Anda di halaman 1dari 616

BUKU KEN AN Q -K EK & N G AN

HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN,
MAHKAMAH AGUNG,
PERADILAN UMUM,
PERADILAN MILITER,
PERADILAN AGAMA,
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

ORGANISASI DAN TATA KERJA


KEPANITERAAN / SEKRETARIAT JENDERAL
MAHKAMAH AGUNG - RI

Dihimpun oleh :
MAHKAMAH AUUNt
Februari 1992
r
r
4
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG INBAN@iN

tentang

KEKUASAAN KEHAKIMAN,
MAHKAMAH AGUNG,
PERADILAN UMUM,
PERADILAN MILITER,
PERADILAN AGAMA,
PERADILAN TATA USAHA NEGARA,

serta
ORGANISASI DAN TATA KERJA
KEPANITERAAN / SEKRETARIAT JENDERAL
MAHKAMAH AGUNG - RI

Dihimpun oleh :
MAHKAMAH AGUNG - RI
Februari 1992
KATA PENGANTAR

Buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan telah


diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI pada bulan Januari 1990 dengan
maksud untuk memudahkan mendapatkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan semua lingkungan peradilan karena
telah diusahakan dihimpun dalam satu buku.
Agar buku himpunan tersebut sebagai sarana penunjang dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari kegunaannya dapat ditingkatkan, maka
pada edisi ke 2 ini isinya telah dilengkapi dengan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang tentang Hukum
Acara Pidana Militer.
Semoga usaha untuk menyempurnakan dengan melengkapi isi
Buku Himpunan ini kiranya akan dapat lebih bermanfaat.

Jakarta, Februari 1992


Kepala Biro Umum

SOETOPO, S. H.

v
DAFTAR ISI

Hal.
1. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan K ehakim an......................... 1
2. Penjelasan atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Ten­
tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 12
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah A gung.................................... 27
4. Penjelasan atas Undang-undang . Republik Indonesia
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah A gung.................. 56
5. Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1986
Tentang Peradilan Umum .............................. '......................... 75
6. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan U m um ...................... ............ 97
7. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana......................... 111
8. Penjelasan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana . . 213
9. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara................................ 255
10. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara............. 306
11. Undang-undang No. 5 Tahun 1950 Tentang Susunan
Dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan
Peradilan Ketentaraan ................................................................. 357
12. Undang-undang No. 22 PNPS Tahun 1965 Tentang
Perobahan dan Tambahan Beberapa Pasal dalam Undang-
Undang No. 5.Tahun 1950 ....................................................... 369
13. Penjelasan atas Undang-undang No. 22 PNPS Tahun
1965 .................................. V73
14. Undang-undang No. 6 Tahun 1950 Tentang Hukum
Acara Pidana pada Pengadilan T entara................................... 375
15. Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1958 Tentang
Perubahan Undang-undang No. 6 Tahun 1950 Tentang
Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan ......... 381
16. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.................................................... 401
17. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama............................ 428
18. Undang-undang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan
Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Mahkamah
Agung..................................................................................... 447
19. Penjelasan atas Undang-undang No. 13 Tahun 1965
tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
Dan Mahkamah Agung............................................. 464
20. Isi Undang-undang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950 473
21. Undang-undang Mahkamah Agung No. 1Tahun 1950 475
22. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75 Tahun
1985 tentang Organisasi Kepaniteraan/Sekretariat Jen­
deral Mahkamah A gung....................................................... 511
23. Keputusan Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
RI No. MA/PANSEK/02/SK Tahun 1986 tentang Or­
ganisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan/Sekretariat Jende­
ral Mahkamah Agung R I......................................... 519
24. Lampiran Keputusan Panitera/Sekretaris Jenderal Mah­
kamah Agung RI No. MA/PANSEK/02/SK/Tahun 1986
Tanggal: 1 April 1986 ......................................................... 553

riii
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970


TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN
KEHAKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 ten­
tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha­
kiman (Lembaran Negara tahun 1964 No. 107)
tidak merupakan pelaksanaan mumi dari pasal 24
Undang-undang'Dasar 1945, karena memuat keten­
tuan-ketentuan yang bertentangan dengan Undang-
undang Dasar 1945;
b. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara tahun 1964 No. 107) telah dinya­
takan tidak berlaku dengan Undang-undang No. 6
tahun 1969 tetapi saat tidak berlakunya Undang-
undang tersebut ditetapkan pada saat Undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
• c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas
perlu ditetapkan Undang-undang baru mengenai
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945;

1
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 24 dan pasal
25 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen­
tara No. X/MPRS/1966 pasal 2 dan pasal 3;
3. Undang-undang No. 6 tahun 1969;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
Memutuskan :
Pertama :
Mencabut : Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kedua:
Menetapkan: Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Pasal 2.
(1) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1
diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan
Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.
(2) Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan
kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2
Pasal 3.
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Peradilan Negara meneterapkan dan menegakkan hukum dan ke­
adilan yang berdasarkan Pancasila.
Pasal 4.
(1) Peradilan dilakukan ’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN KE­
TUHANAN YANG MAHA ESA”.
(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain
di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
tersebut dalam Undang-undang Dasar.
Pasal 5.
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.
(2) Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari ke­
adilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan.
Pasal 6.
(1) Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan Pengadilan se­
lain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-undang.
(2) Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Penga­
dilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat ber­
tanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan
atas dirinya.
Pasal 7.
Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekua-

3
saan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan
Undang-undang.
Pasal 8.
Setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/
atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 9.
(1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak me­
nuntut ganti kerugian dan rehab ilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
tersebut dalam ayat ( 1 ) dapat dipidana.
(3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan
pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-
undang.

BAB II.
BADAN-BADAN PERADILAN DAN AZAS-AZASNYA.
Pasal 10.
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam ling­
kungan: .
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
(3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
Pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi
dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
4
(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan
Undang-undang.
Pasal 11.
(1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1)
organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing Departemen yang bersangkutan.
. (2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuang­
an tersendiri.
Pasal 12.
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan seper­
ti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang ter­
sendiri.
Pasal 13.
Badan-badan Peradilan khusus di samping Badan-badan Peradilan
yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-undang.
Pasal 14.
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan menga­
dilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk
usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 15.
(1) Semua Pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-
kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang me­
nentukan lain.
(2) Di antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak
sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim anggota sidang.
(3) Sidang dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugas­
kan melakukan pekerjaan Panitera.
5
(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum,
kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.
Pasal 16.
Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadir­
nya tertuduh, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.
Pasal 17.
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, ke­
cuali apabila Undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batal­
nya putusan menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 18.
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 19.
Atas semua putusan Pengadilan tingkat pertama, yang tidak me­
rupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh
fihak-fihak yang bersangkutan, kecuali apabila Undang-undang me­
nentukan lain.
Pasal 20.
Atas putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat diminta­
kan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh fihak yang berkepentingan
yang diatur dalam Undang-undang.
Pasal 21.
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kem­
bali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh
fihak-fihak yang berkepentingan.
6
Pasal 22.
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer,
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Pasal 23.
(1) Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal ter­
tentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan Pengadilan ditanda-tangani oleh Ketua serta Hakim-
hakim yang memutus dan Panitera yang ikut serta bersidang.
(3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan
berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditanda-tangani
oleh Ketua dan Panitera.
Pasal 24.
Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib saling mem­
beri bantuan yang diminta.
B A B III.
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA.
Pasal 25.
Semua Pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan
nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lain­
nya apabila diminta.
Pasal 26.
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua
peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari
Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan per­
undang-undangan yang lebih tinggi.
7
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi.
Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

B A B IV.
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA.
Pasal 27.
(1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, meng­
ikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masya­
rakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib
memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari ter­
tuduh.

Pasal 28.
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang
mengadili perkaranya.
Hak ingkar ialah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap
. seorang Hakim yang akan mengadili perkaranya.
Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh Pengdilan.
(2) Apabila seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah
sampai sederajat ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang
Hakim Anggota, Jaksa, Penasehat Hukum atau Panitera dalam sua-
tu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
perkara itu.
(3) Begitu pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Jaksa atau Panitera
masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan
diri dari pemeriksaan perkara itu.

8
Pasal 29.
Sebelum melakukan jabatannya, Hakim, Panitera Pengganti dan
Jurusita untuk masing-masing lingkungan peradilan harus bersumpah
atau beijanji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/menerangkan dengan sungguh-sungguh bahwa
saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan mene­
rima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau
pemberian”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideo­
logi Negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang
serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indo­
nesia”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­
kan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya Seperti selayaknya bagi seorang Ha-
kim/Panitera/Panitera Pengganti/Juru sita yang berbudi baik dan jujur
dalam menegakkan hukum dan keadilan.”.
B A B V.
KEDUDUKAN PEJABAT PERADILAN (PENGADILAN).
Pasal 30.
Syarat-syarat untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai
Hakim dan tata-cara pengangkatannya dan pemberhentiannya ditentu­
kan dengan Undang-undang.
Pasal 31.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.
Pasal 32.
Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur
dengan peraturan tersendiri.
■: ■ - 9
BAB VI.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN.
Pasal 33.
(1) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh Jaksa.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1)
oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut de­
ngan Undang-undang.
(3) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
(4) Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya peri­
kemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Pasal 34.
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peratur­
an perundang-undangan.
BAB VII.
BANTUAN HUKUM
Pasal 35.
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
Pasal 36.
Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat di­
lakukannya penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi
dan meminta bantuan Penasehat Hukum.
Pasal 37.
Dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas,
Penasehat Hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan
menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.
Pasal 38.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 35, 36 dan 37 tersebut
di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
10
BAB vm.
P E N U T U P .

Pasal 39.
Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Peme­
rintah.
Pasal 40.
Semua peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertentangan dengan Undang-
undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41.
Undang-undang ini dinamakan UNDANG-UNDANG KEKUASA­
AN KEHAKIMAN.
Pasal 42.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 17 Desember 1970
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1.1, d.
SOEHARTO.
Diundangkan di Jakarta, JENDERAL TNI.
pada tanggal 17 Desember 1970
Sekretaris Negara Republik Indonesia
t.td .
ALAMSJAH
MAY. JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1970
NOMOR 74.
11
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.

I. UMUM.
1. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali ke­
pada Undang-undang Dasar, kepada jiwa proklamasi 17 Agus­
tus 1945.
Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dan ketentuan-ketentu­
an Undang-undang Dasar 1945 itu belum dilaksanakan secara
mumi.
Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa pasal 24 dan pasal 25
Undang-undang Dasar 1945 dalam Penjelasannya secara tegas
telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah ke­
kuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekua­
saan Pemerintah, akan tetapi ternyata dalam praktek dan
pelaksanaannya telah menyimpang dari Undang-undang Da­
sar, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang No. 19 tahun
1964, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk
dalam ’’beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam
soal-soal Pengadilan”.
2. Dalam rangka pemurnian pelaksanaari'Undang-undang Dasar
1945 sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis Permusya­
waratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 juncto
No. XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama De­
wan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah mengadakan
peninjauan Undang-undang No. 19 tahun 1964 dengan
Undang-undang No. 6 tahun 1969 pasal 2 lampiran III nomor
urut 3 yang menghendaki adanya Undang-undang untuk
menggantikannya.
3. Dengan dicabutnya Undang-undang No. 19 tahun 1964 ter­
sebut di atas terjadilah suatu kekosongan, yang akan meng­
hambat jalannya peradilan pada umumnya.

12
Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­
hakiman yang baru sebagai penggantinya.
Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi
kekosongan tersebut di atas harus pula menjaga pemurnian
pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945.
Untuk itu perlulah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, di­
usahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan
peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubung­
an peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan Un­
dang-undang Dasar 1945 supaya pelaksanaannya nanti dapat
sesuai dengan Pancasila.
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada
Badan-badan Peradilan dengan ketentuan bahwa Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakkan dasar serta azas-azas peradilan serta pedo­
man bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ma­
sing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.
4. Undang-undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya tidak
memberikan keterangan mengenai arti Kekuasaan Kehakiman
secara tim tas (”uit-puttend”). Namun ketentuan-ketentuan
dalam pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 be­
serta Penjelasannya antara lain mencantumkan: ’’Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang” dan
’’Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
Hakim ditetapkan dengan Undang-undang”.
Maka yang dituju dengan ’’Kekuasaan Kehakiman” dai api
pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 ialah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna me­
negakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

13
Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Badan-badan
Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tu­
gas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Penjelasan Un­
dang-undang Dasar ’’Negara Indonesia berdasar atas hukum,
tidak berdasarkan kekuasaan belaka”.
Dalam Undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan-
ketentuan pokok, yang memberi perlindungan hak-hak azasi
manusia dalam bidang peradilan, sesuai dengan jiwa Undang-
undang Dasar 1945.
Untuk menjamin terlaksananya maksud tersebut sampai men­
dapat hasil yang diharapkan perlu adanya penegak hukum
dan keadilan selaku badan pelaksana, yang melakukan tugas­
nya seadil-adilnya dan tidak memihak. Untuk menjaga, su­
paya keadilan dijalankan seobyektif-obyektifnya dimuat da­
lam Undang-undang ini antaralain beberapa peraturan yang
menentukan:
a. diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan dalam si­
dang terbuka'untuk umum oleh sekurang-kurangnya tiga
orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang menentu­
kan lain;
b. diwajibkannya kepada Hakim yang masih terikat dalam
hubungan kekeluargaan tertentu dengan tertuduh, Ke­
tua, Hakim Anggota lainnya, Jaksa atau Panitera dalam
suatu perkara tertentu untuk mengundurkan diri dari
pemeriksaan perkara itu;
c. pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama
semenjak seseorang dikenakan penangkapan dan atau
penahanan;
d. diadakannya kemungkinan untuk mengganti kerugian
serta rehabilitasi seseorang yang ditahan, dituntut atau­
pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya.
6. Pada hakekatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan
tersebut baik/buruknya tergantung dari pada manusia-manu­
sia pelaksananya, in casu para Hakim, maka untuk itu perlu-''
lah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Po­
kok Kekuasaan Kehakiman ini dicantumkan syarat-syarat
yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim yaitu
jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari
pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.
Untuk memperoleh Hakim seperti tersebut di atas perlu ada
kerja sama seria konsultasi antara Mahkamah Agung dan
Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pember­
hentian, pemindahan, kenaikan pangkat ataupun tindakan/
hukuman administratif terhadap Hakim-hakim Pengadilan
Umum, sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan,
pemberhentian dan lain-lainnya.
Dengan demikian, khususnya dalam soal-soal kepegawaian
yang bersangkutan dengan Hakim yang dilakukan oleh Pe­
merintah, Mahkamah Agung tidak akan ditinggalkan, bahkan
akan didengar dan diikut-sertakan.
Keija-sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan-per­
timbangan ataupun saran-saran yarig dapat diberikan oleh
kedua badan tersebut setidak-tidaknya dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya subjektivisme, apabila soal-soal
yang berhubungan dengan kepegawaian Hakim ditentukan
dan dilakukan secara eksklusip oleh satu badan dalam soal-
soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain.
Jaminan tersebut di atas kurang sempurna apabila tidak
disertai dengan adanya peraturan-peraturan yang menjamin
kukuhnya kedudukan para Hakim, untuk mana Undang-
undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk mengatur
kedudukan, pangkat dan gaji para Hakim dengan peraturan
yang tersendiri yang lebih menjamin bahwa Hakim tidak
akan dipengaruhi baik materiil maupun karena jabatan. Se­
dangkan sebagai syarat bathiniyah kepada para Hakim dalam
menjalankan keadilan oleh Undang-undang ini diletakkan
suatu pertanggunganjawab, yang lebih berat dan mendalam
15
dengan menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpah
jabatannya dia tidak hanya bertanggung-jawab kepada hu­
kum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga ber­
tanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan, bahwa
peradilan dilakukan ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
7. Penegasan bahwa peradilan adalah Peradilan Negara, dimak­
sudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau
akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapraja atau Per­
adilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan
Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk
mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan
mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu ke­
pada Peradilan-peradilan Negara.
Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan meng­
integrasikan diri dalam masyarakat, telah teijamin sepenuh­
nya bahwa perkembangan dari penetrapan hukum tidak ter­
tulis itu akan beijalan secara wajar.
8. Ketentuan bahwa ’’PERADILAN DILAKUKAN DENGAN
SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN” tetap harus
dipegang teguh yang tercermin dalam Undang-undang tentang
Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang me­
muat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuk­
tian yang jauh lebih sederhana.
9. Peradilan dilaksanakan oleh Majelis yang terdiri dari seku­
rang-kurangnya tiga orang Hakim.
Mengingat bahwa Negara Republik Indonesia memiliki wila­
yah yang sangat luas dan sulitnya alat-alat pengangkutan,
maka bagi daerah-daerah yang terpencil di mana terdapat ke­
kurangan Hakim, perlu dibuka kemungkinan untuk melaku­
kan penyimpangan dari ketentuan tersebut di atas.
10. Agar Pengadilan benar-benar menjalankan keadilan demi me­
menuhi hasrat dari para pencari keadilan, maka di samping
16
kemungkinan untuk memohon pemeriksaan pada tingkat
banding dan kasasi, dibuka pula kemungkinan untuk memo­
hon peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Peninjauan kembali ini dilakukan apabila terdapat fakta-fakta
atau keadaan-keadaan yang pada waktu mengadili dahulu be­
lum diketahui.
H. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pe­
ngertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebe­
basan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang
dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan
oleh Undang-undang.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah
mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara
yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya men­
cerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Pasal 2.
(1) Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada Ba­
dan-badan Peradilan mengandung pengertian di dalam­
nya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan
jurisdiksi voluntair.
(2) Cukup jelas.
Pasal 3.
(1) Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping Peradilan
Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-per­
adilan yang dilakukan oleh bukan Badan Peradilan Ne­
gara.
17
Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar per­
damaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperboleh­
kan.
(2) Cukup jelas.
Pasal 4.
(1) ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan pasal 29
Undang-undang Dasar yang berbunyi:
1. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha
Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Rumusan ini berlaku untuk semua Pengadilan da­
lam semua lingkungan peradilan.
(2) Peradilan, harus memenuhi harapan dari para pencari
keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat,
tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemerik­
saan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebab­
kan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-
kadang harus dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari ke­
adilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mung­
kin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua de­
ngan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari
kebenaran dan keadilan.
(3) Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan
dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya,
yakni memberikan keputusan yang semata-mata ber­
dasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak
dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau penga­
ruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para
Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan
yang seadil-adilnya.

18
Pasal 5 sampai dengan pasal 8.
Ini semua menjamin hak-hak azasi manusia yang mendapat­
kan perlindungan dalam Negara berdasarkan Pancasila.
Pasal 9.
Pengertian rehabilitasi dalam Undang-undang ini adalah pe­
mulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula
yang diberikan oleh Pengadilan.
Pasal 10.
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkung­
an peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan
wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-
badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara me­
rupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat ter­
tentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi
rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata,
maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak
menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diffeien-
siasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misal­
nya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhusus­
an berupa Pengadilan Lalu-Lintas, Pengadilan Anak-
anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan
Undang-undang.
(2) Cukup jelas.
(3) Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir
(kasasi) bagi semua lingkungan peradilan.
(4) Pengawasan tertinggi terhadap Pengadilan dalam semua
lingkungan peradilan ditetapkan dalam Undang-undang
tersendiri.
Ratio untuk menentukan ini, karena adanya aspek-
aspek khusus dari masing-masing lingkungan peradilan

19
baik dalam bidang persoalan maupun dalam bidang me­
ngenai orang-orangnya baik dalam hukum materiil mau­
pun formil, yang diterapkannya. Kesemuanya itu perlu
mendapatkan perhatian dari masing-masing Undang-
undang yang berlaku.
Pasal 11.
(1) Cukup jelas.
(2) Hal demikian berarti bahwa organisasi, administrasi dan
keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan ke­
uangan Departemental, walaupun demikian penentuan
organisasi, administrasi dan keuangan Sekretariat Mah­
kamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan
bahan-bahan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 12 dan pasal 13.
Cukup jelas.
Pasal 14.
(1) Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap memahami
hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon
keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum ter­
tulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk me­
mutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijak­
sana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara.
(2) Cukup jelas.
Pasal 15.
(1) Sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum ad. 9.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
Pasal 16 sampai dengan pasal 20.
Cukup jelas.
Pasal 21.
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap pu­
tusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum,
yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara
perdata diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, ter­
masuk di dalamnya juga para ahli-waris dari pihak-pihak yang
berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli
warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan
dalam Hukum Acara.
Pasal 22.
Kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara-
perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota
ABRI bersama-sama non ABRI, pada hakekatnya merupakan
suatu kekecualian ataupun penyimpangan dari ketentuan,
bahwa seorang semestinya dihadapkan di depan Pengadilan­
nya masing-masing.
Justru karena hal ini merupakan suatu kekecualian, maka
kewenangan Pengadilan Umum ini terbatas pada bentuk-
bentuk pensertaan dalam suatu delik, seperti dimaksudkan
oleh pasal-pasal 55, 56 K.U.H.P.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri
Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakim­
an untuk menetapkan Pengadilan Militer sebagai pengadilan
yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut.
Pensertaan pada suatu delik militer yang mumi oleh seorang
bukan militer dan perkara pensertaan, di mana unsur militer
melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk
menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadil»! Umum, ia­
lah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demi­
kian. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer,
maka susunan Hakim adalah dari Pengadilan Militer dan
Pengadilan Umum.
Dalam hal ini kepentingan dari justidabel tetap mendapat
perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang ber­
sidang. Dalam waktu perang di mana bedaku hukum ekse-

21
tionil ataupun hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu
dilakukan bersama-sama dengan seorang sipil orang-orang mi­
liter tidak ditarik dari pengadilannya.
Pasal 23 dan pasal 24.
Cukup jelas.
Pasal 25.
Dengan Lembaga Negara dimaksudkan semua Lembaga Ke­
negaraan baik di Pusat maupun di Daerah.
Pasal 26.
Pasal ini mengatur tentang hak menguji dari Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung berhak untuk menguji peraturan
yang lebih rendah dari Undang-undang mengenai sah tidak­
nya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ke­
tentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak mengujinya
berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil
putusan suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan
yang lebih rendah dari Undang-undang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Mah­
kamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan ter­
sebut adalah tidak sah dan tidak bedaku untuk umum; oleh
karena itu pencabutan peraturan ini segera harus dilakukan
oleh instansi yang bersangkutan. Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia hak menguji Undang-undang dan per­
aturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar sebagai fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah
Agung.
Oleh karena Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya,
maka tidak dengan sendirinya hak menguji Undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat
diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut
apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharus­
nya merupakan ketentuan Konstitutionil.

22
Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan
hak menguji oleh Mahkamah Agung.
Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-undang Dasar
1945 dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengatur­
nya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara
alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti
bahwa Undang-undang ini (Undang-undang tentang Ketentu­
an-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) tidak dapat
memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak
menguji, apalagi secara materiil Undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar.
Hanya Undang-undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) da­
pat memberikan ketentuan.
Pasal 27.
(1) Dalam masyarakat yang masih'mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan per­
alihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Dengan demikian^ Hakim dapat memberikan putusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyara­
kat.
(2) Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh
wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan
pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitung­
kan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-
adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari
keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun te­
tangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
Pasal 28.
Cukup jelas.
23
Pasal 29.
Pada waktu pengambilan sumpah/janji lazimnya dipakai kata-
kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing yaitu misal­
nya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata
’’Demi Allah” dan untuk agama Kristen/Katholik diakhiri de­
ngan kata-kata ’’Semoga Tuhan menolong saya”.
Pasal 30.
Cukup jelas.
Pasal 31.
Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh
Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya.
Pasal 32.
Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugas­
nya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan
jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung
jawabnya.
Pasal 33.
(1) Cukup jelas.
(2) Untuk mendapatkan .jaminan bahwa putusan tersebut
dilaksanakan sebagaimana mestinya, Ketua Pengadilan
yang bersangkutan mengawasi pelaksanaan putusan ter­
sebut.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
Pasal 34.
Cukup jelas.
Pasal 35.
Merupakan suatu azas yang penting bahwa seorang yang ter­
kena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan
24
hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlin­
dungan sewajarnya.
Perlu diingat juga ketentuan dalam pasal 8, di mana seorang
tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putus­
an Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Karena pentingnya maka supaya diadakan Undang-undang
tersendiri tentang bantuan hukum.
Pasal 36.
Sesuai dengan sila Perikemanusiaan maka seorang tertuduh
harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai ma­
nusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap
tidak bersalah.
Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan
keluarga atau penasehat hukumnya terutama sejak ia ditang-
kap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan sendirinya tidak
boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai de­
ngan penyidikan.
Untuk itu Penyidik dan penuntut umum dapat melakukan
pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ke­
tentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
Pasal 37.
Cukup jelas.
Pasal 38.
Cukup jelas.
Pasal 39.
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Drt. Tahun 1951 tentang
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, su­
sunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil pasal 1 ayat (2)
oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilaku­
kan penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja, di seluruh Bali,
Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan,
25
Jambi dan Maluku. Dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun
1966 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja dan
Pembentukan Pengadilan Negeri di Man Barat dihapus pula
Pengadilan Adat/Swapraja di Man Barat.
Peraturan Presiden tersebut dengan Undang-undang No. 5
tahun 1969 telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
Dalam pasal 1 dicantumkan, bahwa pelaksanaan penghapus­
annya diserahkan kepada Keputusan Bersama Gubernur Ke­
pala Daerah dan Ketua Pengadilan Tinggi Propinsi Man
Barat.
Sebagai pelaksanaan telah dikeluarkan Keputusan Bersama
Gubernur Kepala Daerah Propinsi Man Barat dan Ketua Pe­
ngadilan Tinggi Jayapura No. ll/G IB /1970 tentang Pelak-
No. 1 l/IV /1970
sanaan Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di daerah
tertentu di Propinsi Irian Barat.
Dalam pasal 1 ayat (1) untuk tahap pertama telah dihapus
Pengadilan Adat/Swapraja sebagai berikut:
Pengadilan Swapraja Jayapura, Lembah Balim, Nabiro, Biak,
Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Fak-Fak, Kaimana, Serui,
Bokondini.
Pengadilan Adat di Merauke, Tanah Merah, Mindiptana.
Pasal 40 sampai dengan pasal 42.
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2951.

26
L
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,
dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut
dan menjamin persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum diperlukan upaya untuk menegak­
kan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum yang mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan ten­
tang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang
selama ini masih didasarkan pada Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi
dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970;
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun
27
1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat
tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur kedudukan, susunan
dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara
yang berlaku bagi Mahkamah Agung;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pa­
sal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repu­
blik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedu­
dukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi
Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Npgara Tahun 1970 Nomor 74, Tam­
bahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH
AGUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Kedudukan Mahkamah Agung
Pasal 1
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimak­
sudkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor m /M PR/1978.
28
Pasal 2
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Ling­
kungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indo­
nesia.
BAB II
SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.
Pasal 5
(1) Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua, seorang
Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua Muda.
(2) Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
Pasal 6
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka
yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 7
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
29
a. warganegara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, da­
sar negara, dan ideologi nasional, kepada Proklamasi 17 Agus­
tus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi
kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban amanat
penderitaan rakyat;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan sese­
orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI” atau organisasi
terlarang lainnya;
e. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain dan mempunyai
keahlian di bidang hukum;
f. berumur serendah-rendahnya 5 0 (lima puluh) tahun ;
g. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Tingkat Banding;
h. berwibawa, jujur, adil, dah berkelakuan tidak tercela.
(2) Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk meng­
angkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier
dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-
kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum.
Pasal 8
(1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari
daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di­
ajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku
Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pen­
dapat Mahkamah Agung dan Pemerintah.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden
selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku
Kepala Negara diantara Hakim Agung yang diusulkan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
30
(5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua
Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-
masing 2 (dua) orang calon.
Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung wajib mengucapkan sum­
pah atau janji menurut Agama atau Kepercayaannya yang ber­
bunyi sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberi­
kan aiau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga” .
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-
undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia”.
”Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­
kan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim anggota
Mahkamah Agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan”.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung meng­
ucapkan sumpah atau janji dihadapan Presiden selaku Kepala
Negara.
(3) Hakim Anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 10
(1) Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
31
a. pelaksana putusan Mahkamah Agung;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
c. - penasihat hukum;
d. pengusaha.
(2) Kecuali larangan perangkapan jabatan lain yang telah diatur dalam
undang-undang, maka jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh
Hakim Agung selain jabatan tersebut ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
(2) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Ne­
gara.
Pasal 12
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan
alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan, yang dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
tersebut dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk
membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.
32
(3) Pembentukan, susunan, dan tata keija Majelis Kehormatan Mah­
kamah Agung diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 13
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksudkan Pasal 12 ayat (1) dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara yang dimaksud­
kan ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan
Pasal 12 ayat (2).
Pasal 14
(1) Apabila terhadap seorang Hakim Agung ada perintah penangkapan
yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim Agung
tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim Agung dituntut di muka Pengadilan dalam
perkara pidana seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan, maka ia dapat di­
berhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hor­
mat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian semen­
tara, serta hak-hak pejabat yang diberhentikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16
(1) Kedudukan protokol Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Ha­
kim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang-undang.
(2) Hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang-
undang.
Pasal 17
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
33
Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa
Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan,
atau;
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keaman­
an negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan tersebut ayat (1) huruf
a dan huruf b selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali
24 (dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.

Bagian Ketiga
Panitera Mahkamah Agung
Pasal 18
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipim­
pin oleh seorang Panitera dan dibantu oleh seorang Wakil Panitera,
beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 19
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Kepani­
teraan Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 20
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah saijana hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 15 (lima
belas) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Mahkamah Agung
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
34
a. syarat-syarat^ sebagaimana dimaksudkan: ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d ;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 7 (tujuh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh)
tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung


seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 5 (lima) tahun
sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau 5 (lima)
tahun sebagai Panitera Pengganti Mahkamah Agung.

(4) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah


Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai beri­
kut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,
j

huruf b, huruf c, dan huruf d ;


b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun se­
bagai Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.

Pasal 21
Panitera, Wakil Panitera Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah
Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 23
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
35
Pasal 24
Sebelum memangku jabatannya Panitera Muda dan Panitera Pengganti
Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Bagian Keempat
Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
Pasal 25
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh seorang
Wakil Sekretaris Jenderal.
Pasal 26
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Sekreta­
riat Jenderal Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 27
Panitera Mahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG
Pasal 28
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memu­
tus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas
dalam Mahkamah Agung.
Pasal 29
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
36
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat .Terakhir dari semua Ling­
kungan Peradilan.
Pasal 30
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau
penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan
karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan per-
undang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Pasal 31
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan pemndang-undangan di bawah undang-
undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua per­
aturan perundang-undangan dari tihgkat yang lebih rendah dari­
pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksa­
an dalam tingkat kasasi.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkut­
an.
Pasal 32
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pe­
nyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugas- '
nya.
37
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua
Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua
Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi ke­
bebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 33
(1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewenangan mengadili:
a. antara Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang satu dengan
Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
b. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Peng­
adilan Tingkat Banding yang berlainan dari Lingkungan
Peradilan yang sama;
c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan yang sama atau antara Lingkungan Peradilan yang
berlainan.
(2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama
dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan
kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku.

Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-
alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang
ini.
'38
Pasal 35 - > > ^ ■ ■ ■ ---•i —
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden se­
laku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi.
Pasal 36 ■ ■-
Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Pena­
sihat Hukum dan Notaris. 'V '
Pasal 37
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertim baiigan
dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga
Tinggi Negara yang lain. '
! Pasal 38 '
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dan dan memberi­
kan petunjuk kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan da­
lam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-un­
dang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 39 j !"
Di samping tugas dlan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah
Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.-’1 ;

BAB IV
HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH AGUNG
Bagian Pertama
;.;h -^ Umum .
Pasal 40
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-ku­
rangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Pasal 41
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah
bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera
pada Majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1).
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri
meskipun sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur Mili­
ter, Terdakwa, Penasihat hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat
(2) berlaku juga antara Hakim Agung dan/atau Panitera Mahka­
mah Agung dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Ban­
ding, yang telah mengadili perakara yang sama.
(4) Jika seorang Hakim yang memutus perkara dalam tingkat per­
tama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung,
maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang
sama.
(5) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau
tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka
putusan tersebut batal dan perkara tersebut wajib segera diadili
ualng dengan susunan Majelis yang lain.
Pasal 42
(1) Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara
yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak lang­
sung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Hakim yang ber­
sangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri
40
maupun atas permintaan Penuntut Umum, Oditur Militer, Ter- .
dakwa, Penasihat Hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai'
hal sebagaimana tersebut ayat (1), maka:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai
pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang
berwenang menetapkannya adalah suatu panitia, yang terdiri
dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan di antara Hakim
Agung yang tertua dalam jabatan.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Kasasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 43
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
Pasal 44
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat di­
ajukan oleh:
a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara
tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Peng­
adilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkung­
an Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan
untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara
pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat
41
Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan
Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara. pidana, sebelum Mahkamah
Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung karena jabatan­
nya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara
tersebut.
Pasal 45
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh
Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata atau
tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di Lingkung­
an Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf
a.
(2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya
1 (satu) kali.
(3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan
pihak yang berperkara.
Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 46
(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara ter­
tulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama
yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang di­
maksudkan diberitahukan kepada pemohon.
(2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat
tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berper­
kara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putus­
an.
(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat
(1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari
itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada
berkas perkara.
(4) Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permo-
42
honan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Per­
tama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara ter­
tulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Pasal 47
(1) Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampai­
kan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang
dimaksud dicatat dalam buku daftar.
(2) Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan me­
nyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan
dalam perkara yang dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh hari).
(3) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori
kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), dalam
tenggang waktu 14 (empat belas hari), sejak tanggal diterimanya
salinan memori kasasi.
Pasal 48.
(1) Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori
kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, Panitera Pengadilan
yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan
permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi,
beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut
dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut
tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya,
dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Pasal 49
(1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung,
maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon,
dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengaju­
kan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang
waktu kasasi belum lampau.
43
(2) Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan ayat (1)
dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mah­
kamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 50
(1) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan
surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung men­
dengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan
Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang
memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi.
(2) Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan
mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuk­
tian yang berlaku bagi pengadilan Tingkat Pertama.
Pasal 51
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
berdasarkan Pasal 30 huruf a, maka Mahkamah Agung menye­
rahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang
memeriksa dan memutusnya.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, maka Mahkamah
Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu.

Pasal 52
Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alas­
an-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alas­
an-alasan hukum lain.

Pasal 53
(1) Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Per­
tama yang memutus perkara tersebut.
(2) Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama di­
beritahukan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tingkat Pertama tersebut.
44
Pasal 54
Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum
acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 55
(1) Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Agama atau yang diputus oleh Pengadil­
an di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer digunakan hukum
acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Militer.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Sengketa Tentang
Kewenangan Mengadili
Paragraf 1
Umum
Pasal 56
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus sengketa tentang ke-
wenangan mengadili sebagaimana dimaksudkan Pasal 33 ayat (1).
(2) Sengketa tentang kewenangan mengadili teijadi:
a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang
mengadili perkara yang sama;
b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak ber­
wenang mengadili perkara yang sama.
45
Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 57
(1) Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenang-
an mengadili dalam' perkara perdata, diajukan secara tertulis
kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam
buku daftar sengketa tentang kewenangan mengadili perkara
perdata dan atas perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan
salinannya kepada pihak lawan yang berperkara dengan pembe­
ritahuan bahwa ia dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari se­
telah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan
jawaban tertulis kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan
alasan-alasannya.
(3) • Setelah permohonan tersebut diterima maka pemeriksaan perkara
oleh Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai sengketa
tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
(4) Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada:
a. para pihak melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 5 8
Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan
mengadili perkara pidana, diajukan secara tertulis oleh Penuntut Umum
atau terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.
Pasal 59
(1) Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58
diajukan oleh Penuntut Umum maka surat permohonan dan ber­
kas perkaranya dikirimkan oleh Penuntut Umum kepada Mah­
kamah Agung, sedangkan salinannya dikirimkan kepada Jaksa
Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejak­
saan lain serta kepada terdakwa.
(2) Penuntut Umum pada Kejaksaan lain, demikian pula terdakwa
46
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hati setelah menerima salinan
permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyam­
paikan pendapat masing-masing kepada Mahkamah Agung.
Pasal 60
(1) Apabila permohonan diajukan oleh terdakwa, maka surat per­
mohonannya diajukan melalui Penuntut Umum yang bersangkut­
an, yang selanjutnya meneruskan permohonan tersebut beserta
pendapat dan berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) me­
ngirimkan salinan surat permohonan dan pendapatnya kepada
Penuntut Umum lainnya.
(3) Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2) me­
ngirimkan pendapatnya kepada Mahkamah Agung selambat-lam­
batnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan
tersebut.
Pasal 61
(1) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1)
secepat-cepatnya menyampaikan 'salinan permohonan tersebut
kepada para Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
(2) Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan
perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai
sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
Pasal 62
(1) Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang meme­
riksa perkara meminta keterangan dari terdakwa tentang hal-hal
yang dianggap perlu.
(2) Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah
tersebut ayat (1) segera memuat berita acara pemeriksaan dan
mengirimkannya kepada Mahkamah Agung.
Pasal 63
(1) Dalam hal sengketa kewenangan sebagaimana dimaksudkan Pasal
58, Mahkamah Agung memutus sengketa tersebut setelah mende­
ngar pendapat Jaksa Agung.
47
(2) Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat (1) ke­
pada terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara tersebut.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 64
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Penga­
dilan yang teijadi:
a. di Lingkungan Peradilan Agama;
b. di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Penga­
dilan di Lingkungan Peradilan Militer, dilakukan menurut ke­
tentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.

Paragraf 4
Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan
Mengadili Antar Lingkungan Peradilan
Pasal 65
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara:
a. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadil­
an di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadil­
an di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Militer dilakukan menurut ketentuan
Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.

48
Bagian Keempat
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap
Paragraf 1
Umum
Pasal 66
(1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu)
kali.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau meng­
hentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum
diputus, dan dSlam hal sudah dicabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

Paragraf 2.
Peradilan Umum
Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya di­
putus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksg
tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
4i
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68
(1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para
pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal
dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang di­
dasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah
180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang ber­
perkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan ber­
tentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberi­
tahukan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 70
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada
50
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara
yang diperlukan.
(2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir.
Pasal 71
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan
dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
(2) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan per­
mohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang per­
mohonan tersebut.
Pasal 72
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka
Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari memberikan atau mengirimkan salinan per­
mohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
a. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas
alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau huruf
b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengaju­
kan jawabannya;
b. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas
salah satu alasan yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai
dengan huruf f agar dapat diketahui.
(2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya
sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan
kembali.
(3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang
51
memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban
itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya
jawaban tersebut, yang salinannya disampaikan atau dikirimkan
kepada pihak pemohon untuk diketahui.
(4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta
biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung se­
lambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
(5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat me­
nyurat antara pemohon dan/atau pihak lain dengan Mahkamah
Agung.
Pasal 73
(1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan
Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau me­
minta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang
dimaksud.
(2) Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung
atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan apabila di­
perlukan.
(3) Pengadilan yang dimaksudkan ayat (1), setelah melaksanakan pe­
rintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara
pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksud­
kan ayat (1), kepada Mahkamah Agung.
Pasal 74
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjau­
an kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang di­
mohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memerik­
sa serta memutus sendiri perkaranya.
(2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali,
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu
tidak beralasan.
(3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan
ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan.
52
Pasal 75
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan
peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara
dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon serta
memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan
salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 76
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara
pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara
peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 77'
(1) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau oleh Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum
acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai
dengan Pasal 75.
(2) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer, digunakan hukum
acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Sengketa Yang
Timbul Karena Perampasan Kapal

Pasal 78
Pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
53
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia dilakukan berdasar­
kan undang-undang.

BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 79
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pe­
laksanaan yang telah ada mengenai Mahkamah Agung dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sepanjang mengenai ketentuan tentang Mahka­
mah Agung dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
R,epublik Indonesia.
54
Dfeahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd
SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985


NOMOR 73
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET R I'
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
cap/ttd.
Bambang Kesowo, S.H. LL.M.

55
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG

I. UMUM
1. Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang
diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara adalah masyara­
kat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat,
bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perike-
hidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib.
Suasana perikehidupan tersebut di atas merupakan
bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa In­
donesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian
upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan ber­
kesinambungan. Namun demikian pengalaman dalam ke­
hidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menun­
jukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan perikehidupan
seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling
berkait satu dengan lainnya.
Cita tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan
ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan
hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana perikehidupan
sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya adalah, bahwa
hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiat­
an pembangunan di bidang hukum dalam kerangka pelaksana-
naan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini
pula, maka salah satu pendekatan yang ingin dilakukan ada­
lah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
2. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Re­
publik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan
56
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/
atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara dihubungkan
dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk :
a. memeriksa dan memutus :
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan Pengadil­
an yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik
diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada Presiden selaku
Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan per-
undang-undangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan
Undang-undang:
Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan
tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksa­
nakan hal-hal sebagai berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi :
1) jalannya peradilan;
2) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim
di semua Lingkungan Peradilan;
3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat
Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan;
4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang
diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan dari :
1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan;
2) Jaksa Agung;
3) pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara
pidana.
57
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan
bagi kelancaran jalannya peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai admi­
nistrasi peradilan maupun administrasi umum.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
bahwa :
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna me­
negakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indone­
sia;
b. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan
di lingkungan :
- Peradilan Umum;
- Peradilan Agama;
- Peradilan Militer;
- Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan me­
lakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah
Agung seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan
yang mantap, jelas, dan tegas kepada lembaga ini.
Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970, adalah bahwa peradilan harus
memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu meng­
hendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan
biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta
sebagai upaya untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih
efektif dan efisien dalam penyelenggaraan kekuasaan ke­
hakiman di negara hukum Republik Indonesia, maka dalam
Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung ada­
lah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan
s Peradilan.
4. Untuk memperoleh Hakim Agung* yang merdeka, berani me­
ngambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam
maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diurai­
kan dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan
sistem karier dan tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula di­
buka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang
tidak didasarkan sistem karier. Untuk Hakim Agung yang
didasarkan sistem karier berlaku ketentuan Pasal 11 Undang-
undang Nomo 8 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041).
Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terdptanya
suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur
penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai ’’Contempt o f Court”.

5. Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksa­


nakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga memberikan
kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri pem­
bidangan tugas dalam susunan organisasinya sehingga dapat
secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah
yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas
dan berat, maka untuk memberi dukungan administrasi
yang sebaik-baiknya, dalam Undang-undang ini ditetapkan
adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap oleh Panitera
Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dengan demikian penyelenggaraan pe­
layanan administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan
dapat dilakukan dengan lebih efektif dan terpadu. Untuk itu,
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Panitera Mahkamah
i
j
59
Agung dibantu oleh Wakil Panitera Mahkamah Agung untuk
tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan ad­
ministrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian,
peralatan, pemeliharaan, dan lain-lain.
Dengan pemisahan ini, maka panitera dapat lebih me­
musatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang bersifat
teknis peradilan, sedangkan pemberian dukungan administrasi
yang meliputi administrasi keuangan, kepegawaian, peralatan,
pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan oleh Sekreta­
riat Jenderal.

H. PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan
sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam hal-hal
60
tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat
Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier..
Yang dimaksud dengan sarjana lain yang mempunyai ke­
ahlian di bidang hukum sebagaimana dimaksudkan ayat (1)
huruf e adalah mereka yang mempunyai keahlian seperti di
bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum agama,
hukum militer, dan hukum tata usaha negara.
Persyaratan seperti dimaksudkan ayat (1) kecuali huruf g ber­
laku pula bagi pengangkatan Hakim Agung berdasarkan ayat
2
( ).

Pasal 8
A y a t(l)
Daftar nama calon Hakim Agung yang berasal baik dari
kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan
Hakim 'karier disusun berdasarkan konsultasi antara
Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah
Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keten­
tuan yang berlaku, bagi lembaga masing-masing.
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan ’’Pemerintah” adalah Men­
teri yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 9
A y a t(l)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-
kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misal­
nya untuk penganut Agama Islam kata-kata ’’Demi
Allah” sebelum lafal sumpah dan untuk penganut

61
Agama Kristen/Katolik kata-kata ’’Kiranya Tuhan akan
menolong saya” sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas-
Pasal 10
A y a t(l)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Yang dimaksudkan dengan ’’pengusaha” ialah
Hakim Agung yang misalnya mempunyai perusaha­
an, menjadi pemegang saham perseroan atau meng­
adakan usaha perdagangan lain.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Pemberhentian dengan hormat para Hakim Agung
atas permintaan sendiri, mencakup pengertian pengun­
duran diri dengan alasan Hakim Agung yang bersangkut­
an tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan
rumah tangganya sendiri. Pada hakekatnya situasi,
kondisi, suasana dan keteratifran hidup di rumah tangga
setiap Hakim Agung merupakan salah satu faktor yang
penting peranannya dalam usaha membantu meningkat­
kan dtra dan wibawa seorang Hakim Agung dan ini
harus dimulai dari tertib kehidupan rumah tangga
Hakim Agung itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan ’’sakit jasmani atau
rohani terus menerus” ialah yang menyebabkan si
penderita ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas
kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksudkan dengan ’’tidak cakap” ialah
misalnya yang bersangkutan banyak melakukan ke­
salahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Pemberhentian menurut pasal ini diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Yang dimaksudkan dengan dipidana menurut Pasal
12 ayat (1) huruf a ialah dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksudkan dengan ’’melakukan perbuatan
tercela” ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam mau­
pun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksudkan dengan ’’tugas pekerjaannya”
ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang ber­
sangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana ke-
63
jahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga)
bulan.
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung dalam
ayat (1) dan ayat (3) dalam pasal ini adalah Pimpinan
Mahkamah Agung.
Pasal 13
A y a t(l)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Pemberhentian sementara dari jabatan berdasarkan alas­
an tersebut Pasal 12 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e paling lama 6 (enam) bulan dan dapat di­
perpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan lagi.
Bila jangka waktu pemberhentian sementara yang ter­
akhir telah habis dan yang bersangkutan tidak diusulkan
untuk diberhentikan dengan tidak dengan hormat, maka
ia harus direhabilitasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan hak keuangan/administratif
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota
Mahkamah Agung ialah semua hak yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980, (Lembaran
Negara Tahun 1980 Nomor 71, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3182), sedangkan pangkat dan tunjang­
an-tunjangan yang berhubungan dengan kedudukannya
sebagai pegawai negeri diatur tersendiri.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Keputusan Presiden yang dimaksudkan pasal ini ditetapkan
atas usul Mahkamah Agung.
Pasal 20
A y a t(l)
Yang dimaksudkan dengan ’’sarjana hukum” dalam
pasal ini termasuk saijana lain di bidang hukum yang
dianggap cakap untuk jabatan itu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Bunyi sumpah atau janji Panitera Mahkamah Agung dan Wa­
kil Panitera Mahkamah Agung pada dasarnya sebagaimana
65
dimaksudkan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­
hakiman.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Bunyi sumpah atau janji Panitera Muda dan Panitera Peng­
ganti Mahkamah Agung pada dasarnya sebagaimana dimaksud­
kan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
A y a t(l)
Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah
Agung.
Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang lebih
rendah daripada undang-undang mengenai sah atau
tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya
suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Ayat (2)
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji
berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung meng­
ambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undang­
an dari tingkatan yang lebih rendah daripada undang-
undang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung
secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak
sah dan tidak berlaku untuk umum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewenangan untuk melaksanakan pengawasan oleh
Mahkamah Agung dapat didelegasikan kepada Pengadil­
an Tingkat Banding di semua Lingkungan Peradilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 33
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan kapal ialah kapal laut dan
kapal udara.
67
Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Pemberian nasihat hukum yang dimaksudkan pasal ini di­
laksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi.
Pasal 36
Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat
Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah.
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang me­
nyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris ber­
ada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.
Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan
Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasihat
Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan
masing-masing.
Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Pe­
nasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan
dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara,
organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar
pendapatnya.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan ’’tugas dan kewenangan lain” dalam
pasal ini misalnya arbitrase dan sebagainya.
Pasal 40
Ayat (1)
Apabila Majelis bersidang dengan lebih dari 3 (tiga)
orang.Hakim jumlahnya harus selalu ganjil.
Ayat (2)
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) dan
ayat (2) pasal ini batal menurut hukum.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
A y a t(l)
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena
adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh
undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Istilah ..perkara pidana” yang dimaksudkan huruf
b pasal ini diartikan pula perkara pidana militer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
69
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan ’’tidak boleh merugikan
pihak yang berpeikara” tersebut ayat (3) ialah tidak
menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Mengajukan suatu memori kasasi yang memuat alasan-
alasan permohonan kasasi adalah suatu syarat mutlak
untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori
ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
A y a t(l)
Yang dimaksudkan dengan ’’surat-surat” meliputi pula
berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dipandang
perlu.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan kasasi seperti tersebut
ayat (1) dilakukan berdasarkan nomor urut daftar pe­
nerimaan perkara.
Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Salinan putusan dikirim juga kepada Pengadilan yang
memutuskan perkara tersebut dalam tingkat banding.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas

71
Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63
di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.
Pasal 65
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63
di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Huruf a
Hari dan tanggal diketahuinya kebohongan dan tipu
muslihat itu harus dibuktikan secara tertulis.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau
73
kekosongan hukum dalam siiatu hal, Mahkamah Agung ber­
wenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang me­
nentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal
yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal- ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahka­
mah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh
pembentuk undang-undang.
Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-
undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara
keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan
mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan
kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula meng­
atur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau­
pun pembagian beban pembuktian.
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3316
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar *1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,
dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut
dan menjamin persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan
ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum yang mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan
susunan dan kekuasaan Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum yang selama ini masih didasarkan
pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 ter­
nyata tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;

75
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat
tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan dan ke­
kuasaan Peradilan Umum;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan
Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambah­
an Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3316);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di
lingkungan Peradilan Umum.
76
2. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Negeri dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksana­
kan oleh:
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi;
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota
Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya
atau Kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mah­
kamah Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Menteri Kehakiman.

77
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri d ari:
a. Pengadilan Negeri, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
b. Pengadilan Tinggi, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang di­
atur dengan undang-undang.
Pasal 9
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 10.
(1) Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,,
Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 11
(1) Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi adalah Hakim Tinggi.
78
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim,
Panitera, dan Jurusita Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1) Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksana
an tugas Hakim ditetapkan dalam undang-undang ini.
Pasal 13
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pe­
gawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan se­
seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S./PKI” atau organisasi
terlarang lainnya;
e. pegawai negeri;
f. sarjana hukum;
g. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
h. berwibawa, jujur,.adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
Negeri diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun sebagai Hakim Pengadilan Negeri.
79
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf, a, b, c, d, e, f, dan h;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri atau 15 (lima
belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Negeri.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
bagi Hakim Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua Pe­
ngadilan Negeri.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di­
perlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Negeri.
Pasal 16
(1) Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan per­
setujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahka­
mah Agung.
Pasal 17
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama
atau kepercayaannya; bunyi sumpah atau janji adalah sebagai
berikut:
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,

80
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak mem­
berikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan
akan inempei tahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala
undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan meiyalan-
kan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak mem­
beda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan ke­
wajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi serta Ketua Pengadilan
Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
(4) Ketua Pengadilan Tihggi diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 18
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Hakim tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.

81
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri, dan 63 (enam puluh
tiga) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
Tinggi;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
' oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil, Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan yang dimaksudkan Pasal 18.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
tersebut ayat (1) huruf b s/d e dilakukan setelah yang bersangkut­
an diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata keija Majelis Kehormatan Hakim
serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.
82
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sen­
dirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara dimaksud dalam
ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal
20 ayat (2).
Pasal 23
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang
diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut
diberhentikan sementara dari jabatannya.
s'
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam per­
kara pidana seperti tercantum 'dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981, tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan
hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian
sementara serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Kedudukan protokol Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan
Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan Presiden.

83
Pasal 26
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat ditangkap ^tau di­
tahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
Paragraf 2
Panitera
Pasal 27
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang di­
pimpin oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Negeri di­
bantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera
Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang
Jurusita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan
beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya saijana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Wakil Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Peng­
adilan Negeri, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan
Tinggi.
84
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
dan c;
b. berijazah saijana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Wakil Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda
Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Peng­
adilan Negeri.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Negeri
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, dan
c;
b. berijazah saijana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
Pengadilan Negeri, atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan
Negeri.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Negeri seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
85
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadil­
an Negeri, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Negeri.
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pani­
tera Pengganti Pengadilan Negeri atau 10 (sepuluh) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 36
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan
86
pejabat yang berkaitan dengan perkara yang-di dalamnya ia ber­
tindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pe­
ngadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri
Kehakiman.
Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut
agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan;
bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung, atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apa 'pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada-siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pem­
berian” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideo­
logi negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala undang-undang ser­
ta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Pani­
tera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
87
Paragraf 3
Jurusita
Pasal 39
Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita
Pengganti.
Pasal 40
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus meme­
nuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Tingkat
Atas;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Jurusita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita Pengganti, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Negeri.
Pasal 41
(1) Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kehakiman atas usul Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Jurusita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pe­
ngadilan Negeri.
Pasal 42
Sebelum memangku jabatannya Jurusita dan Jurusita Pengganti di­
ambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya
oleh Ketua Pengadilan Negeri; bunyi sumpah atau janji adalah se­
bagai berikut:
88
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan mene­
rima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji
atau pemberian”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-un­
dang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indo­
nesia”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban
saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Jurusita, Jurusita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam me­
negakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 43
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan
pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia
sendiri berkepentingan.
(2) Jurusita tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Jurusita selain jabat­
an sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 44
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekre­
taris.
89
Pasal 45
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya saijana muda hukum atau saijana
muda administrasi;
e. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 47
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, b,
c, dan e;
b. berijazah saijana hukum.
Pasal 48
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman.
Pasal 49
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpah atau
janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua pengadilan
yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut:
Saya bersumpah/beijanji:
’’bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan
taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara,
dan Pemerintah” ;
’’bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada
saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab” ;
90
’’bahwa saya, akan senantiasa menjunjung .tinggi kehormatan negara,
pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa meng­
utamakan kepentingan negara dari pada kepentingan saya sendiri, sese­
orang atau golongan” ;
’’bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus saya rahasiakan” ;
’’bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersema­
ngat untuk kepentingan negara”.
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 50
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara
pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi juga bertugas- dan berwenang mengadili di ting­
kat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasihat tentang hukum kepada Instansi Pemerintah di daerahnya,
apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan tersebut dalam Pasal 50 dan Pasal
51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh
atau berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita
di daerah hukumnya.
91
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Penga­
dilan Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap
jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petun­
juk, tegoran, dan peringatan yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan tersebut dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memu­
tus perkara.
Pasal 54
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan
penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya, dan melapor­
kan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Ke­
hakiman dapat melakukan penindakan terhadap penasihat hukum
dan notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar usul/
pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang ber­
sangkutan.
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan
kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri.
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri se­
bagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), di­
atur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Ke­
hakiman berdasarkan undang-undang.
BAB IV
KETENTUAN KETENTUAN LAIN
Pasal 55
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

92
Pasal 56
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara, dan atau surat-
surat lainnya yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke
Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 57
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar­
kan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena
menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara
itu didahulukan.
Pasal 58
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara
dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Peng­
ganti.

