CR TUMOR NASOFARING Word PDF
CR TUMOR NASOFARING Word PDF
Referat
Oleh:
Pembimbing:
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa karena atas Rahmat
dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Fivien Fedriani, Sp.THT-KL atas
bimbingan dalam penyusunan referat ini dan kesempatan yang telah diberikan
kepada penulis sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Semoga referat ini dapat
menambah wawasan kita dalam dunia kesehatatan telinga hidung tenggorokan
dan kepala leher, khususnya dalam bahasan ”Tumor Nasofaring”. Penulis
menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak, semoga
bermanfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring yang berada di belakang
hidung. Atap nasofaring berhubungan dengan dasar tengkorak yang dibentuk oleh
lantai sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen laserum di lateral.
Nasofaring berhubungan dengan telinga tengah melalui tuba eustachius (Rahman,
2014).
Tumor ini merupakan tumor yang jarang di Amerika dan Eropa, namun
merupakan keganasan yang sering pada ras mongoloid, terutama di Cina selatan
dan Asia tenggara. Pada warga cina yang migrasi ke Amerika utara, angka
kejadian KNF tetap tinggi, sekalipun lebih rendah dibandingkan etnis cina yang
lahir dan besar di Cina selatan, hal ini menunjukkan bahwa etnis, genetik dan
faktor lingkungan memiliki peran sebagai etiologi, meskipun peran dari masing-
masing faktor bervariasi (Evlina et al., 2012).
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis keganasan yang paling sering pada
daerah ini. World Health Organization (WHO) telah menerbitkan beberpa
klasifikasi yaitu pada tahun 1978, 1991 dan yang terakhir tahun 2005 yang
membagi karsinoma sel skuamosa menjadi basaloid, berkeratin dan tidak
berkeratin, selanjutnya karsinoma tidak berkeratin dibagi menjadi berdiferensiasi
dan tidak berdiferensiasi.i Tipe Tidak berkeratin merupakan tipe yang paling
sering di Cina dan Asia tenggara, tipe ini diduga kuat berhubungan dengan
inveksi virus Epstein-Barr (EBV) (Rahman et al., 2013).
Secara umum pasien KNF lebih muda dibandingkan pasien yang menderita tumor
kepala dan leher lainnya. Median umur penderita KNF saat munculnya tumor
lebih kurang 50 tahun. Gejala KNF berhubungan dengan lokasi anatomi tumor
primer dan metastasis. Gejala yang sering muncul dapat dikelompokkan menjadi
empat kategori, yaitu gejala telinga, gejala hidung, gejala saraf, benjolan yang
tidak nyeri di leher. Lebih dari 50% pasien KNF datang dengan keluhan benjolan
di leher. Pembesaran kelenjer getah bening ini biasanya pada bagian atas leher,
sesuai dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak jarang bilateral. Gejala lain
dapat berupa gejala umum adanya keganasan seperti penurunan berat badan dan
anoreksia. Gejala dini KNF sering tidak spesifik dan luput dari perhatian, pasien
sebagian besar datang ketika sudah ada benjolan di leher dan umumnya stadium
lanjut (Rahman, 2014).
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan,
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di
bawah dasar tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli. Sering kali, tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis
ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Tumor jinak nasofaring lebih jarang ditemukan, sedangkan tumor ganas yang
berasal dari epitel permukaan nasofaring (karsinoma nasofaring) relatif lebih
sering dijumpai. Tumor jinak yang relatif sering dijumpai adalah tumor yang
berasal dari soft tissue, yaitu nasopharyngeal angiofibroma. Insidensi tumor ini
kurang dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, predileksi pada laki-laki, sering
dijumpai pada dekade kedua kehidupan, namun jarang ditemukan pada penderita
dengan usia di atas 25 tahun. Karsinoma nasofaring dapat dijumpai pada semua
umur, namun sangat jarang terdapat penderita dengan usia di bawah 20 tahun.
