Anda di halaman 1dari 86

DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH

(Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH
(Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH


(Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

Dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober 1983


Tanggal Lulus : 27 Januari 2006

Disetujui,
Bogor, Februari 2006

Dra. Hernani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Djumali M, DEA


Pembimbing Akademik II Pembimbing Akademik I
Rizka Hezmela. F34101083. Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia
purpurata K. Schum) dalam Sediaan Salep. Di bawah bimbingan Djumali
Mangunwidjaja dan Hernani. 2006.

RINGKASAN

Rimpang lengkuas merah mengandung senyawa antijamur seperti eugenol,


galangin, kaempferid, dan kuersetin yang dapat menyebabkan ketidakteraturan
pada membran sitoplasma jamur. Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi
bahan aktif rimpang lengkuas merah dalam menghambat pertumbuhan jamur
penyebab penyakit mikosis lokal kulit seperti T. rubrum, T. mentagrophytes,
M. canis, dan Candida albicans. Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan ekstrak lengkuas kedalam dua sediaan salep
yaitu basis minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak (w/o) terhadap daya
antijamur, pH sediaan dan stabilitas emulsi sediaan salep. Penelitian dilakukan
dalam dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian
pendahuluan dilakukan untuk menentukan jamur uji terbaik dan penentuan
rentang konsentrasi hambatan terbaik. Penelitian utama meliputi, pembuatan salep
antijamur dengan berbagai variasi konsentrasi ekstrak yang kemudian diuji daya
antijamurnya kepada jamur uji terpilih, pengujian terhadap nilai pH dan stabilitas
emulsi sediaan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa jamur
T. mentagrophytes dan M. canis dapat terhambat dengan baik pada konsentrasi
ekstrak lengkuas 5%, sedangkan jamur C. albicans dan T. rubrum tidak dapat
dihambat dengan baik, sehingga hanya jamur T. mentagrophytes dan M. canis
yang digunakan untuk penelitian utama. Konsentrasi ekstrak minimum untuk
menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes adalah sebesar 0,5% dan pada
konsentrasi ekstrak 10% diperoleh diameter hambatan maksimum. Konsentrasi
ekstrak minimum untuk menghambat pertumbuhan M. canis adalah sebesar 0,3%
dan pada konsentrasi ekstrak 5% diperoleh diameter hambatan maksimum. Hasil
penelitian utama menunjukkan bahwa nilai diameter hambatan cenderung
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak dalam sediaan salep.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi ekstrak yang
berpengaruh nyata terhadap nilai diameter hambatan kedua jamur, dan seluruh
taraf konsentrasi memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai diameter
hambatan kedua jamur (α = 0,05). Jamur M. canis lebih sensitif terhadap ekstrak
lengkuas dibandingkan T. mentagrophytes. Salep minyak dalam air (o/w)
memiliki pH yang lebih rendah (4,25 -5,45) dibandingkan air dalam minyak (w/o)
(7,7 – 9,2). Nilai rata-rata stabilitas emulsi tipe o/w (54,46% – 87,61%) lebih kecil
dibandingkan dengan stabilitas emulsi tipe w/o (93,17% – 97,40%). Analisis
ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas dan tipe salep
berpengaruh nyata terhadap nilai pH dan stabilitas emulsi. Dari uji lanjut Duncan
dapat dilihat bahwa pada α = 0,05 seluruh konsentrasi memberikan hasil yang
berbeda nyata terhadap nilai pH, sedangkan untuk stabilitas emulsi hanya
konsentrasi 0,3% dan 0,5% yang tidak berbeda nyata sedangkan konsentrasi
lainnya berbeda nyata.
Rizka Hezmela. F34101083. The Antifungal Activities of Red Galangal (Alpinia
purpurata K Schum) Extract in Ointment Bases. Supervised by Djumali
Mangunwidjaja and Hernani. 2006.

SUMMARY

Red galangal has some antifungal active compounds such as eugenol,


galangin, kaempferol, and quercetin, which can cause deterioration in the fungal’s
cytoplasm. The research was conducted to explore the potentials of red galangal
as antifungal agent for some fungal causing local mycosis such as,
T. mentagrophyes, T. rubrum, M. canis, and C. albicans. The research was also
aimed to determine the effect of the incorporation of red galangal extract into
ointment bases, both for oil in water (o/w) emulsion base and water in oil (w/o)
emulsion base, in terms of their antifungal activities, pH, and emulsion stability.
The research was done in two stages. The pre-research was conducted to select the
fungal that can be well inhibited by red galangal extract and to determine the
extract concentration’s range to inhibit the selected fungal. The next stage was the
main research that covered the making of antifungal ointments in various extract
concentrations then tested to the selected fungal, the evaluation of pH bases and
emulsion stability. Result from pre-research had shown the potentials of red
galangal extract as fungistatic agent for T. mentagrophytes and M. canis, but not
for T. rubrum and C. albicans. The minimum concentration to inhibit the growth
of T. mentagrophytes was 0,5% and at 10% concentration the maximum zone of
inhibition was obtained. The minimum concentration to inhibit the growth of
M. canis was 0,3% and at 5% concentration the maximum zone of inhibition was
obtained. Result from the main research had shown that the values for zone of
inhibition were tended to increase along with the higher concentrations added to
the ointment bases. Analysis of variance had shown that extract concentrations
gave significant effect for the zone of inhibition’s diameter and each level of
concentration significantly affect the zone of inhibition’s diameter (α = 0,05) for
both fungal. M. canis was more sensitive to red galangal extract than
T. mentagrophytes. The evaluation’s result for pH bases shown that oil in water
base had a lower pH (4,25 – 5,45) comparing to water in oil base (7,7 – 9,2).
Water in oil emulsion base was more acceptable to be applied topically since its
pH was still in the pH range of skin acceptability (4,0 -5,6). The emulsion stability
for oil in water base was lower than water in oil base. The emulsion stability for
oil in water base was 54,46% – 87,61% and 93,17% – 97,40% for water in oil
base in average. Analysis of variance had shown that extract concentrations and
type of ointment gave significant effect both for pH bases and emulsion stability.
Post hoc test for 95%’s level of significance (α = 0,05) had shown that each level
of concentration significantly affect the pH base, while for emulsion stability,
only the concentrations of 0,3% and 0,5% that did not give significant effect to
emulsion stability.
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul


” Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K Schum)
dalam Sediaan Salep ” merupakan hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan
dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Februari 2006


Yang Membuat Pernyataan,

RIZKA HEZMELA
F34101083
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober


1983 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari
pasangan Alamsyah dan Yunizar.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Pondok Labu 07
Pagi Jakarta (1989-1995), SLTPN 85 Jakarta (1995-1998),
dan SMUN 34 Jakarta (1998-2001).
Pada akhir pendidikan di SLTA, penulis berkesempatan untuk mengikuti
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada Tahun 2001 penulis menjadi
mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Himpunan Mahasiswa
Teknologi Industri (HIMALOGIN) dan IPB Debating Community (IDC). Selain
itu, penulis juga pernah menjadi pelatih IDC pada tahun 2005 dan mengajar
percakapan dalam bahasa Inggris di English Avenue Bogor pada tahun 2005 -
2006. Penulis melakukan Praktek Lapang di PD. Andalas Mekar Sentosa Bandar
Lampung dengan judul ”Produksi dan Pemasaran Keripik Pisang dan
Nangka”, dan mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K
Schum) dalam Sediaan Salep”.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT atas segala rahmat, hidayah dan karuniaNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas
Merah (Alpinia purpurata K Schum) dalam Sediaan Salep”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada :
1) Prof. Dr. Ir. Djumali M, DEA selaku dosen pembimbing I atas dukungan,
bimbingan, arahan dan bantuan selama penulis kuliah di TIN.
2) Dra. Hernani, M.Sc selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, arahan dan
bantuan selama penelitian dan pembuatan skripsi.
3) Dr. Ir. Erliza Noor selaku dosen penguji, atas kritik dan sarannya.
4) Eni Kusumaningtyas, SSi, M.Sc atas segala bantuan, arahan, dan
masukannya selama penelitian.
5) Staf di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian,
Bogor.
6) Staf di Laboratorium Mikologi Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
7) Kedua orang tua dan adik-adik atas dukungannya, baik moral maupun
material.
Akhirnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, maka segala kritik dan
saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi bagi semua pihak
yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2006

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Daya Antijamur


Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K Schum) dalam Sediaan Salep”
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada :
1. Anak Agung Purnama, atas bantuan, doa dan kebersamaanya.
2. Ratna Mahmudah Kurniasari, atas motivasi dan bantuannya.
3. New Sakinah Crew (Markas Besar TIN 38) : Ikund, Agus, Wanto, Wawan,
Slamet, Anas, Galih, Dhani, Ardi, Chairil, Pupunk, Dicki, dan Azmidi,
atas bantuan, kebersamaan dan semangatnya.
4. Dian K, Linda, Ferry, Dini, Hevy, Yeni, Efi, Feby, Teh Ratih atas
motivasi, bantuan, serta masukan-masukan yang sangat berharga.
5. Mommy, Wini, Astrid, DP, Debbi, Anne, QQ, Rahmi, Wina, Arya, Affan,
AY, Kunang dan Jhon untuk dukungan dan persahabatannya.
6. Teman-teman di BPPP : Lidya, Alis, Neni, Iyus, Tria, Tika, Fiena, Ratih,
atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Teman-teman TINers 38 yang telah memberikan persahabatan dan
kenangan yang indah.
.

Bogor, Februari 2006

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……………………………………………………………. i
DAFTAR TABEL………………………………………………............. iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… iv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. v
I. PENDAHULUAN………………………………………….............. 1
A. LATAR BELAKANG……………………………….................. 1
B. TUJUAN PENELITIAN ...…….……………………………….. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 3
A. LENGKUAS ................................................................................. 3
1. Botani tanaman lengkuas ……………………………………. 3
2. Syarat tumbuh........…………..………………………………. 4
3. Kandungan kimia……………………………………………… 4
4. Potensi tanaman lengkuas…………………………………….. 6
5. Penggunaan lengkuas ………………………………………… 7
B. ANTIJAMUR.................. ...................……………….…............. 8
1. Pengertian.................................................................................. 8
2. Cara kerja .................................................................................. 9
3. Pengujian aktivitas antijamur .................................................... 9
C. PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN JAMUR ................ 11
D. SALEP (Unguentum) .................................................................... 14
III. METODOLOGI .................................................................................. 16
A. ALAT DAN BAHAN ................................................................... 16
B. METODE PENELITIAN .............................................................. 16
1. PENELITIAN PENDAHULUAN ................................................ 16
1.1. Pengolahan simplisia lengkuas .................................................... 16
1.2. Ekstraksi....................................................................................... 17
1.3. Penentuan jamur uji terbaik ......................................................... 18
1.4. Penentuan rentang konsentrasi hambatan .................................... 18
2. PENELITIAN UTAMA................................................................ 19
2.1. Pembuatan salep antijamur .......................................................... 19
2.2. Pengujian efektifitas salep antijamur ........................................... 21
2.3. Pengujian sifat fisik salep antijamur ............................................ 21
C. RANCANGAN PERCOBAAN .................................................... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 23
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................... 23
1. Analisis mutu bahan baku ............................................................. 23
2. Ekstraksi ........................................................................................ 26
3. Penentuan jamur uji terbaik .......................................................... 28
4. Penentuan rentang konsentrasi hambatan ..................................... 29
B. PENELITIAN UTAMA...................................................................... 30
1. Daya antijmur................................................................................ 30
2. pH sediaan ..................................................................................... 35
3. Stabilitas emulsi ............................................................................ 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 39
LAMPIRAN .............................................................................................. 42

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Komposisi rimpang lengkuas kering ......................................... 5
Tabel 2. Aktivitas beberapa komponen bioaktif pada rempah-rempah ... 6
Tabel 3. Luas panen tanaman obat di Indonesia tahun 1999 – 2002 ....... 7
Tabel 4. Produktivitas tanaman obat tahun 1999 – 2002 ......................... 7
Tabel 5. Persyaratan simplisia lengkuas .................................................. 17
Tabel 6. Komposisi bahan dalam formulasi sediaan salep ...................... 19
Tabel 7. Hasil analisis mutu bubuk lengkuas merah ................................ 24
Tabel 8. Diameter hambatan jamur pada konsentrasi
ekstrak lengkuas 5%................................................................... 28

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Diagram alir ekstraksi simplisia lengkuas............................... 17
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan salep minyak dalam air ....... 20
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan salep air dalam minyak ....... 20
Gambar 4. Tampilan simplisia lengkuas merah ........................................ 23
Gambar 5. Ekstrak etanol lengkuas merah................................................ 27
Gambar 6. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b)
T. mentagrophytes ................................................................... 29
Gambar 7. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b)
M. canis ................................................................................... 29
Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah
dalam dua dasar salep terhadap diameter hambatan
T. mentagrophytes ................................................................... 31
Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah
dalam dua dasar salep terhadap diameter hambatan
M. canis ................................................................................... 31
Gambar 10. Grafik perbandingan nilai diameter hambat
T. mentagrophytes dan M. canis
pada konsentrasi 0,5%, 1%, 3%, dan 5% dalam
dasar salep o/w ....................................................................... 33
Gambar11. Grafik perbandingan nilai diameter hambat
T. mentagrophytes dan M. canis
pada konsentrasi 0,5%, 1%, 3%, dan 5%
dalam dasar salep w/o ............................................................ 33
Gambar 12.Rumus bangun senyawa aktif antijamur dalam
lengkuas merah ...................................................................... 35
Gambar 13.Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas
terhadap nilai pH produk........................................................ 36
Gambar 14. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas
terhadap nilai stabilitas emulsi ............................................... 37
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Tata cara analisis bubuk lengkuas ...................................... 42
Lampiran 2. Tata cara analisis sifat fisik salep ....................................... 44
Lampiran 3. Hasil analisis mutu bahan baku .......................................... 45
Lampiran 4. Zona hambatan 4 jamur uji pada
penelitian pendahuluan ....................................................... 47
Lampiran 5. Hasil pengukuran diameter hambatan ................................ 48
Lampiran 6. Analisis ragam untuk daya antijamur ................................. 49
Lampiran 7. Tampilan zona hambatan T. mentagrophytes
dan M. canis ........................................................................ 50
Lampiran 8. Hasil pengukuran nilai pH sediaan ..................................... 53
Lampiran 9. Analisis ragam untuk pH sediaan ....................................... 54
Lampiran 10. Hasil pengukuran stabilitas emulsi ..................................... 55
Lampiran 11. Analisis ragam untuk stabilitas emulsi ............................... 56
Lampiran 12. Penampakan salep .............................................................. 57
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa jenis jamur merupakan


salah satu masalah utama negara-negara di daerah tropis seperti di Indonesia.
Kondisi kulit yang mudah berkeringat dan lembab, kebersihan diri yang tidak
terjaga dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan merupakan faktor yang
memungkinkan pertumbuhan jamur penyebab penyakit kulit.
Pengembangan obat-obatan tradisional yang berasal dari bahan-bahan
alam telah mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat karena
potensinya cukup tinggi. Salah satu upaya dalam hal ini adalah dengan
meningkatkan bentuk obat tradisional menjadi fitofarmaka agar dapat diterima
dalam pengobatan formal. Hal ini pun ditunjang oleh kekayaan hayati
Indonesia yang beraneka ragam dengan berbagai tanaman yang berkhasiat
mencegah, mengurangi atau menghilangkan gangguan fisiologik tubuh, serta
ada pula yang memiliki daya antibakteri dan antijamur, diantaranya adalah
lengkuas.
Tanaman lengkuas merupakan salah satu komoditi tanaman obat yang
potensial untuk dikembangkan. Data luas panen tanaman lengkuas dan
produktivitasnya pada tahun 1999-2002, menunjukkan bahwa luas panen
lengkuas pada selang tersebut berturut-turut adalah 7.881.241 m2, 16.185.905
m2, 15.958.475 m2, dan 11.480.646 m2, sedangkan produktivitasnya pada
adalah 1,51 kg/m2, 1,7 kg/m2, 1,64 kg/m2, dan 2 kg/m2 (Dirjen Bina Produksi
Hortikutura, 2003).
Rimpang lengkuas telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk
mengobati radang lambung, kolik, panu, eksim,jerawat, koreng, bisul, kurap
dan bercak-bercak kulit. Shelef (1983) meyatakan bahwa ekstrak lengkuas
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (Staphylococcus
aureus) dan Gram negatif (Salmonella typhosa). Hasil penelitian
Mulyaningsih (1996) juga menyatakan bahwa minyak atsiri lengkuas merah
mempunyai aktivitas antifungi dengan konsentrasi hambat minimum 3,13%
(v/v) terhadap C. albicans.
Salep merupakan sediaan emulsi setengah padat yang banyak digunakan
untuk menghantarkan bahan obat. Pemilihan dasar salep yang tepat dapat
mempengaruhi efektivitas senyawa obat yang dihantarkan (Jenkins et al.,
1957). Penambahan ekstrak lengkuas ke dalam sediaan salep dapat
meningkatkan nilai tambah lengkuas merah sebagai bahan obat. Salep
antijamur dengan bahan aktif yang berasal dari lengkuas merah diperkirakan
mampu menghambat beberapa jamur penyebab penyakit kulit, terutama yang
bersifat lokal.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Mengidentifikasi potensi bahan aktif rimpang lengkuas merah dalam
menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit mikosis lokal
kulit seperti T. rubrum, T. mentagrophytes, M. canis dan C. albicans.
2. Mengetahui pengaruh penambahan ekstrak lengkuas ke dalam dua
sediaan salep yaitu basis minyak dalam air (o/w) dan air dalam minyak
(w/o) terhadap kualitas salep, seperti daya antijamur, pH dan stabilitas
emulsi sediaan salep.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. LENGKUAS

1. Botani Tanaman Lengkuas

Lengkuas termasuk terna tumbuhan tegak yang tinggi batangnya


mencapai 2 – 2,5 meter. Ada 2 jenis lengkuas yang dikenal yaitu varietas
dengan rimpang berwarna putih dan merah. Tanaman ini memiliki akar tak
teratur. Pada lapisan luar terdapat kulit tipis berwarna coklat sedangkan di
bagian tangkai yang berbentuk umbi berwarna merah. Bagian dalam
berwarna putih dan jika dikeringkan menjadi kehijau-hijauan. Lengkuas
mempunyai batang pohon yang terdiri atas susunan pelepah-pelepah daun.
Daun-daunnya berbentuk bulat panjang dan antara daun yang terdapat pada
bagian bawah terdiri atas pelepah-pelepah saja, sedangkan bagian atas
batang terdiri dari pelepah-pelepah lengkap dengan helaian daun. Bunganya
juga muncul pada pada bagian ujung tumbuhan. Rimpang umbi lengkuas
selain berserat kasar juga memiliki aroma yang khas (Anonim,1999).
Klasifikasi tanaman lengkuas berdasarkan adalah sebagai berikut
(Anonim, 2000) :
Kerajaan : Plantae
Subkerajaan : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Klas : Liliopsida
Subklas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Genus : Alpinia Roxb.
Spesies : Alpinia purpurata K Schum
2. Syarat Tumbuh

Tanaman lengkuas dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai


dataran tinggi, kurang lebih 1200 meter di atas permukaan laut. Curah
hujan tahunan di daerah tempat tumbuh berada pada kisaran 2500 – 4000
mm/tahun. Bulan basah (di atas 100 mm/bulan) lamanya antara 7 – 9
bulan, sedangkan bulan kering (di bawah 60 mm/bulan) lamanya antara
3 – 5 bulan. Suhu udara berkisar antara 25oC –29 oC, kelembaban udara
sedang, dan intensitas penyinaran tinggi (Anonim, 2000).
Jenis tanah yang cocok untuk tumbuhnya tanaman lengkuas adalah
latosol merah coklat, andosol, dan aluvial. Tekstur tanah dapat bervariasi
antara lempung berliat, lempung berpasir, lempung merah, dan lateristik.
Kedalaman air tanah sekitar 50 – 100 cm dari permukaan tanah.
Kedalaman perakaran antara 10 – 30 cm dari permukaan tanah. Tingkat
kesuburan tanah harus berada pada kisaran sedang – tinggi dengan sistem
pengairan yang baik (Anonim, 2000).

3. Kandungan Kimia

Lengkuas yang dikenal kaya akan kandungan kimia mengandung lebih


kurang 1% minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri
dari metil-sinamat 48%, sineol 20% - 30%, eugenol, kamfer 1%,
seskuiterpen, dan δ-pinen (Mc Vicar, 1994). Selain itu, lengkuas juga
mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang
disebut kamferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat,
kuersetin, amilum, dan beberapa senyawa flavonoid (Anonim, 2000).
Komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya dari golongan
Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis flavonoid yang merupakan
golongan fenolik terbesar dan terpenoid. Pada golongan flavonoid dikenal
golongan flavonol. Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman
misalnya yang terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuerstin
dan mirisetin. Salah satu golongan flavonoid adalah kalkon. Kalkon adalah
komponen yang berwarna kuning terang. Komponen lainnya yang
ditemukan pada Alpinia adalah flavonon. Komponen flavonon dan
dihidroflavonol dikenal sebagai senyawa yang bersifat fungistatik dan
fungisida dan yang terdapat pada tumbuhan Alpinia dan Kaempferia dari
golongan Zingiberaceae adalah alpinetin.
Bentuk senyawa bioaktif lainnya adalah dari golongan terpenoid.
Golongan ini dikenal sebagai kelompok utama pada tanaman sebagai
penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5H8)n atau
dengan satu unit isopren. Jumlah n menunjukkan klasifikasi pada terpenoid
yang dikenal dengan monoterpen, seskwiterpen, diterpen, triterpen,
tetraterpen dan politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik dan
ada yang tidak (Wallis, 1981). Komposisi rimpang lengkuas kering dapat
dilihat pada Tabel 1, sedangkan aktivitas beberapa komponen bioaktif pada
rempah-rempah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Rimpang Lengkuas Kering


Komponen Kandungan (%)
Air 7,65
Abu 12,28
Lemak 1,59
Pati 26,44
Serat kasar 11,55
Protein 3,07
Minyak atsiri 0,27
Kamferid 0,07
Mineral 0,03
Sumber : Rosdiyati (1980) Di dalam Kholid (2000)
Tabel 2. Aktivitas Beberapa Komponen Bioaktif pada Rempah-rempah
Beberapa Aktivitas
Jenis Rempah 2) Jenis Komponen 2)
Bioaktif 1)
Jahe Gingerol Antikoagulan,
menurunkan kadar
kolesterol
Adas, Anis Bintang Anethole Ekspektoran,
antiinflamasi
Sereh Sitronelal, Sitronellol Insektisida
Cengkeh Eugenol Antiinflamasi,
antikarminativa,
stimulan, antimikroba
Kapulaga Terpineol Antialergik, antiseptik,
bakterisida
Kayu putih, eucalyptus Sineol Antiseptik, bakterisida,
herbisida
Ketumbar l-borneol Antiinflamasi
Lada Piperin Stimulan,
menghangatkan tubuh
Pala d-pinene,d-camphene Ekspektoran, stimulan,
antikarminativa
Akar wangi Vetiverol Diaforetik
Kayu manis Sinamaldehid Antikarminativa,
spasmolitik,
antimikroba
Lengkuas Kuersetin, kaemferol Antimikroba,
antioksidan
Sumber : 1) Malaysian Herbal Database (2003)
2) Ketaren (1985)

4. Potensi Tanaman Lengkuas

Tanaman lengkuas tergolong ke dalam tanaman obat yang potensial


untuk dikembangkan karena luas panen yang besar dan produktivitasnya
yang tinggi. Tabel mengenai luas panen dan produktivitas tanaman
lengkuas berturut-turut disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3. Luas Panen Tanaman Obat Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999 - 2002
No KOMODITAS LUAS PANEN TANAMAN OBAT (m2), TAHUN
1999 2000 2001 2002
1 Jahe 77.269.296 76.135.306 85.090.013 66.102.436
2 Lengkuas 7.881.241 16.185.905 15.958.475 11.480.646
3 Kencur 8.098.144 12.829.624 12.166.828 8.547.922
4 Kunyit 11.791.045 17.894.238 18.292.769 16.840.783
5 Lempuyang 2.235.095 2.564.077 3.817.085 2.554.551
6 Temulawak 4.330.344 6.014.696 5.612.786 5.075.686
7 Temuireng 3.416.735 3.613.238 2.837.349 2.655.692
8 Kejibeling 747.905 685.542 847.975 608.894
9 Dringo 290.214 285.238 402.479 506.236
10 Kapulaga 3.013.050 3.504.163 3.268.544 4.855.309
Jumlah 119.073.069 139.712.027 148.294.303 119.228.155
Sumber : Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2003)

Tabel 4. Produktivitas Tanaman Obat Biofarmaka Tahun 1999 – 2002


No KOMODITAS PRODUKTIVITAS TANAMAN OBAT (Kg/m2),
TAHUN
1999 2000 2001 2002
1 Jahe 1,43 1,51 1,51 2
2 Lengkuas 1,51 1,70 1,64 2
3 Kencur 0,72 0,74 0,91 2
4 Kunyit 1,30 1,39 1,49 1
5 Lempuyang 1,60 1,75 1,26 2
6 Temulawak 1,07 0,94 1,08 1
7 Temuireng 0,54 0,79 0,59 1
8 Kejibeling 0,54 0,69 0,80 1
9 Dringo 0,71 0,49 0,28 1
10 Kapulaga 0,33 0,71 0,59 1
Jumlah 1,35 1,38 1,4 1,7
Sumber : Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2003)

5. Penggunaan Lengkuas

Lengkuas dikenal sebagai tanaman penghasil bahan pewangi dan


penambah flavor masakan. Rimpang yang muda dan segar dapat
dimanfaatkan untuk mengawetkan masakan. Rimpang lengkuas yang
berwarna putih pemanfaatannya banyak digunakan pada bidang pangan.
Rimpang lengkuas selama ini dikenal sebagai pengempuk daging dalam
masakan dan digunakan sebagai salah satu rempah bagi berbagai jenis
bumbu masakan tradisional Indonesia (Heyne, 1987).
Lengkuas yang biasanya digunakan untuk pengobatan adalah jenis
lengkuas merah. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional
lainnya disebutkan, lengkuas merah mempunyai sifat antijamur dan
antikembung. Efek farmakologi ini umumnya diperoleh dari rimpang yang
mengandung basonin, eugenol, galangan dan galangol. Basonin dikenal
memiliki efek merangsang semangat, eugenol sebagai antijamur C. albicans,
antikejang, analgetik, dan anastetik, galangan meredakan rasa lelah,
meredakan rasa lelah dan antimutagenik, sementara galangol dapat
merangsang semangat dan menghangatkan tubuh (Anonim, 2003).
Khasiat rimpang lengkuas juga sudah dibuktikan secara ilmiah melalui
berbagai penelitian sebagai antijamur. Secara tradisional sejak zaman
dahulu, parutan rimpang lengkuas kerap digunakan sebagai obat penyakit
kulit, terutama yang disebabkan oleh jamur seperti panu, kurap, eksim,
jerawat, koreng, bisul, dan sebagainya (Anonim, 2000).

B. ANTIJAMUR

1. Pengertian

Menurut Ganiswara (1995), zat antijamur merupakan bahan yang


dapat membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen
bagi manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, senyawa antifungi dibagi
atas fungisida dan fungistatik. Fungisida yaitu senyawa antijamur yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur
menjadi hancur karena lisis, akibatnya jamur tidak dapat bereproduksi
kembali, meskipun kontak dengan obat telah dihentikan. Fungistatik yaitu
senyawa antijamur yang mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan jamur sehingga jumlah sel jamur yang hidup relatif tetap.
Pertumbuhan jamur akan berlangsung kembali bila kontak dengan obat
dihentikan.
2. Cara Kerja

Menurut Ganiswara (1995), berdasarkan cara kerjanya, obat antijamur


dibedakan menjadi 4 yaitu :
a) Berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur.
Ikatan ini mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi
kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan
yang tetap pada sel jamur. Contoh: nistatin dan amfoterisin.
b) Masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminasi dan
dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami
deaminase menjadi 5-fluorourasil. Sintesis protein sel jamur
terganggu akibat penghambatan langsung sintetis DNA oleh
metabolit fluorourasil. Contoh : flusitosin.
c) Menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler
dalam sel. Contoh : griseofulvin.
d) Menimbulkan gangguan terhadap sintesis asam nukleat atau
penimbunan peroksida dalam sel jamur sehingga terjadi kerusakan
dinding sel yang mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat
intrasel meningkat. Contoh : imidazol (mikonazol, klotrimazol).

3. Pengujian Aktivitas Antijamur

Pengujian aktivitas antijamur sama artinya dengan menentukan


kerentanan jamur terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang
mempengaruhi aktivitas antijamur in vitro antara lain adalah pH lingkungan,
komponen media, stabilitas zat antijamur, ukuran inokulum, masa inkubasi,
dan aktivitas metabolisme mikroorganisme (Asmaedy, 1991). Menurut
Ganiswara (1995), metode pengujian aktivitas antijamur in vitro berdasarkan
prinsipnya dibagi menjadi :
a) Metode Difusi
Pada metode ini zat antijamur ditentukan aktivitasnya
berdasarkan kemampuan berdifusi pada lempeng agar yang telah
diinokulasi dengan jamur uji. Dasar pengamatannya adalah dengan
melihat ada atau tidaknya zona hambatan (daerah bening yang tidak
memperlihatkan adanya pertumbuhan jamur) yang terbentuk
disekeliling zat antijamur. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu :
a.1. Cara cakram (disc)
Pada cara ini dipergunakan cakram kertas saring yang
mengandung suatu zat antijamur dengan kekuatan tertentu yang
diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan
jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 7
sampai 14 hari. Pengamatan dilakukan terhadap daerah bening
yang terbentuk di sekeliling kertas cakram yang menunjukkan
zona hambatan pertumbuhan jamur.
a.2. Cara sumur
Pada lempeng agar yang telah diinokulasi oleh jamur uji
dibuat sebidang sumur. Sumur kemudian diisi dengan zat uji,
diinkubasi 37oC selama 7 sampai 14 hari. Pengamatan dilakukan
dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling
sumur.
b) Metode Dilusi
Pada metode ini zat antijamur dicampur dengan media agar
yang kemudian diinokulasi dengan jamur uji. Pengamatan dilakukan
dengan melihat tumbuh atau tidaknya jamur dalam media. Aktivitas
zat antijamur ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat
minimum (KHM), yaitu konsentrasi hambatan terkecil dari zat
antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji. Metode
ini dapat dilakukan dengan 2 cara :
b.1. Cara penipisan lempeng agar
Pada cara ini, zat uji diencerkan sehingga diperoleh suatu
larutan uji yang mengandung 100μg/mL, larutan ini sebagai
larutan sediaan. Dari larutan sediaan dibuat secara serial
penipisan larutan uji dengan metode pengenceran kelipatan dua
dalam media agar yang masih cair, kemudian dituang ke dalam
cawan petri. Jamur uji diinokulasikan setelah agar membeku dan
kering. Zat diinkubasi pada suhu 37oC selama 7 sampai 14 hari.
Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM.
b.2. Cara pengenceran tabung
Prinsip dari cara ini adalah penghambatan pertumbuhan
jamur dalam pembenihan cair oleh suatu zat antijamur yang
dicampur ke dalam pembenihan. Zat uji diencerkan secara serial
dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media cair,
kemudian diinokulasi dengan jamur uji dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan
sebagai KHM.

C. PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN JAMUR

Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur dapat bersifat mikosis sistemik
ataupun mikosis lokal kulit. Mikosis sistemik yang mempengaruhi organ
internal dan viseral biasanya disebabkan oleh Candida albicans, Aspergillus
fumigatus, Cryptococcus, Torulopsis dan Mucor, sedangkan mikosis lokal
yang mempengaruhi jaringan kutan biasanya disebabkan oleh jenis
Tricophyton (mentagrophytes dan rubrum), Epidermophyton floccosum,
maupun Candida albicans (Jungerman dan Robert, 1972).
Mikosis lokal kulit (dermatomikosis) terjadi di seluruh dunia, dan jenis ini
adalah penyakit yang paling sering menginfeksi manusia. Badan kesehatan
dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 20% dari total penduduk dunia
menderita penyakit ini, dan persentase ini bahkan lebih tinggi di daerah tropis
dan subtropis. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh jamur
dermatofit yang menginfeksi kulit, rambut dan kuku (Allevato, 1999).
Salah satu contoh mikosis lokal kulit adalah ringworm atau disebut juga
tinea. Ringworm biasanya menyerang tubuh ataupun wajah manusia. Penyakit
ini biasanya terjadi di daerah tropis dan menyerang laki-laki ataupun wanita
dari berbagai usia. Ringworm terjadi akibat infeksi yang disebabkan oleh
jamur dari golongan dermatofit (Al-Doory, 1980).
Greenwood et al. (1995) menyatakan bahwa jamur dari golongan
dermatofit menyerang permukaan rambut, kulit dan kuku. Jamur dari
golongan dermatofit menginfeksi dan hidup pada jaringan keratin yang mati,
tepatnya pada lapisan paling atas dari epidermis. Ringworm dapat terjadi
melalui kontak secara langsung ataupun tidak langsung antara manusia dan
hewan yang telah terinfeksi.
Studi lebih lanjut yang dilakukan Raymond Sabouraud pada tahun 1910
menunjukkan bahwa terdapat tiga genus jamur dermatofit yang merupakan
penyebab paling umum timbulnya ringworm, yaitu Microsporum, Tricophyton
dan Epidermophyton (Soltys, 1963). Selain itu, mikosis lokal kulit juga dapat
disebabkan oleh C. albicans yang menimbulkan penyakit kandidosis
(Al-Doory, 1980).
Genus Microsporum meliputi beberapa spesies seperti M. canis,
M. audouini, M. gypseum, M. equinum. Genus Tricophyton meliputi
T. mentagrophytes, T. verrucosum, T. equinum, T. rubrum, T. schoenleini,
T. tonsurans, dan T. gallinæ. Dari genus Epidermophyton hanya terdapat
E. floccosum (Soltys, 1963).
1. M. canis
M. canis termasuk fungi imperfecti (deuteromycetes), tetapi stadium
seksual dari jamur ini telah ditemukan dan diberi nama Arthroderma otae.
Pada medium agar Sabouraud, pertumbuhan koloni cepat, koloni berwarna
putih pada permukaan agar dan berwarna kuning pada sisi sebaliknya.
Jamur ini membentuk banyak makrokonidia multiseluler dengan ukuran
10 – 150 μm yang terdiri dari 8 – 15 sel berdinding tebal yang biasanya
mempunyai ujung-ujung melengkung atau kail berduri. Jamur ini
berbentuk kumparan dan terbentuk pada konidiospora khusus (Jawetz,
1980).
M. canis merupakan penyebab penyakit tinea capitis, yaitu
dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut. Kelainan ini ditandai dengan
kulit bersisik, kemerah-merahan, kebotakan dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat atau disebut kerion yaitu reaksi
peradangan yang berat, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang
lebah (Dubos, 1948).
2. T. rubrum
Jamur ini termasuk dalam famili Moniliaceae yang telah ditemukan
stadium seksualnya yang diberi nama Arthroderma simii. Pada medium
agar Sabouraud, pertumbuhan koloninya lambat, koloni berwarna putih
seperti kapas pada permukaan agar dan berwarna merah pada sisi
sebaliknya. Jamur ini mempunyai mikrokonidia berukuran 2 -5 μm yang
berbentuk lonjong di sepanjang sisi-sisi hifa. Selain itu, jamur ini juga
tumbuh pada sisi lateral hifa dan berkelompok seperti pohon cemara
(Rippon, 1988).
Jamur ini menyebabkan penyakit tinea cruris yang menginfeksi
jaringan antara jari-jari kaki dan lipatan paha. Pada daerah antara jari-jari
kaki, penderita mengalami gatal-gatal, kulit bersisik dan pecah-pecah.
Dermatofitis pada lipatan paha dapat bersifat akut maupun menahun.
Kelainan kulit yang tampak pada paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. (Djuanda,
1987).
3. E. floccosum
Jamur ini termasuk fungi imperfecti dari familia Moniliaceae. Pada
medium agar Sabouraud, sifat pertumbuhan koloninya lambat dan
koloninya berwarna putih yang kemudian akan berubah menjadi
kehijauan. Pada genus ini hanya terbentuk mikrokonidia berbentuk
tongkat, terdiri dari 1 sampai 5 sel. Jamur ini juga merupakan penyebab
penyakit tinea pedis dan tinea cruris. Jamur ini menyerang sel epidermis,
khususnya di daerah lipatan paha dan lipatan di bawah payudara. Selain itu
jamur ini dapat juga menginfeksi jaringan di antara jari-jari kaki (Djuanda,
1987).
4. T. mentagrophytes
Jamur ini termasuk famili Moniliaceae yang telah memiliki stadium
seksual yang diberi nama Arthroderma vanbreu seghemii. Dalam biakan,
koloni jamur ini berkisar dari granular sampai serbuk, dan biasanya
menunjukkan banyak kelompok mikrokonidia subsferis yang menyerupai
tangkai buah anggur pada cabang-cabang terminalnya. Koloni jamur ini
berbulu putih seperti kapas dan hanya sedikit mengandung makrokonidia
berukuran 6 – 20 μm dengan 2 sampai 8 septa.
Jamur ini merupakan penyebab penyakit tinea pedis. Jamur ini
menginfeksi jari-jari kaki dengan mula-mula terdapat rasa gatal antara jari-
jari dan berkembang menjadi daerah maserasi vesikel yang terdapat pada
daerah antara jari dan meluas ke telapak kaki. Jika infeksi ini berlangsung
lama, maka jamur ini juga akan menginfeksi kuku, dimana kuku menjadi
kuning, rapuh, tebal dan hancur (Al-Doory, 1980).
5. C. albicans
C. albicans merupakan jamur yang seperti khamir, berbentuk oval,
memproduksi blastospora dan pseudomiselium dalam jaringannya, dan
tumbuh pada temperatur ruang dan pada suhu 37oC. C. albicans
merupakan flora umum yang terdapat dalam tubuh manusia, terutama pada
mulut dan saluran intestinal. C. albicans dapat menyebabkan infeksi
membran mukosa pada mulut dan vagina, infeksi kulit, infeksi kuku, dan
infeksi sistemik (Dubos, 1948).

D. SALEP (unguentum)

Salep adalah gel dengan perubahan bentuk plastis yang ditentukan untuk
penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka atau pada selaput lendir (hidung,
mata). Salep pada pokoknya berlaku untuk terapi lokal (Voigt, 1994).
Ditambahkan pula oleh Jenkins et al. (1957), salep biasanya mengandung
obat-obatan yang dipakai di luar tubuh dan memiliki konsistensi yang kuat
yang jika dioleskan pada kulit akan melunak dan membentuk lapisan di atas
kulit. Proporsi bahan dalam sediaan salep dapat berubah-ubah untuk
mempertahankan konsistensi, sedangkan proporsi bahan aktif di dalamnya
tidak berubah (Anonim, 1955).
Pemakaian salep adalah untuk daerah topikal yang diperuntukkan sebagai
protektan, antiseptik, emolien, antipruritik, keratolitik, dan astringents.
Pemilihan dasar salep yang tepat sangat penting untuk efektivitas fungsi yang
diinginkan. Untuk salep yang berfungsi sebagai protektan, maka dasar salep
harus bersifat melindungi kulit dari kelembaban, udara, sinar matahari, dan
faktor eksternal lainnya. Salep antiseptik digunakan untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Seringkali infeksi oleh bakteri terjadi jauh
di dalam lapisan kulit, sehingga dasar salep untuk pembuatan salep antiseptik
harus memiliki kemampuan untuk meresap ke dalam kulit dan melepaskan
bahan aktif yang berfungsi sebagai obat (Anonim, 2005).
Menurut jenis distribusi bahan obat dalam medium penyangganya, maka
salep dibedakan atas salep larutan, salep suspensi, dan salep emulsi. Salep
larutan dan salep suspensi berbeda, tergantung pada sifat kelarutan dari bahan
obat terlarut atau tersuspensi dalam dasar salep. Salep mengandung air dengan
penambahan emulgator secara umum dinyatakan sebagai salep emulsi
(Voigt, 1994).
Salep emulsi terdiri atas dua jenis yaitu jenis minyak dalam air (o/w) dan
jenis air dalam minyak (w/o). Dasar salep o/w memiliki keuntungan yaitu
dapat dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan kesan lengket yang tidak
disukai, lebih dapat diterima sebagai dasar sediaan kosmetika, dan umumnya
cocok untuk sediaan salep obat (Jenkins et al., 1957). Dasar salep w/o
memiliki keuntungan yaitu stabilitas emulsinya yang tinggi (Voigt, 1994).
Salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu pencampuran dan
peleburan. Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur
bersama-sama sampai sediaan yang homogen tercapai. Pencampuran
dicampur dalam sebuah lumpang dengan sebuah alu untuk menggerus bahan
bersama-sama. Dalam metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari
salep dicampurkan dengan melebur bersama dan didinginkan dengan
pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen-komponen yang
tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental
setelah didinginkan dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah menguap
ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak
menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. Dalam skala kecil,
peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau gelas piala (Ansel, 1989).
III. METODOLOGI

A. ALAT DAN BAHAN

Peralatan yang digunakan antara lain pisau, penepung jenis piring yang
dilengkapi ayakan 30 mesh, oven, hot plate, labu goyang, penguap-rotasi
hampa udara, labu erlenmeyer 500 ml, pH meter, alat-alat gelas untuk
analisis, tabung reaksi, cawan petri, pipet mikro, erlenmeyer, inkubator,
mikroskop, otoklaf, jarum ose, Haemocytometer Neubauer Improved , dan
pipet pasteur.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang lengkuas
merah kering, berumur panen 11 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat Cibinong Bogor. Bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 96%. Media untuk uji mikrobiologi
adalah Sabouraud agar, dan bahan kimia lainnya untuk analisis. Jamur yang
digunakan dalam pengujian adalah C. albicans dan M. canis yang diperoleh
dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Farmasi Universitas Indonesia,
serta T. rubrum dan T. mentagrophytes yang diperoleh dari Laboratorium
Mikologi Balai Penelitian Veteriner Bogor. Masing-masing jamur uji
merupakan penyebab dermatomikosis.

B. METODE PENELITIAN
1. PENELITIAN PENDAHULUAN
1.1. Pengolahan Simplisia Lengkuas

Bubuk lengkuas dibuat dengan menggunakan metode Farrell (1990), yakni


metode umum yang digunakan untuk pengolahan rempah-rempah termasuk
untuk mendapatkan oleoresin dari rempah-rempah. Sebelum dilakukan
ekstraksi, rimpang lengkuas terlebih dahulu diiris-iris dengan menggunakan
pisau yang menghasilkan irisan setebal 1,5 mm, kemudian dikeringkan dalam
alat pengering (oven blower) selama 12 jam. Selanjutnya rimpang lengkuas
digiling halus dengan mesin penggiling yang dilengkapi ayakan berukuran 30
mesh. Bubuk yang dihasilkan disimpan dalam ruang beku. Bubuk lengkuas
yang dihasilkan dianalisis. Tata cara analisis bubuk lengkuas dapat dilihat
pada Lampiran 1. Persyaratan simplisia lengkuas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persyaratan Simplisia Lengkuas


Spesifikasi Simplisia Lengkuas
Kadar minyak atsiri Minimal 0,5% v/b
Pemerian Bau aromatik; rasa pedas
Kadar abu Maksimal 3,9%
Kadar abu tidak larut dalam asam Maksimal 3,7%
Kadar sari yang larut dalam air Minimal 5,2%
Kadar sari yang larut dalam etanol Minimal 1,7%
Bahan organik asing Maksimal 2%
Penyimpanan Dalam wadah yang tertutup baik
Sumber : Depkes RI (1978)

1.2. Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi berulang selama dua hari


menggunakan pelarut etanol 96%. Secara ringkas, tahapan ekstraksi dapat
dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Diagram alir ekstraksi simplisia lengkuas


1.3. Penentuan Jamur Uji Terbaik

Penentuan jamur uji terbaik dilakukan manggunakan metode sumur


dengan melihat diameter zona hambatan yang terdapat disekeliling sumur.
Pengujian dilakukan terhadap 4 jamur, yaitu C. albicans, T. mentagrophytes,
T. rubrum, dan M. canis. Konsentrasi ekstrak lengkuas yang diujikan adalah
5 %.
Biakan masing-masing jamur uji diambil dari agar miring menggunakan
jarum ose secara aseptik dan diremajakan dalam media cair. Dalam setiap
media terdapat kerapatan spora sebesar 105 cfu/ml. Selanjutnya disiapkan
agar Sabouraud di dalam cawan petri dan masing-masing biakan digoreskan
di atas agar, lalu dibuat sumur-sumur pada agar yang telah digoreskan
biakan jamur uji menggunakan pipet pasteur dengan diameter sumur sebesar
6 mm. Ekstrak yang akan diujikan diisikan ke dalam lubang hingga
kedalaman lubang terisi sempurna, kemudian agar yang sudah berisi ekstrak
diinkubasi selama 2 hari untuk C. albicans dan 7 hari untuk T.
mentagrophytes, T. rubrum, dan M. canis.
Setelah selesai waktu inkubasi, aktivitas antijamur dapat diamati.
Aktivitas antijamur diukur dengan mengurangi diameter total zona hambat
dengan diameter sumur. Jamur yang terpilih untuk digunakan dalam
penelitian utama adalah jamur yang mampu dihambat paling baik yang
ditunjukkan oleh tingginya nilai diameter.

1.4. Penentuan Rentang Konsentrasi Hambatan

Rentang konsentrasi hambatan ditentukan dengan mencoba beberapa


konsentrasi ekstrak secara coba-coba terhadap daya hambat jamur uji.
Penentuan rentang nilai ini dilakukan untuk menentukan batas bawah dan
batas atas faktor perlakuan yang dapat memberikan zona hambatan terbaik
terhadap jamur uji terpilih. Depkes RI (1989) menyatakan bahwa suatu bahan
baru dapat dikatakan memiliki aktivitas antimikroba bila diameter hambatan
yang terbentuk adalah lebih dari sama dengan 6 mm. Oleh karena itu, nilai ini
menjadi batas bawah dari rentang konsentrasi hambatan, sedangkan batas atas
ditentukan berdasarkan zona hambat terbaik pada konsentrasi tertentu yang
meski konsentrasi tersebut dinaikkan tidak akan memberikan hasil yang
berbeda nyata.

2. PENELITIAN UTAMA

2.1. Pembuatan Salep Antijamur

Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh


Himawati dan Erawati (2003) dengan penambahan ekstrak lengkuas sebagai
bahan antijamur dalam berbagai variasi konsentrasi yang ditambahkan pada
masing-masing sediaan. Salep dibuat dengan metode peleburan. Tahapan
pembuatan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3, sedangkan formulasi
salep dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Komposisi Bahan dalam Formulasi Sediaan Salep


Dasar salep air dalam minyak (w/o) Dasar salep minyak dalam air (o/w)
Komposisi formula % (b/b) Komposisi formula % (b/b)
Malam putih 19,97 Polisorbat 80 5
Parafin cair 59,91 Stearil alkohol 9,98
Na-Boraks 1 Gliserol 9,98
Air suling 18,97 Vaselin 24,96
Nipagin 0,1 Air suling 49,93
Nipasol 0,05 Nipagin 0,1
Nipasol 0,05
Gambar 2. Diagram proses produksi salep minyak dalam air (oil in water (o/w))

Gambar 3. Diagram proses produksi salep air dalam minyak (water in oil (w/o))
2.2. Pengujian Efektivitas Salep Antijamur Pada Jamur Uji

Pengujian efektivitas salep antijamur dilakukan untuk mengetahui


perubahan besarnya daya hambat akibat penambahan ekstrak lengkuas merah
pada beberapa taraf konsentrasi dan pada 2 dasar salep yang berbeda.
Penentuan efektivitas salep antijamur dilakukan menggunakan metode sumur
dengan melihat diameter zona bening yang terdapat disekeliling sumur.
Pengujian salep dilakukan terhadap jamur uji terpilih pada beberapa taraf
konsentrasi, sesuai dengan hasil penentuan rentang konsentrasi hambatan
yang telah ditentukan pada penelitian pendahuluan.
Biakan jamur uji terpilih diambil dari agar miring menggunakan jarum ose
secara aseptik dan diremajakan dalam media cair. Dalam setiap media
terdapat kerapatan spora sebesar 105 cfu/ml. Selanjutnya disiapkan agar
Sabouraud di dalam cawan petri dan masing-masing biakan digoreskan di
atas agar. Kemudian, dibuat sumur-sumur pada agar yang telah digoreskan
biakan jamur uji menggunakan pipet pasteur dengan diameter lubang sebesar
6 mm. Salep yang akan diujikan kemudian diisikan kedalam lubang hingga
kedalaman lubang terisi sempurna. Kemudian agar yang sudah berisi bahan
uji diinkubasi dengan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jamur uji
terpilih.
Setelah selesai waktu inkubasi, aktivitas antijamur pada berbagai taraf
konsentrasi diamati. Aktivitas antijamur diukur dengan mengurangi diameter
total zona hambatan dengan diameter sumur.

2.3 Pengujian Terhadap Sifat Fisik Salep Antijamur

Pengujian terhadap karakteristik fisik salep antijamur dilakukan untuk


mengetahui nilai pH dan stabilitas emulsi untuk tiap jenis salep, akibat
penambahan ekstrak lengkuas pada beberapa taraf konsentrasi. Salep yang
diujikan pada pengukuran sifat fisik sediaan terdiri atas dua jenis dasar salep
(A) yaitu, o/w (A1) dan w/o (A2). Pada masing-masing dasar salep
ditambahkan ekstrak lengkuas dengan berbagai ragam konsentrasi (B) antara
lain 0,3% (B1), 0,5% (B2), 1% (B3), 3% (B4), 5% (B5), 7% (B6), dan 10%
(B7). Tata cara pengujian sifat fisik salep dapat dilihat pada Lampiran 2.
C. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap


dengan dua faktor. Model rancangan tersebut adalah :
Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εk (ij)

Yijk = peubah tanggap hasil pengamatan ke-k yang terjadi karena


pengaruh bersama taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B.
μ = rata-rata yang sebenarnya.
Ai = efek taraf ke-i faktor dasar salep
Bj = efek taraf ke-j faktor konsentrasi ekstrak lengkuas
ABij = efek interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
εk (ij) = efek unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan (ij)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Analisis Mutu Bahan Baku

Lengkuas dikenal kaya akan kandungan bahan kimia. Lengkuas yang


biasanya digunakan untuk pengobatan adalah jenis lengkuas merah (Alpinia
purpurata K Schum). Hasil penelitian Rahayu (2000) menunjukkan bahwa
lengkuas merah memberikan daya antimikroba yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lengkuas putih untuk semua bakteri yang diuji yaitu
rata-rata memberikan nilai KHM 16,9 mg/ml untuk lengkuas merah
dibandingkan dengan 20,6 mg/ml untuk lengkuas putih. Dalam farmakologi
Cina dan pengobatan tradisional lainnya disebutkan bahwa lengkuas merah
memiliki sifat antijamur.
Rimpang lengkuas yang telah diolah ke dalam bentuk simplisia haruslah
memiliki mutu yang baik. Untuk mengetahui mutu simplisia maka dilakukan
pengujian terhadap beberapa kriteria mutu seperti yang tercantum dalam
Depkes RI (1978). Hasil pengujian terhadap mutu simplisia disajikan pada
Tabel 7. Tampilan simplisia dapat dilihat pada Gambar 4. Data lengkap hasil
analisis mutu bahan baku disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 4. Tampilan simplisia lengkuas merah


Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Simplisia Lengkuas Merah (kadar bahan, % bk)
Bubuk Simplisia Baku Mutu berdasarkan
Kandungan pada Bahan
Lengkuas Merah Depkes RI (1978)
Kadar air % bb 7,69 -
Kadar abu *) 6,17 Maksimal 3,9
Kadar abu tidak larut dalam asam*) 2,88 Maksimal 3,7
Kadar sari larut dalam air *) 33,22 Minimal 5,2
Kadar sari larut dalam etanol *) 25,40 Minimal 1,7
Kadar minyak atsiri 0,66 Minimal 0,5
Keterangan : *) = rataan ulangan

Kadar air yang terkandung dalam rimpang lengkuas segar sangat tinggi.
Akibat kadar air yang tinggi ini maka bahan menjadi lebih mudah rusak
ketika disimpan karena adanya pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim
penyebab kerusakan. Batas kadar air minimal dimana mikroba masih dapat
tumbuh adalah 14 – 15% (Fardiaz et al., 1992). Voigt (1994) menambahkan
bahwa kandungan air yang terlalu tinggi atau penyimpanan bahan yang
terlalu basah dapat menyebabkan suatu perusakan mikrobial dari material
tumbuhan. Penurunan kadar air hingga mencapai 7,69% melalui proses
pengeringan dapat memperpanjang umur simpan bahan.
Abu secara umum didefinisikan sebagai residu anorganik dari
pembakaran bahan-bahan organik. Komponen-komponen yang umum
terdapat pada senyawa anorganik alami adalah silikat, kalium, natrium,
kalsium, magnesium, mangan, besi, dan lain-lain. Kadar abu merupakan
parameter yang menunjukkan banyaknya bahan anorganik yang ada didalam
produk (Apriyantono et al., 1989). Abu yang terbakar sempurna adalah abu
yang sudah berwarna putih keabuan. Dari hasil analisis diketahui bahwa
kadar abu bahan sebesar 6,17% dan lebih tinggi dari baku mutu yaitu
maksimal 3,9%. Kadar abu yang tinggi ini dapat disebabkan oleh tingginya
kandungan mineral pada lahan tanam ataupun karena proses pemupukan
yang baik selama di lahan.
Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk melihat adanya
kandungan mineral yang tidak larut dalam asam kuat (HCl). Dari hasil
pengujian diketahui bahwa kadar abu tidak larut asam bahan sesuai dengan
ketentuan baku mutu (maksimal 3,7%), yaitu sebesar 2,88%. Nilai kadar abu
tidak larut asam yang relatif kecil dibanding baku mutu dapat disebabkan
oleh proses pencucian dengan air pada bahan tersebut sehingga mineral
menjadi berkurang. Menurut Voigt (1994), proses pendahuluan seperti
pencucian dengan air secara berulang-ulang pada suatu bahan akan
menyebabkan terlarutnya kandungan mineral dalam bahan tersebut oleh air
pencuci sehingga kandungan mineralnya menjadi berkurang.
Kadar sari yang terlarut dalam air atau alkohol menunjukkan adanya zat
berkhasiat yang dapat terlarut dalam pelarut yang digunakan. Semakin tinggi
kadar yang dihasilkan berarti semakin tinggi pula kandungan zat
berkhasiatnya (Gaman dan Sherrington, 1992). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kandungan zat berkhasiat, terutama faktor agronomis seperti
ketinggian tempat, kelembaban, suhu, dan jenis tanah (Gupta, 1999). Nilai
kadar sari larut dalam air bahan yaitu sebesar 33,22% dan telah sesuai dengan
baku mutu yang ditetapkan yaitu minimal 5,2%, sedangkan nilai kadar sari
larut dalam alkohol bahan yaitu sebesar 25,40% dan juga telah sesuai dengan
baku mutu yaitu minimal dengan 1,7%. Nilai kadar sari larut dalam air yang
lebih besar menunjukkan bahwa zat-zat berkhasiat yang berada didalam
lengkuas dapat larut dengan lebih baik didalam air dibandingkan didalam
alkohol. Air sebagai pelarut dapat menarik lendir, amina, vitamin, asam
organik, asam anorganik, ataupun bahan pengotor.
Menurut Wills dan Stuart (2001), dalam setiap jenis tanaman, metabolit
sekunder biasanya berperan sebagai zat berkhasiat, dan akan berkorelasi
positif dengan umur tanaman. Sebagai contoh pada ginseng, kadar
saponinnya akan meningkat dengan meningkatnya umur tanaman.
Kadar minyak atsiri bahan yaitu sebesar 0,66% dan telah sesuai baku
mutu meski hanya berada sedikit diatas batas yang ditetapkan yaitu lebih dari
0,5%. Rimpang lengkuas seharusnya mengandung lebih kurang 1% minyak
atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil sinamat
48%, sineol 20% - 30%, eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen, δ-pinen, dan
galangin. Nilai kadar minyak atsiri yang rendah ini disebabkan oleh waktu
penyulingan yang relatif cepat yaitu 3 jam. Hal ini disebabkan tekstur bahan
yang terlalu halus akibat penggilingan sehingga terjadi penggumpalan yang
menghambat penetrasi uap. Akibatnya penetrasi uap hanya terjadi di
beberapa bagian tumpukan, dan sebagian uap lainnya akan lolos membentuk
jalur uap. Selain itu, rendahnya rendemen minyak atsiri karena pada awal
penyulingan, uap yang terbentuk akan mengembun, dan membasahi bahan
yang akan di suling. Pembasahan ini akan berlangsung terus sampai suhu di
setiap bagian bahan sama dengan titik didih air pada tekanan tertentu.
Pembasahan yang berkelanjutan mengakibatkan terbentuknya gumpalan,
sehingga rendemen minyak yang dihasilkan rendah. Menurut Ketaren (1985),
kadar minyak atsiri yang dihasilkan tergantung dari cara pengolahan sebelum
disuling, umur dan varietas serta sistem penyulingan yang digunakan.

2. Ekstraksi

Zat antijamur dari lengkuas merah diperoleh dengan proses ekstraksi.


Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari
suatu bahan. Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah akibat dari
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan
ekstraksi di luar sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan
menyebabkan protoplasma membengkak, dan bahan kandungan sel akan
terlarut sesuai dengan kelarutannya (Voigt, 1994).
Proses ekstraksi yang dilakukan adalah dengan maserasi. Maserasi
merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana karena bahan yang akan
diekstrak cukup dilarutkan di dalam pelarut pada perbandingan tertentu.
Lamanya maserasi berbeda-beda tergantung pada sifat bahan dan pelarut.
Lamanya harus cukup agar pelarut dapat memasuki protoplasma dengan
sempurna sehingga mampu melarutkan semua zat yang diinginkan untuk
terekstrak. Pada penelitian ini digunakan perbandingan bahan dengan pelarut
yaitu 1 : 3, sedangkan lama maserasi adalah satu hari dengan perendaman
ulang terhadap residu selama satu hari lagi.
Keberhasilan proses ekstraksi ditentukan oleh jenis pelarut yang
digunakan. Jenis pelarut yang digunakan harus dipilih berdasarkan
kemampuan dalam melarutkan zat-zat aktif yang diinginkan tanpa
mengikutsertakan unsur-unsur yang tidak diinginkan. Pelarut yang digunakan
dalam penelitian adalah etanol 96%. Hal ini karena etanol dapat mengekstrak
seluruh bahan aktif yang terkandung dalam lengkuas, terutama yang memiliki
sifat antijamur. Winholz et al. (1983) menyatakan bahwa komponen
antijamur sebagian besar dapat larut dalam alkohol, seperti galangin, eugenol,
kaemferol, dan kuersetin. Voigt ( 1994) juga menyatakan bahwa etanol
sangat sering menghasilkan suatu hasil bahan aktif yang optimal, dimana
bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan pengekstraksi.
Jenis pelarut dan jenis bahan yang diekstrak mempengaruhi warna ekstrak
yang dihasilkan tetapi tidak mempengaruhi baunya. Hal ini membuktikan
bahwa pelarut uji yang digunakan telah menguap sempurna. Ekstrak yang
dihasilkan memiliki warna coklat pekat dengan bau khas lengkuas. Ekstrak
yang diperoleh merupakan ekstrak kasar berbentuk pasta. Rendemen ekstrak
yang diperoleh adalah sebesar 7,63% dengan kadar air sebesar 70,21%.
Rendemen ekstrak menggambarkan besarnya bahan yang dapat ditarik oleh
etanol, dimana bahan-bahan tersebut antara lain alkaloid, glikosida, minyak
atsiri, asam organik, garam anorganik, lemak dan resin. Tampilan ekstrak
yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ekstrak etanol lengkuas merah


3. Penentuan Jamur Uji Terbaik

Pada penentuan jamur uji terbaik diketahui bahwa M. Canis dan


T. mentagrophytes dapat dihambat dengan baik oleh ekstrak lengkuas dengan
konsentrasi 5%. Hal ini didasarkan pada nilai diameter zona hambatan yang
dihasilkan, yaitu di atas 6 mm. Namun, konsentrasi ekstrak 5% tidak dapat
menghambat dengan baik pertumbuhan C. albicans dan T. rubrum karena
nilai diameter zona hambatan di bawah 6 mm. Ekstrak lengkuas dengan
konsentrasi 5% belum dapat dikatakan memiliki sifat antijamur untuk
C. albicans dan T. rubrum. Nilai diameter zona hambatan ekstrak lengkuas
terhadap masing-masing jamur uji dapat dilihat pada Tabel 8. Zona hambatan
masing-masing jamur dapat dilihat pada Lampiran 4.
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka jamur M. canis dan
T. mentagrophytes digunakan dalam penelitian utama. Morfologi
T. mentagrophytes dan M. canis dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Tabel 8. Diameter Zona Hambatan pada Konsentrasi Ekstrak Lengkuas 5%


Diameter Hambatan (mm)
Basis Salep o/w w/o

Jamur Uji D1 D2 D3 Rata-rata (mm) D1 D2 D3 Rata-rata (mm)


CA 3 3 3 3 ± 0,00 3 3 3 3 ± 0,00
TM 34 35 35 34,67 ± 0,22 33 34 32 33 ± 0,67
TR 3 3 3 3 ± 0,00 3 3 3 3 ± 0,00
MC 39 39 40 39,33 ± 0,22 38 38 38 38 ± 0,00
Keterangan : CA = C. albicans
TM = T. mentagrophytes
TR = T. rubrum
MC = M. canis
(a) (b)
Gambar 6. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b) T. mentagrophytes

(a) (b)
Gambar 7. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b) M. canis

4. Penentuan Rentang Konsentrasi Hambatan

Rentang nilai konsentrasi hambatan ditentukan dengan mencoba ekstrak


dalam berbagai variasi konsentrasi ekstrak lengkuas. Penentuan rentang nilai
ini dilakukan untuk menentukan batas bawah dan batas atas faktor perlakuan
yang dapat memberikan diameter zona hambatan terbaik terhadap M. canis
dan T. mentagrophytes.
Dari hasil pengujian diperoleh bahwa jamur sudah dapat terhambat pada
konsentrasi minimal untuk menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes dan
M. canis adalah 0,5 % dan 0,3%, dan pada konsentrasi 10% dan 5%
diperoleh nilai diameter hambatan maksimum untuk T. mentagrophytes dan
M. canis. Meskipun konsentrasi dinaikkan lebih tinggi, maka tidak akan
diperoleh nilai diameter hambatan yang berbeda nyata. Rentang konsentrasi
yang dicobakan pada pengujian efektifitas salep antijamur adalah 0,5%, 1%,
3%, 5%, 7%, dan 10% untuk T. mentagrophytes, serta 0,3%, 0,5%, 1%, 3%,
dan 5% untuk M. canis.

B. PENELITIAN UTAMA

1. Daya Antijamur

Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas senyawa antijamur antara


lain konsentrasi senyawa antijamur, jenis, umur, jumlah dan latar belakang
jamur, suhu, waktu, dan sifat fisik serta kimia. Efektivitas senyawa antijamur
dapat diukur dengan melihat kerentanan jamur uji terhadap bahan yang
diberikan. Salah satu cara uji untuk mengukur kerentanan tersebut adalah
dengan difusi obat. Metode ini dilakukan dengan prinsip menginokulasikan
biakan jamur di atas agar padat pada cawan petri, kemudian bahan yang
mengandung senyawa antijamur diujikan pada permukaan medium untuk
memastikan apakah bahan tersebut dapat mencegah atau mematikan
pertumbuhan jamur. Salah satu cara yang paling umum digunakan adalah
dengan membuat lubang-lubang di atas agar, yang kedalamnya diisikan
bahan dengan konsentrasi yang berbeda-beda (Volk dan Wheeler, 1988).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa untuk kedua jamur uji nilai
diameter hambatan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi ekstrak lengkuas merah di dalam sediaan salep. Hal ini
dikarenakan, semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka kandungan
bahan aktif didalamnya juga akan semakin tinggi, sehingga efektivitasnya
dalam menghambat pertumbuhan jamur akan semakin baik pula. Nilai rata-
rata diameter hambatan T. mentagrophytes dan M. canis serta
kecenderungannya untuk meningkat dapat dilihat pada Gambar 8 dan
Gambar 9. Data lengkap hasil pengukuran diameter hambatan dapat dilihat
pada Lampiran 5.
50

Diameter Hambatan (mm)


45
40
35
30 o/w
25 w/o
20
15
10
5
0
0.5 1 3 5 7 10
Konsentrasi (% )
Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas dalam dua dasar salep
terhadap diameter hambatan T. mentagrophytes

45
Diameter Hambatan (mm)

40
35
30
25 o/w
20 w/o
15
10
5
0
0.3 0.5 1 3 5
Konsentrasi (% )
Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas dalam dua dasar salep
terhadap diameter hambatan M. canis

Berdasarkan hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 6, untuk


jamur T. mentagrophytes dan M. canis, hanya faktor konsentrasi ekstrak yang
memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai diameter hambatan,
sedangkan faktor dasar salep memberikan hasil yang tidak nyata. Meskipun
dari grafik terlihat bahwa ekstrak dalam dasar salep o/w memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dalam dasar salep w/o, hasil analisis ragam
yang tidak nyata menunjukkan bahwa kedua dasar salep dapat digunakan
sebagai pengantar bahan aktif yang baik untuk menekan pertumbuhan kedua
jamur uji. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada α = 0,05 seluruh
taraf konsentrasi memberikan hasil berbeda nyata terhadap nilai diameter
hambatan kedua jamur.
Tingkat kerentanan yang berbeda terhadap efektivitas salep antijamur yang
diberikan juga ditunjukkan oleh kedua jamur uji. M. canis dikatakan lebih
sensitif terhadap bahan aktif di dalam salep antijamur dibandingkan dengan
T. mentagrophytes karena memberikan nilai diameter hambat minimal dan
sudah terhambat secara maksimal pada konsentrasi yang jauh lebih rendah.
Hal ini disimpulkan dengan cara membandingkan nilai diameter hambatan
kedua jamur pada taraf konsentrasi yang sama, dan dari perbandingan
diperoleh bahwa untuk tiap-tiap taraf konsentrasi dalam tiap dasar salep,
M. canis selalu memberikan nilai diameter hambatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan T. mentagrophytes.
Menurut Soltys (1963), T. mentagrophytes memiliki dinding spora yang
tipis dan fase pertumbuhannya sangat cepat, sedangkan M. canis memiliki
dinding spora yang tebal dan fase pertumbuhannya lambat. Horsfall (1956)
menyatakan bahwa kecepatan germinasi spora juga berpengaruh terhadap
daya antijamur. Griffin (1981) menambahkan bahwa, jamur yang mampu
bergerminasi dengan cepat akan lebih sulit dihambat pertumbuhannya oleh
zat antijamur dibandingkan dengan jamur yang bergerminasi lambat.
M. canis, meskipun memiliki dinding spora yang tebal untuk dapat dimasuki
senyawa antijamur namun karena fase germinasi sporanya yang lebih lambat
dibandingkan T. mentagrophytes mengakibatkan kecepatan senyawa
antijamur lebih dulu berpenetrasi kedalam sel sebelum spora bergerminasi.
Hal ini menyebabkan, M. canis dapat terhambat lebih baik dibandingkan
dengan T. mentagrophytes. Perbandingan nilai diameter hambatan ini dapat
dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tampilan zona hambatan
T. mentagrophytes dan M. canis disajikan pada Lampiran 7.
45

Diameter Hambatan (mm)


40
35
30
25 TM (o/w)
20 MC (o/w)
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (%)
Gambar 10. Grafik perbandingan nilai diameter hambatan T. mentagrophytes dan
M. canis pada konsentrasi ekstrak 0,5%, 1%, 3% dan 5% dalam
dasar salep o/w

45
Diameter Hambatan (mm)

40
35
30
TM (w/o)
25
MC (w/o)
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (% )
Gambar 11. Grafik perbandingan nilai diameter hambatan T. mentagrophytes dan
M. canis pada konsentrasi ekstrak 0,5%, 1%, 3% dan 5% dalam dasar
salep w/o

Salep antijamur yang mengandung bahan aktif ekstrak lengkuas


didalamnya bekerja dengan menimbulkan ketidakteraturan membran
sitoplasma jamur. Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000), senyawa
antijamur dan asam lemak tidak jenuh, suatu komponen membran jamur,
dapat membentuk interaksi hidrofob, mengubah permeabilitas membran dan
fungsi pengangkutan senyawa esensial, menyebabkan ketidakseimbangan
metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian
sel jamur.
Senyawa aktif antijamur yang berasal dari lengkuas bersifat polar.
Senyawa ini mampu berikatan dengan asam amino dari protein membentuk
produk konjugasi yang bersifat hidrofilik (Doerge, 1982). Produk konjugasi
yang terbentuk akan menghambat metabolisme sel karena senyawa yang
terbentuk mengubah struktur asam amino yang fungsi awalnya adalah untuk
metabolisme sel. Rumus bangun bahan aktif antijamur dalam lengkuas merah
dapat dilihat pada Gambar 12.
Membran sitoplasma tersusun terutama dari protein dan lemak; karena itu,
membran khususnya bersifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan
tegangan permukaan. Kerusakan pada membran ini memungkinkan ion
anorganik yang penting, nukleotida, koenzim dan asam amino merembes
keluar sel. Selain itu, kerusakan membran juga dapat mencegah masuknya
bahan-bahan penting ke dalam sel. Senyawa antijamur di dalam lengkuas
mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki grup lipofil dan
hidrofil dalam molekulnya. Menurut Voigt (1994), yang termasuk grup
hidrofil antara lain gugus hidroksil, gugus karboksil, gugus karboksil dengan
kation bervalensi satu, gugus sulfat, gugus sulfat dengan kation bervalensi
satu, gugus sulfonat, gugus sulfonat dengan kation bervalensi satu, gugus
amino, gugus amino tersubstitusi, dan ikatan ganda karbon. Grup lipofil
antara lain adalah rantai karbon, cincin karbon, dan grup karboksil dengan
kation bervalensi dua. Di dalam bahan aktif antijamur dari lengkuas, yang
merupakan grup hidrofil adalah gugus hidroksil (-OH), sedangkan cincin
karbon merupakan grup lipofil.
OH
O
OH
OCH3

OH

OH O
CH2CH=CH2

(A) Eugenol (B) Kaempferol


OH

HO O -O
OH HO

OH OH

OH O OH O

(C) Quercetin (D) Galangin


Gambar 12. Rumus bangun senyawa aktif antijamur dalam lengkuas merah

2. pH Sediaan

Derajat keasaman suatu produk ditunjukkan oleh nilai pH produk tersebut.


Kadar keasaman atau pH sediaan topikal harus sesuai dengan pH penerimaan
kulit. Kulit manusia mempunyai pH 4,0 – 5,6, sehingga sediaan topikal
dengan pH lebih besar atau lebih kecil dari pH kulit ada kemungkinan dapat
menyebabkan iritasi (Harry, 1975).
Nilai rata-rata pH salep dengan jenis o/w berada pada kisaran 4,25 -5,45.
Nilai ini sesuai dengan pH kulit sehingga cocok digunakan pada kulit. pH
salep jenis w/o berada pada kisaran 7,7 – 9,2, nilai ini melebihi pH kulit
sehingga bila digunakan produk dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Hasil
pengukuran pH sediaan disajikan pada Lampiran 8.
Konsentrasi ekstrak lengkuas dan tipe salep berpengaruh nyata terhadap
nilai pH produk. Hal ini disebabkan penambahan ekstrak berbanding terbalik
dengan penambahan air, yang berakibat pada penurunan nilai pH. Penurunan
ini dikarenakan berkurangnya jumlah air yang digunakan dalam pembuatan
produk akibat penambahan ekstrak lengkuas yang juga merupakan fase air.
Semakin besar konsentrasi yang digunakan maka semakin kecil pula jumlah
air yang ditambahkan. Pengurangan air inilah yang menyebabkan produk
semakin bersifat asam.Tipe salep berpengaruh nyata terhadap nilai pH karena
pada masing-masing dasar salep, o/w dan w/o terdapat perbedaan kandungan
air. Dasar salep o/w mengandung air dalam jumlah yang besar, sedangkan
dasar salep w/o mengandung miyak dalam jumlah besar, sehingga nilai pH
untuk dasar salep o/w selalu lebih rendah dibandingkan w/o karena air
bersifat lebih asam dibandingkan minyak. Uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa pada α = 0,05 seluruh konsentrasi memberikan hasil yang berbeda
nyata. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 9. Penurunan pH
produk akibat peningkatan konsentrasi ekstrak disajikan pada Gambar 13.

10

6 o/w
pH

4 w/o

0
0.3 0.5 1 3 5 7 10
Konsentrasi ekstrak (%)
Gambar 13. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas terhadap nilai pH
Produk

3. Stabilitas Emulsi

Stabilitas atau kestabilan suatu emulsi merupakan salah satu karakter


terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi.
Stabilitas emulsi akan berpengaruh terhadap daya simpan sistem emulsi
tersebut. Emulsi yang baik tidak membentuk lapisan-lapisan dan memiliki
konsistensi yang tetap (Suryani et al., 2002).
Nilai rata-rata stabilitas emulsi jenis o/w (54,46% - 87,61%) lebih kecil
dibandingkan dengan stabilitas emulsi jenis w/o (93,17% - 97,40%). Voigt
(1994) menyatakan bahwa salep jenis w/o pada umumnya benar-benar stabil.
Kandungan air pun tidak boleh melampaui 60%, karena dapat menyebabkan
suatu aliran bersama dari fase sebelah dalam. Hasil pengukuran stabilitas
emulsi disajikan pada Lampiran 10.
Konsentrasi ekstrak dan tipe salep berpengaruh nyata terhadap stabilitas
emulsi. Peningkatan konsentrasi ekstrak dalam sediaan salep dapat
menyebabkan penurunan nilai stabilitas emulsi. Hal ini diakibatkan oleh sifat
ekstrak lengkuas yang tidak stabil terhadap panas, akibat komponen volatil
yang terkandung didalamnya, sehingga penambahan ekstrak lengkuas ke
dalam sistem emulsi dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem emulsi.
Dasar salep berpengaruh terhadap nilai stabilitas emulsi karena sifat dari
masing-masing dasar salep yang berbeda. Dasar salep o/w memiliki nilai
stabilitas yang lebih rendah karena tingginya kandungan air (65% b/b),
sehingga dapat menyebabkan reaksi hidrolitik yang dapat menyebabkan
kerusakan pada sistem emulsi. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa
pada α = 0,05, hanya konsentrasi 0,3% dan 0,5% yang tidak berbeda nyata
sedangkan konsentrasi lainnya berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan,
kenaikan konsentrasi yang sangat kecil dari 0,3% ke 0,5% tidak
menimbulkan ketidakstabilan sistem emulsi. Hasil analisis ragam dapat
dilihat pada Lampiran 11. Penampakan salep dapat dilihat pada Lampiran 12.
Berikut ini grafik penurunan nilai stabilitas emulsi akibat peningkatan
konsentrasi ekstrak.

120
Stabilitas Emulsi (%)

100

80

60 o/w
w/o
40

20

0
0.3 0.5 1 3 5 7 10
Konsentrasi Ekstrak (%)

Gambar 14. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap nilai stabilitas emulsi
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Rimpang lengkuas merah memiliki potensi sebagai bahan antijamur.


Ekstrak etanol lengkuas merah 5% mampu menghambat pertumbuhan
T. mentagrophytes dan M. canis, namun tidak dapat efektif menghambat
pertumbuhan T. rubrum dan C. albicans. Rentang konsentrasi ekstrak untuk
menghambat pertumbuhan T. mentagrophytes adalah 0,5% - 10% , sedangkan
untuk M. canis adalah 0,3% - 5%. M. canis lebih sensitif terhadap ekstrak
dibandingkan T. mentagrophytes karena memiliki nilai diameter hambatan
yang lebih tinggi pada taraf konsentrasi yang sama. Nilai diameter hambatan
hanya dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak.
Jenis salep o/w memiliki pH yang dapat diterima oleh kulit yaitu 4,25 –
5,45, dan nilai stabilitas emulsinya berada pada kisaran 54,46% - 87,61%. pH
salep w/o adalah 7,7 – 9,2, sehingga tidak cocok untuk digunakan pada kulit
karena dapat menimbulkan iritasi. Stabilitas emulsi salep w/o ada dikisaran
93,17% - 97,40%. Nilai pH sediaan dan stabilitas emulsi dipengaruhi oleh
konsentrasi ekstrak dan dasar salep. Salep terbaik adalah dasar salep o/w
dengan penambahan ekstrak 0,5% karena mampu memberikan nilai diameter
hambatan, pH, dan stabilitas emulsi yang saling berkesesuaian yaitu 6,33 –
7,67 mm, 5,15, dan 85,2%.

B. SARAN

1. Pengujian daya antijamur dari ekstrak lengkuas merah terhadap jamur lain
yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti E. floccosum
dan Microsporum aoudinii.
2. Pengujian terhadap umur simpan salep, dan pengaruhnya terhadap daya
antijamur.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Doory, Y. 1980. Laboratory Medical Mycology. Lea and Febiger, Philadelphia


: 219, 223, 229, 232, 234, 260.

Allevato, M.A.J. 1999. Dermatomycosis: A Multifactorial Disease Didalam


Hydroxy-Pyridones as Antifungal Agents with Special Emphasis on
Onychomycosis, Springer, Germany : 39 – 42.

Anonim. 1955. The National Formulary. Tenth Ed. American Pharmaceutical


Association, Washington D.C : 1692.

Anonim. 1999. Lengkuas. Didalam www.iptek.net.id/ind/cakra_obat.

Anonim. 2000. Alpinia galanga (L). Sw. Didalam www.plants.usda.gov/cgi_bin.

Anonim. 2000. Alpinia galangal (L.) Willd Didalam


www.warintek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman_obat/unas.

Anonim. 2003. Antijamur dan Antikembung. Didalam


www.republica.co.id/suplemen/cetak_detail.asp, 10 Juni 2003.

Anonim. 1996. Ointments: Preparation and Evaluation of Drug Release. Didalam


www.pharmlabs.unc.edu/ointments/text.htm, 2005

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI-Press, Jakarta


: 508 - 510.

Apriyantono.A, D. Fardiaz, N.L.Puspitasari, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis


Pangan. IPB Press, Bogor : 42.

Asmaedy, S. 1991. Uji Mikroorganisme terhadap Lengkuas yang Digunakan


sebagai Antijamur. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang : 14 – 35.

Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia II. Depkes R I, Jakarta : 48 – 54.

Depkes RI. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Depkes RI, Dirjen POM,
Jakarta : 56.

Dirjen Bina Produksi Hortikultura. 2003. Produktivitas Tanaman Lengkuas


Di dalam www.deptan.go.id

Djuanda, A. 1987. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta : 78 – 82.

Doerge, R.F. 1982. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. J.B.Lippincott


Company, USA : 55 – 56.
Dubos, R. J. 1948. Bacterial and Mycotic Infections of Man. J.B.Lippincott
Company Publishers, USA : 1115.

Fardiaz, D, N. Andarwulan, H. Wijaya, dan N.L.Puspitasari. 1992. Teknik


Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB, Bogor : 20.

Farrell, K.T. 1990. Spice, Condiments, and Seasoning 2nd ed. Van Nostrand
Reinhold, New York : 264.

Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan


Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta : 128.

Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FKUI,


Jakarta : 560 – 570.

Greenwood, D, Richard, C.B.S, dan John, F.P. 1995. Medical Microbiology 14th
Ed. Churchill Livingstone, Edinburgh : 320.

Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. John Wiley and Sons, Inc, USA
: 242 – 243.

Gupta, S.S. 1999. Prospects and Prospectives of Natural Plants Products in


Medicine. Indian Journal of Pharmacology Didalam Buletin Penelitian
Tanaman Perkebunan, Bogor.

Harry, R.G. 1975. Harry’s Cosmetology : The Principles and Practice of Modern
Cosmetic. 6th ed. Leonard Hill Book, London : 19.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Terjemahan. Balitbang


Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: 70 -71.

Himawati, E.R dan Tristiana Erawati. 2003. Pengembangan Formulasi Minyak


Cengkeh sebagai Counter Irritant dalam Beberapa Sediaan Topikal. Majalah
Farmasi Airlangga, Vol.3. No.3. Desember 2003, Surabaya : 1 – 4.

Horsfall, J.G. 1956. Principles of Fungicidal Action. Chronica Botanica


Company, USA : 47.

Jawetz, E. 1980. Review of Medical Mycology. Lange Medical Publications,


California : 123 – 124, 366 – 372.

Jenkins, G.L, Don E. F, Edward, A.B, Glen J,S. 1957. The Art of Compounding.
Mac Graw-Hill Book Company, Inc, New York : 339 – 350.

Jungerman, P.F dan Robert, M.S. 1972. Veterinary Medical Mycology. Lea and
Febiger, Philadelpihia : 3 – 21.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka, Jakarta
: 64, 249, 307, 365.

Malaysian Herbal Database. 2003. Herbal Database Didalam


www.content.nhiondemand.com/moh/media/monoherb.

Mc Vicar, J. 1994. Jekka’s Complete Herb Book. Kyle Cathie Limited, London
: 83.

Mulyaningsih, S. 1996. Uji Daya Antifungi dan Analisis Kromatografi Gas


Spektroskopi Massa Minyak Atsiri Laos Merah. Jur. Farmasi FMIPA
UNPAD, Bandung Di dalam Rahayu, W. P. 2000. Kajian Aktivitas dan
Produksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas. FATETA IPB,
Bogor : 5.

Rahayu, W. P. 2000. Kajian Aktivitas dan Produksi Komponen Antimikroba dari


Rimpang Lengkuas. FATETA IPB, Bogor : 26.

Rippon, J.W. 1988. Medical Mycology. W.B Saunders Company, London


: 241 – 257.

Rosdiyati, D. 1980. Analisis dan Penyimpanan Rhizoma Laos. Skripsi AKA.


Departemen Perindustrian, Bogor Di dalam Kholid, A. 2000. Teknik
Ekstraksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas. FATETA IPB,
Bogor : 4.

Siswandono dan Soekarjo. 2000. Kimia Medisinal 2. Airlangga University Press,


Surabaya : 71.

Shelef, L. A. 1983. Antimicrobial Effects of Spices. J. Food Safety 6(1):29-40.

Soltys, M.A. 1963. Bacteria and Fungi Pathogenic to Man and Animals. Bailliere
Tindall and Cox, London : 461- 463.

Suryani, A, I. Sailah, E. Hambali. 2002. Teknologi Emulsi. Jurusan TIN IPB,


Bogor : 35, 154.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta : 563, 564,

Volk dan Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta : 266.

Wills, R.B.H dan Stuart, D.L. 2001. Production of High Quality Australian
Ginseng Di dalam www.rirdc.gov.au/reports : 23 -24.

Windholz, M. Budavari, S. Blumetti, R.F. Ottertein. 1983. The Merck Index.


Tenth Ed. Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biologicals. Merck &
Co., Inc. Rahway, N.J., USA : 3854, 4209, 5112, 7936.
Lampiran 1. Tata Cara Analisis Bubuk Lengkuas Merah

• Uji Kadar Air (Voigt, 1994)


Ke dalam labu 500 ml, dimasukkan bahan secukupnya, sehingga
menghasilkan 2 – 4 ml air. Ditambahkan dalam labu kira-kira 200 ml toluen
dan juga di dalam perangkat penerima, dituangkan toluen lewat mulut atas
kondensor. Labu suling di panaskan perlahan-lahan sampai toluen mendidih.
Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama 15
menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan, dan alat dibiarkan sampai dingin.
Jika air dan toluen telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air
dalam bahan dihitung.

• Kadar Abu (Depkes RI, 1978)


Lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang
dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan
ditara, kemudian diratakan. Zat kemudian dipijarkan perlahan-lahan hingga
arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang
tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas dan disaring melalui
kertas saring bebas abu. Sisa zat dan kertas saring dipijarkan kembali dalam
krus yang sama. Filtrat dimasukkan kedalam krus dan diuapkan, kemudian
dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap
bahan yang telah dikeringkan diudara.
• Kadar Abu tidak Larut Asam (Depkes RI, 1978)
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml
asam klorida encer (P) selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam
dikumpulkan. Bagian yang telah dikumpulkan disaring melalui kertas saring
kemudian dicuci dengan air panas dan setelah itu dipijarkan kembali hingga
bobot tetap lalu ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
• Kadar Sari yang Larut dalam Air (Depkes RI, 1978)
Serbuk yang akan dianalisa dikeringkan di udara, kemudian 5 g serbuk di
maserasi dengan 100 ml air menggunakan labu bersumbat selama 24 jam
sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan
selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan, sebanyak 20 ml filtrat yang
diperoleh diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang
telah ditara, sisa dipanaskan pada suhu 105○ C hingga bobot tetap. Kadar sari
yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.
• Kadar Sari yang Larut dalam Etanol (Depkes RI, 1978)
Serbuk yang akan dianalisis dikeringkan di udara, kemudian 5 g serbuk di
maserasi dengan 100 ml etanol (95%) menggunakan labu bersumbat selama
24 jam sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian
dibiarkan selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan cepat untuk
menghindarkan penguapan etanol (95%), sebanyak 20 ml filtrat yang
diperoleh diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang
telah ditara, sisa dipanaskan pada suhu 105○ C hingga bobot tetap. Kadar sari
yang larut dalam etanol (95%) dihitung dalam persen terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara.
• Kadar Minyak Atsiri (Depkes RI, 1978)
Bahan yang akan diperiksa dicampur dengan cairan penyuling kemudian
dilakukan pemasangan alat dan buret diisi hingga penuh, setelah itu dilakukan
pemanasan dengan tangas udara sehingga penyulingan berlangsung secara
lambat tapi teratur. Setelah penyulingan selesai, biarkan selama tidak kurang
dari 15 menit kemudian dilakukan pencatatan volume minyak atsiri pada
buret. Kadar minyak atsiri dihitung dalam % v/b.
Lampiran 2. Tata Cara Analisis Sifat Fisik Salep

• Stabilitas emulsi (Suryani, 2002)


Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang dimasukkan pada wadah.
Wadah dan bahan tersebut dimasukkan dalam oven dengan suhu 45oC selama
1 jam kemudian dimasukkan dalam pendingin bersuhu di bawah 0oC selama 1
jam, lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 45oC dan dibiarkan sampai
beratnya konstan. Stabilitas emulsi dapat dihitung berdasarkan rumus berikut :
SE (%) = bobot fase yang tersisa x 100%
bobot total bahan emulsi

• pH sediaan
Sebanyak satu gram bahan dimasukkan kedalam gelas piala, dilarutkan
dalam 10 ml aquades dan didiamkan selama 30 menit, kemudian diukur
derajat keasamannya dengan pH meter.
Lampiran 3. Hasil Analisis Mutu Bahan Baku

• Kadar Air Simplisia Lengkuas (metode destilasi)


ml air = 0,8 x 100 %
g contoh 10,4
= 7,69 %

• Kadar Minyak Atsiri Lengkuas


Bobot Simplisia = 755,29 g
Volume minyak atsiri = 5 ml
Kadar m.atsiri = 5 x 100 %
755,29
= 0,66 %

Kadar Abu Simplisia Lengkuas

B.cawan B.cwn + contoh B.contoh B.cawan B.contoh Kadar Abu


Kode
(gram) (gram) (gram) akhir (gram) akhir (gram) (%) BK

1 22,4633 24,5624 2,0991 22,5893 0.1260 6,50

2 16,2863 18.4556 2,1693 16,4038 0,1175 5,87

ULANGAN

11 22,5089 24,7060 2.1971 22,6389 0,1300 6,43

22 19,1358 21,4179 2,2821 19,2598 0,1240 5,80

Kadar Abu tak Larut Asam


K.Abu tak
B.cawan B.cawan + abu B.cawan+abu tak B. abu tak larut
Kode Larut Asam
(gram) (gram) larut asam (gram) asam (gram)
(%) BK
1 22,4633 22,5893 22,5223 0,0590 3,04

2 16,2863 16,4038 16,3445 0,0582 2,90

ULANGAN

11 22,5089 22,6389 22,5556 0,0467 2,30

22 19,1358 19,2598 19,1988 0,0630 2,99


Lampiran 3 (lanjutan)

Kadar Sari Larut dalam Air Simplisia Lengkuas

B.contoh B.cawan B.cawan B.contoh Kadar Sari


Kode
(gram) (gram) akhir (gram) akhir (gram) (%) BK
1 5,0167 20,6220 20,9594 0,3374 36,45

2 5,0167 24,0607 24,3865 0,3258 35,15

ULANGAN

11 5,0004 20,9247 21,2422 0,3175 32,95

22 5,0004 24,7627 25,0246 0,2619 28,35

Kadar Sari Larut dalam Etanol Simplisia Lengkuas


B.contoh B.cawan B.cawan B.contoh Kadar Sari
Kode
(gram) (gram) akhir (gram) akhir (gram) (%) BK
1 5,0452 24,0767 24,3329 0,2562 27,50

2 5,0452 24,7623 25,0201 0,2578 27,70


ULANGAN
11 5,0343 20,6280 20,8452 0,2172 23,35
22 5,0343 20,9487 21,1634 0,2147 23,05
Lampiran 4. Zona Hambat 4 Jamur Uji pada Penelitian Pendahuluan

(A) 5% o/w T.mentagrophytes (B)5% w/o T.mentagrophytes

(C) 5% o/w T.rubrum (D) 5% w/o T.rubrum

(E) 5% o/w C.albicans (F) 5% w/o C.albicans

(G) 5% o/w M.canis (H) 5% w/o M.canis


Lampiran 5. Hasil Pengukuran Diameter Hambatan

T. mentagrophytes
Kons. ekstrak (%) Diameter Hambatan (mm)
0,5 1 3 5 7 10
Basis salep
6,33 15 24 33,33 40 45,33
o/w
6,33 10 20 32,67 37.67 48,67
38.83
rata-rata 6,33 12,5 22 33 47
5
6 14,67 24 31,33 36 44,67
w/o
6,33 9,67 25,67 32 38,33 45
6,16 24,83 31,66 37,16 44,83
rata-rata 12,17
5 5 5 5 5
Keterangan : o/w : basis salep minyak dalam air
w/o : basis salep air dalam minyak

M. canis
Kons. ekstrak (%) Diameter Hambatan (mm)
0,3 0,5 1 3 5
Basis salep
6 21 25,67 32,67 40
o/w
9,33 16 21 35,67 42,67
rata-rata 7,665 18,5 23,335 34,17 41,335
6 19 25 30,67 40
w/o
6 14,67 20,67 31,67 38
rata-rata 6 16,835 22,835 31,17 39
Keterangan : o/w : basis salep minyak dalam air
w/o : basis salep air dalam minyak
Lampiran 6. Analisis Ragam untuk Daya Antijamur
Variabel Terikat: T.Mentagrophytes

Sumber keragaman dk KT F F0,05


Rata-rata 1 16854,000 4088,932
ts 1 0,295 0,072 4,75
konsentrasi 5 954,647 231,606* 3,11
ts * konsentrasi 5 2,578 0,626 3,11
Galat 12 4,122
Jumlah 24
Jumlah terkoreksi 23
* = berbeda nyata

Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap diameter hambat


T.mentagrophytes

konsentrasi N Kelompok Duncan (α = 0,05)


0,50 4 A
1,00 4 B
3,00 4 C
5,00 4 D
7,00 4 E
10,00 4 F

Variabel Terikat: M.canis

Sumber keragaman dk KT F F0,05


Rata-rata 1 11617,164 2030,341 0,000
ts 1 17,410 3,043 4,75
konsentrasi 4 669,341 116,981* 3,11
ts * konsentrasi 4 0,853 0,149 3,11
Galat 10 5,722
Jumlah 20
Jumlah terkoreksi 19
* = berbeda nyata
Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap diameter hambat M.canis
konsentrasi N Kelompok Duncan (α = 0,05)
0,30 4 A
0,50 4 B
1,00 4 C
3,00 4 D
5,00 4 E

Lampiran 7 . Zona Hambatan M.canis dan T.mentagrophytes

(A) 0,3% o/w M.canis (B) 0,3% w/o M.canis

(C) 0,5% o/w M.canis (D) 0,5% w/o M.canis

(E) 1% o/w M.canis (F) 1% w/o M.canis

(G) 3% o/w M.canis (H) 3% w/o M.canis


Lampiran 7 (lanjutan)

(I) 5% o/w M.canis (J) 5% w/o M.canis

(K) 0,5% o/w T.mentagrophytes (L) 0,5% w/o T.mentagrophytes

(M) 1% o/w T.mentagrophytes (N) 1% w/o T.mentagrophytes

(O) 3% o/w T.mentagrophytes (P) 3% w/o T.mentagrophytes


Lampiran 7 (lanjutan)

(Q) 5% o/w T.mentagrophytes (R) 5% w/o T.mentagrophytes

(S) 7% o/w T.mentagrophytes (T) 7% w/o T.mentagrophytes

(U) 10% o/w T.mentagrophytes (V) 10% w/o T.mentagrophytes


Lampiran 8. Hasil Pengukuran pH dan Stabilitas Emulsi Sediaan
Perlakuan pH Stabilitas (%)
A1B1 5,45 ± 0,005 86,32 ± 0,25
A2B1 5,15 ± 0,005 77,39 ± 0,14
A3B1 5,00 ± 0,000 79,22 ± 0,03
A4B1 4,70 ± 0,000 61,15 ± 1,19
A5B1 4,50 ± 0,005 63,70 ± 0,02
A6B1 4,35 ± 0,005 76,44 ± 0,15
A7B1 4,25 ± 0,005 62,09 ± 3,84
A1B2 9,20 ± 0,000 97,36 ± 1,43
A 2B2 9,15 ± 0,005 97,66 ± 0,59
A3B2 9,05 ± 0,005 96,27 ± 0,27
A4B2 8,75 ± 0,005 98.16 ± 1,41
A5B2 8,4 0 ± 0,000 98.37 ± 1,88
A6B2 8,20 ± 0,000 95.64 ± 1,84
A7B2 7,70 ± 0,005 94.27 ± 2,40

pH
Contoh
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
A1B1 5,5 5,4 5,45 ± 0,005
A2B1 5,1 5,2 5,15 ± 0,005
A3B1 5,0 5,0 5,0 ± 0,000
A4B1 4,7 4,7 4,7 ± 0,000
A5B1 4,4 4,6 4,5 ± 0,005
A6B1 4,4 4,3 4,35 ± 0,005
A7B1 4,3 4,2 4,25 ± 0,005
A1B2 9,2 9,2 9,2 ± 0,000
A2B2 9,1 9,2 9,15 ± 0,005
A3B2 9,0 9,1 9,05 ± 0,005
A4B2 8,7 8,8 8,75 ± 0,005
A5B2 8,4 8,4 8,4 ± 0,000
A6B2 8,2 8,2 8,2 ± 0,000
A7B2 7,6 7,8 7,7 ± 0,005
Lampiran 9. Analisis Ragam untuk pH Sediaan

Variabel terikat : pH

Sumber keragaman dk KT F F0,05


Rata-rata 13 8.618 2010.949
ts 1 1254.241 292656.333
konsentrasi 1 105.691 24661.333* 4.75
ts * konsentrasi 6 1.007 235.028* 3.11
Galat 6 .051 11.806* 3.11
Jumlah 14 .004
Jumlah terkoreksi 28
* = berbeda nyata

Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap pH

Konsentrasi N Kelompok Duncan (α = 0,05)


0,30 4 A
0,50 4 B
1,00 4 C
3,00 4 D
5,00 4 E
7,00 4 F
10,00 4 G
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Stabilitas Emulsi
Stabilitas Emulsi (SE)
Ulangan 1 Ulangan 2
Contoh
Berat cawan Berat cawan + Berat akhir Berat cawan Berat cawan + Berat akhir
SE (%) SE (%)
(gram) contoh (gram) (gram) (gram) contoh (gram) (gram)
A1 B 1 13,5516 18,9295 18,2298 86,9 50,0581 55,0621 488,4585 87,61
A2 B 1 47,6298 52,7705 52,036408 85,72 41,1261 46,13 45,38942 85,2
A3 B 1 13,83 18,9288 17,8687595 79,21 39,8558 45,0069 43,71271 78,96
A4 B 1 43,8816 48,961 47,6225781 73,65 42,9486 48,0248 46,60905 72,11
A5 B 1 51,0405 55,381 53,9178175 66,29 41,5985 46,6754 44,97515 66,51
A6 B 1 12,431 17,6013 15,601428 61,32 50,553 55,613 53,62847 60,78
A7 B 1 42,5874 47,6922 45,508877 57,23 40,0642 45,1297 42,82287 54,46
A1 B 2 13,1966 18,4732 18,4147 98,89 49,4311 54,4432 54,3029 97,2
A2 B 2 12,5682 17,9668 17,8328 97,52 41,7276 46,7868 46,6062 96,43
A3 B 2 25,2846 30,4396 30,2659 96,63 41,3318 46,3366 46,1314 95,9
A4 B 2 56,1445 61,4316 61,3787 99 34,461 39,5809 39,4437 97,32
A5 B 2 13,8615 18,9685 18,9349 99,34 44,7652 49,8849 49,7518 97,4
A6 B 2 42,9553 48,1032 47,9284 96,6 44,2503 49,3836 49,1105 94,68
A7 B 2 42,2747 47,745 47,4914 95,36 50,0529 55,0941 54,7499 93,17
Lampiran 11. Analisis Ragam untuk Stabilitas Emulsi

Variabel terikat: Stabilitas Emulsi


Sumber keragaman df dk KT F
Rata-rata 13 453.327 414.659
ts 1 200771.199 183645.592
konsentrasi 1 4125.900 3773.965* 4.75
ts * konsentrasi 6 168.452 154.083* 3.11
Galat 6 126.107 115.350* 3.11
Jumlah 14 1.093
Jumlah terkoreksi 28
* = berbeda nyata

Hasil uji Duncan untuk faktor konsentrasi terhadap stabilitas emulsi


Konsentrasi N Kelompok Duncan (α = 0,05)
0,30 4 A
0,50 4 A
1,00 4 B
3,00 4 C
5,00 4 D
7,00 4 E
10,00 4 F
Lampiran 12. Penampakan Salep

(A) 0,3% o/w (B) 0,3% w/o

(C) 0,5% o/w (D) 0,5% w/o

(E) 1% o/w (F) 1% w/o

(G) 3% o/w (H) 3% w/o


Lampiran 12 (lanjutan)

(I) 5% o/w (J) 5% w/o

(K) 7% o/w (L) 7% w/o

(M) 10% o/w (N) 10% w/o


DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH
(Alpinia purpurata K Schum) DALAM SEDIAAN SALEP
(The Antifungal Activities of Red Galangal Extract in Ointment Bases)

Hernani1), Djumali Mangunwidjaja2), Rizka Hezmela3)


Department of Agroindustrial Technology, Bogor Agricultural University

ABSTRACT

It is well-established that red galangal has been empirically and theoretically proven as
antifungal. Red galangal contains antifungal active compounds such as quercetin, eugenol,
kaempferol, and galangin; all are soluble in ethanol. Ointment is popular as medication base due to
its simple application. The right choice of ointment bases when incorporating medicaments will
determine the therapeutic result. Therefore, the addition of ethanol extract of red galangal into
ointment bases is predicted to be able to inhibit the growth of some fungi causing superficial
mycosis.
Result had shown the potential of red galangal extract as fungistatic agent for Tricophyton
mentagrophytes and Microsporum canis. Based on the result of susceptibility test, the growth of
Microsporum canis can be inhibited better then Tricophyton mentagrophytes. Analysis of variance
had shown that the zone of inhibition only determined by red galangal extract concentrations,
while type of ointment did not give significant result.
The pH of oil in water emulsion base was still in the range of skin acceptability, but the
pH water in oil emulsion base will tend to irritate the skin when applied. Water in oil emulsion
base was more stable then oil in water emulsion base. Based on the analysis of variance, red
galangal concentrations and type of emulsion gave significant result for pH and emulsion stability.

Keywords : red galangal, antifungal, fungistatic, ointment, oil in water, water in oil

PENDAHULUAN Salep merupakan sediaan emulsi


setengah padat yang banyak digunakan
Kemajuan teknologi di bidang obat- untuk menghantarkan bahan obat. Pemilihan
obatan telah secara luas menyajikan dasar salep yang tepat dapat mempengaruhi
berbagai bentuk sediaan untuk berbagai efektivitas senyawa obat yang dihantarkan.
penyakit, namun demikian obat tradisional Penambahan ekstrak lengkuas kedalam
masih tetap digunakan secara luas meski sediaan salep dapat meningkatkan nilai
dalam bentuk yang sederhana. Salah satu tambah lengkuas merah sebagai bahan obat.
upaya untuk mengembangkan obat-obat Salep antijamur dengan bahan aktif yang
tradisional adalah dengan meningkatkan berasal dari lengkuas merah diperkirakan
bentuknya menjadi fitofarmaka agar dapat mampu menghambat beberapa jamur
diterima dalam pengobatan formal. penyebab penyakit kulit, terutama yang
Tanaman lengkuas secara empiris bersifat lokal.
ataupun teoritis sudah banyak terbukti Penelitian yang dilakukan bertujuan
sebagai obat antijamur, khususnya lengkuas untuk mengetahui potensi bahan aktif
merah. Rimpang lengkuas merah yang rimpang lengkuas merah dalam menghambat
mengandung senyawa-senyawa antijamur pertumbuhan jamur penyebab penyakit
seperti eugenol, kamferol, kuersetin, dan mikosis lokal kulit seperti Tricophyton
galangin mampu mengobati penyakit kulit rubrum, Tricophyton mentagrophytes,
yang disebabkan oleh jamur terutama yang Microsporum canis, dan Candida albicans.
bersifat lokal. Produktivitas dan luas panen Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk
lengkuas juga mengalami kecenderungan mengetahui pengaruh penambahan ekstrak
untuk meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan lengkuas kedalam dua sediaan salep yaitu
Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2003), basis oil in water (o/w) dan water in oil
pada selang tahun 1999 sampai 2002 data (w/o) terhadap daya antijamur, pH sediaan
luas panen berturu-turut adalah 7.881.241 dan stabilitas emulsi sediaan salep.
m2, 16.185.905 m2, 15.958.475 m2, dan
11.480.646 m2. Data produktivitas pada
periode 1999 sampai 2002 adalah 1,51 kg/
m2, 1,7 g/ m2, 1,64 g/ m2, dan 2 g/ m2.

1) Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian


2) Staf Pengajar di Departemen Teknologi Industri Pertanian
3) Alumni Departemen Teknologi Industri Pertanian
METODOLOGI

A. Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan untuk
proses ekstraksi adalah pisau, penepung
tipe piring yang dilengkapi ayakan 32
mesh, oven, hot plate, labu goyang,
penguap-rotasi hampa udara, labu
erlenmeyer 500 ml, pH meter, dan alat-
alat gelas untuk analisa. Peralatan yang
digunakan untuk analisa mikrobiologi
antara lain tabung reaksi, cawan petri,
mikropipet, erlenmeyer, inkubator,
mikroskop, jarum ose, Haemocytometer
Neubauer Improved , dan pipet Pasteur.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rimpang lengkuas Gambar 1. Diagram alir ekstraksi simplisia
merah kering, berumur panen 11 bulan lengkuas merah
yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat Cibinong Tabel 1. Persyaratan Mutu Bahan Baku
Bogor. Bahan-bahan kimia yang Spesifikasi Simplisia
digunakan untuk ekstraksi adalah etanol Lengkuas
96%. Media untuk uji mikrobiologi Kadar minyak atsiri Tidak kurang
adalah Sabouraud Dextrose Agar. Fungi dari 0,5% v/b
yang digunakan dalam pengujian uji Kadar abu Tidak lebih
adalah C. albicans dan M. canis yang dari 3,9%
diperoleh dari Laboratorium Kadar abu tidak larut Tidak lebih
Mikrobiologi Departemen Farmasi dalam asam dari 3,7%
Universitas Indonesia, serta T. rubrum Kadar sari yang larut Tidak kurang
dan T. mentagrophytes yang diperoleh dalam air dari 5,2%
dari Laboratorium Mikologi Balai Kadar sari yang larut Tidak kurang
Penelitian Veteriner Bogor. Masing- dalam etanol dari 1,7%
masing jamur merupakan penyebab Sumber : Depkes RI (1978)
dermatomikosis.
Penentuan Jamur Uji Terbaik
B. Metode Penelitian Penentuan jamur uji terbaik
1. Penelitian Pendahuluan dilakukan manggunakan metode parit
Pengolahan Simplisia Lengkuas dengan melihat diameter zona bening
Rimpang lengkuas diiris-iris dengan yang terdapat disekeliling parit.
menggunakan pisau yang menghasilkan Pengujian dilakukan terhadap 4 jamur,
irisan setebal 1,5 mm, kemudian yaitu C. albicans, T. mentagrophytes, T.
dikeringkan dalam alat pengering (oven rubrum, dan M. canis. Konsentrasi
blower) selama 12 jam. Selanjutnya ekstrak lengkuas yang diujikan adalah
rimpang lengkuas digiling halus dengan 5%.
mesin penggiling yang dilengkapi Biakan masing-masing jamur uji
ayakan berukuran 32 mesh. Bubuk yang diambil dari agar miring menggunakan
dihasilkan disimpan dalam ruang beku. jarum ose secara aseptik dan
Bubuk yang dihasilkan dianalisis diremajakan dalam media cair. Dalam
dengan mengacu pada ketentuan setiap media terdapat kerapatan spora
Depkes RI (1978). Persyaratan mutu sebesar 105 cfu/ml. Selanjutnya
bahan baku dapat dilihat pada Tabel 1. disiapkan agar Sabouraud di dalam
Ekstraksi cawan petri dan masing-masing biakan
Ekstraksi dilakukan dengan metode digoreskan di atas agar, lalu dibuat
maserasi berulang selama dua hari sumur-sumur pada agar yang telah
menggunakan pelarut etanol 96%. digoreskan biakan jamur uji
Tahapan ekstraksi dapat dilihat pada menggunakan pipet pasteur dengan
Gambar 1. diameter sumur sebesar 6 mm. Ekstrak
yang akan diujikan diisikan ke dalam
lubang hingga kedalaman lubang terisi
sempurna, kemudian agar yang sudah
berisi ekstrak diinkubasi selama 2 hari
untuk C. albicans dan 7 hari untuk T.
mentagrophytes, T. rubrum, dan M.
canis.
Setelah selesai waktu inkubasi,
aktivitas antijamur dapat diamati.
Aktivitas antijamur diukur dengan
mengurangi diameter total zona hambat
dengan diameter sumur. Jamur yang
terpilih untuk digunakan dalam
penelitian utama adalah jamur yang
mampu dihambat paling baik yang
ditunjukkan oleh tingginya nilai Gambar 2. Proses produksi salep oil in water
diameter.

Penentuan Konsentrasi Hambatan


Rentang konsentrasi hambatan
ditentukan dengan mencoba beberapa
konsentrasi ekstrak secara coba-coba
terhadap daya hambat jamur uji.
Penentuan rentang nilai ini dilakukan
untuk menentukan batas bawah dan
batas atas faktor perlakuan yang dapat
memberikan zona hambatan terbaik
terhadap jamur uji terpilih. Depkes RI
(1989) menyatakan bahwa suatu bahan
baru dapat dikatakan memiliki aktifitas
antimikroba bila diameter hambatan
Gambar 3. Proses produksi salep water in oil
yang terbentuk adalah lebih dari sama
dengan 6 mm. Oleh karena itu, nilai ini
menjadi batas bawah dari rentang Pengujian Efektifitas Salep
konsentrasi hambatan, sedangkan batas Pengujian efektifitas salep
atas ditentukan berdasarkan zona antijamur dilakukan untuk mengetahui
hambat terbaik pada konsentrasi perubahan besarnya daya hambat
tertentu yang meski konsentrasi akibat penambahan ekstrak lengkuas
tersebut dinaikkan tidak akan merah pada beberapa taraf konsentrasi
memberikan hasil yang berbeda nyata. dan pada 2 dasar salep yang berbeda.
Penentuan efektifitas salep antijamur
2. Penelitian Utama dilakukan menggunakan metode sumur
Pembuatan Salep Antijamur dengan melihat diameter zona bening
yang terdapat disekeliling sumur.
Sediaan salep dibuat berdasarkan Pengujian salep dilakukan terhadap
komposisi sediaan yang dibuat oleh jamur uji terpilih pada beberapa taraf
Himawati dan Erawati (2003) dengan konsentrasi, sesuai dengan hasil
penambahan ekstrak lengkuas sebagai penentuan rentang konsentrasi
bahan antijamur dalam berbagai hambatan yang telah ditentukan pada
variasi konsentrasi yang ditambahkan penelitian pendahuluan.
pada masing-masing sediaan. Salep Biakan jamur uji terpilih diambil
dibuat dengan metode peleburan. dari agar miring menggunakan jarum
Tahapan pembuatan dapat dilihat pada ose secara aseptik dan diremajakan
Gambar 2 dan Gambar 3, sedangkan dalam media cair. Dalam setiap media
formulasi salep dapat dilihat pada terdapat kerapatan spora sebesar 105
Tabel 2. cfu/ml. Selanjutnya disiapkan agar
Sabouraud di dalam cawan petri dan
masing-masing biakan digoreskan
diatas agar. Kemudian, dibuat sumur-
sumur pada agar yang telah digoreskan C. Rancangan Percobaan
biakan jamur uji menggunakan pipet Rancangan percobaan yang
pasteur dengan diameter lubang digunakan adalah rancangan acak
sebesar 6 mm. Salep yang akan lengkap dengan dua faktor. Model
diujikan kemudian diisikan kedalam rancangan tersebut adalah :
lubang hingga kedalaman lubang terisi
sempurna. Kemudian agar yang sudah Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εk (ij)
berisi bahan uji diinkubasi dengan
kondisi yang sesuai untuk Yijk =peubah tanggap hasil pengamatan
pertumbuhan jamur uji terpilih. ke k yang terjadi karena pengaruh
Setelah selesai waktu inkubasi, bersama taraf ke-i faktor A dan
aktivitas antijamur pada berbagai taraf taraf ke-j faktor B.
konsentrasi diamati. Aktivitas μ =rata-rata yang sebenarnya.
antijamur diukur dengan mengurangi Ai =efek taraf ke-i faktor konsentrasi
diameter total zona hambatan dengan ekstrak lengkuas
diameter sumur. Bj =efek taraf ke-j faktor dasar salep
ABij =efek interaksi antara taraf ke-i
Tabel 2. Komposisi Bahan Sediaan Salep faktor A dan taraf ke-j faktor B
Dasar salep water in Dasar salep oil in εk (ij) =efek unit percobaan ke-k dalam
oil (w/o) water (o/w) kombinasi perlakuan (ij)
Komposisi % Komposisi %
formula (b/b) formula (b/b) PEMBAHASAN
Malam 19,97 Polisorbat 5
putih 80 A. Penelitian Pendahuluan
Parafin 59,91 Stearyl 9,98 1. Analisis Mutu Bahan Baku
cair alkohol Rimpang lengkuas yang telah
Na-Boraks 1 Gliserol 9,98 diolah ke dalam bentuk simplisia
Air suling 18,97 Vaselin 24,96 haruslah memiliki mutu yang baik.
Nipagin 0,1 Air suling 49,93 Untuk mengetahui mutu simplisia maka
Nipasol 0,05 Nipagin 0,1 dilakukan pengujian terhadap beberapa
Nipasol 0,05 kriteria mutu seperti yang tercantum
dalam Depkes RI (1978). Hasil
pengujian terhadap mutu simplisia
Pengukuran pH Sediaan Salep
Sebanyak satu gram bahan disajikan pada Tabel 3.
dimasukkan kedalam gelas piala, Hasil analisis menunjukkan bahwa
mutu bubuk lengkuas merah sudah
dilarutkan dalam 10 ml aquades dan
didiamkan selama 30 menit, kemudian sesuai dengan baku mutu yang diatur
diukur derajat keasamannya dengan pH dalam Depkes RI (1978). Nilai mutu
yang menyimpang terdapat pada nilai
meter.
kadar abu, dimana nilainya jauh diatas
Pengukuran Stabilitas Emulsi Salep
baku mutu. Kadar abu yang tinggi ini
(Suryani et al., 2002)
dapat disebabkan oleh tingginya
5 g bahan salep yang sudah
ditimbang dimasukkan pada wadah. kandungan mineral pada lahan tanam
ataupun karena proses pemupukan yang
Wadah dan bahan tersebut dimasukkan
dalam oven dengan suhu 45oC selama 1 baik selama di lahan. Nilai kadar abu
jam kemudian dimasukkan dalam yang tidak sesuai baku mutu tidak
dijadikan ukuran dalam penentuan
pendingin bersuhu dibawah 0oC selama
1 jam, lalu dipanaskan dalam oven kelayakan bubuk lengkuas untuk
dengan suhu 45oC dan dibiarkan sampai digunakan lebih lanjut. Hal ini
dikarenakan, nilai yang paling
beratnya konstan. Stabilitas emulsi
dapat dihitung berdasarkan rumus diperhitungkan adalah nilai kadar sari
berikut : larut alkohol karena kadar sari larut
alkohol menunjukkan kandungan zat
SE (%) = bobot fase yang tersisa x 100% berkhasiat yang dapat terlarut dalam
bobot total bahan emulsi pelarut yang digunakan. Senyawa
antijamur dalam rimpang lengkuas
merah bersifat larut dalam alkohol,
sehingga nilai kadar sari larut alkohol
yang sesuai dengan baku mutu terkandung dalam lengkuas, terutama
menunjukkan kemungkinan besarnya yang memiliki sifat antijamur. Winholz
kandungan aktif yang dapat di ekstrak et al. (1983) menyatakan bahwa
dengan alkohol pada tahapan penelitian komponen antijamur sebagian besar
selanjutnya. dapat larut dalam alkohol, seperti
galangin, eugenol, kaemferol, dan
Tabel 3. Hasil Analisis Mutu Bahan Baku kuersetin. Voigt ( 1994) juga
(% bk) menyatakan bahwa etanol sangat sering
Kandungan Bubuk Baku mutu menghasilkan suatu hasil bahan aktif
bahan lengkuas berdasarkan yang optimal, dimana bahan pengotor
MMI hanya dalam skala kecil turut dalam
(1978) cairan pengekstraksi.
Kadar air 7,69 - Jenis pelarut dan jenis bahan yang
(% bb) diekstrak mempengaruhi warna ekstrak
Kadar abu 6,17 Tidak lebih yang dihasilkan tetapi tidak
dari 3,9 mempengaruhi baunya. Hal ini
Kadar abu tak 2,88 Tidak lebih membuktikan bahwa pelarut uji yang
larut asam dari 3,7 digunakan telah menguap sempurna.
Kadar sari larut 33,22 Lebih besar Ekstrak yang dihasilkan memiliki
air sama warna coklat pekat dengan bau khas
dengan 5,2 lengkuas. Ekstrak yang diperoleh
Kadar sari larut 25,40 Lebih besar merupakan ekstrak kasar berbentuk
alkohol sama pasta. Rendemen ekstrak yang
dengan 1,7 diperoleh adalah sebesar 7,63%.
Kadar minyak 0,66 Lebih besar Rendemen ekstrak menggambarkan
atsiri sama besarnya bahan yang dapat ditarik oleh
dengan 0,5 etanol, dimana bahan-bahan tersebut
antara lain alkaloid, glikosida, minyak
2. Ekstraksi atsiri, asam organik, dan garam
Proses ekstraksi yang dilakukan anorganik.
adalah dengan maserasi. Maserasi 3. Penentuan Jamur Uji Terbaik
merupakan cara ekstraksi yang paling Pada penentuan jamur uji terbaik
sederhana karena bahan yang akan diketahui bahwa M. Canis dan T.
diekstrak cukup dilarutkan di dalam mentagrophytes dapat dihambat dengan
pelarut pada perbandingan tertentu. baik oleh ekstrak lengkuas dengan
Lamanya maserasi berbeda-beda konsentrasi 5%. Hal ini didasarkan
tergantung pada sifat bahan dan pelarut. pada nilai diameter zona hambatan
Lamanya harus cukup agar pelarut yang dihasilkan, yaitu di atas 6 mm.
dapat memasuki protoplasma dengan Namun, konsentrasi ekstrak 5% tidak
sempurna sehingga mampu melarutkan dapat menghambat dengan baik
semua zat yang diinginkan untuk pertumbuhan C. albicans dan T.
terekstrak. Pada penelitian ini rubrum karena nilai diameter zona
digunakan perbandingan bahan dengan hambatan di bawah 6 mm. Ekstrak
pelarut yaitu 1 : 3, sedangkan lama lengkuas dengan konsentrasi 5% belum
maserasi adalah satu hari dengan dapat dikatakan memiliki sifat
perendaman ulang terhadap residu antijamur untuk C. albicans dan T.
selama satu hari lagi. rubrum.. Data hasil pengukuran dapat
Keberhasilan proses ekstraksi dilihat pada Tabel 4.
ditentukan oleh jenis pelarut yang
digunakan. Jenis pelarut yang Tabel 4. Diameter Hambatan Jamur pada
digunakan harus dipilih berdasarkan Konsentrasi Ekstrak 5% (mm)
kemampuan dalam melarutkan zat-zat o/w w/o
aktif yang diinginkan tanpa Jamur D D D D D1 D2 D3 D
mengikutsertakan unsur-unsur yang 1 2 3
tidak diinginkan. Pelarut yang CA 3 3 3 3 3 3 3 3
digunakan dalam penelitian adalah TM 34 35 35 34,67 33 34 32 33
etanol 96%. Hal ini karena etanol dapat TR 3 3 3 3 3 3 3 3
mengekstrak seluruh bahan aktif yang MC 39 39 40 39,33 38 38 38 38
Keterangan : adalah dengan membuat lubang-lubang
CA = Candida albicans di atas agar, yang kedalamnya diisikan
TM = Tricophyton mentagrophytes bahan dengan konsentrasi yang berbeda-
TR = Tricophyton rubrum beda (Volk dan Wheeler, 1988).
MC = Microsporum canis Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa untuk kedua jamur uji nilai
4. Penentuan Rentang Konsentrasi diameter hambatan cenderung
Hambatan meningkat seiring dengan peningkatan
Rentang nilai konsentrasi hambatan konsentrasi ekstrak lengkuas merah di
ditentukan dengan mencoba ekstrak dalam sediaan salep. Hal ini
dalam berbagai variasi konsentrasi dikarenakan, semakin tinggi konsentrasi
ekstrak lengkuas. Penentuan rentang yang diberikan maka kandungan bahan
nilai ini dilakukan untuk menentukan aktif didalamnya juga akan semakin
batas bawah dan batas atas faktor tinggi, sehingga efektivitasnya dalam
perlakuan yang dapat memberikan menghambat pertumbuhan jamur akan
diameter zona hambatan terbaik semakin baik pula. Nilai rata-rata
terhadap M. canis dan T. diameter hambatan T. mentagrophytes
mentagrophytes. dan M. canis serta kecenderungannya
Dari hasil pengujian diperoleh untuk meningkat dapat dilihat pada
bahwa jamur sudah dapat terhambat Gambar 4 dan Gambar 5.
pada konsentrasi minimal untuk 50