Pasal 59
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti ber­
tugas membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya
sidang Pengadilan.
Pasal 60
Dalam perkara perdata, Panitera Pengadilan Negeri bertugas melaksana­
kan putusan Pengadilan.
Pasal 61
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara perdata dan pidana
yang diterima di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut, tiap perkara diberi nomor urut dan
dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 62
Panitera membuat salinan putusan menurut ketentuan undang-undang
yang berlaku.

93
Pasal 63
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara,
putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat
lainnya yang disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara serta berkas perkara
tidak boleh dibawa ke luar dari ruang Kepaniteraan, kecuali atas
izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan putusan, risalah, berita
acara, dan akta serta surat-surat lainnya diatur oleh Mahkamah
Agung. -
Pasal 64
Tugas dan tanggung jawab serta tata keija Kepaniteraan Pengadilan
diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 65
(1) Jurusita bertugas:
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua
sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, tegoran-tegoran,
protes-protes, dan pemberitahuan putusan Pengadilan menu­
rut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya di­
serahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Peng­
adilan yang bersangkutan.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Jurusita diatur oleh •
Mahkamah Agung.
Pasal 67
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
umum Pengadilan.
94
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan‘organisasi, dan tata keija
Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.

Pasal 68
Ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku bagi Per­
adilan Umum diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelak­
sanaan yang telah ada mengenai Peradilan Umum dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
undang-undang in i

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradil­
an Umum dan Mahkamah Agung dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

95
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1986


NOMOR 20

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
cap/ttd.
Bambang Kesowo S.H., LL.M.

96
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN UMUM

UMUM
1. Di negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ke­
adilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penye­
lenggaraan sistim hukum merupakan hal-hal pokok untuk
menjamin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­
negara.
Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang
sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perike-
hidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti
yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh
karena itu untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lem­
baga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik.
Salah satu lembaga untuk-menegakkan kebenaran dalam men­
capai keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum adalah ba­
dan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan Undang-un­
dang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempu­
nyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di
bidang tertentu.
Untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, tepat,
adil, dan dengan biaya ringan sebagaimana ditegaskan oleh
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka dasar yang se­
lama ini berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan,
tata keija, dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradil­
an Umum, perlu diganti dan disesuaikan dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

97
Dengan demikian, Undang-undang tentang Peradilan Umum
ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas-asas
yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951).
2. - Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan ke­
dudukan Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi
Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pi­
dana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umum­
nya, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Ne­
geri, dan merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir
mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Negeri di daerah hukumnya.
Di samping itu sesuai dengan prinsip diferensiasi yang dican­
tumkan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, maka Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum se­
kaligus merupakan Pengadilan untuk perkara tindak pidana
ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara pelanggaran
lalu lintas jalan, dan perkara lainnya yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi diatur
dengan undang-undang tersendiri.
3. Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekeijaan yang
harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya per­
hatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan penge­
lolaan administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena
bukan aja menyangkut aspek ketertiban dalam penyelengga-
98
raan administrasi baik di bidang perkara maupun di bidang
kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-
lain, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran penye­
lenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan
dalam undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan
dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordi­
nasi pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang
pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera la menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial).
Dalam pelaksanaan tugas Ini Panitera dibantu oleh seorang
Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam
pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekre­
taris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim
dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya
dapat dilaksanakan oleh staf sekretariat.
4. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Ke­
pala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan perse­
tujuan Ketua Mahkamah Agung.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Un­
dang Dasar 1945 beserta penjelasannya, serta Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970, Kekuasaan Kehakiman adalah keku­
asaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradil­
an guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Panca­
sila, dan demi terselenggaranya negara hukum Republik In­
donesia.
Agar Pengadilan bebas dalam memberikan putusannya, perlu
ada jaminan bahwa baik Pengadilan maupun Hakim dalam
melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan
pengaruh lainnya.
Dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaik­
an pangkat atau tindakan/hukuman administratif terhadap
99
Hakim Peradilan Umum perlu adanya keijasama, konsultasi,
dan koordinasi antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan khu­
susnya para Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur
tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga para
pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril mau­
pun materiil.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Ha­
kim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian)
para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu un­
tuk menjadi Hakim yang diatur dalam undang-undang ini,
dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak me­
ngurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap
jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan Pengadilan,
wali, pengampu, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersang­
kutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili
olehnya. Selanjutnya diadakan pula larangan rangkapan jabat­
an bagi Panitera dan Jurusita.
Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadil­
an Tinggi diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri
di daerah hukumnya.
Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Ne­
geri di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang berman­
faat bagi rakyat pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi
dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan
petunjuk, tegoran, dan peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung
dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana,
cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan akan lebih ter­
jamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras,
bahwa seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela di­
pandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah me-
lakukan kejahatan, atau kelalaian* yang berulang kali dalam
pekeijaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan
tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, se­
telah ia diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan
dengan tegas dalam undang-undang ini, mengingat luhur dan
mulianya tugas Hakim; sedangkan apabila ia melakukan per­
buatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri,
baginya tetap berlaku ancaman yang ditetapkan dalam Per­
aturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

H. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Di samping peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadil­
an pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, ada
pelaksana Kekuasaan Kehakiman lain yang merupakan per­
adilan khusus bagi golongan' rakyat tertentu atau perkara
tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Per­
adilan Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan rakyat pencari keadilan ialah setiap
orang, warga negara Indonesia atau bukan, yang mencari ke­
adilan pada Pengadilan di Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Negeri
ada di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya/Kabu-
paten, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya
pengecualian.

101
A yat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Negeri diajukan oleh Menteri
Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Pasal 8
yang dimaksud dengan ’’diadakan pengkhususan” ialah ada­
nya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum,
misalnya Pengadilan Lalu Lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pe­
ngadilan Ekonomi, sedangkan yang dimaksud dengan ’’yang
diatur dengan undang-undang” adalah susunan, kekuasaan,
dan hukum acaranya.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas -
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974' tentang Pokok-
pokok Kepegawaian. Oleh karena itu Menteri Kehakim­
an wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terha­
dap Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil
guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
102
Pasal 14
Cukup j elas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16'
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-
kata tertentu sesuai dengan Agama masing-masing, mi­
salnya untuk penganut Agama Islam ’’Demi Allah” se­
belum lafal sumpah dan untuk Agama Kristen/Katolik
kata-kata ’’Kiranya Tuhan akan menolong saya” sesudah
lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
A y a t(l)
Pemberhentian dengan hormat Hakim Pengadilan atas
permintaan sendiri, mencakup pengertian pengunduran
diri dengan alasan Hakim yang bersangkutan tidak ber­
hasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tang­
ganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana,
dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim
Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting
peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra
dan wibawa seorang Hakim itu sendiri.

103
Yang dimaksud dengan ’’sakit jasmani atau rohani terus
menerus” ialah yang menyebabkan si penderita ternyata
tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya
dengan baik.
Yang dimaksud dengan ’’tidak cakap” ialah misalnya
yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar
dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’dipidana” ialah dipidana de­
ngan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan ’’melakukan perbuatan tercela”
ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di
luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan ’’tugas pekeijaan” ialah semua
tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana keja­
hatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan un­
tuk membela diri, kecuali apabila dipidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukan­
nya sebagai pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabat­
annya sebagai Hakim. Sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang kepegawaian, Hakim bukan jabatan da­
lam bidang eksekutif. Oleh sebab itu pemberhentiannya
harus tidak sama dengan pegawai negeri lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal
yang antara lain menyangkut kesejahteraan seperti
rumah dinas, dan kendaraan dinas.
Pasal 26
Cukup jelas . •
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Yang dimaksud dengan ’’Sarjana Muda Hukum” termasuk
mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum se­
derajat dengan sarjana muda, dan dianggap cakap untuk ja­
batan itu. Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pang­
kat, dan syarat-syarat lain yang berkaitan.
Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi ke Pengadilan Negeri atau
sebaliknya dimungkinkan dalam eselon yang sama.
Pasal 29
Sama dengan penjelasan tentang masa pengalaman pada
Pasal 28.
Pasal 30
Sama dengan penjelasan Pasal 29
105
Pasal 31
C ukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Mu­
da, dan Panitera Pengganti.
Pasal 37
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan
berdasarkan usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 38
Sama dengan.penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 43
Cukup jelas

106
Pasal 44
Cukupjelas
Pasal 45
Cukupjelas
Pasal 46
Cukupjelas
Pasal 47
Cukupjelas
Pasal 48
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadil­
an dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan
atau. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang
bersangkutan.
Pasal 49
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukupjelas
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum, dikecualikan dalam hal-hal yang ber­
hubungan dengan perkara yang sedang atau akan di­
periksa di Pengadilan.
Ayat (2)
Cukupjelas
Pasal 5 3
Ayat (1)
Cukup jelas

107
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’seksama dan sewajarnya” ialah
antara lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus di­
lakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No­
mor 14 Tahun 1970 yaitu dilakukan dengan cepat, se­
derhana,-dan dengan biaya ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
.Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyang­
kut kepentingan umum adalah Ketua Pengadilan.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Berdasarkan catatan Panitera disusun berita acara persida­
ngan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
108
Pasal 63
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’dibawa keluar” meliputi segala
bentuk dan cara apapun juga yang memindahkan isi daf­
tar, catatan, risalah, berita acara serta berkas perkara,
agar tidak jatuh ketangan pihak yang tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327

109
UNDANG-UNDANG REPUBLIC INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara


hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi ma­
nusia serta yang menjamin segala warganegara ber­
samaan kedudukannya di dailam hukum dan peme­
rintahan dan wajib menjunjung hukum dan pe­
merintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
b. bahwa demi pembangunan di bidang hukum se­
bagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawa­
ratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/
1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan
penyempurnaan pembinaan hukum nasional de­
ngan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta
unfikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan
secara nyata dari Wawasan Nusantara;
c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demi­
kian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar
masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi
dan wewenang masing-masing kearah tegaknya
hukum, keadilan dan perlindungan terhadap har­
kat dan martabat manusia, ketertiban serta ke­
pastian hukum demi terselenggaranya negara
hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
111
d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termu­
at dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Sta-
atsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan de­
ngan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun
1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta se­
mua ‘peraturan pelaksanaannya dan ketentuan
yang diatur dalam perundang-undangan lainnya
sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana,
perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan
cita-cita hukum nasional;
e. bahwa oleh karena itu perlu mengadakan undang-
undang tentang hukum acara pidana untuk me­
laksanakan peradilan bagi pengadilan dalam ling­
kungan peradilan umum dan Mahkamah Agung
dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka
yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan
demikian dasar utama negara hukum dapat di­
tegakkan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Re­
publik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim­
an (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tam­
bahan Lembaran Negara Nomor 2951);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut
1. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941
Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor
112
1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua per­
aturan pelaksanaannya;
2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undang-
anlain;1
dengan ketentuan bahwa yang tersebut dalam angka 1 dan ang­
ka 2, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana;
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA
PIDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khu­
sus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. . .
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur7 dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan- bukti yang dengan bukti itu mem­
buat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna mene­
mukan tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melaku­
kan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan, pe­
nyelidikan.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilaku­
kan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-un­
dang ini.
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
113
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan me­
laksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melim­
pahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan.
8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.
9. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk meme-
. riksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghenti­
an penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkara­
nya tidak diajukan ke pengadilan.
11. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemida­
naan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum un­
tuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawan­
an atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk menga­
jukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menu­
rut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
114
13. Penasihat hukuirL adalah seorang yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi
. bantuan hukum.
14. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau ke­
adaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.
15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan.
16. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk meng­
ambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntut­
an, dan peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk mema­
suki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
18. Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk meng­
adakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk
mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau di­
bawanya serta, untuk disita.
19. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu
sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah
beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemu­
dian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang mela­
kukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan
benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melaku­
kan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan
tindak pidana itu.
20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa penge­
kangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
115
tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau ha­
kim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
22. Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuh­
an atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang di­
atur dalam undang-undang ini.
23. Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan
haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta mar­
tabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntut­
an atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterap­
kan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
24. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang
karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
akan teijadinya peristiwa pidana.
25. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pi­
hak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang un­
tuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikannya.
26. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri.
27. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peris­
tiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
28. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepenting­
an pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
116
perkara pidana-guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
30. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sam­
pai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka
yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
31. Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah
waktu tiga puluh hari.
32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putus­
an pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradil­
an dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradil­
an.
BAB III
DASAR PERADILAN

Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:

117
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
2 . mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanya­
kan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertang­
gung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1 . penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledah­
an dan penyitaan;
2 . pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksana­
an tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan
huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a karena kewajibannya mempunyai wewenang;
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang ada­
nya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh, berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
118
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai ter­
sangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan­
nya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertang­
gung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.

Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas -perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dilakukan;
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas
perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik me­
nyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.

Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing
pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah
hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan
undang-undang;

119
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal
ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam
Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan ber­
kas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara peme­
riksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut
umum.
Bagian Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan pene­
tapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan pe­
nyidik atau penyidik pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada pe­
nyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyem­
purnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
120
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ke­
tentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan, undang-un­
dang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang teijadi da­
lam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN,
PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah pe­
nyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pem­
bantu berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisi-
121
an negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penang­
kapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebut­
kan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa
surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus se­
gera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera se­
telah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat di­
lakukan untuk paling lama satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penang­
kapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang
sah.
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pem­
bantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan ter­
hadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras me­
lakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam
122
«

hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa


tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau meng­
hilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa de­
ngan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan
hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa
dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat per­
kara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tem­
pat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan
atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersang­
ka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau per­
cobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana ter­
sebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat
(3), Pasal 296, Pasal 335 ayat'(l), Pasal 351 ayat (1), Pasal
353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a. Pasal 453,
Pasal 454, Pasal 455, Pasal_459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechten-
ordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai,
terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana
Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembar­
an Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan' Lembaran Negara Nomor
3086).
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
123
*

(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau


rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan
pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu
yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntut­
an atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tem­
pat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi
tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentu­
kan.
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruh­
nya dari pidana yang dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari
jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahan­
an rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk
■ mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahan­
an yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri de­
ngan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau
penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersang­
ka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang
berkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila di­
perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang un­
tuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika ke­
pentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
124
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama
dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila di­
perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwe­
nang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus
sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan ber­
wenang mengeluarkan surat _perintah penahanan untuk paling
lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlu­
kan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat di­
perpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
. pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut
belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana
125
dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling
lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlu­
kan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat di­
perpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk
paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut
belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling
lama lima puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlu­
kan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat di­
perpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam
puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut
belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
Pasal 29
(1) Dikeluarkan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut
pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna ke­
pentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau ter­
dakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak
126
dapat dihindarkan karena :
a. tersangka atail terdakwa menderita gangguan fisik atau mental
yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,
atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara
sembilan tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama
tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlu­
kan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan lapor­
an pemeriksaan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan
negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pe­
ngadilan tinggi;.
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat
tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan
penuh tanggung j awab.
(5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahan­
an sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum
selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersang­
ka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding
kepada Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau
127
terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut
umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing,
dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa
jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentu­
kan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim
sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam
hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana di­
maksud dalam ayat (1).
Bagian Ketiga
Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledah­
an rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan me­
nurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik
dalam melakukan, penyidikan dapat mengadakan penggeledahan
rumah yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik,
petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki
rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang
saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa
atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal ter­
sangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah
rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampai­
kan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
128
Pasal 34
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana pe­
nyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk men­
dapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan pengge­
ledahan :
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam
atau ada dan yang ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam
atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud
dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda
yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang ber­
sangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh per­
setujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan
memasuki:
a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
b. tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara ke­
agamaan;
c. ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumh di luar
daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam
pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua
pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di
mana penggeledahan itu dilakukan.
129
Pasal 37
(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang
menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apa­
bila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada
tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka se­
bagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik,
penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah
badan tersangka.
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
ketua pengadilan negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyi­
dik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1)
penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan
negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melaku­
kan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidik­
an tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,
130
penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan ayat 11').
Pasal 40
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita, benda dan alat
yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk me­
lakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai
barang bukti.

Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau
surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan
oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komuni­
kasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk
itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomu­
nikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.

Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai
benda yang dapat disita, merfyerahkan benda tersebut kepadanya
untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan
benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserah­
kan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari ter­
sangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaan­
nya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut me­
rupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban me­
nurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak me­
nyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan
mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali
undang-undang menentukan lain.

131
Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan
negara.
(2) Penyimpanan benda aitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan
benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak
atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disim­
pan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkut­
an memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpan­
an benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin
dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindak­
an sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut
umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diaman­
kan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan
oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut
umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang di­
pakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagi­
an kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan,
tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk
dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau
kepada mereka yang paling berhak apabila :

132
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan
lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum
atau perkara tersebut ditutup demi hukum, -kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang diper­
gunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan
hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain
yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut
dicurigai dengan alasan yang -kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang
diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
(2) Untuk kepentingan' tersebut penyidik dapat meminta kepada
kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerah­
kan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberi­
kan surat tanda penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini,
dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu
ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat

133
tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungan­
nya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera di­
serahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah di­
bubuhi cap yang berbunyi ’’telah dibuka oleh penyidik” dengan
dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas
kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.
(2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada
kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusa­
haan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.

BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan :
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa
yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepada­
nya pada waktu pemeriksaan dimulai;
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa
yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepada­
nya.
134
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka
atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, ter­
sangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantu­
an juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan alau tuli diberlakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak men­
dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara
yang ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, ter­
sangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melaku­
kan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman
pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak
mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang
tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersang­
kutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagai­
mana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan
cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng­
hubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-
undang ini.
135
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikena­
kan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan per­
wakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng­
hubungi dan menerima 'kunjungan dokter pribadinya untuk kepenting­
an kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara mau­
pun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahu­
kan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya
atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun
orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa
untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan­
nya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjung­
an dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya
dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi pe­
nangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan
hukum.
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantara­
an penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak
keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk ke­
pentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat
hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan
sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperlu­
an itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
136
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat
hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara ke­
cuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat me­
nyurat itu disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka 'atau terdakwa itu ditilik atau di­
periksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka
atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pe­
ngirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi ’’telah ditilik”.
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjung­
an dari rohaniawan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum.
'Pasal 65Z '

Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan


saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberi­
kan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan re­
habilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.

137
BAB v n
BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap
atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak
menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat
pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan
perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut, menyalah­
gunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai
dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau pe­
tugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada pe­
nasihat hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan
tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hu­
bungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjut­
nya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam ber­
hubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut
umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi
pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut
pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang ber­
sangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk ke­
pentingan pembelaannya.

138
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka
setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan ter­
sangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4)
dan Pasal' 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut
umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan
suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta
pihak lain dalam proses.

BAB VIII
BERITA ACARA

.Pasal 75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam me­
lakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuat­
an sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat terse­
but pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang
terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1).
139
BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI
Pasal 76
(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang
ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka
untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undang-
an tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isi­
nya maupun mengenai tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hu­
kum.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian pe­
nyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntut­
an. •
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penang­
kapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasa-

140
nya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasan­
nya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghenti­
an penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ke­
tua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian pe­
nyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ke­
tiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimak­
sud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 ditentukan sebagai
berikut: '
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim
yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghen­
tian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugi­
an dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk
alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari ter­
sangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putus­
annya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadil­
an negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan ke­
pada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut
gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menu­
tup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praper-
I
t

141 _
adilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum,
jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan menge­
nai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan
Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut:
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkap­
an atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa pe­
nuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus
segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghenti­
an penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantum­
kan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyi­
dikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak
ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada
yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putus­
an dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikem­
balikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.

Pasal 83
(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimak­
sud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat diminta­
kan banding.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praper­
adilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidik­
an atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putus­
an akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang ber­
sangkutan.

142
Bagian Kedua
Pengadilan Negeri
Pasal 84
(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara menge­
nai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa
bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan
atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa
tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari­
pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerah­
nya tindak pidana itu dilakukan.
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana
dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pe­
ngadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara
pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sang­
kut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum
pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing penga­
dilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan pengga­
bungan perkara tersebut.

Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan ne­
geri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadil­
an negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan. Mahka­
mah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk mene­
tapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang terse­
but pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat
diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

143
Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi
it
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh
pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan ban­
ding.
Bagian Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang
dimintakan kasasi.

BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradil­
an militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkung­
an peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Keha­
kiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Ang­
katan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau
oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-
masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan per­
kara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan
surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan
dan Menteri Kehakiman.
144
Pasal 90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan per­
adilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan, umum
yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jak­
sa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi
atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
(2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam
berita acara yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pen­
dapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili perkara
tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi
kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur mili­
ter tinggi kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Repub­
lik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (3.) titik berat kerugian yang- ditimbulkan oleh tindak pi­
dana tersebut terletak pada jcepentingan umum dan karena­
nya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam ling­
kungan peradilan umum, m'aka perwira penyerah perkara se­
gera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang di­
serahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi ke­
pada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan per­
kara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditim­
bulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepenting­
an militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh penga­
dilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar
bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keaman­
an, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetap­
kan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
145
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi
perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk me­
nyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mah­
kamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila perkara -diajukan kepada pengadilan negeri sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pe­
meriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang
mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil
alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga
bagi oditur militer atau oditur militer tinggi apabila perkara
tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
90 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum
dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-
masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara ter­
tulis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan me­
lalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jen­
deral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna
mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Dalam hal teijadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan
.Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pen­
dapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradil­
an umum atau lingkungan peradilan militer yang mengadili per­
kara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-
kurangnya tiga orang hakim.
146
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang
mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari ling­
kungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing di­
tetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara ber­
imbang.
(3) Dalam hal pengadilan dalam' lingkungan peradilan militer yang
mengadili perkara pidana tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis
hakim terdiri dari, hakim ketua dari lingkungan peradilan mili­
ter dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing
lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum yang di
beri pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
pengadilan tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan
secara timbal balik mengusulkan pengangkatan hakim anggota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4). s

BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan un­
dang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alas­
an yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana di­
maksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pe­
147
ngadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli waris­
nya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugi­
an tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin me­
nunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana
yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada
ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Pasal 96
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan
lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi
putusan tersebut.

Bagian Kedua
Rehabilitasi

Pasal 97
('l) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadil­
an diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum
yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau
penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadil­
an yang dimaksud dalam Pasal 77.
148
BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN
GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugat­
an ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengaju­
kan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, per­
mintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuh­
kan putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugat­
annya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98,
maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan
tentang hukuman penggantian -biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang
mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gu­
gatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya me­
muat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat
kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat ke­
kuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara
pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung
dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan

149
banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi
tidak diperkenankan.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti
kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.

BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang teijadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang
diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik,
penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan
dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5
ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan
ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan­
nya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus di­
tandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat
oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyelidik.
(3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan ter-
sebut. '■

150
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjuk­
kan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi,
diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat
(1) huruf a.
Bagian Kedua
Penyelidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
teijadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf a memberikan petuhjuk kepada penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidik­
an yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat
untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik ter­
sebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik ter­
sebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak
untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan
atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
151
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melaku­
kan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum
atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga
melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak
pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus di­
tandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat
oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan
penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau pe­
nyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau
pengaduan kepada yang bersanggkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu pe­
ristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak ter­
dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan me­
rupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh pe­
nyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pem­
beritahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik
dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut
umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera
152
mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai pe­
tunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk diri penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas
hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberi­
tahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan se­
tiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban,
ketenteraman dan keamanan umum wajib menangkap tersangka
guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyeli­
dik atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan
pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang tekrh menerima laporan tersebut
segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang
untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum
selesai.
(4) Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu
sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.

Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan
alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka
dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pang­
gilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang
wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharus­
kan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia
tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah
kepada petugas untuk membawa kepadanya.
153
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang
patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang
melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum
dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahu­
kan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum
atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap ter­
sangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan
dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum
dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar
pemeriksaan terhadap tersangka.
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup
alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pe­
meriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang
satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan
yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki di­
dengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana
ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang se-
154
benarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang
dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara
seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh ter­
sangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara
yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi ke­
terangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara
dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya
berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang
menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau
saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau
tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 1,20
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di
muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pe­
ngetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena
harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajib­
kan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan ke­
terangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita
acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangka­
kan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak
pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau
saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta
segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.
155
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah
penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(1) Tersangka, keluarga 'atau penasihat hukum dapat mengajukan ke­
beratan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada
penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut
dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka
itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabul­
kan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum
dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan ter­
sebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya
tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan
tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat
tersebut di atas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa
syarat.
Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut
hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan
hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadil­
an guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
Pasal 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu
menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya,
selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimaana dimaksud dalam Pasal 33
dan Pasal 34.
Pasal 126
(T) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil peng-
156
geledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggele­
dahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal
dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarga­
nya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi.
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menye­
but alasannya.
Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik
dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang ber­
sangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang
dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama peng­
geledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjuk­
kan tanda pengenalnya kepada orang,-dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang
dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan
dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih
dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya
dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkung­
an dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak
mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada
157
atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan
kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah
menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat,
hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu
disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan
dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik mem­
beri catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis
di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda
tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehing­
ga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat,
. buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke
tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat,
buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 129 undang-undang ini.
Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan
palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka
untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan
keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang di­
palsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri se­
tempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan
umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang
disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan
perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan,
menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik dapat minta supaya

158
.daftar itu seluruhnya selama waktu ydng ditentukan dalam surat
permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan me­
nyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak men­
jadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai
penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang di ba­
gian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan
itu dibuat.
(5) Dalam hal surat alau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyi­
dik berwenang mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal
ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani se­
orang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli seb&gaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan
tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan
penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label
yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib mem­
beritahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan de­
ngan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukan­
nya pembedahan tersebut.
159
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan,
penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik unt'uk kepentingan peradilan perlu melakukan
penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-
undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagai­
mana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas dari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil pe­
nyidikan yang lengkap dan penyidik, ia segera menentukan apakah
160
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau
tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam .hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil pe­
nyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepat­
nya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau per­
kara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal
tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat kelelapau tersebut diberitahukan kepada tersangka
dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada ter­
sangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan mem­
buatnya dalam satu surat dakwaan-, apabila pada waktu yang sama atau
hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan ter­
hadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang
lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubung­
annya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi ke­
pentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka
yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut umum dapat
161
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara ter­
pisah.

Pasal 143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri de­
ngan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pi­
dana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Turunan dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan di­
sampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hu­
kumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan pe­
nyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.

Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadil­
an menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempur­
nakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu
kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyam­
paikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan
penyidik.

162
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan se­
cara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada ter­
dakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya
tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat
kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala
desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat
kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampai­
kan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh
orang lain atau melalui orang lain., dilakukan dengan tanda pe­
nerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal, surat panggilan ditefnpelkan pada tempat pengumuman
di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa
yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara
apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan
selambat-lambatnyaa tiga hari sebelum sidang dimulai.
(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi
yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa
{ia dipanggil yang harus sudah diterma oleh yang bersangkutan
‘selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

163
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147 '
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari pe­
nuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk we­
wenang pengadilan yang dipimpinnya.

Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara
pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpin»
nya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menye­
rahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat/
penetapan yang memuat alasannya.
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada
penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan
menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan
negeri yang tercantum dalam surat penetapan,
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan kepada terdakwa atau penasihat , hukum dan pe­
nyidik.

Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka :
a. ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang ber­
sangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan tersebut
diterima;
b. tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibat­
kan batalnya perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu di­
catat dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan
perlawanan tersebut kepada pengadilan negeri yang bersang­
kutan.
164
(2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari se­
telah menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau
menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut
umum, maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada pe­
ngadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara
tersebut.
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri,
pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut
kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimak­
sud dalam ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut
umum.

Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi :
a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang
mengadili atas perkara yang'sama;
b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak ber­
wenang mengadili perkara yang sama.

Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara
dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam
daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang wewenang mengadili antara dua pengadil­
an negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pe­
ngadilan dari lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah
hukum pengadilan tinggi yang berlainan;
c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
165
Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152 •
(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara
dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya,
ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan
perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang.
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya
memanggil terdakwa dan saksi untuk datang, di sidang pengadil­
an.
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan ber­
sidang.
(2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pe­
ngadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia
yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi,
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan per­
tanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan
jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka si­
dang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) meng­
akibatkan batalnya putusan demi hukum.
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum
mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri
sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan
bebas.
(2) : Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak
166
hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan* hakim ketua sidang
meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang me­
nunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak da­
tang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut
tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan
agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan
tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan ter­
hadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak
hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk
kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama be­
rikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksana­
an sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan me­
nyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 455
(1) Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pe­
kerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan
segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2) a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum
untuk membacakan surat dakwaan,
b. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa
apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ter­
nyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim
ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberat­
an bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya
atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
167
dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut
umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbang­
kan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka per­
kara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak
diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat di­
putus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputus­
an tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pe­
ngadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau pe­
nasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka da­
lam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat pe­
netapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan me­
merintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk meme­
riksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan per­
mintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas
hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawan­
an terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan memba­
talkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan me­
nunjuk pengadilan negeri yang berwenang,
b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan terse­
but kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada
pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang ber­
sangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan
kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara
itu.
(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) berkedudukan di daerah hukum pengadilan ting­
gi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara terse­
but kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadil­
an negeri yang berwenang di tempat itu.
(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada per­
lawanan, setelah mendengar pendapat penuntut umum dan ter­
dakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat
menyatakan pengadilan tidak berwenang.
168
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili per­
kara tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri mes­
kipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang
hakim anggota, penuntut umum atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau pa­
nitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apa­
bila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah
beiceiai dengan terdakwa atau dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang me­
ngundurkan diri harus diganti dan apabila tidak dipenuhi atau
tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara
wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyata­
an di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya ter­
dakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi
yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk men­
cegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain
sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan
sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk
menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim
ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di­
hadapkan ke persidangan.
Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang
menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim
ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum.
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban
yang menjadi saksi.
169
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelim­
pahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsung­
nya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ke­
tua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan ten­
tang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, se­
lanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melaku­
kan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia ber­
keluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa
dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa
meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengan­
nya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sum­
pah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa
ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
■ daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib
bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai mem­
beri keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak un­
tuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang
dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling
lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lam­
pau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengu­
capkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupa­
kan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan me­
ninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir
170
di sidang atau* tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman
atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubung­
an dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah
diberikannya itu dibacakan.
(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan'di bawah sum­
pah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterang­
an saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang
terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan sak­
si tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang
ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, ha­
kim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pen­
dapatnya tentang keterangan tersebut.
(2) Penuntut umum atau penasehat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan per­
tanyaan kepada saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan
oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau
terdakwa dengan memberikan alasannya.
Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada
saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapat­
kan kebenaran.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan pe­
rantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk menga­
jukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan
oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum kepada
saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hu­
kum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling
171
menghadapkan saksi uptuk menguji kebernaran keterangan me­
reka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi.
Pasal 167
(1) Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang ke­
cuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkan­
nya.
(2) Izin itu tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa
atau penasihat hukum mengajukan permintaan supaya saksi
itu tetap menghadiri sidang.
(3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, maka tidak da­
pat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau
kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang ber­
sama-sama sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdak­
wa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mem­
punyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau ist'eri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 meng­
hendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas
menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), me­
reka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

172
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekeijaan, harkat martabat atau jabatan­
nya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan
dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu
tentang,hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk per­
mintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau pena­
sihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan permin­
taan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut
yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari
ruang sidang, supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim
ketua sidang untuk didengar Iceterangarinya, baik seorang demi
seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang di­
keluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta
supaya saksi yang telah didengar keterangannya ke luar dari
ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi
yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai
hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa
ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan per­
kara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahu­
kan semua hal pada waktu ia tidak hadir.
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ke-

173
tua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada­
nya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan me­
ngemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada­
nya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua umum
atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah
palsu.
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita
acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi de­
ngan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan sak­
si itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditanda-tangani
oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan
kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentu­
an Undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam per­
kara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi
• itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang mengan­
jurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga meng­
ganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan
jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya ter­
dakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan
perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang
tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ke­
tua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putus­
an tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim
ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah
174
atau bejjanji a im mentetjemahkan dengan benar semua yang
harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu per­
kara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika terdakwa atau saka bisu dan atau tuli serta tidak dapat
menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai pentetjemah
orang yang panda! bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan ata» tuh tetapi dapat m e­
nulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanya­
an atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa
atau saka tersebut diperintahkan untuk memdis jawabannya
dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibaca­
kan.
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedok­
teran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi­
kan keterangan ahli demi keadilan. '
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi
mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberi­
kan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya me­
nurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoal­
an yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat
minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan
baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu
dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilaku­
kan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat C2j.

175
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat
(3) dilakukan oleh instansi semula dengian komposisi personil
yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang un­
tuk itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanvakan-"lceiSiihva apakah ia mengenal
benda itu dengan me|iE^hat®a1i ketentuan sebagaimana di­
maksud dalam Pa^^^^^^ng-undang ini.
(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang
kepada saksi.
(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang
membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara ke­
pada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan
seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana;
b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengaju­
kan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum
selalu mendapat giliran terakhir;
c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilaku­
kan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan
kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak
yang berkepentingan.
(2) jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua si­
dang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan
ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenang-
an hakim ketua sidang karena jabatannya, mau pun atas per­
mintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
dengan memberikan alasannya.
(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk
mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu di­
adakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut
umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
176
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas su­
rat dakwaan dan" segala sesuatu yang terbukti dalam pemerik­
saan di sidang.
(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengaju­
kan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai ha­
kim yang tertua, sedangkan yarig terakhir mengemukakan pen­
dapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat'harus
disertai pertimbangan beserta alasannya.
(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan
hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusaha­
kan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ber­
laku ketentuan sebagai berikut:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh,
putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling me­
nguntungkan bagi terdakwa..
(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disedia­
kan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya
rahasia.
(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan
pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus
diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau pena­
sihat hukum.

Bagian Keempat
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa

Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apa­
bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia mem­
peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
177
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibukti­
kan.
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyata­
kan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membukti­
kan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didak­
wakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ber­
laku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4.) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat mem­
benarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pe­
mikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk mem­
beri keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan
itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apa­
bila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
178
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang penga­
dilan.

Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapan­
nya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang-jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam- tata laksana yang menjadi tanggung ja­
wabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat ber­
dasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu ke­
adaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktianVang lain.

Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, mau­
pun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk da­
lam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif
lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan pe­
nuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
179
> Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri. '
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat di­
gunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal­
kan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan ke­
padanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pasal 190 ‘
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pe-
• ngadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya un­
tuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21
dan terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan
dengan surat penetapannya untuk membebaskan terdakwa,
jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat keten­
tuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwa­
kan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak me­
rupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang
sah, terdakwa perlu ditahan.
180
Pasal 192
(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimak­
sud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa
sesudah putusan diucapkan.
(2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang di­
lampiri surat penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan
yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua
puluh empat jam.

Pasal 193,
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan men­
jatuhkan pidana.
(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut di­
tahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan
cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan
putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam
' tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup
untuk itu.

Pasal 194
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima
kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus di­
rampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan
supaya barang bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu
syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mem­
punyai kekuatan hukum tetap.

181
Pasal 195
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali
dalam hal Undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu per­
kara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang
ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim
ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang se­
gala apa yang menjadi haknya, yaitu :
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
Undang-undang ini;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh Undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini,
dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang
ini.
Pasal 197
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis ke­
lamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekeijaan ter­
dakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemerik-
182
saan di sidang yang menjadi dasaf penentuan kesalahan ter­
dakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pe­
midanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim ke­
cuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuh­
kan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan me­
nyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan
di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik
dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan;
i. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim
yang memutus dan nama panitera.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f,
h, j, k dan 1 pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam
undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka
ketua pengadilan atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib
segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.
(2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk pengganti­
nya dan apabila pengganti ternyata tidak ada atau juga berhalang­
an, maka sidang beijalan terus.
Pasal 199
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
183
a. ketentuan sebagairpana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1)
kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari se­
gala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan
ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah
putusan itu diucapkan.
Pasal 201
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan maka panitera me­
lekatkan petikan putusan yang ditandatanganinya pada surat ter­
sebut yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut
diberi catatan dengan menunjuk pada petikan putusan itu.
(2) Tidak akan diberikan salinan pertama atau salinan dari surat asli
palsu atau yang dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi
catatan pada catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di­
sertai dengan salinan petikan putusan.
Pasal 202
(1) Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan per­
syaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang
yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat
juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli ke­
cuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup
ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan
dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu de­
ngan lainnya.
(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hu­
kum, hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada panitera
supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau
keterangan.
184
(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan
panitera kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan,
maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203.
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara
kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal
205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerap­
an hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut
umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa,
dan barang bukti yang diperlukan.
(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan di bawah in i:
a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang
menjawab segala pertanyaan- sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dan catat­
annya kepada terdakwa tentang, tindak pidana yang di­
dakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat,
dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
2. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan
merupakan pengganti surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan,
supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling
lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut pe­
nuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan
tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan
ke sidang pengadilan dengan acara biasa;
c. guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa
dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksa­
an paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita
acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
185
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama se­
perti putusan pengadilan dalam acara biasa.
Pasal 204 •
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa dengari
acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya di­
periksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa
dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut.
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal 205
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh
ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentu­
kan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik
atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita
acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta
barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama
dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili
perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal 207
(1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa ten­
tang hari, tanggal, jam, dan tempat ia harus menghadap sidang
pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik,
selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan;
186
b. Perkara dengan acara pemeriksaan.tindak pidana ringan yang
diterima haru'S segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat
dalam buku register semua perkara yang diterimanya;
b. Dal^m buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan
kepadanya.
• Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan
sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.
Pasal 209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan se­
lanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta ditanda­
tangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.
(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam
pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan
berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Pasal'210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab
ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.

Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran
Lalu Lintas Jalan
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah per­
kara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas jalan.
Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita
187
acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan
selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
- 'Pasal 213
Terdakwa dapat menunj.uk seorang dengan surat untuk mewakilinya
di sidang.
Pasal 214
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan
perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik
kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam
buku register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan pu­
tusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa
dapat mengajukan perlawanan.
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah
kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pe­
ngadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi
gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang per­
lawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kem­
bali perkara itu.
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut
terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling
berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi
isi amar putusan.

188
Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Paragraf ini.
Bagian Ketujuh
Pelbagai Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata
tertib di persidangan.
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk
memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan
segera dan cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat
kepada pengadilan.
(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan
martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib setelah men­
dapat peringatan dari hakim ketua'sidang, atas perintahnya yang
bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemung­
kinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan
peledak atau alat maupun benda yang dapat membayakan ke­
amanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di
tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas
jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk men­
jamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa
senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilah-
kan yang bersangkutan untuk menitipkannya.
(3) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang,
189
maka petugas wajib menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan
untuk dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas
benda tersebut bersifat suatu tindak pidana.
Pasal 220
(1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara
yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak lang­
sung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang ber­
sangkutan, wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri
maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasi­
hat hukumnya.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal se­
bagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan
yang berwenang yang menetapkannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut
di atas berlaku juga bagi penuntut umum.
Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun
atas permintaan terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi
penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(1) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara
dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hu­
kum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan
pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat
tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibeban­
kan pada negara.
Pasal 223
(1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk mengucap­
kan sumpah atau janji di luar sidang, hakim dapat menunda pe­
meriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.
190
(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), hakim menunjuk panitera untuk menghadiri pe­
ngucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat berita acara­
nya.
Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang
yang mengadili perkara itu pada tingkat pertama dan tidak boleh di­
pindahkan kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam buku daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa
tindak pidana yang didakwakan, tanggal penerimaan perkara,
tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan,
tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan per­
mintaan dan putusan banding atau kasasi, tanggal permohonan
serta pemberian grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan lain
hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.
Pasal 226
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau
penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut
umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya diberikan atas permintaan.
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada
orang lain dengan seizin ketua pengadilan setelah mempertim­
bangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal 227
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang ber­
wenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi
atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tang­
gal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat
kediaman mereka terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sen-
191
diri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan mem­
buat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkut­
an dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh
petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil
tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tem­
pat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surat panggilan disam­
paikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri
melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang
yang dipanggil biasa berdiam dana apabila masih belum juga ber­
hasil disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat
pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan ter­
sebut.
Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diper­
hitungkan pada hari berikutnya.
Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak
mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan
kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 230
(1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam
ruang sidang.
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum
dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-
masing.
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata me­
nurut ketentuan sebagai berikut :
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat
penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;

192
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim
ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat
hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri
depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah
kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di
depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang
kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang
telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim
dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim
sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian
atas di belakang meja hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi
tanda pengenal;
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama
ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di luar gedung pengadil­
an, maka tata tempat sejauh mungkin disesuikan dengan ketentuan
ayat (3) tersebut di atas.
(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka se­
kurang-kurangnya bendera Nasional harus ada.

Pasal 231
(1) Jenis, bentuk, dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang
berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana dimak­
sud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 217 ditetapkan dengan keputusan Menteri
Kehakiman.

193
Pasal 232
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat
hukum, dan pengunjung yang sudah ada, duduk ditempatnya
masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua
yang hadir berdiri untuk menghormat.
(3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang
sidang diwajibkan memberi hormat.

BAB x v n
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat
diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus di­
kuasakan untuk itu atau penuntut umum.
(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh
hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahu­
kan kepada terd'akwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 196 ayat (2).
(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat ke­
terangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon
serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat
oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampir­
kan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara
pidana.
(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik
yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang
diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka pa­
nitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
194
Pasal 234
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233
ayat (2) telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putus­
an.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera
mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan
akta tersebut pada berkas perkara.

Pasal 235
(1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan'tinggi, per­
mintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal
sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh
diajukan lagi.
(2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus
sedangkan sementara itu pemohon mencabut permintaan banding­
nya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah
dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya.

Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permin­
taan banding diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pe­
ngadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pe­
ngadilan tinggi.
(2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pe­
ngadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk
mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri.
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara
tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas tersebut di pengadilan
tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu se­
cepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadil­
an tinggi.
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk
waktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya yang sudah ada
di pengadilan tinggi.
195
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam
tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut
umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori ban­
ding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan 'dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan
tinggi dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar
berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri
dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemerik­
saan di sidang pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul
di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pe­
ngadilan negeri.
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan
tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari
pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik
karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
(4) Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri ke­
terangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menje­
laskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang
apa yang ingin diketahuinya.
Pasal 239
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat
(1), ayat (2),- dan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara
dalam tingkat banding.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat
(1) berlaku juga antara hakim dan atau panitera tingkat banding,
dengan hakim atau panitera tingkat pertama yang telah mengadili
perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama
kemudian telah menjadi hakim pada pengadilan tinggi, maka
hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama dalam ting­
kat banding.
196
Pasal 240
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan ting­
kat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara
atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan
tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan
negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melaku­
kannya sendiri.
(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatal­
kan penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan
tinggi dijatuhkan.

Pasal 241
(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ter­
sebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi
memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal mem­
batalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan
putusan sendiri.
(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan
negeri karena ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, maka ber­
laku ketentuan tersebut pada Pasal 148.
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada
dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintah­
kan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara
dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, di­
kirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada tingkat per­
tama.
(2) Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera di­
beritahukan kepada terdakwa dan penuntut umum oleh panitera
pengadilan negeri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat
dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi.
(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana di-
197
maksud dalam Pasal 226 berlaku juga bagi putusan pengadilan
tinggi.
(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pe­
ngadilan negeri tersebut, panitera minta bantuan kepada panitera
pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa ber­
tempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu ke­
padanya.
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau ber­
tempat tinggal di luar negeri, maka isi surat putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) disampaikan melalui kepala desa atau
pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di mana ter­
dakwa biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil di­
sampaikan, terdakwa dipanggil dua kali berturut-turut melalui
dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah hukum pengadilan
negeri itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat per­
tama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan
yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat ke­
terangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan
dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik
yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang
diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka pa­
nitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
198
Pasal 246
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245
ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima pu­
tusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka
hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2),
maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 247
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah
Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan
dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu
tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke
Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus,
sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasi­
nya,-maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat
alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu empat belas hari
setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerah­
kan kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda
terima.
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang me­
mahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan ka­
sasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan
tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaima-

199
na dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1) undang-undang ini.
(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak
untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku
juga untuk ayat (4) pasal ini.
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh
panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu ber­
hak mengajukan kontra memori kasasi.
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panite­
ra menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak
yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 249
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang
perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori ka­
sasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambah­
an itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
248 ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserah­
kan kepada panitera pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah teng­
gang waktu tersebut dalam ayat (1), permohonan kasasi tersebut
selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 250
('l) Setelah panitera pengadilan negeri menerima memori dan atau
kontra memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat ('l)
dan ayat (4), ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mah­
kamah Agung.
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara ter­
sebut ia seketika mencatatnya dalam buku agenda surat, buku
register perkara dan pada kartu penunjuk.
(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, di­
tutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan

200
untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penanda­
tanganan dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika
keduanya berhalangan maka dengan surat keputusan Ketua Mah­
kamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti
penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan
negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para pjhak dikirim­
kan tembusannya.

Pasal 251
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat
(1) berlaku juga antara hakim dan atau panitera tingkat kasasi
dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta tingkat per­
tama, yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang mepgadili perkara dalam tingkat pertama
atau tingkat banding, kemudian telah menjadi hakim atau panitera
pada Mahkamah Agung, mere.ka dilarang bertindak sebagai hakim
atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.

Pasal 252
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat
(2) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal se­
bagaimana tersebut pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi :
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai
pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang
berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri
dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang
seorang di antaranya harus hakim anggota yang tertua dalam
jabatan.

201
Pasal 253
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau di­
terapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ke­
tentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara
yang diterima dari pengadilan lain daripada Mahkamah Agung,
yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita
acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang
yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan pengadilan
tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.
(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana
tersebut pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sen­
diri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan
menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka
tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat
pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggil­
an yang sama.
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah
Agung sejak diajukannya permohonan kasasi.
(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung
wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa
perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatan­
nya maupun atas permintaan terdakwa,
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat
belas hari, sejak penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib
memeriksa perkara tersebut.
Pasal 254
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245.
202
Pasal 246, dan Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung da­
pat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak
diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahka­
mah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah
Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang me­
mutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai
bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mah­
kamah Agung, dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh
pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim
yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut,
Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain me­
ngadili perkara tersebut.
Pasal 256
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentu­
an Pasal 255.

Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku
juga bagi putusan kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu
tentang pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh
hari.

Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampai dengan Pasal
257 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
203
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Pasal 259
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan
kasasi oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan
pihak yang berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara
tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui pa­
nitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat per­
tama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera
segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan perminta­
an itu kepada Mahkamah Agung.
Pasal 261
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah
Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan
yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan
ayat (4) berlaku juga dalam hal ini.
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260, dan Pasal
261 berlaku bagi acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum
terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

20 4
Bagian Kedua
PeninjauankembaH Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntut­
an hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan per­
mintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauankembali dilakukan atas dasar :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa se­
suatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar
dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternya­
ta telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengah jelas memperlihatkan suatu ke­
khilafan hakim atau suatu-kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2)
terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuat­
an hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauankembali
apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidana­
an.
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauankembali oleh pemohon sebagaimana dimak­
sud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan
yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan
menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berla­
ku juga bagi permintaan peninjauankembali.
(3) Permintaan peninjauankembali tidak dibatasi dengan suatu jangka
waktu.
205
(4) Dalam hal pemohon peninjauahkembali adalah terpidana yang
kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima per­
mintaan peninjauankembali wajib menanyakan apakah alasan ia
mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuat­
kan surat permintaan peninjauankembali.
(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjau­
ankembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,
disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauankembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim
yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjau­
ankembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2).
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon
dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan ber­
dasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditan­
datangani oleh hakim dan panitera.
(4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan­
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pe­
meriksaan dan berita acara pendapat, kepada Mahkamah Agung
yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon
dan jaksa.
(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauankembali
adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pe­
ngantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksa­
an serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan
banding yang bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal permintaan peninjauankembali tidak memenuhi keten­
tuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah
Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauankembali tidak
dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.

206
(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan pe­
ninjauankembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentu­
an sebagai berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauankembali de­
ngan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjau­
ankembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan pe­
ninjauankembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat be­
rupa :
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan liukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauankembali tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan se­
mula.
Pasal 267
(1) Salinan putusan Mahkamah tentang peninjauankembali
beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putus­
an tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjut­
kan permintaan peninjauankembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah
Agung mengenai peninjauankembali.
Pasal 268
(1) Permintaan peninjauankembali atas suatu putusan tidak menang­
guhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2) Apabila suatu permintaan peninjauankembali sudah diterima oleh
Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia,
mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauankembali tersebut di­
serahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan peninjauankembali atas suatu putusan hanya dapat di­
lakukan satu kali saja.
207
Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal
268 berlaku bagi acara permintaan peninjauankembali terhadap putus­
an pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirim­
kan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum
dan menurut ketentuan undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi
pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan ter­
dahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pi­
dana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada ter­
pidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang
harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana terse­
but pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu
bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti di­
rampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut
pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor
lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang
hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
208
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpan­
jang untuk paling lama satu bulan.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti ker.ugian sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan me­
nurut tatacara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya
perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274
dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksana­
annya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang bersung­
guh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.

BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus
untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan peng­
amatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim
pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
paling lama dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pe­
ngadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan
dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pe­
ngamatan.
209
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal
278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada se­
tiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Pasal 280
(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan se­
bagaimana mestinya.
(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk
bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemida­
naan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan
lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik terhadap
narapidana selama menjalani pidananya.
(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksana­
kan setelah terpidana selesai menjalani pidananya.
(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277
berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pe­
masyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-
waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamat­
an hakim tersebut.
Pasal 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas
dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyara­
katan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan
pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala.

