This One Isi
This One Isi
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
2. Rumusan Masalah
- Apa itu ijma?
- Apa itu qiyas?
- Apa itu sunnah?
- Apa itu ijtihad?
- Bagimana pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’?
3. Tujuan
- Agar mahasiswa dapat memahami makna ijma, qiyas, sunnah serta ijtihad.
- Agar mahasiswa dapat memahami pengaruh ijma, qiyas, sunnah. Dan ijtihad
terhadap perkembangan tasyri’.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
Sunnah Nabi menurut Al Imam Abu Zahra adalah sabda-sabda Nabi saw
perbuatan beliau dan taqrir beliau. Para ulama sepakat bahwa sunnah merupakan
sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al-Quran. As-sunnah membentuk dan
menetapkan hukum tersendiri yang tidak dapat didalam Al-Quran.
a. Sunnah Qouliyah
b. Sunnah fi’liyah
Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu
perbuatan, misalnya:
عن ابن عباس رض قال سقيت رسول هللا صعلم من زمن و هوقاءم
Dari Ibu Abbas RA., ia berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW
dengan air zamzam, sedangkan beliau dalam keadaan berdiri.
3
c. Sunnah Taqririyah
d. Sunnah Hammiyah
Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil
Sunnah Hamiyah ini. Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah
menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi ada
juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber
hukum.
b. Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada
lapisan pertama (sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu
4
tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat
didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.
c. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang atau
beberapa orang, mulai lapisan pertama sampai terakhir, tetapi tidak cukup
terdapat padanya tanda-tanda yang dapat menjadikannya hadits Masyhur
apalagi hadits mutawatir.
a. Hadits Shahih
b. Hadits hasan
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan
banyak jalan datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta
atau sadz.
5
c. Hadits dlo’if
Hadits dlo’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-
syarat hadits shoheh maupun hadist hasan.Hadits Maudlu’(palsu)
Hadits maudlu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW,
misalnya:
تخذوابالعقيق فاءنه ينفى الفقراPakailah cincin permata akik, karena ia dapat
menghilangkan kefakiran.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i
(menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat
kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi
sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat
sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum
syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.
6
terdapat dalam Al
Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.
B. Al-Ijma’ االجماع
2. Kehujjahan Ijma’
3. Sandaran Ijma’
4. Pembagian Ijma’
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
7
1) Ijma’ qouli ()القولي
2) Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang
berijma’ itu menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya
dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga
dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)
3) Ijma’ sukuti ()السكوتي
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada
pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak
mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun
diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan
ijma’ dhonni (kurang meyakinkan).
Sikap ulama terhadap ijma’ sukuti antara lain adalah:
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian
ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa
menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’
qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah
kehujjahannya adalah dhonni bukan qoth’i.
C. Al Qiyas ()القينا س
1. Definisi Qiyas
Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada
ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada
ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya
persamaan illat antara keduanya.
2. Rukun Qiyas
8
tempat menserupakan ()المشبه به
b. Cabang / الفرعyakni hal yang diukurkan ( )المقيسatau hal yang diserupakan
()لمشلبه
c. Sebab / العلةyakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan
cabang.
d. Hukum / لدكمyakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan
tersebut.
3. Macam-macam Qiyas
a. Qiyas Aula ( )االء ولىyakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat
dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua,
maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti
rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi ()المساوي, yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya
dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan
dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah ( )الدال لةyakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang
serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum,
tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak
yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih ()الشبة, yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari
antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang
kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan ( )ا دوانyakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada
hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti
mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada
hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan
sebagai tempat air minum.
9
4. Kehujjahan Qiyas
D. Ijtihad
1. Pengertiannya
االجتهاد هواستفراغ الوسع في نيل حكم شر عي بطريق االء ستنباط من الكتاب والسنة
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh
kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-
dalil nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
2. Hukumnya
10
baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
4. Pembagian ijtihad
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu
senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas
ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman sekarang
ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan
alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih
banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat
sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status
hukumnya.
11
6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas
Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada
nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya
tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk
diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.
Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada
ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu
merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para
sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi
membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya
12
kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian
ijtihad individu.
13
5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-
kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme,
dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam
sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam
pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak
kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan
yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang
kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran
salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-
Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan
tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi
yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo
survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama
dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan
terhadap kepedulian sosial.
14
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
-Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
-Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW
setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata /
masalah dari beberapa masalah.
-Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan
hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya
oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara
keduanya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Steenbrink, Karer A, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke- 19, Jakarta
Bulan Bintang,1984
Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh, terj. M. Fauzi
Arifin, cet. 1, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2005
Prof. Abdul Wahab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, terj. H.A ‘Aziz
Masyhuri, cet. 5, Solo: CV. Ramadhani, 1991
16