Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan mereka
yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial. Perbedaan itu
tidak semata-mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan (bisa berupa
gagasan, nilai, norma, aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada dalam
masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan berguna
untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam kehidupan
manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi bentuknya mungkin berbeda
satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka menempatkannya. Selama dalam
masyarakat itu ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai
sesuatu yang dihargai, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat
menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu
yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari
orang terhormat (Moeis, 2008, hal. 7).
Oleh karena status, baik yang berupa harta, kedudukan atau jabatan seringkali
menciptakan perbedaan dalam menghargai seseorang. Dalam suatu masyarakat, orang
yang memiliki harta berlimpah lebih dihargai daripada orang yang miskin. Demikian
pula orang yang lebih berpendidikan dihargai lebih daripada yang kurang
berpendidikan. Atas dasar itu, kemudian masyarakat dikelompokkan secara vertikal
atau bertingkat-tingkat sehingga membentuk lapisan-lapisan sosial tertentu dengan
kedudukannya masing-masing. Masyarakat sebenarnya telah mengenal pembagian atau
pelapisan sosial sejak dahulu. Pada zaman dahulu, Aristoteles menyatakan bahwa
didalam setiap negara selalu terdapat tiga unsur, yakni orang-orang kaya sekali, orang-
orang melarat dan orang-orang yang berada di tengah-tengah. Menurut Aristoteles,
orang-orang kaya sekali ditempatkan dalam lapisan atas oleh masyarakat, sedangkan
orang-orang melarat ditempatkan dalam lapisan bawah, dan orang-orang di tengah
ditempatkan dalam lapisan masyarakat menengah (Herdiyanto, 2005).

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat dirumuskan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar timbulnya stratifikasi sosial?
2. Bagaimana stratifikasi sosial yang terjadi di Indonesia?
1.3 Manfaat dan Tujuan

Adapun manfaat dari makalah ini adalah memberi pengetahuan dan pemahaman
mengenai stratifikasi sosial atau lapisan sosial dalam masyarakat kepada para pembaca.
Dan tujuan dari makalah ini adalah agar pembaca, dapat mengerti definisi stratifikasi
sosial serta bagaimana stratifikasi sosial di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stratifikasi Sosial


Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti
sistem berlapis-lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum
(jamaknya : strata) yang berarti lapisan; stratifikasi sosial adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis)
(Moeis, 2008, hal. 3). Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (Soekanto &
Sulistyowati, 2013, hal. 198), stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi seseorang
atau kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal. Biasanya stratifikasi
didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkain usaha perjuangan.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya Setangkai Bunga
Sosiologi (Soemardjan, 1992, hal. 232), menyatakan bahwa selama dalam
masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial
akan terjadi. Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar
pembentukan pelapisan sosial adalah (1) ukuran kekayaan, (2) ukuran kekuasaan
dan wewenang, (3) ukuran kehormatan, (4) ukuran ilmu pengetahuan.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam
proses perkembangan masyarakat dan dapat pula secara sengaja ditentukan oleh
masyarakat itu sendiri.
a. Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya
Beberapa ukuran yang digunakan untuk menempatkan seseorang dalam
strata tertentu pada stratifikasi yang terjadi dengan sendirinya, di antaranya
adalah (1) Kepandaian seseorang atau kepemilikan ilmu pengetahuan, (2)
Tingkat umur atau aspek senioritas, (3) Sifat keaslian, (4) Harta dan kekayaan,
(5) Keturunan.
b. Stratifikasi sosial yang sengaja disusun
Untuk mengejar tujuan tertentu, biasanya terkait dengan pembagian
kekuasaan dan wewenang dalam suatu organisasi, seperti birokrasi
pemerintahan, universitas, sekolah, partai politik, perusahaan, dan lain
sebagainya. Dalam stratifikasi sosial yang disengaja, terdapat berbagai cara
untuk menentukan atau menetapkan kedudukan seseorang dalam strata tertentu,

3
antara lain, (1) Upacara peresmian atau pengangkatan, (2) Pemberian lambing
atau tanda kehormatan, (3) Pemberian nama-nama jabatan atau pangkat, (4)
Sistem upah atau gaji berdasarkan golongan atau pangkat, (5) Wewenang dan
kekuasaan.
2.2 Stratifikasi Sosial di Indonesia