210
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundang­
kan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-
undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ke­
tentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pi­
dana.
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar su­
paya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

211
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981


NOMOR 76

212
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA
I. UMUM
1. Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pi­
dana dalam lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang
ini berlaku adalah ’’Reglemen Indonesia” yang dibaharui atau yang
terkenal dengan nama ”Het Herziene Inlandsch Reglement” atau
H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), yang berdasarkan Pasal
6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951, seberapa
mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pi­
dana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam
wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan
tambahannya.
Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksud­
kan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang se­
belumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan
hukum acara pidana bagi raad vin justitie.
Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat
semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk^Bumi-
putera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di jaman Hindia
Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen
Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah di­
perbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.),
karena tujuan dari pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk
mencapai satu kesatuan hukum acara pidana, tetapi justeru ingin
meningkatkan hukum acara pidana bagi raad van justitie.
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah me­
netapkan, bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku
untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B., akan tetapi ketentuan yang
tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh
suatu negara hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di
dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak
213
diatur dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti ke­
rugian juga tidak terdapat ketentuannya.
Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan se­
hubungan dengan hal. sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka
”Het Herziene Inlandsch Reglement” (Staatsblad Tahun 1941
Nomor 44), berhubungan dengan dan Undang-undang Nomor 1
Drt. Tahun 195 T (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara No. 81) serta semua peraturan pe­
laksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan per-
undang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum
acara pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita
hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara
pidana baru yang mempunyai ciri kodifikatif dan unifikatif ber­
dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Hal itu berarti bahwa Republik Indonesia ialah Negara hukum
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, menjunjung -tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pe­
merintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak
asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk me­
negakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganega­
ra. setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang
perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pi­
dana ini.
Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Ha­
luan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Re­
publik Indonesia Nomor IV/MPR/1978). maka wawasan untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nu­
santara yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa seluruh
kepulauan Nusantara ini sebagai satu kesatuan hukum dalam arti
bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi pada ke­
pentingan nasional.
214
Untuk itu perlu diadakan pembangunan serta pembaharuan hu­
kum dengan menyempurnakan perundang-undangan serta dilan­
jutkan dan ditingkatkan usaha kodifikasi dan unifikasi hukum
dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum
dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi me­
nurut tingkatan kemajuan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana
bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajiban­
nya agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para
pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan
perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran
harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum
demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Oleh karena itu undang-undang ini yang mengatur tentang hukum
acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan
hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di
dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan
terhadap hak asasi manusia serta -kewajiban warganegara seperti
telah diuraikan di muka, maupun asas yang akan disebutkan se­
lanjutnya.
Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam
dan dengan undang-undang ini.
Adapun asas tersebut antara lain, adalah :
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang di­
beri wewenang oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur dengan Undang-undang;
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menya­
takan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;

215
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau pun di­
adili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang di­
terapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak ting­
kat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan
sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan
hukuman administrasi;
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus di­
terapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas diriny„a;
g. Kepada setiap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan
dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar
hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu
haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta ban­
tuan penasihat hukum;
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya ter­
dakwa;
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum
kecuali dalam hal yang diatur dalam Undang-undang;
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara
pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersang­
kutan.
4. Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di muka dalam ke­
bulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakanlah pembaharu­
an atas, hukum acara pidana yang sekaligus dimaksudkan sebagai
suatu upaya untuk menghimpun ketentuan acara pidana yang
dewasa ini masih terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam
satu undang-undang hukum acara pidana nasional sesuai dengan
tujuan kodifikasi dan unifikasi itu.
Atas pertimbangan yang sedemikian itulah, undang-undang hukum
acara pidana ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pi­
dana, disingkat K. U.H.A.P.
Kitab Undang-undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang
tatacara dari suatu proses pidana, tetapi kitab ini pun juga memuat

216
hak dan kewajiban dari mereka yang ada dalam suatu proses pi­
dana dan memuaf pula hukum acara pidana Mahkamah Agung se­
telah dicabutnya Undang-undang Mahkamah Agung (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1950) oleh Undang-undang Nomor 13
Tahun 1965.

H. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
a. Ruang lingkup undang-undang ini mengikuti asas-asas yang
dianut oleh hukum pidana Indonesia.
b. Yang dimaksud dengan ’’peradilan umum” termasuk peng­
khususannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal
10 ayat (1) alinea terakhir Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1 s/d 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan ’’tindakan lain” adalah tindak­
an dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan
dengan syarat:
a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharus­
kan dilakukannya tindakan jabatan;
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan ter­
masuk dalam lingkungan jabatannya;
d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.

217
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam per­
aturan pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan ke­
dudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradil­
an umum.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a s/d h
Cukup jelas.
Huruf i
Lihat Pasal 109 ayat (2).
Huruf j
Lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’penyidik dalam ayat ini” adalah
misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat
kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan
wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Dalam keadaan yang mendesak dan perlu, untuk tugas tertentu
demi kepentingan penyelidikan, atas perintah tertulis Menteri
Kehakiman, pejabat imigrasi dapat melakukan tugasnya sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia” termasuk pegawai negeri sipil tertentu dalam ling­
kungan kepolisian negara Republik Indonesia.
218
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu
hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkin­
kan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau
di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau
di tempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal
lain yang dapat diterima menurut kewajaran.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a s/d h
Cukup jelas.
Huruf i
yang dimaksud dengan ’’tindakan lain” ialah antara lain me­
neliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhati­
kan secara tegas batas' wewenang dan fungsi antara penyidik,
penuntut umum dan pengadilan'
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’atas perintah penyidik” termasuk
juga penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam pen­
jelasan Pasal 11.
Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah yang di­
buat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan di­
lakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan ’’bukti permulaan yang cukup” ialah bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan
bunyi Pasal 1 butir 14.

219
Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada me­
reka yang betul-betul melakukan tindak pidana
Pasal 18
A yat(l)
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh pejabat ke­
polisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam
melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mung­
kin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupa­
kan tempat perawatan.
Pasal 22
Ayat (1)
Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang
bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor ke­
polisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pe­
masyarakatan, di rumah sakit, dan dalam keadaan yang me­
maksa di tempat lain.

22 0
Ayat (2) dan ayat (3)
Tersangka atau terdakwa hanya boleh ke luar rumah atau
kota dengan izin dari penyidik, penuntut umum atau hakim
yang memberi perintah penahanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
A yat(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh
pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan
resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
A yat(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh
pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan re­
sume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
221
Pasal 29
A yat(l)
Yang dimaksud dengan ’’kepentingan pemeriksaan” ialah
pemeriksaan yang belum dapat- diselesaikan dalam waktu
penahanan yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan ’’gangguan fisik atau mental yang
berat” ialah keadaan tersangka atau terdakwa yang tidak
memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau
mental.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (S)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup uelas.
Ayat (7)
a. walaupun berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadil­
an negeri, keberatan terhadap sah atau tidaknya penahan­
an pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang diper­
panjang berdasarkan Pasal 29, diajukan kepada ketua pe­
ngadilan tinggi untuk diperiksa dan diputus.
b. Terhadap perpanjangan penahanan dalam tingkat pemerik­
saan kasasi sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat
(3), tidak dapat diajukan keberatan karena Mahkamah
Agung merupakan peradilan tingkat terakhir dan yang me­
lakukan pengawasan tertinggi terhadap perbuatan penga­
dilan lain.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan ’’syarat yang ditentukan” ialah wajib
lapor, tidak ke luar rumah atau kota.
Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau ter­
dakwa tidak termasuk masa status tahanan.

r)")
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
A yat(l)
Penyifiik untuk melakukan penggeledahan rumah harus
ada surat izin ketua pengadilan negeri guna menjamin hak
asasi seorang atas rumah kediamannya.
Ayat (2)
Jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan pe­
nyidik sendiri, maka petugas kepolisian lainnya harus da-
dapat menunjukkan selam swat izin ketua pengadilan negeri
juga swat perintah tertulis dari penyidik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”dua orang saksi” adalah warga dari
lingkungan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan ’’ketua lingkungan” adalah ketua
atai wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil ketua
rukun tetangga, ketua atau wakil ketua rukun warga, ketua
atau wakil ketua lembaga yang sederajat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
’’Keadaan yang sangat perlu dan mendesak” ialah bilamana
di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat ter­
sangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera me­
larikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang
dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipin­
dahkan sedangkan swat izin dari ketua pengadilan negeri
tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam
waktu yang singkat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
223
Pasal 37
Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang
wanita dilakukan oleh pejabat wanita.
Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan
rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kese­
hatan.
Pasal 38.
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan ’’surat” termasuk surat kawat, surat
teleks, dan lain sejenisnya yang mengandung suatu berita.
Pasal 42'
Cukup jelas.
Pasal 43
• Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan ne­
gara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan, benda si­
taan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian negara
Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor
pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah dan dalam
keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap di
tempat semula benda itu disita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan an­
tara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah mele­
dak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus
atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang
dan lingkungan. .
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara se­
telah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau pe­
nuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan se­
suai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang
mudah rusak.
Ayat (2) dan ayat (3)
Benda untuk pembuktian yang menurut sifatnya lekas ru­
sak dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipakai
sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan sedang­
kan sebagian kedi dari benda itu disisihkan untuk dijadi­
kan barang bukti.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ’’benda yang dirampas untuk ne­
gara” ialah benda yang harus diserahkan kepada departemen
yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Ayat (1)
Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemerik­
saan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung,
dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda
yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian,
maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang ber­
kepentingan atau pemiliknya.
Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mung­
kin diperhatikan segi kemanusiaan dengan mengutamakan
pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’surat lain’, adalah surat yang tidak
langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang
diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

225
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal
ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katung­
nya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana ter­
utama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama
tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya
kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak
wajar.
Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 51
Huruf a
Dengan diketahui serta dimengerti oleh orang yang disangka
melakukan tindak pidana tentang perbuatan apa yang sebe­
narnya disangka telah dilakukan olehnya, maka ia akan me­
rasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiap­
an dalam usaha pembelaan. Dengan demikian ia akan me­
ngetahui berat ringannya sangkaan terhadap dirinya se­
hingga selanjutnya ia akan dapat mempertimbangkan ting­
kat atau pembelaan yang dibutuhkan, misalnya perlu atau
tidaknya ia mengusahakan bantuan hukum untuk pembe­
laan tersebut.
Huruf b
Untuk menghindari kemungkinan bahwa seorang terdakwa
diperiksa serta diadili di sidang pengadilan atas suatu tindak­
an yang didakwakan atas dirinya tidak dimengerti olehnya
dan karena sidang pengadilan adalah tempat yang terpenting
bagi terdakwa untuk pembelaan diri, sebab disanalah ia dengan
bebas akan dapat mengemukakan segala sesuatu yang dibu­
tuhkannya bagi pembelaan, maka untuk keperluan terse­
but pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa
yang berkebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai
bahasa Indonesia.

226
Pasal 52
Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyim­
pang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa
harus dijauhkan dari rasa takut.
Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan
terhadap-tersangka atau terdakwa.
Pasal 53
Tidak semua tersangka atau terdakwa mengerti bahasa Indo­
nesia dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka tidak
mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau didakwakan.
Oleh karena itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
A yat(l)
Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara
sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan serta dengan per­
timbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana ku­
rang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali
tindak pidana tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b, maka
untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penun­
jukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkem­
bangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di
tempat itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 5 8
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas. .
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
227
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas ’’praduga tak ber­
salah”.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan ’’untuk kepentingan pembelaannya”
ialah bahwa mereka wajib menyimpan, isi berita acara tersebut
untuk diri sendiri.
Yang dimaksud dengan ’’turunan” ialah dapat berupa foto copy.
Yang dimaksud dengan ’’pemeriksaan” dalam pasal ini ialah
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemerik­
saan tersangka.
Dalam tingkat penuntutan ialah semua berkas perkara terma­
suk surat dakwaan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan adalah
seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim.
Pasal 73
Apabila terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini diber­
lakukan ketentuan Pasal 70 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
228
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan ’’penghentian penuntutan” tidak ter­
masuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Yang dimaksud dengan ’’keadaan daerah tidak mengizinkan”
ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana
alam.
Pasal 86
Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita menganut asas per­
sonalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka ke­
mungkinan tindak pidana yang dilakukan di luar negeri dapat
diadili menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik
Indonesia.
Dengan maksud agar jalannya peradilan terhadap perkara pidana
tersebut dapat mudah dan lancar, maka ditunjuk Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.

229
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
A yat(l)
Yang dimaksud dengan ’’kerugian karena dikenakan tin­
dakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pema­
sukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak
sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan
ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang di­
jatuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
A yat(l)
Maksud penggabungan perkara gugatan pada perkara pi­
dana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu
ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan
perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan
’’kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian pihak korban.

230
Ayat (2)
Tidak hadirnya penuntut umum adalah dalam hal acara peme­
riksaan cepat.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
A y a t(l)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1 j huruf
a, diminta, atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya
wajib memberikan bantuan penyidikan kepada penyidik se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. Untuk itu
penyidik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b
sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu ke­
pada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Ayat (2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib me­
laporkan hal itu kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a. Hal ini diperlukan dalam rangka ko­
ordinasi dan pengawasan.
Ayat (3)
Laporan dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b kepada penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a disertai dengan berita acara
pemeriksaan yang dikirim kepada penuntut umum. Demikian

231
juga halnya apabila perkara pidana itu tidak diserahkan kepada
penuntut umum.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Dalam hal pemberitahuan oleh penyidik sebagaimana tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dilakukan melalui penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
A y a t(l)
Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan
yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh
pejabat penyidik yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam
taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa ter­
sangka berhak didampingi penasihat hukum pada pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Pasal 115
Ayat (1)
Penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan saksi yang dapat menguntungkan ter­
sangka antara lain adalah saksi a decharge.

232
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal saksi tidak mau menandatangani berita acara ia
harus memberi alasan yang kuat.
Pasal 119
Apabila penyidikan di luar daerah hukum itu dilakukan oleh pe­
nyidik semula, maka ia wajib didampingi oleh penyidik dari
dareah hukum di mana penyidikan itu dilakukan.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
A y a t(l)
Atas penahanan tersangka oleh penyidik maka tersangka,
keluarga atau penasihat hukumnya dapat menyatakan ke-
beratannya terhadap penahanan tersebut kepada penyidik,
maupun kepada instansi yang bersangkutan, dengan disertai
alasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Pasal ini untuk menghindari tindakan sewenang-wenang yang di­
lakukan terhadap seorang.
233
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Pasal ini untuk mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak
ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan untuk pe­
nyitaan benda tersebut telah dilakukan.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat penyimpan umum antara lain
adalah pejabat yang berwenang dari arsip negara, catatan sipil,
balai harta peninggalan, notaris sesuai dengan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 133
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan
oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut ke­
terangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
234
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Yang dimaksud dengan ’’penggalian mayat” termasuk pengambilan
mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Yang dimaksud dengan ’’meneliti” adalah tindakan penuntut
umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan atau
benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah
telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka
pemberian petunjuk kepada penyidik.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d-
Alasan baru tersebut diperoleh penuntut umum dari pe­
nyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi, benda
atau petunjuk yang baru kemudian diketahui atau didapat.
Pasal 141
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ’’tindak pidana dianggap mempunyai
sangkut paut satu dengan yang lain” apabila tindak pidana
tersebut dilakukan:
1. oleh lebih dari seorang yang bekeijasama dan dilakukan
pada saat yang bersamaan;
235
2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda,
akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan
jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
3. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan
alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan ka­
rena tindak pidana lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Yang dimaksud dengan ’’surat pelimpahan perkara” adalah surat
pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan
berkas perkara.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ’’orang lain” iaalah keluarga atau
penasihat hukum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)'
Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan
perkara yang dimaksud dari kejaksaan negeri semula, ia mem­

236
buat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke pengadilan
negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
A y a t(l)
Yang dimaksud dengan ’’hakim yang ditunjuk” ialah majelis
hakim atau hakim tunggal.
Ayat (2)
Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan surat pang­
gilan oleh penuntut umum secara sah dan harus telah diterima
oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga
hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 153
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlaku­
nya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas per­
adilan terbuka tidak dipenuhi.
Ayat (5)
Untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih di bawah umur
tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdak­
wa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim
dapat menentukan bahwa anak di bawah umur tujuh belas
tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin, tidak dibolehkan
mengikuti sidang.
Pasal 154
A y a t(l)
yang dimaksud dengan ’’keadaan bebas” adalah keadaan tidak
237
dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari ter­
dakwa, bukan merupakan haknya, jadi terdakwa harus hadir
di sidang pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sung­
guh tidak dapat dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat
dihadirkan dengan paksa.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 155
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin terlindungnya hak terdakwa guna memberi­
kan pembelaannya, maka penuntut umum memberikan pen­
jelasan atas dakwaan, tetapi penjelasan ini hanya dapat dilaksa­
nakan pada permulaan sidang.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
A y a t(l)
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk mencegah jangan
sampai teijadi saling mempengaruhi di antara para saksi, se­
hingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang
yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadil-

238
an untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak ke­
wajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan '
undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan
ahli.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucap­
kan janji, tidak dapat dianggap sebagai alal bukti yang sah.
tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguat­
kan keyakinan hakim.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hakim berwenang untuk memperingatkan baik kepada pe­
nuntut umum maupun kepada penasihat hukum, apabila per­
tanyaan yang diajukan itu tidak ada kaitannya dengan per­
kara.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana
yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak di­
nyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau di­
nyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap se­
bagai pertanyaan yang bersifat menjerat.
Pasal ini penting karena pertanyaan yang bersifat menjerat itu
tidak hanya tidak boleh diajukan kepada terdakwa, akan tetapi
juga tidak boleh diajukan kepada saksi.

239
Ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi
harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh
mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di
dalam pemeriksaan d-i sidang pengadilan.
Tekanan itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang menyebab­
kan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada
hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang
bebas.
Pasal 167
A y a t(l)
Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan saksi, maka ada
kalanya hakim ketua sidang menganggap bahwa saksi yang
sudah didengar keterangannya mungkin akan merugikan saksi
berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga perlu
saksi pertama tersebut untuk sementara ke luar dari ruang
sidang selama saksi berikutnya masih didengar keterangannya.
Ayat (2)
Ada kalanya terdakwa atau penuntut umum berkeberatan ter­
hadap dikeluarkannya saksi dari ruang sidang sebagaimana di­
maksud dalam ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran saksi
tersebut, agar supaya ia dapat ikut mendengarkan keterangan
yang diberikan oleh saksi yang didengar berikutnya demi ke­
sempurnaan hasil keterangan saksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
A y a t(l)
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban
untuk menyimpan rahasia • ditentukan oleh peraturan per-
undang-undangan.
Ayat (2)
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka
seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan

240
sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapat­
kan kebebasan tersebut.
Pasal 171
Mengingat bahwa anak yang belum berumur limabelas tahun, de­
mikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meski­
pun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa
disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawab­
kan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak
dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan,
karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa
tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila
terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak di­
inginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementa­
ra dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada
saksi.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

241
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Dalam hal terdakwa tidak dapat menulis, panitera men­
catat pembelaannya.
Ayat (2)
Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung data
tambahan sebagai bahan untuk musyawarah hakim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah
seorang hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis
yang sifatnya rahasia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 183
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, ke­
adilan dan kepastian hukum bagi seorang.
Pasal 184
Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup di­
dukung satu alat bukti yang sah.
Pasal 185
A y a t(l)
Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang di­
peroleh dari orang lain atau testimonium de auditu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
242
Ayat (6)
yang dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan
hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar
diberikan secara bebas, jujur, dan obyektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 186
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pe­
meriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta
untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pe­
meriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah
atau janji di hadapan hakim.
Pasal 187
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat, ter­
masuk surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang ber­
wenang untuk itu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’perbuatan yang didakwakan kepada­
nya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup
terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian de­

243
ngan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara
pidana ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika terdakwa tetap dikenakan penahanan atas dasar alasan
lain yang sah, maka alasan tersebut secara jelas diberitahukan
kepada ketua pengadilan negeri sebagai pengawas dan peng­
amat terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bi­
lamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi
putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan ter­
sebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan me­
larikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 194
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan mengenai penyerahan barang tersebut misalnya
sangat diperlukan untuk mencari nafkah, seperti kendaraan,
alat pertanian dan lain-lain.
Ayat (3)
Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun
putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
tetapi harus disertai dengan syarat tertentu, antara lain barang
tersebut setiap waktu dapat dihadapkan ke pengadilan dalam
keadaan utuh.
Pasal 195
Cukup jelas.
244
Pasal 196
Ayat (1)
Ayat ini diambil dari asas yang termaktub dalam Pasal 16
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Oleh karena ke­
tentuan mengenai ’’pemeriksaan” sudah diatur terlebih da­
hulu, maka dalam ayat ini hanya diatur mengenai segi ’’me­
mutus perkara”.
Ayat (2)
Setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi ter­
dakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Ayat ini ber­
maksud melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan
menjamui kepastian hukum secara keseluruhan dalam per­
kara ini.
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa
mengetahui haknya.
Pasal 197
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ’’fakta dan keadaan di sini” ialah
segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di si­
dang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum,
saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban.
Ayat (2)
Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila ter­
jadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka
kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan
tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
245
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Ketentuan ini untuk memberi kepastian bagi terdakwa agar
tidak berlarut-larut waktunya untuk mendapatkan surat pu­
tusan tersebut, dalam rangka ia akan menggunakan upaya hukum.
Pasal 201
Ketentuan ini adalah memberikan suatu kepastian untuk mem­
buka kemungkinan surat palsu atau yang dipalsukan itu dipakai
sebagai barang bukti, dalam hal dipergunakan upaya hukum.
Di samping itu ketentuan tersebut ditujukan sebagai jaminan
ketelitian panitera dalam berkas perkara.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
A y a t(l)
Tindak pidana ’’penghinaan ringan” ikut digolongkan di sini
dengan disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun
ancaman pidana penjara paling lama empat bulan.
„ Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’atas kuasa” dari penuntut umum
kepada penyidik adalah demi hukum.
Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai
’’atas kuasa” tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Ayat (1)
Huruf a
Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat
memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang pengadil-

246
an pada liari, tanggal, jam, dan tempat yang ditentukan.
Huruf b
Sesuai dengan acara pemeriksaan cepat, maka pemeriksaan
dilakukan hari itu juga.
Ayat (2)
Huruf a
Oleh karena penyelesaiannya yang cepat maka perkara
yang diadili menurut acara pemeriksaan cepat sekaligus
dimuat dalam buku register dengan masing-masing diberi
nomor untuk dapat diselesaikan secara berurutan.
Huruf b
Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili
menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlu­
kan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum se­
perti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan
tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku
register tersebut pada huruf a.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesai­
an perkara, meskipun demikian' dilakukari dengan penuh keteliti­
an.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Yang dimaksud dengan ’’perkara pelanggaran tertentu” adalah:
a. mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau yang
mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b. mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat mem­
perlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor
kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda
bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperli­
hatkannya tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa;
c. membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor di­
kemudikan oleh orang yang tidak memiliki surat izin me­
ngemudi;

247
d. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan,
perlengkapan, pemuatan kendaraan, daii syarat penggandengan
dengan kendaraan lain;
e. membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa di­
lengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan
surat tanda nomor kendaraan yang bersangkutan;
f. pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pe­
ngatur lalu lintas jalan, dan atau isyarat alat pengatur lalu
lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan
jalan;
g. pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan
yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang
dan atau cara memuat dan membongkar barang;
h. pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diper­
bolehkan beroperasi dijalan yang ditentukan.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Berbeda dengan pemeriksaan menurut cara biasa, maka pemeriksa­
an menurut acara pemeriksaan perkara .pelanggaran lalu lintas jalan,
terdakwa boleh mewakilkan di sidang.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan
cepat, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan tuntas, maka
benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak pada saat
amar putusan telah dipenuhi.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena tidak hanya bertang-
gungjawab kepada hukum, sesama manusia dan dirinya, tetapi juga
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya setiap orang wajib menghormati martabat lembaga
ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu
persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan
248
sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau
terhalangnya persidangan.
Pasal 219
Yang dimaksud dengan ’’petugas keamanan dalam .pasal ini” ialah
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia dan tanpa mengura­
ngi wewenangnya dalam melakukan tugasnya wajib melaksanakan
petunjuk ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Penyimpanan surat putusan pengadilan meliputi seluruh berkas
mengenai perkara yang bersangkutan.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Salinan surat putusan dapat diberikan dengan cuma-cuma.
Ayat (3)
Pelaksanaan ayat ini tidak boleh sedemikian rupa sifatnya se­
hingga akan merupakan pidana tambahan sebagaimana di­
maksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Tiap jangka waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini,
selalu dihitung dari berikutnya setelah hari pengumuman, perin­
tah atau penetapan dikeluarkan.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.

249
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan memperhatikan Pasal 233 ayat (1) dan Pasal 234
ayat (1) panitera dilarang menerima permintaan banding per­
kara yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding
yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan ber­
akhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Ayat (1)
Maksud pemberian batas waktu empat belas hari ialah agar
perkara banding tersebut tidak tertumpuk di pengadilan ne­
geri dan segera diteruskan ke pengadilan tinggi
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Ayat (1)
Cukup jelas.
250
Ayat (2)
Apabila dalam perkara pidana terdakwa menurut undang-
undang dapat ditahan, maka sejak permintaan banding diaju­
kan, pengadilan tinggi yang menentukan ditahan atau tidak­
nya.
Jika penahanan yang dikenakan kepada pembanding menca­
pai jangka waktu yang sama dengan pidana yang dijatuhkan
oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus dibebaskan se­
ketika itu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
A y a t(l)
Perbaikan pemeriksaan dalam hal ada kelalaian dalam pe­
nerapan hukum acara harus dilakukan sendiri oleh pengadil­
an negeri yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
251
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan
meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
252
Pasla 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana
yang dijatuhkan berturut-turut itu ditetapkan untuk dijalani oleh
terpidana berturut-turut secara berkesinambungan di antara men­
jalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 273
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jangka waktu tiga bulan dalam ayat ini dimaksudkan untuk
memperhatikan hal yang tidak mungkin diatasi pengaturannya
dalam waktu singkat.
Ayat (4)
Perpanjangan waktu sebagaimana tersebut pada ayat ini tetap
dijaga agar pelaksanaan lelang itu tidak tertunda.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Karena terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam pasal ini ber­
sama-sama dijatuhi pidana karena dipersalahkan melakukan tindak
pidana dalam satu perkara, maka wajar bilamana biaya perkara
dan atau ganti kerugian ditanggung bersama secara berimbang.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
253
Pasal 281
Informasi yang dimaksud dalam pasal ini dituangkan dalam bentuk
yang telah ditentukan.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
A y a t(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
a. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang
telah dilimpahkan ke pengadilan.
b. Yang dimaksud dengan ’’ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada,
antara lain :
1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-undang No­
mor 7 Drt. tahun 1955);
2. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi (Undang-undang Nomor 3 tahun 1971),
dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu
akan ditinjau kembali, diubah' atau dicabut dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Pasal 285
Kitab Undang-undang. Hukum Acara Pidana ini disingkat
’’K.U.H.A.P.”
Pasal 286
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3209

254
NOMORS TAHUNI 986
TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai
negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undng Dasar 1945 bertujuan
mewujudkan tata kehidupan negara dan
bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, ser­
ta tertib, yang menjamin persamaan kedu­
dukan warga masyarakat dalam hukum,
dan yang menjamin terpeliharanya hubung­
an yang serasi, seimbang, serta selaras anta­
ra aparatur di bidang Tata Usaha Negara
dengan para warga masyarakat;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan
tersebut, dengan jalan mengisi kemerdeka­
an melalui pembangunan nasional secara
bertahap, diusahakan untuk membina, me­
nyempurnakan, dan menertibkan aparatur
di bidang Tata Usaha Negara, agar mampu
menjadi alat yang efisien, efektif, bersih,
serta berwibawa, dan yang dalam melaksa­
nakan tugasnya selalu berdasarkan hukum
dengan dilandasi semangat dan sikap peng­
abdian untuk masyarakat;
c. bahwa meskipun pembangunan nasional
hendak mendptakan suatu kondisi sehingga
setiap warga masyarakat dapat menikmati
suasana serta iklim ketertiban dan kepasti­
an hukum yang berintikan keadilan, dalam
pelaksanaannya ada kemungkinan timbul
benturan kepentingan, perselisihan, atau
sengketa antara Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dengan warga masyarakat
yang dapat merugikan atau menghambat
jalannya pembangunan nasional;
d. bahwa untuk menyelesaikan sengketa ter­
sebut diperlukan adanya Peradilan Tata
Usaha Negara yang mampu menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan ke­
pastian hukum, sehingga dapat memberi­
kan pengayoman kepada masyarakat, khu­
susnya dalam hubungan antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan masya­
rakat ;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan
tersebut, dan sesuai pula dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha­
kiman, perlu dibentuk Undang-undang ten­
tang Peradilan Tata Usaha Negara;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24,
dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rak­
yat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/
3978 dihubungkan dengan Ketetapan Ma­
jelis Permusyawaratan Rakyat Republik In­
donesia Nomor II/MPR/1983 tentang Ga­
ris-garis Besar Haluan Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke­
kuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Ta­
hun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Ne­
gara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
256
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN
TATA USAHA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksa­
nakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah;
2. Badan atau Pejabat Tata Us^fra Negar# adalah Badan atau Pe­
jabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undaftgan yang berlaku;
3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasar­
kan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hu­
kum bagi seseorang atau badan hukum perdata;
4. Sengketa7 Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul da­
lam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Kepu­
tusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian ber­
dasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Ba­
dan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadil­
an untuk mendapatkan putusan;

257
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada pa­
danya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh
orang atau badan hukum perdata;
7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara;
8 . Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/
atau Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut Undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hu­
kum perdata;
b. . Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan per­
setujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan per-
undang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar ha­
sil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan per­
aturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia;
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
Pasal 3
11) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak menge­
luarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,
maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara.
258
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak menge­
luarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu se­
bagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan kepu­
tusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak
diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Ne­
gara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan kepu­
tusan penolakan.

Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 4
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasa­
an kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata
Usaha Negara.
Pasal 5
(1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Ne­
gara dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 6
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya
atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wila­
yah kotamadya atau kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota
propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
259
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 7
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Departemen Kehakiman.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus sengketa Tata Usaha Negara.
BAB n
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 8
Pengadilan terdiri atas:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan
tingkat pertama;
b. Pengadilan Tinggi- Tata Usaha Negara, yang merupakan peng­
adilan tingkat banding.
Pasal 9
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Keputusan Presi­
den.
Pasal 10
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-
undang.
Pasal 11
(1) Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
2 6 0
(2) Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(3) Hakim anggota pada Pengdilan Tinggi Tata Usaha Negara
adalah Hakim Tinggi.

Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan ke­
hakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pe­
laksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 13
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai
pegawai negeri, dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memerik­
sa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat se­
bagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan sese­
orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI” atau organisasi
terlarang lainnya.;
e. pegawai negeri;

261
f. saijana hukum atau saijana lain yang memiliki keahlian di
bidang Tata Usaha Negara;
g. berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tahun;
h. berwibawa, jujur’ adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Peng­
adilan Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-
kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1), huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
dan huruf h;
b. berumur serendah-rendahnya empat puluh tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai
Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara,
atau sekurang-kurangnya lima belas tahun sebagai Hakim
pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya
sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima tahun bagi Hakim
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah men­
jabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya
delapan tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usa­
ha Negara atau sekurang-kurangnya tiga tahun bagi Hakim
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah men­
jabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 16
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan
Ketua Mahkamah Agung.
262
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mah­
kamah Agung.
Pasal 17
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Ha­
kim Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menu­
rut agama atau kepercayaannya; bunyi sumpah atau janji itu
adalah sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa
saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun
juga suatu janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwja saya akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional;
Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang, serta
peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”,
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan men­
jalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan ti­
dak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melak­
sanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadil­
an”.
(2) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usa­
ha Negara. - V .

(3) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara serta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sum­
pah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah
atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
263
Pasal 18
'l) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-un­
dang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan enam
puluh tiga tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahat­
an;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
264
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan
huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempat­
an untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata keija Majelis Kehormatan
Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak dengan
sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Pre­
siden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman ber­
dasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian' sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (k), berlaku juga ketentuan sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
Pasal 23
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan
yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim
tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negeri
dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hu­
kum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat diberhenti­
kan sementara dari jabatannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan
hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhenti­
an sementara, serta hak-hak pejabat yang terhadapnya dikenakan
pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
265
Pasal 25
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presi­
den.
(2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 26
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan
hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetuju­
an dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.
(2) Dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan,
atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau
■ c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan ter­
hadap keamanan negara.
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah
dan persetujuan sebagaimana dirhaksud dalam ayat (1).
Paragraf 2
Panitera
Pasal 27
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang
dipimpin oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda,
dan beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai ber­
ikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2 6 6
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. serendah-rendahnya berijazah sarjana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya empat .tahun sebagai
Wakil Panitera atau tujuh tahun sebagai Panitera Muda Peng­
adilan Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai Wakil Pani­
tera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, dan huruf c;
b. berijazah sarjana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil
Panitera atau delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, atau empat tahun sebagai Panitera
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Pa­
nitera Muda atau enam tahun sebagai Panitera Pengganti Peng­
adilan Tata Usaha Negara.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, dan huruf c;
b. berijazah sarjana hukum;
267
c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai
Panitera Muda atau tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun se­
bagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, atau
menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Pani­
tera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Pani­
tera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau em­
pat tahun sebagai Panitera Muda atau delapan tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, atau men­
jabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pe­
gawai negeri pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
268
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Panite­
ra Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara atau sepuluh tahun
sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ne­
gara.
Pasal 36
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan
pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia
bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh ditangkap oleh Panitera selain
jabatan sebagaimana dimaksud dalam'ayat (1), dan ayat (2),
diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan per­
setujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Ke­
hakiman.
Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya me­
nurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang ber­
sangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak lang­
sung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun.”
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
269
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian.”
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandang­
an hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional; Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan
lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”.
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­
kan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak mem­
beda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan ke­
wajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti layaknya
bagi seorang Panitera/Wakil Panitera/Panitera Muda/Panitera Peng­
ganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum
dan keadilan”.

Pasal 39
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keria ke­
paniteraan Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 40
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipim­
pin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekre­
taris.
Pasal 41
Jabatan Sekretaris Pengadilan dirangkap oleh Panitera.
Pasal 42
Untuk dapat diangkat mepjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
27 0
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. serendah-rendahnya berijazah saijana muda hukum atau sar­
jana muda administrasi;
e. berpengalaman di Udang administrasi peradilan.
Pasal 43
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebapi berikut:
a. syarat-syarat sebapimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a,
b, c, dan e;
b. berijazah saijana hukum atau saijana administrasi.
Pasal 44
Wakil Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keha­
kiman
Pasal 45
Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris, Wakil Sekretaris di­
ambil sumpah atau janjinya menurut apm a atau kepercayaannya
oleh ketua pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau
janji itu adalah sebapi berikut:
Saya bersumpah/beijanji:
’’bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris,
akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, negara, dan pemerintah”.
’’bahwa saya akan menaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercaya­
kan kepada saya dengan penuh penpbdian, kesadaran dan tang­
gung jawab”.
’’bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan ne­
gara, pemerintah, dan martabat Sekretaris/W akil Sekretaris, serta
akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada ke­
pentingan sendiri, seseorang atau golongan”.
’’bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifat-
271
nya atau menurut perintah harus saya rahasiakan”.
’’bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan berse­
mangat untuk kepentingan negara”.
Pasal 46
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
umum pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija
sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.
BAB IH
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 47
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.-
Pasal 48
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undang-
an untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata
Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara
tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menye­
lesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersang­
kutan telah digunakan.
Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesai­
kan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasar­
kan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

272
Pasal 50
Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di ting­
kat pertama.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di ting­
kat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwe ­
nang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha
Negara di dalam daerah hukumnya.
(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pa­
sal 48.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara seba­
gaimana dimaksud dalam ay&t (3) dapit diajukan permohonan
kasasi.
Pasal 52
(1) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di
daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumnya
melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat
Pengadilan Tata Usaha Negara dan menjaga agar peradilan di­
selenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud da­
lam ayat (1) dan ayat (2) Ketua Pengadilan dapat memberi­
kan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara.

273
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 53
(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepenting­
annya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara da­
pat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang ber­
wenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau dire­
habilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagai­
mana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu berten­
tangan dengan peraturan perundang-undangan yang ber­
laku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu menge­
luarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu menge­
luarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan se­
mua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut.
Pasal 54
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Peng­
adilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tem­
pat kedudukan tergugat
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum
pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
274
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam
daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya di­
teruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha
Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pe­
merintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada
di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat
di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat
kedudukan tergugat.
Pasal 55
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan
puluh hari terhitung sejak saat diteiimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Pasal 56
(1) Gugatan harus memuat;
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan
penggugat atau kuasanya;
b. nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
pengadilan;
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa
penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan oleh penggugat
Pasal 57
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi
atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.

275
(2) Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus
atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan.
(3) Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus meme­
nuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui
oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah resmi.
Pasal 58
Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua
belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persi­
dangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
Pasal 59
(1) Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka
biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan.
(2) Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gu­
gatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan!
(3) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari se­
sudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tem­
pat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak
untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
(4) Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan
dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab de­
ngan tertulis.
Pasal 60
(1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Peng­
adilan untuk bersengketa dengan cuma-cuma.
(2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gu­
gatannya disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala
desa atau lurah di tempat kediaman pemohon.
(3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon
itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.
Pasal 61
(!) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus di­
276
periksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok seng­
keta diperiksa.
(2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
(3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan
penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat
pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi.
Pasal 62
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 tidak dipenuhi oleh penggugdt sekalipun ia telah diberi
tahu dan diperingatkan:
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak:
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpe­
nuhi oleh Keputusan Tdta Usaha’ Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat wak­
tunya.
(2) a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucap­
kan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidang­
an ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk
mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat
tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Peng­
adilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
• dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam teng­
gang waktu empat belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan se­
bagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.

277
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan,
maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur
demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan
diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digu­
nakan upaya hukum.
Pasal 63
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan
yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) Hakim:
a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memper­
baiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diper­
lukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan,
maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak
dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud.dalam ayat (3) tidak
dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan
baru.
Pasal 64
(1) Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbang­
kan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tem­
pat persidangan.
(2) Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh
kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut
harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam
Bagian Kedua Paragraf 2.
Pasal 65
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila
278
masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan
dengan surat tercatat.
Pasal 66
(1) Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar
wilayah Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersang­
kutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat
penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2) Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat pene­
tapan hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimak­
sud dalam ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri dalam wilayah tempat yang bersangkutan berke­
dudukan atau berada.
(3) Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu
tujuh hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib mem­
beri laporan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 67
(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tin­
dakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putus­
an Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat di­
ajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih
dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) :
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sa­
ngat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggu­
gat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam
rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya ke-
putusan tersebut.
279
Bagian Kedua
Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Paragraf 1
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 68
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Ne­
gara dengan tiga orang Hakim.
(2) Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat
panggilan.
(3) Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan
dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang.
(4) Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam
persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya
dilaksanakan dengan baik.
Pasal 69
(1) Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap,
perbuatan, tingkah laku, dan ucapan yang menjunjung tinggi
wibawa, martabat, dan kehormatan pengadilan dengan menaati
tata tertib persidangan.
(2) Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan se­
bagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peri­
ngatan dari dan atas perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluar­
kan dari ruang sidang.
(3) Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata
tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi
kemungkinan dilakukan penuntutan, jika pelanggaran itu me­
rupakan tindak pidana.
Pasal 70
(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membu­
ka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum.
(2) Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang
disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamat­
an negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk
umum.
28 0
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Pasal 71
(1) Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan
pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam pang­
gilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawab­
kan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan di­
nyatakan gugur dan penggugat harus membayai biaya perkara.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat
berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar
uang muka biaya perkara.
Pasal 72
(1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan
dua kali sidang berturut-turut.dan atau tidak menanggapi gu­
gatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meski­
pun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ke­
tua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan' tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan.

(2) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan
surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(t) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun
dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari
sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan me­
nurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat
(3) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya se­
telah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan
secara tuntas.
Pasal 73
(1) Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang
atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di per­
sidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari sidang
yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
(2) Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir,

281
sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Si­
dang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi.
(3) Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak
hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 74
(1) Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan
dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang,
dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesem­
patan untuk mengajukan jawabannya.
(2) Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan
oleh mereka masing-masing.
Pasal 75
(1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya
hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup
serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut
harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
(2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya
hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup
serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut
harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
Pasal 76
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebe­
lum tergugat memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu,
pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh
Pengadilan hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal 77
(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diaju­
kan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada
eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila hakim
mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan
282
bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan.
(2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebe­
lum .disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi
tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan
hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.
Pasal 78
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apa­
bila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera.
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau se­
menda sampai derajat ketiga, a tau' hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau pe­
nasihat hukum.
(3) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak
mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus maka
sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan
yang lain
Pasal 79
(1) Seorang Hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila
ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu seng­
keta.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas per­
mintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadil­
an yang berwenang yang menetapkan.
(4) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak
mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka
283
sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan
yang lain
Pasal 80
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang ber­
hak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang
bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat di­
gunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 81
Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat
hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi
lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan
seperlunya.
Pasal 82
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh
membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkara­
nya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Penga­
dilan yang bersangkutan.
Pasal 83
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepen­
tingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan per­
mohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam
sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a. pihak yang membela haknya; atau
b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang ber­
sengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat di­
kabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang
dicantumkan dalam berita acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagai­
mana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersen­
diri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding
terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
284
Pasal 84
(1) Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan
yang melampaui batas wewenangnya pemberi kuasa dapat
mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar
tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan.
(2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di­
kabulkan maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang
dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu
dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara
pemeriksaan.
(3) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan
atau diberitahukan' kepada para pihak yang bersangkutan.
Pasal 85
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dah apabila Hakim Ketua
Sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksa­
an terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Ne­
gara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta
penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan
dengan sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua
Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diper­
lihatkan kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan di­
tentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebe­
lum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat
itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum di­
terima kembali dari Pengadilan.
(4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan
persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat
itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirim­
kan surat yang bersangkutan kepada penyidik yang berwenang,
dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda
dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Pasal 86
(1) Atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya,

285
Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan seorang saksi
urituk didengar dalam persidangan.
(2) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat diper­
tanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut
dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bah­
wa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat
memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi ke per­
sidangan.
(3) Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di
Pengadilan tersebut, tetapi pemeriksaan saksi.itu dapat di­
serahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman saksi.
Pasal 87
(1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2) Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama leng­
kap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, ke-
warganegaraan, tempat tinggal, agama atau kepercayaannya,
pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan keija
dengan penggugat atau tergugat.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sum­
pah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
Pasal 88
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
a. keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu
pihak yang bersengketa;
b. istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meski­
pun sudah bercerai;
c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d. orang sakit ingatan.
Pasal 89
(1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban
untuk memberikan kesaksian ialah:
286
a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perem­
puan sakih satu pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabat­
annya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang ber­
hubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya
itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan
segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
Pasal 90
(1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak
disampaikan melalui Hakim Ketua Sidang.
(2) Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim
Ketua Sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanya­
an itu ditolak.
Pasal 9>
(1) Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia,
Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih baha­
sa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami
oleh penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan
sebaik-baiknya.
(3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk
sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.

Pasal 92
(1) Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak
dapat menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang
yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru
bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana di­
287
maksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau jaiyi
menurut agama atau kepercayaannya.
(3) Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pan­
dai menulis, Hakim. Ketua Sidang dapat menyuruh menulis­
kan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh me­
nyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut
dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian
segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.
Pasal 93
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di per­
sidangan.
Pasal 94
(1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar da­
lam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak
yang bersengketa.
(2) Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi
tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
maka saksi dapat didengar keterangannya tanpa hadirnya pi­
hak yang bersengketa.
(3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di per­
sidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum,
Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman
saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar
saksi tersebut.

Pasal 95
(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu
hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidang­
an berikutnya.
(2) Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah
pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan
panggilan.
(3) Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidang­
an pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selan­
28 8
jutnya Hakim Ketua Sidang menyuruh memberitahukan ke­
pada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan ber­
ikutnya.
(4) Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia
telah diberitahu secara patut, maka pemeriksaan dapat di­
lanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 96
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus
dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar da­
hulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukan­
nya tindakan tersebut.
Pasal 97
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua be­
lah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat
yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagai­
mana dimaksud dalam ayat'(l), maka Hakim Ketua Sidang
menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesem­
patan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan
tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putus­
an sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim
Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali
jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak.
(4) Apabila musyawarah, majelis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawarat­
an ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat di­
ambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Ma­
jelis yang menentukan.
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam
28 9
sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain
yang hams diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan Pengadilan dapat herupa:
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadil­
an tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang hams dilakukan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluar­
kan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersang­
kutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara y.ang ber­
sangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Ne­
gara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugat­
an didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat diser­
tai pembebanan ganti-rugi.
(11) Dalam hal putusan- Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajib­
an sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat
disertai pemberian rehabilitasi.

Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mende­
sak yang hams dapat disimpulkan dari alasan-alasan per­
mohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon
kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
290
(1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak di-
kabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 99
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim
Tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu
tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat,
dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan per­
siapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua
belah pihak, masing-masing diteptukan tidak melebihi empat
belas hari.

Bagian Ketiga
Pembuktian
Pasal 100
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibukti­
kan.

Pasal 101
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah:
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan

291
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-
undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peris­
tiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda­
tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
c. surat-surat lainnya yang bukan akta.
Pasal 102
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di ba­
wah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan
Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 103
(3) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk sese­
orang atau beberapa orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan
baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan de­
ngan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang penge­
tahuannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 104
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan
itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh
saksi sendiri
Pasal 105
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berda­
sarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

292
Pasal 106
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diya­
kini kebenarannya.
Pasal 107
Hakim menentukan apa yang hams dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian di­
perlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keya­
kinan Hakim.
Bagian Keempat
Putusan Pengadilan
Pasal 108
(1) Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir
pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Ha­
kim Ketua Sidang salinan putdsan itu disampaikan dengan
surat tercatat kepada yang bersangkutan.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 109
(1) Putusan Pengadilan harus memuat:
a. Kepala putusan yang berbunyi: ”DEMI KEADILAN BER­
DASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau
tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan
hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu di­
periksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama

293
panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadir­
nya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimak­
sud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan
Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Penga­
dilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim
yang memutus dan Panitera yang turut bersidang.
(4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan de­
ngan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menanda­
tangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua
Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua
Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut
(5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani,
maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua
Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota
Majelis tersebut.
Pasal 110
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum
membayar biaya perkara.
Pasal H l
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak
yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus
membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak
tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan
biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perin­
tah Hakim Ketua Sidang.
Pasal 112
Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan atau
tergugat disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan.

294
Pasal 113
(1) Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun di­
ucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri
melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
(2) Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan peng­
adilan dapat meminta supaya diberikan kepadanya salinan
resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan.
Pasal 114
(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara
sidang yang memuat segala sesuatu yang teijadi dalam sidang.
(2) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang
dan Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan,
maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
(3) Apabila Hakim Ketua Sidang dan Panitera berhalangan me­
nandatangani maka berita acara ditandatangani oleh Ketua
Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua
Sidang dan Panitera tersebut
Bagian Kelima
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 115
Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hu­
kum tetap yang dapat dilaksanakan.
Pasal 116
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua
Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama se­
lambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewa­
jibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf
a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi
295
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban­
nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b
dan‘c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban ter­
sebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat me­
laksanakan putusan Pengadilan tersebut
(4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya me­
nurut jenjang jabatan
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), daiam
waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua
Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan
tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah ter­
tinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 117
(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau
tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Peng­
adilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebab­
kan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan
Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum
tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Peng­
adilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan
penggugat.
(2) Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberita­
huan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah
mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewa-
296
jiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang di­
inginkannya.
(3) Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua
belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan ten­
tang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan
kepada tergugat,
(4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi
tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau
kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan
yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah
uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5) Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun oleh ter­
gugat kepada Mahkamah Agung Untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), wajib ditaati kedua belah pihak.

Pa&l 118
(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 116 ayat ( l') berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11),
pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan
selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menu­
rut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan
dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan
perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut
kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat
pertama.
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksana­
kan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya se­
suai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
297
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelak­
sanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tersebut.
Pasal 119
Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadil­
an yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Keenam
Ganti Rugi
Pasal 120
(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar
ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam
waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh ke­
kuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar
ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan
pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi ter­
sebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan mem­
peroleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya ganti rugi' beserta tata cara pelaksanaan ketentuan
sebagaimana .dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
RehabDitasi
Pasal 121
(1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawai­
an. dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan Pengadil­
an yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan ke­
pada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang
k
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirim­
kan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan reha­
bilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Tingkat Banding
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diminta­
kan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara!
Pasal 123
(1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis
oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk
itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuh­
kan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya
secara sah.
(2) Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang
muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya di­
taksir oleh Panitera.
Pasal 124
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir
hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama
dengan putusan akhir.
Pasal 125
(1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam
daftar perkara.
(2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terban­
ding.
Pasal 126
(1) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pe­
meriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada

299
kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara
di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara-dalam tenggang waktu
tiga puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan ter­
sebut.
(2) Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkut­
an harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah
pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3) Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kon­
tra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada
Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentu­
an bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan
kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadil­
an.
Pasal 127
(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan me­
mutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang
Hakim.
(2) Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat
bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang
lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengada­
kan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambah­
an atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3) Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang me­
nyatakan tidak -berwenang memeriksa perkara yang diaju­
kan kepadanya, sedang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Nega­
ra berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut dapat meme­
riksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintah­
kan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan me­
meriksa dan memutusnya.
(4) Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu
tiga puluh hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Ting­
gi beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadil­
an Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan ting­
kat pertama.

300
Pasal 128
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal
79 berlaku juga bagi pemeriksaan di tingkat banding.
(2) Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan atau
Panitera di tingkat banding dengan Hakim atau Panitera di
tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus perkara
yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama ke­
mudian menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim
tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama di tingkat
banding.
Pasal 129
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Penga­
dilan Tinggi Tata Usaha Negara maka permohonan tersebut dapat
dicabut kembali oleh pemohon, dan dalam hal permohonan peme­
riksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi meskipun
jangka waktu untuk mengajukan permohonan, pemeriksaan ban­
ding belum lampau.
Pasal 130
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadil­
an Tata Usaha Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyata­
an tersebut meskipun jangka waktu untuk mengajukan permo­
honan pemeriksaan banding belum lampau.

Bagian Kesembilan
Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Pasal 131
(1) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohon­
kan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud da­
lam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
301
Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pasal 132
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuat­
an hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kem­
bali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (i) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 133
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.
Pasal 134
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan atau surat lain­
nya yang berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Penga­
dilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 135
(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata
Usaha Negara tertentu yang memerlukan keahlian khusus,
maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim Ad
Hoc sebagai anggota majelis.
(2) Untuk dapat dituiyuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) kecuali huruf e dan f.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf c tidak berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4) Tata cara pemuyukkan Hakim Ad Hoc pada pengadilan seba­
gaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

302
Pasal 136
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan
diputus berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara
tertentu yang menyangkut kepentingan umum dan yang hams
segera diperiksa, maka pemeriksaan perkara. itu didahulukan.
Pasal 137
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi per­
kara dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Pani­
tera Pengganti
Pasal 138
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
bertugas membantu Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalan­
nya sidang Pengadilan.
Pasal 139
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima
di kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor
urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 140
Panitera membuat salinan putusan pengadilan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 141
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara,
putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang ti­
tipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan
surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas per­
kara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, ke­
cuali atas izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan pera­
turan perundang-undangan yang berlaku.

303
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya
Pengadilan menurut Undang-undang ini belum diputus oleh
Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
(2) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya
Pengadilan menurut undang-undang ini sudah diajukan kepada
Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetapi belum di­
periksa, dilimpahkan kepada Pengadilan di lingkungan Pera­
dilan Tata Usaha Negara.
Pasal 143
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai ber­
laku Menteri Kehakiman setelah mendengar pendapat Ketua
Mahkamah Agung mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil
Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Pani­
tera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan di ling­
kungan Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Pani­
tera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan
Wakil Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menyimpang dari persyaratan yang ditentukan dalam Undang-
undang ini.
BAB v n
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Undang-undang ini dapat disebut ”Undang-undang Peradilan Ad­
ministrasi Negara”.

Pasal 145
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan
penerapannya diatur dengan peraturan pemerintah selambat-lam­
batnya lima tahun sejak Undang-undang ini diundangkan

304
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam- Lembaran Ne­
gara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 1986.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1986 NOMOR 77

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

ttd
Bambang Kesowo, SH, LL.M.

