Anda di halaman 1dari 19

1. Jelaskan pengertian gas metana batubara (CBM)?

2. Jelaskan mengapa CBM terjadi pada batubara?

3. Jelaskan karakteristik gas metana batubara?

4. Jelaskan tentang eksplorasi gas metana batubara?

5. Jelaskan tentang eksploitasi gas metana batubara?

6. Jelaskan bagaimana mengelola air terproduksi gas metana batubara?

7. Jelaskan mengapa terjadi emisi gas pada:

a) swabakar batubara

b) pembakaran batubara

c) kegiatan pembangunan batubara

Jawaban:

1. Gas Metana Batu bara (GMB) atau Coalbed methane (CBM) adalah gas bumi
(hidrokarbon) dengan gas metana merupakan komposisi utamanya yang
terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batu bara (coalification)
dalam kondisi terperangkap dan terserap pada lapisan batu bara. Proses
terbentuknya GMB berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui
beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara
menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batu bara.
Referensi : Buku Gas Metana Batubara : Energi Baru untuk Rakyat
(https://www.academia.edu/24659150/Buku_Gas_Metana_Batubara )

2. CBM terbentuk secara alamiah melalui proses pembatubaraan (coalification).


Pada lingkungan geologi yang mendukung, gas metan dalam batubara dapat
terakumulasi dalam jumlah yang signifikan sehingga bernilai ekonomis untuk
ditambang.
Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan batubara,
material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya
(Gambar 2). Selain melalui proses kimia, GMB da-pat terbentuk dari aktivitas
bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batu bara khususnya
lignit. Kandungan gas pada GMB sebagian besar berupa gas metana dengan
sedikit gas hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon. Karena gas metan
merupakan komponen terbesar (>97%) dari semua gas yang terdapat dalam
batubara maka penggunaan istilah coalbed methane (CBM) menjadi umum
digunakan.
Reaksi kimia pembentukan batu bara adalah sebagai berikut:

Ketika dieksploitasi, gas metan dari batubara bisa berasal dari lapisan
batubara sebelum dan sesudah ditambang, ketika aktif ditambang, dari
tambang-tambang yang sudah ditinggalkan, atau juga dari batubara virgin di
bawah permukaan yang belum ditambang. Untuk membedakannya, dunia
industri dan akademis menggunakan berbagai istilah penamaan khusus.
Pemakaian istilah CBM misalnya, ditujukan lebih kepada gas metan yang
terdapat pada lapisan batubara "virgin" (batubara bawah permukaan yang
belum dieksploitasi). Sedangkan gas metan yang keluar dari lapisan batubara
yang ditambang dikenal dengan nama CMM (Coal Mine Methane).
Gambar 1. Tahapan Proses Pembentukan Batu bara

Referensi : Buku Gas Metana Batubara : Energi Baru untuk Rakyat (


https://www.academia.edu/24659150/Buku_Gas_Metana_Batubara ) dan
Geologinesia ( https://www.geologinesia.com/2016/12/cbm-coalbed-methane-
sumber-enegi-dari-gas-metana-batubara.html )

3. Karakteristik gas metana batubara dipengaruhi beberapa parameter, seperti


lingkungan pengendapan, distribusi batubara, peringkat batubara, kandungan
gas, permeabilitas, porositas, struktur geologi, dan kondisi hidrogeologi. Gas
metana bukan satu-satunya gas yang terdapat dalam batubara, tetapi gas ini
dapat mencapai 80-95% dari total gas yang ada. Berbagai tipe batubara
memiliki tingkat penyerapan gas yang berbeda. Kapasitas penyerapan
batubara meningkat seiring dengan meningkatnya peringkat batubara, mulai
dari lignit hingga bituminus, kemudian menurun pada batubara bituminus
tingkat tinggi hingga antrasit.

Gas metana batubara terdapat dalam dua bentuk, yaitu terserap (adsorbed) dan
bebas. Gas dapat tersimpan dalam mikropori batubara karena batubara
mempunyai kapasitas serap (adsorption). Besar kecilnya kapasitas serap di
dalam batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tekanan, temperatur,
kandungan mineral, kandungan air, peringkat batubara, dan komposisi
maseral batubara. Makin besar tekanan, kapasitas serapan juga semakin besar.
Sewaktu mendekati batas jenuh, kecepatan serapnya semakin berkurang.
Apabila tekanan berkurang maka hal itu akan memperbesar pelepasan gas
(desorption). Oleh karena itu, dengan meningkatnya kedalaman, kandungan
gas dalam batubara akan makin besar.

