sistem pembayaran dari F akan
dilakukan secara bertahap. Kemudian B meminta kepada F agar
menyertakan 2 perusahaan pendamping untuk memenuhi persyaratan
formal dalam proses lelang.
Selanjutnya, B mengupayakan penurunan harga NJOP atas tanah
sehingga NJOP tanah tersebut menjadi sesuai dengan kesepakatan harga
yang telah dibuatnya dengan F dan meminta suatu perusahaan appraisal
untuk membuat taksiran harga jual sesuai dengan permintaannya.

B kemudian mengatur siasat agar penjualan seolah-olah sesuai dengan


prosedur dengan cara membentuk panitia penaksir harga dan panitia
penjualan, akan tetapi B lebih dahulu memberikan pengarahan kepada
panitia penaksir harga agar menetapkan harga jual sesuai dengan
keinginannya dan memerintahkan panitia penjualan agar penawaran
dibatasi hanya untuk F dan 2 perusahaan lain yang disodorkan oleh F serta
sistem pembayaran di dalam RKS dilakukan secara bertahap. Sebenarnya,
perbuatan B tersebut telah bertentangan dengan SK Menkeu tentang
penjualan aset negara dengan prosedur lelang terbuka untuk umum.

Pada tanggal 10 Januari 2005 aset berupa tanah tersebut dijual kepada F
di depan Notaris dengan harga Rp 100 M, padahal menurut SK Meneg
BUMN penjualan tanah aset BUMN adalah sesuai dengan NJOP tertinggi
tahun berjalan atau harga pasar sehingga seharusnya aset tersebut dijual
dengan harga Rp 150 M.

Dalam proses penjualan aset tersebut, F mentransfer uang sebesar Rp. 15


M ke rekening milik B. Atas perbuatan B tersebut negara c.q. perusahaan
BUMN tersebut telah dirugikan sebesar Rp. 50 M.

Kasus diatas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan matrik unsur


tindak pidana korupsi Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 dengan hasil sebagai berikut:

Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

No Unsur Tindak Fakta perbuatan yang Alat bukti yang


Pidana dilakukan dan kejadian mendukung
1 Setiap orang B adalah seorang Dirut BUMN  Keterangan dari
Terdakwa B
 KTP A/n B
 SK pengangkatan B
sebagai Dirut BUMN
2 Memperkaya diri  Pada tanggal 10 Januari 2005  Keterangan dari
sendiri, orang lain B mendapat transfer uang Terdakwa B
atau suatu sebesar Rp 15 M dari F  Keterangan dari
korporasi  F telah mendapat kekayaan Saksi F
berupa aset tanah seluas 50  Keterangan dari
 Ha dengan harga dibawah Petugas Bank
NJOP/harga pasar  Print-out rekening
bank
3 Dengan cara  telah menjual tanah negara  Keterangan dari
melawan hukum aset per usahaan (BUMN) Saksi F
 yang dipimpinnya kepada F  Keterangan dari
seluas 50 Ha. Panitia penaksir
 Sebelum menjual, B Harga
mengadakan beberapa kali  Keterangan dari
pertemuan dengan F untuk Panitia penjualan
melakukan negosiasi harga  Keterangan dari
dan tata cara pembayaran. Kantor PBB
 Setelah tercapai kesepakatan,  Keterangan dari
B mengupayakan penurunan Perusahaan
harga NJOP atas tanah  Appraisal
sehingga sesuai dengan  Keterangan dari
kesepakatannya dengan F Komisaris
 B meminta F agar mencari 2  Perusahaan
perusahaan lain untuk  Keterangan dari
melengkapi persyaratan Para Direksi
administrasi penjualan secara  Keterangan dari
lelang. Notaris
 B menunjuk panitia penaksir  Surat, seperti
harga dan panitia penjualan dokumen yang
untuk memenuhi formalitas berhubungan
administrasi proses penjualan dengan penjualan,
secara lelang serta telah NJOP tanah, SK
menetapkan harga tanah dan Panitia.
pembelinya serta sistem  SK Menteri
pembayaran secara bertahap. Keuangan
 Padahal menurut SK Menkeu  SK Meneg BUMN
penjualan harus dengan  Akta Jual Beli
prosedur lelang terbuka untuk  Sertifikat tanah
umum dan pembayarannya  Kwitansi penjualan
harus dengan tunai.  Print-out Rekening
 Pada tanggal 10 Januari 2005 Koran Perusahaan
aset tanah tersebut dijual BUMN
dengan harga Rp 100 M,
padahal menurut SK Meneg
BUMN penjualan tanah aset
BUMN adalah sesuai dengan
NJOP tertinggi tahun berjalan
dan atau harga pasar sehingga
seharusnya aset tersebut dijual
dengan harga Rp 150 M.
4. Dapat merugikan Negara dirugikan sebesar Rp 50  Keterangan dari Ahli
keuangan negara M dari BPKP
atau Perekonomian  Surat berupa laporan
negara hasil perhitungan
kerugian keuangan
negara.

KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 terpenuhi. Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh
B adalah sebuah tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 sehingga B dituntut untuk dipidana penjara.

d. Pengadaan Publik Sumber Kebocoran


Secara luas, sistem pengadaan publik Indonesia diyakini
merupakan sumber utama bagikebocoran anggaran yang memungkinkan
korupsi dan kolusi yang memberikan sumbangan besar terhadap
kemerosotan pelayanan jasa bagi rakyat miskin di Indonesia.
Besarnya pengadaan pengadaan mengesankan skala potensial
masalah tersebut. Berdasarkan tingkat-tingkat pengeluaran publik pada
masa prakrisis, suatu kajian Bank Dunia memperkirakan
bah aPemerintah dan BUMN-BUMN mengadakan sekitar USD
10 miliar setahun secara bersama-sama. Sekarang, dengan
pengeluaran pembangunan berjumlah sekitar USD 7 miliar,
tingkat-tingkat pengadaan barangkali lebih rendah.
Namun, suatu sistem pengadaan efektif harus dipusatkan pada
upaya untuk memastikan bahwa dana publik dibelanjakan dengan baik
guna meningkatkan efektifitas pembangunan. A p a b i l a s u a t u s i s t e m
pengadaan bergungsi dengan baik, dipastikan pembelian
b a r a n g a k a n bersaing dan efektif.

e. Infestigasi Pengadaan
Cara-cara investigasi yang dijelaskan di bawah, diterapkan dalam
pengadaan yang menggunakan sistem tender atau penawaran secara
terbuka. Dalam sistem ini, lazimnya ada tiga tahapan besar berikut:
1. Tahap pratender
2. Tahap penawaran dan negosiasi
3. Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administrative
Referensi

Tuanakotta, T.M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Knowledge Must be Documented. 2017. Resume Audit Investigatif Bab 16: Unsur
Melawan Hukum.
http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-forensic-audit-
bab-16-audit.html. ( diunggah pada 24 mei 2019)

Anda mungkin juga menyukai