TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI
Tuberculosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain
seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Irman Somantri, 2008).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis
(Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas (Widoyono, 2008)
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran pernafasan yang disebabkan
oleh bakteri yaitu mycobacterium tuberculosis, (Smeltzer, 2002).
Tuberkulosis merupakan infeksi paru akut atau kronis yang ditandai dengan infiltrasi paru dan
pembentukan granulasi dengan perkijuan, fibrosis, dan kavitasi. prognosis penyakit ini sangat bagus
dengan program pengobatan yang benar dan lengkap.
2.2 ETIOLOGI
Mycobacterium tuberkulosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm
dengan tebal 0,3-0,6 mm. sebagian besar komponen M. tuberkulosis adalah berupa lemak atau lipid
sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. oleh karena itu,
M. tuberkulosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. daerah
tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis.
a. Tahap asimtomatis.
d. Suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.
e. Masyarakat yang kurang mendapat pelayanan kesehatan yang memadai (missal : gelandangan,
penduduk miskin, minoritas, dll)
f. Kondisi medis yang sudah ada, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis, silicosis, dan malnutrisi).
2.5 PATOFISIOLOGI
Ketika seorang klien TB Paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tidak sengaja keluarlah droplet
nuclei dan jatuh ke tanah, lantai, dan tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara
yang panas, droplet nuclei menguap. Menguapnya bakteri droplei ke udara dibantu dengan pergerakan
angin akan membuat bakteri tuberculosis yang mengandung dalam droplet nuclei terbang ke udara.
Apabila bakteri ini dihirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberculosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air borne infection. Bakteri yang
terhisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik
lokasi dimana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri
tuberculosis dan focus ini disebut focus primer, lesi primer, atau focus Ghon. Reaksi juga terjadi pada
jaringan limfe regional, yang bersama dengan focus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam
waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjdi sensitive terhadap protein yang dibuat
bakteri tuberculosis dan bereaksi positif terhadap tes tuberculin atau tes Mantoux.
Berpangkal dari komples primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :
1. Percabangan bronkus
Penyebaran infeksi lewat percabangan bronchus dapat mengenai area paru atau melalui sputum
menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak
langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan
tuberculosis milier.
3. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati ke paru dapat membawa atau mengangkat material yang
mengandung bakteri tuberculosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah,
yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
Tuberkulosis Primer
Tuberculosis primer adalah infeksi penderita TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik
terhadap bakteri TB. Bila banteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli
atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag
yang berada di alveolar. Jika pada proses ini bakter ditangkap oleh makrofag lemah, maka bakteri akan
berkembang biak dalam tubuh makofag yang lemah dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini
dihasilkan bahan kemoktasis yang menarik monosit dan aliran darah membentuk tuberkel.
Bakteri TB menyebar melalui saluran pernapasan ke kelenjar getah bening regional (hilus) membentuk
epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas
seluler (delayed hipersensitivitas) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat
pada tes tuberkulin.
Bakteri TB yang berada di alveoli akan membentuk focus Ghon, sedangkan focus inisial bersama-sama
dengan limfadenopati bertempat di hilus dan disebut juga TB Primer. Bakteri menyebar lebih lanjut
melalui saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada berbagai organ. Jadi TB Primer
merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
Tuberculosis Sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB masih hidup dalam keadaan dorman
di jaringan parut. Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB
terjadi bila daya tahan tubuh menurun.
Berbeda dengan TB Primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan organ lainnya jarang
terkena. Lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma. Nekrosis jaringan lebih mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang luas dan
disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan
bahan kaseosa. Secara umum dapat dikatakan bahwa, pembentukan kavitas dan manifestasi lainnnya
dari TB Sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed
hipersensitivitas).
TB Paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber eksogan, terutama pada usia
tua, yang semasa mudanya pernah mempunyai riwayat terkena TB. Lesi sekunder berkaitan dengan
kerusakan paru, kerusakan paru diakibatkan oleh produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas yang terjadi
diliputi oleh jaringan fibrotic yang tebal dan berisi pembuluh darah pulmonal. Kavitas yang kronis diliputi
oleh jaringan fibrotic yang tebal. Masalah lain pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti
aspergillus yang menumbuhkan mycetoma (Isa,2001).
2.6 PATHWAYS
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini
tergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAT, apakah sama baiknya
dengan respon dari klien. Penyembuhan yang lengkap sering kali yang terjadi di beberapa area dan ini
adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap.
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnostic terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri.
Bahan pemeriksaan untuk isolasi Mycobacterium Tuberculosis berupa :
c. Cairan kumbah lambung. Pemeriksaan ini digunakan jika klien tidak dapat
mengeluarkan sputum.
2.8 KOMPLIKASI
· Gagal napas
· Fistula bronkopleural
· Pneumotoraks
· Efusi Pleura
· Pneumonia
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberculosis paru menjadi tiga bagian yaitu pencegahan,
pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
Pencegahan TB Paru
1. Pemeriksaan kontak yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita TB
BTA positif. Pemeriksaan meliputi : tes tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negative
diberikan BCG vaksinasi.
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu, misal :
penghuni rumah tahanan, petugas kesehatan, siswa-sisiwi pesantren.
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis kepada masyarakat di
tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit.
· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Streptomisin (S).
· Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Isoniazid (INH).
· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan Isoniazid (INH).
· Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk very slowly
growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z).
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri
terhadap asam.
· Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam pra amino salisilik (PAS), dan
sikloserine.
· Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan telah terjadi
resistensi sekunder.
Pengobatan TB terbagi dalam dua fase yaitu fase intensif ( 2-3 bulan ) dan fase lanjutan ( 4-7 bulan ).
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan
Etambutol. (Depkes RI, 2004).
Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan Directly
Observed Treatment Short Course (DOTSC). Lima komponen DOTSC yang direkomendasikan WHO yaitu :
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
3. Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek di bawah pengawasan langsung oleh PMO,
khususnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus minum obat setiap hari.
Penemuan penderita. Terdapat empat kategori yaitu : kategori I,II,III, dan IV. Kategori ini didasarkan pada
urutan kebutuhan pengobatan.
BAB III
3.1 PENGKAJIAN
Anamnese
A. Biodata
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan,
pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang
dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain. (dr.
Hendrawan Nodesul, 1996)
B. Keluhan Utama
· Keluhan Respiratorik, meliputi batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada.
· Keluhan sistemis, meliputi demam, hilang timbul, dan keluahn sistemis lainnya seperti anoreksia,
penurunan BB, malaise, dan keringat malam.
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini. Dengan
adanya batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat
mendorong penderita untuk mencari pengonbatan. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya
tersebut.
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB
Paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang
memperberat TB seperti diabetes mellitus.
Secara patologi TB Paru tidak diturunkan, tapi hal ini perlu ditanyakan sebagai factor predisposisi
penularan di dalam rumah
F. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
Klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak, denyut nadi meningkat, hipertensi.
b. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
1. Inspeksi :
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Gerakan pernapasan tidak simetris, sehingga terlihat
pada sisi sakit pergerakan dadanya tertinggal. Batuk dan sputum.
2. Palpasi : palpasi trachea dan gerakan dinding thoraks anterior / ekskrusi pernapasan.
B2 (Blood)
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
Dibiasakan dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjBal masih
normal sebagai ekskresi karena minum OAT.
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal
olahraga tidak teratur.
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d secret kental dan mengandung nanah, Fatigue, kemampuan
batuk kurang, edema trachea/faring
2. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura.
3. Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler, dan edema bronchial.
4. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d perasaan mual, batuk produktif.
5. Risiko penyebaran infeksi b/d tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri, kerusakan jaringan,
malnutrisi, paparan lingkungan, kurangnya pengetahuan untuk mencegah paparan kuman pathogen.
6. Risiko gangguan harga diri b/d image negative tentang penyakit, perasaan malu.
7. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi tentang
proses dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
3.3 INTERVENSI
INTERVENSI KEPERAWATAN
No.
Diagnosa
Keperawatan
Intervensi
Tujaun/KH
Intervensi
Rasional
1.
