Mini Cex Aminah Okta
Mini Cex Aminah Okta
MINI-CEX
Oleh:
Aminah Zahra 1718012095
Okta Della Susmitha 1718012192
Preceptor:
dr. Hanggoro Sapto, Sp. THT-KL
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyusun Mini-CEx dalam rangka memenuhi
tugas dalam kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek, Bandar Lampung.
Semoga Mini-CEx ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa
ilmu pengetahuan untuk kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul
tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai filter atau penyaring organisme
yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsillitis (Soepardi, 2012).
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila
lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2012).
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang tidak
ditangani dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis dan tonsilitis
rekuren, karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan proses penyakit
yang sama. Jika tonsil pasien secara maksoskopis dan histologis kembali ke bentuk
normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan antara tonsilitis rekuren
dengan tonsilitis kronis (Ugras dan Kutluhan, 2008).
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA
atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan. Berdasarkan
data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada tahun 1994- 1996,
prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (Srikandi,
2013).
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Am
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Suku : Lampung
Alamat : Perum BKP Blok R no. 73
Agama : Islam
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Dilakukan autoanamnesis pada hari Kamis, 09 Mei 2019 pukul 07.00 WIB
Keluhan Utama:
Nyeri menelan sejak 5 hari lalu
Keluhan Tambahan:
Demam, rasa mengganjal di tenggorokan, nafsu makan berkurang.
Riwayat Sosial:
Pasien sering makan goreng-gorengan dan meminum es dengan pemanis buatan.
Merokok (-) konsumsi alkohol (-).
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5oC
Berat Badan : 60 kg
STATUS GENERALISATA
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : Pembesaran KGB leher (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak tampak deformitas
HIDUNG
KANAN HIDUNG LUAR KIRI
Warna sama dengan sekitarnya Kulit Warna sama dengan sekitarnya
Normal Bentuk Hidung Normal
Luar
Tidak ditemukan Deformitas Tidak ditemukan
Nyeri Tekan
Tidak ada - Dahi Tidak ada
Tidak ada - Pipi Tidak ada
Tidak ditemukan Krepitasi Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Tumor, Fistel Tidak ditemukan
RHINOSKOPI ANTERIOR
Kanan Kiri
Hiperemis (-) Mukosa Cavum Hiperemis (-)
Nasi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Mukosa hiperemis (-), eutrofi Konka inferior Mukosa hiperemis (-), eutrofi
Sulit dinilai Konka media Sulit dinilai
Tidak ada deviasi septum nasi Septum nasi Tidak ada deviasi septum
CAVUM ORIS
CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies (-)
Lidah Bentuk normal, Ulkus (-), Plak (-)
Palatum durum Permukaan licin
Palatum mole Permukaan licin, ptechie (-)
Uvula Posisi ditengah
Tumor Tidak ada
FARING
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Edema (-)
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Di tengah
TONSIL
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T3-T2
Warna Hiperemis +/+
Kripta Melebar
Detritus (-)
Perlekatan Tidak ada
LARING
Tidak dilakukan pemeriksaan
NERVI KRANIALIS
Tidak dilakukan pemeriksaan
Kesan Pemeriksaan:
- Telinga dalam batas normal.
- Hidung dalam batas normal.
- Tonsil tampak membesar (T3-T2), hiperemis, kripta melebar, tidak tampak
detritus.
Pemeriksaan anjuran:
- Kultur dan uji resistensi bakteri dari sediaan apusan tonsil untuk mengetahui
bakteri penyebab.
RESUME
Pasien laki-laki usia 21 tahun datang dengan keluhan nyersi menelan sejak ± 5 hari
lalu. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien sulit
menelan dan kurang nafsu makan. Selain itu pasien merasakan badannya mulai
demam sejak 2 hari lalu, namun hilang timbul. Keluhan biasanya timbul setelah
pasien mengonsumsi minuman dingin dengan pemanis buatan dan makan goreng-
gorengan. Pasien mengatakan bahwa saat tidur pasien selalu mengorok. Sebelumnya
pasien sudah sering berobat ke puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan
obat minum, sembuh namun sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1
tahun terakhir, ini merupakan yang ke empat kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah: 120/70 mmHg, frekuensi napas:
20x/menit, frekuensi nadi: 88x/menit, suhu: 36,5oC, berat badan: 60kg. status
generalis dalam batas normal. Telinga dalam batas normal. Hidung dalam batas
normal. Tonsil tampak membesar (T3-T2), hiperemis, kripta melebar, tidak tampak
detritus.
