a) swabakar batubara
b) pembakaran batubara
Jawaban:
1. Gas Metana Batu bara (GMB) atau Coalbed methane (CBM) adalah gas bumi
(hidrokarbon) dengan gas metana merupakan komposisi utamanya yang
terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batu bara (coalification)
dalam kondisi terperangkap dan terserap pada lapisan batu bara. Proses
terbentuknya GMB berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui
beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara
menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batu bara.
Referensi : Buku Gas Metana Batubara : Energi Baru untuk Rakyat
(https://www.academia.edu/24659150/Buku_Gas_Metana_Batubara )
Ketika dieksploitasi, gas metan dari batubara bisa berasal dari lapisan
batubara sebelum dan sesudah ditambang, ketika aktif ditambang, dari
tambang-tambang yang sudah ditinggalkan, atau juga dari batubara virgin di
bawah permukaan yang belum ditambang. Untuk membedakannya, dunia
industri dan akademis menggunakan berbagai istilah penamaan khusus.
Pemakaian istilah CBM misalnya, ditujukan lebih kepada gas metan yang
terdapat pada lapisan batubara "virgin" (batubara bawah permukaan yang
belum dieksploitasi). Sedangkan gas metan yang keluar dari lapisan batubara
yang ditambang dikenal dengan nama CMM (Coal Mine Methane).
Gambar 1. Tahapan Proses Pembentukan Batu bara
Gas metana batubara terdapat dalam dua bentuk, yaitu terserap (adsorbed) dan
bebas. Gas dapat tersimpan dalam mikropori batubara karena batubara
mempunyai kapasitas serap (adsorption). Besar kecilnya kapasitas serap di
dalam batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tekanan, temperatur,
kandungan mineral, kandungan air, peringkat batubara, dan komposisi
maseral batubara. Makin besar tekanan, kapasitas serapan juga semakin besar.
Sewaktu mendekati batas jenuh, kecepatan serapnya semakin berkurang.
Apabila tekanan berkurang maka hal itu akan memperbesar pelepasan gas
(desorption). Oleh karena itu, dengan meningkatnya kedalaman, kandungan
gas dalam batubara akan makin besar.
Gambar 2. skematik gas metana dari matriks menuju sumur (USGS, 2006).
Gas metana batubara pada dasarnya hanya akan terikat pada fraksi organik
dari batubara. Dalam batubara terdapat pengotor dalam berbagai bentuk yang
biasanya disebut unsur mineral, atau dalam analisis kimia dicerminkan oleh
kandungan abu dan sulfurnya. Dalam hal ini unsur mineral tersebut
menempati ruang yang seharusnya dapat dipakai untuk menempelnya gas
dalam mikropori batubara. Makin tinggi kandungan unsur mineral, semakin
kecil kapasitas serapan gasnya. Pada prinsipnya kandungan air (moisture)
dalam batubara mempunyai sifat yang sama dengan unsur mineral dalam
kaitannya dengan kapasitas serapan gas dalam batubara. Makin tinggi
kandungan air dalam batubara, semakin kecil kapasitas serap gasnya.
Referensi : Geomagz.geologi.esdm.go.id
( http://geomagz.geologi.esdm.go.id/gas-metana-batubara-energi-alternatif-
non-konvensiona/ )
4. Eksplorasi Gas Metana Batu bara (GMB) adalah kegiatan yang bertujuan
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan GMB. Pada tahap awal kegiatan eksplorasi
GMB adalah mendeliniasi keberadaan batu bara berdasarkan data yang sudah
ada seperti peta geologi regional. Ada beberapa tahapan dalam kegiatan
eksplorasi GMB, yaitu:
Tahap 1: Studi Geologi dan Geofisika
Tahap 2: Pengeboran Eksplorasi
Tahap 3: Pilot or Feasibility Drilling
Tahap 4: Pilot Production Testing
Tahap 5: Pengembangan Produksi Komersial.
Studi Geologi dan Geofisika
Pengetahuan mengenai cekungan batu bara sangat diperlukan untuk
mendeliniasi wilayah yang memiliki prospek GMB. Indonesia memiliki
banyak cekungan yang mengandung batu bara, namun tidak setiap cekungan
tersebut memiliki prospek yang bagus untuk pengembangan GMB. Deliniasi
kemungkinan prospek GMB dilakukan dengan mengkaji beberapa aspek di
antaranya luas daerah endapan batu bara, ketebalan, kedalaman lapisan dan
karakter mikroskopis batu bara.
Pengeboran Eksplorasi
Dari kajian geologi dan geofisika dapat dihasilkan lokasi sweetness untuk
menentukan titik pemboran. Kegiatan pengeboran dilakukan untuk
mengetahui data-data parameter reservoir dan karakter batu bara di wilayah
pengembangan GMB. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain
pengumpulan inti bor, pengukuran kandungan gas in place, serta analisis
karakter batu bara baik megaskopis maupun mikroskopis (laboratory
analysis). Dari hasil pengeboran eksplorasi dapat diketahui permeabilitas
reservoir, gas compressibility factor, desorbtion-isotherm, initial water
saturation dan ketebalan net batu bara.
