Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

1. Konsep penyakit
1.1 Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2007). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 –
1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl. Sedangkan menurut Prawiharjo
(2007) Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau
tidak ditanggulangi dengan baik (Sarwono, 2007).

1.2 Etilogi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut (Ngastiyah, 2009):
1.2.1 Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
1.2.2 Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
1.2.3 Gangguan konjugasi bilirubin.
1.2.4 Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah
merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul
karena adanya perdarahan tertutup.
1.2.5 Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
1.2.6 Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
1.2.7 Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
1.2.7.1 Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya,
misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah
Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
1.2.7.2 Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-
Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
1.2.7.3 Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat
ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
1.2.8 Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroidjaundice ASI

Rumus Kramer
Daerah Luas ikterus Kadar bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg%
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9mg%
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11mg%
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12mg%
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16mg%

Metabolisme Bilirubin
75%dari bilirubin yang ada pada BBL yang berasal dari penghancuran
hemoglobin, dan 25%dari mioglobin, sitokrom, katalase dan tritofan
pirolase. Satu gram bilirubin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin.
Bayi cukup bulan akan menghancurkan eritrosit sebanyak satu
gram/hari dalam bentuk bilirubin indirek yang terikat dengan albumin
bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg bilirubin). Bilirubin
indirek larut dalam lemak dan bila sawar otak terbuka, bilirubin akan
masuk kedalam otak dan terjadilah kernikterus. yang memudahkan
terjadinya hal tersebut ialah imaturitas, asfiksia/hipoksia, trauma lahir,
BBLR (kurang dari 2500 gram), infeksi, hipoglikemia,
hiperkarbia.didalam hepar bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil
transverse menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian
diekskresi kesistem empedu, selanjutnya masuk kedalam usus dan
menjadi sterkobilin. Sebagian di serap kembali dan keluar melalui urin
sebagai urobilinogen.
Pada BBL bilirubin direk dapat di ubah menjadi bilirubin indirek
didalam usus karena disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan
penting terhadap perubahan tersebut. Bilirubin indirek ini diserap
kembali oleh usus selanjutnya masuk kembali ke hati (inilah siklus
enterohepatik).

1.3 Tanda gejala


1.3.1 Ikterik fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus”
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis


adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.3.1.1 Timbul pada hari kedua - ketiga.
1.3.1.2 Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
1.3.1.3 Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%
perhari.
1.3.1.4 Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
1.3.1.5 Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
1.3.1.6 Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
1.3.1.7 Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau
hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut
(Surasmi, 2003) bila
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24
jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus
< bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
1.3.2 Ikterus Patologis
Menurut Tarigan, (2003) adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
1.3.3 Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus,
hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.

Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada


neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%)
dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan
bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan
syaraf simpatis yang terjadi secara kronik. (Ngastiyah, 2009).

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi:


1.3.1 Gejala akut: gejala yang dianggap sebagai fase pertama kern ikterus
pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
1.3.2 Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis)

Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik)


pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar
bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
1.4 Pafosiologi
1.4.1 Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.
1.4.2 Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan
lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
1.4.3 Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl.
1.4.4 Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat
Badan Lahir Rendah, Hipoksia, dan Hipoglikemia (AH, Markum, 2007)

1.5 Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara
lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak
menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan
akhirnya opistotonus

1.6 Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan:
1.6.1 Menghilangkan Anemia
1.6.2 Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
1.6.3 Meningkatkan Badan Serum Albumin
1.6.4 Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi


Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1.6.1 Pemberian ASI
Pemberian ASI sangat penting untuk bayi. Kebutuhan kadar protein bayi
sangat besar. Manfaat dari cukupnya asupan nutrisi ini adalah sebagai
pembentuk dan pengganti sel-sel tubuh yang telah mati. Kandungan
protein yang ada dalam ASI jauh lebih besar dari kandungan protein
yang ada di dalam susu sapi. Disamping secara kualitas lebih baik
protein ASI, penyerapan oleh tubuh juga lebih mudah protein ASI
dibanding susu sapi. Hal ini disebakan kandungan protein (whey dan
kasein) keduanya berbeda, baik dari segi porsi maupun daya serapnya
oleh tubuh.
1.6.2 Fototerapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada
cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs
or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam
kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi
jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak
dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam
Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh
hati.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan
Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus
diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan
konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk
memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi
Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
1.6.3 Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1.6.4.1 Titer anti Rh lebih dari 1:16 pada ibu.
1.6.4.2 Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
1.6.4.3 Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
1.6.4.4 Tes Coombs Positif
1.6.4.5 Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.
1.6.4.6 Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam
pertama.
1.6.4.7 Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
1.6.4.8 Bayi dengan Hidrops saat lahir.
1.6.4.9 Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1.6.4.1 Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
1.6.4.2 Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi
(kepekaan)
1.6.4.3 Menghilangkan Serum Bilirubin
1.6.4.4 Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan Bilirubin

Ada beberapa macam penggolongan darah. Yang paling terkenal dan


paling besar penggolongan darah ABO dan rhesus. Penggolongan
tersebut dilakukan berdasarkan zat-zat yang ada dalam darah masing-
masing individu.Setiap jenis darah (A, B, AB, dan O) memiliki antigen
khusus dalam sel-sel darah merah dan antibodi khusus dalam darah.
Orang dengan golongan darah A berarti mempunyai antigen A.
Golongan darah B memiliki antigen B. Jika orang bergolongan darah
AB berarti mempunyai antigen A dan B. Sedangkan yang bergolongan
darah O (nol) tidak mempunyai antigen.
Ketidakcocokan golongan darah ABO sering terjadi pada ibu yang
mempunyai golongan darah O. Misalnya, golongan darah ibu O (nol)
dan pasangannya mempunyai golongan darah B. Jika anaknya
mempunyai golongan darah B, maka ibu itu akan membentuk zat anti
B.Golongan darah O bisa ditransfusikan pada golongan darah lainnya,
asalkan mempunyai rhesus yang sama. Tak heran kalau ada kasus
seperti gangguan pembekuan darah saat transfusi dilakukan dengan
golongan darah yang sama. Artinya golongan darah yang sama tidak
selalu memiliki rhesus sama.
1.6.4 Terapi obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif
baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal
masih menja dipertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urinesehingga menurunkan siklus Enterohepatika (Ngastiyah, 2009)
1.7 Pathway

Sumber : ( AH, Markum,2007)


2. Rencana asuhan klien dengan gangguan hiperbilirubin
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang
sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau
jamu tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah
ada riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah
riwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan
atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan
hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO),
polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar,
obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
2.1.1.2 Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh,
ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan
ASI.
2.1.1.3 Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah
orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan
anak.
2.1.1.4 Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut,
apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat
pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
2.1.1.5 Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
1) Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
2) Sirkulasi: Mungkin pucat, menandakan anemia.
3) Eliminasi: Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin
lambat, Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin,Urine gelap pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi
bronze )
4) Makanan/cairan: Riwayat perlambatan/makan oral buruk,
ebih mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi
abdomen dapat menunjukkan perbesaran limfa, hepar.
5) Neurosensori: Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis
dengan inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan
kekakuan lengkung punggung ,menangisl irih, aktivitas
kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan: Riwayat afiksia
7) Keamanan:: Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak
ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh, kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
8) Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan
etnik, riwayat
9) hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat
(misal: salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang
intrapartum, misal: persalinan pratern.
2.1.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus
terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema
palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk
pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan
adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan
masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat
warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah, peka
rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar
billirubin lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar
billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
2) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3) Protein serum total.
4) USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
5) Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu
membedakan hapatitis dan atresia billiari.
2.1.3.2 Pemeriksaan Radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau
peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses
hati atau hepatoma
2.1.3.3 Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic
dengan ekstra hepatic
2.1.3.4 Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan
intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti
hepatitis, serosis hati, hepatoma.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2.2.1 Definisi
Keadaan dimana intake nutrisi kurang dari kebutuhan metabolisme tubuh
(NANDA, 2011).
2.2.2 Batasan Karakteristik
Penggunaan diagnosis ini hanya jka terdapat satu diantara tanda NANDA
berikut:
 Berat badan kurang dari 20% atau lebih dibawah berat badan ideal untuk
tinggi badan dan rangka tubuh
 Asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolik, baik kalori total
maupun zat gizi tertentu
 Kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat
 Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari
recommended daily allowance (RDA).
Subjektif:
 Kram abdomen  Melaporkan perubahan sensasi
 Nyeri abdomen rasa
 Menolak makan  Melaporkan kurangnya
 Indigesti makanan
 Persepsi ketidakmampuan  Merasa cepat kenyang setelah
untuk mencerna makanan mengkonsumsi makanan
Objektif:
 Pembuluh kapiler rapuh  Kurangnya minat terhadap
 Diare makanan
 Adanya bukti kekurangan  Membrane mukosa pucat
makanan  Tonus otot buruk
 Kehilangan rambut yang  Menolak untuk makan
berlebihan  Rongga mulut terluka
 Bising usus hiperaktif (inflamasi)
 Kurang informasi, informasi  Kelemahan otot yang
yang salah berfungsi untuk menelan atau
mengunyah

2.2.3 Faktor yang berhubungan


 Ketergantungan zat kimia  Kurang pengetahuan dasar
 Penyakit kronis tentang nutrisi
 Kesulitan mengunyah atau  Akses terhadap makanan
menelan terbatas
 Faktor ekonomi  Hilang nafsu makan
 Intoleransi makanan  Mual dan muntah
 Kebutuhan metabolik tinggi  Pengabaian oleh orang tua
 Refleks mengisap pada bayi  Gangguan psikologis
tidak adekuat

Diagnosa II : Risiko kerusakan integritas kulit


2.2.4 Faktor Risiko
 Zat kimia  Kelembapan kulit
 Ekskresi dan sekresi  Imobilitas fisik
 Usia ekstream muda atau  Radiasi
ekstrem tua  Internal (somatic)
 Kelembapan  Perubahan pigmentasi
 Hipertemi  Perubahan turgor kulit
 Hipotermi  Faktor perkembangan
 Fakotr mekanis (mis., Friksi,  Ketidakseimbangan nutrisi
penekanan, restrain)  Faktor imunologis
 Obat  Gangguan sirkulasi
 Gangguan status metabolic  Faktor psikogenik
 Gangguan sensasi

2.3 Perencanaan
Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan & Data
Tujuan & Kriteria Rasional
Penunjang Tindakan
Hasil
Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui
dari kebutuhan tubuh tindakan setiap 2 jam, perubahan suhu
Berhubungan dengan : keperawatan tingkat bayi terkait
Ketidakmampuan untuk selama2X24 kesadaran dengan
memasukkan atau mencerna JAM.nutrisi kurang penurunan suhu
nutrisi oleh karena faktor belum teratasi dengan tubuh bayi.
sempurnanya organ pencernaan indikator: 2. Monitor berat 2. Mengetahui dan
1. Albumin dalam badan bayi membandingkan
rentang normal bb bayi
2. Penurunan bb 3. Pertahankan 3. Untuk menjaga
tidak lebih dari intake 8 cc ASI keseimbangan
10%/2hari nutrisi bayi
3. Turgor kulit baik 4. Pantau jumlah 4. Untuk
4. Jumlah intake residu mengetahui
dan output jumlah residu
seimbang dan sebagai
patokan
pemberian intake

Resiko kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan 1. Jaga kulit agar 1. Agar kulit bayi
berhubungan denga peningkatan asuhan keperawatan tetap bersih dan tidak iritasi dan
bilirubin dikulit dan efek foto selama 2 x 24 jam kering menimbulkan
terapi risiko kerusakan luka
integritas kulit dapat 2. Monitor kulit 2. Untuk
diminimalkan akan adanya mengetahui
dengan kriteria hasil: kemerahan warna kulit
1. Tidak ada luka 3. Kaji lingkungan 3. Agar tidak ada
dan lesi pada dan peralatan alat/benda yang
kulit yang di pakai bayi
2. Integritas kulit menyebabkan menimbulkan
yang baik bisa tekanan iritasi pada kulit
dipertahankan
3. Menunjukkan
terjadinya proses
penyembuhan
luka
4. Daftar pustaka
Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta:
Salemba medika
Aminullah, A. (2010). Ikterus, Hiperbilirubinemia, dan Sepsis pada Neonatus
dalam: Markum AH, Ismael S, Editor. Ilmu ajar Kesehatan Anak.
Jakarta: EGC
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Prawihardjo, Sarwono. (2007). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Surasmi, Asring, dkk. (2003). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta:
Fajar Inter Pratama.
Banjarmasin, Februari 2019
Preseptor Klinik, Ners Muda,

Siti Rusmalina,S.Kep.,Ns Rahimatun Nisa, S.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBINEMIA NEONATUS

NAMA : Rahimatun Nisa,S.Kep


NPM : 1814901110085
RUANG : RUANG BAYI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
BANJARMASIN, 2019

Anda mungkin juga menyukai