Prevalensinya antara usia 45-54 tahun. Perbandingan antara jenis kelamin lakilaki
dan wanita adalah 2-3 berbanding 1. Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi
tumor ini kurang dari 1 dalam 100.000 populasi. Karsinoma nasofaring
menempati urutan kelima tumor ganas di Indonesia. Bahkan karsinoma nasofaring
memiliki persentase sebanyak 60% dari keseluruhan tumor ganas pada kepala dan
leher (Adham et al., 2017)..
2.3 Etiologi
Etiologi tumor nasofaring belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor risiko
yang sering diidentifikasi sebagai penyebab karsinoma nasofaring antara lain
adalah infeksi virus Epstein-Barr, faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya
hidup. Virus Epstein Barr tergolong virus DNA dari kelompok herpes. Terdapat
reaksi antigen antibodi akibat infestasi virus ini. Dilaporkan adanya peningkatan
antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA)
dan dijumpainya genom virus pada sel tumor. Karsinoma nasofaring diakibatkan
oleh proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi virus Epstein
Barr. Protein viral laten (latent membrane protein 1 dan 2) menyebabkan
proliferasi dan pertumbuhan yang invasif pada karsinoma nasofaring (Adham et
al., 2017).
Pada sub tipe differentiated, terlihat stratifikasi selular dengan batas antar
sel yang cukup jelas. Sel-sel tampak lebih kecil dibandingkan dengan
subtipe undifferentiated, N/C ratio lebih rendah, inti lebih hiperkromatik
dan nukleoli tidak menonjol. Kadang-kadang dapat dijumpai daerah
nekrosis. Limfosit dan selsel plasma dapat dijumpai dalam jumlah yang
bervariasi atau bahkan sama sekali tidak ada. Apabila jumlah limfosit
cukup banyak maka kondisi ini dikenal sebagai lymphoepithelial
carcinoma. Sel-sel tumor dapat berbentuk bulat maupun spindel. Nukleoli
sering tidak terlihat pada sel-sel spindel. Pada beberapa tempat tampak sel-
sel dengan inti hiperkromatik dan sitoplasma padat.
Gambar 3. Non keratinizing squamous cell carcinoma, differentiated
type. A. Terdapat lapisan-lapisan tumor yang dipisahkan oleh limfosit
dan sel-sel plasma. B. Pulau-pulau tumor dalam stroma yang kaya
limfosit. C. Pola pertumbuhan trabekular.
e. Hodgkin Lymphoma
Hodgkin lymphoma sangat jarang menunjukkan keterlibatan primer
nasofaring. Pasien biasanya datang dengan keluhan hidung tersumbat atau
otitis media, dan sering dengan low stage (stadium I/II). Sebagian besar
tumor merupakan subtipe mixed cellularity dan nodular sclerosis.
Kebanyakan kasus yang melibatkan nasofaring berhubungan dengan virus
Epstein-Barr (Wei dan Chua, 2012). Pada Classical Hodgkin lymphoma,
arsitektur nodus limfatik dikaburkan oleh Hodgkin and Reed Sternberg
cells (HRS cells) dalam jumlah yang bervariasi, bercampur dengan latar
belakang yang kaya sel-sel radang. Reed Sternberg cells berukuran besar,
sitoplasma banyak dan sedikit basofilik, dan mempunyai paling sedikit dua
lobus inti. Inti sel besar dan bulat dengan membran inti prominen,
kromatin pucat dan biasanya dengan anak inti eosinofilik. Dalam
mendiagnosa RS cells harus dijumpai sedikitnya dua anak inti dalam dua
lobus inti yang terpisah. Varian mononuclear disebut Hodgkin cells.
2.5 Diagnosis
Berikut ini adalah algoritma diagnosis KNF.
a. Anamnesis
Terdapat empat kelompok gejala KNF, yaitu gejala telinga, gejala hidung,
gejala intracranial, dan gejala leher. Kelompok gejala ini berkaitan dengan
lokasi tumor primer, struktur yang diinfiltrasi, atau metastasis nodus
limfatik servikal. Massa di nasofaring dapat membuat gejala obstruksi
nasal dan hidung beringus. Saat ukuran tumor kecil, ditemukan obstruksi
unilateral namun seiring dengan pertumbuhan tumor akan menjadi
bilateral. Jika tumor berulkus, maka akan timbul epistaksis. Jumlah
perdarahan biasanya tidak banyak dan sering terjadi post-nasal drip.