Gambar 2. skematik gas metana dari matriks menuju sumur (USGS, 2006).

Kelimpahan kandungan gas dalam batubara juga dipengaruhi oleh komposisi


maseral dalam batubara, yaitu mineral khas batubara. Potensi pembentukan
gas metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral.
Maseral yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak menghasilkan
gas metana. Batubara yang kaya akan inertinit tidak akan menghasilkan
metana yang banyak karena inertinit relatif berpotensi kecil untuk
menghasilkan hidrokarbon. Maseral inertinit dalam hampir semua batubara
tidak cocok untuk proses hidrogenisasi karena kandungan hidrogen yang
rendah. Namun, maseral liptinit akan paling banyak menghasilkan gas
metana. Maseral liptinit cocok untuk proses hidrogenisasi karena liptinit
mempunyai kandungan hidrogen yang paling tinggi, disusul dengan maseral
vitrinit yang terdapat dalam batubara peringkat rendah dapat dengan mudah
terhidrogenisasi.

Gas metana batubara pada dasarnya hanya akan terikat pada fraksi organik
dari batubara. Dalam batubara terdapat pengotor dalam berbagai bentuk yang
biasanya disebut unsur mineral, atau dalam analisis kimia dicerminkan oleh
kandungan abu dan sulfurnya. Dalam hal ini unsur mineral tersebut
menempati ruang yang seharusnya dapat dipakai untuk menempelnya gas
dalam mikropori batubara. Makin tinggi kandungan unsur mineral, semakin
kecil kapasitas serapan gasnya. Pada prinsipnya kandungan air (moisture)
dalam batubara mempunyai sifat yang sama dengan unsur mineral dalam
kaitannya dengan kapasitas serapan gas dalam batubara. Makin tinggi
kandungan air dalam batubara, semakin kecil kapasitas serap gasnya.

Referensi : Geomagz.geologi.esdm.go.id
( http://geomagz.geologi.esdm.go.id/gas-metana-batubara-energi-alternatif-
non-konvensiona/ )

4. Eksplorasi Gas Metana Batu bara (GMB) adalah kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan GMB. Pada tahap awal kegiatan eksplorasi
GMB adalah mendeliniasi keberadaan batu bara berdasarkan data yang sudah
ada seperti peta geologi regional. Ada beberapa tahapan dalam kegiatan
eksplorasi GMB, yaitu:
Tahap 1: Studi Geologi dan Geofisika
Tahap 2: Pengeboran Eksplorasi
Tahap 3: Pilot or Feasibility Drilling
Tahap 4: Pilot Production Testing
Tahap 5: Pengembangan Produksi Komersial.
Studi Geologi dan Geofisika
Pengetahuan mengenai cekungan batu bara sangat diperlukan untuk
mendeliniasi wilayah yang memiliki prospek GMB. Indonesia memiliki
banyak cekungan yang mengandung batu bara, namun tidak setiap cekungan
tersebut memiliki prospek yang bagus untuk pengembangan GMB. Deliniasi
kemungkinan prospek GMB dilakukan dengan mengkaji beberapa aspek di
antaranya luas daerah endapan batu bara, ketebalan, kedalaman lapisan dan
karakter mikroskopis batu bara.

Selain kajian geologi untuk mengetahui penyebaran batu bara dapat


digunakan juga penelitian geofi sika bawah permukaan berupa interpretasi
data seismik untuk memetakan struktur batu bara dan distribusi ketebalan
secara lateral. Pada penelitian geofisika menggunakan data atribut seismik
analisis untuk mengetahui distribusi ketebalan (isopach map). Kegiatan
tersebut merupakan langkah awal untuk eksplorasi GMB yang lebih terarah.