DIAGNOSIS
Diagnosis Banding:
1. Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
2. Tonsilofaringitis
Diagnosis Kerja :
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
TERAPI
Non Medikamentosa
- Edukasi pasien mengenai tonsilitis kronis
- Edukasi pasien untuk tidak mengonsumsi makanan atau minuman dinging, hindari
goreng-gorengan atau makanan berminyak.
- Edukasi mengenai petunjuk meminum obat yang sesuai, segera kontrol jika keluhan
menetap atau memburuk.
- Menyarankan pasien untuk melakukan tindakan tonsilektomi.
Medikamentosa
Eritromisin 250 mg, 4 x 1 tablet
Paracetamol 500 mg, 3 x 1 tablet
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini
melindungi dari infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada
umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada
masa pubertas. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam
fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah ( Rusmajono, 2007).
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan
kista duktus tiroglosus (Rusmajono, 2007)
Tonsila palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsil ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam
faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam
cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan
medial tonsil terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsil
ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut kapsul tonsil palatina, terletak
berdekatan dengan tonsil lingualis (Boies, 2011; Rusmajono, 2007).
3.1.2 Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya
arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal (Adams, 2012).
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada
(Adams, 2012).
3.1.4 Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerve (Adams, 2012).
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang
tidak ditangani dengan baik. Sulit untuk membedakan antara tonsilitis kronis
dan tonsilitis rekuren, karena kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan
proses penyakit yang sama. Jika tonsil pasien secara makroskopis dan histologis
kembali ke bentuk normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan
antara tonsilitis rekuren dengan tonsilitis kronis (Ugras dan Kutluhan, 2008).
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil di luar serangan
terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior
dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. (Soepardi, 2012)
3.2.1 Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada usia
dekade pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga
disebabkan karena disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta dkk.,
2008).
Faktor risiko yang biasanya ada pada pasien tonsilitis adalah sebagai
berikut (IDI, 2014):
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
3.2.3 Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan dari sel
limfoid, dan telah diinterpretassikan sebagai aktivasi permanen. Tonsilitis
dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di jaringan limfoid
tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang memproduksi
immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta dkk., 2008).
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa
eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar
fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada keadaan imun yang menurun (Soepardi, 2012).
Sebagai suatu rute entri patogen, tonsil dikenal sebagai infeksi postviral
dengan bakteri, begitu juga dengan virus Epstein-Barr. Meskipun
demikian, sampai sekarang, tonsilitis juga diketahui memiliki peran
penting dalam munculnya secondary diseases dalam bentuk infeksi fokal
seperti IgA nefropati, artropati, dan aritritis reaktif. Penyakit-penyakit
tersebut pada beberapa kasus meningkat setelah dialkukan tonsilektomi
(Mogoanta dkk., 2008).
3.2.5 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Beberapa kriteria klinis untuk diagnosis tonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
- Setidaknya terjadi tujuh episode serangan dalam satu tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat.
- Setidaknya terjadi lima episode serangan dalam dua tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat.
- Setidaknya terjadi tiga episode serangan dalam tiga tahun terakhir,
meskipun serangan ditangani dengan terapi yang adekuat. (Ugras dan
Kutluhan, 2008).
Gejala klinis tonsillitis kronis didahului gejala tonsillitis akut seperti nyeri
tenggorok yang tidak hilang sempurna. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau (halitosis).
Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang
kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya. Pembesaran tonsil
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan
menelan,obstruksi sleep apneu dan gangguan suara. Gejala lain yang dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok (Klaus, 2014; Ramez
dkk., 2014).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan
dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak
terdapat nyeri tekan (Soepardi, 2012; Adams, 2012).
2. Histopatologi
Diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan 3 kriteria histopatologi yaitu
ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’sabses
dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa tonsilitis kronis (Ugras & Kutluhan, 2008).
3.2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur
(Soepardi, 2010). Penggunaan obat kumur yang mengandung klorheksidin
atau benzidamin pada pasien dewasa maupun anak dengan tonsillitis yang
ditujukan untuk menjaga higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat
keterbatasan penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan dengan
kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya (Sembiring, 2013).
Terapi antibiotik lini pertama streptokokus β-hemolitikus yaitu penisilin
oral selama 7 hari direkomendasikan. Pengobatan alternatif dapat
diberikan sefalosporin oral (misalnya cefadroxil, cefalexin) diindikasikan
hanya pada kasus kegagalan pengobatan dengan penisilin, sering kambuh,
dan ketika megharapkan eradikasi terhadap streptokokus β-hemolitikus
yang bisa diandalkan. Dalam kasus alergi atau ketidakcocokan penicillin,
sefalosporin atau makrolida (misalnya Eritromisin) adalah alternatif yang
dapat diandalkan (Windfuhr, 2016).
