Anda di halaman 1dari 9

ZAT ADITIF BUKAN MAKANAN

TUGAS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mengikuti Mata Kuliah


Kajian IPA-Kimia pada Program Studi Pendidikan IPA

Oleh

MALIK YAKUBI
NPM. 1709200170019

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
TAHUN 2019
I. Pendahuluan
Zat aditif adalah zat-zat yang ditambahkan pada makanan selama proses
produksi, pengemasan atau penyimpanan untuk maksud tertentu. Penambahan
zat aditif dalam makanan berdasarkan pertimbangan agar mutu dan kestabilan
makanan tetap terjaga dan untuk mempertahankan nilai gizi yang mungkin rusak
atau hilang selam proses pengolahan (Ramlawati dkk., 2017).
Penambahan zat aditif pangan sebenarnya diperbolehkan, apabila bahan
tambahan tersebut dilegalkan dan tidak berbahaya bagi konsumen. Namun
permasalahan yang muncul, banyak produsen ataupun penjual tidak memahami
dan memperhatikan hal tersebut dengan sengaja menambahkan bahan-bahan
berbahaya yang sebenarnya bukan bahan pangan agar mendapat keuntungan
yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan dampak bahaya bagi kesehatan
konsumen.

II. Zat Aditif Bukan Makanan


2.1. Pewarna
Proses pengolahan makanan memiliki peranan penting dalam hilangnya
warna alami karena paparan suhu tinggi, cahaya, udara dan kelembapan selama
proses tersebut berlangsung. Hal inilah yang membuat produsen kemudian
memberikan zat pewarna tambahan. Persaingan produk di pasaran kemudian
membuat sebagian orang yang tidak bertanggung jawab memilih langkah yang
salah dengan menggunakan pewarna sintesis ke dalam produk pangan dengan
alasan harga murah, lebih stabil dan lebih terang dari pada warna alami.
Selama tiga dekade terakhir, studi yang berulang menyimpulkan bahwa
pewarna sintesis berdosis sedang yang ditambahkan pada makanan dapat
memprovokasi hiperaktivitas dan gangguan tingkah laku lainnya pada anak-anak.
Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara aditif makanan dengan
permasalahan yang sangat serius pada anak-anak tidak hanya termasuk
hiperaktif, namun juga gangguan kognitif, dan dorongan agresif, asma dan
penyakit gatal berbintik merah, kekurangan zat besi dan seng, dan kurang tidur
serta mudah marah. Berikut beberapa zat pewarna dan efek sampingnya:
1) Rhodamin B

Gambar 2.1 Struktur Kimia Rhodamin B

Sebenarnya jenis pewarna ini tidak boleh digunakan untuk mewarnai


makanan karena digunakan dalam industri tekstil dan kertas. Rhodamin B sering
disalah gunakan pada pembuatan kerupuk, terasi, cabe merah giling, agar-agar,
aromanis/kembang gula, manisan, sosis, sirup, minuman, dan lain-lain. Ciri-ciri
pangan yang mengandung rhodamin B antara lain warnanya cerah mengkilap dan
lebih mencolok, terkadang warna terlihat tidak homogen (rata), ada gumpalan
warna pada produk, dan bila dikonsumsi rasanya sedikit lebih pahit. Biasanya
produk pangan yang mengandung zat ini tidak mencantumkan kode, label,
merek, atau identitas lengkap lainnya. Jika dikonsumsi akan berefek buruk untuk
kesehatan. Salah satunya dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan jika
terhirup langsung. Jika dikonsumsi akan menimbulkan reaksi keracunan dan
warna air seni bisa menjadi merah.
Menurut surat kabar Kompas (Senin, 03 April 2017), pernah memuat
berita mengenai uji sampel yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan
Makanan (BB POM) Bali, sampel diambil dari sejumlah pasar tradisional.
Sasarannya adalah jajanan yang sering digunakan dalam upacara pada Hari Raya
Galungan. Ditemukan zat berbahaya pewarna tekstil (Rhodamin B) dan formalin.
Rhodamin B ditemukan pada jajanan seperti bolu kukus, jipang warna merah,
kue lapis, apem warna merah, dan terasi. Sedangkan zat berbahaya formalin
ditemukan pada ikan asin (Noviyanti, 2017).
2) Methanil Yellow

Gambar 2.2 Struktur Kimia Methanil Yellow

Methanil Yellow merupakan bahan pewarna sintetik berbentuk serbuk,


berwarna kuning kecoklatan, bersifat larut dalam air dan alkohol. Pewarna ini
umumnya digunakan sebagai pewarna pada tekstil, kertas, tinta, plastik, kulit,
dan cat. Biasanya digunakan pada jenis pangan antara lain kerupuk, mi, tahu, dan
pangan jajanan yang berwarna kuning, seperti gorengan.
Ciri-ciri pangan yang mengandung Methanil yellow adalah produk
pangan berwarna kuning mencolok dan berpendar. Selain itu, terdapat titik-titik
warna akibat pewarna tidak tercampur secara homogen, misalnya pada kerupuk
(Khoiruddin, 2015). Efek sampingnya juga sama dengan Rhodamin B.

2.2. Pengawet
1) Boraks
Boraks adalah senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil
pada suhu ruangan. Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama natrium
tetraborat (NaB4O7.10H2O). Boraks larut dalam air akan menjadi hidroksida dan
asam borat (H3BO3). Boraks atau asam boraks biasanya digunakan untuk bahan
pembuat deterjen, bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada
kosmetik (Mudzkirah, 2016).

Gambar 2.3. Struktur Kimia Boraks


Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak berakibat buruk
secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena
diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Larangan penggunaan boraks
juga diperkuat dengan adanya Permenkes RI No 235/Menkes/VI/1984 tentang
bahan tambahan makanan, bahwa boraks digolongkan dalam bahan tambahan
yang dilarang digunakan dalam makanan.
Boraks dinyatakan dapat mengganggu kesehatan bila digunakan dalam
makanan, misalnya mie, bakso kerupuk. Efek negatif yang ditimbulkan dapat
berjalan lama meskipun yang digunakan dalam jumlah sedikit. Jika tertelan
boraks dapat mengakibatkan efek pada susunan syaraf pusat, ginjal dan hati.
Ginjal merupakan organ paling mengalami kerusakan dibandingkan dengan
organ lain. Selain melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit.
Dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan munculnya gejala
pusing-pusing, muntah dan kram perut. Anak kecil dan bayi, bila dosis dalam
tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan
untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10 sampai 20 gram (Tubagus
dkk., 2013).
Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki struktur
dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada bakso dan
lontong akan sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada kerupuk yang
mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta memiliki
tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan yang telah diberi boraks
dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan
panca indera, namun harus dilakukan uji khusus boraks di laboratorium
((Mudzkirah, 2016).
Sementara itu, makanan yang mengandung boraks memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a) Lebih kenyal dibanding bakso tanpa boraks.Bila digigit akan kembali ke
bentuk semula.
a. Tahan lama atau awet beberapa hari.
b. Warnanya tampak lebih putih. Bakso yang aman berwarna abu-abu segar
merata di semua bagian, baik di pinggir maupun tengah.
c. Bau terasa tidak alami. Ada bau lain yang muncul.
d. Bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola bekel.

2) Formaldehid (Formalin)
Bahan dasar dari formalin adalah formaldehid (IUPAC: methanal), yang
merupakan aldehid paling sederhana dan merupakan hasil oksidasi parsial dari
methanol memiliki sifat tidak berwarna, namun berbau tajam, larut dalam air,
alkohol, serta eter (tidak larut dalam pelarut organik yang lain), formaldehid
merupakan gas yang reaktif pada suhu kamar, memiliki berat molekul sekitar 30
g/mol.

Gambar 2.4. Struktur Kimia Formaldehid (Formalin)

Senyawa aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein,


karenanya ketika disiramkan ke makanan yang mengandung protein, formalin
akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan hingga terus meresap
ke bagian dalamnya. Melihat dari sifatnya, formalin juga sudah tentu akan
menyerang protein yang banyak dalam tubuh manusia seperti pada lambung.
Matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan
terasa lebih kenyal. Selain protein mati tidak akan diserang bakteri pembusuk
yang menghasikan senyawa asam, itulah sebabnya makanan yang mengandung
formalin akan lebih awet. Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat
jaringan dalam bakteri dehidrasi, sehingga sel bakteri akan kering dan
membentuk lapisan baru di permukaan supaya tahan terhadap bakteri lain
(Asrianti, 2016).
Formalin selain harganya murah , mudah didapat dan pemakainya pun
tidak sulit sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan
yang tidak berjawab. Anjuran pemakaian formalin yang benar adalah:
1) Sebagai pembunuh kuman yang banyak dipakai untuk pembersih kapal,
lantai, kapal dam gudang.
2) Bahan insectisida
3) Zat pewarna cermin kaca dan bahan peledak.
4) Pengeras lapisan gelatin dan kertas foto.
5) Bahan pembuatan pupuk urea, parfum, pengeras kuku dan pengawet produk
kosmetik.
6) Bahan perekat kayu lapis.
Konsentrasi kurang dari 1%, formalin digunakan sebagai pengawet dalam
pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, sampo mobil dan lilin.
Formalin tidak diperkenankan ada dalam makanan maupun minuman, karena
dalam jangka panjang dapat memicu perkembangan sel-sel kanker. Formalin
sangat berbahaya jika dihirup, tertelan atau mengenai kulit karena dapat
mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan, reaksi alergi serta luka bakar.
Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan bertentangan dengan
PERMENKES RI No 1168/MENKES/PER/X/1999 yang melarang formalin
sebagai bahan tambahan pada makanan, dan PP No 28 tahun 2004 tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan,UU No 7 tahun 1996 tentang pangan serta UU
No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen konsumen perlu mengetahui
dan membedakan makanan yang mengandung boraks dan berformalin dan yang
tidak mengandung kesehatannya.
Berikut beberapa ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.
1) Ikan
a) Berwarna putih bersih dan dagingnya kenyal
b) Insang tidak berwarna merah segar melainkan merah tua.
c) Pada suhu 25° bisa tahan hingga beberapa hari
d) Tidak ada bau amis khas ikan, melainkan bau menyengat khas formalin.
Uji sederhana, coba berikan ikan yang baru di beli pada kucing. Bila
kucing tidak mau memakan bahkan pergi, itu pertanda ikan mengandung
formalin atau bahan-bahan kimia lainnya.
2) Ayam potong
a) Berwarna putih bersih.
b) Pada suhu kamar bisa awet hingga beberapa hari
3) Tahu
a) Memiliki bentuk yang sangat bagus dan kenyal, tekstur sangat halus, tak
mudah hancur
b) Pada suhu 25° bisa tahan sampai 3 hari, di dalam pendingin tahan hingga
2 minggu.
c) Bau cukup menyengat serta aroma khas kedelai sudah tidak begitu terasa
lagi.
4) Mie basah
a) Baunya sedikit menyengat
b) Pada suhu ±25° (suhu kamar) bisa tahan hingga 2 hari, sedangkan bila
disimpan di dalam pendingan (suhu 10°) bisa awet hingga lebih dari 15
hari 49
c) Mie tampak mengkilap seperti dilumuri minyak, tidak lengket dan sangat
kenyal (tak mudah putus).

III. Kesimpulan
Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai masyarakat selaku
konsumen, melihat banyaknya beredar bahan pangan yang mengandung zat
aditif yang berbahaya sudah selayaknya meningkatkan pengetahuan tentang zat
aditif yang berbahaya. Khusus untuk orang tua dan masyarakat meningkatkan
kewaspadaan terhadap bahaya jajanan anak-anak yang beredaran di pasar dengan
cara membekali diri dengan pengetahuan ciri-ciri jajanan atau makanan yang
mengandung zat aditif.
Daftar Pustaka
Asrianti. 2016. Bahaya Formalin dalam Makanan. Tribun Jogja: Health.

Khoiruddin, I. 2015. Brillio Net: Salah Satu Faktor Tingginya Keracunan


Makanan yang Terjadi di Indonesia Adalah Penggunaan Zat
Pewarna Pakaian. https://www.brilio.net/news/ . Diakses pada 1
Oktober 2017.

Mudzikarah, I. 2016. Identifikasi Penggunaan Zat Pengawet Boraks dan


Formalin pada Makanan Jajanan di Kantin UIN Alauddin Makasar
Tahun 2016. Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makasar.

Noviyanti. 2017. Kompas: Zat Pewarna Tekstil Masih Ditemukan Pada Jajanan
Pasar di Bali. https://regional.kompas.com/ . Diakses pada 1 Oktober
2017.

Ramlawati, Hamka, L., Saenab, S., & Yunus, S.R. 2017. Zat Aditif dan Adiktif
Serta Sifat Bahan dan Manfaatnya. Kemendikbud: Sumber belajar
Penunjang PLPG.

Tubagus, I., Citraningtyas, G., & Fatimawali. 2013. Identifikasi dan Penetapan
Kadar Boraks dalam Bakso, Jajanan di Kota Manado. Pharmacon,
2(4):142-148.

Anda mungkin juga menyukai