Pengeboran Eksplorasi

Dari kajian geologi dan geofisika dapat dihasilkan lokasi sweetness untuk
menentukan titik pemboran. Kegiatan pengeboran dilakukan untuk
mengetahui data-data parameter reservoir dan karakter batu bara di wilayah
pengembangan GMB. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain
pengumpulan inti bor, pengukuran kandungan gas in place, serta analisis
karakter batu bara baik megaskopis maupun mikroskopis (laboratory
analysis). Dari hasil pengeboran eksplorasi dapat diketahui permeabilitas
reservoir, gas compressibility factor, desorbtion-isotherm, initial water
saturation dan ketebalan net batu bara.

Pilot or Feasibility Drilling

Berdasarkan hasil analisis parameter reservoir dan karakter batu bara dapat
dilanjutkan pemboran 4 - 5 sumur dalam pola drainage untuk melakukan uji
produksi lanjutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menentukan potensi
produksi gas.

Pilot Production Testing

Pada tahap production testing dilakukan pemboran yang lebih banyak


dibandingan dengan tahap feasibility drilling. Pada awalnya, 10-25 sumur
dibuat di sekitar feasibility project dengan beberapa fasilitas sementara untuk
mengevaluasi aspek komersil dan optimalisasi spasi antar sumur.

Pengembangan produksi komersial

Tahapan terakhir adalah pengembangan produksi secara komersial, pada


tahap ini dilakukan produksi komersial dengan fasilitas yang permanen.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan pengeboran 4 - 8
sumur per 1 mil2 di daerah prospek. Setidaknya diperlukan 3 - 5 tahun sejak
pengeboran sumur evaluasi pertama sampai dengan produksi dengan
kemungkinan project dapat diterminasi pada setiap tahapannya tergantung
pada hasil setiap tahapan tersebut. Gambaran mengenai kerapatan titik
informasi (bor) untuk setiap tahapan eksplorasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 3. Kerapatan Titik Sumur pada Setiap Tahapan Pengembangan GMB


Referensi : Buku Gas Metana Batubara : Energi Baru untuk Rakyat
(https://www.academia.edu/24659150/Buku_Gas_Metana_Batubara )

5. Gas Metana Batu bara (GMB) diproduksi dengan cara terlebih dahulu
merekayasa batu bara sebagai reservoir agar diperoleh cukup ruang sebagai
jalan keluar gas metana. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air
(dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah
tekanan turun, gas batu bara akan keluar dari matrik batu bara. Gas metana
kemudian mengalir melalui rekahan batu bara dan akhirnya keluar menuju
lubang sumur. Puncak produksi GMB bervariasi antara 2 minggu sampai
dengan 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi lebih lambat dari gas
bumi konvensional. Produksi GMB mempunyai multiguna antara lain dapat
dijual langsung sebagai gas bumi, dijadikan energi dan sebagai bahan baku
industri.
Produksi GMB sangat dipengaruhi oleh fracture system, fracture spacing dan
fracture connection. Porositas dan permeabilitas dari fracture menyebabkan
gas terproduksi ke lubang sumur. Pada awalnya sistem berada dalam
kesetimbangan (equilibrium), pada cleat biasanya tersaturasi oleh 100% air
kemudian gas tersimpan di dalam matrik yang airnya tidak dapat masuk ke
dalamnya, kalaupun ada biasanya di dalam matrik berupa embun 1-5%
(Nikola Marinic thesis, 2004). Jadi untuk dapat memproduksi gas, maka air
harus diproduksikan dari dalam batu bara untuk menurunkan tekanan
reservoir.
Suatu lapisan batu bara (seam) dapat dimodelkan sebagai sebuah sistem
fracture yang memiliki gas metana yang terserap di dalam matrik batu bara
tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Untuk memproduksikan gas metana dilakukan dengan menurunkan tekanan
pada fracture melalui proses dewatering yang menyebabkan terjadinya proses
desorbtion gas metana dari permukaan fracture batu bara menuju ke dalam
rongga fracture. Gas tersebut berasal dari matrik batu bara yang telah ter-
diffuse menuju permukaan fracture. Selama memproduksikan gas dari dalam
batu bara, ada 3 phase yang terjadi atau dilalui oleh gas metana.

Gambar 4. Skema Proses Keluarnya Gas Metana dari Batubara

Perlu diketahui, kelakuan kurva produksi GMB sangatlah berbeda dengan


kurva produksi reservoir konvensional. Pada tahap awal produksi gas sangat
dipengaruhi oleh produksi air yang berada di fracture di dalam reservoir yang
juga mengontrol aliran fluida ke dalam sumur. Air di dalam reservoir harus
diproduksikan terlebih dahulu untuk menurunkan tekanan reservoir agar
terjadi perbedaan tekanan antara matrix dan fracture. Berikut adalah kurva
produksi gas dan air yang terlihat pada Gambar 3.

Phase I: dicirikan oleh laju produksi air konstan dan tekanan


reservoir mulai menurun. Selama phase ini, sumur
dalam kondisi dipompakan untuk meningkatkan
laju produksi gas. Biasanya laju gas akan
meningkat, tergantung permeabilitas relatif di
sekitar lobang bor.
Phase II: dicirikan oleh negative decline atau penurunan
secara drastis laju produksi air. Pada phase ini
alirannya berada pada kondisi dinamis (selalu
berubah-ubah) tergantung dari:

 Penurunan permebilitas relatif air


 Kenaikan permeabilitas relatif gas
 Efek Outer boundary sudah mulai terasa
(alirannya Preudo steady state)
 Laju produksi gas berubah menjadi dinamis.

Phase III: dimulai pada saat kondisi aliran di dalam reservoir


mulai stabil, sumur telah mencapai peak gas rate,
dan produksi gas menunjukkan tren penurunan
(decline). Selama phase ini produksi air rendah dan
permeabilitas air dan gas berubah menjadi kecil,
alirannya tetap Preudo steady state.

Gambar 5. Kurva tiga phase produksi air dan gas


Sumur GMB mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sumur
migas maupun geothermal. Karakteristik itu meliputi sumuran dan
komplesinya maupun model produksinya. Kebanyakan sumur sumur GMB di
dunia mempunyai kedalaman yang dangkal, namun ada juga yang mempunyai
kedalaman di atas 4.000 ft. Biasanya lapisan batu bara terdapat di kedalaman
kurang dari 4.000 ft, sehingga pengeboran untuk sumur-sumur GMB relatif
lebih mudah.

Gambar 6. Diagram Sumur GMB


Secara umum tipe dan model sumur serta komplesi sumur GMB sama saja
dengan sumur migas seperti pada Gambar 4.. Perbedaan mendasar sumur
GMB hanyalah pada reservoir. Untuk bottom hole equipmentnya hampir
sama, hanya mungkin spesifikasinya yang agak berbeda tergantung dari sifat
fisik dan kimia fluida air.

Setelah sumur GMB dibor dan diselesaikan dengan komplesi sumur, langkah
selanjutnya adalah memproduksikan GMB dari sumur tersebut. Untuk
memproduksikan GMB, diperlukan teknik produksi yang khas dan
persyaratan tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Umumnya mempunyai kandungan gas yang tinggi, yakni dalam


kisaran 15 - 30 m3
2. Mempunyai permeabilitas yang bagus, umumnya dalam kisaran
30 - 50 mD
3. Dangkal, coal seams biasanya mempunyai kedalaman kurang
dari 1.000 m atau 4.000 ft. Tekanan pada lapisan yang lebih
dalam biasanya terlalu tinggi untuk dapat membuat gas

Referensi : Buku Gas Metana Batubara : Energi Baru untuk Rakyat


(https://www.academia.edu/24659150/Buku_Gas_Metana_Batubara )

6. Dalam pelaksanaannya pembuangan air produksi gas CBM dilakukan


berdasarkan hasil studi Andal dan UKL/UPL yang dibuat pada saat
pembuatan Masterplant produksi gas CBM. Selama masa pengurasan
(dewatering), air yang terproduksi sangat besar sekali, berdasarkan data
Lapangan Powder River Basin di Amerika Serikat pada awal dewatering air
terproduksi mencapai 800 bwpd (barrel water per day) sehingga diperlukan
penanganan air terproduksi secara tepat dan ekonomis.

Dengan jumlah yang demikian besar dan kualitas yang cukup baik membuat
air terproduksi memiliki berbagai kemungkinan dalam pemanfaatannya (untuk
memasok irigasi pertanian, enhanced oil recovery dan pasokan untuk bahan
baku air minum). Kualitas air yang cukup baik dapat dibuang langsung ke
lingkungan sebagai penambah debit air untuk irigasi. Namun, untuk pasokan
air minum diperlukan teknologi yang cukup sehingga dapat memenuhi standar
baku mutu air minum. Pemanfaatan air tersebut tergantung pada kualitas air
terproduksi, lokasi sumur dan pengolahan air yang efektif. Umumnya ada 4
(empat) cara yang dilakukan oleh pelaku bisnis CBM dalam penangan air
akibat proses dewatering antara lain; Surface Discharge, Infiltration
Impoundments, Shallow Re-injection dan Reverse Osmosis.

a) Surface Discharge (pembuangan permukaan)


Air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke pusat pengolahan kemudian
air tersebut dialirkan ke lingkungan. Pelepasan air ke aliran sungai diatur
sesuai dengan baku mutu dan mempertimbangkan erosi yang berlebihan pada
aliran sungai, sehingga debit air yang dibuang diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Pada saat produksi
air konstan maka pembuangan pun akan konstant (inlet=outlet). Bila ada
rencana pembuangan air tersebut akan di buang ke sungai, maka sungai yang
akan menjadi tempat pembuangan tersebut mengalami penambahan debit
airnya sekitar 10,000 Barrel Per Day (bpd), (1 barrel = 160 liter). Sebelum
dibuang ke lingkungan biasanya ada beberapa treatment yang harus dilakukan
terutama dalam hal penyelidikan kandungan kimia pada air CBM tersebut,
apabila telah memenuhi ambang batas mutu air lingkungan maka, air tersebut
dapat saja dibuang langsung ke lingkungan melalui sungai terdekat atau dapat
pula dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan industri maupun rumah
tangga. Umumnya daerah pengembangan WK CBM berada di darat (onshore)
dan terletak disekitar desa yang masyarakatnya hidup dari bercocok tanam
dengan mengandalkan musim. Jika air tersebut telah layak dibuang ke sungai,
maka air tersebut juga layak dimanfaatkan untuk mengaliri lahan dan ladang
untuk bercocok tanam. Air CBM dapat dimanfaatkan, antara lain:
 Sebagai pengairan pertanian atau peternakan sekitar WK CBM.
 Sebagai sumber air baku untuk pengolahan air minum daerah
setempat.
 Dapat juga digunakan untuk Industri.
Demi terlaksananya program pemanfaatan buangan air produksi gas CBM
perlu dilakukan perencanaan bersama antara Pemerintah Daerah dan
Perusahaan Pengelola CBM sehingga manfaat yang dapat diperoleh dari
penggunaan air produksi CBM dapat digunakan bagi kepentingan masyarakat
banyak, antara lain :
 Peningkatan hasil produksi tanaman, karena tidak lagi bergantung
pada musim.
 Penghematan biaya Produksi Air Minum (PDAM) karena sumber air
bakunya merupakan air bersih.
 Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
 Terjadinya hubungan yang harmonis antara masyarakat, Pemerintah
daerah dan perusahaan Pengelola CBM

b) Infiltration Impoundments
Air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke kolam untuk diuapkan
(evaporasi), penguapan dibantu dengan alat penyemprot atau diresapkan
kembali kedalam akuifer. Sebelum digunakan untuk kebutuhan pertanian
maupun rumah tangga terlebih dahulu di kumpulkan dalam sebuah kolam.
Kendala utama dalam pembuatan kolam ini adalah ketersediaan lahan yang
akan dipergunakan untuk membuat kolam tersebut karena area yang
dibutuhkan dalam pembuatan kolam yang cukup luas.

Jika kandungan airnya saline tentu dapat merusak vegetasi, dan jika tidak di
filteralisasi (saring) kadar garamnya tentu akan dapat mencemari air tanah.
Kontroversi pembuangan air produksi CBM di kolam (pool) yakni sebagai
cara paling murah namun, dapat merusak lingkungan karena mampu
mengubah perilaku hidrologi area tersebut, mengancam ikan dan kehidupan
air lainnya, serta bisa mengubah iklim lokal karena mengandungan moisture
Batubara yang tinggi. Selain itu, juga dapat mengakibatkan erosi atau
penurunan muka air tanah dan vegetasi yang terkait dengannya. Tampungan
produksi air CBM yang mengandung garam dapat mengandung racun organik
atau anorganik, seperti amonia atau hidrogen sulfida yang secara substansial
dapat merusak lingkungan.
Gambar Tahapan Metode Infiltration Impoundments

c) Shallow Re-injection (Sumur Injeksi)