305
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. UMUM.
1. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa
yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib. Dalam tata
kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedu­
dukan warga masyarakat dalam hukum. Akan tetapi,
pelaksanaan pelbagai fungsi untuk menjamin kesamaan
kedudukan tersebut dan hak perseorangan dalam masya­
rakat harus disesuaikan dengan pandangan hidup serta
kepribadian negara dan bangsa berdasarkan Pancasila,
sehingga tercapai keserasian, keseimbangan, dan kesela­
rasan antara kepentingan perseorangan dengan kepenting­
an masyarakat atau kepentingan umum.
Garis-garis besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa
usaha untuk mewujudkan tata kehidupan yang dicita-
. citakan itu dilakukan melalui pembangunan nasional yang
bertahap, berlanjut, dan berkesinambungan.
Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, sesuai de­
ngan sistem .yang dianut dalam Undang-Undang Dasar
1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara, Pemerintah
melalui aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara, diha­
ruskan berperan positif aktif dalam kehidupan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya itu Pemerintah wajib men­
junjung tinggi harkat dan martabat masyarakat pada
umumnya dan hak serta kewajiban asasi warga masyarakat
pada khususnya. Oleh karena itu, Pemerintah wajib secara
terus menerus membina, menyempurnakan, dan mener­
tibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara agar mampu
menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa

306
dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan
hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian
untuk masyarakat.
Menyadari sepenuhnya peran positif aktif Pemerintah da­
lam kehidupan masyarakat, maka Pemerintah perlu mem­
persiapkan langkah untuk menghadapi kemungkinan tim­
bulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengke­
ta antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan
warga masyarakat.
Untuk penyelesaian sengketa tersebut, dari segi hukum,
perlu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena pemben­
tukan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai bagian pemba­
ngunan hukum merupakan bagian pembangunan nasional
yang berwatak dan bersifat integral serta dilaksanakan
secara bertahap dan berkesinambungan, maka pembangun­
an Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan pula secara ber­
tahap, berlanjut dan berkesinambungan. Undang-undang
ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
dalam bidang Tata Usaha Negara, kecuali sengketa tata
usaha di lingkungan Angkatan Bersenjata dan dalam soal-
soal militer yang menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1953 dan Undang-undang Nomor 19
Tahun 1958 diperiksa, diputus, dan diselesaikan oleh
Peradilan Tata Usaha Militer; sedangkan sengketa Tata
Usaha Negara lainnya yang menurut Undang-undang ini
tidak menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara,
diselesaikan oleh Peradilan Umum.
Sesuai dengan maksudnya, maka sengketa itu haruslah
merupakan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

307
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat di­
keluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yai^
dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata.
Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara itu diada­
kan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat
pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat
suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Akan tetapi, dalam hubungan ini perlu kiranya disadari
bahwa disamping hak-hak perseorangan, masyarakat juga
mempunyai hak-hak tertentu. Hak masyarakat ini dida­
sarkan pada kepentingan bersama dari orang yang hidup
dalam masyarakat tersebut. Kepentingan-kepentingan ter­
sebut tidak selalu sejalan, bahkan kadang-kadang saling
berbenturan. Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-
adilnya terhadap benturan antara kepentingan yang ber-
beda itu, saluran hukum merupakan salah satu jalan yang
terbaik dan sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam
falsafah negara kita, Pancasila, maka hak dan kewajiban
asasi warga masyarakat harus diletakkan dalam keserasian,
keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perse­
orangan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu,
tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak se­
mata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak
perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak
masyarakat.
2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Peng­
adilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hu­
kum acara, dan kedudukan Hakim serta tata kerja adminis­
trasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.
308
Di dap daerah tingkat II dibentuk sebuah Pengadilan Tata
Usaha Negara yang berkedudukan di Kotamadya atau di
ibukota Kabupaten; pembentukan itu dilakukan dengan
Keputusan Presiden.
Di tiap daerah tingkat I dibentuk sebuah Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibukota Propin­
si; pembentukan itu dilakukan dengan undang-undang.
Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadil­
an Tinggi Tata Usaha Negara akan dilaksanakan secara ber­
tahap dengan memperhatikan berbagai faktor, baik yang
bersifat teknis maupun non teknis.
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan
tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menye­
lesaikan sengketa Tata Usaha Negara bagi rakyat pencari
keadilan.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya meru­
pakan Pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang
telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali:
a. sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata
Usaha Negara di daerah hukumnya; dalam hal ini
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir;
b. sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya ad­
ministratif; dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara bertindak sebagai Pengadilan tingkat pertama.
Sebagaimana diketahui, di dalam sistem peraturan per-
undang-undangan kita dikenal adanya penyelesaian seng­
keta Tata Usaha Negara melalui upaya administratif. Se­
telah adanya Undang-undang ini, bagi mereka kini terbuka
kemungkinan untuk mengajukan persoalannya ke Peng­
adilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung sebagai pelaksana tertinggi kekuasaan
kehakiman dan pengadilan kasasi diatur dalam Undang-
undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya, serta Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-keten-
309
tuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyeleng­
garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia.
Agar Pengadilan bebas dalam memberikan putusannya se­
suai dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mer­
deka, maka perlu ada jaminan bahwa baik Pengadilan mau­
pun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari penga­
ruh Pemerintah dan pengaruh lainnya
Oleh karena itu, Hakim diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Keha­
kiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Dalam hal Pengadilan mengadili sengketa tertentu yang
memerlukan keahlian khusus, maka Ketua Pengadilan da-
£at mengangkat seorang dari luar Pengadilan sebagai Ha­
kim Ad Hoc dalam Majelis Hakim yang akan mengadili
sengketa dimaksud. Bagi Hakim Ad Hoc tidak berlaku per­
syaratan-persyaratan tertentu seperti yang berlaku bagi
Hakim Tata Usaha Negara.
Dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, ke­
naikan pangkat, atau tindakan/hukum an administratif
terhadap Hakim Pengadilan perlu ada keija sama, konsul­
tasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan Peme­
rintah.
Di samping itu, perlu adanya pengaturan tersendiri menge­
nai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat per­
adilan, khususnya bagi para Hakim, demikian pula pangkat
dan gaji diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang ber­
laku, sehingga para pejabat peradilan tidak mudah dipe­
ngaruhi, baik moril maupun materiel.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan
Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu/
keahlian para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat
tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam Undang-
undang ini.
Untuk itu diperlukan pendidikan tambahan bagi para Ha­
kim guna meningkatkan pengetahuan/keahlian mereka.
Selain itu diperlukan juga pembinaan sebaik-baiknya, yang
tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Selanjutnya diadakan juga larangan bagi para Hakim me­
rangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan
Pengadilan, wali pengampu, pengusaha, dan setiap kegiatan
yang bersangkutan dengan suatu perkara yang diperiksanya.
Demikian pula diadakan larangan rangkapan jabatan bagi
Panitera.
4. Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara diberi tugas pengawasan terha­
dap Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya.
Hal ini akan meningkatkan koordinasi antara Pengadilan
Tata Usaha Negara di daerah hukum suatu Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara yang bermanfaat bagi rakyat
pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dalam melakukan pengawasan tersebut dapat mem­
berikan petunjuk, tegonm, dan peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung
dapat diawasi sehingga pelaksanaan peradilan yang seder­
hana, cepat, adil, dan biaya ringan akan lebih terjamin.
Petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras bahwa se­
orang Hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang
dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan
kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam peker­
jaannya, dapat mengakibatkan ia diberhentikan dengan
tidak hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, setelah
ia diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan
dengan tegas dalam Undang-undang ini, mengingat luhur
dan mulianya tugas Hakim, sedangkan apabila ia melaku­
kan perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai pe­
gawai negeri, baginya tetap berlaku sanksi sebagaimana di­
tetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri.
5. Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai hukum
acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha
Negara, yang meliputi hukum acara pemeriksaan tmgkat
pertama dan hukum acara pemeriksaan tingkat banding.

311
Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha
Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang
digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata,
dengan beberapa perbedaan antara lain.
a. pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan le­
bih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh
kebenaran materiel dan untuk itu Undang-undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas;
b. suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak
bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan.
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Ne­
gara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat,
maka dalam Undang-undang ini diberikan kemudahan bagi
warga masyarakat pencari keadilan, antara lain:
a. mereka yang tidak pandai membaca dan menulis di­
bantu oleh Panitera Pengadilan untuk merumuskan
gugatannya;
b. warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang
tidak mampu diberikan kesempatan untuk berperkara
secara cuma-cuma;
c. apabila terdapat kepentmgan penggugat yang cukup
mendesak;- atas permohonan penggugat, Ketua Peng­
adilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan
dengan acara cepat;
d. penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Peng­
adilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan
tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke
Pengadilan yang berwenang mengadilinya;
e. dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili
oleh Pengadilan yang daerah hukumnya melipu ti tem­
pat kediaman penggugat:
f. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil
sebagai satei diwajibkan untuk datang sendiri.
6. Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekeijaan
yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu ada-
312
nya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksana­
an pengelolaan administrasi Pengadilan, yang terdiri atas
administrasi perkara dan administrasi umum. Hal ini sa­
ngat penting karena bukan saja menyangkut aspek keter­
tiban dalam penyelenggaraan administrasi, baik adminis­
trasi perkara maupun administrasi di bidang kepegawaian,
peralatan serta perlengkapan, keuangan, dan lain-lainnya,
melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran penyeleng­
garaan Peradilan itu sendiri.
Sebagaimana halnya dengan prinsip penyelenggaraan admi­
nistrasi di Pengadilan yang dianut oleh Peradilan Umum,
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum, maka pertanggung jawaban
administrasi Pengadilan dalam Undang-undang ini juga di­
bebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang me­
rangkap Sekretaris dengan tugas di bidang masing-masing.
Dalam pelaksanaan tugasnya selaku Panitera, ia dibantu
oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera
Muda, sedang dalam pelaksanaan tugasnya selaku Sekre­
taris, ia dibantu oleh seorang'Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf kepaniteraan dapat lebih memusat­
kan perhatiannya pada tugas dan fungsinya untuk mem­
bantu Hakim di bidang peradilan, sedangkan tugas admi­
nistrasi lainnya dapat dilaksanakan oleh staf sekretariat.
Dengan adanya perbedaan administrasi perkara dan admi­
nistrasi di bidang kepegawaian, peralatan serta perlengkap­
an, keuangan dan lain-lainnya, maka pembinaannya pun
berbeda.
Pembinaan administrasi perkara dilakukan oleh Mahkamah
Agung, sedang pembinaan administrasi umum dilakukan
oleh Departemen Kehakiman.

H. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Angka 1 Yang dimaksud dengan ’’urusan pemerintahan”
ialah kegiatan yang bersifat eksekutif.
Angka 2 Yang dimaksud dengan ’’peraturan perundang-
undangan” dalam undang-undang ini ialah se-
313
mua peraturan yang bersifat mengikat secara
umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan
Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pu­
sat maupun di tingkat daerah, serta semua Ke­
putusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
yang juga bersifat mengikat secara umum.
Angka 3 Istilah ’’penetapan tertulis” terutama menun­
juk kepada isi dan bukan kepada bentuk kepu-
tusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Peja­
bat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang
diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti su­
rat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk ke­
mudahan segi pembuktian. Oleh karena itu se­
buah memo 4tau nota dapat memenuhi syarat
tertulis tersebut dan akan merupakan suatu
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Ne­
gara menurut Undang-undang ini apabila sudah
jelas:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
mana yang mengeluarkannya;
b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan
itu;
c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa
yang ditetapkan di dalamnya.
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah
Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang
melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah
perbuatan hukum Badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yang bersumber pada suatu ke­
tentuan hukum Tata Usaha Negara ,yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang
lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputus­
kan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu
tidak abstrak, tetapi berwujud,,' tertentu atau
dapat ditentukan, umpamanya keputusan me­
ngenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pember­
hentian si A sebagai pegawai negeri.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata
Usaha Negara itu tidak; ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang
dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang,
tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan
itu disebutkan. Umpamanya, keputusan ten­
tang pembuatan atau pelebaran jalan dengan
lampiran yang menyebutkan nama-nama orang
yang terkena keputusan tersebut
Bersifat final artinya sudah definitif dan kare­
nanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetu­
juan instansi atasan atau instansi lain belum
bersifat final karenanya belum dapat menim­
bulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak
yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan
pengangkatan seorang pegawai negeri memer­
lukan persetujuan dari Badan Administrasi Ke­
pegawaian Negara.
Angka 4 Istilah ’’sengketa” yang dimaksdukan di sini
mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai
perbedaan pendapat mengenai penerapan hu­
kum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dalam mengambil keputusan pada dasarnya
mengemban kepentingan umum dan masyara­
kat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat
saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan
kerugian bagi orang atau badan hukum perdata
tertentu; dalam asas Hukum Tata Usaha Ne­
gara kepada yang bersangkutan harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan gugatan Peng­
adilan.
315
Angka 5 Istilah ’’gugatan” yang ffimaksudkan di ani
mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi
Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam Administrasi Negara Pemerintah banyak
mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ke­
pentingan masyarakat
Tidak jarang dalam kasus tertentu Keputusan
Tata Usaha Negara mengakibatkan kerugian
bagi seseorang atau badan hukum perdata ter­
tentu dan karenanya memerlukan koreksi
serta pelurusan dalam segi penerapan hukum­
nya.
Untuk keperluan ini diciptakan lembaga ’’gu­
gatan” terhadap Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
Angka 6 Cukup jelas.
Angka 7 Cukup jelas.
Angka 8 £ukup je|as.
Pasal 2
Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Kepu­
tusan' Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang ling­
kup kompetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Ne­
gara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa
jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang
tidak dapat c&golongkan dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut Undang-undang ini.
Huruf a
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan per­
buatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang
menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara
instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan
pada ketentuan hukum perdata.
H m uf b
Yang dimaksud dengan ’’pengaturan yang beai&i
umum” ialah pengaturan yang memuat norma-norma
hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan
yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang..
Hrnuf c
Yang dimaksud dengan "Keputusan Tata Usaha Negara
yang masih memerlukan persetujuan” ialah keputusah
yang untuk dapat berlaku masih memerlukan perse­
tujuan instansi atasan atau instansi lain.
Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersi­
fat preventif dan keseragaman kebijaksanaan sering
kali peraturan yang menjadi dasar keputusan menen­
tukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata
Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan
lebih dahulu.
Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa per­
setujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi
lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yartg
akan ditimbulkan oleh keputusan itu.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan
tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di
pengadilan negeri.
Huruf d
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah umpama­
nya dalam perkara lalu lintas di mana terdakwa dipi­
dana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajib­
kannya memikul biaya perawatan si korban selama di­
rawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupa­
kan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka
jaksa yang menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-
undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi
atau tidaknya syarat yang dijhtuhkan dalam pidana
itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar
segera mengirimkan bukti pembayaran^ biaya pera­
watan tersebut kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah um­
pamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat
perintah penahanan terhadap tersangka.
Keputusan. Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan

317
perataran perundang-undangan lain yang bersifat hu­
kum pidana ialah umpamanya perintah jaksa ekonomi
untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa
dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ke­
tiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut da­
pat dilakukan hanya oleh Pengadilan di lingkungan Per­
adilan Umum.
Huruf e
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada
huruf ini umpamanya:
1. Keputusan Direktur Jenderal Agraria yang menge­
luarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang
didasarkan atas pertimbangan putusan Pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa ter­
sebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus
tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.
2. Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas
amar putusan Pengadilan perdata yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum tetap.
3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri
Kehakiman, setelah menerima usul Ketua Pengadil­
an Negeri atas dasar kewenangannya menurut ke­
tentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
A yat(2)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima
318
permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan
yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila
tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak
melayani permohonan yang telah diterimanya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan ’’rakyat pencari keadilan” ialah setiap
orang warga negara Indonesia atau bukan, dan badan hukum
perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Ne­
gara.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas ■<
Pasal 7
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penentuan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini adalah pelaksanaan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Po­
kok Kekuasaan Kehakiman, sesuai dengan perkembang­
an keadaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas ’
Pasal 9
Usul pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara diajukan
319
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mah­
kamah Agung.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
A y a t(l)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Un­
dang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
A y a t(l)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Sebelum seseorang bukan pegawai negeri diangkat
oleh Presiden sebagai Hakim, menurut prosedur yang
berlaku ia harus menjadi calon pegawai dahulu. Ke­
mudian setelah ia diangkat menjadi pegawai negeri-
dan melewati pendidikan, ia diusulkan kepada Pre­
siden agar diangkat sebagai Hakim.
320
Huruf f
Sarjana lain tersebut tidak perlu harus memiliki ke­
ahlian di bidang hukum Tata Usaha Negara, tetapi
ia perlu memiliki keahlian di suatu bidang administrasi
negara, umpamanya bidang kepamongprajaan, bidang
sosial, bidang agraria, bidang perpajakan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’pengalaman” meliputi dua hal:
Pertama, pengalaman kerja memutus sejumlah perkara
yang masalah hukumnya'bervariasH
Kedua, kepemimpinan, yang diharapkan selalu mencermin­
kan sikap dan tingkah laku yang arif dan bijaksana karena
setiap hari ia memeriksa perkara yang rawan dan peka.
Untuk penilaian itu pengalaman kerja dan kepemimpinan­
nya sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara serta se­
bagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di
pelbagai kelas Pengadilan merupakan dasar penilaian yang
sangat diperlukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup j elas
Pasal 17
A y a t(l)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata

321
tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya
untuk penganut agama Islam ’’Demi Allah” sebelum lafal
sumpah dan untuk agama Kristen/Katolik kata ’’Kiranya
Tuhan akan menolong saya” sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
A y a t(l)
Huruf a
Cukupjelas
Huruf b
Cukupjelas
Huruf c
Larangan merangkap menjadi pengusaha yang berlaku
bagi Hakim sama dengan ketentuan yang berlaku bagi
pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukupjelas
Ayat (3)
Cukupjelas

Pasal 19
A y a t(l)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan
sendiri mencakup pengertian pengunduran diri dengan
alasan bahwa Hakim yang bersangkutan tidak berhasil
menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya
sendiri.
Pada hakikatnya situasi, kondisi, suasana,- dan keteratur­
an hidup di rumah tangga setiap Hakim merupakan salah
satu faktor yang penting peranannya dalam usaha mem-
322
bantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim
itu sendiri.
Yang dimaksud dengan ’’sakit jasmani atau roham terus-
menerus” ialah sakit yang menyebabkan sipenderita tidak
mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksud dengan ’’tidak cakap” ialah misalnya yang
bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam
menjalankan tugasnya.
A yit (2)
Oleh karena Ketua dan Wakil Ketua adalah juga Hakim
yang wewenang pengangkatannya berada di tangan Pre­
siden selaku Kepala Negara, maka dalam hal ia meninggal
dunia pemberhentiannya pun dilakukan oleh Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’dipidana” ialah dipidana dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya tiga bulan.
Yang dimaksud dengan, ’’melakukan perbuatan tercela”
ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap, per­
buatan, dan tindakanrtya baik di dalam maupun di luar
Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan ’’tugas pekerjaan” ialah semua
tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana ke­
jahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan un­
tuk membela diri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukan­
nya sebagai' pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabat­
annya sebagai Hakim karena jabatan Hakim bukan jabatan
dalam bidang eksekutif.

323
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan per­
aturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain-lain adalah hal-hal
yang antara lain menyangkut kesejahteraan, seperti rumah
dinas dan kendaraan dinas.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Pengertian ’’saijana muda hukum” di sini mencakup pula me-,
reka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat
dengan saijana muda dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
324
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda,
dan Panitera Pengganti.
Pasal 37
Menteri Kehakiman mengangkat atau memberhentikan Pani­
tera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
atas atau tanpa usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 38
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata
tertentu sesuai dengan agama ipasing-masing, misalnya untuk
agama Islam ’’Demi Allah” sebelum lafal sumpah, dan untuk
agama Kristen/Katolik kata-kata ’’Kiranya Tuhan akan me­
nolong saya” sesudah lafal «umpah.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Pada waktu seseorang diangkat sebagai Panitera ia sekaligus
diangkat sebagai Sekretaris Pengadilan.
Pasal 42
Pengertian ’’Saijana Muda” di sini mencakup pula mereka yang
telah mencapai tingkat pendidikan hukum atau administrasi
sederajat dengan sarjana muda dan dianggap cakap untuk ja­
batan itu.
Pasal 43
Cukup jelas
325
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata
tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk
penganut agama Islam ’’Demi Allah” sebelum lafal sumpah,
dan untuk agama Kristen/Katolik kata-kata ’’Kiranya Tuhan
akan menolong saya” sesudah lafal sumpah.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
A y a t(l)
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat di­
tempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Ne­
gara. . Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pe­
merintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal
penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang
bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”ban-
ding administratif’
Contoh banding administratif antara lain:
Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan keten­
tuan-ketentuan dalam Staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling
van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan ’’Regeling van
het beroep in belastings zaken”.
Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasar­
kan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
326
Hubungan Keija di Perusahaan Swasta.
Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Un­
dang-undang Gangguan St&atsblad 1926 Nr. 226.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara ter­
sebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka
prosedur yang ditempuh tersebut disebut ’’keberatan” .
Contoh Pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan-ketentuan Umum Perpajakan.
Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara,
maka pada prosedur banding administratif atau prosedur
keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari
segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan
oleh instansi yang memutus.
Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu ter­
buka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh
suatu upaya administratif.
Ayat (2)
Apabila seluruh prose'dur dan kesempatan tersebut pada
penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang ber­
sangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah
persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan ’’kepentingan umum” adalah kepen­
tingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat
bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
32~
Pasal 53
A y a t(l)
Sesuai dengan ketentuan Pasal i angka 4 maka hanya
orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan
sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan gu­
gatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggu­
gat Keputusan Tata Usaha Negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata
yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Ke­
putusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan ka­
renanya yang bersangkutan merasa dirugikan diboleh-
kan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk ter­
tulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan peng­
adilan dan para pihak selama pemeriksaan
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutara­
kan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera
Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatan­
nya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata,
maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata
Usaha Negara ini terbatas pada satu macam tuntutan
pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan peng­
gugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa
tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepe­
gawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan
lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat (2)
Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini:
1. memberikan petunjuk kepada penggugat dalam
menyusun gugatannya agar dasar gugatan yang di­
ajukan itu mengarah kepada alasan yang dimaksud­
kan pada huruf a, b, dan c.
328
1 merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan
bagi pengadilan dalam menilai apak&h Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bersifat mela­
wan hukum atau tidak, untuk kemudian ke putusan
yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Alasan-alasan dimaksud pada angka 1 adalah:
a. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai
’’bertentangan dengan peraturan perundang-undang-
an yang berlaku” apabila keputusan yang bersang­
kutan itu:
1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan da­
lam peraturan perundang-undangan yang bersi­
fat prosedural/ formal.
Contoh :
Sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan
seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri
2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan da­
lam peraturan perundang-undangan yang ber­
sifat materiel/Jsubstansi^l.
Contoh:
Keputusan di tingkat banding administratif,
yang telah salah menyatakan gugatan peng­
gugat diterima atau tidak diterima.
3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang tidakberwenang.
Contoh:
Peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat
lain yang berwenang untuk mengambil kepu­
tusan
b Dasar pembatalan ini sering disebut penyalahguna­
an wewenang. Setiap penentuan norma-norma
hukum di dalam dap peraturan itu tentu dengan
tujuan dan maksud tertentu.
Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut
harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khu­
sus diadakannya peraturan yang bersangkutan. De-
329
ngan demikian, peraturan yang bersangkutan tidak
dibenarkan untuk diterapkan guna mencapai hal-
hal yang di luar maksud tersebut Dengan begitu
wewenang materiel Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dalam mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara juga terbatas pada
ruang lingkup maksud bidang khusus yang telah
ditentukan dalam peraturan dasarnya
Contoh:
Keputusan Tata Usaha Negara memberi izin ba­
ngunan atas sebidang tanah, padahal dalam per­
aturan dasarnya tanah tersebut diperuntukkan ja­
lur hijau.
c. Dasar pembatalan ini sering disebut larangan ber­
buat sewenang-wenang. Suatu peraturan dasar
yang memberikan wewenang kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara adakalanya mengatur
secara sangat terinci dan ketat apa yang harus di­
laksanakan dan mengikat Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dalam melakukan urusan pemerin­
tahan.
Pengaturan yang demikian mengikat Badan atau Peja­
bat Tata Usaha Negara sehingga Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tinggal me­
laksanakannya secara harfiah.
Dalam pemerintahan yang terikat Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan bertugas:
1) mengumpulkan fakta yang relevan, dan
2) menerapkan ketentuan perundang-undangan yang
bersangkutan secara otomatis.
Dalam hal sedemikian itu pengadilan dalam menguji
dari segi hukum keputusan yang dikeluarkan juga lebih
mudah karena hanya:
a) melihat fakta yang relevan yang telah, dikumpul­
kan, serta
b) mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan
dasarnya.
Jarang sekali ketetapan penerapan ketentuan dalam
peraturan itu dilihat dari segi asas-asas- hukum tidak
tertulis.
Dalam hal ketentuan tentang tugas dan wewenang
yang harus dilaksanakan itu dirumuskan sedemikian
rupa dalam peraturan dasarnya, sehingga- dapat di taf-
sirkan/diartikan bahwa dalam melaksanakannya Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara memiliki kelonggaran
untuk menentukan kebijaksanaan, maka wewenang
pengadilan pada waktu menguji dari segi hukum Ke­
putusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas da­
sar ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan secara
marginal, artinya sampai batas tertentu.
Apapun yang diputuskan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara itu harus dianggap sesuai dengan hu­
kum (tidak bersifat melawan hukum), asal tidak sam­
pai merupakan keputusan yang bersifat sewenang-
wenang. Sekalipun Pengadilan tidak sependapat de­
ngan kebijaksanaan yang diputuskan dalam keputusan
itu, kalau keputusan itu'tidak dapat dinilai sebagai ke­
putusan yang bersifat sewenang-wenang, maka Peng­
adilan hams menerimanya dan menganggapnya sah
menurut hukum.
Dalam pemerintahan yang bebas Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan bertugas:
1) mengumpulkan fakta yang relevan;
2) mempersiapkan, mengambil, dan melaksanakan ke­
putusan yang bersangkutan dengan memperhatikan
asas-asas hukum yang tidak tertulis; dan
3) dengan penuh kelonggaran menentukan sendiri isi,
cara menyusun, dan saat mengeluarkan keputusan
itu.
Pengujian dari segi hukum yang dilakukan Pengadilan
terhadap Keputusan Tata Usaha Negara demikian itu
terbatas pada penelitian:
1.) Apakah semua fakta yang relevan itu telah dikum­
pulkan untuk ikut dipertimbangkan dalam Kepu­
tusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan:
331
Contoh;
Dalam hal keputusan yang digugat itu dikeluarkan
atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka kepu­
tusan yang demikian itii telah teijadi atas ke mauan
sendiri, bukan atas dasar hukum, sehingga merupa­
kan keputusan yang bersifat sewenang-wenang.
2) Apakah Badan atau. Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan pada waktu mempersiapkan,
memutuskan dan melaksanakannya, telah memper­
hatikan asas-asas yang berlaku.
Contoh:
Keputusan pensiun seorang pegawai negeri dengan
alasan kesehatan, yang tidak dilengkapi dengan
pendapat Dewan Pertimbangan Kesehatan Pegawai
3) Apakah keputusan yang diambil juga akan sama
dengan keputusan yang sedang digugat kalau hal-
hal tersebut pada angka 1 dan 2 telah diperhatikan.
Contoh:
Menurut Pasal 7 ayat (2), Undang-undang No. 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Per­
buruhan; Panitia Penyelesaian Perselisihan Perbu­
ruhan Daerah (P4D) wajib memberikan perantara­
an ke arah penyelesaian secara damai dalam suatu
perselisihan perburuhan dengan jalan mengadakan
perundingan dengan kedua belah pihak yang ber­
selisih.
Kemudian, barulah ia dapat mengambil keputusan
yang bersifat mengikat kedua belah pihak.
Apabila perantaraan Panitia Penyelesaian Perseli­
sihan Perburuhan Daerah (P4D) itu dilakukan de­
ngan cara berat sebelah atau tidak jujur, maka ke­
putusan yang diambilnya mengenai perselisihan
itu dapat dianggap sebagai keputusan sewenang-
wenang.
Pasal 54
A y a t(l)
Yang dimaksud dengan ’’tempat kedudukan tergugat”
adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat
kedudukan menurut hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar
daerah hukum Pengadilan tempat kediaman peng­
gugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara tempat kediaman penggugat untuk
diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan
Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan
tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan
kepada Pengadilan yang berwenang.
Panitera Pengadilan tersebut berkewajiban memberikan
petunjuk secukupnya kepada penggugat mengenai gu­
gatan penggugat tersebut.
Setelah gugatan itu ditandatangani oleh penggugat,
atau kuasanya, atau dibubuhi cap jempol penggugat
yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar uang muka
biaya perkara, maka Panitera yang bersangkutan:
1) mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara
khusus untuk itu;
2) memberikan tanda bukti pembayaran uang muka
biaya, perkara dan mencantumkan nomor register
perkara yang bersangkutan;
3) meneruskan gugatan tersebut kepada Pengadilan
yang bersangkutan.
Cara pengajuan gugatan tersebut di atas tidak mengu­
rangi kompetensi relatif Pengadilan yang berwenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan gu­
gatan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penggugat yang berada di luar negeri dapat mengajukan
gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang
yang diberi kuasa yang berada di Indonesia.
333
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 55
Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu sem­
bilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Kepu­
tusan Tata Usaha Negara yang digugat.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan ke putusan
menurut ketentuan:
a. Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu sembilan puluh
hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu
yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihi­
tung sejak tanggal diterimanya permohonan yang ber­
sangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3), maka tenggang waktu sembilan puluh
hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat
bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya per­
mohonan yang bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu
keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu
sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman
tersebut
Pasal 56
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam kenyataan Keputusan Tata Usaha Negara yang hen­
dak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan
penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka
untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampir-
kannya pada gugatan yang ia ajukan.
Tetapi baik penggugat yang tidak memiliki Keputusan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan maupun pihak ke­
tiga yang terkena akibat hukum keputusan tersebut tentu
334
tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap ke-
putusan yang hendak disengketakan itu.
Dalam rangka pemeriksan persiapan, Hakim selalu dapat
memaita kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadil­
an Keputusan Tata Usaha Negata yang sedang disengke­
takan itu.
Dengan kata "sedapat mungkin” tersebut ditampung se­
mua kemungkinan termasuk apabila tidak ada keputusan
yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3.
Pasal 57
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat kuasa dalam ayat ini dibuat sesuai dengan kebutuhan
hukum yang berlaku di negara tempat surat kuasa tersebut
dibuat.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59 i
A y a t(l)
Yang dimaksud dengan ’’uang muka biaya perkara” ialah
biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh
pihak penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlu­
kan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan,
biaya meterai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa,
biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan
biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas
perintah Hakim.
Uang muka biaya perkara tersebut akan diperhitungkan
kembali kalau perkaranya sudah selesai. Dalam hal peng­
gugat kalah dalam perkara dan ternyata masih ada ke­
lebihan uang muka biaya perkara, maka uang kelebihan
335
tersebut akan dikembalikan kepadanya tetapi kalau ter­
nyata uang muka biaya perkara tersebut tidak mencuku­
pi, ia wajib membayar kekurangannya.
Sebaliknya dalam hal penggugat menang dalam perkara,
uang muka biaya perkara dikembalikan seluruhnya ke­
padanya.
Uang muka biaya perkara yang harus dibebankan kepada
penggugat tersebut di atas hendaknya ditetapkan serendah
mungkin sehingga dapat dipikul oleh penggugat yang ber­
sangkutan selaku pencari keadilan. Ketentuan tentang
pembayaran uang muka biaya perkara dalam pasal ini ber­
laku juga dalam hal gugatan yang diajukan menurut Pasal
54 ayat (3).
Ayat (2)
Setelah pembayaran uang muka biaya perkara dipenuhi,
kepada penggugat diberikan tanda bukti penerimaan yang
berisi nomor register perkara serta jumlah uang muka biaya
perkara yang telah dibayarkan.
Pembayaran biaya perkara diwajibkan bagi mereka yang
mampu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 60
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menurut Undang-undang ini seseorang dianggap tidak
mampu apabila penghasilannya sangat kecil sehingga ia
tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya pembela­
an perkara di Pengadilan. Ketidakmampuan ini ditentu­
kan oleh Ketua Pengadilan berdasarkan penilaian yang
obyektif.
Ayat (3)
Cukup jelas

336
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal permohonan bersengketa dengan cuma-cuma
dikabulkan, Pengadilan mengeluarkan penetapan yang
salinannya diberikan kepada pemohon dan biaya perkara
ditanggung oleh negara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1) ‘
Huruf a
’’Pokok gugatan” adalah fakta yang dijadikan dasar
gugatan. Atas dasar fakta tersebut penggugat men­
dalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan
oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

337
Pasal 63
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan kekhususan dalam proses peme­
riksaan sengketa Tata Usaha Negara. Kepada Hakim diberi
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan persiapan
sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam kesempatan ini
Hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan demi
lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi
kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan
informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pe­
jabat Tata Usaha Negara mengingat bahwa penggugat dan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kedudukannya ti­
dak sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Karena tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a itu tidak bersifat memaksa, maka Hakim ten­
tu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja me­
nyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima
kalau penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk
memperbaiki gugatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Berbeda dengan Hukum Acara Perdata maka dalam Hukum
Acara Tata Usaha Negara Badan atau Pejabat Tata Usaha
338
Negara itu melalu berkedudukan sebagai pihak yang mem­
pertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap
tuduhan penggugat bahwa keputusan yang digugat itu me­
lawan hukum.
Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan,
maka Keputusan Tata Usaha Negara itu harus dianggap me­
nurut hukum.
Dan proses di muka Pengadilan Tata Usaha Negara memang
dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa Keputus­
an Tata Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum ber­
alasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Ne­
gara yang bertolak dari anggapan bawah Keputusan Tata Usa­
ha Negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindung­
an hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha Negara y m g me­
rupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniada­
kan anggapan tersebut Oleh karena itu, pada asasnya selama
hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan, maka Keputus­
an Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut
hukum dapat dilaksanakan.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat meng­
ajukan permohonan agar selarha proses berjalan, Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itii diperintahkan ditunda
pelaksanaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan
penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara ter­
sebut hanya apabila:
a. terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika ke­
rugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak
seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan
yang akan dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut; atau
b. pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum
dalam rangka pembangunan.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas

339
Pasal 70 f is', 5 («'l Tl «•;
o ir /s jiiJ is o t j f s ' M s e & n r,« -55-f •;"?VC*
Pasal 71 ------ . . r .

G u lcQ p ^ ^ 00?»! .-.t' ;TS0;5d '.0 - 0 : •;••: M*; j^rj.v;


Pasal uti trlwU W '. VS'

. ;vC U K ^P|^aS.:.i H !/:’:.rrn M- ,


Pasal 73ij,: K'A'hiuf /i&s&rd iinXKqs yvyvir'f ^.w'n:.1 :o;
Cukup jelas ' s :lR9in»- P ’SY efe-» n r
ijwao ysiifri sebit 'j K Zi •■:.
Pasalj74f„T a t , ' <'
•’B t

;'K V:flh Salenya 1 ;a=a£ a i;, :;j


;• '• ”

CukUp j e las : £ i i i t u i j i i j y H n v y - y f i i j ’y y y , l y i m i n »- j

i d s i U j i,? n s ijt.j.»* >■»•-•.£' *- sAsm .r m e ls it l n,s


Pasal 7 5 -' * '•^bssM ~ * h i ;h-r.5; .nutfyrf n.,- »
Perubahan gugatan^dipeikfehahfcan liariysPtfalam aJfismenam-
bahf dengan tingkat
iW m himtnbah^ tuhtuthnnya yang
akan merugikan tergugat di dalan^^hibeiaamiyai Jadi yang
diperkenankan -ialah 'p^l^ahah*;)jiahg-^er&ifats*mengurangi
tunttitin; ‘'serhula. t^bagaimarih halnya1 -dengan penggugat,
tergugat pbh^Hypat mengubah alasan ^"asg‘ih ieigadi dasar ja-
w‘a l i ^ ^ a ^ |f ^ l^ ® P a l1)t!tei^Sil'?itfiiP^t feplikis.Pembatasan
ini diihaksudkari agari;dapat diperoleh kejelasan tentang, hal
yang menjadi pokok sengketa antara paira pihatoi ■
S Al ?eans?. 5 .
Pasal 76>Snfc*. i> lii M fci.nSi
Cukup jelas
i.lhi rti£VH jyvui j ,34- (U .‘.'(S ,VtTSy
Pasal 77 ems;m
2^ u g ^ l g P l j g s s e M snesU i m i a m n :? 3 . t’7
H fis n u m q a ^ n m a s h Bs'muz-- r\
y u % i !>.••■ *;b e ilybi-
Pasal 78 sieAuirsAmcj eAgnet fnebb;
Cukup jelas
dA 0
Pasal 79 7v -
Ayat (1) m i'- 'ipJ'H i
Cukup jelas

340
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ’’pejabat pengadilan yang ber­
wenang” ialah pejabat yang hirarkis berkedudukan lebih
tinggi dari pada Hakim yang bersangkutan, misalnya Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara apabila sengketa tersebut
diperiksa oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara,
sedangkan apabila yang memeriksa sengketa tersebut
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, maka pejabat yang
hirarkinya berkedudukan lebih tinggi ialah Ketua Peng­
adilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 80
Ketentuan ini menunjukkan bahwa peranan Hakim Ketua
Sidang dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya per­
sidangan agar pemeriksaan tidak berlarut-larut.
Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa
tidak sematarmata bergantung pada kehendak para pihak, me­
lainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan umum
yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.
Pasal 81
Para pihak dapat mempelajari berkas perkara sebelum, selama,
atau sesudah pemeriksaan, dan pemutusan perkara.
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau ba­
dan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang
berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam
proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:

341
1. pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mem­
pertahankan atau membela hak dan kepentingannya
agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Peng­
adilan dalam sengketa yang sedang beijalan.
Untuk itu ia harus mengajukan permohonan dengan
mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya.
Putusan sela Pengadilan atas permohonan tersebut
dimasukkan dalam berita acara, sidang.
Apabila permohonan itu dikabulkan, ia di pihak ke­
tiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri
dalam proses perkara itu dan disebut penggugat inter­
vensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, maka ter­
hadap putusan sela Pengadilan itu tidak dapat di­
mohonkan banding. Sudah tentu pihak ketiga ter­
sebut masih dapat mengajukan gugatan baru di luar
proses yang sedang beijalan asalkan ia dapat menun­
jukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan
gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.

Contoh: A menggugat agar keputusan Direktur


Jenderal Agraria yang berisi pencabut­
an sertifikat tanah atas namanya dinyata­
kan batal. Pencabutan tersebut dilakukan
karena cara perolehan sertifikat si A itu
tidak melalui prosedur peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
B yang mengetahui gugatan si A tersebut
merasa berkepentingan untuk m em per­
tahankan atau membela haknya karena
, ia merasa yang paling berhak atas tanah
tersebut sebagai ahli waris tunggal dari
pewaris yang semula memiliki tanah
itu.

2. Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses per­


kara yang sedang beijalan karena permintaan salah satu
pihak (penggugat atau tergugat).
Di sini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu
diikutsertakan dalam proses perkara bermaksud agar
pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan
dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam seng­
ketanya.
Contoh: a) A menggugat agar keputusan Direk­
tur Jenderal Agraria yang berisi pen­
cabutan sertifikat tanah atas nama­
nya dinyatakan bataL A memperoleh
sertifikat tersebut dengan jalan mem­
beli tanah dari C. Oleh karena itu ia
mengajukan permohonan agar C di­
tarik dalam proses bergabung dengan­
nya untuk memperkuat posisi gugat­
annya. Kedudukan C dalam proses
itu adalah penggugat II intervensi,
b) A menggugat agar keputusan Direktur
Jenderal Agraria yang berisi pen­
cabutan sertifikat
y' tanah atas namanya
dinyatakan batal.
ApabiTa tergugat ingin membuktikan
alasan pencabutan sertifikat atas nama
A bahwa pencabutan tersebut berdasar
laporan C yang menyatakan bahwa
ialah yang berhak atas tanah tersebut,
maka tergugat dapat mengajukan per­
mohonan agar C ditarik dalam proses
bergabung dengannya sebagai tergugat
II intervensi.
3. Masuknya pihak ketiga ke dalam proses perkara yang
sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa Hakim yang
memeriksa perkara itu.
Contoh: A menggugat kotamadya agar izin mendiri­
kan bangunan atas nama B dibatalkan.
Putusan Pengadilan atas gugatan tersebut
akan menyangkut kepentingan B walau­
pun ia berada di luar proses.
Apabila B tidak diikutsertakan dalam pro­
ses tersebut untuk mempertahankan hak­
343
nya hal tersebut akan merugikan kepen­
tingannya. Sekalipun B 4idak memenuhi
proses atas prakarsanya sendiri, dalam hal
yang demikian maka Hakim yang meme­
riksa perkara itu atas prakarsanya dapat
menetapkan agar B ditarik sebagai pihak
dalam proses tersebut. B yang tidak ingin
izin mendirikan bangunannya dibatalkan
tentu akan bergabung dengan tergugat se­
bagai tergugat II intervensi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban hukum setiap
orang. Orang yang dipanggil menghadap sidang Peng­
adilan untuk menjadi saksi tetapi menolak kewajiban itu
dapat dipaksa untuk dihadapkan di persidangan dengan
bantuan polisi.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur pendelegasian wewenang peme­
riksaan saksi. Ketua Pengadilan yang mendelegasikan
wewenang itu mencantumkan dalam penetapannya de­
ngan jelas hal atau persoalan yang harus dinyatakan
kepada saksi oleh Pengadilan yang diserahi delegasi we­
wenang tersebut.
Dari pemeriksaan saksi tersebut dibuat berita acara yang
ditandatangani oleh Hakim dan Panitera Pengadilan
yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan yang mem­
berikan delegasi wewenang di atas.

344
Pasal 87
A y a t(l)
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi se­
orang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya
oleh Hakim Ketua Sidang.
Saksi yang sudah diperiksa harus tetap di dalam ruang
sidang kecuali jika Hakim Ketua Sidang menganggap perlu
mendengar saksi yang lain di luar hadirnya saksi yang telah
didengar itu misalnya apabila saksi lain yang akan di­
periksa itu berkeberatan memberikan keterangan dengan
tetap hadirnya saksi yang telah didengar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Jika ada alasan kuat dan dapat dibenarkan oleh Hakim,
yang bersengketa dapat minta agar sumpah itu dapat
diucapkan menurut kebiasaan setempat misalnya di
tempat ibadah sesuai dengan agama atau kepercaya­
an yang harus mengucapkan sumpah.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
A y a t(l)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Pekeijaan atau jabatan yang menentukan adanya ke­
wajiban menyimpan rahasia idtentukan oleh per­
aturan perundang-undangan.
Martabat yang menentukan adanya kewajiban me­
nyimpan rahasia misalnya kedudukan seorang pastor
yang menerima pengakuan dosa, kedudukan se­
seorang tokoh pimpinan masyarakat yang banyak me­
ngetahui rahasia anggota masyarakatnya.

345
Ayat (2)
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur pekerjaan atau jabatan dimaksud, maka se­
perti yang ditentukan oleh ayat’ ini Hakim yang menen­
tukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk
pengunduran diri tersebut. Hakim pulalah yang menentu­
kan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk
mengunduikan diri yang berkaitan dengan martabat.
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di Peng­
adilan tidak dibebankan sebagai biaya perkara.
Pasal 94
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukupjelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ’’halangan yang dapat dibenarkan
oleh hukum” umpamanya ialah saksi sudah sangat tua,
atau menderita penyakit yang tidak memungkinkan hadir
di persidangan.
Pasal 95
Cukupjelas
Pasal 96
Cukup jelas

346
Pasal 97
A y a t(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat ini di­
kaitkan dengan isi tuntutan penggugat
Ayat (9)
hum f a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Keputusan Tata Usaha Negara ini dikeluarkan ber­
dasarkan peraturan perundang-undangan yang ber­
laku pada saat itu.
Ayat (10)
Cukup jelas
A y a t(l 1)
Cukup jelas
Pasal 98
A y a t(l)
Kepentingan penggugat dianggap cukup mendesak apa­
bila kepentingan itu menyangkut keputusan Tata
Usaha Negara yang berisikan misalnya perintah pem­
bongkaran bangunan atau rumah yang ditempati peng-

347
gugat Sebagai kriteria dapat dipergunakan alasan-
alasan pemohon, yang memang dapat diterima. Yang
dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan
juga pemu tusannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat ( I)
Termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang dibe­
rikan oleh juru taksir.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha mene­
mukan kebenaran materiel.
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum
348
Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala se­
suatu yang teijadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung
pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim
Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:
a. apa yang harus dibuktikan;
b. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang
harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal
apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
c. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergu­
nakan dalam pembuktian;
d. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
. Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Pengertian Panitera di sini mencakup juga Wakil
Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
yang membantu Hakim dalam persidangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
349
A yat (5)
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Dalam hal ada putusan Pengadilan yang bukan putusan
akhir, penetapan tentang biaya perkaranya ditangguhkan,
dan dicantumkan dalam amar putusan akhir Pengadilan.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Panitera hanya boleh memberikan salinan putusan
Pengadilan apabila putusan tersebut telah memper­
oleh kekuatan hukum tetap.
Apabila diperlukan salinan bagi putusan Pengadilan
yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, pada
salinan tersebut harus dibubuhi keterangan ’’belum
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
A y a t(l)
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh ke­
kuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara da­
pat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi ca­
tatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memper­
oleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu empat belas hari dihitung sejak saat
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum te­
tap.
350
A yat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tenggang waktu tiga , bulan tidak bersifat memaksa;
Ketua Pengadilan Tinggi tentu akan berlaku bijak­
sana sebelum menyurati atasan Pejabat Tata Usaha Ne­
gara yang bersangkutan Mengenai apa yang dimaksud
dalam ayat ini.
Ayat (4)
Cukpp jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Besarnya ganti rugi ditentukan dengan memperhatikan
keadaan yang nyata.
Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi
hanya terdapat pada sengketa Tata Usaha Negara da­
lam bidang kepegawaian saja Rehabilitasi ini merupa­
kan pemulihan hak penggugat dalam kemampuan ke-
351
dudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai
negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang di­
sengketakan.
Dalam pemulihan hak tersebut termasuk juga hak-
haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan keduduk­
an, dan harkatnya sebagai pegawai negeri.
Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan pada
waktu putusan Pengadilan jabatan tersebut ternyata
telah diisi oleh pejabat lain, maka yang bersangkutan
dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat de­
ngan jabatan semula.
Akan tetapi apabila hal itu tidak mungkin, maka yang
bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan
pertama setelah ada formasi dalam jabatan yang se­
tingkat atau dapat ditempuh ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117.
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
A y a t(l)
Yang dimaksud dengan ’’empat belas hari” dalam ayat
ini adalah empat belas hari menurut perhitungan tang­
gal kalender.
Ayat (2)
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) dengan penyesuaian se­
perlunya berlaku sebagai penjelasan untuk ayat ini.
Pasal 124
Sesuai dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan, maka terhadap putusan Pengadilan yang bu­
kan putusan akhir tidak dapat diajukan permintaan peme­
riksaan banding secara tersendiri.
Prinsip tersebut selalu berusaha menghindarkan dijatuh­
kannya putusan Pengadilan yang tidak merupakan putusan
akhir.
Pasal 125
Cukup jelas
352
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Pengertian ’’kepentingan umum” dalam pasal ini semata-
mata dilihat dari segi tentang perlu atau tidaknya suatu
perkara didahulukan pemeriksaannya, misalnya karena
perkara yang bersangkutan menarik perhatian masyarakat
atau berkaitan dengan perkara lain sehingga dipandang per­
lu segera diperiksa. Yang berwenang memutuskan bahwa
suatu perkara menyangkut kepentingan umum dan karena
itu harus didahulukan adalah Ketua Pengadilaa
Pasal 137
Menyelenggarakan administrasi perkara berarti mengatur
dan membina kerja sama mengintegrasikan, dan menyin­
kronisasikan kegiatan dan tugas-tugas Wakil Panitera, Pani­
tera Muda, dan Panitera Pengganti dalam menyelenggara­
kan selunih administrasi perkara di Pengadilan.
353
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
Cukup jelas
Pasal 140
Cukup jelas
Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
’’Larangan membawa ke luar” meliputi segala bentuk
dan cara apa pun juga yang memindahkan isi daftar,
catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara ke
luar ruang kerja kepaniteraan, termasuk ruang kerja
Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Sebelum disetiap tempat sebagaimana dimaksud dalam Pa­
sal 6 dapat dibentuk Pengadilan Tata Usaha Negara, Men­
teri Kehakiman dengan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung mengambil langkah-langkah yang perlu untuk men­
jamin agar pelayanan bagi rakyat pencari keadilan di bi­
dang Peradilan Tata Usaha Negara di tempat yang belum
dilengkapi dengan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat di­
laksanakan sebaik-baiknya.
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ini merupakan
lingkungan Peradilan yang baru yang pembentukannya
memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang oleh
Pemerintah, mengenai prasarana dan sarana-baik materiil
maupun personil.
Oleh karena itu pembentukan Pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat dilakukan sekali­
gus tetapi secara bertahap.
354
Setelah Undang-undang ini diundangkan, dipandang perlu
Pemerintah mengadakan persiapan seperlunya.
Untuk mengakomodasikan hal tersebut maka penerapan
Undang-undang ini secara bertahap dalam waktu selambat-
lambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diundang­
kan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3344

355
UNDANG - UNDANG
No. 5 TAHUN 1950.
te n ta n g

MENETAPKAN „UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG


SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN/KEDJAKSAAN
DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN”
( UNDANG-UNDANG DARURAT No. 16, TAHUN 1950 )
SEBAGAI UNDANG-UNDANG FEDERAL.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Menimbang: bahwa Pemerintah dengan mempergunakan haknja ter-
maktub dalam pasal 139 ajat (1) Konstitusi Sementara telah
menetapkan „Undang-undang darurat tentang susunan dan ke­
kuasaan pengadilan/kedjaksaan dalam lingkungan peradilan keten­
taraan” ( Undang-undang darurat Nr 16, Tahun 1950);
Menimbang: bahwa Dewan Perwakilan Rakjat menjetudjui isi Undang-
undang darurat itu dengan beberapa perubahan dan tambahan
jang dimadjukan oleh Pemerintah dan oleh Dewan Perwakilan
Rakjat;
Mengingat: pasal 159, pasal 14Cf ajat (4) jo. pasal 127 sub b Konstitusi
Sementara;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakjat

Me mut us kan :
Menetapkan:
Undang-undang tentang menetapkan „Undang-undang darurat tentang
susunan dan kekuasaan Pengadilan/Kedjaksaan dalam lingkungan peradilan
ketentaraan” sebagai Undang-undang federal.

Pasal I .
Peraturan-peraturan jang termaktub dalam „Undang-undang darurat
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kedjaksaan dalam lingkungan
peradilan ketentaraan” ( Undang-undang darurat Nr. 16, Tahun 1950 )
ditetapkan sebagai Undang-undang federal, dengan perubahan-perubahan
sehingga berbunji sebagai berikut :
‘3 57
BAB L
Peraturan Umum.
Pasal 1.
Segala peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kedjaksaan
dalam lingkungan peradilan ketentaraan jang ada di Indonesia sampai ber-
lakunja Undang-undang Nr. 5, Tahun 1950. dihapuskan dan diganti oleh
Undang-undang ini.
Pasal 2.
Kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh penga­
dilan ketentaraan, jaitu :
1. Pengadilan tentara;
2. Pengadilan Tentara Tinggi;
3. Mahkamah Tentara Agung.
Pasal 3.
(1) Jang masuk kekuasaan kehakiman dalam peradilan ketentaraan
ialah : memeriksa dan memutus perkara pidana terhadap kedjahatan dan
pelanggaran jang dilakukan oleh :
a. seorang jang pada waktu itu adalah anggauta Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat;
b. seorang jang pada waktu itu adalah orang jang dengan Undang-undang
atau dengan Peraturan - Pemerintah di tetapkan sama dengan anggauta
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat jang dimaksudkan dalam
sub a ;
c. seorang jang pada waktu itu adalah anggauta suatu golongan atau djawatan
jang dipersamakan atau dianggap sebagai anggauta Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat oleh atau berdasarkan Undang-undang;
d. seorang jang tidak termasuk golongan a, b atau c, tetapi atas ketetapan
Menteri Pertahanan dengan persetudjuan Menteri Kehakiman harus diadili
oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.
(2) Dengan Undang-undang lain ditetapkan peraturan tentang hukum
jang harus dilakukan atau diperhatikan dalam pemeriksaan dan pemutusan
tersebut.
Pasal 4.
Kedjahatan atau pelanggaran jang dilakukan oleh mereka jang termasuk
N golongan jang dimaksudkan dalam pasal 3 sub a, b dan c, bersama-sama
\ dengan orang jang tidak termasuk golongan itu, diadili oleh suatu pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, ketjuali djikalau menurut penetapan
Menteri Pertahanan ' dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.
358
Pasal 5
(1) Perselisihan tentang kekuasaan antara pengadilan dari lingkungan
peradilan ketentaraan dan pengadilan dari lingkungan peradilan umum,
ketjuali perselisihan tentang kekuasaan jang termaksud dalam ajat (2) di­
putuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia.
(2) Perselisihan tentang kekuasaan antara Mahkamah Tentara Agung
dan Mahkamah Agung Indonesia diputuskan oleh Presiden.
Pasal 6.
Kekuasaan kedjaksaan dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh :
1. Kedjaksaan Tentara;
2. Kedjaksaan Tentara Tinggi;
3. Kedjaksaan Tentara Agung.
Pasal 7.
Kedjaksaan dalam peradilan ketentaraan berwadjib melaksanakan jang
dikehendaki oleh Undang-undang, mendjalankan pengusutan dan penuntutan
atas kedjahatan dan pelanggaran jang harus diadili oleh pengaidilan dalam
lingkungan peradilan ketentaraan, dan mengusahakan mendjalankan putusan-
putusan pengadilan tersebut.
BAB II.
Pengadilan dan kedjaksaan Tentara.
Pasal 8.
(1) Tempat .kedudukan Pengadilan-pengadilan Tentara beserta daerah
hukumnja masing-masing ditetapkan oleh Menteri Kehakiman bersama-sama
Menteri Pertahanan.
(2) ‘Disamping tiap-tiap Pengadilan Tentara ada Kedjaksaan Tentara jang
daerah hukumnja sama.
Pasal 9.
(1) Djika tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman bersama
Menteri Pertahanan, maka Ketua Pengadilan Negeri jang dalam daerah hu­
kumnja termasuk tempat jang ditundjuk sebagai tempat kedudukan Penga­
dilan Tentara, karena djabatannja mendjadi Ketua Pengadilan Tentara;
begitu djuga Panitera Pengadilan Negeri tersebut, karena djabatannja men­
djadi Panitera Pengadilan Tentara.
(2) Djika tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman bersama
Menteri Pertahanan, maka Kepala Kedjaksaan Negeri jang ada disamping
Pengadilan Negeri tersebut, karena djabatannja mendjadi Djaksa Tentara
pada Kedjaksaan Tentara tersebut.
359
(3) Menteri Kehakiman menundjuk seorang atau lebih Ketua Pengganti
dari Pengadilan Tentara dan seorang atau lebih Djaksa Pengganti dari Kedjak-
saan Tentara.
(4) Apabila Panitera jang dimaksudkan dalam ajat (1) berhalangan, maka
ia djuga untuk pekerdjaannja pada Pengadilan Tentara diwakili oleh pegawai
jang mewakilinja pada Pengadilan Negeri atau oleh orang lain jang ditundjuk
oleh Ketua atau Ketua Pengganti Pengadilan Tentara itu.
(5) Tiap-tiap Pengadilan Tentara mempunjai beberapa Hakim-perwira
jang serendah-rendahnja berpangkat kapten serta jang diangkat dan diper-
hentikan oleh Presiden.
(6) Dimana tidak ada pengadilan jang bernama Pengadilan Negeri, maka
sebagai Pengadilan Negeri dianggap pengadilan, jang pada umumnja ke-
kuasaannja sama dengan Pengadilan Negeri.
Pasal 10.
(1) Pengadilan Tentara mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara
kedjahatan dan pelanggaran jang dilakukan oleh anggauta Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat jang berpangkat kapten kebawah:
a. dan termasuk suatu pasukan jang ada didalam daerah hukumnja;
b. didalam daerah hukunnja.
(2) Apabila lebih dari satu Pengadilan Tentara berkuasa mengadili suatu
perkara-perkara dengan sjarat-sjarat jang sama kuatnja, maka Pengadilan
jang menerima perkara itu lebih dahulu dari Kedjaksaan Tentara, harus
mengadili perkara tersebut.
(3) Dari sjarat-sjarat tersebut dalam ajat (1) maka sjarat b adalah lebih
kuat dari pada sjarat a.
(4) Pengadilan Tentara bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara
dengan Ketua atau Ketua Penggantinja sebagai Ketua, dua Hakim-Perwira
sebagai anggauta, seorang Djaksa Tentara atau Djaksa Penggantinja dan
seorang Panitera atau penggantinja.
(5) Hakim-perwira jang dimaksudkan dalam ajat (4) harus kedua-duanja
berkedudukan militer lebih tinggi dari pada kedudukan militer terdakwa
jang perkaranja harus diadili.
(6) Apabila dalam suatu perkara diantara Hakim-perwira itu tiada ter­
dapat dua perwira jang memenuhi sjarat tersebut dalam ajat (5), maka koman­
dan tertinggi dari daerah-hukum Pengadilan Tentara jang bersangkutan,
hanja untuk mengadili perkara itu, mengangkat perwira setjukupnja, jang
memenuhi sjarat tadi, sebagai Hakim-perwira.
(7) Hakim-perwira ini dengan sendirinja dianggap berhenti apabila telah
didjatuhkan keputusan dalam perkara tersebut.

360
Pasal 11.
(1) Pengadilan Tentara bersidang ditempat kedudukannja atau, djika
perlu untuk keperluan dinas, ditempat lain dalam daerah-hukumnja.
(2) Djika keadaan memaksa maka Ketua Mahkamah Tentara Agung
dapat menetapkan peraturan jang menjimpang dari jang termuat dalam
ajat(l).
Pasal 12.
(1) Pembagian pekerdjaan antara Ketua dan Ketua Pengganti sesuatu
Pengadilan Tentara diatur oleh Ketua.
(2) Pembagian pekerdjaan antara Djaksa Tentara dan penggantinja,dalam
sesuatu Kedjaksaan Tentara diatur oleh Djaksa Tentara.
Pasal 13.
Dari segala keputusan Pengadilan Tentara oleh terdakwa untuk diri sendiri
atau oleh Djaksa Tentara atau Djaksa Tentara Pengganti jang bersangkutan
untuk seorang atau beberapa orang terdakwa dapat diminta pemeriksaan
ulangan oleh Pengadilan Tentara Tinggi jang berkuasa, dalam daerah-hukum
Pengadilan Tentara itu, ketjuali kalau terdakwa dibebaskan seluruhnja
( algehele vrijspraak ).
BAB III.
Pengadilan dan Kedjaksaan Tentara Tinggi.
Pasal 14.
(1) Tempat kedudukan sesuatu Pengadilan Tinggi di tetapkan oleh
Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan mendjadi tempat kedudukan
suatu Pengadilan Tentara Tinggi, jang daerah-hukumnja ditetapkan djuga
oleh Menteri-menteri tersebut.
(2) Disamping tiap-tiap Pengadilan Tentara Tinggi ada Kedjaksaan Tentara
Tinggi jang daerah-hukumnja sama.
(3) Dimana tidak ada pengadilan jang bernama Pengadilan Tinggi, maka
sebagai Pengadilan Tinggi dianggap pengadilan jang pada umumnja kekuasaan-
nja sama dengan Pengadilan Tinggi.
Pasal 15.
(1) Djikalau tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman
bersama Menteri Pertahanan maka Ketua Pengadilan Tinggi jang tersebut
dalam pasal 14 ajat (1) karena djabatannja mendjadi Ketua Pengadilan
Tentara Tinggi tersebut, begitu djuga Panitera Pengadilan Tinggi tersebut
karena djabatannja mendjadi Panitera Pengadilan Tentara Tinggi itu.
(2) Menteri Kehakiman mengangkat dan memperhentikan seorang Djaksa
Tentara Tinggi pada Kedjaksaan Tentara Tinggi jang ada disamping
Pengadilan Tentara Tinggi tersebut.
361
(3) Menteri Kehakiman meriundjuk seorang atau lebih Ketua Pengganti
pada Pengadilan Tentara Tinggi dan seorang atau lebih Djaksa Pengganti
pada Kedjaksaan Tentara Tinggi.
(4) Apabila Panitera jang dimaksudkan dalam ajat (1) berhalangan, maka
ia djuga untuk pekerdjaannja pada Pengadilan Tentara Tinggi diwakili oleh
pegawai jang mewakilinja pada Pengadilan Tinggi.
(5) Tiap-tiap Pengadilan Tentara Tinggi mempunjai beberapa Hakim-
Perwira jang serendah-rendarnja berpangkat Letnan Kolonel serta jang di­
angkat dan dlperhentikan oleh Presiden.
Pasal 16.
(1) Pengadilan Tentara Tinggi memutus dalam tingkat pertama perkara-
perkara kedjahatan dan pelanggaran jang terdakwanja atau salah satu dari
terdakwanja pada waktu melakukannja itu seorang perwira jang berpangkat
major keatas.
(2) Ketentuan-ketentuan untuk Pengadilan Tentara jang termuat dalam
pasal 10 ajat (1), (2) dan (3) berlaku djuga untuk Pengadilan Tentara Tinggi.
(3) Pengadilan Tentara Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus
perkara dengan Ketua atau Ketua Pengganti sebagai Ketua dan dua Hakim-
perwira sebagai anggauta, seorang Djaksa Tentara Tinggi atau Djaksa Peng-
gantinja dan seorang Panitera atau penggantinja.
(4) Hakim-perwira jang dimaksudkan dalam ajat (3) harus kedua-duanja
berkedudukan militer lebih tinggi dari pada kedudukan militer terdakwa
jang perkaranja harus diadili.
(5) Apabila dalam suatu perkara diantara Hakim-perwira itu tidak ter­
dapat dua perwira jang memenuhi sjarat tersebut dalam ajat (4), maka
Presiden, hanja untuk mengadili perkara itu, mengangkat perwira-perwira,
setjukupnja jang memenuhi sjarat tadi, sebagai Hakim-perwira.
(6) Hakim-perwira ini dengan sendirinja dianggap berhenti apabila ia
telah menanda tangani surat keputusan dalam perkara tersebut.
Pasal 17.
(1) Pengadilan Tentara Tinggi memeriksa dan memutus dalam peradilan
tingkat kedua segala perkara-perkara jang telah diputus oleh Pengadilan
Tentara dalam daerah-hukumnja jang diminta pemeriksaan ulang.
(2) Dalam pemeriksaan ulangan ini Pengadilan Tentara Tinggi memeriksa
dan memutus dalam rapat tertutup ( rapat hakim ) dengan Ketua atau Ketua
Penggantinja sebagai Ketua, dua anggauta perwira dan seorang Panitera atau
penggantinja.
Pasal 18.
(1) Pengadilan Tentara Tinggi memeriksa dan memutus dalam tingkat
pertama dan djuga terachir perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara
beberapa Pengadilan Tentara dalam daerah hukumnja.
362
(2) Peraturan dalam pasal 17 ajat (2) berlaku djuga untuk pemeriksaan
dan pemutusan ink
Pasal 19.
(1) Pengadilan Tentara Tinggi bersidang ditempat kedudukannja atau
djika perlu untuk kepentingan dinas ditempat lain dalam daerah-hukumnja.
(2) Djika keadaan memaksa, maka Ketua Mahkamah Tentara Agung
dapat menetapkan peraturan jang menjimpang dari jang termuat dalam
ajat (1).
Pasal 20.
(1) Pembagian pekerdjaan antara Ketua dan Ketua Pengganti sesuatu
Pengadilan Tentara Tinggi diatur oleh Ketua.
(2) Pembagian pekerdjaan antara Djaksa Tentara Tinggi dan Djaksa
Penggantinja sesuatu Kedjaksaan Tentara Tinggi diatur oleh Djaksa Tentara
Tinggi.
Pasal 21.
Dari segala keputusan Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat pertama
jang tidak memuat pembebasan dari tuntutan seluruhnja oleh terdakwa
untuk dirinja sendiri atau oleh Djaksa Tentara Tinggi atau Djaksa Pengganti­
nja jang bersangkutan untuk .satu atau beberapa terdakwa dapat diminta,
supaja pemeriksaan perkara diulangi oleh Mahkamah Tentara Agung.
BAB IV.
Mahkamah dan Kedjaksaan Tentara Agung.
Pasal 22.
(1) Mahkamah Tentara Agung berkedudukan ditempat kedudukan
Mahkamah Agung Indonesia dan daerah-hukumnja jalah seluruh daerah
Negara Republik Indonesia Serikat.
(2) Disamping Mahkamah Tentara Agung ada Kedjaksaan Tentara Agung
jang daerah-hukumnja sama.
Pasal 23.
(1) Ketua, Ketua Muda dan para Hakim Mahkamah Agung Indonesia
karena djabatanja mendjadi Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah
Tentara Agung.
(2) Selain dari pada para Hakim tersebut dalam ajat (1) ada beberapa
Hakim-perwira jang serendah-rendahnja berpangkat Kolonel serta jang di­
angkat atas andjuran Dewan Perwakilan Rakjat oleh Presiden dan diperhen-
tikan oleh Presiden.

363
(3) Djaksa Agung karena djabatannja mendjadi Djaksa Tentara Agung.
(4) Menteri Kehakiman menundjuk seorang atau lebih Djaksa Pengganti
pada Kedjaksaan Tentara Agung.
(5) Panitera Mahkamah Agung Indonesia karena djabatannja mendjadi
Panitera Mahkamah Tentara Agung.
(6) Apabila Panitera tersebut berhalangan, maka ia diwakili oleh pegawai
jang berhak mewakilinja pada Mahkamah Agung Indonesia.
Pasal 24.
(1) Mahkamah Tentara Agung bersidang untuk memeriksa dan memutus
perkara dengan Ketua atau salah seorang dari Ketua Mudanja atau salah
seorang Hakim-ahli—hukum sebagai Ketua, dua Hakim-perwira sebagai ang-
gauta, Djaksa Tentara Agung atau Djaksa Penggantinja, dan seorang Panitera
atau Penggantinja.
(2) Peraturan untuk Pengadilan Tentara Tinggi jang termuat dalam
pasal 16 ajat (4), (5) dan (6) berlaku djuga untuk Mahkamah Tentara Agung.
Pasal 25.
(1) Pembagian pekerdjaan antara Ketua, para Ketua Muda dan para
Hakim pada Mahkamah Tentara Agung diatur oleh Ketua.
(2) Pembagian pekerdjaan antara Djaksa Tentara Agung dan para Djaksa
Pengganti pada Kedjaksaan Tentara Agung diatur oleh Djaksa Tentara Agung.
Pasal 26.
(1) Pengawasan atas Pengadilan-pengadilan Tentara dan Pengadilan-
pengadilan Tentara Tinggi dalam hal melakukan peradilan diserahkan kepada
Mahkamah Tentara Agung.
(2) Mahkamah Tentara Agung menjelenggarakan akan berlakunja pera­
dilan dengan saksama dan sejogjanja.
(3) Tingkah-laku dan tindakan badan-badan Kehakiman tersebut dalam
ajat (1) dan para Hakim badan-badan Kehakiman itu diawasi dengan tjermat
oleh Mahkamah Tentara Agung.
Untuk itu Mahkamah Tentara Agung guna kepentingan djawatan berhak
memberi peringatan-peringatan, tegoran-tegoran dan petundjuk-petundjuk
jang dipandang perlu dan berguna kepada badan-badan Kehakiman dan para
Hakim itu, baik dengan surat sendiri-sendiri, maupun dengan surat edaran.
Pasal 27.
Pengawasan jang serupa dengan jang tersebut dalam pasal 26 ajat (3)
oleh Djaksa Tentara Agung dilakukan terhadap para Djaksa Tentara dan
polisi tentara dalam mendjalankan pengusutan dan penuntutan atas kedja-
hatan dan pelanggaran.
364
Pasal 28.
Djika keadaan memaksa, maka Mahkamah Tentara Agung dan Djaksa
Tentara Agung masing-masing dapat menetapkan bahwa untuk sesuatu
atau beberapa daerah, pengawasan jang termaktub dalam pasal 26 dan
pasal 27 didjalankan oleh Pengadilan Tentara Tinggi dan Djaksa pada Kedjak-
saan Tentara Tinggi, masing-masing untuk daerah-hukum jang bersangkutan.
Pasal 29.
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat peradilan pertama dan djuga
terachir memutus semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili:
kc 1: antara semua Pengadilan Tentara jang tempat kedudukannja tidak
sedaerah-hukum sesuatu Pengadilan Tentara Tinggi;
ke 2: antara satu Pengadilan Tentara Tinggi dan lain Pengadilan Tentara
Tinggi;
ke 3: antara suatu Pengadilan Tentara Tinggi dan sesuatu Pengadilan
Tentara.
Pasal 30.
Mahkamah Tentara Agung memeriksa dan memutus dalam peradilan
tingkat kedua segala perkara jang telah diputus oleh Pengadilan Tentara
Tinggi dalam peradilan tingkat pertama dan jang dimintakan pemeriksaan
ulangan.
Pasal 31.
(1) Mahkamah Tentara Agung pada tingkat peradilan pertama dan djuga
terachir memeriksa dan memutus perkara kedjahatan dan pelanggaran jang
berhubung dengan djabatannja dilakukan oleh :
1. Sekretaris Djenderal Kementerian Pertahanan, djika djabatan ini dipangku
oleh seorang anggauta Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat;
2. Panglima Besar;
3. Kepala Staf Angkatan Perang;
4. Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara.
(2) Dalam pengertian kedjahatan dan pelanggaran jang dilakukan ber­
hubung dengan djabatannja, termasuk djuga kedjahatan dan pelanggaran
jang dilakukan dalam keadaan memberatkan kesalahannja terdakwa jang
termaksud dalam pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

365
BAB V.
Aturan Penutup.
Pasal 32.
Ketua, Ketua Muda dan para Hakim Mahkamah Tentara Agung jang
bukan perwira, Ketua dan Ketua Pengganti Pengadilan Tentara Tinggi dan
Pengadilan Tentara, Djaksa .Tentara Agung dan para Djaksa dan Djaksa
Pengganti pada Kedjaksaan Tentara Tinggi dan Kedjaksaan Tentara dan
para Panitera badan-badan Kehakiman tersebut oleh Presiden diberi pangkat
militer tituler sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Pasal 33.
Djika perlu berhubung dengan keadaan luar biasa, maka Presiden berhak
menundjuk badan peradilan ketentaraan lain jang sudah ada dari pada badan
peradilan ketentaraan jang berwadjib menurut Undang-undang ini untuk
mengadili sesuatu perkara.
Pasal 34.
Undang-undang ini dapat disebut „Undang-undang tentang susunan ke­
kuasaan badan-badan peradilan ketentaraan” dan mulai berlaku pada tanggal
31. Maret 1950.
Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan pengu­
muman Undang-undang irti dengan penempatan dalam Lembaran-Negara
Republik Indonesia Serikat.
Disahkan di Djakarta,
pada tanggal 20 Djuli 1950.
Presiden Republik Indonesia Serikat,
SOEKARNO.
Menteri Pertahanan,
HAMENGKU BUWONO IX.

Diumumkan di Djakarta, Menteri Kehakiman,


pada tanggal 4 Agustus 1950. S O E P O MO
Menteri Kehakiman,
S O E P O MO

366
PENDJELASAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1950' ( Undang-Undang
Darurat No. 16 tahun 1950 jang ditetapkan sebagai UU )
Berdasarkan pada pasal 192 Konstitusi R.I.S. maka di Indonesia sedjak
saat penjerahan kedaulatan tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan /
Kedjaksaan dalam lingkungan peradilan,ketentaraan berlaku :
1. didaerah Negara Republik Indonesia :
a. untuk bagian Djawa dan Madura sedjak tanggal 7 Mei 1949 Peraturan
darurat tahun 1949 No. 46/M.B.K.D./49 jang kemudian diubah oleh
Peraturan darurat tahun 1949 No. 4 tertanggal 12 Djuli 1949;
b. untuk wilajah Republik Indonesia lainnja, Peraturan Pemerintah
No. 37 tahun 1948 tertanggal 1 Oktober 1948, jang kemudian di­
ubah oleh Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1948 tertanggal 19.
Oktober 1948 dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1948 ter­
tanggal 6 Nopember 1948;
2. diwilajah R.I.S. jang diluar daerah Republik Indonesia, „Verordening
C.c.o. amacab No. XXV” ( Javasche Courant 1946 No. 24 ), „Veror
dening A.M.T.B. No. L.II ( Javasche (Jourant 1947 No. 18 ) tentang
„De rechtspleging van de Temporaire Krijgsraden” „Verordening C.c.o.
amacab No. XX ( Javasche Courant 1946 No. 18 ) tentang „Competentie
van de Temporaire Krijgsraden” „Provisionele Instructive van het Hoog
Militair Gerechtshof ’ ( Staatsblad 1945 No. 125 ).
Ad. 1. Menurut peraturan darurat tahun 1949 No. 46/M.B.K.D./49, jang
mentjabut Peraturan Pemerintah Nb. 37 tahun 1948, berhubung dengan
diadakanja „politionele actie” jang kedua oleh tentara Belanda, susunan dan
kekuasaan Pengadilan dan Kedjaksaan Tentara dan sipil untuk Djawa dan
Madura diubah dan diadakan Mahkamah Tentara dari daerah Gubernur Mili­
tair, district Militair dan onderdistrict Militair, jang susunannja terdiri dari
melulu para Perwira Angkatan Perang, sedangkan segenap Pengadilan sipil
dilakukan oleh para Bupati dan Tjamat, peradilan-peradilan mana dilakukan
didalam tingkatan pertama dan tertinggi, djadi tidak ada peraturan appel.
Setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali lagi di Jogjakarta, maka
Peraturan darurat tahun 1949 No. 46/M.B.K.D./49 untuk sebagian diljabut
oleh Peraturan darurat No. 4 tahun 1949, jalah jang mengenai peradilan sipil,
jang diganti dengan peraturan lama, jang berlaku sebelum 17 Mei 1949.
Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.36
tahun 1949, Peraturan darurat tahun 1949 No. 46/M.B.K.D./49 tersebut di-
tjabut seluruhnja pula, akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No.36 tahun 1949 itu hingga saat ini belum berlaku. Untuk wilajah
Republik Indonesia lainnja misalnja dr Sumatera masih tetap berlaku Peratur­
an-peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1948, jo No. 49 tahun 1948 dan jo-
No. 61 tahun 1948.

367
Ad. 2. Diwilajah R.I.S. jang diluar daerah Republik Indonesia, peraturan-
peraturan jang termaksud dalam sub 2 diatas sedjak penjerahan kedaulatan
hanja berlaku terhadap para anggauta angkatan perang Belanda ( K.L. dan
K.N.I.L. ) akan tetapi terhadap anggauta Angkatan Perang R.I.S. hingga saat
ini belum ada peraturan tentang peradilan ketentaraan jang tegas.
Adapun menurut pasal 159 Konstitusi R.I.S. pengadilan perkara hukuman
ketentaraan harus diatur dengan Undang-undang federal, maka rantjangan
Undang-undang darurat ini bermaksud untuk memenuhi ketentuan tersebut.
Pada masa sekarang dirasa belum perlu bagi angkatan darat, angkatan laut
dan angkatan udara masing-masing mengadakan pengadilan sendiri-sendiri dan
untuk mendjamin kepentingan chusus dari angkatan laut dan angkatan udara
tjukuplah kiranja dimana perlu mengangkat perwira-perwira dari angkatan-
angkatan tersebut sebagai hakim-anggauta pada Pengadilan Tentara.
Menurut rantjangan Undang-undang ini, maka Pengadilan Tentara terdiri
atas tiga badan, jang kekuasaan hukumnja didasarkan pada tingkatan pangkat-
nja para anggauta angkatan perang, jang harus diadili oleh masing-masing
badan pengadilan itu, pangkat-pangkat mana dibagi djadi tiga bagian.
Lagi pula peradilan ketentaraan mengenal dua tingkatan, jalah tingkatan
pertama dan tingkatan kedua, (ulangan) artinja perkara jang telah diadili oleh
Mahkamah Tentara atau Mahkamah Tentara Tinggi masing-masing didalam
tingkatan pertama atas permintaan terhukum atau Djaksa Tentara ( Tinggi )
jang bersangkutan, dapat diulangi masing-masing oleh Mahkamah Tentara
Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung, akan tetapi perkara jang diadili oleh
Mahkamah Tentara Agung dalam tingkatan pertama tidak dapat diulangi.
Penetapan tentang kedudukan dan daerah hukum dari masing-masing
Mahkamah Tentara atau Mahkamah Tentara Tinggi disandarkan pada ke­
pentingan ketentaraan, jang belum tentu sesuai dengan kepentingan peradilan
sipil dan oleh karena itu akan ditetapkan untuk masing-masing Mahkamah
tersebut oleh Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan, ketjuali bagi
Mahkamah Tentara Agung; jang mempunjai tempat kedudukan dan daerah
hukum sama dengan Mahkamah Agung Indonesia.
Bagi Pengadilan Tentara berlaku Undang-undang darurat Nr 17 Tahun
1950, tentang hukum atjara pidana pada Pengadilan Tentara. Adapun hukum
pidana jang harus dilakukan oleh Pengadilan Tentara ialah peraturan hukum
pidana jang termaktub dalam „Het Wetboek van Militair Strafrecht voor
Indonesie” ( Staatsblad 1934 No. 167 ) dengan perobahan-perobahan jang
dimuat dalam Undang-undang, berdasar atas ketentuan peralihan dalam pasal
129 dan 193 Konstitusi.
Pada achirnja dipandang tidak perlu untuk mengadakan pendjelasan pasal
demi pasal, oleh karena pasal-pasal dari Undang-undang darurat ini, baik
masing-masing pasal, maupun hubungan antara satu dengan lainnja sudah
tjukup djelas, melainkan tentang pasal 4, ketentuan mana didasarkan pada
pertimbangan, bahwa peradilan umum adalah peradilan biasa, pada hal pera­
dilan ketentaraan adalah peradilan chusus. Apabila suatu kedjahatan atau
pelanggaran jang dilakukan oleh mereka jang termasuk golongan jang di-
368
maksudkan dalam pasal 3 bagian a, b dan c, l}ersama-sama dengan orangjang
tidak termasuk golongan itu, dianggap antara lain melanggar kepentingan ke­
tentaraan dari pada kepentingan umum, maka Menteri Pertahanan bersama
Menteri Kehakiman dapat menetapkan, bahwa perkaranja harus diadili oleh
Pengadilan Tentara.
Lagi pula jang dimaksudkan dengan perkataan „Melakukan bersama-sama”
ialah perbuatan-perbuatan jang termaksud di pasal 55 dan 56 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana”
Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 52
jo Tambahan Lembaran Negara tahun 1950 Nomor 12
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1965
( Mendjadi UU No. 22 PNPS 1965 berdasarkan UU No. 5 tahun 1969
LN 1969 No. 36 jo Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1969 )
TENTANG
PEROBAHAN DAN TAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM
UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1950
( LEMBARAN NEGARA TAHUN 1950 No. 52 ).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa dalam rangka usaha supaja penjelenggaraan peradilan militer dalam
segala aspeknja dapat memenuhi tuntutan jang makin meningkat dibidang
pertahanan/keamanan pada umumnja, bidang perkembangan Angkatan
Bersendjata pada chususnja, perlu penindjauan setjara integral undang-
undang peradilan militer jang berlaku sekarang;
b. bahwa satu hal dipandang sangat urgen untuk selekas mungkin direalisasi­
kan, mendahului realisasi hasil penindjauan setjara integral tersebut jakni
hal jang nanti akan merupakan bagian didalam hasil penindjauan setjara
integral itu ialah tentang pengangkatan hakim ketua dan hakim perwira
pada badan-badan peradilan militer menurut prosedur jang lebih lintjah
dengan menampilkan kedepan salah satu faktor pendjamin terwudjudnja
peradilan militer jang lebih konsekwen memenuhi tuntutan integrasi
Angkatan Bersendjata;
c. bahwa urgensi tersebut pada huruf b tjukup dapat dipenuhi dengan me­
ngadakan beberapa perobahan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1950
( Lembaran Negara tahun 1950 No. 52 ) tentang susunan dan kekuasaan
badan-badan-peradilan militer.
369
Mengingat:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1950 ( Lembaran Negara tahun 1950 No.52 );
2. Penetapan Presiden Republik Indonesia No..5 tahun 1965 ( Lembaran
Negara tahun 1965 No. 23 );
3. Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 20 tahun 1965 ( Lembaran
Negara tahun 1965 No. 82 •);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 tahun 1963.
Me mut us ka n:
Menetapkan:
Penetapan Presiden tentang perobahan beberapa pasal dalam Undang-
undang No. 5 tahun 1950 ( Lembaran Negara tahun 1950 No. 52 ) tentang
susunan dan kekuasaan Badan-badan Peradilan Militer.
Pasal 1.
Pasal 9 diubah sehingga berbunji sebagai berikut :
(1) . Ketua, Ketua-pengganti dan hakim-perwira pada Pengadilan Tentara
( Militer ) diangkat oleh Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan-
Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersendjata atas usul Menteri/Panglima
Angkatan jang bersangkutan.
(2) . Ketua dan ketua-pengganti Pengadilan Tentara ( Militer ) berpangkat
serendah-rendahnja Major, sedangkan tiap-tiap hakim perwira dan djaksa-/
oditur-militer atau djaksa-/oditur-militer pengganti jang djuga harus seorang
perwira, dalam suatu sidang Pengadilan Tentara ( Militer ) harus berpangkat
sekurang-kurangnja sama dengan terdakwa.
(3) . Panitera dan Panitera-pengganti Pengadilan Tentara ( Militer ) didjabat
oleh perwira-pertama atau serendah-rendahnja bintara-tinggi dan diangkat
oleh Ketua Pengadilan Tentara ( Militer ) jang bersangkutan.
Pasal 2.
Ajat (5) pasal 10 ditjabut, dan ajat-ajat (6) dan (7) berobah berturut-
turut mendjadi ajat (5) dan (6).
Pasal 3.
Pasal 15 diubah sehingga berbunji sebagai berikut :
(1). Ketua, ketua-pengganti, dan hakim-perwira pada Pengadilan Tentara
( Militer ) Tinggi diangkat oleh Menteri/Koordinator Kompartemen Perta-
hanan-Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersendjata atas usul Menteri/
Panglima Angkatan jang bersangkutan.

370
(2) . Ketua dan ketua-pengganti Pengadian Tentara ( Militer ) Tinggi
berpangkat serendah'-rendahnja Kolonel, sedangkan tiap-tiap hakim perwira
dan djaksa-/oditur militer atau djaksa-/oditur-militer atau djaksa-/oditur-
militer-pengganti jang djuga harus seorang perwira, dalam suatu sidang
Pengadilan Tentara ( Militer ) Tinggi harus berpangkat sekurang-kurangnja
sama dengan terdakwa.
(3) Panitera dan Panitera-pengganti Pengadilan Tentara ( Militer ) Tinggi
berpangkat perwira setinggi-tingginja Major dan diangkat oleh Ketua Penga­
dilan Tentara ( Militer ) Tinggi jang bersangkutan.
Pasal 4.
Ajat (4) Pasal 16 ditjabut dan ajat-ajat (5) dan (6) berobah berturut
turut mendjadi ajat (4) dan (5).
Pasal 5.
Ajat (2) Pasal 23 diubah sehingga berbunji sebagai berikut :
Selain dari pada para hakim tersebut dalam ajat (1) ada beberapa hakim-
perwira jang serendah-rendahnja berpangkat Kolonel dan diangkat oleh
Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan-Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersendjata dengan persetudjuan Menteri Koordinator Kompar­
temen Pertahanan-Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersendjata dengan
persetudjuan Menteri / Ketua Mahkamah, Agung atas usul Menteri/Panglima
Angkatan jang bersangkutan.
Ajat (6) Pasal 23 diubah sehingga f>erbunji sebagai berikut :
Disamping Panitera tersebut dalam ajat (5) ada panitera jang diangkat
oleh Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan-Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersendjata dengan persetudjuan Menteri/Ketua Mahkamah Agung
atas usul Menteri/Panglima Angkatan jang bersangkutan.
Pasal 6.
Pasal 32 diubah sehingga berbunji sebagai berikut :
Pendjabat-pendjabat-utama jang bukan militer pada badan-badan peradilan
militer jang disebut dalam undang-undang ini, diberi pangkat militer tituler
sesuai dengan kedudukan masing-masing, menurut tata tjara jang berlaku pada
tiap-tiap Angkatan jang bersangkutan.
Pasal 7.
Semua pendjabat - utama pada badan-badan peradilan militer jang pada
saat mulai berlakunja Penetapan Presiden ini telah diangkat setjara sah dalam
djabatan-djabatan jang bersangkutan, dianggap telah memenuhi maksud
Penetapan Presiden ini.

371
Pasal 8 .
Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannja.
Agar supaja setiap orang dapat mengetahuirija memerintahkan pengun­
dangan Penetapan Presiden ini dengan penempatannja dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Djakarta
pada tanggal 30 Oktober 1965
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEKARNO
Diundangkan di Djakarta
pada tanggal 30 Oktober 1965
MENTERI / SEKRETARIS NEGARA

ttd

MOHD. ICHSAN

Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 N0. 91

372
PENDJELASAN ATAS
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1965
( Mendjadi UU No. 22 PNPS 1965 berdasarkan UU No. 5 tahun 1969
LN 1969 No. 36 jo Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1969 )

te n t a n g

PEROBAHAN DAN TAMBAHAN BEBERAPA PASAL


DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1950
( Lembaran Negara RI tahun 1950 No. 52 )

UMUM
Dengan makin meningkatnja Reyolusi membawa konsekwensi makin
meningkatnja tuntutan-tuntutan Revolusi itu segala bidang; bidang
Pertahanan/Keamanan adalah salah 'satu dari sekian banjak bidang jang harus
memenuhi tuntutan-tuntutan Revolusi jang makin meningkat itu.
Oleh karena Angkatan Bersendjata merupakan alat Revolusi dibidang
Pertahanan/Keamanan, maka mudahlah dimengerti, bahwa Angkatan Bersen­
djata harus dapat memenuhi'tuntutan-tuntutan Revolusi dibidang Pertaha­
nan/Keamanan itu. Karena inilah perkembangan Angkatan Bersendjata telah
lama ditudjukan.
Salah satu aspek dalam perkembangan itu menampilkan kedepan masalah
peradilan militer. Undang-undang tentang peradilan militer jang berlaku
sekarang sudah djauh ditinggalkan oleh taraf perkembangan Angkatan Bersen­
djata; oleh karena itu perlu undang-undang tersebut selekas mungkin ditjabut
dan diganti dengan undang-undang baru. Langkah-langkah dalam rangka peng­
gantian undang-undang tersebut telah dimulai dan sedang dilandjutkan terus.
Berhubung dengan luasnja masalah, masih diperlukan beberapa waktu lagi,
sebelum kegiatan-kegiatan itu dapat diachiri dalam bentuk rantjangan undang-
undang baru jang akan menggantikan undang-undang peradilan militer jang
berlaku sekarang.
373
- Dalam pada itu satu hal dipandang sangat urgen untuk selekas mungkin
direalisasikan sekarang djuga jakni tentang pengangkatan pendjabat-
pendjabat utama pada badan-badan peradilan militer menurut prosedur
jang lebih lintjah dari pada prosedur jang berlaku sekarang dengan me­
nampilkan kedepan faktor-pendjamin terwudjudnja peradilan militer jang
lebih konsekwen memenuhi salah satu tuntutan dalam bidang perkem­
bangan Angkatan Bersendjata ialah tuntutan integrasi. Oleh karenanja, hal
jang dipandang sangat urgen untuk direalisasikan sekarang itu, „diangkat”
dari hasil-karya-bulat jang nanti akan berupa rantjangan undang-undang
baru seperti jang telah disinggung diatas.
— Dan oleh karena hal jang sangat urgen itu merupakan hanja salah satu
bagian ketjil dalam hasil-karya-bulat itu nanti, maka untuk realisasinja
tjukup ditjarikan tempat dalam undang-undang jang berlaku sekarang
d.p.l. dengan mengadakan beberapa perobahan dalam undang-undang
tersebut.

PASAL DEMI PASAL


Tjukup djelas.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 No. 2781.

374
UNDANG-UNDANG
No. 6 TAHUN 1950
TENTANG
MENETAPKAN ’’UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG
HUKUM ATJARA PIDANA PADA .PENGADILAN TENTARA”
(UNDANG-UNDANG DARURAT No. 17 TAHUN 1950) SEBAGAI
UNDANG-UNDANG FEDERAL.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,


Menimbang bahwa Pemerintah dengan mempergunakan haknja
termaktub pada pasal 139 ajat (1) Konstitusi Semen­
tara telah menetapkan Undang-undang Darurat ten­
tang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Tentara
(Undang-undang Darurat No. 17 tahun 1950);
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakjat menjetujui isi
Undang-undang Darurat itu dengan beberapa pero-
bahan dan tambahan yang dimadjukan oleh-Pemerin­
tah dan oleh Dewan Perwakilan Rakjat;
Meningat pasal 159, pasal 140 ajat (4) jo pasal 127 sub b Kons­
titusi Sementara;
Dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG MENETAPKAN ’’UNDANG-
UNDANG DARURAT TENTANG HUKUM ATJARA PIDANA
PADA PENGADILAN TENTARA ’’SEBAGAI
UNDANG-UNDANG FEDERAL.
Pasal 1
Peraturan-peraturan jang termaktub dalam ’’Undang-undang
Darurat tentang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Tentara” (Un­
dang-undang Darurat No. 17 tahun 1950) ditetapkan sebagai Undang-
undang Federal, dengan perubahan-perubahan dan tambahan-
tambahan sehingga berbunji sebagai berikut:
37"5 .
BAB I
UMUM
Pasal 1
Segala peraturan tentang Hukum Atjara Pidana pada peradilan
ketentaraan jang ada di .Indonesia sampai berlakunja Undang-undang
No. 6 tahun 1950 dihapuskan dan diganti oleh Undang-undang tentang
Hukum Atjara Pidana pada peradilan ketentaraan ini.
Pasal 2
Bagi Hukum Atjara Pidana pada peradilan ketentaraan berlaku
sebagai pedoman:
”het Herziene Inlandsch Reglement” dengan perubahan-perubah­
an seperti jang dimuat dalam Undang-undang ini.
BAB II
PEMERIKSAAN - PERMULAAN
Pasal 3
(1) Selain’ dari pada pegawai-pegawai dan orang lain jang disebut
dalam pasal 29 ”het Herziene Inlandsch Reglement”, hak meng­
usut kedjahatan dan pelanggaran diserahkan djuga:
a. kepada Kepala pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat jang berpangkat perwira, terhadap anak buahnja;
b. kepada anggauta-anggauta Corp Polisi Militer jang berpang­
kat perwira, dalam daerahnja masing-masing.
(2) Mereka terutama memakai sebagai pedoman:
titel dua bagian-bagian satu, tiga, empat dan lima dari ”het Her­
ziene Inlandsch Reglement”.
(3) Mengenai pengusutan kedjahatan dan pelanggaran, mereka lang­
sung dibawah pimpinan Kedjaksaan Tentara.
(4) Mereka wadjib menuruti petundjuk-petundjuk Kedjaksaan Tentara
dengan seksama.
Pasal 4
Dengan tidak mengurangi kewadjiban mereka seperti jang di­
maksudkan dalam pasal 3, pada tanggal 1 dan 15 tiap-tiap bulan mereka
harus memberikan laporan tertulis kepada Kedjaksaan Tentara ten­
tang:
376
a. Penangkapan dan penahanan orang-orang jang. dilakukan oleh
mereka;
b. Penglepasan orang-orang tersebut;
c. Pembeslahan barang-barang dan pemindahan barang-barang
itu oleh mereka, dan perlakuan terhadap barang-barang tersebut.
Pasal 5
Tentang peristiwa-peristiwa yang penting mengenai ketentaraan,
Kedjaksaan Tentara segera memberi laporan tertulis kepada pemim­
pin ketentaraan tertinggi di daerah kekuasaan Kedjaksaannja.
Pasal 6 ' -
Dengan mengingat kepentingan ketentaraan dan tidak mengu­
rangi peraturan-peraturan dalam Undang-undang ini atau Undang-
undang lain, Kedjaksaan Tentara melakukan atau memimpin peme­
riksaan permulaan dalam perkara-perkara jang harus diadili oleh
peradilan ketentaraan, dengan berpedoman pada atjara pemeriksaan
permulaan dalam perkara-perkara jang harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.

BAB'III
PEMERIKSAAN PENGADILAN KETENTARAAN DALAM
TINGKAT PERTAMA
Pasal 7
Dengan mengingat kepentingan ketentaraan dan tidak mengurangi
peraturan-peraturan dalam Undang-undang ini atau Undang-undang
lain, peradilan ketentaraan melakukan pemeriksaan perkara-perkara
pidana dalam tingkat pertama dengan berpedoman atjara pemeriksa­
an perkara-perkara jang dipakai oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 8
(1) Keputusan Pengadilan Tentara Tinggi atau Mahkamah Tentara
Agung tentang perselisihan menenai kekuasaan antara pengadil-
an-ketentaraan harus diserahi alasan-alasannja Keputusan ter­
sebut dikirimkan kepada Ketua Djaksa Tentara pada Pengadilan
yang ditundjuk sebagai pengadilan jang harus mengadilinja.
377
(2) Ketua Pengadilan jang lain dan Djaksa-Tentaranja mendapat
turunan keputusan tersebut.
(3) Pengadilan jang dimaksudkan achir ajat (1) wadjib menuruti
keputusan Pengadilan-Tentara-Tinggi atau Mahkamah Agung.

BAB IV
PEMERIKSAAN MAHKAMAH-TENTARA AGUNG DAN
PENGADILAN-TENTARA-TINGGI DALAM TINGKAT KEDUA
Pasal 9
Dengan mengingat kepentingan ketentaraan dan tidak mengu­
rangi peraturan-peraturan dalam Undang-undang ini atau Undang-
undang lain, maka Mahkamah-Tentara-Agung dan Pengadilan-Tenta­
ra-Tinggi melakukan pemeriksaan perkara-perkara dalam tingkat ke­
dua dengan pedoman:
titel 15 ’’Straf Vordering”, djika perkara itu pada tingka perta-
• ma diadili oleh Pengadilan-Tentara-Tinggi atau pengadilan-Ten-
tara.

BAB V
TJARA MENDJALANKAN KEPUTUSAN
Pasal 10
Keputusan pengadilan ketentaraan didjalankan oleh Djaksa-Ten-
tara jang bersangkutan, dengari pedoman:
titel sepuluh, bagian empat ”het Herziene Inlandsch Reglement”
Pasal 11
Undang-undang ini dapat disebut ’’Undang-undang tentang Hu­
kum Atjara Pidana pada pengadilan ketentaraan” dan mulai berlaku
pada tanggal 31 Maret 1950.
Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintah­
kan pengumuman Undang-undang ini dengan penempatan dalam lem­
baran Negara Republik Indonesia Serikat.

378
Disahkaxt diDjakarta
Pada tanggal 20 Djuli 1950
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SERIKAT
ttd.
(SOEKARNO)
MENTERI PERTAHANAN
ttd.
(HAMENGKU BUWONO IX)
MENTERI KEHAKIMAN
ttd.
(SOEPOMO)
Diumumkan:
Pada tanggal 4 Agustus 1950.
MENTERI KEHAKIMAN
ttd.
(SOEPOMO)

379
UNDANG-UNDANG DARURAT No. 1 TAHUN 1958
TENTANG
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG No. 6 TAHUN 1950
(LEMBARAN NEGARA TAHUN 1950 No. 53) TENTANG
HUKUM ATJARA PIDANA PADA PENGADILAN KETENTARAAN
(Sudah mendjadi Undang-undang berdasarkan Undang-undang No. 5
tahun 1969 dengan nama Undang-undang No. 1 Drt tahun 1958)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : 1. bahwa perlu mengadakan ketentuan-ketentuan guna
pelaksanaan azas bahwa komandan-komandan mem-
punjai hak Penjerahan perkara;
2. bahwa ketentuan-ketentuan tersebut akan menerus­
kan sebagian dari pada hukum atjara Pidana tentara
dan karena itu perlu mengadakan perobahan dalam
peraturan tentang hukum atjara pidana pada pengadil­
an Ketentaraan Jang hingga kini berlaku;
3. bahwa karena keadaan-keadaan jang mendesak
perobahan termaksud sub 2 perlu segera diadakan;
Mengingat 1. Undang-undang No* 6 tahun T 950 (Lembaran Negara
tahun 1950 No.# 53) tentang hukum atjara pidana
pada pengadilan ketentaraan, terutama BAB II me­
ngenai pemeriksaan permulaan;
2. Pasal 35 dan pasal 40 dari Undang-undang No. 29
tahun 1954 (Lembaran Negara tahun 1954 No. 84)
tentang pertahanan Negara Republik Indonesia;
Mengingat
pula : a. Pasal-pasal 102 dan 96 Undang-undang Dasar Semen­
tara Republik Indonesia;
b. Undang-undang No. 5 tahun 1950 (Lembaran Negara
tahun 1950 No. 52) tentang susunan dan kekuasaan
badan-badan peradilan ketentaraan;
c. Undang-undang No. 29 tahun 1957 (Lembaran Ne­
gara tahun 1957 No. 101) tentang pedjabat jang men-
djalankan pekerdjaan djabatan Presiden, djika Pre­
siden mangkat, berhenti atau berhalangan, sedang
Wakil Presiden tidak ada atau berhalangan;
381
Mendengar : Dewan Menteri dalam rapat-rapatnja ke 40 pada tanggal
6 September 1957 dan ke 63 pada tanggal 2 Desember
1957;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG No. 6 TAHUN 1950 (LEMBARAN NEGARA
TAHUN 1950 No. 53) TENTANG HUKUM ATJARA PIDANA
PADA PENGADILAN KETENTARAAN.
Pasal 1.
BAB II tentang PEMERIKSAAN PERMULAAN dari Undang-undang
No. 6 tahun 1950 tentang hukum atjara pidana pada pengadilan ke­
tentaraan (Lembaran Negara tahun 1950 No. 53) diganti seluruhnja
dengan bab jang terdiri dari pasal-pasal 3 sampai dengan 18jang bunji-
nja sebagai berikut :
Pasal 3.
Tiap-tiap perwira pada umumnja berhak untuk mendjatuhkan
penahanan setjara langsung atas diri seorang militer bawahannja.
Hubungan atasan-bawahan adalah menurut pengertian Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Tentara.
Pasal 4.
Tiap-tiap perwira wadjib mendjatuhkan penahanan setjara jang di­
uraikan pada pasal 3, apabila ia mengetahui atau dengan alasan jang
tjukup dapat menjangka, bahwa seorang militer bawahannja itu telah
melakukan suatu tindak pidana jang berat.
Pasal 5.
(1) Perbuatan jang telah dilakukan dan penahanan jang didjatuh-
kan harus segera dilaporkan kepada atasan jang berhak menghukum,
jang membawahkan langsung tersangka.
(2) Apabila pada saat penahanan tersebut didjatuhkan tersangka-
nja sedang dipekerdjakan diluar Angkatannja sendiri, maka segera pe-
382
laporan tersebut termaksud pada ajat (1) .diteruskan oleh atasan ini
kepada atasan jang berhak menghukum Jang dalam Angkatan tersangka
sendiri membawahkan langsung tersangka tersebut.

Pasal 6.
(1) Atasan jang berhak menghukum Jang membawahkan langsung
tersangka dalam Angkatannja sendiri, kemudian memeriksa perkara itu
dan menentukan apakah tersangka akan ditahan atau ditahan terus
dengan ketentuan bahwa tahanan hanja dapat dilakukan selama-larnanja
untuk 20 hari. Penahanan seterusnja harus dilakukan atas Keputusan
Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang dimaksud dalam
pasal 9 untuk selama-larnanja 30 hari. Dalam hal ini harus diperhatikan
pasal 12 ajat (3).
(2) Atas perintah atasan tersebut, maka pemeriksaan perkara itu
dapat dilakukan oleh seorang perwira, seorang bintara atau boleh se­
buah Komisi jang terdiri dari perwira/bintar?.
(3) Ketjuali djika Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan
jang ditundjuk menurut pasal 9 berpendapat bahwa perkara tersebut
harus diperiksa oleh ’’atasan jang berhak menghukum” sendiri, maka
dengan menjimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ajat (1) dan ajat
(2) pasal ini atasan tersebut berhak menjerahkan pengusutan/pemeriksa-
an perkara itu kepada Djaksa Tentara jang berhak djuga menjerahkan
pengusutan/pemeriksaan perkara - tersebut kepada Polisi Angkatan,
dengan ketentuan bahwa baik Polisi Angkatan maupun Djaksa Tentara
tersebut tidak tjampur tangan dalam soal penahanan tersangkut.

Pasal 7.
Djika atasan jang berhak menghukum itu berpendapat, bahwa ter­
sangka bersalah melanggar :
a. disiplin tentara seperti termaksud dalam pasal 2 No. 1 Kitab
Undang-undang Hukum Disiplin Tentara.
b. Disiplin Tentara seperti termaksud dalam pasal 2 No. 2 sampai
dengan No. 6 Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Tentara,
sedangkan pelanggaran itu tidak sedemikian, sehingga harus
diadjukan kepada Pengadilan.
maka ia sendiri menentukan hukumannja ketjuali djika hak untuk me­
nentukan hukuman itu termasuk wewenang atasan lain.
383
P asal 8 .
Apabila dalam pemeriksaan tersebut diatas temjata, bahwa tidak
terdapat tjukup petundjuk untuk menentukan, kesalahan tersangka,
maka ia djika berada dalam tahanan, harus segera dilepaskan.
Pasal 9.
(1) Dalam hal-hal sebagai jang diuraikan dalam pasal pasal 7 dan 8
atau djika atasan jang berhak menghukum ragu-ragu apakah perkara
itu dapat diselesaikan diluar pengadilan atau djika ia berpendapat,
bahwa perkara itu harus diadjukan kemuka pengadilan, maka ia me­
laporkan putusan atau pendapatnja secara hierarchiek kepada Kepala
Staf/Panglima Angkatan dan Komandan jang ditundjuk oleh Kepala
Staf/Panglima Angkatan untuk menerima laporan termaksud.
(2) Komandan jang dapat ditundjuk oleh Kepala Staf/Panglima
Angkatan menurut ajat (1) itu ialah seorang Komandan jang langsung
dibawahkan Kepala Staf/Panglima Angkatan dan berpangkat serendah-
rendahnja Major.
Pasal 10
(1) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang ditun­
djuk menurut pasal 9, dengan tidak mengurangi wewenangnja berdasar­
kan Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Tentara setelah diminta
pendapat Djaksa Tentara jang bersangkutan, menentukan :
a. bahwa tersangka jang telah dianggap tidak bersalah atau telah
dihukum disiplin menurut pasal 7 dan 8, setelah ia sedapat-
dapatnja didengar, masih djuga akan diadjukan ke Pengadilan;
b. bahwa perkara tersangka akan diselesaikan diluar pengadilan
dengan menutup perkara tersebut atau dengan menjelesaikan-
nja setjara disipliner, ataupun bahwa tersangka setelah sedapat-
dapatnja didengar, akan diadjukan ke pengadilan.
(2) Pengiriman berkas jang bersangkutan kepada Djaksa Tentara
untuk meminta pendapatnja dan pengembalian berkas tersebut kepada
Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan termaksud diselengga­
rakan setjara langsung.
Pasal 11.
(1) Djika Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang di­
tundjuk menurut pasal 9, bertentangan dengan pendapat Djaksa Tenta­
ra jang bersangkutan, menentukan bahwa perkara tersangka tidak akan
384
diadjukan pengadilan,.maka Djaksa Tentara*tersebut apabila tetap ber­
pendirian bahwa untuk kepentingan justisi perkara itu perlu diadjukan
ke pengadilan dapat mengadjukan surat permohonan dengan mengemu­
kakan alasan-alasan/pertimbangan-pertimbangan seperlunja, kepada Ke­
pala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan tersebut, agar perbedaan
pendapat itu diputuskan oleh Mahkamah Tentara Agung dalam sidang.
(2) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan tersebut pada
ajat (1) mengirimkan surat permohonan Djaksa Tentara serta berkas
perkara jang bersangkutan dan ditambah dengan pemandangannja ten­
tang perkara itu, kepada Mahkamah Tentara Agung jang setelah men­
dengar pendapat Djaksa Tentara Agung, memutuskan apakah perkara
termaksud akan diadjukan ke pengadilan ataukah tidak.
(3) Djika ipenurut putusan Mahkamah Tentara Agung perkara itu
harus diadjukan ke pengadilan maka Kepala Staf/Panglima Angkatan
atau Komandan tersebut segera mengusahakan kearah itu setelah me­
nerima kembali berkas, jang bersangkutan dari Mahkamah Tentara
Agung.
Pasal 12.
(1) Dalam putusan tersebut dalam pasal 10 dan pasal 11 ditentu­
kan djuga apakah tersangka akan ditahan atau ditahan terus untuk
selama-lamanja 30 hari.
(2) Keputusan Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan
atau Keputusan Mahkamah Tentara Agung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 dan pasal 11 untuk sjahnja, diberikan setjara tertulis.
(3) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang dimak­
sud dalam pasal 9 dapat memperpadjang tahanan sementara dalam ajat
(1) dan dalam pasal 6 ajat (1) kalimat kedua tiap kali dengan 30 hari.
Pasal 13.
Djika telah diputuskan untuk mengadjukan perkara jang bersang­
kutan kepengadilan maka oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan atau
Komandan berkas perkara tersebut, disertai dengan surat keputusan
Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan atau Mahkamah Ten­
tara Agung, diserahkan kepada :
a. Djaksa Tentara jang bersangkutan, apabila perkaranja ter­
masuk kekuasaan suatu pengadilan ketentaraan;
b. Djaksa Sipil jang bersangkutan, apabila perkaranja termasuk
kekuasaan pengadilan umum.
385
Pasal 14.
Djika dalam keadaan tersebut dalam pasal 10 atau pasal 11 di­
putuskan bahwa perkara tersangka akan diselesaikan diluar pengadilan,
maka berkas jang bersangkutan disampaikan kepada atasan jang berhak
menghukum tersangka, ketjuali dalam hal Kepala Staf/Panglima Ang­
katan atau Komandan jang ditundjuk menurut pasal 9 menentukan
sendiri hukumnja sesuai dengan wewenangnja.
Pasal 15.
Hak mengusut kedjahatan dan pelanggaran terhadap seorang mi­
liter diserahkan kepada :
a. para atasan jang berhak menghukum terhadap anak-buahnja;
b. tiap anggauta kepolisian angkatan-angkatan dalam lingkungan
kekuasaannja masing-masing terhadap anggauta militer ang-
katannja;
c. Djaksa-djaksa dilingkungan pengadilan ketentaraan;
d. para pegawai dan orang-orang lain jang tersebut dalam pasal
39 H.I.R. sekedar tidak temjata bahwa tersangka adalah se­
orang militer.
Pasal 16.
(1) Bagi pendjabat-pendjabat tersebut dalam pasal 15 sub a ber­
laku pasal-pasal 6, 7, 8 dan 9.
(2) Pengusutan oleh pendjabat-pendjabat tersebut dalam pasal 15
sub b dilakukan dibawah pimpinan/perintah Djaksa Tentara.
Dalam hal ini harus diperhatikan pasal 6 ajat (3).
(3) Pengusutan jang diselenggarakan oleh pendjabat-pendjabat ter­
sebut dalam pasal 39 H.I.R. dilakukan menurut H.I.R., dengan ketentu­
an bahwa apabila dalam pengusutan itu temjata tersangka adalah ang­
gauta Angkatan Perang maka perkara itu segera diserahkan kepada
Djaksa Tentara jang bersangkutan jang melandjutkan pengusutannja
sendiri atau menjerahkannja kepada Polisi Angkatan jang bersangkutan.
(4) Djaksa Tentara melaporkan kepada atasan tersebut dalam pasal
6 ajat (1) tentang adanja perkara baru jang sedang diusut oleh Polisi
Angkatan atau oleh Djaksa Tentara sendiri.
Atasan tersebut selandjutnja berbuat sesuai dengan pasal-pasal 6,
7, 8 dan 9.
(5) Baik Polisi Angkatan maupun Djaksa Tentara tidak berhak
untuk menentukan sesuatu tentang penahanan. Djaksa Tentara dapat
386
mengusulkan supaja atasan tersebut dalam pasal 6 ajat (1) melakukan
tahanan sementara atas'diri seorang tersangka.
(6) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan itu berhak
memerintahkan Djaksa Tentara untuk menjerahkan perkara tersebut
dalam ajat (4) kepada atasan jang termaksud dalam pasal 6 ajat (1).
Atasan termaksud dalam pasal 6 ajat (1) dapat meminta djuga se-
tjara langsung kepada Djaksa Tentara agar sesuatu perkara jang ter­
masuk kompetensi atasan itu diserahkan kepadanja.
Dalam kedua hal tersebut diatas maka atasan itu berbuat selan-
djutnja sesuai dengan pasal-pasal 6 ,7 , 8 dan 9.
(7) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan itu selalu da­
pat memerintahkan agar suatu perkara diusut/diperiksa oleh Djaksa
Tentara; dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 6 ajat (3) menge­
nai Djaksa Tentara dan Polisi Angkatan.
(8) Djika Djaksa Tentara berpendapat bahwa suatu perkara jang
sedang diusut olehnja atau oleh Polisi Angkatan tjukup untuk diselesai­
kan diluar pengadilan maka perkara itu disalurkan kepada atasan jang
berhak menghukum tersebut dalam pasal 6 ajat (1) jang selandjutnya
bertindak menurut pasal-pasal 6, 7, 8 dan 9.
(9) Djika Djaksa Tentara berpendapat bahwa perkaranja perlu
diadjukan kepada Pengadilan ketentaraan maka ia mengirimkan berkas
jang bersangkutan disertai dengan pendapatnja kepada atasan termak­
sud dalam pasal 6 ajat (1) jang selandjutnja berbuat sesuai dengan pasal-
pasal 6, 7, 8 dan 9.
(10) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam pasal ini
maka hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban pala pengusut ialah sebagai
jang diatur dalam H.I.R. sepandjang tidak bertentangan dengan Undang-
undang Darurat ini.
(11) Untuk keadaan tertangkap tangan berlaku ketentuan-ketentu­
an dalam bagian Keempat Titel kedua dari H.I.R., dengan ketentuan
bahwa segera apabila temjata bahwa tersangkanja adalah anggauta Ang­
katan Perang maka pendjabat sipil jang bersangkutan mengadakan hu­
bungan dengan Djaksa Tentara dan/atau Pembantu Djaksa Tentara.
Pasal 17.
(1) Pembantu Djaksa Tentara (Magistraat-Pembantu, Hulp-
magistraat) dilingkungan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara ialah :
a. para atasan jang berhak menghukum, terhadap anak-buahnja
dengan ketentuan bahwa atasan tersebut dalam kedudukan
387
sebagai pembantu Djaksa Tentara (Hulp-magistraat) tidak di­
bawakan Djaksa Tentara;
b. para anggauta kepolisian Angkatan-angkatan jang berpangkat
perwira, terhadap anggauta-anggauta militer Angkatannja
masing-masing dan dalam lingkungan kekuasaannja masing-
masing;
c. para anggauta kepolisian Angkatan-angkatan jang berpangkat
bintara, jang ditundjuk oleh Djaksa Tentara Agung dari mereka
jang diadjukan oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan jang ber­
sangkutan, terhadap anggauta-anggauta militer Angkatannja
masing-masing dan dalam lingkungan kekuasaannja masing-
masing.
d. anggauta Militer Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkat­
an Udara lainnja jang ditundjuk oleh Djaksa Tentara Agung
dengan persetudjuan Menteri Pertahanan, terhadap suatu per­
kara tertentu jang ditegaskan pula dalam penundjukkan ter­
sebut; dalam hal ini maka para magistraat-pembantu lainnja
tidak diperbolehkan tjampur tangan dalam perkara termaksud.
(2) Hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban para pembantu Djaksa
Tentara ialah sebagai jang ditetapkan dalam H.I.R. untuk para ’’hulp-
magistraat”, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan/penjim-
pangan-penjimpangan menurut Undang-undang Darurat ini.
(3) Dalam phase pemeriksaan permulaan terhadap suatu perkara
pidana seorang anggauta militer maka kedudukan Djaksa Tentara ialah
seperti ’’Ambtenaar van het Openbare Ministerie” menurut H.I.R.,
ketjuali penjimpangan-penjimpangan menurut Undang-undang Damrat
ini.

Pasal 18.
(1) Seterimaiija berkas perkara dari Kepala Staf/Panglima Angkat­
an atau Komandan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 13 maka Djak­
sa Tentara, djika perlu dengan bantuan para pembantu Djaksa Tentara,
melakukan segala sesuatu jang diperlukan guna menjiapkan perkara itu
untuk diadjukan setjepat-tjepatnja kepengadilan ketentaraan.
(2) Djika menurut pertimbangan Djaksa Tentara perkara itu sudah
tjukup diperiksa maka ia melaporkan hal ini kepada Kepala Staf/Pangli­
ma Angkatan atau Komandan tersebut dalam pasal 9, Kepala Staf/Pang­
lima Angkatan atau Komandan itu setelah mendengar pendapat Ketua

388
Pengadilan Ketentaraan jang bersangkutan^ menetapkan hari sidang
Pengadilan guna pemeriksaan perkara.
(3) Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan itu menjerah­
kan berkas perkara jang bersangkutan kepada ketua Pengadilan ketenta­
raan jang dianggapnja berhak dan dalam hal itu ia menuntut agar perka­
ra itu diperiksa di Pengadilan.
(4) Penjerahan berkas perkara sebagai jang dimaksud pada ajat (3)
berlangsung melalui Djaksa Tentara jang bersangkutan.
(5) Untuk menjerahkan perkara oleh Ketua pengadilan ketentara­
an kepada sidang pengadilan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan
dalam Titel 10 Bagian I H.I.R. sebagai pedoman.

PASAL II.
Pasal-pasal 7, 8, 9 dan 10 dari Undang-undang No. 6 tahun 1950
tersebut berturut-turut menjadi:
pasal-pasal 19, 20, 21 dan 22.

PASAL III.
Pembantu Djaksa Tentara jang ada pada saat mulai berlakunja per­
aturan ini atas penundjukkan Djaksa pada Mahkamah Tentara Agung,
dianggap sebagai telah memenuhi .pasal 17 ajat (1) sub c atau sub d
tersebut dalam pasal I diatas.

PASAL IV.
Dalam hal tersangka/terdakwanja adalah Kepala Staf/Panglima
Angkatan sendiri, maka berlaku ketentuan dalam Undang-undang No. 6
tahun 1950 sebagaimana berbunji sebelum diadakan perubahan-perubah-
an/tambahan-tambahan menurut Undang-undang Darurat ini, demikian
pula dalam hal terdakwa/tersangkanja adalah seorang sipil.

PASAL V.
Hari mulai berlakunja Undang-undang Darurat ini ditetapkan de­
ngan peraturan Pemerintah.

389
Agar supaja setiap orang dapat mengetahuinja, memerintahkan
pengundangan Undang-undang Darurat ini dengan penempatan dalam
lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Djakarta
pada tanggal 7 Djanuari 1958
PEDJABAT PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
(SARTONO)
MENTERI PERTAHANAN :
ttd.
(DJUANDA)
MENTERI KEHAKIMAN :
ttd.
(MAENGKOM)
Diundangkan
Pada tanggal 10 Djanuari 1958
MENTERI KEHAKIMAN,
ttd.
(MAENGKOM)

LEMBARAN NEGARA TAHUN 1958 No. 1


390
PENDJELASAN’
UNDANG-UNDANG DARURAT No. 1 TAHUN 1958
TENTANG
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG No. 6 TAHUN 1950
(LEMBARAN NEGARA TAHUN 1950 No. 53) TENTANG
HUKUM ATJARA PIDANA PADA PENGADILAN
KETENTARAAN.
UM UM .
Sistim Undang-undang No. 6 tahun 1950 tentang hukum atjara
pidana pada pengadilan ketentaraan.
Dalam garis-garis besar maka atjara pidana tentara menurut Un­
dang-undang tersebut ialah atjara pidana jang berlaku menurut H.I.R.
Sepandjang mengenai pemeriksaan permulaan, segala sesuatu dipusat­
kan pada Djaksa Tentara. Pendjabat-pendjabat lainnja jang mempunjai
peranan dalam penjelenggaraan pemeriksaan permulaan (termasuk pe­
meriksaan tempat tinggal dan tempat-tempat lain, penahanan sementara
terhadap tersangka, penjitaan barang dan lain seterusnja), jaitu, kepala
Pasukan Angkatan Perang jang berpangkat perwira, anggota C.P.M. jang
berpangkat perwira, para hulpmagistraat dilingkungan peradilan keten­
taraan, baik jang berpangkat perwira atau bukan perwira maupun jang
berkedudukan sebagai komandan atau bukan komandan, semuanja
bekerdja dibawah pimpinan/perintah Djaksa Tentara.
Dan setelah pemeriksaan permulaan berachir maka Djaksa Tentara­
lah jang menentukan apakah perkara jang bersangkutan harus diserah­
kan kepada pengadilan ataukah tidak.
Djaksa Tentara sendiri setjara langsung dapat mengadakan pe­
ngusutan dan pemeriksaan lebih landjut (’’nasporing”) terhadap seorang
militer tanpa ’’introduksi” oleh atasan/komandan jang membawahkan
militer tersebut.
Sistim jang diuraikan diatas dirasakan djauh daripada memuaskan
dipandang dari sudut penjelenggaraan/penegakan disiplin tentara.
Sistim itu mudah mengakibatkan bentrokan antara pihak Kedjaksaan
dan pihak pimpinan Angkatan/kesatuan, bahkan sesungguhnja me­
ngurangi kedudukan para komandan jang bertanggung-djawab penuh
atas keadaan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan Angkatan/
kesatuannja dan atas kedudukan/keadaan anak-buahnja sebagai anggota
militer.
Karena itu, perlu ditjarikan suatu sistim dengan peranan atasan
militer, komandan militer dan Panglima Angkatan dalam hukum atjara
pidana tentara, jang lebih sesuai dengan kedudukan mereka masing-
masingnja sebagai penegak pendjaga disiplin tentara dari pada dalam
sistim jang hingga kini berlaku.
Sistim baru untuk masa jang akan datang.
Peraturan ini bermaksud memasukkan sistim baru dalam atjara
pidana tentara sekedar mengenai phase pemeriksaan permulaan dan
merupakan pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 35 ajat (1)
Undang-undang Pertahanan Negara (Undang-undang No. 29 tahun
1954, Lembaran Negara tahun 1954 No. 94) jang berbunji :
’’Angkatan Perang mempunjai peradilan tersendiri dan komandan-
komandan mempunjai hak penjerahan perkara”.
Sistim baru sebagai jang dirumuskan dalam peraturan ini belum
dapat dikatakan telah memenuhi sepenuhnja segala sesuatu jang ditjita-
tjitakan oleh Angkatan Perang kita dewasa ini.
Perobahan hukum atjara pidana tentara setjara integral akan me­
makan waktu banjak pun keadaan dan tingkat perkembangan Angkatan
Perang pada saat ini belum mengizinkan untuk mengadakan peradilan
ketentaraan tersendiri, dalam arti : ..sama sekali terlepas dari peradilan
umum dan tidak membontjeng lagi pada pengadilan tersebut belakang
itu, sedangkan keadaan negara dewasa ini sungguh sudah memerlukan
pelaksanaan hak penjerahan perkara oleh para komandan”.
Maka peraturan ini membatasi diri pada pokok-pokok jang penting
dan mudah-mudahan sudah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
jang dirasakan oleh Angkatan-angkatan dalam lapangan hukum atjara
pidana.
Lagi pula soalnja dirasakan sangat mendesak, terutama diling-
kungan Angkatan Perang sendiri, sehingga adalah setepatnja untuk me­
ngadakan peraturan baru ini dalam bentuk Undang-undang Darurat.
Berhubung dengan hak penjerahan perkara-perkara komandan
dapat dikemukakan prinsip-prinsip/ketentuan-ketentuan sebagai be­
rikut :
1. Masing-masing Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Ang­
katan jang djuga mendjadi Panglima Angkatan. (Pasal 18 ajat (1)
Undang-undang Pertahanan Negara).
2. Masing-masing atasan/komandan bertanggung-djawab penuh atas
keadaan ketertiban dan keamanan dalam kesatuannja.
Maka a) atasan/komandan militer harus mengetahui tentang segala hal
ichwal mengenai kesatuannja;
b) atasan/komandan harus dapat ikut menentukan nasib anak-
392
buah dalam rangka penjelesaian pejkara-pidananja;
c) tjampur tangan pendjabat lain dalam atjara pidana tentara
sedapat mungkin djanganlah mengurangi azas*azas sub 1 dan
2 diatas.
Mengingat hal-hal diatas, maka titik berat tanggung-djawab pe­
njelesaian perkara pidana seorang militer dalam phase pertama (phase-
pemeriksaan permulaan) tidak mungkin lagi dibebankan kepada Djaksa
Tentara, akan tetapi kepada atasan militer, komandan militer dan Pang­
lima Angkatan).
Menurut sistim baru kedudukan Djaksa Tentara dalam phase pe­
meriksaan permulaan adalah sebagai berikut :
(1) Ia memberi adpis dalam hak Kepala Staf/Panglima Angkatan atau
Komandan (jang ditundjuk menurut pasal 9) memutus apakah se­
suatu perkara diadjukan kepada pengadilan atau diselesaikan
diluar pengadilan (pasal 10).
(2) Djika telah diputuskan Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Ko­
mandan itu untuk mengadjukan perkara jang bersangkutan ke
Pengadilan (pasal 13 dan pasal 18 ajat (1), ia melakukan segala
sesuatu jang diperlukan guna menjiapkan perkara itu untuk dapat
diadjukan setjepat-tjepatnja ke Pengadilan ketentaraan.
(3) Ia melakukan pengusutan/pemeriksaan perkara jang diserahkan
kepadanja oleh ’’atasan jang berhak menghukum” (pasal 6 ajat (3)
atau jang diterimanja dari insfansi sipil'(pasal 16 ajat 16 (3) jo
pasal (15) ketjuali djika perkara itu tidak harus diserahkan kepada
’’atasan jang berhak menghukum” menurut pasal 16 ajat (6).
(4) Ia diwadjibkan melaporkan kepada ’’atasan jang berhak meng­
hukum” tentang penerimaan perkara dari instansi Sipil, (pasal
16 ajat (4).
(5) Selesai dengan pengusutan/pemeriksaannja maka Djaksa Tentara
harus menjerahkan perkaranja kepada atasan jang berhak meng­
hukum (pasal 16 ajat (8) dan ajat (9) atau kepada Kepala Staf/
Panglima atau Komandan tersebut sub (1). (Vide pasal 10 dan
pasal 18 ajat (2) dan (3).
(6) Jang menjerahkan berkas perkara jang bersangkutan kepada Ketua
Pengadilan ketentaraan bukan lagi Djaksa-Tentara, melainkan Ke­
pala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang ditundjuk me­
nurut pasal 9; djuga pendjabat-pendjabat inilah jang menuntut agar
perkara itu diperiksa oleh pengadilan (Vide pasal 18 ajat (2) dan
ajat (3).
(7) Dalam soal penahanan sementara maka Djaksa Tentara tidak mem-
393
punjai hak sesuatupun melainkan hanja dapat mengusulkan supaja
atasan jang berhak menghukum melakukan tahanan sementara atas
diri seorang tersangka. (Pasal 6 ajat (3) dan pasal 16 ajat (5).
(8) Dalam pengusutan/pemeriksaan perkara Djaksa Tentara (hanja)
membawahkan Polisi' Angkatan; tidak lagi membawahkan seorang
atasan/Komandan militer. (Pasal 6 ajat (3) dan pasal 16 ajat (2).
(9) Hanja dalam satu hal Djaksa Tentara merupakan pemusatan dalam
prosedur, ialah jang menerima perkara dari instansi sipil : pasal 16
ajat (3) dalam keadaan biasa dan pasal 16 ajat (11) dalam keadaan
tertangkap tangan.
(10) Untuk selandjutnja ia mempunjai wewenang-wewenang jang di­
miliki oleh seorang Djaksa menurut H.I.R. dengan tidak mengura­
ngi penjimpangan menurut peraturan baru ini. (Pasal 16 ajat (10)
jo pasal 15 dan pasal 17 ajat (3).
Teranglah bahwa hak-hak dan wewenang-wewenang seorang
Djaksa Tentara menurut sistim baru ini sangat lebih kurang daripada
dalam waktu jang lampau menurut H.I.R., sedang hak-hak wewenang-
wewenang atasan/komandan militer bertambah.
Dalam sistim baru ini maka atasan jang berhak menghukum mem­
punjai peranan jang lebih ’’zelfstandig” pun lebih aktip dari pada'dalam
sistim lama.
Kedudukan atasan itu dalam hukum atjara pidana tentara sekarang
dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Perkara-perkara jang dapat diselesaikan diluar pengadilan di-
lajani oleh atasan itu sendiri. (Pasal 6, 7, 14 dan 16 ajat (8).
Demikian itu sesungguhnja bukannja hal baru, melainkan me­
rupakan pengulangan daripada jang diatur dalam K.U.H.D.T.
b. Terutama atasan jang berhak-menghukumlah jang melakukan
pengusutan/pemeriksaan permulaan atas seorang militer jang
menjadi anak-buahnja. Ia adalah pengusut dan pembantu-
magistraat. Dan sebagai pengusut-pengusut dan pembantu-
magistraat ia tidak lagi berkedudukan dibawah pimpinan/pe-
rintah Djaksa Tentara. Dalam menjelenggarakan tugas pengusut­
an/pemeriksaan permulaan itu ia dibawah pengawasan Kepala
Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang ditundjuk menu­
rut pasal 9. (Pasal-pasal 6 ajat (1), 15 sub a, 16 ajat (1) dan (6)
dan 17 ajat (1) sub a. Lihat selandjutnja pasal 9 dan pasal 10
ajat (1).
Bahkan atasan itu dapat menarik suatu perkara kepadanja dari
tangan Djaksa Tentara c.q. Polisi Angkatan. (Vide pasal 16 ajat
394
(6) jo ajat (4).
Selandjutnja dapat ditjatat bahwa sebagai pengusut dan pem-
bantu-magistraat iamempunjaihak-hak dan kewadjiban-kewajib-
an pengusut-pembantu-magistraat menurut H.I.R. (Pasal '16 ajat
(10) dan pasal 17 ajat (2).
Satu sama lain dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
dalam peraturan baru ini.
c. Ia dapat menjerahkan pengusutan/pemeriksaan permulaan per­
kara kepada Djaksa Tentara, ketjuali djika tidak ditetapkan lain
oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang di-
tundjuk menurut pasal 9. Dalam hal tersebut belakangan ini
maka ia sendiri harus menjelenggarakan pengusutan/pemeriksa-
an-permulaan perkara jang bersangkutan. (Vide pasal 6 ajat (3)
dan pasal 16 ajat (6).
d. Ia dalam hal pasal 16 ajat (7) wadjib menjerahkan perkara jang
bersangkutan kepada Djaksa Tentara.
e. Ia dapat mengadakan penahanan sementara terhadap anak-
buahnja jang mendjadi tersangka, sungguhpun terbatas waktu-
nja, jaitu, untuk waktu selama-lamanja 20 hari (Pasal 6 ajat (1);
djuga pasal 16 ajat (5) dan pasal (8).
f. Perihal kewadjiban atasan jang berhak menghukum untuk me­
laporkan sesuatu kepada atasannja (jaitu Kepala Staf/Panglima
Angkatan atau Komandan j&ng ditun'djuk menurut pasal (9),
perhatikanlah pasal 9.
Adapun kedudukan Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Ko­
mandan jang ditundjuk menurut pasal 9 (Dibawah ini kedua pendjabat
selandjutnja untuk singkatnja disebut ’’Komandan”) kurang lebih ada­
lah sebagai berikut :
le. Ia mendapat laporan tentang tersangka dari atasan jang berhak
menghukum (pasal 9; djuga pasal 16 ajat (4); sehingga selalu ter­
buka kesempatan baginja untuk melakukan pengawasan (dan me­
ngadakan koreksi) atas penjelenggaraan pengusutan pemeriksaan
permulaan oleh atasan itu terhadap tersangka jang bersangkutan.
(Pasal 6 ajat (1), pasal 9, pasal 10 ajat (1) dan pasal 16 ajat (6).
Ia pun dapat menentukan apakah pengusutan/pemeriksaan per­
mulaan selandjutnja harus dilakukan oleh atasan jang berhak
menghukum itu sendiri ataukah oleh Djaksa Tentara. (Pasal 6 ajat
(3), pasal 16 ajat (6) dan ajat (7).
2e. Komandanlah jang menentukan apakah suatu perkara harus di-
adjukan ke pengadilan ataukah tjukup diselesaikan diluar pengadil-
395
an (pasal 10); satu sama lain dengan tidak mengurangi kemungkin­
an adanja berlainan pendapat antara dia dan Djaksa Tentara, jang
selandjutnja disalurkan kepada Mahkamah Tentara Agung, sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 11.
Selandjutnya Komandan sendiri jang menjerahkan perkara kepada
pengadilan ketentaraan pun jang menuntut (penandatanganan
surat tuntutan) agar perkara itu diperiksa dipengadilan (pasal 18
ajat (3).
Dan ia djuga jang menetapkan hari sidang pengadilan ketentaraan
guna pemeriksaan perkara tersebut. (Pasal 18 ajat (2).
3e. Pengawasan atas penahanan sementara terhadap para tersangka ada
ditangan Komandan : ialah jang berhak memperpandjang penahan­
an tersebut setelah liwat penahanan tersangka untuk 20 hari,
(pasal 6 ajat (1) dan pasal 12 ajat (l)dan ajat (3).
4.e. Perihal hubungan antara Komandan dan Djaksa Tentara;
Vide pasal 10 tentang „pendapat djaksa” atas pertanjaan apakah
suatu perkara harus diadjukan ke pengadilan atau­
kah tjukup diselesaikan diluar pengadilan.
Vide pasal 13 dan
pasal 18 ajat (1). mengenai penjerahan perkara oleh Komandan ke­
pada Djaksa Tentara setelah diputuskan untuk
mengadjukan perkara tersebut kepengadjlan.
Vide pasal 16 ajat
( 6 ). mengenai perintah Komandan kepada Djaksa
Tentara untuk menjerahkan suatu perkara jang
sedang diusut/diperiksa oleh pendjabat ini kepada
atasan jang berhak menghukum.
Vide pasal 18
ajat (2). mengenai pelaporan kepada Komandan oleh Djaksa
• Tentara bahwa suatu perkara sudah tjukup diperik­
sa.
Vide pasal 18
ajat (3). mengenai penjerahan perkara oleh Komandan ke­
pada pengadilan untuk pemeriksaan sidang, melalui
Djaksa Tentara.
Vide pasal 18
ajat (7). mengenai perintah Komandan agar suatu perkara
diusut/diperiksa oleh Djaksa Tentara.
Demikianlah inti sari sistim baru jang (djika dibandingkan dengan
396
sistim jang hingga kini berlaku) menggambarkan peralihan/penggeseran
kekuasaan/hak-hak/kewadjiban-kewadjiban/wewenang-wewenang dari
pihak Djaksa Tentara keatasan/Komandan/militer.
Selandjutnja perlu diperhatikan bahwa berhubung A.P. kita terdiri
dari 3 angkatan (jaitu A.D., A.L., dan A.U.) jang masing-masingnja me­
rupakan suatu kebulatan jang hierarckis, diadakan penegasan bahwa
jang memeriksa pada tingkat pertama perkara seorang militer ialah
atasan jang berhak menghukum jang membawahkan langsung tersangka
dalam Angkataimja sendiri. (Vide pasal 6 ajat (1). -
PASAL DEMI PASAL
PASAL L
Pasal 3. Hak atasan terhadap bawahan, jang diperlakukan sebagai tin­
dakan preventif. Sekedar mendjamin kedudukan seorang mi­
liter, maka wewenang untuk mendjatuhkan penahanan itu
hanja diberikan kepada para perwira.
Hubungan atasan-bawahan ialah sebagai jang dimaksud dalam
pasal 53 K.U.H.D.T.
Pasal 4. Hak tersebut menjadi suatu kewadjiban dalam hal atasan itu
berhadapan dengan bawahan jang ia mengetahui atau dengan
alasan jang tjukup dapat menjangka telah melakukan suatu
tindak pidana jang berat.
Perlu ditjatat bahwa penahanan menurut pasal 3 dan pasal
4 adalah penahanan sementara ’’justitieel” jang harus diper-
bedakan dari penahanan sementara ’’disiplinair” sebagai jang
dimaksud dalaip pasal 39 K.U.H.D.T. Untuk penahanan se­
mentara, ’’justitiiel” itu berlaku peraturan ini, sedang untuk
penahanan sementara ’’disiplinair” berlaku ketentuan-
ketentuan dalam K.U.H.D.T.
Pasal 5. Atasan jang berhak menghukum ialah sebagai jang dimaksud
dalam K.U.H.D.T. pada pasal-pasal 32 dan seterusnja. Ada­
pun wewenangnja, hak-hak dan kewadjibannja dalam lapang­
an hukum atjara pidana, ialah sebagai jang diatur dalam per­
aturan baru ini.
Pasal 6. Mendjamin bahwa perkara seorang militer diselesaikan dalam
ajat(l). angkatannja sendiri. Selandjutnja memberi kemungkinan
kepada atasan jang berhak menghukum untuk mengadakan
penahanan sementara untuk selama-lamanja 20 hari terhitung
mulai saat pendjatuhan penahanan menurut pasal 3 dan pasal
4.
397
Perpandjangan penahanan sementara semata-mata termasuk
wewenang Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan
jang ditundjuk menurut pasal 9 (Lihat djuga pasal 12).
ajat (2). Atasan jang berhak'menghukum dapat memerintahkan pe­
meriksaan suatu perkara kepada seorang perwira, seorang
bintara atau sebuah komisi jang terdiri dari perwira/bintara.
Demikian itu berhubung dengan kemungkinan bahwa atasan
jang berhak menghukum karena- sesuatu hal tidak dapat me­
meriksa sendiri perkara itu.
ajat (3). Atasan itu dapat djuga menjerahkan pengusutan/pemeriksa-
an perkara kepada Djaksa Tentara jang berhak djuga menje­
rahkan pengusutan/pemeriksaan perkara tersebut kepada
Angkatan.
Satu sama lain tidak mengurangi putusan Kepala Staf/Pang­
lima Angkatan atau Komandan jang ditundjuk menurut
pasal 9 jang menetapkan bahwa perkara jang bersangkutan
itu harus diperiksa oleh atasan jang berhak menghukum sen­
diri. 1
Perlu diperhatikan bahwa baik Polisi Angkatan maupun Djak­
sa Tentara tidak tjampur tangan dalam soal penahanan se­
mentara tersangka. lihat djuga pasal 16 ajat (5).
Mengenai perintah Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Ko­
mandan jang ditundjuk menurut pasal 9 agar suatu perkara
diusut/diperiksa oleh Djaksa Tentara, Lihat pasal 16 ajat 7.
Dalam peraturan ini maka dengan sebutan ’’Djaksa Tentara”
dimaksud Djaksa Tentara/Djaksa Tentara Pengganti (dalam
hal perkaranja djika diadili oleh pengadilan termasuk ke­
kuasaan Pengadilan Tentara), Djaksa Tentara Tinggi/Djaksa
Tentara Pengganti (dalam hal perkaranja djika diadili oleh
pengadilan termasuk kekuasaan Pengadilan Tentara Tinggi),
dan Djaksa Tentara Agung/Djaksa Pengganti pada Kedjaksa-
ari Tentara Agung (dalam perkaranja djika diadili oleh penga­
dilan termasuk kekuasaan Mahkamah Agung).
Pasal 7. Tjukup djelas.
Pasal 8. Idem.
Pasal 9. Komandan jang ditundjuk berdasarkan pasal ini mempunjai
wewenang/kekuasaan jang agak luas sekali, (vide pasal-pasal
6, 10 dan 12). Maka sementara ini wewenang tersebut ter­
batas pada para Komandan jang langsung dibawahkan Kepala
Staf/Panglima Angkatan dah berpangkat serendah-rendahnja
398
Major.
Pasal 10. Pendapat Djaksa Tentara ialah pendapatnja sebagai achli hu­
kum jang terutama menitik-beratkan kepada segi-segi juridis.
Dalam ajat (2) ditegaskan tentang pengiriman berkas antara
Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan jang ditun-
djuk menurut pasal 9 dan Djaksa Tentara; tak lain untuk me­
nekankan bahwa jang dimaksud ialah agar Pengiriman berkas
itu tidak melalui pendjabat (pendjabat-pendjabat) lain se-
pertinja atasan jang berhak menghukum.
Dengan demikian agar djangan membuang waktu jang tidak
perlu.
Pasal 11. Prosedur melalui Mahkamah Tentara Agung hanja berlaku
dalam satu hal sadja, jaitu : djika Kepala Staf/Panglima Ang­
katan atau Komandan jang ditundjuk menurut pasal 9 ber­
maksud untuk menjelesaikan suatu perkara diluar pengadilan,
sedangkan Djaksa Tentara tetap berpendapat bahwa untuk
kepentingan justisi perkara itu perlu diadjukan kepengadilan.
Putusan M.T.A. ialah atas surat-surat berkas jang bersangkut­
an.
Pasal 12. Mengenai penahanan sementara terhadap seorang tersangka
adalah sebagai berikut:
Seorang atasan jang berpapgkat perwira/bintara mendjatuh-
kan penahanan atas diri seorang tersangka. Hal ini segera di­
laporkan kepada ’’atasan jang berhak menghukum” jang
. dapat mengenakan penahanan sementara terhadap seorang
tersangka untuk waktu selama-lamanja 20 hari, terhitung
mulai saat penahanan oleh perwira/bintara atasan tersebut.
(Pasal 6).
Perpandjangan penahanan sementara hanja dapat diselengga­
rakan oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan
jang ditundjuk menurut pasal 9 tiap kali dengan 30 hari,
Djaksa Tentara dan Polisi Angkatan tidak tjampur tangan
dalam soal penahanan sementara. Djaksa Tentara hanja dapat
mengusulkan suatu penahanan sementara kepada atasan
jang berhak menghukum (pasal 16 ajat (5).
Pasal 13. Tjukup djelas.
Pasal 14. idem.
Pasal 15. idem.
Pasal 16. Tidak membutuhkan pendjelasan lebih landjut. Lihat pen-
djelasan umum.
399
Pasal 17. Lihat pendjelasan Umum.
Pasal 18. Lihat pendjelasan Umum.
PASAL II.
Tidak membutuhkart'pendjelasan.
PASAL III,
Tjukup djelas.
PASAL IV.
Dalam hal seorang Kepala Staf/Panglima Angkatan sendiri telah
melakukan tindak-pidana, sedang perbuatannja itu belum merupakan
alasan untuk mengambil tindakan pemberhentian sementara atau pe-
nonaktipan dari djabatan terhadap dia, maka tidak mungkin memperla­
kukan prosedur jang diatur dalam PASAL I, sementara ini ditetapkan
dalam Pasal IV bahwa bagi pendjabat tersebut tetap berlaku ketentuan-
ketentuan dalam Undang-undang No. 6 tahun 1950 menurut tekst
lama.
’’Demikian pula untuk hal tersangka/terdakwanja adalah seorang
sipil (dalam arti ’’bukan anggota tentara”) : suatu kemungkinan apabila
pada waktu pemeriksaan pendahuluan (jaitu pemeriksaan sebelum pe­
meriksaan oleh sidang pengadilan) tersangka/terdakwanja sudah tidak
lagi mendjadi anggota tentara atau apabila diperlakukan ketentuan
dalam pasal 3 ajat 1 sub d Undang-undang No. 5 tahun 1950 ataupun
diperlakukan pengetjualian termaksud dalam bagian kalimat terachir
daripada pasal 4 Undartg-undang No. 5 tahun 1950 tersebut”.
PASAL V.
Ketentuan ini diperlakukan agar Pemerintah dapat mengadakan
persiapan-persiapan seperlunja guna melaksanakan peraturan ini.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA No. 1493.

400
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa Negaia Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasar­
kan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan
tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin per­
samaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang
mampu memberikan pengayoman^kepada masyarakat;
c. bahwa salah satu upaya untpk menegakkan keadilan, kebenaran, keter­
tiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang.Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara penga­
dilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini masih beraneka
karena didasarkan pada :
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura ( Staatsblad
Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937
Nomor 116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur ( Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan 639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1975 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkaraah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura
( Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99 ).
perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur
Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan .tata hukum nasional ber­
dasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
401
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan untuk melaksana­
kan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapka^ undang-undang
yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar 1945’;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman ( Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951 );
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
( Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di-
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan
Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita
Pengganti pada Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam Undang-undang ini.
402
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
(2) ' Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi.

Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupatea
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi.

Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal: 5
(1) Pembinaan teknis peradilan Jjagi pengadilan dilakukan oleh Mahkamah.
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh
Menteri Agama.
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakimi dalam memeriksa dan memutus per­
kara.
BAB n
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari:
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tingi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
403
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.

Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.

Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita

Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal 11
(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas
Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri
dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus-
perkara.
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;

404
c. bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat
, langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi
G. 30. S/PKI”, atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 ( dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adi, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 ( sepuluh ) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Agama.

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf-
a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empatpuluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun sebagai Ketua atau
Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 ( lima belas ) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 ( sepuluh ) tahun sebagai Hakim Penga­
dilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama di­
perlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 ( delapan) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) tahun bagi
Hakim Pengadilan Tingi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan
Agama.

Pasal 15
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. L

405
Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib
mengucapkan sumpah menuiut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut:
’’Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa­
pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa1-
pun juga”.
’’Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia”.
’’Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan
yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Pengadilan Agama.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan
Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah
Agung.

Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak
boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasehat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

406
Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatan­
nya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
- c. telah berumur 60 ( enam puluh ) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim Pengadilan Agama, dan 63 ( enam puluh tiga ) tahun bagi Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
Pasal 19
(1) Ketua Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan­
nya;
d. melanggar sumpah jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagai­
mana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e dilakukan
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-
sama dengan Menteri Agama.

Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri

Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

407
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 19 ayat ( 2).

Pasal 22’
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan semen­
tara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut dimuka Pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pem­
berhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak
pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perin­
tah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama, kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.

Paragraf 2
Panitera
Pasal 26
(1) Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang
Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa
• orang Panitera Pengganti.

Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia:
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 ( empat ) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 7 ( tujuh ) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama, atau
menjabat Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 28
J -&

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 ( empat) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 8 ( delapan ) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama,
atau 4 ( empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 ( empat ) tahun sebagai Panitera
Muda atau 6 ( enam ) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.

409
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 ( empat ) tahun sebagai Panitera
Muda atau 7 ( tujuh ) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama, atau 4 ( empat ) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama,
atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) tahun sebagai Panitera Peng­
ganti Pengadilan Agama.

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 ( tiga ) tahun sebagai Panitera Peng­
ganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 ( empat ) tahun sebagai Panitera
Muda atau 8 ( delapan ) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang,
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Agama.

Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
41G
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama atau 10 ( sepuluh ) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang ber­
kaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.

Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Penga­
dilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
’’Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapa, pun juga suatu janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia”.
’’Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

411
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun sebagai Juru
Sita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 ( lima ) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul Ketua
Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
Agama.

Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diambil sum­
pahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut :
’’Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
’’Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan irji, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang
Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
Negara Republik Indonesia”.
’’Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Penganti yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 4 2
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang ber­
kaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan sebagai­
mana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Ketiga,
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.

Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia; ,
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidangadministrasi peradilan.
413
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c, d,
dan f;
b. berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

Pasal 48
Sebelum memangku jabatan Wakil Sekretaris diambil sumpahnya menurut agama
Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
’’Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat se­
penuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan
Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah,
dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan
negara dari pada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara”.
BAB UI
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai per­
kawinan yang berlaku.
(3) ■ Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
- peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus menge­
nai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Penga­
dilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwewenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dari berwenang mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar - Pengadilan
Agama di daerah hukumnya.
■ Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat ten­
tang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49
dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau
berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalan­
nya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.'
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan
peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, dalam pemeriksaan
dan memutus perkara.
415
BAB IV
M jkum ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu per­
mohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut
ketentuan yang berlaku.

Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai
Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA.
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAH-
MANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 5 8
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup.
(2) ' Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta petetapan atau putusannya
batal menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
)

Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh
pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua dan
Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu
penetapan dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera
yang bersidang.

Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.

Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,
pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan
penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada
perlawanan, banding, atau kasasi
417
Bagian Kedua *
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Paragraf 1
Umu m
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Paragraf 2
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya m enu­
jukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat ke­
diaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama 'Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat :
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan termohon,
yaitu istri;
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak lelah dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh ) hari setelah berkas atau surat per­
mohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai telah dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 79,
Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin
lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan me­
netapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami
dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu
akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak
yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya
dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 ( enam ) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak
mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau
patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ikwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat di­
mintakan banding atau kasasi.

Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku keten­
tuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta
Pasal 85.
419
Paragraf 3
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat ke­
diaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat
pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan
diri kepada dokter.

Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk men­
dapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-
masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.

Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas- permohonan penggugat, Penga­
dilan dapat:
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidi­
kan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang men­
jadi hak suami atau barang-barang yang menjadi liak isUi.

Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya
putusan pengadilan.

Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 ( tiga puluh ) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian
didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung
sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi,
kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan
tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat
pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.

421
Pasal 83
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum per­
damaian tercapai.
Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa
bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai
salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada
Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan
perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan
mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai
kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan
kepada para pihak.

Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84,
menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan
yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama
suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam ling­
kungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
tentang hal itu.
422
Paragraf 4
iGerai Dengan Alasan Zirfe
Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak
melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan
Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pem­
buktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi
diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau
tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau
penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) di­
lakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan
caralain.
(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) di­
lakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara
yang berlaku.

Bagian Ketiga;
Biaya Perkara
Pasal 89
(1) Biaya Perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan
penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir.

Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan
sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan
tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam perkara
itu;
423
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan
yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan
Mahkamah Agung.

Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus
dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu,
harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain
yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis
Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut kepenting­
an umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.

Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan menga­
tur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas mem­
bantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Pasal 98
Panitera ber tugasmelaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.

Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), tiap
perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan
atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain yang
disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh
dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan
berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau
putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas;
. a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. memuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan.
425
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas J b Sita diatur oleh
Mahkamah Agung.

Pasal 105
(1) Sekretaris , Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Sekretariat
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang in i:
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan
Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama
dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-
undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.

BAB vn
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura ( Staatsblad
Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan
Nomor 610);
( b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur ( Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan Nomor 639 );
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura
( Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99 ), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 ),
dinyatakan tidak berlaku.

426
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen
Indonesia yang diperbaharui ( P.IB ), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44,
mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasar­
kan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.

1 Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S OE H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
MENTERI / SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOE R D I ON O

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1989 NOMOR 49

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

Bambang Kesowo, S.H. , LL.M.


427
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
I. UM UM

1. Dalam Negara Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam
sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam
usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tenteram, dan tertib seperti
yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan
dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup
kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah satunya
adalah Badan Peradilan Agama.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan Peradilan Agama
sebelum Undang-undang ini adalah :
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura ( Staatsblad 1882 Nomor
152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610 );
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur ( Staatsblad 1937 Nomor 638 dan
Nomor 639 );
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura ( Lembaran Negara Tahun
1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama tersebut mengakibatkan beragamnya pula
susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan Agama. Dalam rangka penerapan
Wawasan Nusantara di bidang hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka keragaman tersebut perlu segera
diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam
kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945.
428
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana
yang diamanatkan oleh.. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diperlukan adanya
perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala peraturan perundang-undangan
yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut di atas dan menyesuaikannya dengan
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
merupakan induk dan kerangka umum serta merupakan asas dan pedoman bagi semua
lingkungan'Peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur Susunan, Kekuasaan, dan Hukum
Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama ini merupakan pelaksanaan keten­
tuan-ketentuan dan asas yang. tercantum dalam Undang-undang tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ( Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Undang-undang ini
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak
pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, kedudukan para
Hakim, dan segi-segi administrasi lain pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ( Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelak­
sanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan
berdasarkan hukum Islam.
. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbang­
kan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, maka oleh Undang-undang ini ke-
wenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan
Selatan dan Timur mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937, di­
kembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama di daerah-daerah
yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding terhadap perkara-
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan tingkat per­
tama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antara-Pengadilan Agama di daerah
hukumnya.
3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan oleh
Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang besar terhadap tata cara dan pengelolaan
administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek
ketertiban dalam menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun ke-
429
pegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi juga akan mem­
pengaruhi kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, penyeleng­
garaan administrasi Peradilan dalam Undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya
dan dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggungjawaban
tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai Sekre­
taris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang
bersifat teknis peradilan (yustisial). Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh
seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi'umum seperti administrasi kepegawaian
dan sebagainya. Dalam pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan perhatian terhadap tugas dan
fungsinya membantu Hakim dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi
yang lain dapat dilaksanakan oleh staf Sekretariat.
4. Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan. Oleh karena
itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian serta tata cara pengangkatan
dan pemberhentiannya diatur dalam Undang-undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman bebas dalam memberikan
keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik Pengadilan maupun Hakim dalam me­
laksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakkan hukum dan keadilan itu dapat dilaksanakan oleh Pengadilan, maka
dalam Undang-undang ini dicantumkan persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh
seorang Hakim, seperti bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil,
dan berkelakuan tidak tercela.
Untuk memperoleh hal tersebut di atas maka dalam setiap pengangkatan, pember­
hentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan atau hukuman administrasi terhadap
Hakim Pengadilan Agama perlu adanya kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara
Mahkamah Agung dan Departemen Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril maupun materiil, maka
perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para
pejabat peradilan, khususnya para Hakim; demikian pula mengenai kepangkatan dan
gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta Pengadilan, maka
perlu juga dijaga mutu ( keahlian ) para Hakim dengan diadakannya syarat-syarat
tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam Undang-undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim untuk merangkap jabatan
penasehat hukum, pelaksana putusan pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan
yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-larangan seperti tersebut di atas.
Agar Peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi Agama diberi
tugas pengawasan terhadap Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan
meningkatkan koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah hukum suatu Pengadilan
Tinggi Agama, yang pasti akan bermanfaat dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan,
430
karena Pengadilan Tinggi Agama dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberi­
kan teguran, peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan Hakim
secara langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, dan
dengan biaya ringan akan terjamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras, bahwa Hakim melakukan
perbuatantercela, melakukan kejahatan dan kelalaian yang terus menerus dalam men­
jalankan tugas pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan
hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela diri.
Hal: itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang ini, mengingat luhur dan
mulianya tugas Hakim, sedangkan dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya
tetap berlaku aucarnan-ancainan terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil ( Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50).
5. Undangundang ini selain mengatur susunan dan kekuasaan juga mengatur Hukum
Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan penataan susunan organisasi­
nya dan penegasan kekuasaannya, namun apabila alat untuk dapat menegakkan dan
mempertahankan kekuasaannya itu belum jelas, maka lembaga peradilan tersebut tidak
akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu maka penga­
turan Hukum Acara Peradilan Agama itu sangat penting dan karenanya pula maka
sekaligus diatur dalam Undang-undang ini
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih terdapat dalam berbagai peraturan
dan surat edaran, baik dalam Staatsblad, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah
Agung dan Departemen Agama maupun dalam Undang-undang Perkawinan dan segala
peraturan pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 14
: Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum,
setiap keputusan dimulai dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan
dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-undang ini lebih ditegaskan dan
dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus dengan kewenangan mengadili
perkara-perkara tertentu dan untuk golongan rakyat tertentu sebagaimana yang di­
tegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
yaitu mengenai perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam, maka
hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh Undang-undang ini dinyatakan ber­
laku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, kecuali mengenai hal-hal
yang secara khusus diatur oleh Undang-undang ini.
6. Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang di­
jamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai
golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan
yang lain. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama
431
oleh Undang-undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Negeri. Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama
oleh Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat melak­
sanakan keputusannya sendiri, dan tugas-tugas, kepaniteraan dan kesekretariatan tidak
terganggu oleh tugas-tugas kejurusitaan.
7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan merupakan sengketa keluarga
yang memerlukan penartganan secara khusus sesuai dengan amanat Undang-undang
Perkawinan. Oleh karena itu, maka dalam Undang-undang ini diatur secara khusus
hal-hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan tersebut dan sekaligus untuk
meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa perkawinan yang sampai saat diundang­
kannya Undang-undang ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.
Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umum­
nya dan pihak istri pada khususnya, namun dalam hal gugatan perceraian yang diajukan
oleh istri, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa gugatan
harus diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman ter­
gugat sesuai dengan prinsip hukum acara perdata umum.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini di­
adakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat tetapi ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat ke­
diaman penggugat.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di-
ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
432
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat 3 .
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama berdasarkan per­
setujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal -8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena itu, Menteri Agama
wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Hakim dalam rangka men­
capai daya guna dan hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.

433
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

434.
Pasal 18
Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan sendiri, mencakup pengertian
pengunduran diri dengan alasan Hakim yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan
hukum dalam lingkungan rumah tangganya sendiri. Pada hakikatnya situasi, kondisi,
suasana, dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim Pengadilan merupakan
salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu meningkatkan
citra dan wibawa seorang Hakim itu sendiri.
Yang dimaksud dengan ’’Sakit jasmani atau rohani terus menerus” ialah yang
menyebabkan sipenderita ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya
dengan baik.
Yang dimaksud ’’tidak cakap” ialah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan
kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) .•
Yang dimaksud dengan ’’dipidana” ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 3 ( tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan ’’melakukan perbuatan tercela” ialah apabila Hakim yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun
di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan ’’tugas pekerjaan” ialah semua tugas yang dibebankan
kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena
melakukan tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya
itu kurang dari 3 ( tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai pegawai negeri
sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Hakim bukan
jabatan dalam eksekutif. Oleh sebab itu, pemberhentiannya harus tidak sama dengan
pegawai negeri yang lain.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
435
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengadilan 'dalam perkara pidana adalah Pengadilan Negeri
dan/atau Pengadilan Militer.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal yang antara lain menyangkut
kesejahteraan seperti rumah dinas, dan kendaraan dinas.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d pasal ini, yaitu setia kepada Panca­
sila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini
Yang dimaksud dengan ’’sarjana muda syari’ah atau sarjana muda hukum” termasuk
mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukun sederajat dengan sarjana muda
syari’ah atau sarjana muda hukum, dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Masa, pengalaman disesuaikan dengan eselon, pangkat, dan syarat-syarat lain yang ber­
kaitan.
Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi Agama ke Pengadilan Agama atau sebaliknya di­
mungkinkan dalam eselon yang sama.
Pasal 28
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
436
Pasal 29
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 30
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 31
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam bulir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 32
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 33
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 34
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan Penjelasan
Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 35
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud c&lam ayat (1), (2), dan (3) berlaku juga bagi
Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pasal 36
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d ayat ini, yaitu setia kepada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hams diartikan mencakup juga syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini.
Ayat (2)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan penjelasan
ayat (1).

437
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) berlaku juga bagi
Juru Sita Pengganti.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d Pasal ini, yaitu setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat sebagai­
mana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang ini.
Pasal 46
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf d sama dengan penjelasan
Pasal 45.
Pasal 47
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadilan dapat juga dilakukan
berdasarkan usul Ketua Pengadilan.
Pasal 48
Cukup jelas
Pas^l 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah :
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan pernikahan bagi orang yang belum berusia 21 ( dua puluh
satu ) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;

438
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat 'Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. mengenai penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan, dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan se­
orang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
( delapan belas ) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. pembentukan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada.di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan per­
kawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghenti­
kan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa
itu.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

439
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam dikecuali-
kan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa
di Pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud ”oleH Undang-undang” adalah ditetapkan atau diatur dalam undang-
undang tersendiri, sedangkan yang dimaksud "berdasarkan undang-undang” adalah
ditetapkan atau diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’seksama dan sewajarnya” ialah antara lain bahwa pe­
nyelenggaraan peradilan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970, yaitu yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan dan putusan dalam ayat ini adalah penetapan
dan putusan Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
440
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Alasan-alasan penting yang dijadikan dasar oleh Hakim untuk memerintahkan peme­
riksaan sidang tertutup harus dicatat dalam Berita Acara Sidang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara permo­
honan, sedangkan putusan adalah keputusari Pengadilan atas perkara gugatan berdasar­
kan adanya suatu sengketa.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66'
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

441
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), maka
untuk melindungi pihak istri gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Ayat (2)
Cukup jelas

442
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri.
Ayat (2)
Hakim ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak
keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan ter­
hadap syiqaq.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas *
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

443
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 85
Atas kelalaiannya itu, Panitera dan Pejabat Pengadilan yang ditunjuk dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 86
Ayat (1)
Hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

444
Pasal 90
Ayat (1) '
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
' Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum
adalah Ketua Pengadilan.
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Berdasarkan catatan Panitera, disusun berita acara persidangan.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas

445
Ayat (2)
.Yang dimaksud dengan ’’dibawa keluar” meliputi segala bentuk dan cara apa pun
juga yang memindahkan isi daftar catatan, risalah, agar tidak jatuh ketangan pihak
yang tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3400

446
LEMBARAN-NEGARA
REPUBLIK I N D O N ESIA
No. 70, 1965. DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN
MAHKAMAH AGUNG, pengadilan. Undang-undang
No. 13 tahun 1965, tentang Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. (Penjelasan
dalam Tambahan Lembaran-Negara No. 2767).

Presiden Republik Indonesia,


Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke­
kuasaan Kehakiman (Undang-undang No. 19 tahun 1964, Lembar­
an-Negara tahun 1964 No. 107)j?erlu ditetapkan Undang-undang
tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mah­
kamah Agung;
Mengingat':
1. Pasal 5 ayat' l dan 20 Undang-undang Dasar;
2. Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;
3. Undang-undang No. 10 _Prp tahun 1960 (Lembaran-Negara
tahun i960 No. 31);
4. Keputusan Presiden No. 193 tahun 1965;
5. Keputusan Presiden No. 194 tahun 1965;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Ro-
yong;
Memutuskan:
Menetapkan:
Undang-undang tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung.
1. P.engadiJan Negeri,

447
BAB I.
KETUA UMUM.
Pasal 1.
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum di­
laksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri,
2. Pengadilan Tinggi,
3. Mahkamah agung.
Pasal 2.
Badan peradilan umum yang tersebut dalam pasal 1, mengadili
baik perkara pidana maupun perkara perdata.
Pasal 3.
(1) Hakim adalah:
a. seorang Saijana Hukum,
b. seroang Ahli Hukum'bukan Saijana Hukum seperti termaksud
dalam sub a, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman atau Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung
menurut ketentuan yang berlaku.
(2) Menteri Kehakiman mengusahakan supaya hakim-hakim
yang bukan Saijana Hukum diberi kesempatan untuk dalam waktu
tertentu memperoleh gelar Saijana Hukum.
Pasal 4.
(1) Sebelum melakukan jabatannya, Hakim, Panitera, Panitera-
pengganti dan Jurusita pada peradilan umum mengucapkan
sumpah menurut cara agamanya yang dipeluknya atau janji.
(2) Ketua, Wakil-ketua dan Ketua-muda Mahkamah Agung
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Presiden.
(3) Hakim Mahkamah Agung, Kepala Pengadilan Tinggi, Pa­
nitera dan Panitera-pengganti Mahkamah Agung mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(4) Hakim Pengadilan Tinggi dan Kepala Pengadilan Negeri
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Kepala Pengadilan
Tinggi.
(5) Hakim, Panitera, Panitera-pengganti dan Jurusita pada
Pengadilan Negeri mengucapkan sumpah atau janji di hadapan
Kepala Pengadilan Negeri.

448
Pasal 5.
(1) Kepada Ketua, Wakil-ketua, para Ketua-muda, Hakim-
hakim dan Panitera Mahkamah Agung, Kepala, Wakil-kepala
dan Hakim-hakim Pengadilan Tinggi, Kepala, Wakil:kepala dan
Hakim-hakim Pengadilan Negeri diberi tunjangan kehormatan dan
tunjangan representasi di samping gaji, tunjangan-tunjangan dan
keuntungan-keuntungan lainnya sebagai' pegawai negeri menurut
pangkat dan golongan masing-masing.
(2) Kepada Ketua, Wakil-ketua, Ketua-muda, Hakim dan
Panitera Mahkamah Agung, Kepala; Wakil-kepala dan Hakim
Pengadilan Tinggi, Kepala dan Wakil-kepala Pengadilan Negeri
diberi rumah dinas dan kendaraan dinas.
(3) Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat
(1) dan (2) ditetapkan oleh Menteri Kehakiman dengan persetuju­
an Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan.
Pasal 6.
(1) Hakim sebagai alat revolusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan
diri dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi
Hukum sebagai Pengayoman.
(2) Politik yang wajib diikuti dan diamalkan oleh Hakim ada­
lah politik Pemerintah yang berdasar Pancasila, Manipol/Usdek
dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.
Pasdl 7.
(1) Hakim tidak dapat merangkap jabatan-jabatan:
a. penasehat hukum,
b. pelaksana putusan pengadilan,
c. wali dan pengampu, setidak-tidaknya tiap-tiap jabatan yang
bersangkut-paut dengan sesuatu perkara yang dalam atau sedang
diadili olehnya atau oleh pengadilan di mana ia menjabat se­
bagai hakim.
(2) Hakim tidak diperbolehkan berusaha.
pasal 8.
(1) Hakim yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga dengan jaksa, panitera, panitera-
pengganti atau penasehat-hukum tidak boleh bersidang bersama-
sama dengan pejabat-pejabat tersebut, kecuali atas izin dari Men­
teri Kehakimanrdan bagi Jaksa atas izin dari Jaksa Agung.
(2) Pejabat-pejabat yang menimbulkan periparan tersebut
dalam ayat (1) wajib dengan sukarela mengundurkan diri dari
sidang pemeriksaan perkara itu.
449
Pasal 9.
(1) Terhadap seorang Hakim yang bersidang dapat diajukan
keberatan-keberatan oleh tertuduh/tergugat/penggugat.
(2) Keberatan-keberatan itu hanya dapat diajukan, apabila
tertuduh/tergugat/penggugat mempunyai bukti-bukti bahwa
Hakim yang mengadili itu mempunyai kepentingan pribadi di
dalam perkaranya itu atau mempunyai hubungan keluarga ter­
maksud dalam pasal 8.
(3) Keberatan-keberatan itu disertai alasan-alasan dan bukti-
bukti diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk
diputus.
(4) Keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut
dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan,
yang selamat-lambatnya dalam waktu tiga bulan memberi putusan.
Pasal 10.
Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya karenaf
a. temyata tidak cakap;
b. sakit rokhani atau jasmani yang terus-menerus sehingga temyata
tidak sanggup lagi melakukan kewajibannya dengan baik;
c. permintaan sendiri;
d. telah berumur 58 tahun.
Pasal 11.
(1) Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi hanya
dapat dipecat dari jabatannya apabila:
a. terdapat petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan
yang keras bahwa ia melakukan perbuatan yang bersifat kontra
revolusioner;
b. ia dijatuhi pidana karena bersalah melakukan kejahatan;
c. ia melakukan rangkapan jabatan seperti tersebut dalam pasal 7;
d. ia melakukan perbuatan yang tercela;
e. ia terus-menerus melalaikan pelaksanaan kewajibannya dalam
menjalankan pekerjaannya;
f. ia memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak
kepada yang berkepentingan dalam perkara yang sedang di­
periksa atau dikirakan akan diperiksa.

(2) Pemecatan tersebut dalam ayat (1) dilakukan atas usul


dan pertimbangan dari Mahkamah Agung setelah yang bersangkut­
an diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri.
450
Pasal 12.
(1) Apabila terhadap Hakim Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi diadakan perintah penahanan atau diperintahkan untuk
dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, maka ia diberhentikan se­
mentara dari jabatannya
(2) Apabila Hakim yang tersebut dalam ayat (1) tersangkut
dalam suatu perkara dengan tidak dikenakan tahanan atau setelah
diadakan penyelidikan secara administratif timbul hal-hal ter­
hadapnya yang tidak membenarkan pelanjutan tugasnya sebagai
Hakim ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh
Menteri Kehakimarnseteiah mendapat pertimbangan dari Ketua
Mahkamah Agung.
(3) Apabila hal tersebut dalam ayat (2) mengenai Hakim Mah­
kamah Agung, maka pemberhentian sementara dilakukan oleh
Presiden atas pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman.
(4) Pemberhentian untuk sementara itu hanya dapat dicabut
oleh Menteri Kehakiman bagi para Hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi dan oleh Presiden bagi Hakim Mahkamah
Agung, setelah mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Kehakiman.
PasM 13.
(1) Ketua sidang menjaga-ketertiban dalam sidang dan mem­
berikan pimpinan dalam rapat musyawarah.
(2) Putusan diucapkan oleh Ketua sidang.
Pasal 14.
Kepala Pengadilan menetapkan urutan dari perkara yang harus
diadili dan apabila ada perkara yang harus segera diadili, khusus­
nya perkara pidana, maka perkara itu didahulukan agar supaya
tiap-tiap pencari keadilan lekas mendapat keadilan.
Pasal 15.
Kepala Pengadilan mengadakan pengawasan dan penelitian atas
pekerjaan dari para Panitera dan Panitera-pengganti.
Pasal 16.
Semua surat-surat atau berkas-berkas yang, ditujukan kepada
pengadilan, disampaikan kepada Kepala Pengadilan yang membagi-
baginya kepada para Hakim untuk diselesaikan.

451
Pasal 17.
Jaksa/penggugat, teisangkut/tergugat dan penasehat hukum
dapat mempelajari berkas-berkas perkara yang terdapat di dalam
kepaniteraan dan membuat kutipan-kutipan seperlunya dalam
waktu yang ditentukan oleh Kepala Pengadilan.
Pasal 18.
(1) Pegawai pengadilan wajib merahasiakan segala sesuatu
tentang ucapan-ucapan dan pendapat-pendapat para peserta yang
dikemukakan dalam permusyawartan mengenai perkara yang
diperiksa.
(2) Ketentuan ini juga berlaku bagi semua orang yang diminta
pertimbangannya dalam rapat permusyawaratan.
Pasal 19.
Surat-surat dinas yang dikeluarkan oleh sidang, berita-acara,
petikan dan laporan harus ditanda tangani oleh Ketua sidang,
Hakim anggota atau oleh Panitera atas perintah Ketua sidang.
Pasal 20.
Selain dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang tak
seorang Hakimpun diperkenankan membebaskan diri dengan
sukarela atau dikecualikan dari memeriksa suatu perkara.
•Pasal 21.
(1) Sidang memusyawarahkan segala hal-ikhwal tentang per­
kara yang sedang diadili, terutama tentang segala persoalan-
persoalan hukuman dan berat-ringannya pidana.
(2) Musyawarah dalam suatu perkara dihadiri oleh Ketua
sidang dan Hakim anggota.
Pasal 22.
(1) Dalam permusyawaratan. Ketua sidang mengajukan per­
tanyaan keliling mulai dari Hakim yang termuda sampai yang
tertua
Ketua sidang mengutarakan pendapatnya yang terakhir dengan
disertai alasan-alasannya.
(2) Dengan berlandaskan pendapat-pendapat dalam per­
musyawaratan itu serta dengan mengindahkan keyakinan dan
perasaan hukum untuk mewujudkan terlaksananya fungsi Hukum
sebagai Pengayoman dengan penuh tanggung-jawab kepada Negara
dan Revolusi, sidang musyawarah mengambil putusan.

452
Pasal 23. »
(1) Dalam hal-hal di mana Presiden melakukan tuam tangan,
sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang
dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang
terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan
melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan
putusan.
(2) Dalam hal-hal di mana Presiden menyatakan keinginannya
untuk melakukan campur-tangan menurut ketentuan-ketentuan
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, sidang menghenti­
kan untuk sementara pemeriksaan dan mengadakan musyawarah
dengan Jaksa.
(3) Musyawarah termaksud dalam ayat (2) tertuju untuk me­
laksanakan keinginan Presiden.
(4) Keinginan Presiden dan hasil musyawarah diumumkan
dalam sidang terbuka setelah sidang dibuka kembali.
Pasal 24.
(1) Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap, Hakim wajib mengawasi kesempurnaan dari pelaksana­
an putusan itu.
(2) Untuk melaksanakan pengawasan tersebut dalam ayat (1)
Hakim berwenang untuk memasuki segala tempat yang digunakan
untuk pelaksanaan putusan pengadilan.
BAB II.
TENTANG PENGADILAN NEGERI.
Pasal 25.
Pengadilan Negeri dibentuk oleh Menteri Kehakiman dengan
persetujuan Mahkamah Agung. Daerah Hukum Pengadilan Negeri
pada azasnya meliputi satu Daerah Tingkat II.
Pasal 26.
Pada Pengadilan Negeri ada seorang Kepala, seorang Wakil-
Kepala dan beberapa orang Hakim dibantu oleh seorang Panitera
dan beberapa orang Panitera-pengganti.
Pasal 27.
Pembagian tugas antara Hakim-hakim diatur oleh Kepala Pe­
ngadilan Negeri.
Pasal 28.
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Negeri
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
453
a Warga Negara Indonesia;
b. Beijiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah me­
musuhi Revolusi Indonesia;
c. Beijiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala
pedoman pelaksanaannya;
d. Saijana Hukum;
e- Ahli-Hukum bukan Saijana Hukum;
/ Berumur serendah-rendahnya 25 tahun. •

(2) Untuk dapat diangkat sebagai Panitera/Panitera-pengganti


harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a- Warga Negara Indonesia;
b. Beijiwa Proklamasi .17 Agustus 1945 dan tidak pernah me­
musuhi Revolusi Indonesia;
c. Beijiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala
pedoman pelaksanaannya;
d. Serendah-rendahnya mempunyai Ijazah Sekolah Lanjutan Atas
atau mempunyai pengetahuan yang sederajat dengan itu;
e. Berumur serendah-rendahnya 21 tahun.
Pasal 29.
(1) Untuk sahnya sesuatu sidang diperlukan hadirnya tiga
orang Hakim.
(2) DaJam perkara pidana wajib pula hadir seorang Jaksa.
(3) Untuk acara kilat Pengadilan Negeri bersidang dengan
seorang Hakim, sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Pasal 30.
(1) Dalam hal terdapat kekurangan Hakim di daerah yang ter­
pencil, Menteri Kehakiman mengajukan usul kepada Menteri
yang bersangkutan untuk dapat mengangkat beberapa pejabat
dalam lingkungan wewenangnya menjadi Hakim.
(2) Hakim tersebut dalam ayat (1) harus di-non-aktifkan dari
pekeijaannya yang semula, setelah ia diangkat sebagai Hakim.
(3) Hakim tersebut di atas diangkat untuk waktu selama-
lamanya tiga tahun.
Pasal 31.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan peninjauan kem­
bali kepada Mahkamah Agung sesuai dengar, iketentuan yang
diatur dengan Undang-undang. s
Pasal 32.
Kepala Pengadilan Negeri mengawasi" pekeijaan notaris di
dalam daerah hukumnya.
454
BAB III.
TENTANG PENGADILAN TINGGI.
Pasal 33.
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan Undang-undang. Daerah
hukum Pengadilan Tinggi pada azasnya meliputi satu Daerah
Tingkat I.
Pasal 34.
Pada Pengadilan Tinggi ada seorang Kepala, seorang Wakil-
kepala dan beberapa orang Hakim dibantu oleh seorang Panitera
dan beberapa orang Panitera-pengganti.
Pasal 35.
Pembagian tugas antara Hakim-hakim Pengadilan Tinggi diatur
oleh Kepala Pengadilan Tinggi.
Pasal 36.
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim dan panitera Pe­
ngadilan Tinggi harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pemah me­
musuhi Revolusi Indonesia; '
c. Berjiwa dan mengamalkan .Pancasila dan Manipol serta segala
pedoman pelaksanaannya;
d. Sarjana Hukum;
e. Ahli Hukum bukan Sarjana Hukum;
f. Berumur serendah-rendahnya 30 tahun;
g. Berpengalaman sedikit-dikitnya 5 tahun dalam bidang Hukum.
(2) Untuk pengangkatan Panitera-pengganti Pengadilan Tinggi
syarat dalam ayat (1) huruf d dan e diganti dengan syarat se­
rendah-rendahnya mempunyai ijazah Sekolah Lanjutan Atas atau
mempunyai pengetahuan yang sederajat dengan itu.
Pasal 37.
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding untuk semua
perkara pidana dan perdata.
Pasal 38.
Pengadilan Tinggi memutus dalam tingkat pertama dan terakhir
sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam
daerah hukumnya.
45 5
Pasal 39.
(1) Pengadilan Tinggi memberi pimpinan kepada Pengadilan-
pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan terhadap jalan­
nya di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya peradilan itu
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Perbuatan Hakim Pengadilan Tinggi di dalam daerah hu­
kumnya diawasi dengan teliti oleh Pengadilan Tinggi.
(4) Untuk kepentingan Negara dan Keadilan, Pengadilan Ting­
gi dapat memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang di­
pandang perlu kepada pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya.
(5) Pengadilan Tinggi berwenang untuk memerintahkan pe­
ngiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk diteliti dan
memberi penilaian tentang kecakapan dan kerajinan para hakim.
BAB VI-
TENTANG MAHKAMAH AGUNG.
§ 1-
TENTANG TEMPAT KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
MAHKAMAH AGUNG.
Pasal 40.
Mahkamah Agung berkedudukan di Ibu Kota Republik Indone­
sia atau di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 41.
(1) Mahkamah Agung terdiri atas seorang Ketua, seorang
Wakil-ketua, beberapa orang Ketua-muda dan beberapa Hakim
anggota, dib’antu oleh seorang Panitera dan beberapa orang Pa-
nitera-pengganti.
(2) a. Pada Mahkamah Agung diadakan bidang-bidang peradil­
an Umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara yang
masing-masing meliputi satu lingkungan peradilan.
b. Tiap-tiap bidang dipimpin oleh seorang Ketua-muda
dibantu oleh beberapa Hakim anggota.
(3) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat-pejabat tersebut
dalam ayat (1) harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pemah me­
musuhi Revolusi Indonesia;
c. Berjiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala
pedoman pelaksanaannya;
d. Sarjana Hukum;
e- Ahli Hukum-bukan Sarjana Hukum;
/ Berumur serendah-rendahnya 35 tahun;
456
S• Berpengalaman sedikit-dikitnya 10 tahun dalam bidang hukum.
Pasal 42.
Pembagian tugas antara Hakim-hakim Mahkamah Agung diatur
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 43.
(1) Hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong melalui Ketua Mah­
kamah Agung dan Menteri Kehakiman.
(2) Hakim Mahkamah Agung diberhentikan oleh Presiden
dengan hormat dari jabatannya, karena:
a. ternyata tidak cakap;
b. sakit rokhani atau jasmani yang terus menerus sehingga ternyata
tidak sanggup lagi melakukan kewajibannya dengan baik;
c. permintaan sendiri;
d. telah berumur 60 tahun.
Pasal 44.-
(1) Hakim Mahkamah Agung dapat dipecat dari jabatannya
oleh Presiden karena alasan-alasan termaksud dalam pasal 11
huruf a sampai dengan f.
(2) Pemecatan ini dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Mah­
kamah Agung.
Pasal 45.
(1) Hakim Mahkamah Agung hanya dapat ditangkap, ditahan,
dituntut, digeledah dan disita barangnya atas perintah Jaksa Agung
setelah mendapat persetujuan dari Presiden.
(2) Apabila terhadap hakim Mahkamah Agung ada perintah
untuk ditangkap atau untuk ditempatkan dalam rumah sakit jiwa
maka dengan sendirinya ia diberhentikan dari jabatannya untuk
sementara waktu oleh Menteri Kehakiman.
(3) Apabila ia dituntut di muka pengadilan dalam perkara
pidana tanpa ditangkap, atau apabila ada hal-hal yang mungkin
berakibat pemberhentian dari jabatannya, ia dapat diberhentikan
untuk sementara waktu oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 46.
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan se­
kurang-kurangnya tiga orang Hakim dengan dibantu oleh seorang
Panitera atau seorang Panitera-pengganti.
(2) Dalam mengadili sebagai pengadilan tertinggi dari masing- .
masing lingkungan peradilan, maka sidang Mahkamah Agung pada
457
umumnya diketuai oleh Ketua-muda yang memimpin sidang
lingkungan peradilan yang bersangkutan. Apabila sidang diketuai
oleh Ketua atau Wakil-ketua Mahkamah Agung, maka Ketua-muda,
jika hadir, duduk sebagai anggota.
(3) Dalam memutus sengketa tentang wewenang mengadili
antara pengadilan-pengadilan dari beberapa lingkungan peradilan,
sidang Mahkamah Agung, sedangkan Ketua-ketua-muda yang
masing-masing memimpin bidang lingkungan peradilan yang ber­
sangkutan atau seorang Hakim dari tiap-tiap bidang itu duduk
sebagai anggota.
§ 2 -

TENTANG KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG


Pasal 47.
(1) Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan
sebagai pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan
memberi pimpinan kepada pengadilan-pengadilan yang bersangkut­
an.
(2) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi ter­
hadap jalannya peradilan dalam semua lingkungan pengadilan di
seluruh Indonesia dan menjaga supaya peradilan diselenggarakan
dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Perbuatan-perbuatan Hakim-hakim di semua lingkungan
peradilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung.
(4) Untuk kepentingan Negara dan Keadilan Mahkaimah
Agung memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang dipandang
perlu baik dengan surat tersendiri, maupun dengan surat edaran.
(5) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
dari semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Mahka­
mah Agung dalam hal itu dapat memerintahkan disampaikannya
berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk dipertimbangkan.
Pasal 48.
Mahkamah Agung memutus dalam tingkat pertama serta ter­
akhir:
a. Semua sengketa tentang wewenang mengadili antara pengadilan
dari satu lingkungan dengan pengadilan dari lingkungan per­
adilan yang lain;
b. Semua sengketa tentang wewenang mengadili antara Pengadilan
Negeri dengan Pengadilan Negeri yang tidak terletak dalam
daerah hukum atau Pengadilan Tinggi;
c. Semua sengketa tentang wewenang mengadili antara pengadilan-
pengadilan yang tidak disebut dalam huruf a dan b.
458
Pasal 49.
(1) Mahkamah- Agung memutus tentang permohonan kasasi
terhadap putusan atau penetapan dalam tingkatan peradilan terakhir
dari pengadilan-pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan:
a. dalam perkara perdata oleh pihak-pihak yang berperkara;
b. dalam perkara pidana oleh terpidana atau Jaksa yang bersang­
kutan sebagai pihak atau pihak ketiga yang dirugikan.
(3) Permohonan kasasi dapat diajukan pula demi kepentingan
hukum oleh Jaksa Agung;
(4) Acara kasasi diatur lebih lanjut dalam Undang-undang yang
mengatui acaia untuk masing-masing lingkungan peradilan.
Pasal 50.
(1) Permohonan kasasi oleh pihak yang bersangkutan oleh
pihak ketiga yang dirugikan hanya dapat diterima, apabila upaya-
upaya hukum biasa yang dapat dipergunakan, telah dipergunakan.
(2) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat di­
ajukan oleh Jaksa Agung sekalipun ada upaya hukum biasa tidak
dipergunakan.
Pasal 51.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan
putusan dan penetapan dari pengadilan-pengadilan yang lebih
rendah:
a. karena lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh per­
aturan perundang-undangart yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan;
b. karena melampaui batas wewenangnya;
c. karena salah mentrapkan atau karena melanggar peraturan-
peraturan hukum yang berlaku.
Pasal 52.
Mahkamah Agung mengadili tentang putusan-putusan yang
dimohon peninjauan kembali untuk masing-masing lingkungan
peradilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Undang-undang.
§ 3.
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN LAIN.
Pasal 53.
Mahkamah Agung memberi keterangan, pertimbangan dan
nasehat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apa­
bila hal itu diminta oleh Pemerintah.
459
Pasal 54.
Pengawasan tertinggi atas notaris dan penasehat-hukum dilaku­
kan oleh Mahkamah Agung.

BAB V.
TENTANG PANITERA
Pasal 55.
(1) Pada tiap-tiap pengadilan ada sebuah kepaniteraan yang
dipimpin oleh seorang Panitera dan dibantu oleh beberapa orang
Panitera-pengganti.
(2) Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Ke­
hakiman dan Panitera-pengganti oleh Kepala Pengadilan yang ber­
sangkutan.
•Pasal 56.
(1) Tugas Panitera ialah mengikuti semua sidang dan musyawa­
rah pengadilan dan mer.catat dengan teliti semua hal yang dibicara­
kan.
(2) Apabila Panitera berhalangan ia diganti oleh Panitera-
pengganti atau pegawai lain yang diserahi untuk mewakili jabatan'
itu.
(3) Selain tugas tersebut dalam ayat (1) Panitera bertugas
untuk mengurus kepaniteraan, menyimpan catatan-catatan dan
daftar-daftar. Ia menjabat juga sebagai bendaharawan dari pe­
ngadilan itu.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera terikat pula pada
ketentuan-ketentuan tersebut dalam Undang-undang tentang bea
atau upah pengadilan dan uang jasa pada pengadilan-pengadilan.
Pasal 57.
Dalam perkara perdata Panitera melaksanakan putusan pe­
ngadilan dan bertindak pula sebagai Jurusita.
Pasal 58.
(1) Panitera wajib membuat daftar dari semua perkara perda­
ta yang diterima di kepaniteraan tanpa membedakan apakah
perkara-perkara itu akan diperiksa dalam sidang atau di luar
sidang.
(2) Di dalam daftar itu tiap-tiap perkara itu diberi nomor urut
dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
(3) Untuk perkara-perkara pidana juga dibuat daftar semacam
itu.
460
Pasal 59.
(1) Hanya hakim dan jaksa diperbolehkan meminta berkas
perkara yang disimpan dalam kepaniteraan untuk dikerjakan di
rumah dengan memberikan tanda penerimaan.
(2) Apabila tidak nyata-nyata ditentukan dengan peraturan-
perundangan, daftar-daftar, catatan-catatan, risalah-risalah dan
berkas-berkas pengadilan tidak boleh dipindahkan dari kepanitera­
an tanpa izin dari Kepala Pengadilan.
(3) Kewenangan dan kewajiban Panitera untuk mengeluarkan
ali surat, salinan atau ringkasan-ringkasan dari akta-akta dan putus­
an-putusan yang disimpan pada kepaniteraan diatur dengan Un­
dang-undang.

Pasal 60.
Panitera menerima dan menyimpan biayarbiaya perkara serta
biaya lain yang harus dibayar menurut peraturan perundang-
undangan.
Pasal 61.
Panitera bertanggung j.awab untuk surat-surat putusan, do­
kumen-dokumen, akta-akta, surat-surat, daftar-daftar, buku-buku,
uang dan surat-surat berharga yang penyimpanan dan pengurusan­
nya diserahkan kepadanya.

Pasal 62.
Dari semua putusan yang berisi pidana denda, atau membayar
ongkos perkara untuk kepentingan Negara, setelah putusan itu
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh Panitera dibuat
salinan dan kemudian diberikan kepada Jaksa yang menuntut
perkara itu.
Pasal 63.
Bea dan upah yang diterima berdasar Undang-undang oleh
panitera disetorkan ke Kas Negara untuk kepentingan Negara.

Pasal 64.
Ketentuan-ketentuan lain tentang tugas Panitera akan diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

461
BAB VI.
TENTANG JURUSITA.
Pasal 65.
(1) Jurusita dan Jurusita-pengganti adalah pejabat umum.
(2) Jurusita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Ke­
hakiman dan Jurusita-pengganti oleh Kepala Pengadilan yang
bersangkutan.

Pasal 66.
(1) Jurusita mempunyai tugas dalam sidang pengadilan dan
melaksanakan semua tugas yang diberikan oleh ketua sidang.
(2) Ia mempunyai tugas dalam daerah hukum pengadilan di
mana ia diangkat.
(3) Selain tugas yang tersebut dalam ayat (1) ia melakukan
pemberitahuan-pemberitahuan pengadilan, memberikan pe-
ngUmuman-pengumuman, protes-protes yang berhubungan atau
tidak berhubungan dengan perkara yang sedang disidangkan dari
semua perkara pidana maupun perkara perdata dalam hal-hal dan
menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-undang.
(4) Atas perintah Kepala Pengadilan Negeri atau Panitera,
Jurusita melakukan pensitaan.
(5) Ia membuat berita acara yang salinannya diserahkan
kepada orang yang tersangkut dalam sitaan.
Pasal 67.
(1) Dalam memperhitungkan jasa-jasanya tentang bea atau
upah pengadilan dan uang Jurusita, Jurusita terikat pada tarip
yang terdapat dalam Undang-undang.
(2) Atas perintah pengadilan, dalam hal yang ditentukan oleh
Undang-undang ia wajib melakukan pekerjaan secara cuma-cuma.
Pasal 68.
Jurusita diwajibkan mempunyai daftar pekerjaan.
Pasal 69.
Ketentuan-ketentuan lain tentang tugas Jurusita akan diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

462
BAB VII.
KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 70.
Undang-undang Mahkamah Agung (Lembaran-Negara tahun
1950 N6. 30) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum, pengadilan
swapraja dan pengadilan adat dengan Undang-undang ini dinyata­
kan tidak berlaku.
Pasal 71.
Undang-undang ini dinamakan Undang-undang Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Pasal 72.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juli 1965.
Diundangkan di Jakarta ^res- Republik Indonesia,
pada tanggal 6 Juli 1965. Dr. J. LEIMENA.
Pd. Sekretaris Negara,
A-W. SURJOADININGRAT S.H.

463
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 13 TAHUN 1965
tentang
PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM
DAN MAHKAMAH AGUNG.
UMUM
Undang-undang tentang Pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum dan Mahkamah Agung merupakan pelaksanaan daripada
ketentuan-ketentuan dan azas yang tercantum dalam Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakim­
an (Undang-undang No. 19 tahun 1964, Lembaran-Negara tahun
1964 No. 107). Dalam Undang-undang ini diatur susunan, ke­
kuasaan, kedudukan dan sekedar administrasi dari para hakim dan
badan-badan pengadilan dari tingkat bawah hingga tingkat terting­
gi, dengan melepaskan pandangan untuk mengatur dengan sesuatu
undang-undang tersendiri kedudukan, susunan dan kekuasaan
Mahkamah Agung. Sebabnya tidaklah lain karena :
1. diinginkan pengaturan susunan, kekuasaan dan kedudukan
badan-badan dan pengadilan hanya dalam satu undang-
undang, sehingga terdapat satu kesatuan dari badan-badan
pengadilan yang beq'iwa satu dan yang secara serentak
baik dari bawah ke atas, maupun dari atas ke bawah, melaksa­
nakan fungsi Hukum sebagai Pengayoman dengan mengamal­
kan Pancasila dan Manipol/usdek, serta pedoman-pedoman
pelaksanaannya.
2. dengan diaturnya susunan, kekuasaan dan kedudukan Mah­
kamah Agung bersama dengan badan-badan pengadilan lain,
terdapat kontinuitas yang wajar pada garis pemberian keadil­
an dari bawah keatas tanpa ditonjolkan bahwa Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Tertinggi seharusnya mendapat tem­
pat yang istimewa. Dalam Undang-undang ini yang menonjol
ialah bahwa Mahkamah Agung pun merupakan suatu badan
pengadilan seperti yang lain-lain, dan bukan suatu badan yang
seolah-olah terpisah, melainkan bersama-sama badan-badan
pengadilan yang lain mempunyai satu jiwa kesatuan.
Dalam Undang-undang ini, dengan sekuat tenaga diusahakan su­
paya jiwa liberalisme, individualisme, feodalisme dan kolonialisme,
sesuai dengan sifat-sifat Hukum Indonesia, dibuang jauh-jauh, idee
bahwa Trias Politica tidak berlaku dalam masyarakat Indonesia, te­
lah diatur azas-azasnya dalam Undang-undang ini terdapat pe­
laksanaannya. Azas bahwa hakim adalah tak berfihak, merdeka
464
dari pengaruh instansi atau filiak manapun tak dapat dipertahan­
kan lebih lama dan telah dikubur. Dalam pasal-pasal dari undang-
undang ini ditentukan bahwa hakim wajib berfihak pada yang
benar atas Pancasila dan Manipol/Usdek. Hakim bukanlah, orang
yang berdiri diatas para fihak dengan tidak mengikut serta dan-
mengintegrasikan diri dalam kehidupan politik, ekonomi sosial
dan kebudayaan. Baru dengan penerjunan ini, ia akan dapat men­
jelma jiwa hukum, kesadaran hukum, keyakinan hukum, dan pera­
saan hukum rakyat dan bangsa dan mewujudkannya dalam putus-
.an-putusannya. Baru'dengan cara penerjunan dan pengintegrasian
itu, hakim dapat menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman,
dalam rangka mengamalkan Pancasila dan Manipol Usdek serta
pedoman-pedoman pelaksanaannya.
Dengan rnernanipolkan pengadilan, maka dengan tetap menjun­
jung tinggi martabat hakim dan pengadilan, yang melaksanakan
fungsi Hukum sebagai Pengayoman, kitapun lebih mendekatkan
dengan rakyat.
Hakim-hakim sebagai alat Revolusi dan alat Negara, apalagi
untuk memenuhi syarat-syarat sebagai iiakim rakyat seharusnya
diangkat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong
Royong Tingkat II untuk Pengadilan Negeri, atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong tingkat I untuk Pengadilan
Tinggi dan atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
untuk Mahkamah Agung.
Berhubung dengan keadaan teknis dan politis belum dapat
memungkinkan pelaksanaan prinsip ini dan untuk pengangkatan
hakim Mahkamah Agung keadaan teknis dan politis telah memung­
kinkannya, maka dalam Undang-undang ini diatur bahwa untuk
pengangkatan hakim Mahkamah Agung perlu diusulkan oleh
dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan perantaraan
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.
Syarat-syarat bagi pengangkatan hakim ialah Sarjana Hukum
atau Ahli Hukum bukan Sarjana Hukum yaitu mereka yang tidak
selesai menyelesaikan pelajarannya di Fakultas Hukum, dan me­
reka yang berpendidikan atau berpengalaman dalam bidang hukum
seperti seorang keluaran Sekolah Hakim dan Jaksa misalnya.
Karena Hakim itu alat Revolusi dan alat Negara, maka sudah
sewajarlah disyaratkan juga bahwa Hakim harus berjiwa Prokla­
masi 17 Agustus 1945 dan tidak pemah memusuhi Revolusi
Indonesia. Pula bahwa hakim harus berjiwa dan mengamalkan
Pancasila dan Manipol serta segala pedoman pelaksanaannya.
Untuk memegang teguh kehormatan dan keharusan untuk mem­
perhatikan secara khusus kedudukan materiil dari hakim yang

465
dipandang wajar, mengingat tugas kewajiban yang sungguh tidak
ringan dari hakim, terlebih-lebih dalam masa penyelesaian revo­
lusi kita sekarang ini sesuai dengan tahap-tahapnya. Disamping itu
terdapat pula larangan-larangan bagi para hakim, yang kesemuanya
itu dimaksudkan untuk memegang teguli kehormatan dan kewi­
bawaan hakim dan pengadilan.
Larangan perangkapan jabatan bagi hakim ialah penasehat-
hukum pelaksana putusan pengadilan (panitera, jurusita, jaksa),
wali dan pengampunan, setidak-tidaknya tiap-tiap jabatan yang
bersangkut paut dengan sesuatu perkara yang akan atau sedang
diadili olehnya atau oleh pengadilan dimana ia menjabat sebagai
hakim.
Larangan berusaha bagi hakim berarti bahwa hakim tidak
diperbolehkan mempunyai suatu perusahaan atau menjadi peme­
gang saham dari suatu perseroan.
Kecuali larangan-larangan itu, maka kepada tertuduh atau
tergugat diberikan hak untuk melawan pengadilan atau salah
seorang hakim yang dianggapnya mempunyai kepentingan-
kepentingan pribadi didalam perkaranya itu, disamping hak
ingkar dari tiap-tiap hakim untuk mengundurkan diri dengan
sukarela sebagai hakim untuk mengadili sesuatu perkara tertentu,
karena ia merasa masih tersangkut dalam hubungan keluarga ter-
tuduh/tergugat/penggugat. Kepentingan pribadi, antara lain ter­
dapat dalam hal apabila yang menjadi tertuduh adalah ayahnya,
anaknya sendiri atau apabila hakim yang bersangkutan juga men­
jadi sakti terlebih-lebih saksi utama, dalam perkara yang sedang
diperiksanya. •
Pengawasan terhadap hakim dalam menjalankan tugasnya,
belum selesai juga dengan perincian- larangan, hak perlawanan
dan hak ingkar itu saja. Tanda-tanda yang menimbulkan
persangkaan keras, bahwa hakim melakukan perbuatan kontra
revolusioner melakukan kejahatan, perbuatan yang tercela dipan­
dang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, dan kelalaian yang terus
menerus dalam pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia di­
pecat.. Hal-hal ini dengan tegas dicantumkan dalam undang-undang
ini, mengingat luhur dan mulianya tugas hakim yang diwajibkan
melaksanakan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, walaupun
sebagai pegawai negeri biasa, iapun tetap terkena peraturan-per­
aturan yang mengatur kedudukan pegawai negeri dengan ancaman-
ancaman terhadap perbuatan tercela sebagai pegawai negeri.
Musyawarah diadakan dalam semua perkara antara ketiga
hakim dan putusan yang diambil adalah hasil musyawarah ter­
sebut. Musyawarah ini tidak hanya mengenai putusan yang akan
466
dijatuhkan, melainkan, dapat mengenai segala hal ikhwal yang
menyangkut sesuatu perkara misalnya.'tentang tuduhan hak per­
lawanan tertuduh atau tergugat, tuntutan pidana, pembelaan se-
bagainya atau seperti disebutkan dalam pasal yang bersangkut­
an: „tentang segala persoalan-persoalan hukum dan ukuran pi­
dana”. Khusus dalam perkara pidana, jaksa dan/atau penasehat
hukum dapat juga diminta hadir dan mempersilahkan mengemu­
kakan pendapatnya tentang suatu hal yang mungkin oleh musya­
warah dianggap kurang jelas atau dipersilahkan mengemukakan
pendapatnya secara lebih tegas lagi, menandakan betapa besar
jiwa gotong royong dan toleransi dari bangsa dan rakyat Indo­
nesia dan betapa mulia pula fungsi Pengayoman dari hukum
Indonesia.
Bagi hakim Indonesia tetap berlaku juga pemeo Ju s cuiia
novit” atau hakim mengenal hukum. Hal ini terbukti dengan
jelas, terutama didaerah-daerah diluar Jawa dan Madura dimana
hakim menjadi tempat pertanyaan segala macam soal bagi rakyat.
Daripadanya diharuskan pertimbangan atau pemberian keadilan
sebagai seseorang yang tinggi pengetahuannya tinggi martabatnya,
dan mulia tugasnya. Karena itulah ia dilarang menolak memberi
keadilan dengan dalih bahwa bahan-hukumnya tidak ada, atau
sukar dapat digali. Ia wajib menggali, wajib melepaskan „ku”nya
untuk dileburkan kedalam kancah „aku” , aku dari rakyat, untuk
akhirnya dapat menemukan „kami”. Apabila ia suatu ketika
belum dapat hukumnya, ia wajib mengadakan musyawarah, re­
search atau meminta pendapat/pertimbangan hakim-hakim yang
mungkin lebih-banyak pengalamannya atau jika perlu meminta
pula pendapat dari Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan
Mahkamah Agung.
Dalam undang-undang ini dengan tegas dan untuk kesekian
kalinya pula ditujukan, bahwa Trias Politica telah kita buang
jauh-jauh, karena tidak sesuai dengan revolusi Indonesia, Panca­
sila dan Manipol/Usdek serta pedoman-pedoman pelaksanaan­
nya. Dalam undang-undang ini diatur tentang turun tangan Pre­
siden” dan „campur tangan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi”
dapat menghentikan perkara seseorang yang sedang diperiksa
dalam sidang pengadilan. Untuk perkara itu tidak dapat lagi digu­
nakan azas opportunitas, karena perkara tidak lagi dikuasai jaksa.
Memang benar, bahwa Presiden Pemimpin Besar Revolusi dapat
juga menggunakan haknya untuk memberikan grasi, akan tetapi
untuk itu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus menunggu
dulir hingga perkara diputus oleh pengadilan. Hal ini dapat meng­
hambat atau merugikan kepentingan Negara, yang dengan amat
467
segera harus diselesaikan pada suatu ketika. Maka dari itu .sifat
turun tangan adalah untuk :
1. kepentingan Negara yang lebih besar.
2. memerlukan penyelesaian dengan segera.
seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang tentang Ke-
' tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Bila Presiden/Pemimpin Besar Revolusi menyatakan kehen­
daknya untuk turun tangan, maka Pengadilan seketika juga
menghentikan pemeriksaannya, mengumumkan dalam sidang
terbuka Keputusan Presiden dan mencatat serta melampirkan
keputusan Presiden itu kedalam berita acara. Pengadilan tidak
menjatuhkan putusan, walaupun misalnya pemeriksaan telah
selesai seluruhnya dan Ketua tinggal membacakan putusan peng­
adilan saja.
Campur tangan Presiden dapat mengenai berbagai hal dari
peradilan. Campur tangan itu dapat mengenai susunan penga­
dilan, penunjukan pengadilan lain atau tambahan-tambahan
hakim, penggunaan hukum acara lain dan sebagainya. Bahwa
hal ini semua didasarkan atas ketentuan-ketentuan Undang-
undang, sudah wajar. Namun andaikata hal itu terjadi, hakim
menghentikan untuk sementara pemeriksaan untuk memusya­
warahkan dengan jaksa keinginan Presiden yang dituangkan dalam
bentuk keputusan Presiden. Musyawarah itu tentunya untuk
melaksanakan keinginan Presiden, apabila keinginan itu ter­
masuk dalam wewenang atau kekuasaan pengadilan. Sifat dan
syarat-syarat campur tangan Presiden seperti juga turun tangan,
diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.'
Alat hukum yang istimewa adalah peninjauan kembali, yang
biasa disebut ..herziening”. Syarat-syarat untuk dapat mengguna-
• kan ialah hukum ini diatur tersendiri dalam suatu Undang-undang,
dan dalam hal ini oleh Undang-undang tentang Hukum Acara.
Peninjauan kembali dapat dimohonkan kepada Mahkamah Agung
terhadap semua putusan pengadilan negeri yang tidak mengan­
dung pelepasan dari segala tuntutan dalam perkara pidana. Alat
hukum ini baru dapat digunakan, apabila semua alat hiikum biasa
telah dipakai. Herziening atau peninjauan kembali hanya dapat
diminta apabila terdapat ’’novurn” atau keadaan yang baru. Untuk
lengkapnya hal ini diatur secara terperinci dalam Hukum Acara.
Untuk dapat berjalan dengan lebih effektif, maka Penga­
dilan Tinggi diberi tugas pengawasan dan pimpinan terhadap
'pengadilan-pengadilan yang ada didalam daerah hukumnya. Hal
468
ini akan mengakibatkan, bahufa akan terdapat koordinasi
antara pengadilan-pengadilan dalam daerah hukum suatu
Pengadilan Tinggi, yang pasti akan bermanfaat dalam kesatuan
putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan Tinggi sebagai
atasan dari pengadilan tingkat pertama memberi pimpinan,.
pengawasan, tegoran, peringatan dan sebagainya. Kecuali itu
tugas dan kerajinan hakim secara langsung dapat diawasi,
sehingga jalannya peradilan yang cepat, adil dan murah akan
dapat terjamin.
Dalam Undang-undang ini Mahkamah Agung diatur dalam
suatu bab tersendiri dengan menonjolkannya sebagai badan
pengadilan yang merupakan pengadilan lanjutan dari Pengadilan
Tinggi, Mahkamah Agung y?ng berkedudukan di Ibu Kota Re­
publik Indonesia atau dilain tempat yang ditetapkan oleh Peme­
rintah dan yang merupakan puncak.dari semua lingkungan peradil­
an, dalam tubuhnya juga mencerminkan dengan nyata kepuncak-
nya itu. Dalam Undang-undang ini, ditentukan bahwa pada Mah­
kamah Agung diadakan Bidang-bidang Umum, Agama, Militer dan
Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan bidang Agama ialah
bidang Agama Islam. Halim-hakim Mahkamah Agung adalah Sar­
jana Hukum atau ahli Hukum dalam hukum Islam. Tiap-tiap
bidang ini dipimpin oleh seorang ketua muda dan mempunyai
beberapa hakim agung sebagai anggota.
Untuk menjaga kesatuan Mahkamah Agung maka tiap-tiap
sidang dari bidang yang diwajibkan memeriksa dan memutus
dengan sekurang-kurangnya tiga otang hakim, dapat secara lang­
sung dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung atau wakil ketua
Mahkamah Agung. Dalam hal demikian, maka ketua muda duduk
sebagai anggota. Akan tetapi pada galibnya yang menjadi ketua
sidang adalah ketua muda. Sidang-sidang yang diharuskan secara
mutlak diketahui oleh ketua atau wakil ketua Mahkamah Agung,
ialah sidang-sidang yang mengenai sengketa tentang wewenang
mengadili pengadilan-pengadilan dari berbagai lingkungan peradil­
an. Kebijaksanaan ini diambil agar supaya tetap dipelihara suasana
dan kesatuan dalam Mahkamah Agung. Walaupun tidak secara
tegas ditetapkan dalam Undang-undang ini, namun adalah kebijak­
sanaan yang wajar apabila sidang-sidang demikian itu juga ainacrin
oleh para hakim agung dari bidang yang bersangkutan dengan-
pengadilan-pengadilan yang mempunyai sengketa tentang wewe­
nang mengadili.
Sebagai Pengadilan Tertinggi, maka Mahkamah Agung mempu­
nyai pengawasan dan pimpinan terhadap pengadilan-pengadilan
dari semua lingkungan. Untuk itu maka perbuatan-perbuatan
469
hakim diawasinya dengan cermat dan bila perlu dapatlah diberi
tegoran, peringatan dan petunjuk baik dengan lisan maupun
tulisan.
Sebagai Pengadilan, maka Mahkamah Agung mempunyai
kekuasaan untuk mengadili perkara-perakara sengketa tentang
wewenang • mengadili, memutus tentang kasasi dan peninjauan
kembali. •
Untuk kasasi perlu diperhatikan, bahwa Mahkamah Agung
dapat membatalkan putusan dan penetapan pengadilan dalam
tingkat kasasi:
a. karena pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajib­
kan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yapg bersangkutan.
b. karena melampaui batas wewenangnya.
c. karena salah mentrapkan atau karena melanggar peraturan-
peraturan hukum yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 dan 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Azas bagi peradilan adalah peradilan oleh ahli-ahli dalam bidang
hukum. Mengingat bahwa belum semua hakim adalah Saijana
Hukum, maka dalam masa peradilan -ini Menteri Kehakiman
diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk memberikan tugas-
belajar bagi para hakim yang belum Saijana Hukum.
Pasal 4 s/d 6
Cukup jelas.
Pasal 7
ayat 1 : Cukup jelas.
ayat 2 : Hakim dilarang untuk mempunyai perusahaan, men­
jadi pemegang saham suatu perseroan atau mengada­
kan usaha-usaha perdagangan lain.
Pasal 8 dan 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Pemberhentian dengan hormat seperti yang dimaksudkan dalam
pasal ini dilakukan melalui Mahkamah Agung.
Pasal 11 s/d 27
Cukup jelas.

470
Pasal 28
ayat 1 : Cukupjelas.
ayat 2 : Dengan ijazah Sekolah Lanjutan Atas dimaksudkan
ijazah dari Sekolah Lanjutan Atas Umum dihidang
ilmu pengetahuan kemasyarakatan atau hukum.
Pasal 29
Untuk memperlancar jalannya- peradilan, diadakan kemung­
kinan peradilan secara kilat yang menyimpang dari azas peradilan
dengan tiga orang hakim dan yang dilakukan dengan seorang
hakim.
Perkara-perkara yang dapat diajukan dalam peradilan kilat dan
acara peradilan kilat diatur dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana dan lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 30
ayat 1 : Ketentuan ini diperlukan, mengingat bahwa tenaga
hakim masih sangat kurang untuk ditempatkan dalam
daerah-daerah terpencil, sedang fasilitas-fasilitas pun
belum mencukupi. Misalnya dengan persetujuan
Menteri Dalam Negeri yang mempunyai pejabat-
pejabat hingga keplosok-keplosok. Menteri Kehakim­
an dapat mengangkat mereka sebagai hakim.
Tujuannya ialah jangan sampai terjadi suatu
vacuum-penghukuman dan kehakiman, mengingat
bahwa selalu akan ada pencari keadilan. Kepentingan
pencari keadilan ini yang harus diutamakan.
ayat 2 : Cukup jelas.
ayat 3 : Mengingat, bahwa peradilan wajib dijalankan oleh
tenaga-tenaga kehakiman sendiri, sedang tenaga-
tenaga pejabat dalam lingkungan Menteri Dalam Ne­
geri hanya bersifat „pinjaman”, maka sudah sewa­
jarnya, bahwa para pejabat pinjaman itu diangkat
untuk batas waktu tertentu.
Hal inipun akan selalu mengingatkan masyarakat
dan dapat Menteri Kehakiman sendiri, bahwa keadaan
itu tidak berlangsung secara terus menerus.
Pasal 31 s/d 45
Cukup jelas.

.471
Pasal 46..
ayat I : Ketentuan bahwa Mahkamah Agung memeriksa dan
memutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang
hakim merupakan lex spesialis terhadap ketentuan
bahwa pengadilan memeriksa dan memutus dengan
tiga orang hakim (pasal 8 Undang-undang Pokok Ke­
kuasaan Kehakiman) yang merupakan lex generalis. De­
ngan demikian Mahkamah Agung dapat juga memerik­
sa dan memutuskan dengan lebih dan tiga orang hakim.
ayat 2 : Cukup jelas,
dan 3 : Cukup jelas.
Pasal 47 s/d 54
Cukup jelas
Pasal 55
ayat 1 : Cukup jelas.
ayat 2 : Karena panitera merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam menjalankan peradilan, maka
kalau padanya terdapat petunjuk-petunjuk yang me­
nimbulkan persangkaan keras bahwa ia melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat kontra revolusi­
oner atau ia memberi nasehat/pertolongan yang ber­
sifat memihak kepada yang berkepentingan dalam
perkara yang sedang diperiksa, atau dikirakan atau
diperiksa, sudah sewajarlah ia dipecat dari jabatan­
nya.
Yang dimaksudkan dengan pengangkatan dan
pemberhentian oleh Menteri Kehakiman dalam ayat
ini panitera dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi,
Pasal 56 dan 57
Cukup jelas.
Pasal 58
ayat 1 : Yang dimaksudkan dengan pemeriksaan perkara di-
luar sidang a.l. : penyerahan perkara oleh kepala
pengadilan kepada sesuatu arbitrage.
ayat 2 dan 3 : Cukup jelas.
Pasal 59 s/d 72
Cukup jelas.
472
ISI
UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG.
Pasal
BAB I TEMPAT KEDUDUKAN DAN SUSUNAN 1 - 11.
BAB II KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG
Bagian 1. Pengawasan tertinggi atas berdjalannja
peradilan 12 — 13.
Bagian 2. Kekuasaan mengadili 14 — 21.
BAB HI DJALAN PENGADILAN DALAM PERKARA
PERIHAL KETATANEGARAAN
Bagian 1.- Tentang perselisihan jang dimaksud­
kan pada pasal 48 dan pasal 67
Konstitusi 22 — 30.
Bagian 2. Tentang pernjataan tak menurut Kon­
stitusi Republik Indonesia Serikat
jang 'dimaksudkan pada pasal 156
ajat (2) dan 157 31 - 33.
BAB IV DJALAN - PENGADILAN DALAM TINGKAT­
AN KESATUAN DALAM PERKARA HU­
KUMAN PERDATA
Bagian 1. Pengusutan dan penuntutan perkara 34.
Bagian 2. Penjerahan perkara kesidang Mahka­
mah Agung 35 - 39.
Bagian 3. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan 40 —76.
Bagian 4. Pembuktian dan putusan 77 —93.
Bagian 5. Tentang mendjalankan putusan 94 —99.
BAB V HAL MEMUTUSKAN PERSELISIHAN TEN­
TANG KEKUASAAN MENGADILI
Bagian 1. Dalam perkara perdata 100.
Bagian 2. Dalam perkara pidana 101 - 107.
BAB VI DJALAN - PENGADILAN PADA PERADILAN
TINGKATAN KEDUA BAGI PUTUSAN-PUTU­
SAN WASIT 108-111.
473
BAB VII DJALAN - PENGADILAN DALAM PEMERIK-
SAAN KASASI
Bagian 1. Dalam perkara perdata 112 - 120
Bagian 2. Dalam perkara pidana 121 -130
BAB VIII PERATURAN RUPA-RUPA 131 - 134
BAB IX ATURAN PERALIHAN 135.
BAB X NAMA UNDANG-UNDANG 136.
BAB XI MULAI BERLAKUNJA UNDANG-UNDANG 137.

474
UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG
( U. No.l th. 1950 tgl. 6 Mei, diund. tgl. 9-5-1950 dl. L.N. No. 30/
1950, dir. dg. U. No.56 th. 1958, tgl. 24 Djuli, diund. pada tgl. 26 - 7 -1958
dl. L.N. No. 106 / 58 ).
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan pasal - pasal 113 dan 114, dan
apa yang dikehendaki oleh sebagian dari pasal 149 Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat, maka perlu, diadakan peraturan ;
Mengingat : Pasal 127 bab b Konstitusi;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakjat :
Memutuskan:
A. Mentjabut peraturan - peraturan jang bertentangan dengan Undang -
Undang ini;
B. Menetapkan peraturan sebagai berikut :
„UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN
DJALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA”,
BAB I,
TEMPAT KEDUDUKAN DAN SUSUNAN.
P. 1. (1) Mahkamah Agung Indonesia berkedudukan diibu kota
Republik Indonesia Serikat atau dilain tempat jang ditetapkan oleh Presiden.
(2) Mahkamah Agung Indonesia melaksanakan peradilan atas nama
Keadilan.
P. 2. (1) Mahkamah Agung Indonesia terdiri atas seorang Ketua,
sekurang - kurangnja seorang Wakil Ketua dan sekurang - kurangnja empat
orang anggauta ( Hakim Agung ), dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa
orang Panitera - pengganti.
(2) Djika pada suatu waktu Mahkamah Agung kekurangan anggauta
untuk mendjalankan suatu pekerdjaan, maka Panitera dapat melakukan
pekerdjaan anggauta.
(3) ( dir. dg. L.N. 106/58 ) Pada Mahkamah Agung adalah seorang
Djaksa Agung dan empat orang Djaksa Muda ( T.L.N. 1641 ).
P. 3. (1) Mahkamah Agung memutuskan dengan tiga orang Hakim.
(2) Mahkamah Agung bersidang ditempat kedudukannja.
(3) Para Hakim dan Panitera Mahkamah Agung harus berdiam dikota
tempat kedudukan Mahkamah Agung.
475
(4) Djika keadaan memaksa, Ketua Mahkamah Agung dapat menetap­
kan peraturan jang menjimpang dari jang termuat dalam ajat 2 dan 3.
P. 4. Untuk dapat mendjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera
Mahkamah Agung dan Djaksa Agung, orang harus mempunjai idjazah pengha­
bisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, ketjuali djika Presiden memberi
dispensasi.
P. 5. Hakim, Panitera dan Djaksa Agung harus seorang warga - negara
Indonesia.
P. 6. (1) Ketua, Wakil Ketua dan anggauta-anggauta Mahkamah
Agung diangkat oleh Presiden atas andjuran Dewan Perwakilan Rakjat dari
sekurang-kurangnja dua tjalon bagi tiap-tiap pengangkatan ( lowongan ).
Panitera dan Panitera-pengganti Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden
(2) Djaksa Agung dan Djaksa Agung Muda diangkat oleh Presiden.
(3) Para Hakim jang disebut dalam pasal ini, sebelum mulai mendja -
lankan kewajiban 'dalam djabatannja, harus bersumpah atau men-
jatakan kesanggupan menurut tjara agamanja sebagai berikut :
„ S a ja b e rs u m p a h ( b e r d ja n d ji) b a h w a saja akan setia kepada
N egara dan kepada K o n s t it u s i N e gara R e p u b lik Ind on esia S e rik a t;

ba h w a se su n ggu hn ja saja tidak, b a ik dengan langsung, m a u ­


p u n dengan tidak langsung, dengan m e n g g u n a k a n n am a a tau tjara
a p a p u n djuga, u n tu k m e m p e ro le h d ja ba ta n saja, telah ata u akan
m e m b e ri atau m e n d ja n d jik a n b a ra n g sesuatu ke pada barang siapa-
p u n d ju g a ;

- b a h w a saja tid a k ak a n m e n e rim a p e m b e ria n atau h a d ia h d a ri


orang, ja n g saja k e ta h u i a ta u sangka e m p u n ja atau akan e m p u n ja
pe rk a ra , ja n g m u n g k in akan m e n g e n a i pengfaksanaan djabatan saja;

b a h w a se la n d ju tn ja saja akan m e n d ja ia n k a n djabatan saja


de ng an d ju d ju r, saksama dan tid a k b e ra t sebetah dengan tid a k
m e m b e d a -b e d a k a n o ra n g d a n akan b e rla k u da la m m engfaksanaan
k e w a d jib a n saja; s e p e rti seiajaknja b a g i se oran g H a k im ( p e g a w a i ke ­
".
h a k im a n ) ja n g b e r b u d i b a ik d a n d ju d ju r

Sumpah atau kesanggupan ini dilakukan oleh Ketua dan Wakil Ketua di-
hadapan Presiden; oleh anggauta, Panitera dan Panitera-pengganti Mahkamah
Agung dihadapan Ketua Mahkamah Agung.

476
perkawinan sampai ketingkat ketiga tidak boleh bersama-sama mendjadi
Hakim dan atau Panitera Mahkamah Agung.
(2) Djika kekeluargan karena perkawinan jang termaksud dalam ajat 1
terdjadi sesudah mereka mendjabat Hakim dan atau Panitera Mahkamah
Agung, maka salah seorang jang bersangkutan diberhentikan dari djabatannja,
ketjuali djika Presiden mengijinkan tetap pada djabatan mereka.
P. 8. Para Hakim, Panitera dan Panitera-pengganti Mahkamah Agung,
Djaksa Agung dan para Djaksa Agung Muda dilarang memberi nasehat atau
pertolongan jang bersifat memihak kepada jang berkepentingan dalam perkara
jang sedang diperiksa atau dapat dikira-kirakan akan diperiksa dimuka Mah­
kamah Agung.
P. 9. (1) Para Hakim Mahkamah Agung diberhentikan dengan hor­
mat dari djabatannja oleh Presiden;
1. apabila mereka ternjata tidak tjakap, karena sakit rohani atau djasmani
jang terus-menerus atau karena kekurangan kekuatan sebab tinggi usia;
2. apabila mereka telah berumur 60 tahun, ketjuali djika Presiden memberi
dispensasi untuk kepentingan Negara.
(2) Selain dari dengan alasan-alasan tersebut mereka hanja dapat diber­
hentikan dari djabatannja atau permintaan sendiri.
P. 10. (1) Para Hakim Mahkamah Agung dapat dipetjat:
1. apabila mereka dihukum penjara, tutupan atau kurungan karena mendja-
lankan kedjabatan;
2. apabila mereka djatuh pailit atau dimasukkan pendjara karena tidak
membajar hutangnja;
3. karena kelakuan tidak baik atau tidak sopan atau selalu alpa dalam djaba­
tannja;
4. apabila mereka melanggar larangan tersebut dalam pasal 8 Undang —
undang ini.
(2) Pemetjatan ini dilakukan setelah jang bersangkutan diberi kesem­
patan untuk membela diri.
P. 11. (1) Apabila terhadap para Hakim Mahkamah Agung ada
perintah untuk ditangkap, atau ditempatkan dalam rumah sakit djiwa, atau
untuk ditahan dalam pendjara oleh karena tidak membajar hutang, maka
dengan sendirinja mereka diberhentikan dari djabatannja untuk sementara
waktu.
477
(2) Apabila mereka dituntut dimuka Hakim dalam perkara pidana
tidak dengan ditangkap, atau apabila dan hal-hal penting jang mungkin
berakibat pemberhentian dalam djabatannja, mereka dapat diberhentikan
untuk sementara waktu.
BAB n.
KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG.
Bagian 1.
Pengawasan tertinggi atas berdjaiannja peradilan.
P. 12. (1) Mahkamah Agung Indonesia melakukan pengawasan
tertinggi atas pengadilan-pengadilan federal1), atas pengadilan-pengadilan
tertinggi daerah bagian dan —selama tidak diadakan pengawasan tertinggi
oleh suatu daerah bagian — djuga atas pengadilan-pengadilan lain daerah
bagian itu.
(2) Mahkamah Agung menjelenggarakan akan berlakunja peradilan
dengan saksama dan sejogja.
(3) Tingkah - laku perbuatan ( pekerdjaan ) pengadilan-pengadilan
tersebut dan para Hakim di pengadilan-pengadilan itu diawasi dengan tjermat
oleh Mahkamah Agung, guna kepentingan djawatan maka untuk itu
Mahkamah Agung berhak memberi peringatan-peringatan, tegoran-tegoran
dan petundjuk-petundjuk jang dipandang perlu dan berguna kepada penga­
dilan-pengadilan dan para Hakim tersebut, baik dengan surat tersendiri
maupun dengan surat edaran.
(4) Mahkamah Agung berkuasa meminta segala keterangan, pertim­
bangan dan nasehat dari segenap pengadflan, djuga dari pengadilan tentara,
dan dari para Hakim, begitu pula dari Djaksar-Agung dan dari para pegawai
lainnja jang diserahi penuntutan perkara pidana. Guna ini Mahkamah Agung
berhak pula memerintahkan penjerahan atau pengiriman surat-surat jang
bersangkutan dengan perkara-perkara jang akan dipertimbangkan.
P. 13. Djika keadaan memaksa, maka Mahkamah Agung dapat me­
netapkan haknja untuk sesuatu atau beberapa daerah pengawasan jang ter­
maksud dalam pasal 12 supaja didjalankan oleh Pengadilan Tinggi masing-
masing untuk daerah hukum jang bersangkutan.