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki karakteristik masyarakat yang


majemuk. Kemajemukan tersebut yang menghasilkan adanya stratifikasi sosial atau
pengelompokan suatu masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu secara
vertikal. Stratifikasi sosial sebenarnya sudah ada sejak jaman Indonesia di jajah
oleh Belanda dan Jepang. Koloni mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam
golongan-golongan tertentu sesuai dengan rasnya. Akan tetapi di jaman sekarang,
stratifikasi sosial tidak lagi dikelompokkan berdasarkan ras. Stratifikasi sosial di
Indonesia lebih mengarahkan penggolongan suatu masyarakat yang dinilai dari segi
status sosialnya seperti jabatan, kekayaan, pendidikan atau sistem feodal pada
masayarkat Aceh dan kasta pada masyarakat Bali. Sedangkan ras, suku, klan,
budaya, agama termasuk ke dalam penggolongan secara horizontal.
Terdapatnya masyarakat majemuk di Indonesia tidak serta muncul begitu saja,
akan tetapi karena faktor-faktor seperti yang dijelaskan dalam artikel Nasikun
(Nasikun, 1995, hal. 32) yaitu, pertama keadaan geografis yang membagi Indonesia
kurang lebih 3000 pulau. Hal tersebut yang menyebabkan Indonesia memiliki suku
budaya yang banyak seperti Jawa, Sunda, Bugis, Dayak, dan lain-lain. Kedua ialah
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik yang
mneyebabkan adanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia seperti
Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. Dan ketiga ialah iklim yang berbeda-beda dan
struktur tanah yang tidak sama yang menyebabkan perbedaan mata pencaharian
antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Sehingga hal tersebut pula dapat
membedakan moblitas suatu masyarakat satu dengan masyarakat lainnya dalam
kondisi wilayah yang berbeda.
Kemudian Pierre L. van den Berghe (Nasikun, 1995, hal. 67-68 dan
Nitibaskara, 2002, hal. 7) menyebutkan karaktistik dari masyarakat majemuk ialah
(1) Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki sub-
kebudayaan yang berbeda satu sama lain, (2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-
bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) Kurang

4
mengembangkan konsensus di antara anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial
yang bersifat dasar, (4) Secara relatif, seringkali terjadi konflik di antara kelompok
satu dengan kelompok lainnya, (5) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas
paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, (6) Adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Masyarakat majemuk tentu rentan terhadap adanya konflik. Hal tersebut
dikarenakan etnosentrisme suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lainnya. Hal tersebut dirasa wajar mengingat terdapat banyaknya
suku budaya yang ada di Indonesia yang masing-masing dari suku tersebut merasa
bahwa sukunya lebih dominan dari suku lain. Seperti pernyataan dari pendekatan
konflik, bahwa masyarakat majemuk terintegrasi di atas paksaan dari suatu
kelompok yang lebih dominan dan karena ada saling ketergantungan antar
kelompok dalam hal ekonomi (Nasikun, 1995, hal. 64). Kelangsungan hidup suatu
masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu
yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang akan tetapi lebih daripada itu
nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati melalui proses sosialisasi
(Nasikun, 1995, hal. 65). Sehingga dari proses sosialisasi yang ditanamkan sejak
dini, dapat mengurangi resiko konflik antar masyarakat dalam pandangan yang
etnosentris.
Kemunculan sistem penggolongan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok
tertentu tidak begitu saja muncul di atas kemajemukan suatu bangsa. Ada sebuah
hal yang dihargai dalam suatu kelompok masyarakat yang menyebabkan stratifikasi
sosial itu dibutuhkan. Dan pluralitas yang terdapat dalam bangsa Indonesia seperti
perbedaan agama, suku, budaya dan ras seharusnya tidak dijadikan sebuah masalah
mengingat semboyan yang selalu ditanamkan oleh masyarakat Indonesia
yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

5
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam


kelas-kelas secara bertingkat (vertikal), yakni pemisahan kedudukan anggota
masyarakat ke dalam tingkat-tingkat kelas pada masyarakat.
Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota
masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka miliki.

3.2 Saran

Disarankan kepada pembaca, agar mencari lebih banyak informasi


informasi mengenai stratifikasi sosial dalam masyarakat dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA
Herdiyanto, A. (2005). Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial.
http://mast.ddns.net/dir/data%20pdf/DIFERENSIASI%20SOSIAL%20DAN%20%20STRATIFIK
ASI%20SOSIAL.pdf. 14 Desember 2014 (09:00).

Moeis, S. (2008). Struktur Sosial: Stratifikasi Sosial. Materi Kuliah Struktur dan Proses Sosial.
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UPI. Bandung.

Nasikun. (1995). “Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia”, dalam Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nitibaskara, TB. Ronny Rahman. (2002). Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah. Jakarta:
Peradaban.

Soekanto, S., Sulistyowati, B. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar (45 ed.). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Soemardjan, S. (1992). Pancasila dalam Kehidupan Sosial. dalam Pancasila sebagai Ideologi
dalam berbagai bidang kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. disunting oleh O.
Usman, & Alfian, Penyunt.) Jakarta: BP7 Pusat.

Anda mungkin juga menyukai