Anda di halaman 1dari 9

PEMBAHASAN

A. PERBEDAAN JENIS KELAMIN DAN GENDER


Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Aan
Oakley (1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang
baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin mengacu
pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki
dan perempuan. Dengan demikian manakala kita berbicara tentang perbedaan jenis kelamin
maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara kaum laki-laki
dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ
reproduksi dan fungsinya, pada suara, dan sebagainya.
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep hubungan sosial
yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan
peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan
biologis dan kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-
masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal
perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut perempuan
umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif,
berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap
keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan
dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal dipegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli
yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut tidak berlaku bagi
ketiga kelompok etnik tersebut. Menurut Mead, kepribadian kaum perempuan maupun kaum
laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung kearah sifat tolong menolong, tidak agresif dan
penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain; disana tidak dijumpai seksualitas kuat
maupun dorongan kuat kearah kekuasaan. Pada suku Mundugumor, dipihak lain, baik laki-laki
maupun perempuan diharapkan bersifat agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas kuat
sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan dan watak melindungi hampir tidak
Nampak. Sedangkan pada suku etnik Tschambuli, menurut temuan Mead dijumpai keadaan
yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena disana kaum perempuan justru bersifat
menguasai sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang bertanggung
jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian
dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan
tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan.
Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun individu menurut Mead merupakan hasil
proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama,
dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat
berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau karena
kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku
secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
B. GENDER DAN SOSIALISASI
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari
melalui sosialisasi. Oleh sebab itu menurutnya gender dapat berubah. Sebagaimana halnya
dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan
pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, dan media massa.
1. Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun
berawal dari keluarga. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning),
seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap
sesuai dengan jenis kelaminnya.Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-
laki sudah dimulai semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir bayi perempuan sering
sudah diberi busana yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana
yang dikenakan oleh bayi laki-laki. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung
berbeda. Korner mengemukakan, misalnya dalam berbagai masyarakat Barat bayi
perempuan cenderung diangkat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih
cepat ditolong dikala menangis daripada bayi laki-laki. Dalam berkomunikasi lisan
dengan seorang bayi bayi perempuan diperlakukan berbeda.Bayi laki-laki misalnya
diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi
julukan feminine seperti cantik atau manis.Salah satu media yang digunakan orang tua
untuk memperkuat identitas gender adalah mainan yaitu dengan memberikan mainan
berbeda untuk setiap jenis kelamin. Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi
mainan berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung
berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Dengan semakin
meningkatnya usia anak, jenis mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke
peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah
tangga seperti perlengkapan memasak, sedangkan anak laki-laki diberi mainan yang
berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.
2. Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini
membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun,
kelompok bermain menjalankan peran cukup besar.Dikala berada dalam kelompok
bermain laki-laki cenderung memainkan jenis permainanan yang lebih menekankan
pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok
bermain perempuan, anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih
menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai belajar
berbagai tehnik untuk menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari
teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap
perempuanserta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat “merebut” dan
“menaklukkan” mereka. Anak perempuan dipihak lain dididik oleh sesamanya bahwa
perempuan cenderung pasif, bertahan mampu mempertahankan kehormatannya seraya
mempertahankan haknya untuk memilih siapa diantara para pria yang mendekatinya
pantas mendapat perhatiannya.Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun
menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati peraturannya. Seorang anak
laki-laki memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul
dengan mereka, misalnya cenderung dicap”sissy” atau “banci” dan menghadapi resiko
dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan
anak laki-laki dan bermain dengan mereka yang dapat dicap sebagai “tomboy”.
3. Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu
kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya misalnya ada sekolah
yangmemisahkan sisiwa dengan sisiwi agar masing-masing dapat diberi pelajaran
berbeda.Pembelajaran gender disekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang
digunakan. Misalnya buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan
kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta
kesenian.
4. Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya dengan buku cerita nutuk kanak-kanak dan remaja serta
buku pelajaran di sekolah, maka madia massa pun sangat berperan dalam sosialisasi
gender, baik melaui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan
yang dipasang didalamnya. Media massa baik berupa media cetak maupun media
elektronik sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped
advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga
misalnya cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga
maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang
merupakan symbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan
model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik
berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan pekerjaan yang
cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam organisasi,
seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris atau kasirn dan bukan
pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur atau kapten
penerbangan.Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan
gender telah membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan dimedia massa
kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender
dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut
hingga kini masih belum mampu menanggulangi praktik pembuatan iklan yang
mengandung stereotip gender.