Sebagian besar tumor di nasofaring dengan atau tanpa ekstensi
posterolateral ruang paranasofaring sering dikaitkan dengan disfungsi tuba
Eustachius, sehingga terjadi tuli konduktif unilateral. Gejala otologi lain
yaitu otalgia dan tinnitus (Wijaya dan Soeseno, 2017).
b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
Pemeriksaan nasofaring: Rinoskopi posterior, nasofaringoskop ( fiber /
rigid ), laringoskopi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker
nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-
kasus dengan dugaan residu dan residif (Wei dan Chua, 2012).
c. Pemeriksaan Radiologis
Adapun pemeriksaan radiologis pilihan antara lain:
CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi
sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan
sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan
injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat
tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran
kelenjar getah bening regional (Wei dan Chua, 2012).
USG abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat
keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT
Scan Abdomen dengan kontras.
Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanyamkelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan
kontras.
Bone Scan
Untuk melihat ada atau tidaknya metastasis tulang. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut diatas untuk menentukan TNM. Adapun
klasifikasi TNM dari tumor nasofaring antara lain sebagai berikut:
e. Pemeriksaan Laboratorium
• Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
• Alkali fosfatase, LDH
• SGPT – SGOT (Adham et al., 2017).
f. Pemeriksaan Serologi
Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu
pemeriksaan serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral kapsid antigen
(Ig anti-VCA), Ig G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan
sebagai skrining untuk deteksi dini, sering mendahului munculnya kanker
nasofaring dan berfungsi sebagai petanda tumor remisi dan kekambuhan. Ji,
et al, melaporkan window period selama 3 tahun sesudah peningkatan
antibodi dan menetap tinggi sampai muncul gejala klinis (Adham et al.,
2017).
Gambar 8. Algoritma Diagnosis Kanker Nasofaring (Adham et al., 2017).
2.6 Tatalaksana
Berikut ini adalah algoritma tatalaksan KNF.
Radioterapi
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan
tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang
sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom,
sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah
dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati
dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih
tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri.
Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker.
Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker (Adham et al.,
2017).
Kombinasi Kemoradiasi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada KNF lokoregional
yang advanced. Sebagian besar penelitian kemoterapi pada KNF menggunakan
Cisplatin-based. Berdasarkan waktu pemberian kemoterapi terhadap radioterapi
dibedkan menjadi Induction/ Neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama radiasi)
dan adjuvan (setelah radioterapi) (Adham et al., 2017).
Brachytherapy
Brachyterapy efektif dan digunakan hanya pada tumor yang dangkal di nasofaring
dan tanpa invasi ke tulang. Brachyterapy merupakan radiasi internal, sebuah
metode penanganan kanker dengan menggunakan material radioaktif yang
ditanamkan kedalam tubuh penderita. Brachytherapy ini mampu menyalurkan
energi radisi yang lebih besar pada area yang lebih spesifik daripada metode
radiasi eksternal (Adham et al., 2017).
Nasofaringektomi
Nasofaringektomi diindikasikan pada tumor persisten atau rekuren yang terlalu
besar untuk brakiterapi dan terdapat perluasan ke parafaring (Adham et al., 2017).
Terapi Target
Cetuximab merupakan terapi target yang diberikan pada KNF yang mengalami
rekuren atau persisten dengan metastasis jauh (Adham et al., 2017).
Terapi Paliatif
Terapi paliatif dilakukan pada kasus residu (tumor tetap ada setelah terapi
lengkap) dan residif serta metastasis jauh (Adham et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Wei WI, Chua DT. 2012. Head and Neck Surgery-Otolaryngology Edisi 5. Bailey
BJ, Johnson JT, Rosen CA, editors. Philadelphia: Lippimcot Williams &
Wilkins.
Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Faring. Bandung:
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala
Leher Universitas Padjajaran; 2017.