- Fatigue
KH :
a. Pasien menyatakan bahwa batuk berkurang, tidak ada sesak dan secret berkurang.
Independen
a. Mengkaji fungsi respirasi antara lain suara, jumlah, irama, dan kedalaman napas serta catatan pula
mengenai penggunaan otot napas tambahan.
mengeluarkann secret/batuk
secara efektif.
napas dalam
e. Memberikan minum kurang lebih 2.500 ml/hari, menganjurkan untuk minum dalam kondisi hangat
jika tidak ada kontra indikasi.
Kolaborasi
a. Adanya perubahan fungsi respiasi dan penggunaan otot tambahan menandakan kondisi penyakit
yang masih dalam kondisi penanganan penuh.
c. posisi semi/high fowler memberikan kesempatan paru-paru berkembang secara maksimal akibat
diafragma turun ke bawah. Batuk efektif mempermudah ekspektorasi mucus.
d. Pasien dalam kondisi sesak cenderung untuk bernapas melalui mulut yang jika tidak ditindaklanjuti
akan mengakibatkan stomatitis.
e. Air digunakan untuk menggantikan keseimbangan cairan tubuh akibat cairan banyak keluar melalui
pernapasan. Air hangat akan mempermuda pengenceran secret melalui proses konduksi yang
mengakibatkan arteri pada area sekitar leher vasodilatasi dan mempermudah cairan dalam pembuluh
darah dapat diikat oleh mucus/secret.
c. Menurunnya keaktifan dari mikroorganisme akan menurunkan respons inflamasi sehingga akan
berefek pada berkurangnya produksi secret.
2.
Ketidakefektifan pola pernapasan b/d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan
cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi pola napas kembali efektif.
KH :
b. Irana, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas normal, pada pemeriksaan rontgen
dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi napas terdengar jelas.
c. Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan miring pada sisi yang sakit, bantu klien latihan napas
dalam dan batuk efektif.
g. Bila dipasang WSD : periksa mengontrol pengisap dan jumlah isapan yang benar.
h. Periksa batas cairan pada botol pengisap dan pertahankan pada batas yang ditentukan.
a. Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat
mengambil tindakan yang tepat.
b. Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri
atau dapat menunjukkan terjadinya syok akibat hipoksia.
c. Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal
membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan secret ke jalan napas besar untuk dikeluarkan.
d. Bunyi napas dapat menurun atau tidak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru,
atau seluruh area paru.
e. Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea kea rah sisi yang sehat pada tension
pneumothorak.
f. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau udara dan memudahkan ekspansi paru secara maksimal.
g. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau udara dan memudahkan ekspansi paru secara maksimal.
h. Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah udara atmosfer masuk kedalam
pleura.
i. Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang
diharapkan. Gelembung biasanya menurun seiring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya
gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau tersumbatnya selang
drainese.
3.
Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane
alveolar-kapiler, dan edema bronchial.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan gangguan pertukaran gas tidak terjadi.
KH :
a. Melaporkan penurunan dispnea.
c. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat gas darah arteri dalam rentang
normal.
Mandiri
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi thoraks, dan kelemahan.
dan kuku.
Kolaborasi
a. Pemeriksaan AGD
c. Kortikosteroid.
d. TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneumonia sampai
inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan
bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress pernapasan.
jaringan tubuh.
napas pendek.
a. Penurunan kadar O2 atau saturasi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi
atau perubahan program terapi.
b. Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksia yang terjadi akibat penurunan ventilasi atau menurunnya
permukaan alveolar kapiler.
c. Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.
4.
ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b/d perasaan mual, batuk produktif.
KH :
makan meningkat.
mengalami penurunan
stabil.
d.Pasien terlihat dapat
menghabiskan porsi
e.Hasil analisis
laboratorium menyatakan
normal.
Independen
a. Mendokumentasikan status nutrisi pasien, serta mencatat turgor kulit, berat badan saat ini, tingkat
kehilangan berat badan, integritas mukosa mulut, tonus perut, dan riwayat nausea atau diare.