C. GENDER DAN STRATIFIKASI


Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum
perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan ini
dinamakan feminism, yang menurut Giddens telah bermula di Prancis pada abad 18 dan
kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia.
Dibidang politik gerakan ini terpusat pada perjuangan persamaan hak pilih dengan laki-laki
dan telah menghasilkan diberikannya persamaan hak pilih di banyak Negara.
1. Gender dan Pendidikan
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat
dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung
dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada
nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
pada akhirnya akan ke dapur juga”, ada yang mengatakan bahwa perempuan harus
menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya dianggap “sesuai dengan kodrat
perempuan,” dan ada yang berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah
diwaktu muda agar tidak menjadi “perawan tua” . Atas dasar nilai dan aturan demikian
ada masyarakat yang mengizinkan perempuan bersekolah tetapi hanya sampai jenjang
tertentu saja atau dalam jenis atau jalur pendidikan tertentu saja.Sejalan dengan
ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad yang lalu, maka
angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan kesenjangan kesempatan
pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan
bagi semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan di
lapangan.
2. Gender dan Pekerjaan
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan, mungkin
yang dibayangkan hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: seperti pabrik
dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang sering melupakan bahwa di
rumahnyapun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana
seperti melakukan perdagangan eceran, memproduksi atau memproses hasil pertanian
dan sebagainya.Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan diberbagai
masyarakat adalah adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan (sex discrimination)
dibidang pekerjaan. Kasus ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk
bekerja di ranah publik. Ada juga masyarakat yang menerapkan berbagai macam
diskriminasi di bidang pekerjaan seperti dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, atau
pemutusan hubungan kerja.Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja
perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil (pregnancy discrimination),
diskriminasi terhadap orang hamil tersebut dapat berbentuk penolakan untuk
mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti dan sanksi lain.
3. Gender dan Penghasilan
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja, apapun jenis kelaminnya, menerima
upah yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for equal work).Namun,
diberbagai masyarakat lain pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi daripada
upah pekerja perempuan walaupun pekerjaan yang dilakukan sama. Gejala semacam
ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin.Macionis mencatat bahwa
menurut data Departemen Tenaga Kerja AS. 80% dari pekerjaan yang dinamakannya
pekerjaan kerah merah jambu seperti pekerjaan sekretaris, juru tik, dan stenograf
dipegang oleh perempuan. Masalah yang dihadapi para pekerja perempuan ini adalah
bahwa upah yang mereka terima dinilai terlalu rendah, yang mengakibatkan mereka
sering terjerat yang oleh Moore dan Sinclair (1995) dinamakan perangkap kemiskinan.

D. GENDER DAN KEKUASAAN


1. Gender dan Politik
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Kalau selama beberapa dasawarsa
ini telah kita saksikan keikutsertaan kaum perempuan di Negara kita dalam pemilihan
umum untuk memilih anggota DPR, maupun dalam pemilihan untuk memilih kepala
desa, maka tentu kita tidak membayangkan bahwa dimasa dulu kaum perempuan kita
mempunyai hak pilih. Berkat perjuangan mereka semenjak pertengahan abad ke-19,
maka sejak 1893 barulah kaum perempuan diberbagai negara Barat mulai meraih hak
pilih. Data yang disajikan Giddens misalnya menunjukkan bahwa antara tahun 1893
dan 1928 hak pilih diraih kaum perempuan di 18 negara di Eropa, Amerika Utara serta
di Australia dan Selandia Baru. Mulai tahun 1929 hak pilih mulai diraih pula disejumlah
negara dikawasan Asia, Afrika, Dan Amerika Latin. Dari data tersebut nampak pula
bahwa di sejumlah Negara Eropa seperti Prancis, Yugoslavia, dan Yunani kaum
perempuan baru mengenal hak pilih setelah berakhirnya Perang Dunia II.
2. Gender dan Keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan
suami dan istri. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih
banyak menganut pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di ruman
dan di belakang suaminya.Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk
mengukur pembagian kerja dan kekuasaan suami istri dalam rumah tangga. Salah satu
cara adalah merinci pekerjaan rumah tangga apa saja dan dilakukan oleh siapa.

E. PERBEDAAN GENDER DAN LAHIRNYA KETIDAKADILAN


Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan
ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana
kebanyakan perempuan menjadi korban sistem tersebut. Untuk memahami persoalan yang
muncul sebagai akibat adanya perbedaan dapat dilihat manifestasinya berikut ini
1. Gender dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan
adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini
perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan
bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi perempuan karena
perbedaan gender.Revolusi hijau misalnya, secara ekonomis telah menyingkirkan kaum
perempuan dari pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses
pemiskinan terhadap perempuan.
Banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, sehingga semakin
miskin dan tersingkir karena tidak memperoleh pekerjaan di sawah. Hal ini berarti
bahwa program revolusi hijau direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek
gender.Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, akan tetapi
juga terjadi disemua tingkat seperti dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan
bahkan sampai tingkat negara.
2. Gender dan Subordinasi
Pandangan gender tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga
mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam
masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir, perempuan tidak
bisa tampil sebagai pemimpin, maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi
yang tidak penting dan tidak strategis.
Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender ini bermacam-macam, berbeda
menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat Jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan kedapur. Bahkan dalam
keluarga yang memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada
anak laki-laki. Contoh lain, bila seorang laki-laki akan mengambil kredit di lembaga
perbankan, maka bisa membuat keputusan sendiri, sebaliknya istri harus seizin
suaminya. Praktik subordinasi itu sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak
adil.
3. Gender dan Stereotip
Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yan selalu berakibat
merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang
dikenalkan dalam bahasan ini adalh stereotip yang bersumber pada pandangan gender.
Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan
adalah perempuan yang bersumber pada stereotip yang melekat padanya. Sebagai
contoh adanya anggapan bahwa perempuan yang bersolek atau memakai rok mini akan
memancing perhatian lawan jenis, sehingga bisa terjadi pelecehan seksual dan
perkosaan, maka perempuan tersebut yang disalahkan. Contoh lain adalah adanya
anggapan bahwa tugas perempuan adalah melayani suami dirumah, karena itu
pendidikan dianggap tidak terlalu penting bagi perempuan. Stereotip semacam itu juga
terjadi pada pekerjaan perempuan, seperti adanya anggapan bahwa perempuan
bukanlah pencari nafkah utama keluarga,maka perempuan yang bekerja acap kali
dianggap sebagai “sambilan” atau “membantu suami”. Bahkan banyak jenis pekerjaan
perempuan yang dianggap tidak bermoral, misalnya pekerjaan sebagai “pelayan” di
tempat-tempat minum, “tukang pijat”,atau pekerjaan lainnya yang terkait dengan
industri peerhotelan dan turisme, serta pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam
hari.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalh suatu serangan baik terhadap fisik maupun integrasi
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia terjadi karena berbagai
macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender.
Kekerasan semacam ini disebutgender-related violence, yang pada dasarnya terjadi
karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak
macam kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, antara lain:
a) Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan
terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada
kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak
terekspresikan karena berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan
ekonomi, sosial, bahkan tak jarang karena adanya ancaman tertentu
b) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga.
Termasuk kekerasan dalam rumah tangga ini adalah kekerasan dan penyiksaan
terhadap anak.
c) Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang
merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali mamandang pekerja
seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya disatu sisi,pemerintah melarang
dan menangkapi pekerja seksual, namun dari sisi lain negara juga menarik pajak
dari pekerja seksual. Selain itu pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat,
tapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu
ramai dikunjungi orang.
d) Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini
termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana
tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Hal ini bisa disebut
pornografi.
e) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana.
Keluarga berencana dibanya masyarakat menjadi sumber kekerasan terhadap
perempuan. Karena untuk memenuhi target untuk mengontrol pertumbuhan
penduduk, perempuan acapkali dijadikan korban demi suksesnya program tersebut,
meskipun kita tau bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan saja tetapi juga
pada kaum laki-laki. Namun seringkali perempuan yang dipaksa melakukan
sterilisasi, meskipun sering membahayakan perempuan baik secara fisik maupun
kejiwaan.
f) Kekerasan terselubung. Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai
kekerasan terselubung, misalnya memegang atau menyentuh perempuan dalam
berbagai cara atau kesempatan tanpa kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini
dapat terjadi di tempat kerja, tempat umum seperti di dalam bus dan sebagainya.
g) Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan sering
dilakukan dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual. Jenis kekerasan
semacam ini banyak terjadi. Pelecehan ini terjadi dalam bentuk lelucon jorok
dihadapan kaum perempuan, meyakiti atau membuat malu seseorang dengan
omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan
seksualnya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja
atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol bagian tubuh tanpa
serela atau tanpa seizing yang bersangkutan.