Tabel 1. Pilihan Terapi Antibiotik Tonsilitis dan Faringitis Secara Empirik (Tanto, 2014)
Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per oral
selama 10 hari
Benzathine penisilin G 1,2 juta U Benzathine penisilin G 25.000 U/kg
intramuskular sekali suntikan intramuskular
Amoksisilin 2x500-875 mg atau 3x250- Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi
500 mg per oral selama 10 hari dalam 2/ 3 dosis per oral selama 10 hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg per oral Cefdinir 14 mg/kg 1 kali per oral
selama 10 hari selama 10 hari
Cefuroxime axetil 1x250 mg per oral Cefuroxime axetil 10 mg/kg per oral
selama 4 hari selama 4-10 hari
Pasien laki-laki usia 21 tahun datang dengan keluhan nyeri menelan sejak ± 5 hari
lalu. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal di tenggorokan sehingga pasien sulit
menelan dan kurang nafsu makan. Selain itu pasien merasakan badannya mulai
demam sejak 2 hari lalu, namun hilang timbul. Keluhan biasanya timbul setelah
pasien mengonsumsi minuman dingin dengan pemanis buatan dan makan goring-
gorengan. Pasien mengatakan bahwa saat tidur pasien selalu mengorok. Sebelumnya
pasien sudah sering berobat ke puskesmas dan didiagnosis tonsilitis. Pasien diberikan
obat minum, sembuh namun sering berulang seperti ini. Pasien mengatakan dalam 1
tahun terakhir, ini merupakan yang keempat kali.
Berdasarkan teori pada tonsilitis kronis ditemukan pemeriksaan fisik didapati tonsil
hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas.
Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
(Soepardi, 2012; Adams, 2012). Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesesuaian
dengan teori yang ada, hal ini menunjukan bahwa pasien menderita tonsilitis kronik.
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan
kedalam kategori tonsilitis kronik berupa:
a. Pembesaran tonsil karena hipertrofi, kripta melebar.
b. Tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar (Nelson
dkk., 2000).
Pada kasus ini pasien diberikan terapi antibiotik eritromisin 250mg sebanyak 4 kali
dalam sehari. Eritromisin merupakan golongan makrolid. Golongan makrolid
merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Aktif
terhadap kuman gram positif seperti Str. Pyogenes dan Str. Pneumoniae. Antibiotik
ini bisa digunakan untuk infeksi klamidia, pertussis, difteri, streptokokus,
staphylococcus, camylobacter, sifilis, dan gonore. Eritromisin bekerja dengan
menekan sintesis protein bakteri. Waktu mencapai puncak adalah 6 jam dan lama
kerja nya 6 jam. Sehingga pemberian eritromisin 250mg sebanyak 4 kali dalam sehari
terhadap pasien sudah tepat.
Pemberian analgetik pada pasien dikarenakan terjadinya inflamasi yang masih aktif
ditandai dengan gejala nyeri menelan sehingga tidak nafsu makan. Analgetik yang
dipilih untuk mengurangi inflamasi adalah paracetamole. Paracetamole merupakan
golongan obat anti inflamasi non steroid derifat asam propionate yang mempunyai
aktivitas analgetik. Mekanisme paracetamole adalah menghambat isoenzim
sikloosigenase-1 dan sikloosigenase 2 dengan cara mengganggu perubahan asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Efek analgetik obat ini terlihat pada orang dewasa
dengan dosis pemberian 500 mg per 4-6 jam. Obat ini aman dan mudah didapat
sebagai analgetik dan anti piretik pada kasus ini sudah tepat.
1) Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus β
hemoliticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa/otitis media supuratif.
Pasien disarankan untuk tonsilektomi karena masuk kepada indikasi relatif, yaitu
serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
BAB V
KESIMPULAN
Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Boies AH. 2011. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: EGC.
Brodsky. 2006. Tonsillitis, Tonsillectomy and Adenoid. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins.
Christopher MD, David HD, Peter JK. 2003. Infectious Indications for Tonsillectomy.
In: The Pediatric Clinics Of North America.
Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. 2000. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG.
Rusmarjono, Kartoesoediro S. 2007. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. Jakarta: FK UI.
Shalihat AO, Novialdi, Lili I. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan Perlakuuan
Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Andalas. 4(3): 786-94.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Srikandi. 2013. Profil Pembesaran Tonsil Pada Pasien Tonsilitis Kronis Yang
Menjalani Tonsilektomi Di RSUP Sanglah Pada Tahun 2013. Jurnal Universitas
Udayana.
Tanto C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius.