Anda di halaman 1dari 33

TONSILITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT

MINI-CEX

Oleh:
Aminah Zahra 1718012095
Okta Della Susmitha 1718012192

Preceptor:
dr. Hanggoro Sapto, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUD PROVINSI Dr. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyusun Mini-CEx dalam rangka memenuhi
tugas dalam kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek, Bandar Lampung.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan Mini-CEx ini. Oleh


karena itu, penulis meminta maaf atas segala kekurangan tersebut, hal ini
disebabkan oleh masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan
penulis. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan guna
kesempurnaan Mini-CEx selanjutnya dan sebagai bahan pembelajaran.

Semoga Mini-CEx ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa
ilmu pengetahuan untuk kita semua.

Bandar Lampung, Mei 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul
tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai filter atau penyaring organisme
yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsillitis (Soepardi, 2012).

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2012).

Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang tidak
ditangani dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis dan tonsilitis
rekuren, karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan proses penyakit
yang sama. Jika tonsil pasien secara maksoskopis dan histologis kembali ke bentuk
normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan antara tonsilitis rekuren
dengan tonsilitis kronis (Ugras dan Kutluhan, 2008).

Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA
atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan
data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada tahun 1994- 1996,
prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (Srikandi,
2013).
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Am
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Suku : Lampung
Alamat : Perum BKP Blok R no. 73
Agama : Islam

PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Dilakukan autoanamnesis pada hari Kamis, 09 Mei 2019 pukul 07.00 WIB

Keluhan Utama:
Nyeri menelan sejak 5 hari lalu

Keluhan Tambahan:
Demam, rasa mengganjal di tenggorokan, nafsu makan berkurang.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan sejak ± 5 hari lalu. Keluhan disertai
dengan rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien sulit menelan dan kurang
nafsu makan. Selain itu pasien merasakan badannya mulai demam sejak 2 hari lalu,
namun hilang timbul.
Keluhan biasanya timbul setelah pasien mengonsumsi minuman dingin dengan
pemanis buatan dan makan goreng-gorengan. Pasien mengatakan bahwa saat tidur
pasien selalu mengorok. Keluhan lain berupa nyeri telinga, keluar cairan dari telinga,
terasa penuh ditelinga tidak ada. Pasien tidak mengalami kesulitan saat membuka
mulut maupun berbicara.

Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.


Riwayat penyakit asma tidak ada. Sebelumnya pasien sudah sering berobat ke
puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan obat minum, sembuh namun
sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1 tahun terakhir, ini merupakan
yang ke-empat kali.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat nyeri menelan berulang (+), ISPA berulang (-), riwayat sakit gigi (-).

Riwayat penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang sedang mengalami gejala yang sama. Asma (-).

Riwayat Sosial:
Pasien sering makan goreng-gorengan dan meminum es dengan pemanis buatan.
Merokok (-) konsumsi alkohol (-).

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5oC
Berat Badan : 60 kg
STATUS GENERALISATA
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : Pembesaran KGB leher (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak tampak deformitas

STATUS LOKALIS THT


TELINGA
KANAN TELINGA LUAR KIRI
Normotia Bentuk telinga luar Normotia
Deformitas (-), nyeri tarik (-), Daun telinga Deformitas (-), nyeri tarik
warna kulit sama dengan (-), warna kulit sama
sekitarnya, edema (-) dengan sekitarnya, edema
(-)
Warna kulit sama dengan sekitar, Preaurikular Warna kulit sama dengan
nyeri tekan tragus (-), fistula (-), sekitar, nyeri tekan tragus
edema (-), abses (-) (-), fistula (-), edema (-),
abses (-)
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Retroaurikular Hiperemis (-), nyeri tekan
benjolan (-), fistula (-) (-), benjolan (-), fistula (-)
Tidak ada Tumor Tidak ada

KANAN LIANG TELINGA KIRI


Lapang Lapang / Sempit Lapang
Warna menyerupai kulit Warna Epidermis Warna menyerupai kulit
Tidak ada Sekret Tidak Ada
Ada Serumen Ada
Tidak ada Tumor Tidak ada
Tidak Ada Edema Tidak Ada
KANAN MEMBRAN TIMPANI KIRI
Putih mutiara Warna Putih mutiara
(+) Reflek Cahaya (+)
(-) Perforasi (-)
Retraksi (-), bulging (-) Bulging/Retraksi Retraksi (-), bulging (-)

HIDUNG
KANAN HIDUNG LUAR KIRI
Warna sama dengan sekitarnya Kulit Warna sama dengan sekitarnya
Normal Bentuk Hidung Normal
Luar
Tidak ditemukan Deformitas Tidak ditemukan
Nyeri Tekan
Tidak ada - Dahi Tidak ada
Tidak ada - Pipi Tidak ada
Tidak ditemukan Krepitasi Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Tumor, Fistel Tidak ditemukan

RHINOSKOPI ANTERIOR
Kanan Kiri
Hiperemis (-) Mukosa Cavum Hiperemis (-)
Nasi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Mukosa hiperemis (-), eutrofi Konka inferior Mukosa hiperemis (-), eutrofi
Sulit dinilai Konka media Sulit dinilai
Tidak ada deviasi septum nasi Septum nasi Tidak ada deviasi septum

(-) Massa (-)


RHINOSKOPI POSTERIOR (NASOFARING)
Tidak dilakukan pemeriksaan

CAVUM ORIS
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies (-)
Lidah Bentuk normal, Ulkus (-), Plak (-)
Palatum durum Permukaan licin
Palatum mole Permukaan licin, ptechie (-)
Uvula Posisi ditengah
Tumor Tidak ada

FARING
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-)
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Di tengah

TONSIL
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T3-T2
Warna Hiperemis +/+
Kripta Melebar
Detritus (-)
Perlekatan Tidak ada
LARING
Tidak dilakukan pemeriksaan

NERVI KRANIALIS
Tidak dilakukan pemeriksaan

KELENJAR GETAH BENING (KGB) LEHER


Inspeksi: tidak terlihat pembesaran KGB
Palpasi: tidak teraba pembesaran KGB, nyeri tekan (-)

Kesan Pemeriksaan:
- Telinga dalam batas normal.
- Hidung dalam batas normal.
- Tonsil tampak membesar (T3-T2), hiperemis, kripta melebar, tidak tampak
detritus.
Pemeriksaan anjuran:
- Kultur dan uji resistensi bakteri dari sediaan apusan tonsil untuk mengetahui
bakteri penyebab.
RESUME
Pasien laki-laki usia 21 tahun datang dengan keluhan nyersi menelan sejak ± 5 hari
lalu. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien sulit
menelan dan kurang nafsu makan. Selain itu pasien merasakan badannya mulai
demam sejak 2 hari lalu, namun hilang timbul. Keluhan biasanya timbul setelah
pasien mengonsumsi minuman dingin dengan pemanis buatan dan makan goreng-
gorengan. Pasien mengatakan bahwa saat tidur pasien selalu mengorok. Sebelumnya
pasien sudah sering berobat ke puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan
obat minum, sembuh namun sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1
tahun terakhir, ini merupakan yang ke empat kali.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah: 120/70 mmHg, frekuensi napas:
20x/menit, frekuensi nadi: 88x/menit, suhu: 36,5oC, berat badan: 60kg. status
generalis dalam batas normal. Telinga dalam batas normal. Hidung dalam batas
normal. Tonsil tampak membesar (T3-T2), hiperemis, kripta melebar, tidak tampak
detritus.

DIAGNOSIS

Diagnosis Banding:
1. Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
2. Tonsilofaringitis

Diagnosis Kerja :
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

TERAPI
Non Medikamentosa
- Edukasi pasien mengenai tonsilitis kronis
- Edukasi pasien untuk tidak mengonsumsi makanan atau minuman dinging, hindari
goreng-gorengan atau makanan berminyak.
- Edukasi mengenai petunjuk meminum obat yang sesuai, segera kontrol jika keluhan
menetap atau memburuk.
- Menyarankan pasien untuk melakukan tindakan tonsilektomi.

Medikamentosa
Eritromisin 250 mg, 4 x 1 tablet
Paracetamol 500 mg, 3 x 1 tablet

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi dari infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada
masa pubertas. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam
fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah ( Rusmajono, 2007).

Gambar 1. Cincin Waldeyer


Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga
mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan
kista duktus tiroglosus (Rusmajono, 2007)

Tonsila palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsil ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam
faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam
cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan
medial tonsil terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsil
ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut kapsul tonsil palatina, terletak
berdekatan dengan tonsil lingualis (Boies, 2011; Rusmajono, 2007).

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsil palatina adalah:


1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. karotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan
lateral tonsil.
Gambar 2. Struktur pada Orofaring

3.1.1 Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong di
atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral
orofaring. Dibatasi oleh:
a. Lateral – muskulus konstriktor faring superior
b. Anterior – muskulus palatoglosus
c. Posterior – muskulus palatofaringeus
d. Superior – palatum mole
e. Inferior – tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripta tonsil. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli
terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat
germinal (Soepardi, 2012; Adams, 2012).

3.1.2 Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya
arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal (Adams, 2012).

Gambar 3. Perdarahan pada tonsil


3.1.3 Aliran Getah Bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada
(Adams, 2012).

3.1.4 Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerve (Adams, 2012).

3.1.5 Imunologi Tonsil


Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif
pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, zona mantel pada folikel limfoid dan pusat germinal pada
folikel ilmfoid.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk


diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1) Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) Organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
3.2 Tonsilitis Kronis
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldayer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri,
dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn. Berdasarkan waktu
berlangsungnya (lamanya) penyakit, tonsilitis terbagi menjadi dua yakni
tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari tiga minggu dan
tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina berlangsung
lebih dari tiga bulan atau menetap. Infeksi terus menerus karena kegagalan atau
ketidaksesuaian pemberian antibiotik (Shalihat et al, 2015).

Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang
tidak ditangani dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis
dan tonsilitis rekuren, karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan
proses penyakit yang sama. Jika tonsil pasien secara makroskopis dan histologis
kembali ke bentuk normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan
antara tonsilitis rekuren dengan tonsilitis kronis (Ugras dan Kutluhan, 2008).

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil di luar serangan
terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior
dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. (Soepardi, 2012)

3.2.1 Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada usia
dekade pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga
disebabkan karena disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta dkk.,
2008).

Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptokokus biasanya terjadi


pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi
pada anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering terjadi padausia 5-10
tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian
prevalensi Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun, dan 0,6 % pada
usia 45 tahun keatas (Nelson, 2000).

3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tonsilitis bermacam – macam, infeksi ini menular melalui
kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections). Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. Penyebab yang paling
sering menyebabkan tonsilitis yaitu (Soepardi, 2012; Adams, 2012):
- Streptokokus beta hemolitikus
- Streptokokus viridians
- Streptokokus piogenes
- Virus influenza

Faktor risiko yang biasanya ada pada pasien tonsilitis adalah sebagai
berikut (IDI, 2014):
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi

3.2.3 Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan dari sel
limfoid, dan telah diinterpretassikan sebagai aktivasi permanen. Tonsilitis
dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di jaringan limfoid
tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang memproduksi
immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta dkk., 2008).
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa
eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar
fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada keadaan imun yang menurun (Soepardi, 2012).

Sebagai suatu rute entri patogen, tonsil dikenal sebagai infeksi postviral
dengan bakteri, begitu juga dengan virus Epstein-Barr. Meskipun
demikian, sampai sekarang, tonsilitis juga diketahui memiliki peran
penting dalam munculnya secondary diseases dalam bentuk infeksi fokal
seperti IgA nefropati, artropati, dan aritritis reaktif. Penyakit-penyakit
tersebut pada beberapa kasus meningkat setelah dialkukan tonsilektomi
(Mogoanta dkk., 2008).

3.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala tonsillitis berbeda berdasarkan etiologi yang menyebabkannya.
Pada tonsillitis viral, gejalanya lebih menyerupai common cold yang
disertai rasa nyeri tenggorok. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka
pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum
dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Pada tonsilitis bakteri gejala
dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu
menelan, demam dengan suhu tubuh tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-
sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia) karena nyeri
alih melalui n. glossofaringeus.
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus
pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau.

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis


Kronis yang mungkin tampak, yakni:
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis,
kripta yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen. (Soepardi,
2012).

3.2.5 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Beberapa kriteria klinis untuk diagnosis tonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
- Setidaknya terjadi tujuh episode serangan dalam satu tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat.
- Setidaknya terjadi lima episode serangan dalam dua tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat.
- Setidaknya terjadi tiga episode serangan dalam tiga tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat. (Ugras dan
Kutluhan, 2008).
Gejala klinis tonsillitis kronis didahului gejala tonsillitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang sempurna. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau (halitosis).
Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang
kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya. Pembesaran tonsil
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan
menelan,obstruksi sleep apneu dan gangguan suara. Gejala lain yang dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok (Klaus, 2014; Ramez
dkk., 2014).

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan
dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan (Soepardi, 2012; Adams, 2012).

Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh


dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa:
a) Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan
sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang
purulen.
b) Tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam dalam tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis,
kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulen (Nelson
dkk., 2000).
Gambar 4. Tonsilitis kronik

Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi)


atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T0 –
T4. Klasifikasi Brodsky membagi pembesaran tonsil dalam ukuran
berikut:

Gambar 5. Ilustrasi ukuran pembesaran tonsil

T0 = tonsil di fossa palatine atau telah diangkat


T1 = tonsil mengisi <25% dari orofaring
T2 = tonsil mengisi 25-50% dari orofaring
T3 = tonsil mengisi 50-75% dari orofaring
T4 = tonsil mengisi >75% dari orofaring (Brodsky, 2006).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi
pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang ditemukan
yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti Staflokokus aureus
(Hasan dan Alatas, 2007).

2. Histopatologi
Diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan 3 kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’sabses
dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa tonsilitis kronis (Ugras & Kutluhan, 2008).

3.2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur
(Soepardi, 2010). Penggunaan obat kumur yang mengandung klorheksidin
atau benzidamin pada pasien dewasa maupun anak dengan tonsillitis yang
ditujukan untuk menjaga higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat
keterbatasan penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan dengan
kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya (Sembiring, 2013).
Terapi antibiotik lini pertama streptokokus β-hemolitikus yaitu penisilin
oral selama 7 hari direkomendasikan. Pengobatan alternatif dapat
diberikan sefalosporin oral (misalnya cefadroxil, cefalexin) diindikasikan
hanya pada kasus kegagalan pengobatan dengan penisilin, sering kambuh,
dan ketika megharapkan eradikasi terhadap streptokokus β-hemolitikus
yang bisa diandalkan. Dalam kasus alergi atau ketidakcocokan penicillin,
sefalosporin atau makrolida (misalnya Eritromisin) adalah alternatif yang
dapat diandalkan (Windfuhr, 2016).

Tabel 1. Pilihan Terapi Antibiotik Tonsilitis dan Faringitis Secara Empirik (Tanto, 2014)
Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral
selama 10 hari
Benzathine penisilin G 1,2 juta U Benzathine penisilin G 25.000 U/kg
intramuskular sekali suntikan intramuskular
Amoksisilin 2x500-875 mg atau 3x250- Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi
500 mg per oral selama 10 hari dalam 2/ 3 dosis per oral selama 10 hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg per oral Cefdinir 14 mg/kg 1 kali per oral
selama 10 hari selama 10 hari
Cefuroxime axetil 1x250 mg per oral Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral
selama 4 hari selama 4-10 hari

Bila Alergi Penisilin:


Dewasa Anak

Azitromycin 1x500 mg PO selama 5 hari Azitromycin 1x12 mg/kg PO selama 5


hari
Claritromycin 2x250 mg PO selama 10 Claritromycin 2x250 mg PO selama 10
hari hari
Erytromycin 4x500 mg PO selama 10 hari Erytromycin 4x20 mg/kg PO selama 10
hari
Clindamycin 20 m/kg/hari dalam 3 dosis Clindamycin 20 m/kg/hari dalam 3
selama 10 hari dosis selama 10 hari
Levofloxacin 1x500 mg PO selama 7 hari
Analgesik diberikan untuk mengurangi nyeri pada penderita tonsillitis
kronik baik pada anak maupun dewasa. Analgesik yang menjadi pilihan
utama adalah paracetamole dan ibuprofen. Namun pada anak lebih
cenderung digunakan ibuprofen. Hal ini dikarenakan ibuprofen memiliki
efikasi yang tinggi dengan efek samping yang minimal jika dibandingkan
dengan paracetamol dan asam salisilat. Selain itu, masa kerja ibuprofen
lebih panjang yaitu 6-8 jam.

Tonsilektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan mengambil atau


mengangkat tonsil untuk mencegah infeksi selanjutnya. Indikasi
tonsilektomi yang dikeluarkan oleh American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium
memberikan rekomendasi sebagai berikut (Rusmarjono, 2007):

1) Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah


mendapatkan terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan
cor pulmonale.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus
β hemoliticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa/otitis media supuratif.
3.2.7 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh
dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah
sebagai berikut:
1. Komplikasi sekitar tonsil
 Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat
tanpa adanya trismus dan abses.
 Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di
dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran
tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil
dan penjalaran dari infeksi gigi.
 Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi
melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal
dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe
faringeal, os mastoid dan os petrosus.
 Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang
retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun
karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
 Kista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin
tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa
tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya
kecil dan multipel.
 Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium
fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil
yang membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh


 Demam rematik dan penyakit jantung rematik
 Glomerulonefritis
 Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
 Psoriasis eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
 Artritis dan fibrositis ( Nelson, 2000 ; Rusmarjono, 2011)
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini penegakkan diagnosis tonsillitis kronis didapatkan berdasarkan


anamnesis keluhan pasien yang sesuai dengan teori tentang tonsillitis kronis,
pemeriksaan fisik yang ditemukan, untuk membuktikan gejala dan mencari tanda
yang menunjang keluhan dari pasien dan menganjurkan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini keluhan utama yang dirasakan adalah nyeri menelan dan rasa
mengganjal pada tenggorokan sejak 5 hari lalu. Maka dilakukan analisis terhadap
pasien ini dan membandingkan temuan pada kasus dengan teori yang ada
diantaranya:

Pasien laki-laki usia 21 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan sejak ± 5 hari
lalu. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien sulit
menelan dan kurang nafsu makan. Selain itu pasien merasakan badannya mulai
demam sejak 2 hari lalu, namun hilang timbul. Keluhan biasanya timbul setelah
pasien mengonsumsi minuman dingin dengan pemanis buatan dan makan goring-
gorengan. Pasien mengatakan bahwa saat tidur pasien selalu mengorok. Sebelumnya
pasien sudah sering berobat ke puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan
obat minum, sembuh namun sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1
tahun terakhir, ini merupakan yang keempat kali.

Berdasarkan teori ,pada anamnesis didapatkan penderita sering datang dengan


keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, rasa
mengganjal di tenggorok, kadang-kadang ada demam. Gejala pasien menunjukkan
kesesuaian dengan teori yang ada. adanya keluhan sistemik seperti demam
menunjukkan bahwa penyakit yang dialami adalah suatu penyakit infeksi. Pasien
mengalami gejala nyeri menelan dan nyeri tenggorokan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil Tonsil tampak membesar (T3-T2),
hiperemis, kripta melebar, tidak tampak detritus. Telinga dalam batas normal. Hidung
dalam batas normal.

Berdasarkan teori pada tonsilitis kronis ditemukan pemeriksaan fisik didapati tonsil
hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
(Soepardi, 2012; Adams, 2012). Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesesuaian
dengan teori yang ada, hal ini menunjukan bahwa pasien menderita tonsilitis kronik.
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsilitis kronik berupa:
a. Pembesaran tonsil karena hipertrofi, kripta melebar.
b. Tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar (Nelson
dkk., 2000).

Pada kasus ini pasien diberikan terapi antibiotik eritromisin 250mg sebanyak 4 kali
dalam sehari. Eritromisin merupakan golongan makrolid. Golongan makrolid
merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Aktif
terhadap kuman gram positif seperti Str. Pyogenes dan Str. Pneumoniae. Antibiotik
ini bisa digunakan untuk infeksi klamidia, pertussis, difteri, streptokokus,
staphylococcus, camylobacter, sifilis, dan gonore. Eritromisin bekerja dengan
menekan sintesis protein bakteri. Waktu mencapai puncak adalah 6 jam dan lama
kerja nya 6 jam. Sehingga pemberian eritromisin 250mg sebanyak 4 kali dalam sehari
terhadap pasien sudah tepat.

Pemberian analgetik pada pasien dikarenakan terjadinya inflamasi yang masih aktif
ditandai dengan gejala nyeri menelan sehingga tidak nafsu makan. Analgetik yang
dipilih untuk mengurangi inflamasi adalah paracetamole. Paracetamole merupakan
golongan obat anti inflamasi non steroid derifat asam propionate yang mempunyai
aktivitas analgetik. Mekanisme paracetamole adalah menghambat isoenzim
sikloosigenase-1 dan sikloosigenase 2 dengan cara mengganggu perubahan asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Efek analgetik obat ini terlihat pada orang dewasa
dengan dosis pemberian 500 mg per 4-6 jam. Obat ini aman dan mudah didapat
sebagai analgetik dan anti piretik pada kasus ini sudah tepat.

Tonsilektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan mengambil atau


mengangkat tonsil untuk mencegah infeksi selanjutnya. Indikasi tonsilektomi yang
dikeluarkan oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Clinical Indicators Compendium memberikan rekomendasi sebagai berikut
(Rusmarjono, 2007):

1) Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus β
hemoliticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa/otitis media supuratif.

Pasien disarankan untuk tonsilektomi karena masuk kepada indikasi relatif, yaitu
serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami keluhan nyeri menelan


dirasakan sejak 5 hari yang lalu disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan
seperti sulit menelan dan kurang nafsu makan. Riwayat demam 2 hari yang lalu
namun hilang timbul. Keluhan ini timbul setelah pasien mengkonsumsi
minuman dingin dengan pemanis buatan dan makan goreng-gorengan. Pasien
mengatakan bahwa saat tidur pasien selalu mengorok. Sebelumnya pasien sudah
sering berobat ke puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan obat
minum, sembuh namun sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1
tahun terakhir, ini merupakan yang keempat kali.
2. Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar (T3-T2), hiperemis, dan kripta
melebar.
3. Berdasarkan dari anamnesis dan temuan pemeriksaan fisik maka pasien
didiagnosis mengalami tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Pasien ini diberikan
tatalaksana berupa antibiotik disertai analgesik untuk menagani simtomatis
yang dikeluhkan dan disarankan tonsilektomi.
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Boies AH. 2011. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC.

Brodsky. 2006. Tonsillitis, Tonsillectomy and Adenoid. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins.

Christopher MD, David HD, Peter JK. 2003. Infectious Indications for Tonsillectomy.
In: The Pediatric Clinics Of North America.

Klaus S. 2 0 1 4 . Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top


Otorhinolaryngol Head Neck Surg.

Mogoanta CA, Ionita E, Prici D, Mitroi M, Anghelina F, Ciolofan S, dkk. 2008.


Chronic tonsilitis histological and immunohistochemical aspects. Romanian
Journal of Morphology and Embriology; 49(3): 381-86.

Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. 2000. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG.

Rusmarjono, Kartoesoediro S. 2007. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. Jakarta: FK UI.

Shalihat AO, Novialdi, Lili I. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan Perlakuuan
Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Andalas. 4(3): 786-94.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Srikandi. 2013. Profil Pembesaran Tonsil Pada Pasien Tonsilitis Kronis Yang
Menjalani Tonsilektomi Di RSUP Sanglah Pada Tahun 2013. Jurnal Universitas
Udayana.
Tanto C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius.

Ugras S dan Kutluhan A. 2008. Chronic tonsilitis can be diagnosed with


histopathologic findings. Eur J gen Med; 5(2): 95-103.

Windfuhr JP, Toepfner N, Steffen G, Waldfahrer F, Berner R. 2016. Clinical practice


guideline: tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical management. Eur Arch
Otorhinolaryngol; 273(4): 973–987.

Anda mungkin juga menyukai