F. PERSPEKTIF
Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi dalam
masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang dianutnya. Dalam
studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran
feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik.
1. Paradigma Fungsionalisme dan Feminisme
Aliran fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian
dan saling berkaitan dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan
dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan. Menurut teori
struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-
masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara laki-laki dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal. Sebelum
menjelaskan tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan feminisme ? Pada
umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap
kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, seperti institusi rumah tangga,
perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena
adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan,
bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut kaum feminisme, feminisme seperti
halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan
yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang
dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi
mempunyai kesamaan tujuan, yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berasal dari
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat, menurut kerangka kerja feminisme liberal tertuju pada “kesempatan yang sama
dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan. Kesempatan
dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan
kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengapa kaum perempuan dalm keadaan
terbelakang atau tertinggal? Menurut feminisme liberal hal itu disebabkan oleh kesalahan
“mereka sendiri”. Artinya jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki
dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum
perempuan sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa untuk
memecahkan masalah kaum perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan kaum
perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2. Paradigma Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini percaya
bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan
sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.
Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat
untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan perempuan. Atas dasar
asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan mengubah posisi
dan hubungan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam teori konflik, adalah: Kelompok
pertama, aliran feminisme radikal. Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexismatau
diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.Para penganut feminisme
radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual
atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum
perempuan oleh patriarkinya. Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun
politis adalah bagian dari permasalahan. Menurut penganut aliran feminisme radikal, patriarki
adalah sumber ideologi penindasan dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan
feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang
universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme marxis. Kelompok ini
menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Karl Mark sendiri tidak banyak
menjelaskan dalam teorinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan sosial. Menurut
Mark, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis,
serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai cara dan alasan karena
menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yakni suatu proses yang dilakukan
untuk membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum
perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme reproduksi buruh murah. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena
umumnya upah buruh perempuan sering kali rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan, akan tetapi justru sistem
kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis. Feminisme sosialis mulai dikenal
tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman estate telah meletakkan dasar-dasar feminisme
sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik penindasan kelas
maupun penindasan patriarkis.
Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar marxisme dan
memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori marxis. Menurut banyak
kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini dianggap lebih memiliki harapan,
karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan
perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis juga tidak serta merta menaikkan
posisi perempuan. Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam
masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Feminis
sosialis menolak visi marxis yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan
gender. Sebaliknya feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena
itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali diungkapkan oleh Zillah
Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas yang diterapkan,
dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, untuk melihat nasib
kaum perempuan. Dalam analisanya Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak
sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era pascakapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan edisi ke-3.
Jakarta: Kencana

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai