Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ruminansia merupakan binatang berkuku genap sub ordo dari ordo


Artiodactyla disebut juga mamalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa
Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Sistem
pencernaan (tractus digestivus) ruminansia terdiri atas suatu saluran muskulo
membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus.Fungsinya adalah
memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta
mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat.Sistem pencernaan mengubah
zat-zat hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana
hingga dapat diserap dan digunakan sebagai energi, membangun senyawa-
senyawa lain untuk kepentingan metabolisme.
Ternak perah adalah ternak yang secara genetik mampu menghasilkan
susu melebihi kebutuhan anaknya, misalnya sapi, kerbau, kambing dan lain-
lain. Ternak perah mempunyai ciri-ciri khusus yang berhubungan langsung
dengan produksi susu. Pada umumnya bentuk susu berupa cairan yang diproduksi
oleh kelenjar ambing hewan mamalia betina dengan warna putih kekuning-
kuningan yang tidak tembus cahaya, mempunyai rasa sedikit manis berasal dari
laktosa dan bau yang khasberasal dari lemak susu, bersih, dan kosistensinya
homogen tanpa ada bentuk gumpalan.
Susu merupakan bahan makanan alami dengan nilai nutrisi yang lengkap
dan hasil dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.Susu merupakan
hasil sekresi kelenjar ambing atau kelenjar mamae. Susu yang merupakan salah
satu bahan makanan alami yang paling sempurna yang digunakan untuk bahan
utama makanan yang sangat komplit.Susu adalah sumber makanan utama bagi
semua hewan mamalia yang baru lahir dan dapat pula digunakan untuk kehidupan
sehari hari.
Komposisi utama susu terdiri dari protein, lemak, laktosa dan mineral.
Sedangkan perbandingan susu manusia denagan susu sapi berbeda dalam

1
kandungan protein, laktosa dan mineral. Pada susu sapi kandungan protein dan
whey adalah 4:1.
Secara umum penelitian susu adalah salah satu diantaranya pemeriksaan
kesegaran dari pada kesegaran susu tersebut seperti uji warna, apakah warna susu
tersebut mempunyai warna yang sesuai dengan susu asli atau tidak, dan juga bau
susu tersebut, kekentalannya dan juga rasa dari pada susu tersebut sehingga susu
tersebut dapat di produksi tubuh dengan cara kontinu. Dan seharusnya komponen
susu tersebut tidak dikurangi atau ditambah bahan-bahan lain sehingga mutu atau
kualitas susu tersebut tetap terjaga.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi Alat
Pencernaan adalah untuk mengetahui bagian-bagian dari anatomi pencernaan pada
ruminansia serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan tersebut.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu untuk
mengetahui warna, bau, rasa, dan konsistensi air susu dengan menggunakan panca
indera, untuk melihat kotoran yang terdapat di dalam air susu yang tidak terlihat
oleh mata, untuk mengetahui kadar pH susu, untuk mengetahui kualitas susu
tersebut baik atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol, uji didih, dan
uji reduktase dengan biru metilen.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan komposisi air susuadalah untuk
mengetahui dan memahami cara menghitung komposisi susu dengan pengukuran
berat jenis, pengukuran kadar bahan kering, pengukuran kadar protein, dan untuk
mengetahui jumlah mikroba yang terdapat di dalam susu.
Tujuan dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah untuk
membuktikan adanya penambahan santan pada susu secara mikroskopik, dan
untuk membuktikan adanya penambahan pati pada susu.

1.3. Manfaat

Manfaat dari praktikum Produksi Ternak Perah yang berjudul Anatomi


Alat Pencernaan adalah praktikan dapat mengetahui bagian-bagian dari anatomi

2
pencernaan pada ruminansia serta mengetahui fungsi dari anatomi pencernaan
tersebut.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu yaitu praktikan
dapat mengetahui kualitas susu dengan berbagai cara seperti mengetahui warna,
bau, rasa dan konsistensi dengan menggunakan panca indra, praktikan mengetahui
dan dapat melihat kotoran yang terdapat didalam susu yang tidak terlihat oleh
mata, mengetahui ph susu, serta praktikan mengetahui kualitas susu tersebut baik
atau tidak dengan menggunakan metode uji alkohol, uji didih, dan uji reduktase
dengan biru metilen.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan komposisi air susu adalah praktikan
mengetahui dan memahami cara menghitung komposisi susu dengan pengukuran
berat jenis, pengukuran kadar bahan kering, pengukuran kadar protein, dan
mengetahui cara menghitung mikroba yang terdapat pada susu secara tidak
langsung.
Manfaat dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah praktikan
mengetahui bagaimana cara memeriksa kualitas susu yang baik, dapat mengetahui
ciri-ciri susu yang murni 100% tanpa bahan tambahan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Alat Pencernaan

2.1.1. Mulut

Bath dkk. (1985) menyatakan bahwa proses pencernaan pada ternak


ruminansia dibagi menjadi 3 yaitu : 1 . Pencernaan Mekanik yang terjadi di dalam
mulut .2 . Pencernaan Hidrolitik yang disebabkan oleh enzim pencernaan ternak
itu sendiri .3. Pencernaan Fermentatif yang dilakukan oleh mikroorganisme
rumen.
Frandson, (1993) menyatakan bahwa proses remastikasi terjadi secara
lebih lambat dibandingkan mastikasi yaitu 55 kali per menit. Seekor domba rata-
rata melakukan ruminasi selama delapan jam, walaupun aktivitas ini bisa
dikendalikan sesuai kehendak,misalnya remastikasi pada saat pengeluaran bolus
bergantung juga pada keadaan sekitar. Bolus yang terbentuk setelah regurgitasi
dan pengunyahan akan dikeluarkan untuk diremastikasi. Material yang di
regurgitasi biasanya terdiri atas hijauan dan cairan.Satu kali remastikasi biasanya
berlangsung rata-rata satu menit.
Kaunang (2004) menyatakan bahwa pada proses pencernaan hewan
ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba pada rumen
dan secara hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan di abomasum. Proses
memamah biak pada ujung anterior rumen didorong kembali melalui esophagus
menuju mulut, kemudian cairan segera ditelan sementara materi padat kembali
dikunyah dalam mulut sebelum dikembalikan ke dalam rumen. Mikroba alami
yang terdapat dalam rumen melakukan fermentasi secara anaerobik.Mikroba
tersebut mendegradasi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam
bahan pakan termasuk selulosa dan hemiselulosa (polisakarida) menjadi senyawa-
senyawa sederhana.
Rahmadi, dkk, (2003) menyatakan bahwa mastikasi disebut juga chewing,
pakan seolah digerus antara geraham bawah dan geraham atas dengan frekuensi
yang berbeda-beda tergantung pada jumlah pakan dan kondisi pakan. Jenis gigi,
susunan rahang, dan kebiasaan mengunyah akan mempengaruhi variasi dari

4
mastikasi. Tujuan mastikasi adalah memperkecil ukuran partikel pakan dan
sekresi saliva.

2.1.2. Esophagus

Frandson, (1993) menyatakan bahwa esophagus berfungsi sebagai jalan


makanan menuju perut besar atau lambung, sedang makanan boleh jadi tidak
mengalami perubahan sepanjang esophagus.Esophagus merupakan kelanjutan
langsung dari farink, merupakan suatu saluran muskuler yang merentang dari
farink menuju ke kardia dari perut, persis pada posisi kaudal dari diafragma.

2.1.3. Lambung

Aurora (1989), menyatakan bahwa rumen merupakan tabung besar dengan


berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi
mikroba . Isi rumen pada ternak ruminansia berkisar antara 10-15% dari berat
badan ternak tersebut . Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan
mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup serta ditemukan di dalamnya
.Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur
dalam rumen adalah 32-42°C, pH dalam rumen kurang lebih tetap yaitu sekitar
6,8 dan adanya absorbsi asam lemak dan amonia berfungsi untuk
mempertahankan pH.
Arora (1989), menyatakan bahwa bakteri merupakan mikroorganisme
rumen yang dominan. Dilihat dari fungsinya, bakteri dalam rumen dapat dibagi
menjadi 7 (tujuh) kelompok utama, yaitu (1) kelompok pencerna selulosa, (2)
kelompok pencerna hemiselulosa, (3) kelompok pencerna pati, (4) kelompok
pencerna gula, (5) kelompok pemakai laktat, (6) kelompok pembentuk metan, dan
(7) kelompok bakteri proteolitik. Bakteri rumen telah beradaptasi untuk hidup
pada kondisi fisik rumen relatif tetap yakni pH 5,5–7,0 dan dalam keadaan
anaerob (ada oksigen, tetapi sangat sedikit), suhu 39–40OG, dan konsentrasi
produk fermentasi kontinyu, walau tidak begitu tinggi.
Chuticul (1975) menyatakan bahwa rumen merupakan tempat pencernaan
sebagian serat kasar serta proses fermentatif yang terjadi dengan bantuan
mikroorganisme, terutama bakteri anaerob dan protozoa.