Air terproduksi dari beberapa sumur ditampung ke kolam kemudian
dipompakan ke dalam lapisan akuifer (lapisan Formasi batuan) yang
mempunyai salinitas tinggi melalui sumur injeksi ke dalam tanah pada
kedalaman tertentu. Harga sumur injeksi ini juga cukup mahal yaitu hampir
sama dengan harga sumur CBM.

d) Reverse Osmosis (Osmosa Terbalik)


Reverse Osmosis (Osmosa Terbalik) atau hyperfiltration adalah proses
pengolahan yang dapat memisahkan kandungan senyawa organik dan
anorganik dari air. Teknik ini banyak digunakan untuk desalinasi air laut dan
payau, pengolahan limbah indusri dan lain-lain. Prinsip osmosa terbalik
adalah memindahkan pelarut dari larutan encer ke larutan pekat, dengan
mengalirkan air (pelarut) melalui membrane semi permeable, tekanan yang
digunakan harus lebih besar dari tekanan osmotic (biasanya kira-kira tiga kali
lebih besar). Membran yang digunakan pada proses ini biasanya adalah
membran yang porinya sangat kecil atau padat. Bahan membran yang
digunakan adalah selulosa asetat, komposit, polimida dengan modul tubular,
spiral wound, flat sheet atau hallow fiber.

Referensi : Pengolahan Air Terproduksi pada Penambangan Coal Bed


Methane ( https://www.scribd.com/document/254523520/Pengolahan-Air-
Terproduksi-Pada-Penambangan-Coal-Bed-Methane )

7. A.

B. Polutan-polutan penting yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara


antara lain adalah SO2, NOx, CO, dan material partikulat. Selain itu ada bahan
polutan lain yang disebut udara beracun. Ia adalah polutan yang sangat
berbahaya meskipun jumlahnya hanya sedikit dihasilkan oleh pembakaran
batubara. Namun udara beracun ini perlu kita bahas juga lebih lanjut karena
sifatnya yang sangat membahayakan kesehatan manusia. Berikut adalah
penjelasan lebih detail mengenai polutan-polutan tersebut:

1. Sulfur Dioksida

Batubara memiliki kandungan sulfur yang dapat mencapai 10% dalam fraksi
berat. Namun rata-rata kandungan sulfur di dalam batubara berada di kisaran
1-4% tergantung dari jenis batubara tersebut. Proses pembakaran batubara
menyebabkan sulfur tersebut terbakar dan menghasilkan gas sulfur dioksida
(SO2) dan sebagian kecil menjadi sulfur trioksida (SO3).
Secara langsung, sulfur oksida dapat menyebabkan iritasi pada alat
pernapasan manusia, mengurangi jarak pandang kita, sekresi muskus
berlebihan, sesak napas, dan lebih lanjut dapat menyebabkan kematian. Reaksi
sulfur oksida dengan kelembaban ataupun hujan, dapat menimbulkan hujan
asam yang sangat berbahaya bagi tanaman, hewan terutama hewan air, serta
sifatnya yang korosif dapat merusak infrastruktur-infrastruktur yang ada.

2. Sulfur Trioksida
Sebagian kecil sulfur dioksida yang terbentuk pada pembakaran batubara,
terkonversi menjadi sulfur trioksida (SO3). Rata-rata SO3 terbentuk sebanyak
1% dari total gas buang pembakaran. Satu sistem pada boiler yang berfungsi
untuk mengontrol gas buang NOx, memiliki efek samping meningkatkan
pembentukan SO3 dari 0,5% sampai 2%. SO3 sangat mudah bereaksi dengan
air untuk membentuk asam sulfat (H2SO4) pada temperatur gas buang di
bawah 260oC. Seperti yang Anda ketahui bahwa asam sulfat bersifat amat
sangat korosif dan berbahaya.

SO3 memiliki sifat higroskopis yang sangat agresif. Higroskopis adalah


sebuah sifat untuk menyerap kelembaban dari lingkungan sekitarnya. Sebagai
gambaran untuk Anda, SO3 yang mengenai kayu ataupun bahan katun dapat
menyebabkan api seketika itu juga. Kasus ini terjadi karena SO3
mendehidrasikan karbohidrat yang ada pada benda-benda tersebut. Polutan ini
juga sangat jelas berbahaya bagi manusia, karena apabila terkena kulit, kulit
tersebut akan seketika mengalami luka bakar yang serius. Atas dasar inilah
polutan SO3 harus ditangani dengan sangat serius agar tidak mencemari
lingkungan sekitar.

3. Nitrogen Oksida
Nitrogen Oksida yang dihasilkan oleh pembakaran batubara biasa disebut
dengan NOx. NOx meliputi semua jenis senyawa yang tersusun atas atom
nitrogen dan oksigen. Nitrat oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NOx)
menjadi penyusun utama dari polutan ini. NO, yang paling banyak jumlahnya,
terbentuk pada pembakaran bertemperatur tinggi hingga dapat mereaksikan
nitrogen yang terkandung pada bahan bakar dan/atau udara, dengan oksigen.
Jumlah dari NOx yang terbentuk tergantung atas jumlah dari nitrogen dan
oksigen yang tersedia, temperatur pembakaran, intensitas pencampuran, serta
waktu reaksinya.

Bahaya polutan NOx yang paling besar berasal dari NO2, yang terbentuk dari
reaksi NO dengan oksigen. Gas NO2 dapat menyerap sprektum cahaya
sehingga dapat mengurangi jarak pandang manusia. Selain itu NOx dapat
mengakibatkan hujan asam, gangguan pernapasan manusia, korosi pada
material, pembentukan smog dan kerusakan tumbuhan.

4. Karbon Monoksida
Gas yang tidak berwarna dan juga tidak berbau ini terbentuk dari proses
pembakaran yang tidak sempurna. Karbon monoksida (CO) dihasilkan dari
proses pembakaran batubara di boiler dalam jumlah yang relatif sangat kecil.
Bahaya paling besar yang diakibatkan oleh CO adalah pada kesehatan
manusia dan juga hewan. Jika gas CO terhirup, ia akan lebih mudah terikat
oleh hemoglobin darah daripada oksigen. Hal ini menyebabkan tubuh akan
kekurangan gas O2, dan jika jumlah CO terlalu banyak akan dapat
menyebabkan penurunan kemampuan motorik tubuh, kondisi psikologis
menjadi stress, dan paling parah adalah kematian.

5. Abu (Fly Ash)

Hasil pembakaran batubara di boiler juga menghasilkan partikel-partikel abu


dengan ukuran antara 1 hingga 100 μm. Abu tersebut mudah terlihat oleh mata
kita, bahkan dapat mengganggu jarak pandang jika tersebar di udara bebas.
Selain itu fly ash sangat berbahaya jika sampai terhirup oleh manusia, karena
ia dapat melukai bagian-bagian penting sistem pernapasan kita.
Fly ash tersusun atas beberapa senyawa padat, diantaranya adalah SiO2,
Al2O3, Fe2O3, dan CaO. Di samping itu, fly ash juga mengandung logam-
logam berat dan partikel-partikel lain yang sangat beracun bagi manusia jika
berada dalam jumlah yang cukup. Racun-racun tersebut berasal dari batubara,
diantaranya adalah arsenik, berilium, cadmium, barium, chromium, tembaga,
timbal, mercury, molybdenum, nikel, radium, selenium, thorium, uranium,
vanadium, dan seng.

6. Karbon Dioksida
Sejak tahun 1980-an, efek dari meningkatnya jumlah emisi CO2 akibat ulah
manusia semakin diperhatikan. CO2 yang dikenal dengan sebutan gas rumah
kaca, menjadi satu dari beberapa gas buang yang mengakibatkan terjadinya
global warming (pemanasan global). CO2 selalu dihasilkan oleh semua jenis
proses pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil berbasis
hidrokarbon.

Menangani emisi CO2 tidak semudah menangani emisi gas buang lainnya,
seperti SO2 misalnya. Karena jumlah produksi CO2 dari proses pembakaran
yang secara alamiah selalu berjumlah banyak. Salah satu metode paling
efektif untuk mengurangi pembentukan CO2 adalah dengan memperbaiki
tingkat efisiensi dari proses pembakaran (energi yang lebih banyak dari bahan
bakar yang lebih sedikit). Saat ini metode-metode untuk mengurangi jumlah
penggunaan bahan bakar karbon untuk menghasilkan energi yang lebih besar
terus dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai