Hari ini aku kembali duduk terdiam di atas kursi kayu tua yang sudah reyot.
kilauan cahaya televisi tua menyorot kedua mataku yang sayu akibat tidak tidur
semalaman. Tombol untuk mengganti saluran di televisiku sudah rusak dan aku tidak
punya cukup uang untuk membeli sebuah alat pengganti saluran televisi, sehingga aku
selalu menonton saluran ini, sebuah saluran yang menampilkan berita-berita paling
hangat yang terjadi di tanah air tercintaku ini.
Sebuah rumah ibadah dibakar lagi oleh warga setempat?. Pikirku setelah melihat
berita tentang hal itu di televisi.
Dahulu, aku mungkin adalah orang yang paling geram dengan berita-berita
semacam itu jika tampil di televisi. Namun, setelah aku mengalami hal-hal naas dan
melihatnya berkali-kali, aku jadi mulai terbiasa dan pasrah akan hal itu.
Hanya saja…
Tanah air tercintaku ini masih menjadi negeri yang multikultural, negeri yang
hanya sekedar tahu bahwa mereka tinggal di sini berbeda-beda tanpa mengerti betul
bagaimana caranya memahami satu sama lain.
Seharusnya tanah air tercintaku ini mulai berjalan menuju ke negeri yang plural,
yang mana tidak hanya sekedar mengetahui bahwa kita hidup dalam perbedaan, namun
berupaya untuk mencari solusi untuk menghindari konflik di dalamnya.
Berita selanjutnya dibacakan oleh si pembawa berita dengan rambut klimis itu.
Dari air wajahnya, nampaknya dia agak ragu untuk membacakan berita selanjutnya. Akan
tetapi si klimis ini tidak terlihat seperti seorang yang sedang takut atau cemas, ia lebih
terlihat seakan-akan geram saat mulai membacakan berita tersebut.
Seorang wanita dipukuli oleh oknum sebuah ormas?
Kurasa itu adalah berita yang sangat wajar diberitakan di negeri ini, kenapa si
klimis ini tampak marah?
Aku coba mencari tahu alasan mengapa dia bisa terlihat begitu geram. Aku
mencoba lebih saksama menonton acara berita itu, dan benar saja, aku langsung
menemukan alasan mengapa si klimis itu begitu marah. Jadi, si klimis ini tidak tahunya
bernama Matthew dan si wanita yang jadi korban oleh oknum ormas ini dipukuli karena
ia berbeda agama dari para oknum itu.
Benar-benar negeri yang lucu, kan? Jika aku jadi si klimis ini, aku hanya akan
diam dan pasrah, toh untuk apa juga melawan kaum mayoritas. Malah bisa jadi, dia juga
dipukuli di jalan saat pulang nanti.
Berangkat dari kisah tragis tersebut, aku mencoba mencari keadilan dengan
memprosesnya secara hukum, namun usahaku sia-sia, pengadilan tidak mampu
memproses ini lebih lanjut karena pelaku dari kasus ini tidak jelas dan aku juga bukan
orang yang cukup penting untuk diurus lebih lanjut.
Setelah itu aku memutuskan untuk mengurung diri di rumah karena kekesalan
yang memuncak itu. Aku hilangkan pintu-pintu di rumahku dan aku pagari setiap
jendelanya sehingga tidak ada orang yang bisa masuk. Aku merasa aman di dalam sini,
orang-orang berkacamata kuda tidak akan bisa mengusik hidupku lagi. Lagipula aku juga
sudah tidak peduli dengan orang-orang itu.
Suara tawa dua anak kecil memecah lamunanku dan aku pun sontak langsung
melihat ke arah sumber suara anak kecil tersebut.
Suara itu berasal dari Maria dan Salim. Maria adalah anak perempuan manis
berkulit kuning langsat dengan mata yang sedikit sipit, sementara Salim adalah anak laki-
laki lucu berkulit hitam manis dengan mata lebar yang indah. Aku lupa kapan mereka
pertama kali hadir di rumahku, tapi yang kutahu dari awal mereka di sini, mereka selalu
bermain berdua dan tidak pernah bermusuhan sama sekali. Maria tidak pernah
membicarakan apa pun yang bersangkutan dengan fisik, agama, maupun etnis dari Salim
dan begitu pun sebaliknya.
Mereka tidak ada yang merespon omonganku dan masih asik saja bermain
bersama. Ya, memang sebenarnya dari awal juga mereka tidak pernah meresponku sama
sekali, tapi entah kenapa aku selalu senang melihat mereka. Mereka seperti
menggambarkan tentang harapanku terhadap negeri ini, kepada tanah air ini.
Mungkin aku dan keluargaku dahulu dibenci karena kami memiliki ciri fisik yang
sangat mirip dengan Maria. Dan sepertinya mayoritas warga negara di negeri ini memiliki
fobia terhadap etnis dengan ciri fisik seperti keluargaku dan Maria.
Aku juga pernah menelisik lebih lanjut mengenai kepercayaan yang mereka anut.
Aku menemukan seorang nabi yang benar-benar mereka jadikan panutan. Di sinilah aku
sangat terheran-heran. Aku telah mencoba mempelajari ajaran mereka dengan saksama,
dan aku menemukan kejanggalan.
Aneh serta lucu di saat yang bersamaan. Ingin rasanya aku memprotes kaum-
kaum ini, namun aku juga tahu bahwa itu adalah tindakan bunuh diri, hanya mengantar
nyawa.
Kucoba untuk menelusuri ajaran ini lebih lanjut, tentang sejarah-sejarah yang
mencatat masuknya ajaran ini ke negeriku tercinta pertama kali. Ada yang menarik, aku
menemukan catatan sejarah tentang sembilan ahli agama yang membuat mayoritas orang-
orang negeri ini menjadi mengikuti ajaran tersebut.
Aku menghela napas panjang untuk membuatku rileks. Mataku mencoba mencari-
cari gelas berisi air yang seingatku berada di dekat kursiku. Setelah kutemukan aku pun
segera mengambilnya dan meneguk air di dalamnya.
Kosong?
Aku tidak sadar ternyata sudah tidak ada air di dalam gelasku.
”Benar juga, terakhir aku minum air kan tiga tahun lalu.” Aku terkekeh.
Aku melempar gelas kosong tadi ke lantai dan mulai mencari-cari makanan yang
mungkin ada disekitarku.
“Aduh, kenapa tidak ada makanan sama sekali di sekitar sini.” Gumamku.
Kembali sistem di otakku bekerja begitu keras untuk mengingat dan aku kembali
tersadar bahwa terakhir kali aku makan juga tiga tahun lalu.
Aku mulai curiga dengan diriku sendiri. Aku mencoba memikirkan kemungkinan-
kemungkinan tentang apa yang sudah terjadi kepadaku. Aku menatap ke arah Maria dan
Salim yang masih asik bermain tak jauh dari tempatku duduk.
Tertawaku pun lepas begitu saja, aku juga tidak mengerti mengapa aku tertawa
sedangkan Maria dan Salim masih saja menggeleng tanpa henti, tentu dengan kedua bola
mata yang masih sangat kosong.
“Yaa… Terserah.”
Kembalilah aku menonton siaran televisi yang tidak pernah kuganti dari 3 tahun
lalu, siaran-siaran berita tentang perbedaan dan konflik. Siaran televisi yang berisi
penyesalan serta kekesalanku. Di sini juga ada Maria dan Salim yang menggambarkan
keinginan terdalamku. Hal itu membuatku jadi mengerti ada dimana aku dan bagaimana
kondisiku sekarang.