5
Cole (1962) menyatakan bahwa ruminansia merupaka poligastrik yang
mempunyai lambung depan yang terdiri dari Retikulum (perut jala), Rumen (perut
handuk), Omasum (perut kitab), dan lambung sejati , yaitu Abomasum (perut
kelenjar) . Proses pencernaan di dalam lambung depan terjadi secara mikrobial
.Mikroba memegang peranan penting dalam pemecahan makanan. Sedangkan di
dalam lambung sejati terjadi pencernaan enzimatik karena lambung ini
mempunyai banyak kelenjar .
Kamra (2005) menyatakan bahwa proses pencernaan fermentatif dalam
retikulo rumen terjadi sangat intensif. Hal ini menguntungkan, karena pakan dapat
diubah dan disajikan dalam bentuk yang lebih mudah diserap.Selain itu ternak
ruminansia dapat juga memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar yang
tinggi dalam jumlah yang banyak.Ekosistem mikroba rumen sangat stabil dan
dinamis. Pada ternak yang sehat kontaminasi ekosistem seolah tidak terjadi, pada
kenyataannya jutaan mikroba dalam rumen banyak berasal dari pakan, air minum
dan udara setiap harinya. Ekosistem rumen dinamis, ketika rumen tidak
mengalami perubahan pakan, mikroba rumen dapat beradaptasi dengan pakan
tersebut. Hal ini terjadi karena mikroorganisme teradaptasi untuk terus hidup
dalam rumen dan yang tidak mampu beradaptasi akan tereliminasi.
Oh dkk. (1969), menyatakan bahwa pencernaan fermentatif merupakan
proses yang dapat meningkatkan pencernaan bahan makanan dalam rumen, karena
pada ternak ruminansia pencemaan makanan sangat tergantung pada aktifitas
mikroorganisme. Aktifitas mikroorganisme rumen dipengaruhi oleh kandungan
zat-zat makanan dalam ransum.
Ranjhan dan Pathak (1979) menyatakan bahwa di dalam rumen
karbohidrat komplek yang meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan
adanya aktifitas fermentatif oleh mikroba akan dipecah menjadi asam atsiri,
khususnya asam asetat, propionat dan butirat.
Sarwono dan Arianto (2005) menyatakan bahwa lambung ruminansia
terdiri dari 4 bagian yaitu rumen (lambung pertama dengan kapasitas 100-230 liter
pada sapi), retikulum (lambung ke dua atau perut jala), omasum (lambung ke tiga
atau perut buku) dan abomasum (lambung keempat atau perut sejati).

6
2.1.4. Usus Halus

Frandson, (1993) menyatakan bahwa usus halus terbagi atas tiga bagian
yaitu duodenum, jejenum, dan ileum.Duodenum merupakan bagian pertama dari
usus halus.Saluran yang berasal dari hati dan saluran pancreas menyatu ke dalam
duodenum pada jarak yang pendek di belakang pylorus.Jejenum dengan jelas
dapat dipisahkan dengan duodenum.Jejenum bermuladari kira-kira pada posisi
dimana mesenteri mulai kelihatan memanjang.Jejenum dan ileum bersambung dan
tidak ada batas yang jelas diantaranya.Bagian terakhir dari usus halus adalah
ileum.
E. Purbowati et al, (2014) menyatakan bahwa fungsi usus halus adalah
dalam penyerapan nutrisi, sedangkan usus besar adalah penyerapan air, sekresi
beberapa mineral seperti kalsium, tempat penampungan pakan yang tidak
tercerna, dan fermentasi oleh bakteri.

2.1.5. Usus Besar

Frandson, (1993) menyatakan bahwa usus besar terdiri atas secum yang
merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri atas bagian-bagian yang
naik, mendatar, dan turun. Bagian turun akan berakhir di rectum dan anus.
Iis Istidamah (2006) menyatakan bahwa sekum merupakan suatu kantung
buntu dan kolon yang terdiri atas bagian yang unik, mendatar dan turun. Bagian
yang turun akan berakhir direktum dan anus. Usus buntuk bersama kolon
berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak
terfermentasi di dalam rumen, pada ruminansia alat pencernaan itu jauh lebih
besar.
Iis Istidamah (2006) menyatakan bahwa rektum sebagai saluran pendek,
terdiri dari garis otot polos dengan membrane mukosa dan mempunyai lapisan
serosa pada interior dan berakhir pada anus dan dubur.Rektum berfungsi untuk
menyimpan feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan.
Junqueira dan Carneiro, (1982) ; Rumessen, et al., (2001), ditinjau dari
struktur histologinya, usus besar saluran pencernaan tersusun atas : Tunika
mukosa (lamina epitel, propria, dan muskularis mukosa), tunika submukosa

7
(jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan saraf), Tunika muskularis (stratum
sirkulare dan longitodinal), dan Tunika serosa.

2.2. Pemeriksaan Kesegaran Air Susu

2.2.1. Uji Sensorik atau Uji Organoleptik

Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara organoleptik susu akan


mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa, dan aroma dari susu
yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya aktifitas
mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.
Adnan (1984) menyatakan bahwa Bacillus cereus dapat menghasilkan
enzim untuk mencerna lapisan fosfolipid disekitar butir –butir lemak, dapat
menyebabkan ketengikan pada susu.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011) menyatakan bahwa rasa asam
diakibatkan dekomposisi komponen susu oleh mikroba yang menyebabkan
peragian laktosa menjadi asam laktat, sedangkan rasa pahit disebabkan oleh
bakteri pembentuk pepton.
Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011)menyatakan bahwa susu
pasteurisasi yang normal memiliki rasa yang lezat sedikit manis karena
mengandung karbohidrat yaitu laktosa dan mempunyai aroma yang spesifik. Cita
rasa susu berhubungan dengan keseimbangan antara rasa manis akibat kandungan
laktosa tinggi dan rasa asin dari kadar klorida. Susu dengan kandungan laktosa
rendah tetapi kadar klorida tinggi menyebabkan cita rasa susu menjadi asin.
Lingathuraiet al.(2009) menyatakan bahwa kualitas fisik dan kimia susu
sapi segar dipengaruhi oleh factor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian
pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode
laktasi.
Sanam dkk.(2014) menyatakan bahwa susu merupakan bahan makanan
yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal selain
susu mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan
yang terkandung didalam susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh
tubuh. Didalam kehidupan sehari-hari, sebagian kecil orang meminum susu segar.
Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa mencium aroma susu segar (mentah).

8
Pada waktu susu berada di dalam ambing ternak yang sehat atau beberapa saat
setelah keluar, susu merupakan suatu bahan murni, higienis, bernilai gizi tinggi,
mengandung sedikit bakteri yang berasal dari ambing, bau, rasa tidak berubah dan
tidak berbahaya untuk diminum.

2.2.2. Uji Kebersihan dengan Metode Saring

Gustiani(2009) menyatakan bahwa kontaminasi bakteri dimulai setelah


susu keluar dari ambing danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur
susu yang lebih panjang.
Hariyadi(2000) menyatakan bahwa faktor penyebab kerusakan susu dapat
meliputi faktor kimia, fisik, dan mikrobiologi. Namun kerusakan susu akibat
pengaruh faktor mikrobiologi menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan susu.
Hal ini diakibatkan karena susu sangat mudah tercemar oleh mikroba, baik pada
waktu proses pemerahan maupun pengolahan, sehingga menjadikan masa simpan
susu relatif singkat, yaitu hanya sekitar 5 (lima) jam apabila disimpan dalam suhu
ruang.
Saleh(2004) menyatakan bahwa proses yang akan dilalui susu murni
menjadi susu olahan harus sangat diperhatikan dengan baik, karena susu
merupakan bahan higienis yang bernilai gizi tinggi dan apabila berada di luar
dalam jangka waktu yang lama akan menjadikan kualitas susu menurun. Susu
dapat tercemar oleh bakteri karena susu mengandung bahan-bahan yang
diperlukan bakteri untuk hidup seperti protein, mineral, karbohidrat, lemak, dan
vitamin dan apabila telah tercemar oleh bakteri maka secara otomatis susunan
serta keadaan susu tersebut dapat berubah.
Zakaria dkk.(2011) menyatakan bahwa susu murni atau susu segar
merupakan hasil dari proses pemerahan dan belum mendapat perlakuan apapun
kecuali pendinginan. Nilai gizinya yang tinggi menyebabkan susu menjadi media
yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan
perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak
layak dikonsumsi.

9
2.2.3. Pengukuran pH dengan pH meter

Manik(2006) menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat


disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan
dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat
oleh mikroorganisme aktivitas enzimatik.
Suardana dan Swacita (2004) menyatakan bahwa apabila pH di bawah 6,5
kemungkinan susu tersebut telah rusak oleh bakteri, sedangkan pH lebih besar
dari 6,7 menunjukkan adanya kelainan seperti mastitis. Semakin tinggi derajat
keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama
dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.
Suardana dan Swacita(2009) menyatakan bahwa uji keasaman dilakukan
untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log konsentrasi ion
hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya susu segar mempunyai pH netral.
Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi asam laktat
oleh mikroba.

2.2.4. Uji Alkohol

Dirkeswan(1977) menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang negatif


ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung
reaksi.
Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa prinsip dasar
pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada
selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein.
Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya dehidratasi, maka
protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu, semakin
berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk
memecahkan susu yang sama banyaknya.
Nababan et al. (2015) menyatakan bahwa uji alkohol pada susu cair yang
disimpan pada suhu ruang dari jam ke – 0 sampai jam ke – 4 dari hari ke-1 sampai
hari ke-8 hasilnya adalah negatif, sedangkan pada jam ke – 6 sampai jam ke – 8
dari hari ke-1 sampai hari ke-8 hasilnya adalah positif. Susu pecah menunjukkan
bahwa telah terjadi krusakan dari air susu adalah tinggi. Uji alkohol berdasarkan

10
kenaikan tingkat keasaman dari air susu karena perkembangbiakan bakteri, adalah
untuk melengkapi penetapan dari kualitas air susu. Pecahnya susu disebabkan oleh
berkembangbiaknya bakteri asam susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam
laktat.

2.2.5. Uji Didih atau Uji Masak

Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwaprinsip pada uji


didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus akan pecah ataupun
menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam keadaan asam menjadikan
kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang akan mengakibatkan
pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka hasil yang dapat
dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen atau tidak pecah.
Dwitania DC dan Swacita IBN.(2013) menyatakan bahwa hasil uji didih
negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding
tabung reaksi, hal ini dikarenakan susu masih dalam keadaan homogeny.
Sutrisna et al.(2014) menyatakan baha pecahnya susu menyebabkan
kualitas susu rendah sehingga tidak layak dikonsumsi karena adanya
kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung dalam susu tinggi.

2.2.6. Uji Reduktase dengan Biru Metilen

Fardiaz (1989) menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu


maka semakin cepat perubahan warna biru menjadi putih disebabkan karena
keaktifan enzim reduktase yang dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene
blue. Angka reduktase selain digunakan untuk memperkirakan jumlah
mikroorganisme di dalam susu, juga dapat digunakan untuk menentukan kelas
(grade) susu.
Nababan et al.(2014) menyatakan bahwa waktu reduktase susu yang
normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi perubahan warna
methylene blue pada susu segar menjadi putih kembali menunjukkan bahwa
jumlah bakteri dalam susu semakin sedikit.
Sari et al.(2013) menyatakan bahwa berubahnya warna biru metilen pada
periode yang panjang atau pendek, berkaitan dengan jumlah bakteri.

11
Walstra et al. (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata reduktase susu
pasteurisasi yaitu lebih dari 2 jam dan kurang dari 6 jam serta jumlah bakteri
antara 4-20 juta/ml.
Yulistiani et al.(2007) menyatakan bahwa angka reduktase pada susu
dapat dilihat dengan uji reduktase menggunakan methylene blue yang dapat
memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri yang terdapat di dalam susu.

2.3. Pemeriksaan Komposisi Air Susu

2.3.1. Pengukuran Berat Jenis

Nadia (2011) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh total solid
dan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu.
Pengukuran berat jenis merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui adanya
pemalsuan susu yang mengakibatkan penurunan kualitas susu.
Suhardi (2013) menyatakan bahwa pemberian makanan yang tidak cukup
akan menurunkan produksi susu. Pemberian pakan yang cukup akan
meningkatkan konsumsi pakan akan diikuti dengan kenaikan berat jenis susu.
Sukarni (2006) menyatakan bahwa berat jenis air susu juga sangat
dipengaruhi oleh berat jenis dari komponen penyusun susu seperti protein,
laktosa, dan mineral.
Utami (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat
jenis susu akan semakin turun.
Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa berat jenis susu dipengaruhi oleh
kandungan bahan kering pakan sehingga kenaikan bahan kering akan
meningkatkan berat jenis susu.

2.3.2. Pengukuran Kadar Bahan Kering

Allen D, Tilman, (2004) menyatakan bahwa sampel susu ditimbang


dahulu sebelum diletakkan didalam cawan khusus yang dipanaskan dengan
menggunakan oven dengan temperature ± 1050C, sampel dipanaskan sampai
sampel susu tersebut tidak lagi mengalami penurunan berat.
Asmaniya (2007) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang tinggi
menyebabkan tersedianya substrat yang dibutuhkan untuk sintesis laktosa.Laktosa

12
merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan galaktosa. Laktosa adalah
karbohidrat utama dalam susu.
Saleh, (2004) menyatakan bahwa komposisi air susu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jenis ternak dan keturunannya (hereditas), bulan laktasi,
umur ternak, peradangan pada ambing, pakan ternak, lingkungan dan prosedur
pemerahan susu. Lebih kentalnya susu dibandingkan air adalah karena banyaknya
bahan kering yang terdapat didalamnya, seperti lemak, protein, karbohidrat,
vitamin, dan mineral.
Wibowo (2013) menyatakan bahwa kandungan bahan kering susu
tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian
digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam
susu.
Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa bahan kering (BK) adalah
komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein, laktosa dan abu.

2.3.3. Penentuan Kadar Protein

Anggraeni et al.(2001) menyatakan bahwa susu sapi perah merupakan


salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi
masyarakat, karena susu bernilai gizi tinggi dan mempunyai komposisi zat gizi
lengkap dengan perbandingan gizi yang sempurna, sehingga mempunyai nilai
yang sangat startegis.
Ekawati(2014) menyatakan bahwa protein hewani merupakan zat makanan
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia.
Kebutuhan akan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
taraf hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu
bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu.
Sumudhita(1989) menyatakan bahwa susu merupakan sumber energi
karena mengandung laktosa dan lemak, sumber zat pembangun karena
mengandung protein dan mineral serta sebagai bahan-bahan pembantu proses
metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara kimiawi susu normal
mempunyai susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak (3,70%), protein
(3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%).

13
2.3.4. Mikrobiologi Susu

Badan Standarisasi Nasional (2009) menetapkan Batas Maksimum


Cemaran Mikroba dalam susu segar dan susu pasteurisasi, untuk total bakteri pada
susu segar 1 x 106 koloni/ml dan untuk susu pasteurisasi 5 x 104 koloni/ml.
Djaafar dan Siti (2007) menyatakan bahwa mikroorganisme yang sering
terdapat pada susu sapi adalah dari famili Lactobacteriaceae (Streptococcus
lactis), famili Enterobacteriaceae (Escherichia coli) dan Staphylococcus.
Fardiaz(1992) menyatakan bahwa perhitungan jumlah bakteri dilakukan
dengan metode Total Plate Count (metode hitung cawan) secara duplo. Prinsip
dari metode ini adalah jika jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada
medium agar, maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni
yang dapat dilihat langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan
mikroskop.
Gaman dan Sherrington (1981) menjelaskan bahwa yang mempengaruhi
pertumbuhan bakteri adalah waktu, pakan, kelembaban, suhu, oksigen, dan pH.
Mastuti(2007) menyatakan bahwa untuk menghitung jumlah kandungan
bakteri pada susu, sampel ditanam di dalam media NA (Nutrien Agar) untuk
selanjutnya di inkubasi. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung, kemudian diamati
karakteristik mengenai bentuk dan warnanya.
Nersser(2005) menyatakan bahwa hitungan cawan yang paling baik adalah
cawan yang memiliki 10.000 koloni/cawan yang perhitungannya dilakukan
dengan mikroskop pada perbesaran rendah.
Penn(2001) menyatakan bahwa Bakteri koliform dapat dihitung dengan
menggunakan metode cawan petri (metode perhitungan secara tidak langsung
yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan
berkembang menjadi satu koloni yang merupakan suatu indeks bagi jumlah
organisme yang dapat hidup yang terdapat pada sampel).
Puspitasari et al. (2012) menyatakan bahwa pengenceran digunakan karena
untuk menumbuhkan koloni bakteri pada media yang terbatas tidak mungkin
dilakukan penghitungan bakteri yang berjumlah puluhan ribu.Pengenceran ini
dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan bakteri pada sampel.

14
Sugiyono(2002) menyatakan bahwa setelah diinkubasikan, koloni yang
tumbuh dihitung dianggap bahwa 1 koloni berasal dari satu sel atau satu spora
bakteria.
Sukandar et al (2010) menyatakan bahwa sebaiknya jumlah koloni
mikroba yang tumbuh dan dapat dihitung berkisar antara 30-300 koloni.Metode
cawan dengan jumlah koloni yang tinggi (>300) sulit untuk dihitung sehingga
kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar. Satuan yang digunakan untuk
menyatakan jumlah koloni atau bakteri adalah cfu/mL (cfu = colony forming
units).
Waluyo(2004) menyatakan bahwa dimana jumlah terbaik adalah antara 30
sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm permukaan.Prinsip
pengenceran adalah menurunkan jumlah sehingga semakin banyak jumlah
pengenceran yang dilakukan, makin sedikit sedikit jumlah meikrobia, dimana
suatu saat didapat hanya satu mikrobia pada satu tabung.

2.3.5. Diagnosa Mastitis

Andriani (2010) menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT)


ditentukan dengan cara mereaksikan 2 ml susu dengan 2 ml reagen CMT yang
mengandung arylsulfonate di dalam paddel. Campuran tersebut digoyang-goyang
membentuk lingkaran horizontal selama 10 detik. Reaksi ini ditandai dengan ada
tidaknya perubahan pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan
skoring California Mastitis Test (CMT) yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada
susu, (+) terdapat sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang
jelas namun jel belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk
jel, serta (++++) jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung,
untuk memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi
nilai masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2,
(+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.
Pradlee, et al,. (2011) menyatakan bahwa California Mastitis Test (CMT)
merupakan salah satu metode diagnosa mastitis subklinis yang sampai saat ini
dianggap sederhana dan cepat yaitu metode dengan menggunakan alat yang

15
disebut paddle dan menggunakan reagen IPB-1 untuk mengetahui tingkat
keparahan mastitis subklinis yang dialami.
Subronto (2003) menyatakan bahwa mastitis adalah istilah yang digunakan
untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun
kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun
susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar.

2.4. Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu

2.4.1. Pembuktian Penambahan Santan Secara Mikroskopik

Boilman (2008), menyatakan bahwa 1 liter susu asal ternak yang segar
dapat dipalsukan dengan 10 varietas asal lemak nabati ataupun prodik tumbuhan
lainnya.
Deman (2007), menyatakan bahwa cirri khas susu yang ditambahkan
dengan mixer pati akan menunjukkan spesifikasi larutan berbentuk kental dan
mengandung warna biru.
Friendhsman. P (2000), menyatakan bahwa dalam bundaran pengamatan
mikroskop, butiran lemak susu akan diprioritaskan lebih berhomogen serta
mengandung struktur yang lebih kecil, dibandingkan dengan spesifikasi lemak
nabati lainnya.

2.4.2. Pembuktian Penambahan Pati

Brody (2002), yang menyatakan bahwa dalam pembuktian pemalsuan susu


yang ditambahkan pati maka dapat duji dengan mencapurkan larutan asam asetat,
larutan lugol, dan tabung reaksi tersebut dipanaskan.
Frandson (2002) yang mengatakan bahwa dalam pemeriksaan pemalsuan
susu dengan cara pembuktian penambahan pati bila positif mengandung pati maka
filtrate warna menjadi biru, kemudian bila warna kuning berarti negatif dan bila
berwarna hijau reaksi diragukan.
Nana (2002), menyatakan bahwa erfek susu yang dipalsukan akan
menurunkan kadar zat-zat penting yang terdapat didalam susu dengan kemasan
yang segar.

16
BAB III

MATERI DAN METODA

3.1. Tempat Dan Waktu

Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas


Peternakan Universitas Jambi setiap hari Kamis, dari tanggal 10 april – 1 mei
09.00 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan kesegaran air susu


adalah tabung reaksi, penjepit tabung reaksi, pipet 10 ml, pembakar bunsen, kertas
saring (diameter 25 cm), corong, gelas penampung atau beker glass, pH meter
atau kertas lakmus, tabung reduktase, pipet 1 ml dan 25 ml, dan penangas air.
Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan komposisi air susu
adalah laktodensimeter, thermometer, gelas ukur 100 ml dan 250 ml, labu
Erlenmeyer 250 ml dan 500 ml, penangas air, timbangan analitik skala 0.1 mg,
lemari pengering (oven) temperature 102oC, eksikator, cawan gelas berpenutup
diameter 5 cm, pipet 1 ml dan 25 ml, gelas beker 250 ml, cawan petri, incubator,
tabung reaksi, pipet steril, buret, dan paddle test.
Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu
adalah mikroskop, gelas objek, tabung reaksi, corong, kertas saring, busen, pipet 1
ml dan 10 ml.
Peralatan yang digunakan pada praktikum anatomi alat pencernaan adalah
saluran pencernaan kambing yang diperoleh dari Mat Beken dan air.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan kesegaran air susu
adalah air susu, alkohol 68%, 70%, 75%, dan 96%, dan larutan biru metilen.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan komposisi air susu
adalah susu sapi, larutan NaOH 0.1 N, kalium oksalat (K2C2O7H2O), formalis
35%, phenolpthalin (PP) 2%, cobalt sulfat (CoSO4.7H2O), aquades, media PCA,
pelarut (phosphate buffer, peptone water 0,1%) dan reagen CMT.
Peralatan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu
adalah air susu, santan, larutan asam asetat, dan larutan lugol.

17
3.3. Metoda

Cara kerja pada praktikum uji organoleptik tentang uji warna yaitu
masukkan 5-10 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, amatilah warna susu
tersebut.
Cara kerja pada praktikum uji bau yaitu sampel susu diambil dengan alat
pengambil sampel dan dimasukkan ke dalam botol ukuran 100 ml dan diisi ¼ -
penuh. Tutup botol tersebut dengan sumbat yang tidak berbau, simpan dalam suhu
rendah.Sebelum diuji, masukkan botol tersebut dalam penangas air (35-40oC)
sampai hangat.Sambil mengangkat tutup botol, uji bau dapat dilakukan. Bedakan
bau susu sebelum dipanaskan dengan susu yang sudah dipanaskan.
Cara kerja pada praktikum uji kekentalan yaitu dilakukan dengan
memasukkan susu ke dalam tabung reaksi, kemudian memiringkan tabung reaksi,
kemudian ditegakkan kembali. Perhatikan air susu yang membasahi dinding
tabung.
Cara kerja pada praktikum uji rasa yaitu dengan cara meneteskan air susu
ke telapak tangan dan dicicipi. Bila agak manis berarti susu tersebut normal
(baik), bila pahit berarti sudah terjadi pembentukkan peptone, bila rasa sabun
berarti terkena mastitis, bila rasa lobak berarti terkena kuman coli, bila rasa pahit
dan asin berarti kolostrum.
Cara kerja pada uji kebersihan dengan metode saring yaitu homogenkan
500 ml sampel susu, tuangkan sampel susu secara perlahan-lahan melalui dinding
corong. Pada mulut corong telah terpasang kertas saring.Susu ditampung dalam
beker glass. Setelah kertas saring dilepaskan, amati kotoran yang tertinggal di
kertas saring tersebut. Untuk lebih jelas, masukkan kertas saring dalam incubator
atau lemari pengering agar kering.Periksalah kotoran yang tampak pada kertas
saring dan nilailah banyaknya kotoran dan jenis kotoran yang tampak.Penilaian
dapat berupa bersih, cukup bersih, sedikit kotor, dan kotor sekali.
Cara kerja pada praktikum pengukuran pH dengan pH meter yaitu dengan
cara meletakkan pH meter di dalam susu dan catat hasilnya.
Cara kerja pada praktikum uji alkohol yaitu masukkan 3 ml air susu
kedalam 4 tabung reaksi. Tambahkan 3 ml alkohol 68% pada tabung I, 3 ml
alkohol 70% pada tabung II, tambahkan 3 ml alkohol 75% pada tabung III,

18
tambahkan 3 ml alkohol 96% pada tabung IV. Masing-masing tabung dikocok dan
diamati. Bila susu pecah (ditandai dengan endapan halus pada dinding tabung)
maka sampel susu tersebut asam dan hasil uji positif. Bila susu tidak pecah dan
tetap homogeny, hasil uji dinyatakan negative dan susu normal (baik).
Cara kerja pada praktikum uji didih/uji masak yaitu masukkan 5 ml air
susu ke dalam tabung reaksi dan panaskan sampai mendidih. Penilaian, bila
terdapat butir-butiran dan susu tidak homogeny berarti susu pecah (rusak) dan
hasil uji positif. Bila susu tetap homogeny berarti susu masih baik (normal) dan
hasil uji negatif.
Cara kerja pada praktikum uji reduktase dengan biru metilen yaitu
masukkan 1 ml larutan biru metilen ke dalam tabung reduktase, tambahkan
sampel susu sampai batas lingkaran. Tutup tabung tersebut dengan sumbat, lalu
campurkan sehingga warna biru merata.Caranya dengan membolak-balik tabung
(kira-kira 3 kali). Masukkan tabung ke dalam penangas air (37±1o C) selama 4-4,5
jam. Penangas air diletakkan di tempat yang terlindungi cahaya. Bila
menggunakan incubator, masukkan dahulu tabung ke dalam penangas air selama 5
menit untuk menghangatkan, kemudian dimasukkan ke dalam incubator. Apabila
akan membaca hasil, maka warna sudah berubah menjadi putih. Sebaiknya reaksi
ditunggu sampai seluruh warna biru hilang.
Cara kerja pada praktikum pengukuran berat jenis adalah pertama sampel
susu dihomogenkan dengan cara memindahkan dari satu erlemeyer ke erlemeyer
yang lain berulang-ulang. Secara hati-hati sampel susu dituangkan ke dalam gelas
ukur melalui dindingnya agar tidak terbentuk buih. Laktodensimeter dicelupkan
ke dalam sampel susu secara perlahan-lahan, biarkan timbul dan tunggu sampai
latodensimeter berhenti bergerak (± 1 menit). Baca skala yang tertera. Setelah
pembacaan selesai, catat suhu tera laktodensimeter dan ukur suhu sampel susu
dengan thermometer. Ulangi prosedur tersebut sebanyak 2-3 kali.Angka yang
diperoleh dirata-ratakan.Skala yang dibaca pada laktodensimeter menunjukkan
decimal 2 dan 3.Decimal ke-4 dikira-kirakan. Suhu sampel susu harus di antara
20-30oC, kemudian disesuaikan dengan suhu 27.5oC. Setiap kenaikan atau
penurunan suhu susu 1oC, dilakukan penyesuaian koefisien muai air susu sebesar
0.0002. Berat jenis susu diperoleh dengan menggunakan persamaan.

19
Cara kerja pada pengukuran kadar bahan kering adalah keringkan cawan
dan tutupnya dalam oven (102oC) selama 10 menit. Setelah itu, masukkan cawan
ke dalam eksikator sampai suhunya sama dengan suhu kamar. Timbang cawan
beserta tutupnya (G1). Masukkan 3 ml sampel susu ke dalam cawan. Timbang
kembali cawan yang berisi sampel beserta tutupnya (G2).Masukkan cawan ke
dalam oven (102 ± 2oC) dan letakkan tutup cawan di samping cawan.Biarkan
selama 1 jam, setelah itu keluarkan dari oven dan masukkan cawan yang telah
ditutup kembali ke dalam eksikator (cawan harus ditutup selama berada di dalam
eksikator).Setelah cawan dingin (mencapai suhu kamar), timbanglah cawan
beserta tutupnya (G3.1).Masukkan kembali cawan ke dalam oven, keringkan
selama 1 jam.Setelah itu masukkan kembali ke dalam eksikator sampai dingin
(suhu kamar).Timbang kembali cawan tersebut (G3.2). Lakukan prosedur tersebut
sampai tercapai berat konstan (G3.1 = G3.2) atau selisih hasil pengukuran
sebelum dan sesudahnya tidak melebihi 0.5 mg. Selisih berat cawan dengan
cawan kosong adalah berat bahan kering sampel.
Cara kerja pada praktikum penentuan kadar protein cara titrasi formol
adalah masukkan 10 ml susu ke dalam Erlenmeyer 125 ml dan tambahkan 20 ml
aquades serta 0.4 ml larutan K-oksalat jenuh (K-oksalat:air = 1:3, perhatian: K-
oksalat beracun) dan 3 tetes phenolpthalin. Diamkan 2 menit.Titrasilah larutan
contoh dengan 0.1 N NaOH sampai mencapai warna standar atau sampai warna
merah jambu. Setelah warna tercapai, tambahkan 2 ml larutan formaldehid 40%
dan titrasilah kembali dengan larutan NaOH sampai warna standar tercapai lagi.
Catatlah titrasi kedua. Buatlah titrasi blangko yang terdiri dari : 20 ml aquades +
0.4 ml larutan K-oksalat jenuh + 1 ml indicator phenolpthalin + 2 ml larutan
formaldehid dan titrasilah dengan larutan NaOH. Titrasi terkoreksi yaitu titrasi
kedua dikurangi titrasi blangko merupakan titrasi formal. Untuk susu digunakan
factor 1.83.
Cara kerja pada praktikum mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan
metode tuang yaitu beri label tabung reaksi yang berisi larutan pengencer dan
cawan petri. Lakukan pengenceran contoh secara decimal (menjadi pengencer
1:10; 1:100; dsb). Ambillah contoh 0,1 ml atau 1 ml yang telah diencerkan ke
dalam cawan petri. Tuangkan media agar cair (suhu 47,5oC) sebanyak 12-15 ml

20
untuk setiap cawan.Selama penuangan medium, tutup cawan tidak boleh dibuka
terlalu lebar.Segera setelah penuangan media agar cair, goyangkan cawan
membentuk angka delapan di atas meja untuk menyebarkan sel mikroba.Setelah
agar memadat, masukkan cawan petri ke dalam incubator dengan posisi terbalik
selama 24-36 jam pada suhu 30-32oC.Hitunglah jumlah koloni yang terdapat pada
agar dan laporkan sebagai jumlah koloni per ml.
Cara kerja pada praktikum mikrobiologi susu cara tidak langsung dengan
metode permukaan/ sebar yaitu tuangkan 15 ml agar cair ke dalam cawan petri
dan biarkan memadat. Sebarkan larutan sampel ke seluruh permukaan agar
dengan menggunakan ose bengkok.Biarkan contoh mengering, kemudian cawan
petri dibalik dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 30-32oC.Lakukan
perhitungan koloni yang terdapat dalam agar.
Cara kerja pada praktikum diagnosa mastitis yaitu 2 cc air susu
ditambahkan 3 ml reagen CMT di paddle tes, kemudian diaduk secara memutar,
amati reaksi yang terjadi.
Cara kerja pada praktikum penambahan santan secara mikroskopik yaitu
bersihkan objek glass, teteskan 1 tetes susu dan tutup dengan gelas penutup (cover
glass), hindari terbentuknya gelembung udara. Lihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 10 x dan 45 x. Tampak di bawah mikroskop butir-butir
lemak susu homogen, sedangkan butir-butir lemak nabati lebih besar dari butir
lemak susu.
Cara kerja pada pratikum pembuktian penambahan pati yaitu masukkan 10
ml sampel susu ke dalam tabung reaksi, tambahkan 0,5 ml asam asetat. Panaskan
tabung dan kemudian sampel susu disaring. Ke dalam filtrate teteskan 4 tetes
lugol. Apabila positif mengandung pati, maka warna filtrate menjadi biru.Bila
berwarna kuning artinya negative.Apabila berwarna hijau, reaksi diragukan.

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pemeriksaan Kesegaran Air Susu

Sudono et al. (2003) yang menyatakan bahwa lingkungan sekitar kandang yang
tidak bersih dapat mempengaruhi kualitas susu. Keadaan kandang yang kotor,
masih adanya feses, urin dan kotoran lain dalam kandang dapat mencemari susu
yang dihasilkan. Angka reduktase peternak dan TPS lebih rendah (P < 0,05) dari
susu KUD. Sedangkan tidak ada perbedaan nyata antara angka reduktase antara
peternak dan TPS (P > 0,05). Hal ini disebabkan oleh faktor penananganan di
KUD susu telah mengalami perlakuan dingin sehingga bakteri mengalami
dorman, berbeda dengan susu yang berasal dari peternak dan TPS yang tidak ada
perlakuan pendinginan pada susu sehingga didapatkan nilai reduktase yang lebih
rendah yang diprediksikan jumlah bakteri lebih tinggi daripada jumlah bak
teri KUD. Hal ini sesuai dengan pendapat Ismanto et al., (2013) bahwa
pendinginan susu bertujuan untuk menahan agar mikroba perusak susu jangan
sampai berkembang, sehingga susu tidak mengalami kerusakan dalam waktu yang
relatif singkat. Menurut Rofi’i (2009) penyimpanan sampel susu pada suhu
ruangan.
4.2.1. Uji Sensorik atau Uji Organoleptik

Uji organoleptik Hasil pengujian


Warna Putih
bau Bau susu
Rasa : -malen Hambar
-yuni Terlalu hambar
-agusti Hambar rasa sedikit manis
-ida Sedikit manis
-hari
-jupri Hambar
-aldi Hambar
-roma hambar

22
Kekentalan encer

dari hasil uji organoleprik didapatkan hasil susu berwarna putih


yang menunjukan bahwa susu tersebut baik. Bau dari susu setelah dipanaskan
yaitu berbau gosong tetapi masih ada sedikit bau asli susu tersebut . Dari
pengujian yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa warna, bau dan rasa dari susu
tersebut adalah normal. Dari uji kekentalan didapat hasil bahwa susu yang
ditambah air akan mengakibatkan susu menjadi encer, jika susu ditambahkan
santan maka susu menjadi kental pekat, dan susu yang murni terlihat tidak terlalu
kental serta tidak cair dan tidak berlendir (normal). Pada uji rasa didapat hasil
bahwa susu yang ditambah air memiliki rasa yang tawar, susu yang ditambah
santan memiliki rasa yang manis serta gurih, dan susu murni memiliki rasa agak
manis. Hal ini sesuai dengan pendapat Habibah dan Kadhafi Mu’ammar (2011)
yang menyatakan bahwa susu pasteurisasi yang normal memiliki rasa yang lezat
sedikit manis karena mengandung karbohidrat yaitu laktosa dan mempunyai
aroma yang spesifik. Cita rasa susu berhubungan dengan keseimbangan antara
rasa manis akibat kandungan laktosa tinggi dan rasa asin dari kadar klorida. Susu
dengan kandungan laktosa rendah tetapi kadar klorida tinggi menyebabkan cita
rasa susu menjadi asin.
Abubakaret al. (2001) menyatakan bahwa secara organoleptik susu akan
mengalami perubahan jika terdapat perbedaan warna, rasa, dan aroma dari susu
yang normal. Umumnya perubahan ini disebabkan oleh adanya aktifitas
mikroorganisme dengan penyimpangan aroma yang normal.

4.2.2. Uji Kebersihan dengan Metode Saring

Dan aman dari kotoran dan.Didapatkan hasil dari susu tersebut tidak
menemukan kotoran (bersih) . hal ini berarti susu dapat dikonsumsi secara
langsung tidak membahayakan bagi tubuh.
Susu murni atau susu segar merupakan hasil dari proses pemerahan dan
belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Nilai gizinya yang tinggi
menyebabkan susu menjadi media yang sangat cocok bagi mikroorganisme untuk

23
pertumbuhan dan perkembangannya sehingga dalam waktu yang sangat singkat
susu menjadi tidak layak dikonsumsi (Zakaria dkk.,2011).
Menurut pendapat Gustiani(2009) kontaminasi bakteri dimulai setelah
susu keluar dari ambing danjumlah bakteri akan semakin meningkat pada jalur
susu yang lebih panjang.

4.2.3. Pengukuran pH dengan pH meter

Hasil uji tingkat keasaman (pH) susu yang diperiksa seluruhnya memiliki
pH 6,2. Semua tingkat keasaman (pH) susu sapi kemasan adalah tujuh.
Berdasarkan SNI 01-3141- 1998, rataan pH susu adalah sekitar 6-7. Ini juga
menggambarkan bahwa rataan pH susu cenderung normal. Dalam skala pH 1
sampai 14, asam mempunyai skala yang lebih rendah antara 0 sampai 7 sedangkan
basa mempunyai skala yang lebih tinggi antara 7 sampai 14, maka dari itu pH 7
dianggap netral. Normalnya pH pada susu dapat disebabkan karena adanya kasein,
buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan dan penurunan pH ditimbulkan dari
hasil konversi laktosa menjadi asam laktat oleh mikroorganisme aktivitas
enzimatik (Manik, 2006).
Uji keasaman dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan
menghitung log konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya
susu segar mempunyai pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena
fermentasi laktose menjadi asam laktat oleh mikroba (Suardana dan Swacita,
2009).
Dari pengujian pH susu didapat hasil bahwa susu tersebut memiliki pH 6,6
yang berarti bahwa susu masih dalam kualitas yang bagus. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Manik(2006) yang menyatakan bahwa normalnya pH pada susu dapat
disebabkan karena adanya kasein, buffer, fosfat, dan sitrat. Selain itu, kenaikan
dan penurunan pH ditimbulkan dari hasil konversi laktosa menjadi asam laktat
oleh mikroorganisme aktivitas enzimatik. Menurut Suardana dan Swacita (2004),
apabila pH di bawah 6,5 kemungkinan susu tersebut telah rusak oleh bakteri,
sedangkan pH lebih besar dari 6,7 menunjukkan adanya kelainan seperti mastitis.

4.2.4. Uji Alkohol

24
Pada uji alkohol jika terdapat endapan atau gumpalan halus pada dinding
tabung maka susu memiliki hasil uji positif, jika susu homogen dan tidak terdapat
endapan di sekitar dinding maka hasil uji negative. Sesuai dengan pendapat
Dirkeswan(1977)yang menyatakan bahwa hasil uji alkohol yang negatif ditandai
dengan 1tidak adanya gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi.
Tabel 1. Hasil Uji Alkohol
Tabung Konsentrasi Alkohol (%) Hasil
1 68 Ada endapan diding
2 70 Ada endapan diding
3 75 Ada endapan diding
4 96 Ada endapan diding

Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein

susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir

protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki

daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat

keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama

dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya (Dwitania DC dan

Swacita IBN. 2013).

Susu pecah menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan dari air susu
adalah tinggi. Uji alkohol berdasarkan kenaikan tingkat keasaman dari air susu
karena perkembangbiakan bakteri, adalah untuk melengkapi penetapan dari
kualitas air susu. Pecahnya susu disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri
asam susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam laktat (Nababan et al.,
2015). Pecahnya susu menyebabkan kualitas susu rendah sehingga tidak layak
dikonsumsi karena adanya kemungkinan bahwa kadar asam yang terkandung
dalam susu tinggi (Sutrisna et al., 2014).

4.2.5. Uji Didih atau Uji Masak

25
Hasil yang didapat pada uji didih atau uji masak adalah susu tetap
homogen yang berarti susu masih baik (normal) dan hasil uji didih adalah negatif.
Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak bagus
akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu dalam
keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein ini yang
akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan baik maka
hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam keadaan homogen
atau tidak pecah (Dwitania DC dan Swacita IBN., 2013).

4.2.6. Uji Reduktase dengan Biru Metilen

Hasil yang didapatkan dari pengujian reduktase dengan biru metilen


adalah tidak terjadi perubahan warna yang signifikan, hal tersebut dikarenakan
kondisi alat penangas yang tidak optimal sehingga menyebabkan suhu pemanasan
tidak dapat diatur sesuai prosedur. Menurut pendapat Nababan et al. (2014) waktu
reduktase susu yang normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi
perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi putih kembali
menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu semakin sedikit.
Angka reduktase pada susu dapat dilihat dengan uji reduktase
menggunakan methylene blue yang dapat memberikan gambaran perkiraan jumlah
bakteri yang terdapat di dalam susu (Yulistiani et al., 2007).Berubahnya warna
biru metilen pada periode yang panjang atau pendek, berkaitan dengan jumlah
bakteri(Sari et al., 2013).
Fardiaz (1989) menyatakan bahwa semakin banyak bakteri dalam susu
maka semakin cepat perubahan warna biru menjadi putih disebabkan karena
keaktifan enzim reduktase yang dihasilkan bakteri di dalam mereduksi methylene
blue. Angka reduktase selain digunakan untuk memperkirakan jumlah
mikroorganisme di dalam susu, juga dapat digunakan untuk menentukan kelas
(grade) susu.

4.3. Pemeriksaan pemalsuan Air Susu

Pada pengukuran berat jenis,digunakanbobot jenis ditera dengan suatu alat


yang disebut laktodensimeter. Prinsip kerja alat ini berdasarkan hukum

26
Archimedes yang menyatakan bahwa tiap benda yang dimasukkan ke dalam zat
cair, maka pada benda tersebut akan bekerja tekanan ke atas yang sama dengan
berat cairan yang dipindahkan oleh alat tersebut.
Setelah sample susu dihomogenkan dengan memindahkan susu dari
erlemeyer yang satu ke erlemeyer yang lain secara berulang-ulang, kemudian
dituangkan kedalam gelas ukur secara hati-hati agar tidak timbul buih lalu
dicelupkan laktodensimeter secara perlahan-lahan sampai laktodensimeter itu
berhenti bergerak dan setelah itu catat suhu yang tedapat pada laktodensimeter
dan diukur dengan thermometer maka didapat hasil sebagai berikut.

4.3.1. Pembuktian penambahan air

No sampel Berat jenis

1 Susu segar 1,024

2 Susu + air 1,0080

3 Susu UHT 1,626

4 Susu busul 1,030

5 pati 1,040

Pada tabel di atas didapat hasil berat jenis pada susu sampel yaitu 1.024.
Menurut pendapat Nadia (2011) berat jenis dipengaruhi oleh total solid dan
merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian susu.
Pengukuran berat jenis merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui adanya
pemalsuan susu yang mengakibatkan penurunan kualitas susu. Berat jenis air susu
juga sangat dipengaruhi oleh berat jenis dari komponen penyusun susu seperti
protein, laktosa, dan mineral (Sukarni, 2006).
Utami (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi volume susu maka berat
jenis susu akan semakin turun. Zuriyati et al. (2011) menyatakan bahwa berat
jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering pakan sehingga kenaikan
bahan kering akan meningkatkan berat jenis susu.

27
4.3.2. Penentuan Kadar Bahan Kering

Bahan kering (BK) adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak,
protein, laktosa dan abu (Zuriyati et al., 2011). Pada pengukuran kadar bahan
kering dengan metode pengeringan. Setelah cawan dan tutupnya dikeringkan
dalam oven (102oC) selam 10 menit, kemudian cawan dimasukkan kedalam
eksikator sampai suhunya sama dengan suhu kamar, ketiga timbang cawan
berserta tutupnya (G.1), kemudian masukkan 3 ml sampel susu kedalam cawan
dan timbang kembali cawan yang berisi sampel berserta tutupnya (G.2),
masukkan cawan kedalam oven suhu 102oC dan letakkan tutup cawan disamping
cawan, biarkan selama 1 jam, keluarkan dari oven kemudian masukkan kedalam
eksikator. Setelah itu ditimbang kembali (G.3). Menurut pendapat Allen D,
Tilman (2004) sampel susu ditimbang dahulu sebelum diletakkan didalam cawan
khusus yang dipanaskan dengan menggunakan oven dengan temperature ± 1050C,
sampel dipanaskan sampai sampel susu tersebut tidak lagi mengalami penurunan
berat.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatlah hasil dari penentuan
kadar bahan kering susu sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Penentuan Kadar Bahan Kering.

cawan G.1 G.2 G.3 Bahan Kering (%)

A1 29,33 32,18 30,77 51

A2 29,65 32,94 31,64 60

A3 29,35 31,91 30,45 43

A4 30,97 33,13 31,77 31

A5 31,08 33,45 32,09 42

Tabel tersebut menunjukkan bahwa kadar bahan kering yang ada di susu
berbeda-beda setiap cawannya. Bahan kering yang ada di susu rata-rata di atas
50% yang berarti bahwa susu tersebut sedikit mengandung air dan banyak
mengandung bahan kering.

28
Menurut pendapat Wibowo (2013) kandungan bahan kering susu
tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian
digunakan sebagai prekursor pembentukan bahan kering atau padatan di dalam
susu.

4.3.3. Penentuan Kadar Protein

Hasil praktikum mengenai penentuan kadar protein di dalam susu dapat


dilakukan dengan cara titrasi formol dan didapat hasil sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Penentuan Kadar Protein

no Titrasi sample %kasein % Protein Susu %N

A1 1 1,63 1,83 0,014

A2 9,2 15.00 16,84 0,09

A3 0,8 1,304 1,464 0,085

A4 1,4 2,28 2,56 0,019

A5 0,8 1,30 1,46 1.01

Pada tabel di atas adalah hasil dari penentuan kadar protein yang ada di
dalam susu. Kadar proteinnya adalah 2.745% dan kasein pada susu tersebut adalah
2.445%. Sumudhita(1989) menyatakan bahwa susu merupakan sumber energi
karena mengandung laktosa dan lemak, sumber zat pembangun karena
mengandung protein dan mineral serta sebagai bahan-bahan pembantu proses
metabolisme seperti mineral dan vitamin. Secara kimiawi susu normal
mempunyai susunan sebagai berikut: air (87,20%), lemak (3,70%), protein
(3,50%), laktosa (4,90%), dan mineral (0,07%).
Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan akan protein hewani
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup manusia. Untuk

29
memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang
dapat digunakan adalah susu(Ekawati, 2014).

4.3.5. Diagnosa Mastitis

Pada diagnosa mastitis dilakukan dengan cara uji CMT yaitu dengan
memasukkan 2 cc air susu kemudian ditambah 3 ml reagen CMT di dalam padle
test, kemudian diaduk secara memutar. Reakti yang terjadi adalah sebagai berikut.

Tabel 7.Hasil Diagnosa Mastitis Dengan Uji CMT


NO
Larutan Kode

1
Susu = reagen cmt -

2
Susu = daia / rinso +1

Dari hasil di atas pada sampel susu + reagen CMT dan susu + rinso tidak
ada endapan pada susu atau gumpalan . hasil yang didapat negatif estimasi jumlh
sel somatik yaitu 0-200.000 sel/ml. Hal ini sesuai dengan pendapat Andriani
(2010) yang menyatakan bahwareaksi ini ditandai dengan ada tidaknya perubahan
pada kekentalan susu, kemudian ditentukan berdasarkan skoring California
Mastitis Test (CMT) yaitu (- ) tidak ada pengendapan pada susu, (+) terdapat
sedikit pengendapan pada susu, (++) terdapat pengendapan yang jelas namun jel
belum terbentuk, (+++) campuran menebal dan mulai terbentuk jel, serta (++++)
jel yang terbentuk menyebabkan permukaan menjadi cembung, untuk
memudahkan perhitungan statistik maka lambang-lambang tersebut diberi nilai
masing-masing, untuk lambang (-) nilainya 0, (+) nilainya 1, (++) nilainya 2,
(+++) nilainya 3 dan (++++) nilainya 4 untuk tiap puting susu.

4.4. Pemeriksaan Pemalsuan Air Susu

4.4.1. Pembuktian Penambahan Santan Secara Mikroskopik

Hasil yang diperoleh dari pembuktian penambahan santan secara


mikroskopik yaitu setelah dilakukan percobaan bahwa susu murni memiliki

30
partikel yang kecil dan halus serta homogen. Sedangkan pada susu yang
ditambahkan santan memiliki perbedaan partikel. Partikel pada santan memiliki
ukuran yang lebih besar dibandingkan partikel pada susu murni dan tidak
homogen.
Menurut pendapat Friendhsman. P (2000), menyatakan bahwa dalam
bundaran pengamatan mikroskop, butiran lemak susu akan diprioritaskan lebih
berhomogen serta mengandung struktur yang lebih kecil, dibandingkan dengan
spesifikasi lemak nabati lainnya.

4.4.2. Pembuktian Penambahan Pati

Pada praktikum pembuktian penambahan pati yang dilakukan dengan cara


memasukkan 10 ml susu ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 0,5 ml asam
asetat. Kemudian dipanaskan dan disaring, didalam filtrate ditambah lugol
sebanyak 4 tetes dan didapat hasil yaitu bahwa warna pada filtrate setelah
ditambah lugol adalah kuning yang berarti negatif dan di dalam susu tersebut
tidak ada penambahan pati.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Frandson (2002)yang mengatakan bahwa
dalam pemeriksaan pemalsuan susu dengan cara pembuktian penambahan pati
bila positif mengandung pati maka filtrate warna menjadi biru, kemudian bila
warna kuning berarti negatif dan bila berwarna hijau reaksi diragukan.Efek susu
yang dipalsukan akan menurunkan kadar zat-zat penting yang terdapat didalam
susu dengan kemasan yang segar (Nana, 2002).

31
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum pemeriksaan kesegaran air susu adalah susu


yang dijadikan sampel pada praktikum memiliki kualitas yang cukup baik. Hal ini
dapat dilihat dari uji organoleptik yaitu susu memiliki warna, bau, kekentalan, dan
rasa yang normal. Selain itu dari hasil pengujian alkohol, uji didih dan uji
reduktase menunjukkan bahwa susu tidak mengalami kerusakan atau terkena
mastitis.
Kesimpulan dari praktikum adalah pada pemeriksaan komposisi air susu
dapat diketahui dari perhitungan kadar berat jenis, pengukuran bahan kering, dan
pengukuran kadar protein.
Kesimpulan dari praktikum mikrobiologi susu adalah jumlah bakteri yang
terdapat pada sampel susu tersebut semakin banyak pada pengenceran yang
semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena pengenceran yang dilakukan untuk
mengurangi kepadatan mikroba pada sampel, sehingga mikroba dapat dengan
mudah dihitung.
Kesimpulan dari praktikum diagnosa mastitis yaitu susu murni yang tidak
mengandung mastitis akan menghasilkan cairan susu yang normal, sedangkan
susu yang telah rusak akibat mastitis akan terdapat endapan pada uji CMT.
Kesimpulan dari praktikum pemeriksaan pemalsuan air susu adalah susu
yang telah dimasukkan santan ataupun pati ke dalamnya akan menghasilkan butir-
butir lemak nabati yang lebih besar daripada butir lemak susu itu sendiri dan susu
akan berwarna kuning bila tidak terdapat pati di dalamnya.

5.2. Saran
Saran untuk praktikum kali ini yaitu alat dan bahan yang digunakan harus
lengkap dan lebih banyak sehingga semua praktikan dapat melakukan praktikum
produksi ternak perah dengan baik.

32
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Triyantini, R. Sunarlim, H. Setiyanto, Dan Nurjannah. 2001. Pengaruh


Suhu Dan Waktu Pasteurisasi Terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan.
Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner . Balai Penelitian Ternak. Vol. 6 No. 1.

Adnan, M.1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset.
Yogyakarta.Direktorat Kesehatan Hewan, 1977.Manual Kesmavet.No.
6/1977.Seri; Susu.

Allen D, Tilman. 2004. Pemeliharaan Ternak Sapi. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Andriani. 2010. Penggunaan Somatik Cell Count (SCC), Jumlah Bakteri dan
California Mastitis Test (CMT) untuk Deteksi Mastitis pada Kambing.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2010, Vol. XIII, No. 5.

Anggraeni, A., K. Diwiyanto, L. Praharni, A. Soleh dan C. Talib. 2001.Evaluasi


mutu genetiksapi perah induk FH didaerah sentra produksi susu.
Prosiding Hasil Penelitian bagian proyek “Rekayasa Teknologi
Pertanian/ARMP II”. Bogor: Puslibangnak.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh:


Retno Murwani. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Asminaya, Nur Santy. 2007. Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah


Sayuran Pasar Untuk Produksi Dan Komposisi Susu Kambing
Perah.Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI No. 7388:2009. Batas Maksimum


Cemaran Mikroba pada Susu Pasteurisasi. Bogor.

Bath, D.L., E.N. Dickinson, H.A. Tucker dan R.D. Appleman. -1985. Dairy Cattle
: Principles,Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia.

Boilman. 2008. Gizi Kuliner I. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Brody. 2002. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.

Chutikul, K .1975 . Ruminant (Buffalo) Nutrition, in The Asiatic Water Buffalo,


Proceeding of an International Syimposium heald at khon kaen . Thailand,
March 31 - April 6 .Food and Fertilizer Tecnology Centre, Taipei, Taiwan.

Cole, H .H .1962 .Introduction to livestock Production, W .H. Freeman and Co,


San Fransisco.

Deman. 2007. Gizi Kuliner I. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

33
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen
Pertanian. Jakarta.

Djaafar T. F. and R. Siti. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian,


Penyakit Yang Ditimbulkan dan Pencegahannya.
http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3262073.pdf. Diakses 10
November 2016.

Dwitania DC dan Swacita IBN. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu
Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. J
Veteriner 2(4) : 437- 444.

E. Purbowati, Lestari, C. M. S., E. Rianto, W.S. Dilaga,.dan R. Adiwinarti. 2014.


Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan Sapi Jawa dan Sapi Peranakan
Ongole diBrebes. Jurnal Peternakan Indonesia.Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro.

Ekawati, Evy Ratnasari. 2014. Uji Perbedaan Kadar Laktosa Pada Susu Sapi Fries
Holland Dan Susu Kambing Etawa Di Kec. Ampelgading, Kab.
Malang.Sidoarjo : Prodi Analis Kesehatan-Fikes-Univ.Maarif Hasyim
Latif Sidoarjo.

Fardiaz, S. 1989. Petunjuk laboratorium analisis mikrobiologi pangan. PAU


Pangan dan Gizi: Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1.PT Gramedia Pustaka


Utama.Jakarta. 320 hlm.

Frandson,R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak.Edisi ke-3. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: B. Srigandonob & K.
Praseno).600-609Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Frandson. 2002 . Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Raja. Jakarta.
Friendhsman. P. 2000. Anatomi Pencernaan Umum jilid 1 dan 2. Terate.Bandung.
Gaman, P.M., dan K.B. Sherrington. 1981. The Science of Food, An Introduction
to Food Science, Nutrition, and Microbiology. Terjemahan oleh Murdjati
Gardjito, Sri naruki, Agnes Murdiati, dan Sarjono. Edisi kedua.1992.
Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi.Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.

Gustiani, E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak
(daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal
Litbang Pertanian, 28 (3):96-100.

Habibah dan Kadhafi M. 2011.Pertumbuhan Mikroorganisme Selama


Penyimpanan Susu Pasteurisasi Pada Suhu Rendah.Agroscientiae.Vol. 18
No. 3.

34
Hariyadi, P. 2000. Dasar dasar Teori dan Praktek Proses Termal.Pusat Studi
Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Iis Istidamah. 2006. Studi Perbandingan Fisio Anatomi Saluran Pencernaan


Kambing dan Domba Lokal (Thesis). Program Studi Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakutas Peternakan, IPB.Junqueira, LC. dan J. Carneiro. 1982.
Histologi Dasar. Alih Bahasa Adji Dharma. 1990. EGC Penerbit Buku
Kedokteran. Hal.123-132.

Kamra, D. N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Science, Vol. 89, No 1.

Kaunang, C.L. 2004. Respon Ruminan Terhadap Pemberian Hijauan Pakan Yang
Dipupuk Air Belerang.Disertasi. Program Studi Ilmu Ternak, IPB Bogor.
OH . H .K . Longhurst, W .M .and Jones, M .B . 1969, Reaction Nitrogen
intake to Rumen Microba Activity and Consumption Quality Roughoge by
sheep . Animal Sci, 28 : 272.

Lingathurai, S, Vellathurai, P, Vendan, S. E, and Anand, A. A. P. 2009. A


comparative study on the microbiological and chemical composition of
cow milk from different locations in Madurai, Tamil Nadu.Indian Journal
of Science and Technology. Vol.2 No 2 (Feb. 2009):51-54. ISSN: 0974-
6846. India.
Manik, E. (2006). Olahan Susu. Jakarta : Pusat Unit Pangan dan Gizi. IPB.
Bogor.Millogo, V, Sjaunja, K. S, Ouedraogo, G. A dan Agenas, S. 2010.
Raw milk hygiene at farms processing units and local markets in Burkina
Faso. Food Control 21 (2010):1070-1074.

Mastuti, Rini. 2007. Kandungan Bakteri Susu Pasteurisasi Dalam Kemasan


Plastik Yang Beredar Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Hasil
Ternak. Issn : 1978 – 0303. Vol. 2, No. 2.

Nababan M., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2014.Ketahanan Susu
Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Tingkat
Keasaman, Didih, dan Waktu Reduktase. J Veteriner 3(4) : 274-282.

Nababan M., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2015. Kualitas Susu
Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Alkohol, Derajat
Keasaman dan Angka Katalase. J Veteriner 4(4) : 374-382.
Nadia, Meisya. 2011.Strategi Pemasaran di Koperasi Produksi Susu (KPS)
Bogor. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nana. 2002. Macam – Macam Olahan Susu. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Nersser. 2005.Ransum Ternak Ruminansia. Penebar swadaya. Bogor.

Penn. 2001. Dairy Cattle and Milk Production.The Macmillan Company.

Pradlee, Jorgea, et al,. 2011. Somatic Cell Count and Californi Mastitis Test as a
Diagnostic Tool for Subclinical Mastitis in Ewes. Acta Scientiae
Veterinariae, 2012. 40(2): 1038.

35
Puspitasari FD, Shovitri M, Kuswytasari ND. 2012. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Aerob Proteolitik dari Tangki Septik. Jurnal Sains dan Seni ITS.
1(1)

Rahmadi, Didiek. Sunarso.Achmad, Joelal. Pangestu, Eko. 2003. Nutrisi dan


Makanan Ternak. Universitas Diponegoro. Semarang. Vol 4.

Ranjhan, S .K. and Pathak, N.N. 1979 . Management and Feeding of Buffalo,
Vikas Publ House put, New Delhi.

Rumessen, JJ., DK. Alban, M. Severine, B. Florence, N. Schiffmann. 2001.


Interstitial Cells of Gajal in the Striated Musculare of the Mouse
Esophagus. Springer-Verlag. Reguler Article.

Saleh, E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi
Produksi Ternak. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Saleh, E. 2004.Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi
Produksi Ternak. Sumatera Utara: Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.

Sanam AB, Swacita IBN, Agustina KK. 2014. Ketahanan Susu Kambing
Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau
dari Uji Didih dan Alkohol. J Veteriner 3(1) : 1-8.Sari, M, Swacita IBN,
Agustina KK. 2013. Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-
Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase. J Veteriner
2(2) : 202-207.

Sarwono, B., dan Ariyanto, N.B., 2005. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium.


Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Suardana, IW., dan I.B.N Swacita, 2009. Higiene Makanan. Kajian Teori dan
Prinsip Dasar.Udayana University Press.ISBN 978-979-8286-76-6.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.

Sugiyono. 2002.Ensiklopedia Biology. Ghalia Putra Indonesia. Jakarta.

Suhardi. 2013. Tampilan Produksi Susu Sapi Perah Akibat Substitusi Rumput
Gajah Dengan Jerami Padi+NaOH. Universitas Boyolali.Politeknisains
VOL 6. No. 2.

Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya A. 2010. Badan Pengkajian dan


Penerapan Teknologi.BPPT Jakarta. Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (333-
339) ISSN : 1978 – 8193.

36
Sukarni.2006. Produksi Dan Komposisi Air Susu Kambing Peranakan Etawah
Yang Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi. Universitas
Udayana, Denpasar.

Sumudhita, M.W 2013 Air Susu dan Penanganannya Hal; 1-45. Denpasar:
Program Studi Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan
Universitas Udayana.

Sutrisna DY, Suada IK, Sampurna IP. 2014. Kualitas Susu Kambing Selama
Penyimpanan pada Suhu Ruang Berdasarkan Berat Jenis, Uji Didih, dan
Kekentalan. J Veteriner 3 (1) : 60-67.
Utami, Sri. 2012. Kajian Berat Jenis dan Total Solid Susu Kambing Saanen, Jawa
Randu, dan Peranakan Etawa.Hasil Penelitian. Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokerto.

Walstra, P., G. T. J. Noomen, A. Jellema and M. A. J. S. van Boekel. 1999. Dairy


technology: Principles of milk properties and 9 process. Marcel Dekker
Inc., New York.

Waluyo. 2004. Macam – Macam Olahan Susu. Penerbit Penebar Swadaya.


Jakarta.

Wibowo, Puguh Arif. 2013. Kajian Total Solid (TS) Dan Solid Non Fat (SNF)
Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Pada Satu Periode
Laktasi.Skripsi.Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Yulistiani, R., Ulya S. dan Veronika I. K. 2007. Tingkat Keamanan Susu Berlabel
Pasteurisasi Di Wilayah Surabaya Selama Masa Penyimpanan Pada Suhu
Refrigerator. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 11-21.

Zakaria Y, Helmy, MY dan Safara Y. 2011.Analisis Kualitas Susu Kambing


Peranakan Etawah yang Disterilkan pada Suhu dan Waktu yang Berbeda. J
Agripet 11 (1): 29-31.
Zurriyati, et al. 2011.Analisis molekuler genotipe kappa kasein (κ-kasein) dan
komposisi susu kambing Peranakan Etawah, Saanen dan Persilangannya.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

37
LAMPIRAN

1. Pengukuran Berat Jenis

𝑎
76 cm Hg BJ = x
𝑏

27.5 oC 76 cm Hg BJ = 1024 – (27,5oC – 28oC) x 0,0002


28 oC
= 1024 – 0,5 x 2 x 10-4

y = 1,0241

27.5 oC 76 cm Hg BJ = 1,0241 x 1,0241


27.5 oC 0,996400

z = 1,0528
Jadi, berat jenis susu tersebut adalah 1,0528

2. Penetuan kadar bahan kering

G.1 = 21
G.2 = 24
G.3 = 23
(𝐺.3−𝐺.1)
Kadar bahan kering (%) = x 100 %
(𝐺.2−𝐺.1)
(23−21)
= x 100 % = 66,7 %
(24−21)
Jadi, kadar bahan kering yang terdapat di dalam susu tersebut adalah 66,7 %.

38
3. Penentuan kadar protein
Titrasi blangko= 0,8
Titrasi larutan = 2,3
Titrasi ke 2 = 2,3 – 0,8 = 1,5
% Protein susu = 1,83 x 1,5 = 2,745
% Kasein = 1,63 x 1,5 = 2,445
Jadi, kadar protein susu tersebut adalah 2,745 % dan kadar kaseinnya 2,445 %.

4. Mikrobiologi susu

Koloni per ml = jumlah koloni x 1


Faktor pengencer

a. Tuang
Koloni per ml = 39 x 1 = 3,9 x 108
10-7

Koloni per ml = 66 x 1 = 6,6 x 109


10-8

Koloni per ml = 20 x 1 = 2 x 1010


10-9

b. Sebar
Koloni per ml = 190 x 1 = 1,9 x 109
10-7

Koloni per ml = 23 x 1 = 2,3 x 109


10-8

Koloni per ml = 43 x 1 = 4,3 x 1010


10-9

39
40

Anda mungkin juga menyukai