Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan Inklusi Sebagai Masalah atau Solusi

Pendidikan untuk ABK telah dituangkan dalam UU RI No 23 Th 2003 tentang


sisdiknas. Pada UU tersebut dalam termaktub pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk ABK yang diselenggarakan secara inklusi pada
tingkat pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kenyataannya ABK maupun anak normal akan tumbuh & berkembang menjadi
manusia dewasa yang nantinya hidup berdampingan dalam satu lingkungan atau
komunitas. Hal tersebut melandasi mengapa ABK dan anak normal perlu diberi
kesempatan yang sama dalam hal mendapatkan atau menerima layananan pendidikan
sesuai jenjang pendidikan yang akan mereka tempuh. Maka dari itu hadirnya
pendidikan inklusi diharapkan mampu memecahkan masalah dan persoalan ABK
melalui penanganan pendidikan sehingga diharapkan. Hal tersebut sejalan dengan
pernyataan bahwa “diversity and individual differences in terms of abilities, talents,
interests, and needs of the student participants; education should be pursued to meet
the needs and characteristics of individual learners” (Kantavong, P. Sujarwanto,
Rekrjaree & Budianto (2016). A comparative study of teacher's opinions relating to
inclusive classrooms in Indonesia and Thailand. Kasetsart Journal of Sciences. May
2016, pp 1-6)
Keragaman antar manusia perlu disadari sebagai keniscayaan sehingga hal
tersebut sangat penting untuk disadari oleh semua orang, begitupun dengan
perbedaaan tingkat kecacatan diantara anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi
dirancang sedemikian rupa untuk memperbarui sebelumnya dan dirancang sebagai
model terbaru dari bentuk pendidikan untuk anak yang memiliki perbedaan kecacatan,
seperti tuna daksa, tuna grahita, tuna netra, tuna rungu, tuna laras dan jenis kelainan
lainnya. Sekolah inklusi memulai dengan membentuk sebuah pemahaman bahwa
semua anak bisa tergabung serta ikut belajar dilingkungan satu atap sekolah maupun
dalam satu lingkungan komunitas umum. Pendidikan di inklusi dipercaya bahwa
semua orang tanpa kecuali yang adalah bagian dari kebersamaan maupun perbedaan
yang berharga dalam suatu komunitas dimanapun mereka berada. Agar komunitas
tersebut terbentuk sesuai yang diharapkan maka perlu adanya penurunan anggapan
bahwa ABK adalah anak penganggu hal tersebut sesuai yang disampaikan bahwa
“reduction in stigmatisation might be associated with changes in attitudes to signing
in the Deaf community following greater public awareness through increased media
exposure. This specific aspect was raised by Indonesian teachers as a factor to
address in tackling the social barriers experienced by children with severe learning
disabilities” (Sheehy, K. & Budiyanto (2014). Teachers’ attitudes to signing for
children with severe learning disabilities in Indonesia. International Journal of
Inclusive Education, Vol. 18, No. 11, December 2013, pp. 1143-1161) Pendidikan ini
berusaha untuk memahami semua anak terlepas dari kemampuan ataupun ketidak
mampuannya, gender, agama, suku, latar belakang ekonomi-sosial, latar belakang
bahasa maupun budaya menyatu dalam lingkungan sekolah yang sama.
Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia sampai saat ini masih menimbulkan
perbedaan pro dan kontra. “Teaching aids can use funds from the operational costs to
the school, but the school is still felt fear of spending for children with disabilities for
reasons of accountability” (Cahyana, U. & Rahmah A. (2017). Inclusive Education
Program Evaluation In Primary Education Office In West Java Province Indonesia.
International Bussiness Information Management Association, September 2017, pp
2527-2532). Namun sekolah inklusi dalam prakteknya memberi berbagai manfaat.
Misalnya, siswa belajar untuk peka, lebih mengerti dan sensitif serta dapat saling
menghargai satu sama lain dan menumbuhkan rasa nyaman didalam perbedaan.
Adanya sikap siswa berkebutuhan khusus yang berkembang melalui interaksi dan
komunikasi dalam pergaulan secara positif. Manfaat sekolah inklusi ini tidak hanya
berdampak terhadap anak didik baik normal maupun ABK, namun juga memiliki efek
postif terhadap masyarakat. Dampak paling nyata dari sekolah inklusi adalah tentang
bagaimana masyarakat dapat menerima perbedaan yang berdasarkan kesetaraan.
Nilai-nilai inilah yang coba ingin ditanamkan baik terhadap peserta didik maupun
masyarakat luas. Berdasarkan dari pengalaman dalam pemberian pendidikan khusus
atau sekolah segregasi, perbedaan diri dalam ABK baik fisik maupun mental dinilai
sebagai sebuah ancaman dalam masyarakat maka dari itu harus ditangani khusus,
dikontrol dalam sebuah pengawasan sekolah, bukannya dibantu.
Sekolah inklusi bukan hanya sebatas sekolah yang mengimplementasikan nilai
kesetaraan megenai hak seluruh orang dalam mendapatkan pendidikan, tapi sekolah
inklusi tetap harus menumbuhkan lingkungan yang baik dan ramah bagi semua anak
didalamnya yang mana lingkungan dengan menciptakna lingkungan ramah bagi
semua anak akan memberikan bantuan dan dorongan bagi kemajuan perkembangan
pendidikan inklusi di sekolah. Eksklusivitas dalam memperoleh pendidikan menutup
kesempatan bagi ABK untuk memperoleh pendidikan. Selain itu adanya eksklusivitas
menunjukkan bagaimana pelanggaran hak asasi dipertontonkan. Hal itu dapat dilihat
dari dampak sikap eksklusivitas dari sebuah sistem pendidikan yang mana akan
membuat ABK dan anak kurang beruntung lainnya akan terasingkan. Oleh karena itu,
sekolah inklusi hadir bertujuan untuk mengurangi dampak yang muncul dari sikap
eksklusif yang bersifat negatif. Adanya kemandirian dan partisipasi masyarakat
menentukan bagaimana kebijakan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi ini.
Sekolah inklusi hadir untuk memberikan kesempatan bagi semua orang untuk dapat
mengenyam pendidikan. Karena dalam sekolah inklusi bukan hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah dan pihak sekolah dalam menjalankan sekolah inklusi ini
sebagaimana mestinya, namun juga dibutuhkan kerjasama dengan masyarakat dan
pengajar untuk menciptakan lingkungan kelas yang hangat, menghargai perbedaan
dan menerima keanekaragaman. .
Penerapan sistem pembelajaran di sekolah inklusi tidak memiliki suatu sistem
khusus, proses pembelajaran layaknya sekolah reguler pada umumnya. Hal ini
dikarenakan agar ABK lebih mampu menyeseuaikan diri dan merasa nyaman
terhadap lingkungannya dengan baik. Hanya saja, lingkungan yang coba dibangun
pada sekolah inklusi adalah lebih kepada konsep lingkungan ramah anak. Kesulitan
yang paling pokok adalah bagaimana dalam penanganan ABK itu sendiri, dimana
ABK harus ditangani berdasarkan jenis kelainannya. Tidak seperti SLB yang memang
dikhusukan secara keseluruhan untuk menangani ABK, tentu banyak halangan,
kendala, serta kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan sekolah inklusi ini. ABK
yang selama ini dianggap paling sulit ditangani adalah ABK dengan pengidap autis,
hal ini dikarenakan sikap dan perilaku ABK jenis ini sulit dikontrol dan cenderung
mengganggu. “There is significant positive relationship between working
understanding, appreciation of work and career guidance, when analysed either
simultaneously or separately and the performance of shadow teachers” (Yusuf, M.,
Sari E.K., Supratiwi, M. & Anggrelanggi, A. (2018). Performance of Shadow
Teachers in Inclusive Schools in Indonesia Viewed From Working Understanding,
Appreciation of Work And Career Guidance. International Journal Education
Economics and Development, Vol. 9, No.4, pp. 411-419). Dengan adanya sekolah
inklusi maka sebuah keharusan sekolah yang menerapkan sistem tersebut memiliki
GPK (Guru Pendamping Khusus) yang mana guru tersebut membantu guru kelas
dalam mendampingi ABK dan pemerintah harus memahami dan mengerti bagaimana
tantangan GPK dalam bekerja, bagaimana memberi apresiasi terhadap kinerja GPK
dan bagaimana membentuk suatu bimbingan karir yang memberi jaminan atas GPK
tersebut. Dalam hal ini baik guru kelas maupun GPK harus menyelesaikan
permasalahan berbagai jenis kelainan yang dimiliki ABK didalam kelas. Hal tersebut
sebenarnya dapat diatasi apabila pendidik mempunyai ketrampilan tambahan sesuai
dikutip bahwa “After more than 15 years of the implementation of inclusive
educational environments, the literature has shown that regular educators continue to
report the need for additional skills to properly implement inclusion” (Blecker, N.S.
& Boakes N.J (2010). Creating a Learning Environment for All Children: Are Teacher
Able and Willing. International Journal of Inclusive Education, Vol.14, No. 5, August
2010, pp. 435-447)
Penerapan pendidikan inklusi masih terus saja menuai reaksi pro dan kontra.
Reaksi yang mereka berikan terhadap pengimplementasian kebijakan ini berpendapat
bahwa Sekolah luar biasa yang sangat terbatas jumlahnya dan tidak tersebar merata,
padahal anak yang perlu mendapatkan pelayanan khusus tersebar hampir merata di
seluruh desa. Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang
kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi
Sekolah Luar Biasa jauh dari rumah dan biaya unutk SLB itu lebih mahal. Hal ini
tentunya tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dalam data BPS bahwa
jumlah ABK di Indonesia tahun 2017 adalah 1,6 juta. Sedangkan data dari
kemendikbud dari 514 kota/kabupaten di tanah air bahwa masih tedapat kurang lebih
62 kabupaten atau kota yang belum memiliki SLB dan jumlah ABK yang mendapat
layanan pendidikan baru 18 persen. Data statistik SLB di Indonesia pada 2017
menurut kemendikbud siswa ABK adalah 73.845 dan SLB hanya 1.525. Hal ini tentu
tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ada. Oleh karena itu dengan minimnya
jumlah SLB dan banyaknya anggaran dana yang harus dikeluarkan pemerintah dalam
membangun SLB maka seharusnya pemerintah daripada mengeluarkan dana yang
lebih untuk menambah jumlah SLB lebih baik dana tersebut dialokasikan ke sarana
prasarana sekolah regular supaya menjadi sekolah yang ramah ABK dan dapat
menjadi sekolah inklusi dengan baik. Selain itu selama ini anak-anak yang memiliki
kelainan dibelajarkan di sekolah SLB, karena berbagai kesulitan dan keterbatasan
sarana prasarana, tenaga pendidik yang akan mereka terima apabila mereka sekolah
inklusi. Namun hal ini mengakibatkan mereka akan seperti di eksklusifkan, mereka
tidak berinteraksi dan merasa terasing dengan teman-teman sebayanya dan pada
kenyataannya kelak mau tidak mau mereka harus berinteraksi dan bekerjama dengan
orang normal lainnya. Dengan adanya inklusi melatih mereka untuk bersosialisasi
sejak dini kepada masyarakat dan bekal mereka di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai