F. PERSPEKTIF
Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi dalam
masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang dianutnya. Dalam
studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran
feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik.
1. Paradigma Fungsionalisme dan Feminisme
Aliran fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian
dan saling berkaitan dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan
dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan. Menurut teori
struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-
masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara laki-laki dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal. Sebelum
menjelaskan tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan feminisme ? Pada
umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap
kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, seperti institusi rumah tangga,
perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena
adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan,
bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut kaum feminisme, feminisme seperti
halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan
yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang
dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi
mempunyai kesamaan tujuan, yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berasal dari
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat, menurut kerangka kerja feminisme liberal tertuju pada “kesempatan yang sama
dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan. Kesempatan
dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan
kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengapa kaum perempuan dalm keadaan
terbelakang atau tertinggal? Menurut feminisme liberal hal itu disebabkan oleh kesalahan
“mereka sendiri”. Artinya jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki
dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum
perempuan sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa untuk
memecahkan masalah kaum perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan kaum
perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2. Paradigma Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini percaya
bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan
sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.
Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat
untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan perempuan. Atas dasar
asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan mengubah posisi
dan hubungan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam teori konflik, adalah: Kelompok
pertama, aliran feminisme radikal. Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexismatau
diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.Para penganut feminisme
radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual
atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum
perempuan oleh patriarkinya. Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun
politis adalah bagian dari permasalahan. Menurut penganut aliran feminisme radikal, patriarki
adalah sumber ideologi penindasan dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan
feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang
universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme marxis. Kelompok ini
menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi mereka penindasan perempuan adalah
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Karl Mark sendiri tidak banyak
menjelaskan dalam teorinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan sosial. Menurut
Mark, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis,
serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai cara dan alasan karena
menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yakni suatu proses yang dilakukan
untuk membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum
perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme reproduksi buruh murah. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena
umumnya upah buruh perempuan sering kali rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan, akan tetapi justru sistem
kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis. Feminisme sosialis mulai dikenal
tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman estate telah meletakkan dasar-dasar feminisme
sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik penindasan kelas
maupun penindasan patriarkis.
Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar marxisme dan
memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori marxis. Menurut banyak
kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini dianggap lebih memiliki harapan,
karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan
perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis juga tidak serta merta menaikkan
posisi perempuan. Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam
masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Feminis
sosialis menolak visi marxis yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan
gender. Sebaliknya feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena
itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali diungkapkan oleh Zillah
Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas yang diterapkan,
dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, untuk melihat nasib
kaum perempuan. Dalam analisanya Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak
sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era pascakapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan edisi ke-3.
Jakarta: Kencana
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.