Diameter Hambatan (mm)


menghambat pertumbuhan T. 45
mentagrophytes dan M. canis adalah 40
35
0,5 % dan 0,3%, dan pada konsentrasi 30 o/w
10% dan 5% diperoleh nilai diameter 25 w/o
20
hambatan maksimum untuk T. 15
mentagrophytes dan M. canis. 10
5
Meskipun konsentrasi dinaikkan lebih 0
tinggi, maka tidak akan diperoleh nilai 0.5 1 3 5 7 10
diameter hambatan yang berbeda nyata. Konsentrasi (% )

Rentang konsentrasi yang dicobakan Gambar 4. Grafik pengaruh konsentrasi


pada pengujian efektifitas salep ekstrak lengkuas merah dalam
antijamur adalah 0,5%, 1%, 3%, 5%, dua dasar salep terhadap
7%, dan 10% untuk T. mentagrophytes, diameter hambat Tricophyton
serta 0,3%, 0,5%, 1%, 3%, dan 5% mentagrophytes
untuk M. canis.
45
Diameter Hambatan (mm)

B. PENELITIAN UTAMA 40
35
1. Daya Antijamur 30
Efektivitas senyawa antijamur 25 o/w
antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi 20 w/o
15
senyawa antijamur, jenis, umur, jumlah 10
dan latar belakang jamur, suhu, waktu, 5
dan sifat fisik serta kimia. Efektivitas 0
0.3 0.5 1 3 5
senyawa antijamur dapat diukur dengan
Konsentrasi (% )
melihat kerentanan jamur uji terhadap
bahan yang diberikan. Salah satu cara Gambar 5. Grafik pengaruh konsentrasi
uji untuk mengukur kerentanan tersebut ekstrak lengkuas merah dalam
adalah dengan difusi obat. Metode ini dua dasar salep terhadap
dilakukan dengan prinsip diameter hambat Microsporum
menginokulasikan biakan jamur di atas canis
agar padat pada cawan petri, kemudian
bahan yang mengandung senyawa Berdasarkan hasil analisis ragam,
antijamur diujikan pada permukaan untuk jamur T. mentagrophytes dan M.
medium untuk memastikan apakah canis, hanya faktor konsentrasi ekstrak
bahan tersebut dapat mencegah atau yang memberikan hasil berbeda nyata
mematikan pertumbuhan jamur. Salah terhadap nilai diameter hambatan,
satu cara yang paling umum digunakan sedangkan faktor dasar salep
memberikan hasil yang tidak nyata. canis dapat terhambat lebih baik
Meskipun dari grafik terlihat bahwa dibandingkan dengan T.
ekstrak dalam dasar salep o/w mentagrophytes. Perbandingan nilai
memberikan hasil yang lebih baik diameter hambatan ini dapat dilihat pada
dibandingkan dalam dasar salep w/o, Gambar 6 dan Gambar 7.
hasil analisis ragam yang tidak nyata
menunjukkan bahwa kedua dasar salep 45

Diameter Hambatan (mm)


dapat digunakan sebagai pengantar 40
35
bahan aktif yang baik untuk menekan 30
pertumbuhan kedua jamur uji. Hasil uji 25 TM (o/w)

lanjut Duncan menunjukkan bahwa 20 MC (o/w)

pada α = 0,05 seluruh taraf konsentrasi 15


10
memberikan hasil berbeda nyata 5
terhadap nilai diameter hambatan kedua 0
jamur. 0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (%)
Tingkat kerentanan yang berbeda
terhadap efektivitas salep antijamur Gambar 6. Grafik perbandingan nilai
yang diberikan juga ditunjukkan oleh diameter hambat Tricophyton
kedua jamur uji. M. canis dikatakan mentagrophytes dan
lebih sensitif terhadap bahan aktif di Microsporum canis pada
dalam salep antijamur dibandingkan konsentrasi yang sama dalam
dengan T. mentagrophytes karena dasar salep o/w
memberikan nilai diameter hambat
minimal dan sudah terhambat secara 45
maksimal pada konsentrasi yang jauh Diameter Hambatan (mm) 40
35
lebih rendah. Hal ini disimpulkan 30
dengan cara membandingkan nilai 25
TM (w/o)
MC (w/o)
diameter hambatan kedua jamur pada 20
15
taraf konsentrasi yang sama, dan dari 10
perbandingan diperoleh bahwa untuk 5
tiap-tiap taraf konsentrasi dalam tiap 0
0 1 2 3 4 5 6
dasar salep, M. canis selalu memberikan Konsentrasi (% )
nilai diameter hambatan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan T. Gambar 7. Grafik perbandingan nilai
mentagrophytes. Menurut Soltys (1963), diameter hambat
T. mentagrophytes memiliki dinding Tricophyton mentagrophytes
spora yang tipis dan fase dan Microsporum canis pada
pertumbuhannya sangat cepat, konsentrasi yang sama dalam
sedangkan M. canis memiliki dinding dasar salep w/o
spora yang tebal dan fase
pertumbuhannya lambat. Horsfall Salep antijamur yang mengandung
(1956) menyatakan bahwa kecepatan bahan aktif ekstrak lengkuas
germinasi spora juga berpengaruh didalamnya bekerja dengan
terhadap daya antijamur. Griffin (1981) menimbulkan ketidakteraturan membran
menambahkan bahwa, jamur yang sitoplasma jamur. Menurut Siswandono
mampu bergerminasi dengan cepat akan dan Soekarjo (2000), senyawa antijamur
lebih sulit dihambat pertumbuhannya dan asam lemak tidak jenuh, suatu
oleh zat antijamur dibandingkan dengan komponen membran jamur, dapat
jamur yang bergerminasi lambat. M. membentuk interaksi hidrofob,
canis, meskipun memiliki dinding spora mengubah permeabilitas membran dan
yang tebal untuk dapat dimasuki fungsi pengangkutan senyawa esensial,
senyawa antijamur namun karena fase menyebabkan ketidakseimbangan
germinasi sporanya yang lebih lambat metabolik sehingga menghambat
dibandingkan T. mentagrophytes pertumbuhan atau menimbulkan
mengakibatkan kecepatan senyawa kematian sel jamur.
antijamur lebih dulu berpenetrasi Senyawa aktif antijamur yang
kedalam sel sebelum spora berasal dari lengkuas bersifat polar.
bergerminasi. Hal ini menyebabkan, M. Senyawa ini mampu berikatan dengan
asam amino dari protein membentuk 2. pH Sediaan
produk konjugasi yang bersifat Derajat keasaman suatu produk
hidrofilik (Doerge, 1982). Produk ditunjukkan oleh nilai pH produk
konjugasi yang terbentuk akan tersebut. Kadar keasaman atau pH
menghambat metabolisme sel karena sediaan topikal harus sesuai dengan pH
senyawa yang terbentuk mengubah penerimaan kulit. Kulit manusia
struktur asam amino yang fungsi mempunyai pH 4,0 – 5,6, sehingga
awalnya adalah untuk metabolisme sel. sediaan topikal dengan pH lebih besar
Rumus bangun bahan aktif antijamur atau lebih kecil dari pH kulit ada
dalam lengkuas merah dapat dilihat kemungkinan dapat menyebabkan iritasi
pada Gambar 8. (Harry, 1975).
Membran sitoplasma tersusun Nilai rata-rata pH salep dengan
terutama dari protein dan lemak; karena jenis o/w berada pada kisaran 4,25 -
itu, membran khususnya bersifat rentan 5,45. Nilai ini sesuai dengan pH kulit
terhadap bahan yang dapat menurunkan sehingga cocok digunakan pada kulit.
tegangan permukaan. Kerusakan pada pH salep jenis w/o berada pada kisaran
membran ini memungkinkan ion 7,7 – 9,2, nilai ini melebihi pH kulit
anorganik yang penting, nukleotida, sehingga bila digunakan produk dapat
koenzim dan asam amino merembes menyebabkan iritasi pada kulit.
keluar sel. Selain itu, kerusakan Konsentrasi ekstrak lengkuas dan
membran juga dapat mencegah tipe salep berpengaruh nyata terhadap
masuknya bahan-bahan penting ke nilai pH produk. Hal ini disebabkan
dalam sel. Senyawa antijamur di dalam penambahan ekstrak berbanding terbalik
lengkuas mampu menurunkan tegangan dengan penambahan air, yang berakibat
permukaan karena memiliki grup lipofil pada penurunan nilai pH. Penurunan ini
dan hidrofil dalam molekulnya. Menurut dikarenakan berkurangnya jumlah air
Voigt (1994), yang termasuk grup yang digunakan dalam pembuatan
hidrofil antara lain gugus hidroksil, produk akibat penambahan ekstrak
gugus karboksil, gugus karboksil lengkuas yang juga merupakan fase air.
dengan kation bervalensi satu, gugus Semakin besar konsentrasi yang
sulfat, gugus sulfat dengan kation digunakan maka semakin kecil pula
bervalensi satu, gugus sulfonat, gugus jumlah air yang ditambahkan.
sulfonat dengan kation bervalensi satu, Pengurangan air inilah yang
gugus amino, gugus amino tersubstitusi, menyebabkan produk semakin bersifat
dan ikatan ganda karbon. Grup lipofil asam.Tipe salep berpengaruh nyata
antara lain adalah rantai karbon, cincin terhadap nilai pH karena pada masing-
karbon, dan grup karboksil dengan masing dasar salep, o/w dan w/o
kation bervalensi dua. Di dalam bahan terdapat perbedaan kandungan air.
aktif antijamur dari lengkuas, yang Dasar salep o/w mengandung air dalam
merupakan grup hidrofil adalah gugus jumlah yang besar, sedangkan dasar
hidroksil (-OH), sedangkan cincin salep w/o mengandung miyak dalam
karbon merupakan grup lipofil. jumlah besar, sehingga nilai pH untuk
OH
dasar salep o/w selalu lebih rendah
OCH3
O
OH
dibandingkan w/o karena air bersifat
lebih asam dibandingkan minyak. Uji
CH2CH=CH2
OH
lanjut Duncan menunjukkan bahwa
OH O
pada α = 0,05 seluruh konsentrasi
(A) Eugenol (B) Kaempferol memberikan hasil yang berbeda nyata.
OH
Penurunan pH produk akibat
HO
-O peningkatan konsentrasi ekstrak
HO O
OH disajikan pada Gambar 9.
OH
OH

OH O OH O

(C) Quercetin (D) Galangin

Gambar 8. Rumus Bangun Senyawa Aktif


Antijamur dalam Lengkuas
Merah
10 tersebut dikarenakan, kenaikan
8
konsentrasi yang sangat kecil dari 0,3%
ke 0,5% tidak menimbulkan
6 o/w ketidakstabilan sistem emulsi. Berikut

pH
4 w/o
ini grafik penurunan nilai stabilitas
2 emulsi akibat peningkatan konsentrasi
0
ekstrak.
0.3 0.5 1 3 5 7 10
Konsentrasi ekstrak (%)

Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi 120


ekstrak lengkuas terhadap nilai

Stabilitas Emulsi (%)


100
pH produk
80
3. Stabilitas Emulsi 60 o/w
Stabilitas atau kestabilan suatu w/o
emulsi merupakan salah satu karakter 40

terpenting dan mempunyai pengaruh 20


besar terhadap mutu produk emulsi. 0
Stabilitas emulsi akan berpengaruh 0.3 0.5 1 3 5 7 10
terhadap daya simpan sistem emulsi Konsentrasi Ekstrak (%)
tersebut. Emulsi yang baik tidak
membentuk lapisan-lapisan dan Gambar 10. Grafik pengaruh konsentrasi
memiliki konsistensi yang tetap ekstrak terhadap nilai stabilitas
(Suryani et al., 2002). emulsi
Nilai rata-rata stabilitas emulsi jenis
o/w (54,46% - 87,61%) lebih kecil KESIMPULAN
dibandingkan dengan stabilitas emulsi
jenis w/o (93,17% - 97,40%). Voigt Rimpang lengkuas merah memiliki
(1994) menyatakan bahwa salep jenis potensi sebagai bahan antijamur. Ekstrak
w/o pada umumnya benar-benar stabil. etanol lengkuas merah mampu menghambat
Kandungan air pun tidak boleh pertumbuhan T. mentagrophytes
melampaui 60%, karena dapat dan M. canis, namun tidak dapat efektif
menyebabkan suatu aliran bersama dari menghambat pertumbuhan T. rubrum dan C.
fase sebelah dalam. albicans. Rentang konsentrasi ekstrak untuk
Konsentrasi ekstrak dan tipe salep menghambat pertumbuhan T.
berpengaruh nyata terhadap stabilitas mentagrophytes adalah 0,5% - 10% ,
emulsi. Peningkatan konsentrasi ekstrak sedangkan untuk M. canis adalah 0,3% -
dalam sediaan salep dapat menyebabkan 5%. M. canis lebih sensitif terhadap ekstrak
penurunan nilai stabilitas emulsi. Hal ini dibandingkan T. mentagrophytes karena
diakibatkan oleh sifat ekstrak lengkuas memiliki nilai diameter hambatan yang lebih
yang tidak stabil terhadap panas, akibat tinggi pada taraf konsentrasi yang sama.
komponen volatil yang terkandung Nilai diameter hambatan hanya dipengaruhi
didalamnya, sehingga penambahan oleh konsentrasi ekstrak.
ekstrak lengkuas ke dalam sistem emulsi Jenis salep o/w memiliki pH yang dapat
dapat menyebabkan ketidakstabilan diterima oleh kulit yaitu 4,25 – 5,45, dan
sistem emulsi. Dasar salep berpengaruh nilai stabilitas emulsinya berada pada
terhadap nilai stabilitas emulsi karena kisaran 54,46% - 87,61%. pH salep w/o
sifat dari masing-masing dasar salep adalah 7,7 – 9,2, sehingga tidak cocok untuk
yang berbeda. Dasar salep o/w memiliki digunakan pada kulit karena dapat
nilai stabilitas yang lebih rendah karena menimbulkan iritasi. Stabilitas emulsi salep
tingginya kandungan air, sehingga dapat w/o ada dikisaran 93,17% - 97,40%. Nilai
menyebabkan reaksi hidrolitik yang pH sediaan dan stabilitas emulsi dipengaruhi
dapat menyebabkan kerusakan pada oleh konsentrasi ekstrak dan dasar salep.
sistem emulsi. Uji lanjut Duncan
memperlihatkan bahwa pada α = 0,05,
hanya konsentrasi 0,3% dan 0,5% yang
tidak berbeda nyata sedangkan
konsentrasi lainnya berbeda nyata. Hal
DAFTAR PUSTAKA Suryani, A, I. Sailah, E. Hambali. 2002.
Teknologi Emulsi. Jurusan TIN IPB,
Bogor : 35, 154.
Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi
II. Depkes R I, Jakarta : 48 – 54. Farmasi. Gajah mada University
Press, Yogyakarta : 563, 564.
Depkes RI. 1989. Vademekum Bahan Obat
Alam. Depkes RI, Dirjen POM, Volk dan Wheeler. 1988. Mikrobiologi
Jakarta : 56. Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta :
266.
Dirjen Bina Produksi Hortikultura. 2003.
Produktivitas Tanaman Lengkuas Windholz, M. Budavari, S. Blumetti, R.F.
Di dalam www.deptan.go.id Ottertein. 1983. The Merck Index.
Tenth Ed. Encyclopedia of
Doerge, R.F. 1982. Kimia Farmasi dan Chemicals, Drugs, and Biologicals.
Medisinal Organik. J.B.Lippincott Merck & Co., Inc. Rahway, N.J.,
Company, USA : 55 – 56. USA : 3854, 4209, 5112, 7936.

Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. John


Wiley and Sons, Inc, USA : 242 –
243.

Harry, R.G. 1975. Harry’s Cosmetology :


The Principles and Practice of
Modern Cosmetic. 6th ed. Leonard
Hill Book, London : 19.

Himawati, E.R dan Tristiana Erawati. 2003.


Pengembangan Formulasi Minyak
Cengkeh sebagai Counter Irritant
dalam Beberapa Sediaan Topikal.
Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3.
No.3. Desember 2003, Surabaya : 1-
4.

Horsfall, J.G. 1956. Principles of Fungicidal


Action. Chronica Botanica Company,
USA : 47.

Siswandono dan Soekarjo. 2000. Kimia


Medisinal 2. Airlangga University
Press, Surabaya : 71.

Soltys, M.A. 1963. Bacteria and Fungi


Pathogenic to Man and Animals.
Bailliere Tindall and Cox, London :
461 – 463.
DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH
(Alpinia purpurata K Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Jurnal

Sarjana Teknologi Pertanian


Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

2005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH


(Alpinia purpurata K Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

JURNAL

Oleh
RIZKA HEZMELA
F34101083

Menyetujui,
Bogor, Februari 2006

Dra. Hernani, MSc Prof. Dr. Ir. Djumali M, DEA


Pembimbing Akademik II Pembimbing Akademik I

Anda mungkin juga menyukai