Anda di halaman 1dari 24

WRAP UP

SKENARIO 1
MATA DIOBATI MENJADI BUTA
BLOK MEDIKOLEGAL

Kelompok A-12
Ketua : Husna Maulidia S (1102014123)
Sekretaris : Hilda Utami (1102014121)
Anggota : Anggi Larasati (1102015023)
Arya Nugraha Karya (1102014040)
Asa Gema Kurniawan (1102015036)
Dessy Indriani (1102014069)
Adibah Nauratul Azkiya (1102015006)
Kadita Pritiwi (1102015109)
Magma Sanggiri (1102015124)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2018 – 2019

1
SKENARIO

Mata Diobati Menjadi Buta


Tidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga
Bantuan Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan
malpraktek dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center.
Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, Kemerahan pada mata, kabur penglihatan, kepekaan
terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke dokter Fikri
Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagaipenyakit uveitis tuberkulosa. Namun
beberapa hari kemudian setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali
berfungsi normal atau menjadi buta.
Sementara itu, Dokter Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center
membantahtelah melakukan malpraktek terhadap Haslinda.
Dalam pengaduannya keruang pengaduan Polda Metro Jaya, Haslinda warga Kayu Mas,
Pulogadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntuan materil dan inmateril kepada
dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagaipihak yang diduga melakukan
malprakter.
Pengacara pasienjuga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan:
1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
6. UU No. 44 tahun 2009 tentangRumah Sakit
7. Kode Etik Kedokteran
8. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2
KATA SULIT
1. Malpraktek : Kelalaian dari seorang dokter untuk menerapkan tingkat pengetahuan,
kompetensi dan keterampilan pada pasien
2. Hukun Pidana : peraturan yang menentukan perbuatan yang di larang dan yang
termasuk dalam tindakan pidana serta menentukan hukum yang dijatuhkan.
3. Hukum Perdata : Ketentuan yang mengatur hak-hak yang kepentingan individu dalam
masyarakat
PERTANYAAN
1. Apa saja yang mungkin menjadi kerugian materi dan inmateri pada pasien tersebut ?
2. Apa saja contoh mal praktek dalam dunia kesehatan ?
3. Bagaimana cara menyelesaikan kasus ini ?
4. Apa indikasi mal praktek dalam islam ?
5. Apakah terdapat perlindungan hokum dari rumah sakit ?
6. Apakah fungsi dari lembaga hokum kesehatan ?
7. Apa saja tindakan pencegahan mal praktek ?
8. Apa saja jenis mal praktek ?
9. Apa hokum mal praktek dalam islam ?
10. Siapa yang bertanggung jawab jika dokter melakukan mal praktek ?
JAWABAN
1. Inmateri seperti buta dan yang materi seperti sudah mengeluarkan uang yang terlalu
banyak
2. Kesalahan pada saat anastesi, Aborsi yang tidak sesuai indikasi, pemberian obat yang
salah, salah diagnosis, tindakan diluar kompetensi
3. Kodeki, Kekeluargaan/mediasi, Jalur hukum
4. Merugikan pasien dan diri sendiri, tidak sesuai kompetensi
5. ada tergantung dari SOP rumah sakit tersebut
6. untuk melindungi orang – orang yang terkena mal praktek yang di naungi oleh
departemen hokum dan ham dan sebagai jembatan antara korban dan terduga yang
melakukan mal praktek
7. Imformed consent, rekam medis, komunikasi yang baik, tindakan yang sesuai SOP
8. Malpraktek Etik, MalPraktek Disiplin, Malpraktek Hukum
9. Haram jika disengaja
10. Dokter bersangkutan & rumah sakit dan klinik tempat dokter tersebut praktek

HIPOTESIS
Malpraktek merupakan kelalaian dokter untuk menerapkan tingkat pengetahuan, kompetensi
dan keterampilan pada pasien yang menyalahi undang – undang, kode etik dan haram
menurut agama Islam.

3
SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek
LO.1.1, Memahami dan Menjelaskan Definisi Malpraktek
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Malpraktek
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Alur Malpraktek
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Malpraktek

4
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek
LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Malpraktek
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice”
yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan
medis buruk yang dilakukan dokter/tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan pasien.
Malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter/tenaga kesehatan
pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh
dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman,
1950).
Menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh
dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-
rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama,
dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Kelalaian
medik.

LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Malpraktek


Kriteria

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
• Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hokum atau
tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan
tindakan medis tanpaindikasi yang memadai.
• Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakandengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan
tindakan medisdengan menyalahi prosedur
• Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan

bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak
selalu mengakibatkan kerugian.

Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak
buruk .Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila
memenuhiempat unsur di bawah ini, yaitu:

1.Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atauuntuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasidan
kondisi yang tertentu.
2.Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3.Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberilayanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugianyang
setidaknya merupakan “proximate cause”.

5
Bentuk-bentuk Malpraktek

1. Malpraktik Medik (medical malpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence


in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or
omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat
langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).

Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional


misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is
liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang
tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan
pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik
adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut lingkungan yang sama.

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat
standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.

3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi


kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

Malpraktik Yuridik meliputi:

a. malpraktik perdata (civil malpractice0

Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang
dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan

b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna

c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

6
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea)
berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :

a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik

b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja

c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat

d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar

e. Membuat visum et repertum tidak benar

f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai


ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:

a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut

b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak


mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:

a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin

b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya

c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.

d. Tidak membuat rekam medik.

LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Alur Malpraktek


Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan
kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana,
malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan
pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi.

7
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360,
KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain
itu.

8
Alur Penyelesaian Hukum

9
MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN (MKEK)
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang
bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan
kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.

Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan
strategis, MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.

MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang
dibentuk apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah.
MKEK bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang
sesuai dengan tingkat kepengurusan. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI
Kepengurusan MKEK sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK
wilayah dan cabang mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang,
sesuai dengan tingkat kepengurusan.

Tugas dan wewenang


1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan
yang ditetapkan muktamar.
2. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi
luhur kedokteran.
3. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
4. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar,
pengurus wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia.
5. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
6. Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.

Manfaat Pedoman MKEK

Pedoman MKEK ini merupakan jabaran dan pedoman pelaksanaan dari Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga IDI tentang MKEK dalam rangka pengaturan substansi etika
kedokteran bagi setiap pengabdian profesi dokter di Indonesia, penegakan, pengawasan,
bimbingan, penilaian pelaksanaan, penjatuhan sanksi etika, rehabilitasi (pemulihan hak-hak
profesi), dan interaksi kelembagaan MKEK dengan sesama perangkat dan jajaran internal IDI
atau lembaga etika lainnya di luar IDI.

Status MKEK:
1. Sebagai badan otonom IDI
2. Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
3. Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI

Kewajiban MKEK

1. MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter – pasien sebagai hubungan


kepercayaan.

10
2. MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada
Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke
Rapat Anggota Cabang IDI setempat
3. MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila
secara eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4. MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas
pengetahuan, sikap dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang
memerlukannya.
Fungsi
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK
IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Tatacara Pengelolaan
a. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar, musyawarah
wilayah, dan musyawarah cabang.
e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain
yang ditentukan sendiri oleh MKEK.

MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)

MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :

1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2. Menetapkan sanksi disiplin.

11
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi
‘Menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.

Tujuan penegakan disiplin adalah :

1. Memberikan perlindungan kepada pasien.


2. Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.

Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI

MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi
profesi, 1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana
hukum. Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi
profesi. Masa bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa
jabatan lagi.

Tugas MKDKI :

a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin


dokter dan dokter gigi yang diajukan dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
atau dokter gigi.

Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:


a. menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b. menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan
keduanya
c. memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d. memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e. menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f. melaksanakan keputusan MKDKI
g. menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
h. menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
i. membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j. membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada
Konsil Kedokteran Indonesia
k. mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan
MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan
keputusan MKDKI.

Disiplin Kedokteran

Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan


penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan
menerapkan kaidah-kaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis,
tindakan pengobatan, menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar
Kompetensi, Standar Perilaku Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinis

12
Tujuan Penegakan Disiplin Kedokteran

Tujuan utama adalah untuk proteksi pasien. Tujuan lainnya yaitu untuk menjaga mutu
dokter atau dokter gigi dan juga untuk menjaga kehormatan profesi kedokteran atau
kedokteran gigi.

