Biografi Singkat
Bulan Januari 1939, Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan Agustus dann
Desember 1939, Jassin bekerja sebagai voluntair di Kantor Asisten Residen
Gorontalo.
Akhir Januari 1940, Jassin menuju Jakarta. Dan mulai Februari 1940 hingga 21 Juli
1947 bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku
(1940-42), kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-45), dan wakil
pemimpin redaksi Panca Raya (1945-21 Juli 1947).
Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, secara berturut-turut Jassin menjadi redaktur
majalah berikut: Mimbar Indonesia (1947-66), Zenith (1951-54), Bahasa dan
Budaya (1952-63), Kisah (1953-56), Seni (1955), Sastra (1961-64 dan 1967-69),
Horison (1966-sekarang), dan Bahasa dan Sastra (1975).
Mulai Agustus 1953, Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah
Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. “Saya
sebetulnya sama sekali tidak suka mengajar,” kata Jassin mengenang masa itu.
“Apalagi mengajar di perguruan tinggi. Saya sendiri sebelumnya tak pernah belajar
di perguruan tinggi dan itu membuat badan saya panas dingin setiap masuk ruang
kuliah”.
Di samping mengajar, Jassin juga mengikuti kuliah di fakultas yang sama. Tanggal
15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan
kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra
Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-59).
1
Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Jassin pernah berencana untuk menulis
disertasi mengenai Pujangga Baru: timbulnya, pertumbuhannya, bubarnya, lengkap
dan latar belakangnya. Promotornya pun sudah ada, yakni Prof. Dr. Prijono. Akan
tetapi, sepulang dari Amerika Serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai
rencana itu. Dalam suratnya tanggal 10 September 1959 kepada Subagio
Sastrowardoyo, Jassin mengatakan: “Saya sudah menarik diri dari tugas mengajar
yang tak pernah saya senangi selama ini dan kembali membatasi diri pada lapangan
saya sendiri. Saya lebih senang menulis-nulis saja daripada berdiri di depan
kelas…”
Sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra
UI. Akan tetapi, tidak lagi berdiri di depan kelas, melainkan hanya membimbing
para mahasiswa yang membuat skripsi. Antara lain, Jassin membimbing penulisan
skripsi Boen S. Oemarjati, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Bahrum
Rangkuti, dan lain-lain.
Jassin adalah salah seorang tokoh Manifes Kebudayaan, sebuah manifes yang
dibuat tanggal 17 Agustus 1963 guna menentang pihak Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Akibatnya, sejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Bung
Karno (8 Mei 1964), Jassin pun dipecat dari Fakultas Sastra UI. Dan pemecatan ini
berlangsung hingga G-30-S/PKI meletus. Setelah itu, Jassin kembali lagi ke
Fakultas Sastra UI. Dan sejak April 1973 menjadi Lektor Tetap di Fakultas tersebut
untuk mata kuliah Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern dan Ilmu Perbandingan
Kesusastraan.
Perlu diketahui, di samping mengajar dan mengikuti kuliah, sejak Juli 1954 hingga
Maret 1973, Jassin adalah pegawai Lembaga Bahasa dan Budaya, yang sekarang
kita kenal dengan nama: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
2
B. Kiprah/Penghargaan
3
C. Daftar Karya
Sebagai Editor
Terjemahan
4
D. Karya Terbaik Menurut Pendapat Udji Kayang Aditya Supriyanto, Esais
Asal Wonogiri
KEWAJIBAN (1945)
5
tiada daya menunggu maut?
Tidak! Tidak!
DOA (1945)
6
E. Gagasan/Pemikiran
Jassin merenungi manusia. Selama apa pun hidup manusia di dunia, usianya tidak
akan seberapa dibandingkan umur masa. Jassin menyebut masa ibarat samudra. Ia
cuma berkubang, kitalah yang harus berenang, menyeberang. Semakin lama kita
mengarungi samudra itu, semakin hebat deritanya. Jassin mengatakan nafsu
kebendaan biang derita manusia. Kita lantas mengingat petuah Buddha, entah kita
membacanya dari buku, atau menonton serial televisi Kera Sakti (Journey to the
West). “Penderitaan manusia berasal dari keinginan-keinginan,” kurang lebih
demikian petuah Buddha. Islam pun berpetuah serupa. Salah satu ayat kitab suci
menyebut bahwa berlebih-lebihan (memanjakan nafsu kebendaan) melalaikan
manusia. Astaghfirullah.
7
ilham yang suci abadi, dalam rangka mencetak manusia-manusia pendakwah damai
di dunia: manusia utama lahir dan batin. Masya Allah.
Puisi 2 “Kewajiban”
Puisi 3 “Doa”
Karya kreatif H.B. Jassin (cerita pendek dan puisi) terhimpun dan terbit
dalam satu buku: Darah Laut (1997). Kita telah berjumpa sekian cerpen dan puisi,
tapi hampir mengabaikan tulisan penting yang mendahuluinya. Darah Laut diawali
dengan tulisan sambutan yang ditulis penyair, sekali lagi: penyair, Sapardi Djoko
Damono. Ia memberi judul tulisannya Sastrawan H.B. Jassin, sebagai upaya
8
mengingatkan pembaca bahwa Jassin tak melulu kritikus sastra. Pada suatu ketika,
Jassin adalah sastrawan juga.
Sapardi memulai tulisan dengan meraba-raba masa awal ketertarikan Jassin pada
sastra. Sapardi menjelaskan, “Di zaman kolonial Belanda, cerpen dan puisinya
dimuat di Volksalmanak, Pandji Poestaka, dan Poedjangga Baroe. Di masa
pendudukan Jepang pun ia sempat menulis, dimuat di Djawa Baroe. Selepas
kemerdekaan karyanya dimuat di Merdeka dan Pantja Raja. Sejak pertengahan
tahun 1940-an tampaknya ia tidak berminat menulis karya kreatif lagi dan
memusatkan perhatian pada kritik sastra.”
Pembahasan puisi sebagai sekadar lanjutan ulasan cerpen pun dilakukan Sapardi di
paragraf berikutnya. Puisi Doa (1945) dibahas sekadar sebagai lanjutan ulasan
cerpen Jiwa Merdeka di Bawah Si Tigawarna (1946). Keduanya diidentifikasi
Sapardi sebagai karya Jassin yang menggambarkan situasi pascaperjuangan
melawan pemerintah militer Belanda, dengan kata lain: kemerdekaan Indonesia.
Kita sedih, tapi tak perlu berlebihan. Bahkan penyair pun tak selamanya dapat
diandalkan sebagai pengapresiasi puisi, entah karena ketidakmampuan, atau
ketidakmauan.
9
F. Bentuk Dan Struktur Puisi
Diksi : Dalam puisi ciptakan dunia bahagia ini, H.B Jassin seperti
biasa memilih kata-kata sederhana, namun indah dan sarat makna.
Pemilihan kata yang Jassin lakukan membuat pembaca sajak ini
merasakan dengan jelas susasana hati Jassin dan membuat puisi ini
lebih bernyawa.
10
Puisi 2 “Kewajiban”
Tema : Patriotisme/Kebangsaan
11
Puisi 3 “Doa”
Tema : Kemerdekaan
Rima : Rima bebas, rima yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut
sebelumnya (Waluyo, 1991: 93).
Diksi : Dalam puisi doa ini, H.B Jassin seperti biasa memilih kata-kata
sederhana, namun indah dan sarat makna. Pemilihan kata yang Jassin
lakukan membuat pembaca sajak ini merasakan dengan jelas susasana
hati Jassin dan membuat puisi ini lebih bernyawa.
Suasana : Pengharapan
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Saya hanya bisa menyarankan agar mempelajari dan memakai sebuah puisi
bukan karena tuntutan tugas atau hal lain, melainkan karena panggilan jiwa yang
merasa butuh akan amanat yang terkandung dalam puisi.
13
BAHAN PUSTAKA
Eneste, Manusuk. 1987. H.B. Jassin: paus sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Jassin, H.B. 1976. Angkatan 66: prosa dan puisi. Jakarta: Gunung Agung.
https://100tahunhbjassin.wordpress.com/tag/puisi/
https://khikyrizkiherdiani.wordpress.com/2012/11/07/biografi-h-b-jassin/
https://asepsopyan.com/2011/03/19/hb-jassin-dan-gelar-gelarnya/
14
15
16