Berdasarkan hasil analisis parameter reservoir dan karakter batu bara dapat
dilanjutkan pemboran 4 - 5 sumur dalam pola drainage untuk melakukan uji
produksi lanjutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menentukan potensi
produksi gas.
5. Gas Metana Batu bara (GMB) diproduksi dengan cara terlebih dahulu
merekayasa batu bara sebagai reservoir agar diperoleh cukup ruang sebagai
jalan keluar gas metana. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air
(dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah
tekanan turun, gas batu bara akan keluar dari matrik batu bara. Gas metana
kemudian mengalir melalui rekahan batu bara dan akhirnya keluar menuju
lubang sumur. Puncak produksi GMB bervariasi antara 2 minggu sampai
dengan 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi lebih lambat dari gas
bumi konvensional. Produksi GMB mempunyai multiguna antara lain dapat
dijual langsung sebagai gas bumi, dijadikan energi dan sebagai bahan baku
industri.
Produksi GMB sangat dipengaruhi oleh fracture system, fracture spacing dan
fracture connection. Porositas dan permeabilitas dari fracture menyebabkan
gas terproduksi ke lubang sumur. Pada awalnya sistem berada dalam
kesetimbangan (equilibrium), pada cleat biasanya tersaturasi oleh 100% air
kemudian gas tersimpan di dalam matrik yang airnya tidak dapat masuk ke
dalamnya, kalaupun ada biasanya di dalam matrik berupa embun 1-5%
(Nikola Marinic thesis, 2004). Jadi untuk dapat memproduksi gas, maka air
harus diproduksikan dari dalam batu bara untuk menurunkan tekanan
reservoir.
Suatu lapisan batu bara (seam) dapat dimodelkan sebagai sebuah sistem
fracture yang memiliki gas metana yang terserap di dalam matrik batu bara
tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Untuk memproduksikan gas metana dilakukan dengan menurunkan tekanan
pada fracture melalui proses dewatering yang menyebabkan terjadinya proses
desorbtion gas metana dari permukaan fracture batu bara menuju ke dalam
rongga fracture. Gas tersebut berasal dari matrik batu bara yang telah ter-
diffuse menuju permukaan fracture. Selama memproduksikan gas dari dalam
batu bara, ada 3 phase yang terjadi atau dilalui oleh gas metana.
Setelah sumur GMB dibor dan diselesaikan dengan komplesi sumur, langkah
selanjutnya adalah memproduksikan GMB dari sumur tersebut. Untuk
memproduksikan GMB, diperlukan teknik produksi yang khas dan
persyaratan tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
Dengan jumlah yang demikian besar dan kualitas yang cukup baik membuat
air terproduksi memiliki berbagai kemungkinan dalam pemanfaatannya (untuk
memasok irigasi pertanian, enhanced oil recovery dan pasokan untuk bahan
baku air minum). Kualitas air yang cukup baik dapat dibuang langsung ke
lingkungan sebagai penambah debit air untuk irigasi. Namun, untuk pasokan
air minum diperlukan teknologi yang cukup sehingga dapat memenuhi standar
baku mutu air minum. Pemanfaatan air tersebut tergantung pada kualitas air
terproduksi, lokasi sumur dan pengolahan air yang efektif. Umumnya ada 4
(empat) cara yang dilakukan oleh pelaku bisnis CBM dalam penangan air
akibat proses dewatering antara lain; Surface Discharge, Infiltration
Impoundments, Shallow Re-injection dan Reverse Osmosis.
b) Infiltration Impoundments
Air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke kolam untuk diuapkan
(evaporasi), penguapan dibantu dengan alat penyemprot atau diresapkan
kembali kedalam akuifer. Sebelum digunakan untuk kebutuhan pertanian
maupun rumah tangga terlebih dahulu di kumpulkan dalam sebuah kolam.
Kendala utama dalam pembuatan kolam ini adalah ketersediaan lahan yang
akan dipergunakan untuk membuat kolam tersebut karena area yang
dibutuhkan dalam pembuatan kolam yang cukup luas.
Jika kandungan airnya saline tentu dapat merusak vegetasi, dan jika tidak di
filteralisasi (saring) kadar garamnya tentu akan dapat mencemari air tanah.
Kontroversi pembuangan air produksi CBM di kolam (pool) yakni sebagai
cara paling murah namun, dapat merusak lingkungan karena mampu
mengubah perilaku hidrologi area tersebut, mengancam ikan dan kehidupan
air lainnya, serta bisa mengubah iklim lokal karena mengandungan moisture
Batubara yang tinggi. Selain itu, juga dapat mengakibatkan erosi atau
penurunan muka air tanah dan vegetasi yang terkait dengannya. Tampungan
produksi air CBM yang mengandung garam dapat mengandung racun organik
atau anorganik, seperti amonia atau hidrogen sulfida yang secara substansial
dapat merusak lingkungan.
Gambar Tahapan Metode Infiltration Impoundments
7. A.
1. Sulfur Dioksida
Batubara memiliki kandungan sulfur yang dapat mencapai 10% dalam fraksi
berat. Namun rata-rata kandungan sulfur di dalam batubara berada di kisaran
1-4% tergantung dari jenis batubara tersebut. Proses pembakaran batubara
menyebabkan sulfur tersebut terbakar dan menghasilkan gas sulfur dioksida
(SO2) dan sebagian kecil menjadi sulfur trioksida (SO3).
Secara langsung, sulfur oksida dapat menyebabkan iritasi pada alat
pernapasan manusia, mengurangi jarak pandang kita, sekresi muskus
berlebihan, sesak napas, dan lebih lanjut dapat menyebabkan kematian. Reaksi
sulfur oksida dengan kelembaban ataupun hujan, dapat menimbulkan hujan
asam yang sangat berbahaya bagi tanaman, hewan terutama hewan air, serta
sifatnya yang korosif dapat merusak infrastruktur-infrastruktur yang ada.
2. Sulfur Trioksida
Sebagian kecil sulfur dioksida yang terbentuk pada pembakaran batubara,
terkonversi menjadi sulfur trioksida (SO3). Rata-rata SO3 terbentuk sebanyak
1% dari total gas buang pembakaran. Satu sistem pada boiler yang berfungsi
untuk mengontrol gas buang NOx, memiliki efek samping meningkatkan
pembentukan SO3 dari 0,5% sampai 2%. SO3 sangat mudah bereaksi dengan
air untuk membentuk asam sulfat (H2SO4) pada temperatur gas buang di
bawah 260oC. Seperti yang Anda ketahui bahwa asam sulfat bersifat amat
sangat korosif dan berbahaya.
3. Nitrogen Oksida
Nitrogen Oksida yang dihasilkan oleh pembakaran batubara biasa disebut
dengan NOx. NOx meliputi semua jenis senyawa yang tersusun atas atom
nitrogen dan oksigen. Nitrat oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NOx)
menjadi penyusun utama dari polutan ini. NO, yang paling banyak jumlahnya,
terbentuk pada pembakaran bertemperatur tinggi hingga dapat mereaksikan
nitrogen yang terkandung pada bahan bakar dan/atau udara, dengan oksigen.
Jumlah dari NOx yang terbentuk tergantung atas jumlah dari nitrogen dan
oksigen yang tersedia, temperatur pembakaran, intensitas pencampuran, serta
waktu reaksinya.
Bahaya polutan NOx yang paling besar berasal dari NO2, yang terbentuk dari
reaksi NO dengan oksigen. Gas NO2 dapat menyerap sprektum cahaya
sehingga dapat mengurangi jarak pandang manusia. Selain itu NOx dapat
mengakibatkan hujan asam, gangguan pernapasan manusia, korosi pada
material, pembentukan smog dan kerusakan tumbuhan.
4. Karbon Monoksida
Gas yang tidak berwarna dan juga tidak berbau ini terbentuk dari proses
pembakaran yang tidak sempurna. Karbon monoksida (CO) dihasilkan dari
proses pembakaran batubara di boiler dalam jumlah yang relatif sangat kecil.
Bahaya paling besar yang diakibatkan oleh CO adalah pada kesehatan
manusia dan juga hewan. Jika gas CO terhirup, ia akan lebih mudah terikat
oleh hemoglobin darah daripada oksigen. Hal ini menyebabkan tubuh akan
kekurangan gas O2, dan jika jumlah CO terlalu banyak akan dapat
menyebabkan penurunan kemampuan motorik tubuh, kondisi psikologis
menjadi stress, dan paling parah adalah kematian.
6. Karbon Dioksida
Sejak tahun 1980-an, efek dari meningkatnya jumlah emisi CO2 akibat ulah
manusia semakin diperhatikan. CO2 yang dikenal dengan sebutan gas rumah
kaca, menjadi satu dari beberapa gas buang yang mengakibatkan terjadinya
global warming (pemanasan global). CO2 selalu dihasilkan oleh semua jenis
proses pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil berbasis
hidrokarbon.
Menangani emisi CO2 tidak semudah menangani emisi gas buang lainnya,
seperti SO2 misalnya. Karena jumlah produksi CO2 dari proses pembakaran
yang secara alamiah selalu berjumlah banyak. Salah satu metode paling
efektif untuk mengurangi pembentukan CO2 adalah dengan memperbaiki
tingkat efisiensi dari proses pembakaran (energi yang lebih banyak dari bahan
bakar yang lebih sedikit). Saat ini metode-metode untuk mengurangi jumlah
penggunaan bahan bakar karbon untuk menghasilkan energi yang lebih besar
terus dikembangkan.