Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegawatdaruratan pada traktus biliaris yang utama diantaranya adalah


kolesistitis akut, kolangitis ascenden, dan pankreatitis akut. Kolesistitis adalah
inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi duktus
sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada
duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis
akalkulus.

Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan


sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik
bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama
yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan kurang lebih 500.000 operasi dilakukan
per tahunnya.

Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.


Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.
Peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio
androgen-estrogen.

Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki,


sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar
progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga
penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan,
kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai


keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistItis dapat dibagi menjadi:

 Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu


kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
 Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan


kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1

2. ETIOLOGI

 Infeksi bakteri

Organisme ini termasuk gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob
contohnya Eschericia coli, Klebsiella sp, Clostridium sp, dan Streptoccocus
sp.

 Pemasangan jangka panjang IV

Banyaknya elektrolit dalam cairan intravena menyebabkan terbentuknya batu


empedu.

2
 Koleklitiasis (batu empedu)

Koleklitiasis (batu empedu) akan menghambat duktus sistikus yang


menyebabkan distensi kandung empedu dan gangguan aliran darah dan limfe
serta aliran cairan empedu. Getah empedu yang tetap berada dalam kandung
empedu menyebabkan otolisis (penghancuran sel yang dilakukan oleh enzim
dari sel itu sendiri yang berujung pada kematian sel) serta edema; dan
pembuluh darah dalam kandung empedu akan terkompresi sehingga suplai
vaskulernya terganggu. Hal ini menyebabkan peradangan.

 Obesitas

Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak


larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin
(fosfolipid) dalam empedu. Kolesterol yang tinggi melebihi solubilisasi
empedu dan sintesis asam empedu yang menurun menyebabkan supersaturasi
getah empedu. Hal ini menyebabkan kolesterol tidak lagi tidak terdispersi
sehingga terjadi pengumpalan kristal kolesterol monohidrat padat.

 Pembedahan (terjadi perubahan fungsi)

Terjadi ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar garam


empedu/asam empedu, sehingga menginduksi terjadinya peradangan.

 Luka bakar

Respon umum pada luka bakar ≥20% adalah penurunan aktivitas


gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik
dan neurologic serta respon endokrin terhadap luka.

 Sirosis hepar

Pembengkakan hepar menyebabkan terjepitnya saluran empedu yang berada


dalam hepar (intrahepatic).

 Jenis kelamin

Perempuan lebih rentan menderita kolesistitis (yang disebabkan oleh batu


kolesterol). Insiden pembentukan batu empedu yang meningkat pada para

3
pengguna pil kontrasepsi, ekstrogen, dan klofibrat (obat penurun kadar lemak
dalam darah) yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier.

3. KLASIFKASI

Kolesistitis terbagi atas:

a. Kolesistitis akut, yang terbagi atas

 Kolesistitis kalkulosa akut yaitu peradangan akut kandung empedu yang


mengandung batu.

 Kolesistitis akalkulosa akut, yaitu peradangan akut kandung empedu yang


tidak mengandung batu.

b. Kolesistitis kronis, yaitu kelanjutan dari kolesititis akut yang berulang.

4. MANIFESTASI KLINIS

a. Nyeri kolik bilier

Kolik bilier adalah nyeri episodik berat pada sifat dan beratnya selama
serangan akut. Dikarakteristikkan oleh awitan tiba-tiba dari nyeri epigastrik
berat atau kuadran kanan atas yang sering menyebar ke punggung. Intensitas
dari puncak nyeri dalam satu jam atau kurang dan menetap selama beberapa
jam. Nyeri disebabkan oleh kontraksi kandung empedu terhadap batu yang
tersangkut pada leher kandung empedu atau duktus kistik, kerusakan jaringan
dalam kandung empedu, distensi kandung empedu akibat proses inflamasi,
dan sentuhan fundus kandung empedu yang terdistensi pada dinding abdomen
pada daerah kartilago costa sembilan dan sepuluh kanan. Nyeri terakhir ini
timbul saat pasien menarik napas.

b. Kesulitan bernapas

Penderita kolesistitis akan mengalami kesulitan saat inspirasi dalam akibat


nyeri. Nyeri yang timbul juga menghambat pengembangan rongga dada.

4
c. Mual muntah

Terjadi sekitar 75% klien mengalami mual muntah akibat impuls yang
dihantarkan ke pusat muntah dari distensi duktus empedu.

d. Perut terasa penuh (kembung)

Hal ini terjadi akibat gas yang dihasilkan oleh bakteri yang menginfeksi
kandung empedu.

e. Ikterus

Obstruksi pengaliran getah empedu kedalam duodenum akan menimbulkan


gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak dibawa ke duodenum akan
diserap kembali ke darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan
kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini disertai dengan
gatal-gatal yang mencolok pada kulit.

f. Perubahan warna pada urin dan feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna gelap.
Feses yang tidak diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan
biasanya pekat yang disebut ‘clay-colored’.

g. Defisiensi vitamin A, D, E, K

Obstruksi aliran empedu akan mengganggu absorbs vitamin A, D, E, K yang


larut dalam lemak. Paien akan memperlihatkan gejala-gejala defisiensi vitamin
A, D, E, K bila obstruksi bilier berjalan lama. Sebagai contoh defisiensi
vitamin K akan mengganggu pembekuan darah yang normal.

h. Peningkatan suhu tubuh

Peningkatan suhu tubuh disebabkan oleh proses inflamasi.

5
5. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar anatomi kandung empedu

a. Kandung Empedu

 Sebuah kantong berbentuk terong dan merupakan membran berotot .

 Letaknya didalam sebuah lekukan disebelah permukaan bawah hati sampai


di pinggiran depannya.

 Panjang 8-12 cm dan dapat berisi cairan kira-kira 60 ccm.

 Terbagi dalam fundus, badan, dan leher.

 Terdiri atas 3 pembungkus, yaitu dari luar ke dalam:

- Pembungkus serosa peritoneal

- Jaringan berotot tak bergaris

- Membran mukosa yang bersambung dengan lapisan saluran empedu.


Membran mukosanya membuat sel epitel silinder yang mengeluarkan
sekret musin yang cepat mengabsorpsi air dan elektrolit, tetapi tidak
garam empedu/pigmen; karena itulah cairan empedu menjadi pekat.

 Duktus sistikus kira-kira 3,5 cm panjangnya. Berasal dari leher kandung


empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus sambil membentuk
saluran empedu ke duodenum.

6
 Fungsi kandung empedu adalah sebagai tempat penyimpanan dan
pemekatan cairan empedu.

b. Cairan/getah empedu

 Merupakan cairan alkali yang disekresikan oleh hati

 Dapat di produksi seseorang sebanyak 500-1000ccm

 Sekresi berjalan terus menerus tetapi dipercepat sewaktu pencernaan

 80% getah empedu terdiri atas air, garam empedu, pigmen empedu,
kolesterol musin, dan zat lainnya

- Garam empedu bersifat digestif dan memperlancar kerja enzim lipase


dalam memecah lemak, membantu absorbsi lemak yang telah
dicernakan (gliserin dan asam lemak) dengan cara menurunkan
tegangan permukaan dan memperbesar daya tembus endothelium yang
menutupi vili usus.

- Pigmen empedu dibentuk dalam sistem retikulo-endotelium


(khususnya limfa dan sumsum tulang) dari pecahan Hb yang berasal
dari eritrosit yang rusak, dialirkan ke hati dan di ekskresikan ke dalam
empedu lalu ke usus halus. Beberapa menjadi sterkobilin (yang
mewarnai feses) dan beberapa di absorbs kembali oleh aliran darah dan
membuat warna pada urine (urobilin). Pigmen ini hanya merupakan
bahan ekskresi dan tidak mempunyai pengaruh atas pencernaan.

 Saat getah empedu berada dalam kandung empedu, empedu di pekatkan 5-


10 kali.

c. Fisiologi: cairan empedu melewati duktus duktus hepaticus dan duktus


cysticus ke dalam vesica fesela. Dikeluarkan dari kandung empedu oleh kerja
kolesistokinin, hormon yang dihasilkan membran mukosa bagian atas usus
halus ketika lemak memasukinya. Kolesistokinin menyebabkan kontraksi otot
kandung empedu dan pada saat yang bersamaan terjadi relaksasi spingter
Oddi, sehingga cairan empedu dikeluarkan melalui duktus cysticus dan ductus
choledochus (tempat terjadi gelombang peristaltic) ke dalam duodenum.

7
6. PATOFISIOLOGI

Pada kolesistitis kalkulosa akut, batu empedu yang terbentuk akut


supersaturasi kolesterol [yang meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi,
ekstrogen, dan klofibrat (obat penurun kadar lemak dalam darah)] dan
pemasangan IV yang lama akan menyumbat saluran keluar empedu. Hal ini
akan membuat getah empedu tidak bisa dialirkan keluar dari kandung empedu.
Getah empedu yang tersimpan menimbulkan reaksi kimia yaitu otolisis.
Fosfolipase yang berasal dari mukosa menghidrolisi lesitin empedu menjadi
lisolesitin yang bersifat toksik bagi mukosa. Lapisan mukosa glikoprotein
yang secara normal bersifat protektif rusak, sehingga epitel mukosa terpajan
langsung ke efek detergen garam empedu menyebabkan inflamasi, edema, dan
penebalan/peregangan (distensi). Peregangan kandung empedu ini bisa
menekan dinding abdomen pada daerah kartilago costa sembilan dan sepuluh
kanan. Sentuhan ini juga dapat menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada
kuadran kanan atas ketika pasien mengambil napas dalam yang menyebabkan
kesulitan dalam pengembangan dada. Selain itu, hal ini menyebabkan mual
muntah akibat impuls yang dihantarkan ke pusat muntah dari distensi duktus
empedu. Distensi/peregangan ini juga menyebabkan pembuluh darah terjepit
yang mengakibatkannya terganggunya drainase aliran darah ke mukosa.
Lama-kelamaan terjadi poliferasi bakteri dan terjadi pembentukan daerah
iskemik. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya gangrene. Getah empedu yang
tidak tersalurkan dengan baik ke duodenum akan diserap kembali oleh darah
dan dibawa keseluruh tubuh. Getah empedu tersebut akan melalui kulit yang
menimbulkan perubahan warna (ikterus) pada kulit dan membran mukosa
(berubah menjadi kuning) yang disertai rasa gatal dan pada feses dan urin
yang disebabkan pigmen yang memberi warna pada feses dan urin tidak bisa
masuk ke duodenum.

Pada kolesistitis akut akalkulosa akut, infeksi bakteri menghasilkan


peradangan pada kandung empedu dan gas yang membuat perut terasa penuh
(kembung). Pada kejadian sirosi hati, pembengkakan tersebut akan menekan
saluran empedu intrahepatic yang mengganggu aliran getah empedu yang

8
menghasilkan peradangan. Pasien dengan riwayat pembedahan akan
menyebabkan perubahan fungsi yang mengakibatkan ketidakseimbangan
komposisi empedu seperti tingginya asam empedu yang memicu terjadinya
peradangan.

7. DIAGNOSIS

a. Pemeriksaan Fisik

 Sistem tubuh

- Pernafasan

Kolesistitis akan menyebabkan dispea dan terdengar bunyi nafas


abnormal.

- Cardiovascular

Pasien akan mengalami takikardia dan resiko pendarahan akibat


defisiensi vitamin K.

- Persyarafan

Pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.

- Musculoskeletal

Kolesistitis akan menyebabkan kelemahan.

- Kulit/integument

Kulit dan membrane mukosa akan terasa gatal dan berwarna


kuning.

- Pola Nutrisi

Pasien mengalami defiensi nutrisi yang disebabkan oleh mual


muntah. Pasien juga akan tidak toleran terhadap makanan lemak
dan makanan ‘pembuat gas’.

9
- Pola Eliminasi

Terjadi perubahan warna pada urin dan feses.

- Pola Aktivitas dan Istirahat

Pasien akan merasa kesulitan dalam beraktivitas dan beristirahat


akibat nyeri.

 IPPA (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, dan Auskultasi)

Kolesistitis menyebabkan nyeri kolik bilier pada abdomen kuadran


kanan yang menyebar sampai punggung. Pada pasien kolesistitis
dijumpai positif untuk Murphy’s sign (nyeri lokal tajam yang terjadi
bila kandung empedu dipalpasi dan pasien di instruksikan untuk napas
dalam). Tubuh pasien akan berwarna kuning yang disebabkan oleh
getah empedu dalam darah.

b. Pemeriksaan Laboratorium

Bahan Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Rasional


Darah Leukosit 4.000-10.000 Meningkat Peningkatan jumlah leukosit
3
mm (10.000- menandakan adanya proses
3
15.000 mm ) inflamasi

ALT/SGPT <47 U/L Meningkat Peningkatan SGPT mendeteksi


AST/SGOT <37 U/L Meningkat adanya kerusakan hati
Peningkatan SGOT/SGPT 3-10x
normal menunjukkan adanya
sumbatan empedu ekstrahepatik

ALP 36-92 U/L Meningkat Peningkatan ALP menunjukkan


adanya obstruksi saluran
empedu, kolestatik intrahepatic,
dan sirosis hepatis

Bilirubine 0,3-1,2 mg/dL Meningkat Peningkatan bilirubin


mengindikasikan adanya
sumbatan pada duktus koledokus

10
Keterangan:

ALT : Alananine Aminotransferase

SGPT : Serum Glutamic Piruvic Transaminase

AST : Aspartate Aminotransferase

SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

ALP : Alkaline Phosphate

c. Pemeriksaan Diagnostik

 USG (Ultrasonography)

Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai pemeriksaan awal. Hasil pemeriksaan


yang menunjukkan kemungkinan adanya kolesistitis antara lain adanya
cairan di daerah perikolelistik dan terjadi penebalan dinding kandung
empedu hingga >4mm. Pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah 8 jam puasa karena batu
empedu divisualisasikan dengan baik pada kandung empedu yang
terditensi oleh cairan empedu.

 Pemeriksaan CT Scan (Computerized Tomography Scan) dan MRI


(Magnetic Resonance Imaging)

Hasil pemeriksaan yang dapat digunakan untuk memprediksi adanya


kolesistitis adalah penebalan dinding kandung empedu >4mm, cairan di
perikolesistik, edema subserosa, gas intramural,dan pengelupasan mukosa.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk melihat struktur sekitar bila
diagnose tidak meyakinkan.

 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang


hanya dapat dilihat saat melakukan laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi

11
insersi endoskop serat optic yang fleksibel ke dalam esofagus hingga
mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukkan ke dalam
duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan kedalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi
serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memudahkan akses kedalam
duktus koledokus nagian distal untuk mengambil batu empedu.
Pemeriksaan ERCP memerlukan kerjasama pasien untuk memungkinkan
insersi endoskop tanpa merusak struktur traktus gastrointestinal yang
mencakup percabangan bilier. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada
pasien dijelaskan prosedur pemeriksaan dan peranan pasien dalam
pemeriksaan tersebut. preparat sedative diberikan sesaat sebelum
pemeriksaan dilakukan. Selam pemeriksaan ERCP dilakukan, perawat
harus memantau cairan infus yang diberikan, memberikan obat-obatan,
dan mengatur posisi pasien. Setelah pemeriksaan dilakukan, perawat
memantau kembali kondisi pasien, mengobservasi tanda-tanda vital dan
tanda-tanda perforasi/infeksi. Perawat juga perlu melakukan pemantauan
terhadap efek samping setiap obat yang diberikan selama proses
pemeriksaan, dan terhadap pemulihan reflex muntah (gag reflex) sesudah
penggunaan anestesi lokal.

8. PENATALAKSANAAN

a. Non-farmakologi

 Istirahat

Rasional: Istirahat menurunkan stimulasi gastrik dan pankreas

 Diet rendah lemak

Rasional: Konsumsi kolesterol berlebihan dapat menimbulkan


supersaturasi yang dapat menimbulkan terbentuknya batu empedu.

 Hindari makanan bergas

Rasional: Bakteri yang menginfeksi saluran empedu dapat menghasilkan


gas yang menyebabkan perut pasien terasa penuh (kembung). Jika pasien

12
mengkonsumsi makanan bergas, maka akumulasi gas dalam perut pasien
dapat bertambah.

 Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan

- Pelarutan batu empedu

Tindakan ini dilakukan dengan menginfuskan suatu bahan pelarut


(monooktanoin atau metil tertier butil eter [MTBEI]) kedalam kandung
empedu. Jalur yang digunakan adalah melalui kateter yang dipasang
perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau
drain yang dimasukkan melalui saluran:

 T-tube

Sebuah kateter dan alat yang disertai jaring yang terpasang


padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistula yang
terbentuk saat insersi T-tube. Jaring digunakan untuk
memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus
koledokus.

 Endoskop ERCP

sesudah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat


endoskop tersebut kedalam ampula Vater dari duktus
koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut
mukosa atau papilla dari spingter Oddi sehingga mulut spingter
tersebut dapat diperlebar. Pelebaran ini memungkinkan batu
yang terjepit dapat bergerak spontan kedalam duodenum. Alat
lain yang dilengkapi dengan jarring atau balon kecil pada
ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk
mengeluarkan batu empedu.

 Kateter bilier transnasal

Kateter dimasukkan melalui mulut dan diinsersikan kedalam


duktus koledukus. Ujung proksimal katetr tersebut kemudian
dipindahkan dari mulut ke hidung dan dibiarkan pada tempat

13
tersebut. cara ini memungkinkan pasien untuk tetap makan dan
minum secara normal sementara pelintasan batu dan
pemasukan bahan kimia terus dipantau.

- ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)

Kata litotripsi berasal dari lithos (batu) dan tripsis


(penggesekan/friksi). Prosedur ini menggunakan gelombang kejut
berulang yang diarahkan kepada batu empedu didalam kandung
empedu atau duktus kelodokus dengan maksud untuk memecah batu
tersebut menjadi sejumlah fragmen. Setelah batu dipecah bertahap,
pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus
koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan
pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral. Jika tindakan ini
menggunakan energy total gelombang kejut yang tinggi, maka anestesi
umum, spinal, atau epidural harus diberikan kepada pasien. Jika
menggunakan energy total gelombang kejut yang rendah maka tidak
dibutuhkan pembiusan, tetapi gelombang akan diberikan secara
berulang. Pasien bisa langsung pulang dan menjalani rawat jalan.
Pasien dapat kembali ke aktivitas normal dalam kurun waktu 48 jam
setelah tindakan dilakukan.

b. Farmakologi

 Antibiotik

Pemberian antibiotic berfungsi untuk membunuh bakteri yang meninfeksi


kandung empedu. Contoh obat yang dapat diberikan kepada pasien dengan
kolesistitis adalah levoflaxcin dan metronidazole.

 Antiemetik

Pemberian obat antiemetic dapat mengatasi rasa mual muntah yang


disebabkan oleh distensi kandung empedu. Contoh obat yang dapat
diberikan adalah prometazin dan prochloperazine.

14
 Analgesik

Pemberian obat analgesic berfungsi untuk mengatasi nyeri yang dirasakan


pasien dari proses inflamasi. Contoh obat yang dapat diberikan adalah
acetaminophen.

 Asam ursodeoksikolat (undafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,


chenofalk)

Pemberian obat-obatan ini bertujuan untuk melarutkan batu empedu


radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.
Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih
kecil untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi
desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dikurangi besarnya, batu
yang kecil dilarutkan, dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Pada
banyak pasien diperlukan terapi selama 6-12 bulan untuk melarutkan batu
empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis efektif
bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini diberikan kepada pasien
yang menolak tindakan pembedahan atau yang dianggap tidak
memungkinkan untuk dilakukannya tindakan pembedahan. Pembentukan
kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20%-50% pasien sesudah
terapi ini dihentikan. Dengan demikian, pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan penyakit ini.

c. Pembedahan

 Kolesitektomi

Kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.


Sebuah drain ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur
keluar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus
dan getah empedu kedalam kasa absorben.

 Minikolesistektomi

15
Prosedur ini dilakukan dengan mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selabar 4cm.

 Koledokostomi

Dalam prosedur ini, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk


mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, dipasang kateter kedalam
duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.

9. KOMPLIKASI

a. Empiema

Terjadi akibat poliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat. Pasien
dengan empyema mungkin menunjukkan reaksi toksin yang dan ditandai
dengan lebih tingginya suhu tubuh dan leukositosis. Adanya empyema kadang
harus mengubah metode pembedahan dari secara laparaskopik menjadi
kolesistektomi terbuka.

b. Kolesistitis emfisematus

Ditandai dengan adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi


organisme penghasil seperti Eschericia coli dan Klebsiella sp. Komplikasi ini
sering terjadi pada pasien dengan diabetes.

10. PROGNOSIS

Kolesistitis tanpa komplikasi memiliki prognosis yang sangat baik, dengan tingkat
kematian sangat sangat rendah. Kebanyakan pasien denan kolesistits akut
memiliki remisi lengkap dalam waktu 1-4 hari. Namun, sekitar 25-30% pasien
memerlukan operasi atau menderita beberapa komplikasi. Komplikasi yang terjadi
seperti perforasi/gangrene, menyebabkan prognosis menjadi kurang
menguntungkan. Perforasi terjadi pada 10-15% kasus. Pasien dengan kolesistitis
akalkulos memiliki angka kematian berkisar 10-50%, jauh melebihi perkiraan
mortalitas 4% pada pasien dengan kalkulos. Pada pasien yang sakit parah dengan
kolesistitis akalkulos disertai perforasi atau gangrene, angka kematian bis
mencapai 50-60%.

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis kalkulus dan
akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi kolesistitis akut dan kronik.
3. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak, pemberian
analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan berupa
kolesistektomi.
4. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah terjadinya
komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema, emfisema, perforasi kandung
empedu, abses hati, peritonitis, dan sepsis.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
Hal 477-478.
2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1.
Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic
Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
8. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for
the diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex.
J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
9. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
10. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.

18

Anda mungkin juga menyukai