Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya,


syari’at Islam telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama
periode kenabian, fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad
Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut,
wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber
hukum Islam.
Seiring dengan lajunya perkembangan Islam ke berbagai penjuru,
maka munculah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa
Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci,
sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang
pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru
dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang
awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk
pemikiran yang baru:
1) Periode fiqh di Era Kenabian
2) Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun
3) Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
4) Periode fiqh di era zaman keemasan
5) Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
6) Periode fiqh di era kebangkitan kembali

1
2. Rumusan Masalah
- Apa itu ijma?
- Apa itu qiyas?
- Apa itu sunnah?
- Apa itu ijtihad?
- Bagimana pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’?

3. Tujuan
- Agar mahasiswa dapat memahami makna ijma, qiyas, sunnah serta ijtihad.
- Agar mahasiswa dapat memahami pengaruh ijma, qiyas, sunnah. Dan ijtihad
terhadap perkembangan tasyri’.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. As Sunnah atau Al-Hadits


1. Definisi As Sunnah

Al Imam Abu Zahro’, mendefinisikan As Sunnah adalah


‫السنة النبوية هي اقوال النبى صلى هللا عليه وسلم و افعا له وتقريراته‬

Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
Sunnah Nabi menurut Al Imam Abu Zahra adalah sabda-sabda Nabi saw
perbuatan beliau dan taqrir beliau. Para ulama sepakat bahwa sunnah merupakan
sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al-Quran. As-sunnah membentuk dan
menetapkan hukum tersendiri yang tidak dapat didalam Al-Quran.

2. Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya

a. Sunnah Qouliyah

yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:


‫قاءما‬ ‫احدكم‬ ‫يشربن‬ ‫ال‬ ‫صعلم‬ ‫قال‬ ‫هريرةرض‬ ‫ابي‬ ‫عن‬
”Janganlah minum salah seorang daripada kamu sambil berdiri.

b. Sunnah fi’liyah

Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu
perbuatan, misalnya:
‫عن ابن عباس رض قال سقيت رسول هللا صعلم من زمن و هوقاءم‬
Dari Ibu Abbas RA., ia berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW
dengan air zamzam, sedangkan beliau dalam keadaan berdiri.

3
c. Sunnah Taqririyah

Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur


perbuatan yang perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, misalnya:
‫عن ابن عمر قال ناء كل على عهدرسول هللا صعلم ونخن نمشي ونشرب ونخن قيام‬
”Saya pernah makan dihadapan Rasulullah SAW, sedangkan kami dalam
keadan berjalan, dan kami pernah minum dihadapan beliau sedangkan kami
berdiri.”

d. Sunnah Hammiyah

Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil
Sunnah Hamiyah ini. Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah
menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi ada
juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber
hukum.

Contoh hammiyah Nabi SAW adalah:


‫لئن بقيت الى قابل ألصومن التا سع يعنى يوم عاشوراء‬
Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan
puasa hari kesembilan dari hari Asyuro.”

4.Pembagian As Sunnah dari Bilangan Ruwahya

a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan


sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal
masing-masing tingkatan perowi itu tidak mungkin bersepakat untuk berbuat
bohong.

b. Hadits Masyhur

Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada
lapisan pertama (sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu

4
tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat
didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.

c. Hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang atau
beberapa orang, mulai lapisan pertama sampai terakhir, tetapi tidak cukup
terdapat padanya tanda-tanda yang dapat menjadikannya hadits Masyhur
apalagi hadits mutawatir.

4. Pembagian As Sunnah ditinjau dari Shoheh Tidaknya

a. Hadits Shahih

Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para


perowi yang dhobit (antara lain bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-
lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat pribadi yang menjadikan keganjilan
dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat dipercayai selaku
pembawa khabar berita.

b. Hadits hasan

Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung


sanadnya, namun ada perowinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan
yang sempurna.

Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan
banyak jalan datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta
atau sadz.

5
c. Hadits dlo’if

Hadits dlo’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-
syarat hadits shoheh maupun hadist hasan.Hadits Maudlu’(palsu)
Hadits maudlu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW,
misalnya:
‫تخذوابالعقيق فاءنه ينفى الفقرا‬Pakailah cincin permata akik, karena ia dapat
menghilangkan kefakiran.

5. Dalalah dari Al Hadits

Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i
(menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat
kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi
sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat
sebagai hujjah masalah amalan-amalan.

6. Status hukum sunnah / hadits

Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum
syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.

7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an

Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi


atau sebagai urutan kedua sesudah Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
a. As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al-
Qur’an.
b. As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada
dalam Al Qur’an, dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya
Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
c. As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak

6
terdapat dalam Al
Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.

B. Al-Ijma’ ‫االجماع‬

1. Definisi / ta’arif Ijma’

Yang dimaksud dengan ijma’ adalah


‫اتفااااج مدتهااادم امااااة مدماااد صاااالم بعااادوفا تااااه فاااي ع ااار ماااان ا ع اااارعال اماااار مااان االمااااور‬
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad
SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas
sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.

2. Kehujjahan Ijma’

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni,


bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai
peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam
bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang
qoth’i.

3. Sandaran Ijma’

Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:


‫االجماع ليمس من ال لة المسـتفلة‬
Ijma’ itu bukanlah merupakan dalil yang berdiri sendiri

4. Pembagian Ijma’

Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.

7
1) Ijma’ qouli (‫)القولي‬

2) Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang
berijma’ itu menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya
dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga
dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)
3) Ijma’ sukuti (‫)السكوتي‬
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada
pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak
mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun
diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan
ijma’ dhonni (kurang meyakinkan).
Sikap ulama terhadap ijma’ sukuti antara lain adalah:
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian
ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa
menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’
qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah
kehujjahannya adalah dhonni bukan qoth’i.

C. Al Qiyas (‫)القينا س‬

1. Definisi Qiyas

Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada
ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada
ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya
persamaan illat antara keduanya.

2. Rukun Qiyas

Rukun qiyas ada empat yaitu:


a. Pokok ‫ الصل‬yakni yang menjadi ukuran (‫ )المقيس عليه‬disebut juga dengan

8
tempat menserupakan (‫)المشبه به‬
b. Cabang / ‫ الفرع‬yakni hal yang diukurkan (‫ )المقيس‬atau hal yang diserupakan
(‫)لمشلبه‬
c. Sebab / ‫ العلة‬yakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan
cabang.
d. Hukum / ‫ لدكم‬yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan
tersebut.

3. Macam-macam Qiyas

Macam-macam qiyas itu antara lain:

a. Qiyas Aula (‫ )االء ولى‬yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat
dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua,
maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti
rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (‫)المساوي‬, yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya
dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan
dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah (‫ )الدال لة‬yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang
serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum,
tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak
yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (‫)الشبة‬, yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari
antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang
kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (‫ )ا دوان‬yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada
hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti
mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada
hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan
sebagai tempat air minum.

9
4. Kehujjahan Qiyas

Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah


dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum
dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara
mengqiyas.

D. Ijtihad

1. Pengertiannya
‫االجتهاد هواستفراغ الوسع في نيل حكم شر عي بطريق االء ستنباط من الكتاب والسنة‬
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh
kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-
dalil nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).

‫هوالفقيه المستفرغ لو سعه لتد يل ظن بدكم شر عي بطريق االء ستنباط منهما‬


Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh
dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’
dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.

2. Hukumnya

Ada tiga kriteria hukum berijtihad:


a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum
suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan
hukumnya.
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu
peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu,
sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi

10
baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.

3. Syarat-syarat menjadi mujtahid

a. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan


segala ilmu yang terkait dengannya.
b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-
apa yang telah di ijma’kan.
c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini
merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
d. Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang
sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
e. Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait
dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.

4. Pembagian ijtihad

Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:


a. Ijtihad ‫( الفردية‬fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang-
perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.
b. Ijtihad ‫( لدماعية‬jam’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid)
lan untuk bermusawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.

5. Keperluan terhadap ijtihad

Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu
senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas
ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman sekarang
ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan
alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih
banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat
sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status
hukumnya.

11
6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas

Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada
nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya
tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk
diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.

E. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’

Seiring dengan lajunya perkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka


muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah,
padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara
sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa
Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah
konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya
muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.

1. Periode fiqh di Era Kenabian

Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada
ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu
merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para
sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi
membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya

2. Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun

Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang


dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan
kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas.
Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan
suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik

12
kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian
ijtihad individu.

3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in

Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena


akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada
pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi
yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan
bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan
antara kesatuan agama dan negara.

Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata


membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh
berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada
pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa
mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini
dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih
oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.

4. Periode fiqh di era zaman keemasan

Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan


perdagangan dari semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu
pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan
yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan
bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya
tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling
menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang
terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan
pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di
Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.

13
5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud

Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda


kejatuhannya, karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya
melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri.
Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang
dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya
berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal TuhþKan, bengis, kejam,
yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik
semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari
situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam
hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu
menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu
untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha SunnþÃmenutup
pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir.

6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali

Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-
kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme,
dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam
sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam
pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak
kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan
yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang
kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran
salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-
Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan
tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi
yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo
survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama
dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan
terhadap kepedulian sosial.

14
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

-Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.

-Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW
setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata /
masalah dari beberapa masalah.

-Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan
hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya
oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara
keduanya.

-Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan


untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan
Al Hadits).

15
DAFTAR PUSTAKA

Steenbrink, Karer A, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke- 19, Jakarta
Bulan Bintang,1984

Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh, terj. M. Fauzi
Arifin, cet. 1, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2005

Prof. Abdul Wahab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, terj. H.A ‘Aziz
Masyhuri, cet. 5, Solo: CV. Ramadhani, 1991

16

Anda mungkin juga menyukai