b. Konsep UU TPK
Dibawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang
secara umum dikenal dalam KUHP dan KUHAP, maupun yang khas
untuk TPK. Konsep-konsep itu adalah:
1) Alat bukti yang sah
Alat bukti dalam hukum acara pidana, yaitu: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, yang diperoleh dari keterangan
saksi, keterangan terdakwa, dan surat; keterangan terdakwa; dan,
resume, yaitu ikhtisar dan kesimpulan dari BAP.
2) Beban pembuktian terbalik
Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan di dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Bagian Penjelasan Umum,
disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau
berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban
membuktikan dakwaannya.
3) Nullum delictum
Memiliki makna “Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas
perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-
undangan yang telah ada terlebih dahulu”.
Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang
diancamkan;
Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan
perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu
pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-
betul melakukan perbuatan;
Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan
untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga
perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui
pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
4) Concurcus Idealis
Concursus Idealis terjadi apabila seseorang melakukan satu
perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar
beberapa ketentuan hukum pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 63
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Jika suatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan
norma pidana yang dipakai hanya salah satu dari norma pidana
itu, jika hukumannya berlainan, yang dipakai adalah norma pidana
yang diancam pidana yang terberat.”
5) Concursus Realis
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang mana masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri
sebagai tinddak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu
berhubungan). Dengan catatan diantara perbuatan-perbuatan yang
dilakukan pada concursus realis dan perbuatan berlanjut harus
belum ada putusan hakim atau vonis. Hal ini diatur dalam Pasal
65,66 dan 67 KUHP.
6) Perbuatan Berlanjut
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan
itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut. Mengenai perbuatan berlanjut
diatur dalam Pasal 64 KUHP. Sistem pemberian pidana bagi
perbuatan berlanjut ini menggunakan sistem absorbsi.
7) “Lepas dari tuntutan hukum” versus “bebas”
Konsep ini dimaksudkan untuk membantu investigator yang tidak
mempunyai latar belakang pendidikan hukum. Dalam analisis kasus
para investigator dapat melihat penerapan sebagian konsep-konsep
ini.
c. Analisis Kasus
Berikut ini disajikan empat matriks (diambil dari buku panduan
yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi) yang masing-masing
menunjukkan unsur-unsur dari Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 11,
dan Pasal 13 Undang-Undang Tipikor. Setiap matriks diberikan contoh
kasus untuk memudahkan dalam memahami unsur-unsur dan
pembuktian.
Contoh kasus 1
B selaku Dirut BUMN telah menjual tanah negara yang merupakan aset
perusahaan (BUMN) yang dipimpinnya kepada F seluas 50 Ha. Akan tetapi
sebelum melakukan transaksi penjualan B mengadakan beberapa kali
pertemuan dengan F sehingga tercapai kesepakatan bahwa B akan
menurunkan harga NJOP tana h serta sistem pembayaran dari F akan
dilakukan secara bertahap. Kemudian B meminta kepada F agar
menyertakan 2 perusahaan pendamping untuk memenuhi persyaratan
formal dalam proses lelang.
Selanjutnya, B mengupayakan penurunan harga NJOP atas tanah
sehingga NJOP tanah tersebut menjadi sesuai dengan kesepakatan harga
yang telah dibuatnya dengan F dan meminta suatu perusahaan appraisal
untuk membuat taksiran harga jual sesuai dengan permintaannya.
Pada tanggal 10 Januari 2005 aset berupa tanah tersebut dijual kepada F
di depan Notaris dengan harga Rp 100 M, padahal menurut SK Meneg
BUMN penjualan tanah aset BUMN adalah sesuai dengan NJOP tertinggi
tahun berjalan atau harga pasar sehingga seharusnya aset tersebut dijual
dengan harga Rp 150 M.
KESIMPULAN:
Keempat unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 terpenuhi. Keseluruhan rangkaian perbuatan yang telah dilakukan oleh
B adalah sebuah tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 sehingga B dituntut untuk dipidana penjara.
e. Infestigasi Pengadaan
Cara-cara investigasi yang dijelaskan di bawah, diterapkan dalam
pengadaan yang menggunakan sistem tender atau penawaran secara
terbuka. Dalam sistem ini, lazimnya ada tiga tahapan besar berikut:
1. Tahap pratender
2. Tahap penawaran dan negosiasi
3. Tahap pelaksanaan dan penyelesaian administrative
Referensi
Knowledge Must be Documented. 2017. Resume Audit Investigatif Bab 16: Unsur
Melawan Hukum.
http://dokumentasiilmu90.blogspot.com/2017/02/resume-forensic-audit-
bab-16-audit.html. ( diunggah pada 24 mei 2019)