Memonitor intake-output dan berat badan secara maksimal.
d. Menganjurkan keluarga untuk membawa makanan dddari rumah terutama yang disukai pasien dan
kemudian makan dengan pasien jika tidak ada kontraindikasi.
Kolaborasi
c. Meningkatkan intake makanan dan nutrisi pasien, terutama kadar protein tinggi yang dapat
meningkatkan mekanisme tubuh dalam proses penyembuhan.
d. Merangsang pasien untuk bersedia meningkatkan intake makanan yang berfungsi sebagai sumber
energi bagi penyembuhan.
c. Meningkatkan komposisi tubuh akan kebutuhan vitamin dan nafsu makan pasien.
5.
Risiko penyebaran infeksi b/d tidak adekuatnya mekanisme pertahanan diri, kerusakan jaringan,
malnutrisi, paparan lingkungan, kurangnya pengetahuan untuk mencegah paparan kuman pathogen.
KH :
a. Pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut saat batuk dan bersin)
seperti penderita.
Independen
a. Me-kajian patologi penyakit (fase aktif dan inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui airborne
droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa, dll.
b. Mengidentifikasi risiko penularan kepada orang lain seperti anggota keluarga dan teman dekat.
Menginstruksikan kepada pasien jika batuk/ bersin, maka ludahkan ke tissue.
a. Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh pasien sudah
terbebas dari kuman tuberculosis.
b. Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama dengan pasien.
c. Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat meminimalkan
penyebaran infeksi melalui droplet.
6.
Risiko gangguan harga diri b/d image negative tentang penyakit, perasaan malu.
Tujuan : harga diri pasien dapat terjaga atau tidak terjadi gangguan harga diri dengan,
KH :
merasa malu.
Independen
b. Memberikan penghargaan pada setiap tindakan yang mengarah kepada peningkatan harga diri.
a. Mengetahui aspek diri yang negative dan positif, memungkinkan perawat menentukan rencana
lanjutan.
c. Pengetahuan tentang kondisi diri akan menjadi dasar bagi pasien untuk menentukan kebutuhan bagi
dirinya.
d. Perlibatan pasien dalam kegiatan akan meningkatkan mekanisme koping pasien dalam menangani
masalah.
7.
Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi tentang proses
dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
KH : klien terlihat mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan
kontak klien.
a. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
pengetahuan klien sebelumnya dan suasana yang tepat).
b. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan mengapa
pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
c. Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda reaktivasi penyakit
(hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, dan vertigo).
d. Tekankan pentingnya mempertahankan intake nutrisi yang mengandung protein dan kalori yang
tinggi serta intake cairan yang cukup setiap hari.
a. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan yang
kondusif.
b. Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobatan dan mencegah putus obat karena
membaiknya kondisi fisik klien sebelum jadwal terapi selesai.
c. Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi
lanjut.
d. Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolic tubuh. Pendidikan
kesehatan tentang hal itu akan meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.
BAB IV
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Tuberculosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain
seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Irman Somantri, 2008).
d. Suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.
Keluhan utama yang sering terjadi pada penderita TB Paru yaitu Keluhan Respiratorik, meliputi batuk,
batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Keluhan sistemis, meliputi demam, hilang timbul, dan keluahn
sistemis lainnya seperti anoreksia, penurunan BB, malaise, dan keringat malam.
5.2 SARAN
Laporan pendahuluan serta asuhan keperawatan pada tugas ini masih perlu penyempurnaan supaya bisa
digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan asuhan keperawatan. Oleh karena itu kami berharap
atas sumbangan kritk dan saran untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
· Kapita Selekta Penyakit Nurse’s Quick Check. edisi 2, alih bahasa Dwi Widiarti, 2011. Jakarta : EGC
· Mansjoer, Arif, Kartini, dkk. 1999. “Kapita Selekta Kedokteran.” Fakultas Kedokteran UI : Media
Aesculapius.
· Muttaqin, Arif, 2008. “Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.” Jakarta :
Salemba Medika.
· Smeltzer, S.C., 2013. “Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, edisi 12”. Jakarta : EGC,
· Somantri, Irman, 2008. “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.”
Jakarta: Salemba Medika.
· Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R, 2011. “ Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 9,Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.” Jakarta : EGC