Pelanggaran Disiplin

Sesuai putusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006

1. Kegagalan penatalaksanaan pasien oleh karena:


a. Ketidakcakapan (Incompetence)
b. Kelalaian (Gross Negligence)
2. Perilaku tercela (menurut ukuran profesi)
3. Ketidaklayakan fisik dan mental (Unfit to practice)

Atau dengan kata lain

Tidak memenuhi:

1. Standard of care, Clinical Standard


2. Standard of competence
3. Standard of professional atitude
Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran

1. Tidak kompeten
2. Tidak merujuk
3. Dokter atau dokter gigi pengganti tidak diberitahu ke pasien, Tidak memiliki SIP
4. Tidak layak praktik (kesehatan fisik dan mental)
5. Kelalaian dalam penatalaksanaan pasien
6. Pemeriksaan dan pengobatan berlebihan
7. Tidak memberikan informasi yang jujur
8. Tidak ada informed consent
9. Tidak membuat atau menimpan rekam medis
10. Penghentian kehamilan tanpa indikasi medis
11. Euthanasia
12. Penerapan pelayanan yang belum diterima ilmu kedokteran
13. Penelitian klinisi tanpa persetujuan etis.
14. Tidak memberi pertolongan darurat.
15. Menolak atau menghentikan pengobatan tanpa alasan yang sah
16. Membuka rahasia medis tanpa izin
17. Membuat keterangan medis tidak benar
18. Ikut serta tindakan penyiksaan
19. Peresepan obat psikotropik/narkotik tanpa indikasi
20. Pelecehan seksual, initimidasi, dan kekerasan
21. Penggunaan gelar akademik atau profesi palsu
22. Menerima komisi terhadap rujukan atau resepan
23. Pengiklanan diri yang menyesatkan
24. STR, SIP, Sertifikan kompetensi tidak sah
25. Imbalan jasa tidak sesuai tindakan.

13
Proses Pengaduan Pelanggaran

TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI

TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)

A. PENGADUAN (ADMISSION)
B. VERIFIKASI
C. PEMERIKSAAN AWAL OLEH MPA
D. INVESTIGASI (INQUIRY)

TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)

A. PEMERIKSAAN DISIPLIN OLEH MPD


B. PEMBUKTIAN
C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN

TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)

A. PEMBACAAN KEPUTUSAN
B. PENGAJUAN KEBERATAN TERADU (JIKA ADA)
C. PENYAMPAIAN KEPUTUSAN KEPADA PIHAK TERKAIT

Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau


ketentuan dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi
dianggap melanggar disiplin kedokteran bila :
1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten
2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal
ini tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya

Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain


ketidakjujuran dalam berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental,
membuat laporan medis yang tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada
pasien, menolak menangani pasien tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien/keluarga, melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada
saat membutuhkan penanganan segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan
tambahan/pengobatan yang berlebihan, bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb

Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :


1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah
tanggal 6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)

14
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb

Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda
terima pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan
akan ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi

MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap


dokter teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh
dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang
dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya

Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan,
KKI, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait.
Dokter/dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI
kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent

Definisi
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien
tersebut.

Bentuk Informed Consent


a. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.

15
b. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.
c. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive.

Tujuan Informed Consent


Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia
perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat
apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda
dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Manfaat Informed Consent


Informed Consent bermanfaat untuk :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa
indikasi, penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
b. Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari
walaupun dokter telah bertindak seteliti mungkin.

Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan,


pasien dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang
profesi medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang
rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu
nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.

Informasi yang harus diberikan dokter kepada pasien:


a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, meliputi:
 Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis
 Diagnosis penyakit; atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding
 Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran

16
 Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, meliput:
 Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik ataupun rehabilitatif
 Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi
 Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif
tindakan
 Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
 Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
 Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan
 Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, meliputi:
 Prognosis tentang hidup-matinya
 Prognosis tentang fungsinya
 Prognosis tentang kesembuhan
f. Perkiraan pembiayaan

Kapan Persetujuan Tindakan Medis dilakukan:


a. Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
c. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran yang tidak
terdapat indikasi sebelumnya untuk menyelamatkan jiwa pasien

Yang berhak memberikan persetujuan


Pasien yang kompeten atau keluarga terdekat suami atau isteri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya

Tata cara pemberian persetujuan:


a. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan secara tertulis atau lisan dan diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran yang dilakukan
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang tertuang dalam formulir khusus yang ditanda tangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan
c. Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan / atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan tindakan keokteran
d. Tindakan penghentian / penundaan bantuan hidup pada seorang pasien harus
mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien setelah mendapat penjelasan dari tim
dokter yang bersangkutan

17
e. Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang
memberi persetujuan secara tertulis sebelum dimulainya tindakan

Penolakan Tindakan Kedokteran


a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan / atau keluarga
terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan. Penolakan tindakan kedokteran tersebut dilakukan secara tertulis
b. Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien
c. Penolakan tindakan-tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan
pasien

Tanggung Jawab
a. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung
jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran
b. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan
tindakan kedokteran

Skema Pelaksanaan Informed Consent

Pasien Dokter

Informasi

Mempertimbangkan /
memutuskan

SETUJU MENOLAK

Penandatanganan Penandatanganan
Form persetujuan Form penolakan

Ketentuan Informed Consent


Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya:
1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur
(SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.

18
2. Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3. Informed Consent dianggap benar:
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan
(purhate of medical procedure)
b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
c. Tentang risiko
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko –risikonya
(alternative medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g. Diagnosis
5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
a. Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
b. Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan
6. Cara menyampaikan informasi
a. Lisan
b. Tulisan
6. Pihak yang menyatakan persetujuan
a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Saudara saudara kandung
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
 Ayah/ibu adopsi
 Saudara-saudara kandung
 Induk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Wali yang sah
 Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
 Wali
 Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
 Suami/istri
 Ayah/ibu kandung
 Anak-anak kandung
 Saudara-saudara kandung
8. Cara menyatakan persetujuan
a. Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi

19
b. Lisan; tindakan tidak beresiko
9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik
ditetapkan pimpinan RS.
10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga
pasien.
11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
a. Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
b. Materai tidak diperlukan
c. Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
d. Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
e. Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi
f. Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya
12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

Aspek Hukum dan Sanksi


1. Pasal 1320 KUHPerdata syarat syahnya persetujuan
o Sepakat mereka yang mengikatkan diri
o Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan
o Suatu hal tertentu
o Suatu sebab yang halal
2. Pasal 1321 tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan atau
diperlukan dengan paksaan atau penipuan
3. KUHPidana pasal 351
o Penganiayaan dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan.
o Menjadikan luka berat hukum selama-lamanya 5 tahun (KUHP 20)
o Membuat orang mati hukum selam-lamanya 7 tahun (KUHP 338)
4. UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53
o Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya
o Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
o Hak pasien antara lain ; hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak
atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion).
5. UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5,) (6).
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
6. Permenkes No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medis.
Dokter melakukan tindakan medis tanpa informed consent dari pasien atau
keluarganya saksi administratif berupa pencabutan surat ijin prakteknya.

20
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Malpraktek
Malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa
dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan
kesehatan. Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia medis –
kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan
disiplin ilmu kedokteran.

Bentuk-bentuk malpraktek:
a. Tidak punya keahlian (jahil)
Melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak
memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian
keahlian tapi bertindak diluar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi
SAW dalam sabda beliau:

ْ‫امن‬
ِ ‫ض‬ َْ ‫َّب َولَمْ يُعلَمْ ِمن ْهُ ِطبْ قَب‬
َ ‫ل ذَ ِلكَْ فَ ُه َْو‬ َ َ ‫َمنْ ت‬
َْ ‫طب‬

“Barang siapa yang mengobati orang sakit dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung jawab” (HR. Abu Dawud no.4575, an-Nasai’
no.4845 dan Ibnu Majah no. 3466. Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-
Shahihah no. 635)

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa Mutathabbib (pelaku pengobatan yang
bukan ahlinya) harus bertanggung jawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar
jjera dan menjadi pelajaran bagi orang lain

b. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah (mukhalafatul ushul al-‘ilmiyyah)


Yang dimaksud dengan prinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang
telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan
harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.
c. Ketidaksengajaan (khatha’)
Adalah suatu tindakan / kejadian tanpa ada maksud pelaku dalam melakukannya.
Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang
terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah
digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha’ (kejahatan
tidak sengaja)
d. Sengaja menimbulkan bahaya (i’tidd’)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan
pengakuan pelaku, meskipun juga faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui
indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas.

21
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malpraktek harus
diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu
wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan
paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya
membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan
malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka. Dalam
dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

a. Pengakuan pelaku malpraktek (iqrar).


Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih
mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini
menunjukkan kejujuran.
b. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika
kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu
pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh
wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan
jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan bahwa saksi tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari diri pelaku).
c. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi
referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Bentuk tanggung jawab malpraktek


Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan
memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi
contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan:
"Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
b. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
 Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
 Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
 Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.

22
 Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali
pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
c. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zir berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
 Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
 Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

Pihak yang bertanggung jawab


Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung,
dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang
dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk
kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah
adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara
tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga
ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa
ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak
langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

23
Daftar isi
Agus M. Algozi. Rekam Medis Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. FK
UNAIR-RS. DR. Soetomo. Surabaya.

AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public
health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)

Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.

Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam medis/Medical
Record , 1994

Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC .
1998

National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available


at:wwww.cancer.gov/ClinicalTrials

World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries,
2006

24

Anda mungkin juga menyukai