Pengadilan federal dan daerah bagian tidak ada lagi sedjak terbentuknja Negara
Kesatuan pada tgL 17 - 8 - 1950.

478
B a g i a n 2.
Kekuasaan mengadili.
P. 14. Selain dari pada kekuasaan mengadili sebagai jang termuat
dalam Konstitusi, maka Mahkamah Agung djuga memutus pada tingkatan
peradilan pertama dan terachir:
I. semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili:
1. antar semua pengadilan jang tempat kedudukannja tidak sedaerah
hukum sesuatu Pengadilan Tinggi;
2. antara Pengadilan Tinggi dengan Pengadilan Tinggi;
3. antara Pengadilan Tinggi dengan suatu pengadilan dalam daerah
hukumnja;
4. antara pengadilan perkara hukuman perdata dan pengadilan perkara
hukuman ketentaraan, ketjuali perselisihan antara Mahkamah Agung
sendiri dengan pengadilan perkara hukuman ketentaraan jang ter­
tinggi; perselisihan ini diputus oleh Presiden. ( 100 —107 )
II. Semua perselisihan jang ditimbulkan dari perampasan kapal, kapal udara
dan muatannja oleh kapal perang, dengan berdasarkan atas peraturan
jang berlaku pada hal itu.
P. 15. Selain dari pada kekuasaan mengadili dalam tingkatan peradilan
kedua sebagai jang termuat dalam Konstitusi, maka Mahkamah Agung djuga
memutus pada tingkatan peradilan kedua atas putusan-putusan wasit jang
ternjata mengenai nilai harga 25.000 rupiah atau lebih. ( 108 -111)
P. 16. Mahkamah Agung dapat melakukan kasasi, jaitu pembatalan
atas putusan pengadilan-pengadilan lain dalam tingkatan peradilan jang ter­
achir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para
Hakim jang bertentangan dengan hukum, ketjuali putusan pengadilan dalam
perkara pidana jang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuntutan.
(17-21. 112 db., 121 db.)
P. 17. Kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak jang berkepen­
tingan atau atas permohonan Djaksa Agung karena djabatannja atau dalam
hal jang dimaksudkan pada pasal 158 ajat 3 Konstitusi djuga atas permohonan
Kepala Kedjaksaan pada pengadilan tertinggi dari daerah bagian, dengan
pengertian bahwa kasasi atas permohonan pihak Kedjaksaan hanja semata-
mata untuk kepentingan hukum dengan tidak merugikan pihak-pihak jang
berkepentingan.
479
P. 18. Alasanjang dapat dipakai untuk melakukan kasasi ialah :
1. apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada me-
laksanakannja;
2. apabila tidak dilaksanakan tjara melakukan peradilan jang harus diturut
menurut Undang-Undang.
P. 19. Permohonan kasasi jang dimadjukan oleh pihak jang berkepen­
tingan tidak dapat diterima, djika mereka belum atau tidak mempergunakan
hak melawan putusan pengadilan atau Hakim jang didjatuhkan diluar mereka
hadlir atau hak memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh pengadilanjang
lebih tinggi. (LN. 9/1951 p. 7 db.)
P. 20. Djika permohonan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung
dengan alasan, bahwa pengadilan atau Hakim jang bersangkutan adalah tidak
berkuasa mengadakan putusan penetapan atau perbuatan jang bersangkutan,
maka Mahkamah Agung menjerahkan perkaranja kepada pengadilan atau
Hakimjang berkuasa untuk diperiksa dan diputuskan. ( 129 )
P. 21. Djika permohonan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung
dengan lain alasan dari jang termuat dalam pasal 20, maka Mahkamah Agung
memutuskan sendiri perkara itu. ( 129 )
BAB III
DJALAN-PENGADILAN DALAM PERKARA PERIHAL
KETATANEGARAAN
B agian 1 *)
Tentang Perselisihan jang dimaksudkan pada
pasal 48 dan pasal 67 Konstitusi.
P. 22. (1) Dalam hal-hal jang menurut pasal-pasal 48 dan 67 Kon­
stitusi Republik Indonesia Serikat harus diputus oleh Mahkamah Agung
dalam tingkatan kesatu dan djuga terachir, maka pemeriksaan perkara perihal
ketatanegaraan itu dimulai dengan memadjukan surat permohonan kepada
Mahkamah Agung jang antara lain memuat hal-hal jang menjadi dasar permo­
honan hal-hal, supaja diputuskan.
(2) Surat permohonan itu dimadjukan untuk Pemerintah Republik In­
donesia Serikat oleh atau atas nama Djaksa Agung pada Mahkamah Agung
Indonesia; untuk pemerintah daerah bagian oleh Kepala Kedjaksaan pada pe­
ngadilan tertinggi daerah bagian itu dan untuk Swapradja oleh Pemerintah
pusat daerah Swapradja jang bersangkutan atau oleh jang berhak mewakili
Pemerintah itu menurut surat kuasa jang dilampirkan.
480
daftar perkara, maka atas perintah Ketua dikirimkan oleh Panitera sehelai
turunan surat permohonan itu kepada pihak lawan, jang harus memberi
djawaban dengan surat atas surat permohonan itu kepada Mahkamah Agung;
surat djawaban itu selambat-lambatnja satu bulan kemudian, terhitung dari
menerimanja turunan surat permohonan, sudah diterima dalam kepaniteraan
Mahkamah Agung. *
(2) Surat djawaban itu harus dimadjukan dari pihak lawan oleh peja­
bat-pejabat, tersebut dalam pasal 22 ajat (2).
P. 24. (1) Surat permohonan dan surat djawaban beserta surat-surat
lain jang mungkin dilampirkan kepadanja, disediakan dalam kepaniteraan
Mahkamah Agung untuk dibatja oleh kedua belah pihak dalam tempo jang
ditetapkan oleh Ketua.
(2) Permulaan tempo ini diberitahukan atas perintah Ketua oleh Pani­
tera kepada kedua belah pihak.
(3) Dalam tempo tersebut dapat dimadjukan oleh kedua belah pihak
pendjelasan seperlunja dengan surat kepada Mahkamah Agung.
P. 25. Terserah kepada kebidjaksanaan Mahkamah Agung apakah dan
sampai dimanakah pemeriksaan perkara harus dilakukan setjara mendengar
kedua belah pihak atau salah seorang dari mereka atau hanja setjara membatja
surat-surat sadja jang dimadjukan oleh kedua belah pihak atau salah seorang
dari mereka.
P. 26. Djika perlu membuktikan kebenaran sesuatu jang dimadjukan
oleh suatu pihak, maka menetapkannja tjara pembuktian dan kekuatan alat-
alat pembukti diserahkan kepada kebidjaksanaan Mahkamah Agung.
P. 27. Sebelum mengambil putusan, maka Mahkamah Agung dapat
mendengarkan siapapun djuga dan dapat djuga memerintahkan penjerahan
surat-surat jang diperlukan oleh siapapun.
P. 28. (1) Surat putusan ditandatangani oleh para Hakim jang turut
memutuskan dan oleh Panitera jang turut bersidang waktu putusan di­
umumkan.
(2) Turunan surat putusan ini dikirimkan oleh Panitera kepada kedua
belah pihak.
P. 29. (1) Apabila menurut Undang-undang suatu daerah bagian
perselisihan, jang dimaksudkan dalam pasal 67 Konstitusi dalam tingkatan
kesatu harus diputuskan oleh pengadilan tertinggi dari daerah bagian itu,
481
maka oleh salah satu pihak dapat dimohonkan supaja pemeriksaan perkara
diulangi oleh Mahkamah Agung Indonesia.
(2) Untuk itu maka pedjabat jang bersangkutan sebagai jang tersebut
dalam pasal 22 ajat 2, harus memadjukan kepada Mahkamah Agung suatu
surat permohonan, jang antara lain memuat hal-hal jang dimohonkan supaja
diputuskan.
(3) Surat permohonan ini harus disampaikan dalam waktu satu bulan,
terhitung dari hari pemberitahuan putusan dalam tingkatan pertama kepada
pemohon, ke - kepaniteraan pengadilan tertinggi daerah bagian jang memutus­
kan dalam tingkat pertama, disertai dengan surat-surat jang dianggap perlu.
(4) Panitera pengadilan itu mengirimkan suatu turunan surat permo­
honan kepada pihak lawan, jang harus mengirimkan surat djawaban kepada
Panitera tersebut dalam waktu satu bulan setelah menerima turunan itu.
(5) Kemudian dikirimkan oleh Panitera tersebut semua surat-surat
jang bersangkutan, terhitung surat tjatatan dari persidangan pemeriksaan
dan turunan dari putusan pada tingkatan pertama, kepada Mahkamah Agung.
(6) Mahkamah Agung memutuskan perkaranja pada tingkatan kedua
dan djuga terachir, berdasar atas surat-surat jang dikirimkan itu, djika perlu
setelah meminta pendjelasan seperlunja dari kedua belah pihak.
P. 30. (1) Surat putusan Mahkamah Agung ditanda-tangani oleh
para Hakim jang turut memutuskan dan oleh Panitera jang turut bersidang,
waktu putusan diumumkan.
(2) Turunan surat putusan itu dikirimkan oleh Panitera kepada kedua
belah pihak, sedang surat-surat pemeriksaan jang oleh Panitera diterima dari
pengadilan jang memeriksa perkaranja pada tingkatan pertama, dikirim kem­
bali kepada pengadilan itu beserta turunan surat putusan Mahkamah Agung.*)

*) bagian 1 dan 2 dalam Bab III ini, berhubung dengan terbentuknja Negara Kesatuan
R.I. sedjak tgL 17 Agustus 1950, harus dianggap sebagai telah terhapus.
482
B a g i a n 2.

Tentang pernjataan tak menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat


jang dimaksudkan pada pasal 156 ajat (2) dan pasal 157 Konstitusi.
P. 31. (1) Setelah surat permohonan jang dimaksudkan pada pasal
156 ajat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat diterima dalam kepani­
teraan Mahkamah Agung dan oleh Panitera dituliskan dalam daftar jang di­
adakan untuk itu, maka Ketua Mahkamah Agung menetapkan hari dan djam
untuk madjelis pertimbangan; pada hal ini Djaksa Agung dan Kepala Kedjak-
saan pada pengadilan tertinggi daerah bagian jang bersangkutan dipanggil
untuk didengarkan pendapatnja.
(2) Kalau dipandang perlu, maka Mahkamah Agung dapat memanggil
lain orang untuk didengar pendapatnja dalam madjelis pertimbangan itu, dan
dapat pula diminta segala surat-surat jang diperlukan untuk mengambil
putusan.
P. 32. (1) Dalam hal jang menurut pasal 157 Konstitusi Republik
Indonesia Serikat putusan suatu pengadilan jang mengandung pernjataan
tak menurut Konstitusi harus disahkan oleh Mahkamah Agung, maka penge­
sahan itu harus diminta oleh pengadilan itu dalam surat permohonan jang
ditanda-tangani oleh Ketua pengadilan tersebut.
(2) Surat permohonan itu harus disertai segala surat-surat pemeriksaan
perkara dan turunan putusan pengadilan itu.
(3) Kemudian berlakulah apa jang disebut pada pasal 31.
P. 33. (1) Surat putusan Mahkamah Agung tentang hal jang di­
maksudkan pada pasal 31 dan pasal 32 ditanda-tangani oleh para Hakim jang
turut memutuskan dan oleh Panitera jang turut bersidang waktu putusan
didjatuhkan.
(2) Turunan surat putusan ini dikirimkan oleh Panitera kepada Djaksa
Agung dan Kepala Kedjaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian jang
bersangkutan, sedang dalam hal mengesahkan putusan pengadilan lain maka
surat-surat pemeriksaan perkara, jang oleh Panitera diterima dari pengadilan
itu, dikirimkan kembali kepada pengadilan itu beserta turunan surat putusan
Mahkamah Agung.

483
BAB IV.

DJALAN - PENGADILAN DALAM TINGKATAN KESATU DALAM


PERKARA HUKUM PERDATA.
B a g i a n 1.
Pengusutan dan penuntutan perkara.
P. 34. Pengusutan dan penuntutan perkara hukuman perdata jang
menurut pasal 148 ajat (1) Konstitusi - harus diadili oleh Mahkamah Agung
didjalankan setjara jang berlaku untuk perkara-perkara hukuman perdata di-
muka Pengadilan Negeri, dengan pengertian, bahwa hal pengusutan ini ada
dibawah pimpinan Djaksa Agung dan penuntutannja dilakukan oleh Djaksa
Agung atau Djaksa Agung Muda, dengan mengirimkan surat-surat pemeriksaan
permulaan kepada Ketua Mahkamah Agung disertai surat penuntutan; dalam
hal itu dibubuh pendjelasan tentang perbuatan-perbuatan jang dituduhkan,
terutama perihal tempat dan waktu dilakukan, serta keadaan-keadaan dan hal-
hal jang dapat memberatkan atau meringankan kesalahan tersangka.

1) P. 148 ajat 1 Konstitusi ( Kep. Pres. R.I. Serikat tgl. 31 Djanuari 1950 NT0. 48 =
L.N. N0. 3/1950 ) berbunji : „Presiden, Menteri-menteri, Ketua dan anggota-
anggota Senat, Ketua dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat, Ketua, Wakil-
Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah
ini, Ketua, Wakil Ketua dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan,
Presiden Bank Sirkulasi serta pegawai-pegawai, anggota-anggota madjelis-madjelis
tinggi dan pendjabat-pendjabat lain jang ditundjuk dengan Undang-undang federal,
diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga dimuka Mahkamah Agung, pun
sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran-djabatan
serta kedjahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan Undang-undang federal
dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, ketjuali djika ditetapkan lain
dengan Undang-undang federal”.
P. 148 ajat 1 tsb. mutandis-mutandis adalah sama dengan bunji pasal 106 ajat 1
Undang-undang Dasar Sementara ( U. No. 7 th. 1950 tgl. 15 Agustus = L.N.
No. 56/1950 ).
U. pelaksanaan p. 106 ajat 1 U.D.S. tsb. ialah U. No. 22 th. 1951 tgl. 28 No-
pember = L.N. No. 117/1951 jang dapat dinamai „ Undang-undang forum Privi-
legiatum ”.
Dalam U.D. 1945 tidak terdapat pasal jang sama atau mirip dengan bunji salah
satu dari kedua pasal tsb. Tegasnja, selama belum ada suatu Undang-undang terasing
atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri jang menetapkan
forum privilegiatum bagi pedjabat tertinggi dan pedjabat-pedjabat tinggi seperti
Presiden R.I., para Menteri, Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota-anggota sesuatu
Dewan/Madjelis/Mahkamah, segala perkara jang dilakukan oleh pembesar-pembesar
tsb. diadili oleh pengadilan sehari-hari ( pengadilan biasa ) - demikianlah pendapat
beberapa orang ahli / sardjana hukum.
484
B a g i a n 2. •
Penjerahan perkara kesidang Mahkamah Agung.
P. 3 5 , Sesudah surat penuntutan dan surat-surat lain jang termaksud
dalam pasal 34 diterima dalam kepaniteraan Mahkamah Agung, maka Ketua
atau salah seorang Hakim Mahkamah Agung selekas mungkin memeriksa
dengan saksama surat-surat tersebut.'
P. 36. (1) Djika menurut pendapat Ketua atau Hakim, tersebut
dalam pasal 66, perkaranja harus diperiksa oleh pengadilan lain, maka dengan
selembar surat keputusan jang menjebutkan alasan-alasannja, perkara itu
diserahkan kepada pengadilan jang lain itu.
(2) Bila tersangka ada dalam tahanan sementara dan perbuatan jang
menjebabkan ia dituntut termasuk kedjahatan jang tersangkanja menurut
Undang-undang dapat ditahan sementara, maka Ketua atau Hakim tersebut
memerintahkan supaja tersangka terus ditahan. ( R.I.B. 62 )
(3) Djika dalam tempo 30 hari tiada perintah lain untuk menahan
sementara, maka tersangka harus dimerdekakan, ketjuali djika ia harus tetap
dalam tahanan untuk perkara lain.
(4) Dalam tempo 2 kali 24 djam dihitung dari tanggal surat kepu­
tusan termaksud dalam ajat 1,turunari surat keputusan itu beserta surat -surat
pemeriksaan lain harus dikirimkan kepada Djaksa Agung, jang akan menerus­
kan surat-surat itu kepada Kedjaksaan pengadilan jang lain itu.
P. 37. Djika Ketua atau Hakim tersebut berpendapat, bahwa per­
karanja ternjata masuk kekuasaan Mahkamah Agung, akan tetapi, masih ada
hal-hal jang harus ditambah pada pemeriksaan permulaan, maka Ketua atau
Hakim itu mengirimkan kembali surat-surat jang bersangkutan kepada Djaksa
Agung dengan mengutarakan hal-hal tersebut.
P. 38. (1) Djika Ketua atau Hakim berpendapat, bahwa
perbuatan jang dituduhkan dalam surat tuntutan, tidak dapat dikenakan
hukuman, atau surat-surat pemeriksaan permulaan tidak dapat mengadakan
alasan tjukup untuk melandjutkan tuntutan, maka hal ini harus dinjatakan
dalam putusan Ketua atau Hakim tersebut; apabila tersangka dalam tahanan
maka putusan itu harus memuat perintah untuk memerdekakannja seketika
itu djuga, ketjuali djika ia harus tetap ada dalam tahanan untuk perkara-
lain.

485
(2) Dalam tempo 2 kali 24 djam dihitung dari tanggal surat kepu-
tusan ini, turunan surat keputusan beserta surat-surat pemeriksaan lain harus
dikirimkan kepada Djaksa Agung.
P. 39. (1) Djika Ketua atau Hakim berpendapat, bahwa
perkaranja dapat dimadjukan kemuka sidang pengadilan, maka ia menjatakan
hal ini dengan menentukan hari tanggal sidang itu dan memerintahkan supaja
oleh Djaksa Agung atau oleh .polisi Negara dengan perantaraan Kedjaksaan
terdakwa dan saksi-saksi jang diperlukan harus dipanggil menghadap penga­
dilan dan supaja kepada terdakwa diberitahukan isi surat tuntutan.
(2) Apabila hari tanggal sidang itu belum dapat ditentukan, maka
sebab-sebabnja harus disebut dalam surat pernjataan, termaksud dalam
ajat (1)
(3) Djika perbuatan jang mendjadi dasar tuntutan termasuk
kedjahatan jang tersangkanja menurut Undang-undang dapat ditahan semen­
tara, maka Ketua atau Hakim harus menentukan apakah terdakwa harus
ditahan atau tidak. ( R.I.B. 62 )
(4) Djika beberapa berkas surat-surat pemeriksaan permulaan
hampir serempak diterima dalam kepaniteraan Mahkamah Agung dan ber­
kas-berkas itu mengenai perbuatan-perbuatan jang tersangkut-paut satu
dengan lain, maka perkara-perkara itu dapat digabungkan djadi satu.
(5) Perbuatan-perbuatan itu dapat dianggap bersangkut-paut, djika
perbuatan-perbuatan itu dilakukan :
1. oleh lebih dari seorang, bersama-sama dan bersekutu;
2. oleh lebih dari seorang pada waktu atau tempat jang berlain-lain, tetapi
menurut 'suatu permufakatan lebih dahulu;
3. dengan maksud akan mendapat upaja untuk melakukan atau memudah­
kan kejahatan lain, atau untuk menghindarkan dirinja dari hukuman
atas perbuatan lain. (R.I.B.250 a. 15 )
B agian 3.
Pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
P. 40. (1) Pada hari jang ditentukan menurut pasal 39 ajat (1),
Mahkamah Agung duduk bersidang.
(2) Ketua memimpin pemeriksaan dalam sidang; untuk keperluan
itu ia memberi perintah sepatutnja.
486
(3) Terdakwa dipanggil masuk dan djika ia ada didalam tahanan,
maka ia harus didjaga baik-baik dan lepas dari segala ikatan.
(4) Djika terdakwa ada diluar tahanan dan walaupun temjata telah
dipanggil setjara semestinja tidak datang menghadap sidang, maka Ketua
boleh menjuruh menangkap orang itu. (68)
(5) Djika didalam suatu perkara adalah lebih dari satu orang ter­
dakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, maka pemeriksaan
terhadap terdakwa jang datang menghadap dapat diteruskan.
(6) Djika terdakwa jang tidak datang itu, setelah ditangkap, dapat
menjalakan, bahwa tidak datangnja itu karena sebab jang pantas, maka Ketua
segera memerintahkan supaja orang itu dimerdekakan lagi.
(7) Djika orang itu tidak datang pada hari sidang jang kemudian
ditetapkan, maka Ketua boleh menjuruh lagi menangkapnja dan setelah
ditangkap, orang itu terus ditahan sementara. ( R.I.B. 253)
P. 41. (1) Dalam permulaan sidang Ketua menanjakan kepada
terdakwa: namanja, umurnja, tempat lahimja, tempat tinggalnja dan peker-
djaannja; lagi pula memberi ingat kepada terdakwa supaja diperhatikan segala
sesuatu jang akan didengarnja dalam sidang. ( R.I.B. 255 )
(2) Kemudian Ketua memberi perintah, supaja Djaksa Agung
membatjakan surat penuntutan dan surat penetapan Ketua jang termaksud
dalam pasal 39 ajat (1); atas penuntutan itu terdakwa harus memberi kete­
rangan seperlunja. ( R.I.B. 256 db.)
P. 42. (1) Apabila terdakwa atau pembelanja berpendapat, bahwa
tuntutan semestinja harus dibatalkan atau tidak mungkin dilandjutkan,
atau Mahkamah Agung tidak berkuasa mengadili perkaranja, maka tangkisan
ini dapat dimadjukan dan didjelaskan segera setelah pembatjaan surat-surat
jang termaksud dalam pasal 41 ajat (2) selesai.
(2) Setelah diberi kesempatan kepada Djaksa Agung untuk mengeluar­
kan pendapatnja tentang tangkisan itu dan kepada terdakwa dan pembelanja
untuk mendjawab, maka Mahkamah Agung mempertimbangkan tangkisan itu
dan mengambil putusan tentang hal itu.
(3) Pemeriksaan dalam sidang diteruskan, apabila Mahkamah Agung
memutuskan, bahwa tangkisan ditolak atau baru dapat memutuskan tentang
tangkisan itu tergantung dari pemeriksaan perkaranja sendiri.

487
(4) Meskipun oleh terdakwa atau pembelanja tidak dimadjukan tangki­
san jang termaksud dalam ajat (I), maka Mahkamah Agung dapat mengambil
putusan tentang hal-hal jang tersebut dalam ajat (1) itu, akan tetapi lebih dulu
Djaksa Agung dan terdakwa harus didengar pendapatnja.
(5) Berhubung dengan pembitjaraan dalam sidang jang dimaksudkan
dalam pasal ini, maka Djaksa-Agung berhak mengubah surat tuntutan menu­
rut sjarat-sjarat tersebut dalam pasal 65.
P. 43. (1) Ketua lalu memeriksa adakah semua saksi jang dipanggil
hadlir, dan memberi perintah seperlunja untuk mendjaga, supaja mereka
djangan sampai dapat membitjarakan perkaranja satu dengan lain, sebelum
memberi keterangan.
(2) Djika ada saksi jang tidak datang meskipun telah dipanggil dengan
patut dan Ketua ada tjukup alasan untuk menjangka, bahwa saksi itu tidak
mau datang, maka Ketua boleh memberi perintah, supaja saksi tersebut di­
bawa oleh polisi kepersidangan. ( R.I.B. 258 db.)
P. 44. (1) Para saksi dipanggil kedalam ruangan sidang seorang demi
seorang menurut tertib jang dipandang sebaik-baiknja oleh Ketua.
(2) Ketua menanjakan kepada saksi itu namanja, umurnja, pekerdja-
annja 'dan tempat tinggalnja; seterusnja apakah ia kenal kepada terdakwa,
sebelum terdakwa ini melakukan perbuatan jang mendjadi dasar penuntutan;
apakah ia berkeluarga dengan terdakwa setjara turunan atau perkawinan dan
sampai berapa .djauhnja, dan achirnja apakah ia ada perhubungan madjikan /
buruh terhadap .terdakwa.
(3) Kemudian saksi bersanggup akan berkata benar dan tidak lain dari
pada jang benar; setelah itu ia memberi keterangan dengan tidak boleh ber­
tahan sadja kepada keterangan jang diberikannja dalam pemeriksaan permu­
laan. ( R.I.B. 265 )
(4) Apakah Ketua memandang perlu, saksi dapat diperintahkan supaja
menguatkan keterangannja dengan sumpah setjara aturan agamanja, ketjuali
djika saksi masuk golongan jang agamanja melarang sumpah itu atau djika
saksi menurut kejakinan keagamannja berkeberatan bersumpah.
(5) Djika saksi dengan lain alasan dari pada jang tersebut dalam ajat (4)
berkeberatan menguatkan keterangan dengan sumpah, maka Ketua memerin­
tahkan supaja saksi disumpah akan berkata benar dan tidak lain dari pada jang
benar, dan kemudian saksi itu didengar lagi keterangannja dari permulaan.
488
P. 45. (1) Djika seorang saksi dengan tiada sebab jang sah enggan
bersumpah atau dengan menerangkan jang benar, maka Ketua boleh memper-
tangguhkan perkara itu selambat-lambatnja 14 hari kemudian.
(2) Dalam hal itu atas perintah Ketua saksi ditutup dalam pendjara,
dan pada hari jang telah ditentukan dibawa lagi menghadap sidang Mahkamah
Agung. ( R.I.B. 262 )
(3) Djika seorang saksi melakukan kedjahatan jang tersebut pada
pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka Ketua memerintahkan
Panitera mentjatat kedjadian itu dalam tjatatan pemeriksaan persidangan dan
jnengirimkan petikan tjatatan itu kepada Djaksa jang bersangkutan. ( R.I.B.-
264)
P. 46. (1) Djika ada saksi jang sesudah memberi keterangan dalam
pemeriksaan permulaan, meninggal dunia atau karena ada halangan jang sah
tidak dapat menghadap persidangan atau tidak dipanggil oleh karena djauh
tempat diam atau tempat tinggalnja, atau karena ada sebab lain berhubung
dengan kepentingan Negara, maka dibatjakanlah keterangan jang telah diberi-
kannja itu.
(2) Djika keterangan itu dibefi dengan sumpah, maka keterangan itu
disamakan harganja dengan keterangan saksi dibawah sumpah didalam sidang.
( R.I.B. 259 )
(3) Membatjakan keterangan ini dapat djuga dilakukan, apabila untuk
menjempumakan pembuktian pendengaran saksi itu didalam sidang dianggap
tidak perlu.
P. 47. (1) Djika keterangan seorang saksi dalam sidang berbeda dari
keterangan dalam pemeriksaan permulaan, maka Ketua memperingatkan saksi
itu serta minta keterangan tentang hal itu.
(2) Kedjadian ini dinjatakan dalam tjatatan pemeriksaan sidang.
( R.I.B. 267 )
P. 48. (1) Setelah tiap-tiap saksi selesai memberi keterangan, maka
Ketua menanjakan kepada terdakwa, adakah keberatan atas keterangan itu.
(2) Saksi tidak boleh diganggu pada waktu memberi keterangan,
akan tetapi setelah selesai memberi keterangan itu, maka terdakwa atau pem­
belanja dan Djaksa Agung boleh memadjukan pertanjaan kepada saksi.
(3) Ketua boleh minta kepada saksi dan terdakwa segala keterangan
jang dipandangnja perlu untuk mendapat kebenaran. ( R.I.B. 268 )
(4) Ketua dapat melarang pendjawaban pertanjaan jang dimaksudkan
oleh terdakwa, pembela atau Djaksa Agung kepada saksi. ( R.I.B. 272 )
489
P. 49. (1) Pertanjaan jang bermaksud nienjerat tidak boleh dimadju-
kan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, dan Ketua tidak boleh
mengindahkan djawab pertanjaanjang demikian.
(2) Djika dalam salah satu pertanjaan ada disebut suatu perbuatan jang
tidak diakui atau diberitahukan oleh terdakwa atau saksi, tetapi dianggap
seolah-olah telah diakui oleh mereka itu, maka pertanjaan itu harus dipandang
sebagai bermaksud mendjerat djuga.' ( R.I.B. 269 )
P. 50. (1) Sesudah memberi keterangan maka tiap-tiap saksi tinggal
menghadliri persidangan, ketjuali djika Ketua memberi izin kepadanja untuk
pergi.
(2) Izin itu tidak diberikan djika Djaksa Agung atau terdakwa me-
madjukan permintaan, supaja saksi itu terus menghadliri persidangan itu.
(3) Para saksi dalam sidang tidak boleh bertjakap-tjakap satu dengan
lain. ( R.I.B. 273 )
P. 51. Dengan memperhatikan jang ditentukan pada pasal jang berikut
dibawah ini, maka tidak dapat diperiksa sebagai saksi dan boleh mohon kebe­
basan mendjadi saksi: ( 52 )
1. keluarga karena kelahiran atau keluarga karena kelahiran dalam garis
turunan keatas atau kebawah terhadap terdakwa atau kawan terdakwa
dalam satu perkara;
2. saudara atau ipar terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara;
3. laki atau istri terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara, biarpun
sudah ditjerai;
4. keluarga karena perkawinan atau keluarga karena perkawinan dalam
turunan kesamping sampai tingkat ketiga terhadap terdakwa atau kawan
terdakwa dalam satu perkara. ( R.I.B. 274 )
P. 52. (1) Djika Djaksa Agung dan terdakwa sama mengizinkan,
maka orang jang tersebut dalam pasal 51, kalau mereka suka, boleh djuga
memberi keterangan.
(2) Biarpun tidak dengan izin itu, maka orang itu boleh djuga memberi
keterangan diluar sumpah. ( R.I.B. 275 )
P. 53. (1) Orang jang karena pekerdjaan atau djabatannja diwajibkan
menjimpan rahasia, boleh mohon dibebaskan memberi keterangan, akan-
tetapi hanja tentang hal jang diberitahukan kepadanja karena pekerdjaan atau
djabatannja.
490
(2) Mahkamah Agung jang memutuskah sah atau tidaknja segala-sebab
untuk mohon kebebasan itu. ( R.I.B. 277 )
P. 54. Jang hanja boleh diperiksa untuk memberi keterangan diluar
sumpah, jaitu:
1. anak-anak jang umumja belum tjukup lima belas tahun;
2. orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannja terang. ( R.I.B. 278 )
P. 55. (1) Sesudah saksi memberi keterangan, maka terdakwa atau
pembela dan Djaksa Agung boleh memohon, supaja saksi jang ditundjukkan-
nja dikeluarkan dari persidangan, dan supaja seorang saksi atau lebih disuruh
masuk kembali dan diperiksa lagi, baik sendiri-sendiri, maupun dimuka jang
lain.
(2) Ketua djuga boleh memberi perintah tentang hal-hal jang tersebut
pada ajat (1). ( R.I.B. 279 )
P. 56. Pada waktu seorang saksi diperiksa atau sesudah itu, maka
Ketua boleh menjuruh terdakwa keluar dari persidangan, dan menanjakan
saksi itu sendiri tentang beberapa hal, akan tetapi sesudah itu pemeriksaan
perkara tidak boleh diteruskan, sebelum kepada terdakwa diberitahukan
segala kedjadian pada waktu ia tidak hadir. ( R.I.B. 280 )
J _ . . .
P. 57. (1) Djika keterangan saksi dihadapan persidangan disangka
palsu, maka Ketua memperingatkan kepadanja hukuman jang mungkin di-
djahtuhkan padanja, djika ia tetap memberi keterangan jang tidak benar.
(2) Djika saksi tetap pada keterangan jang disangka palsu itu, maka
Ketua karena djabatannja atau atas permohonan Djaksa Agung atau terdakwa,
boleh memberi perintah supaja saksi itu ditahan sementara, dan supaja dila­
kukan pemeriksaan perkara pidana menurut Undang-undang.
(3) Dalam hal jang demikian segera dibuat oleh Panitera suatu tjatatan
pemeriksaan sidang jang memuat keterangan saksi itu dengan menjebutkan
alasan untuk bersangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu; tjatatan
itu harus ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera dan segera diserahkan
kepada Djaksa Agung.
(4) Djika perlu Ketua boleh mempertangguhkan persidangan dalam
perkara semula sampai pada kesudahan pemeriksaan perkara pidana saksi itu.
( R.I.B. 283)
491
P. 58. Djika terdakwa tidak mendjawab atau enggan mendjawab per-
tanjaan kepadanja, maka Ketua memperingatkan kepadanja kewadjiban akan
mendjawab, dan setelah itu meneruskan pemeriksaan perkara. (R.I.B. 270)
P. 59. Djika terdakwa karena kelakuanja jang tidak patut mengganggu
tertib persidangan, maka Ketua menegornja, dan djika tidak berhasil, lalu
menjuruh membawanja keluar tempat sidang, dan pemeriksaan perkara di­
teruskan dan perkara diputuskan diluar hadlir terdakwa. (R.I.B. 271)
P. 60. (1) Djika terdakwa atau saksi tidak paham akan bahasa
Indonesia, maka Ketua boleh mengangkat seorang djuru bahasa, dan menju­
ruh orang itu bersumpah akan menterdjemahkan dengan benar apa jang mesti
diterdjemahkan dari satu bahasa kepada bahasa jang lain.
(2) Barang siapa tidak boleh mendjadi saksi dalam suatu perkara,
tidak boleh pula mendjadi djuru bahasa dalam perkara itu. ( 51 db.; R.I.B.-
284)
P. 61. (1) Djika terdakwa atau saksi bisu dan tuli dan tidak dapat
menulis, maka Ketua mengangkat sebagai perantara orang jang lebih pandai
bergaul dengan terdakwa atau saksi itu, asal sadja orang itu sudah tjukup
umurnja untuk mendjadi saksi.
(2) Djika orang jang bisu dan tuli itu pandai menulis, maka Ketua
menjuruh menuliskan segala pertanjaan atau tegoran kepadanja, dan menju­
ruh menjampaikan tulisan itu kepada terdakwa atau saksi jang bisu dan tuli,
dengan perintah akan menuliskan djawabannja; kemudian segala pertanjaan
dan djawab mesti dibatjakan. ( R.I.B. 285 )
P. 62. (1) Segala aturan tersebut diatas bagi saksi berlaku djuga
bagi orang ahli, akan tetapi orang ahli bersumpah, bahwa ia akan memberi
laporan menurut kebenaran dan sepandjang pengetahuannja jang sebaik-
baiknja.
(2) Tiap-tiap orang dipanggil sebagai ahli, wadjib memenuhi panggilan
itu.
(3) Orang satu boleh diperiksa sebagai saksi dan sebagai ahli, asal sadja
sebelum disumpah diingatkan kepadanja kedua matjam sumpah itu
( R.I.B. 286 )
P. 63. (1) Selagi pemeriksaan didjalankan, maka Ketua boleh menju­
ruh memanggil orang lain dari pada saksi dan orang ahli jang sudah dipanggil,
pun djuga dengan perintah akan menghadap persidangan dengan segera.

492
(2) Berhubung dengan keterangan terdakwa dan saksi dalam persidang­
an, maka supaja .mendapat keterangan lebifi djelas Ketua boleh meminta
laporan jang dikehendaki dari orang ahli dan menjuruh memajukan surat ke­
terangan baru. ( R.I.B. 287 )
P. 64. (1) Ketua memperlihatkan kepada terdakwa segala barang
bukti dan menjatakan kepadanja, kenalkah ia akan barang itu.
(2) Djika perlu maka barang-barang itu diperlihatkan djuga oleh
Ketua kepada saksi. (R.I.B. 281)
P. 65. (1) Djika dalam pemeriksaan dalam sidang ternjata ada alasan
untuk mengubah surat tuntutan, maka Djaksa Agung dengan kemauan sendiri
atau atas permintaan Ketua berkuasa mengubah surat penuntutan itu, asal
sadja dengan perubahan itu perbuatan jang dituduhkan tidak mendjadi
perbuatan lain dalam arti jang dimaksudkan t pada pasal 76 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. ( 42 aj. 5 )
(2) Ketua harus memberitahukan perubahan itu kepada terdakwa, jang
diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnja tentang hal itu.
(3) Djika perlu, karena perubahan surat tuntutan ini, maka atas per­
mohonan terdakwa Ketua dapat mempertangguhkan pemeriksaan sampai hari
tanggal jangtertentu. (R.I.B. 282)
P. 66. (1) Setelah pemeriksaan selesai, maka Djaksa Agung menga­
dakan requisitoirnja, jang kemudian harus diserahkan kepada pengadilan.
J
(2) Kemudian terdakwa dan pembelanja memadjukan pembelaannja.
(3) Djaksa Agung dapat berbitjara lagi, tetapi terdakwa dan pembelanja
selalu boleh berbitjara pada penghabisan kali. ( R.I.B. 290 )
(4) Djika semua ini telah selesai maka Ketua menutup pemeriksaan.
(5) Terdakwa, saksi dan penonton dikeluarkan, dan setelah Djaksa
Agung djuga pergi dari ruangan sidang, maka pengadilan mempertimbangkan
segala sesuatu. (R.I.B. 291 )
(6) Putusan Mahkamah Agung dapat didjatuhkan pada hari itu djuga
atau pada hari lain jang harus diberitahukan kepada terdakwa. ( 36 )
P. 67. (1) Djikalau dalam pemeriksaan, dalam perkara kedjahatan
atau pelanggaran pada Mahkamah Agung terdakwa jang tidak ditahan tidak
hadlir pada hari sidangjang telah ditentukan, maka Ketua memeriksa, apakah
hari sidang itu diberitahukan kepada terdakwa dengan semestinja.
(2) Djika terdakwa tidak diberitahukan dengan semestinja, maka
Ketua memerintahkan supaja terdakwa diberi tahu lagi untuk hadir pada hari
sidang jattg ditentukan oleh Ketua. ( R.I.B. 253 )
493
P.68. (1) Djikalau terdakwa tidak hadlir biarpun ia telah diberi tahu
semestinja, maka selain dari apa jang ditentukan pada pasal 40 ajat (4), Mah­
kamah dapat djuga memerintahkan supaja perkara terdakwa diperiksa dan di­
putuskan diluar hadlir terdakwa. ( 69 )
(2) Ketentuan tersebut pada ajat (1), berlaku djuga dalam hal didalam
sesuatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa
hadlir pada hari sidang. ( L.N. 9/1951 p. 6 (1) c-e)
P. 69. Apabila Mahkamah: memberikan perintah tersebut pada pasal
68 ajat (1), maka dengan menjimpang seperlunja dari atjara pemeriksaan
dengan berhadlir terdakwa, saksi-saksi dan ahli-ahli jang hadlir dapat didengar
pada hari sidangjang ditentukan dalam perintah itu.
P. 70. (1) Djikalau terdakwa dihukum, maka setelah menerima-
petikan putusan dimaksudkan pada pasal 94 ajat (3), atau surat keterangan
dimaksudkan pada pasal 94 ajat (3), Djaksa Agung harus dengan selekas -
lekasnja menjampaikan kepada terhukum sendiri putusan hukuman itu dan
menerangkan kepadanja akan kemungkinan memadjukan perlawanan.
(2) Sesudah Djaksa Agung menjampaikan putusan itu kepada ter­
hukum, maka hal ini harus dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung.
P. 71. Dalam tempo tudjuh hari dihitung mulai dari berikutnja sesudah
hari putusan disampaikan, terhukum dapat memadjukan perlawanan kepada
Mahkamah Agung.
P. 72. (1) Perlawanan itu dimadjukan dengan lisan kepada Panitera
Mahkamah Agung, jang membuat tjatatan tentang hal itu.
(2) Tjat'atan itu ditandatangani bersama-sama oleh pelawan dan Pani­
tera.
(3) Bagi pelawan jang tidak pandai menulis, penanda-tanganan itu
dapat dilakukan dengan tjap djari.
(4) Oleh karena perlawanan itu, maka putusan hukuman diluar hadlir
terdakwa tidak berlaku lagi:
P. 73. (1) Ketua memberitahukan kepada Djaksa Agung perlawanan
jang dimadjukan seperti tersebut pada pasal 72.
(2) Dalam pemberitahuan itu Ketua menentukan hari sidang bilamana
perkara terdakwa akan diperiksa dan djuga apakah saksi-saksi dan ahli-ahli
tersebut pada pasal 69 akan didengar lagi.

494
P. 74. (1) Ketjuali djika Mahkamah atas kebidjaksanaan sendiri
atau atas permintaan terdakwa memerintahkan supaja perkara diperiksa
menurut peraturan pemeriksaan terdakwa memerintahkan supaja perkara di­
periksa- menurut peraturan pemeriksaan dengan berhadlirnja terdakwa, maka
perkara diputus setelah terdakwa didengar dan setelah surat-surat pemerik­
saan dibatjakan dan terdakwa ditanja apakah ia mengerti betul isi surat-surat
itu dan apakah djawabnja atas itu.
(2) Keterangan saksi-saksi dan ahli-ahli tersebut pada pasal 73 jang
dibatjakan dalam sidang ini dianggap sebagai diutjapkan dalam sidang itu.
P. 75. Djikalau pada hari sidang jang ditentukan menurut pasal 73
terdakwa tidak hadlir, maka perlawananja batal dan putusan hukuman
diluar hadlir terdakwa semula berlaku lagi; dan kesempatan untuk mema-
djukan perlawanan tidak ada lagi.
P. 76. Dalam perkara tentang kedjahatan jang diantjam dengan hu­
kuman mati, hukuman pendjara seumur hidup dan setinggi-tingginja 20 tahun
tidak dapat diadakan pemeriksaan diluar hadlir terdakwa.
B agian 4
Pembuktian dan putusan
P. 77. Terdakwa hanja dapat dianggap terbukti melakukan perbuatan
jang dituduhkan kepadanja, apabila Mahkamah sebagai hasil pemeriksaan
dalam sidang mendapat kejakinan tentang hal itu dari isi alat-alat bukti
jang sah.
P. 78. (1) Alat-alat bukti jang sah ialah:
1. pengetahuan Hakim, (79)
2. keterangan terdakwa, (80)
3. keterangan saksi, (81)
4. keterangan orang ahli, (82)
5. surat - surat. (83)
(2) Keadaan jang telah diketahui oleh umum, tidak perlu dibuktikan.
P. 79. Pengetahuan Hakim berarti penjaksian sendiri pada waktu
sidang.
P. 80. (1) Keterangan terdakwa berarti pemberitahuannja dalam
sidang tentang kedjadian atau keadaan jang ia alami sendiri.
(2) .Keterangan terdakwa hanja boleh dipakai sebagai bukti terhadap
ia sendiri.
495
(3) Keterangan terdakwa sadja tidak tjukup untuk membuktikan,
bahwa terdakwa melakukan perbuatan, jang dituduhkan kepadanja, melain­
kan harus dikuatkan oleh suatu alat bukti lain.
P. 81. (1) Keterangan saksi berarti pemberitahuannja dalam sidang
tentang kedjadian atau keadaan jang didengar, dilihat atau dialami oleh
saksi itu sendiri.
(2) Keterangan seorang saksi sadja tidak tjukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan jang dituduhkan kepadanja, melain­
kan harus dikuatkan oleh alat bukti lain.
P. 82. Keterangan orang ahli berarti pendapat orang itu jang diberi­
tahukan dalam sidang tentang jang. diketahui menurut ilmu pengetahuannja
terhadap soal jang dimintakan pendapatnja.
P. 83. Termasuk surat-surat sebagai alat bukti:
1. putusan setjara jang sah diambil oleh badan pengadilan atau Hakim;
2. tjatatan dan surat-surat lain dibuat setjara jang sah oleh pedjabat jang
berkuasa dan jang memuat pemberitahuan keadaan-keadaan jang dialami
oleh pedjabat itu sendiri;
3. surat-surat keterangan dibuat oleh pedjabat tentang soal-soal jang masuk
lingkungan djabatannja dan diperuntukkan bagi membuktikan sesuatu
keadaan;
4. laporan orang-orang ahli jang memuat pendapatnja tentang jang diketahui
menurut ilmu pengetahuannja terhadap soal jang dimintakan pendapat­
nja;
5. surat-surat lain. (R.I.B. 311 db.)
P. 84. Djikalau Mahkamah berpendapat bahwa perbuatan jang ditu­
duhkan kepada terdakwa, tidak terbukti, maka terdakwa dibebaskan, dan
djikalau ia ada didalam tahanan, dengan perintah memerdekakannja seketika
itu djuga, ketjuali djika iaharustetap ditahan untuk perkara lain. ( R.I.B. 62,-
313)
P. 85. (1) Djikalau Mahkamah Agung berpendapat bahwa perbuatan
jang dituduhkan kepada terdakwa, meskipun terbukti akan tetapi tidak meru­
pakan kedjahatan atau pelanggaran atau jang terdakwa tidak dapat dihukum,
maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan tentang hal ini.
(2) Perintah untuk memerdekakan terdakwa didjalankan dengan segera
sesudah putusan didjadikan. (314)
496
P. 86. (1) Djikalau Mahkamah berpendapat bahwa terdakwa benar-
benar bersalah, maka Mahkamah mendjatuhkan hukuman atau memerintah­
kan sesuatu menurut hukum.
(2) Djikalau terdakwa dipersalahkan perihal suatu kedjahatan j'ang
dapat diadakan penahanan sementara, maka Mahkamah dapat memerintahkan
penahanan terdakwa djikalau ia ada diluar tahanan, dan djuga dapat memerin­
tahkan supaja terdakwa dimerdekakan, djikalau ia ada dalam tahanan; perin­
tah itu harus didjalankan dengan segera, sesudah putusan didjatuhkan. (R.I.B.
62, 315 )
P. 87. (1) Dalam putusan jang mengandung hukuman, pembalasan,
atau melepaskan dari tuntutan, Mahkamah harus memerintahkan supaja
barang-barang bukti dikembalikan kepada orang jang namanja disebutkan
dalam surat putusan itu dan jang menurut pendapat Mahkamah berhak atas
barang-barang tersebut, ketjuali djika menurut peraturan hukum barang-
barang itu harus dirampas atau dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak-
dapat dipakai lagi.
(2) Djikalau' ditimbang perlu, Mahkamah boleh njemberi perintah
supaja barang-barang itu dikembalikan seketika sesudah habis sidang.
(3) Pengembalian barang-barang bukti dapat disertai dengan perdjandji-
an jang ditetapkan oleh Mahkamah.
(4) Dalam putusan dapat diperintahkan supaja barang-barang jang di­
perbuat, atau diperbaiki atau dipakai untuk melakukan perbuatan jang ada
antjaman hukuman, mesti dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak dapat
dipakai lagi. ( R.I.B. 316)
P. 88. Putusan Mahkamah harus diutjapkan oleh Ketua dalam sidang
jang terbuka untuk umum. (R.I.B. 317)
P. 89. (1) Terdakwa jang berada dalam tahanan harus dibawa ke-
dalam sidang supaja hadir pada waktu putusan diutjapkan, ketjuali djika
ia tidak dapat datang; dalam hal ini putusan oleh Panitera diberitahukan
kepadanja dalam rumah pendjara, dan tjara pemberitahuan ini harus ditjatat
dibawah surat putusan.
(2) Ketjuali djika terdakwa dibebaskan dari tuntutan, maka sesudah
putusan itu diutjapkan, Ketua mengingatkan terdakwa untuk meminta,
supaja mendjalankan putusan dipertangguhkan 14 hari lamanja, untuk tempo
ia akan memasukkan permintaan grasi. Peringatan ini didjalankan oleh Pani­
tera, djika putusan diberitahukan kepada terdakwa dalam pendjara.
(3) Perbuatan jang dilakukan menurut ajat (2), harus ditjatat dalam
surat tjatatan pemeriksaan sidang. (R.I.B. 318)
497
P. 90. (1) Surat putusan harus memuat:
1. nama, umur, tempat lahir, tempat tinggal atau tempat diam dan peker-
djaan terdakwa;
2. keputusan tentang kesalahan terdakwa dengan menjebutkan alasan
keputusan itu dengan ringkas; termasuk djuga isi alat-alat bukti jang
mendjadi dasar pembuktian;
3. requisitoir Djaksa Agung;
4. hukuman jang didjatuhkan kepada terdakwa jang diputuskan berke-
salahan dengan disebutkan pasal-pasal Undang-undang jang menjadi
dasar hukuman;
5. keputusan tentang ongkos perkara dan keputusan tentang pengembalian
barang-barang bukti dan, djika didapat kepalsuan dalam surat resmi,
keterangan bahwa surat itu palsu seluruhnja atau bagian mana jang
dipalsukan ; ( 92 )
6. hari tanggal mendjatuhkan putusan dan nama para Hakimjang memutus­
kan, dan djika seorang Hakim itu berhalangan untuk berhadlir pada
waktu putusan diutjapkan atau untuk menandatangani putusan, dengan
menjebutkan sebabnja berhalangan itu;
7. perintah akan menahan terdakwa sementara atau akan lepaskan dari
tahanan dalam hal lain dari pada hal dibebaskan dengan menerangkan
alasan perintah itu.
(2) Keputusan tentang sekalian terdakwa dalam satu perkara, jang
serempak diputuskan perkaranja, dimuatkan dalam satu surat putusan.
(R.I.B. 319)
P. 91. Surat putusan harus ditanda-tangani oleh para Hakim jang
memutuskan dan oleh Panitera jang turut bersidang waktu putusan didjatuh­
kan, jaitu selambat-lambatnja 14 hari sesudah putusan diutjapkan. (R.I.B.-
320)
P. 92. Dalam hal surat-resmi jang palsu, maka Panitera melekatkan
kepada surat itu petikan putusan jang memuat keterangan termaksud pada
pasal 90 angka 5, dan pada surat jang palsu atau jang dipalsukan itu Panitera
menulis tjatatan jang menundjukkan kepada petikan putusan itu; turunan
surat jang palsu atau jang dipalsukan itu harus disertai tjatatan tersebut.
(R.I.B.321)
P. 93. (1) Panitera membuat tjatatan persidangan dengan ditulis
segala sjarat-sjarat atjara jang dipenuhi dan segala kedjadian dalam persidang­
an itu.
49«
(2) Tjatatan ini memuat djuga isi jang penting dari keterangan saksi,
orang ahli dan terdakwa, ketjuali djika Ketua menganggap, bahwa dalam hal
ini tjukuplah ditundjukkan sadja kepada keterangan-keterangan jang termuat
dalam tjatatan pemeriksaan dengan disebut perbedaan antara dua keterangan
itu.
(3) Ketua boleh memerintahkan supaja sesuatu keadaan atau keterang­
an ditjatat dengan istimewa; tjatatan ini harus diadakan apabila diminta oleh
Djaksa Agung atau terdakwa atau pembela!
(4) Tjatatan persidangan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera;
djika mereka berhalangan, hal itu harus disebut dalam tjatatan itu.
( R.I.B. 322)
B a g i a n 5.
Tentang mendjalankan putusan. ( R.I.B. 324 db.)
P. 94. (1) "Putusan Mahkamah Agung jang memuat hukuman harus
didjalankan oleh Djaksa Agung.
(2) Untuk itu Panitera mengirimkan kepada Djaksa Agung petikan dari
putusan itu berangkap dua, dan dalamnja disebut; nama, umur, tempat lahir,
pekerdjaan, tempat tinggal atau tempat diam terdakwa, putusan pengadilan,
nama Hakim jang turut memberi pytusan, dan lagi perintah tentang pe­
nahanan terdakwa.
(3) Kalau dari putusan pengadilan belum dapat dibuat petikan sebagai
jang dimaksudkan pada ajat (2), maka Panitera mengirimkan surat ke­
terangan, jang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera dan dibuat setjara
petikan tersebuf. (70)
P. 95. (1) Kalau putusan Mahkamah memuat hukuman denda atau
hukuman merampas barang, maka Djaksa Agung menentukan tempo jang
melebihi dua bulan, dalam tempo mana denda harus dibajar lunas atau barang
jang dirampas itu harus diserahkan ataupun dibajar harganja menurut taksiran
pada putusan itu.
(2) Tempo itu boleh diperpanjang beberapa kali, tetapi djumlahnja
tidak boleh lebih lama dari satu tahun. ( R.I.B. 325a )
P. 96. Hukuman mati didjalankan dihadapan Djaksa Agung atau
Djaksa Agung Muda dan selalu diusahakan supaja tidak dapat dilihat oleh
orang banjak. (KUHP 11; R.I.B. 329)

499
P. 97. Djika orang jang dahulu sudah dapat hukuman pendjara,
tutupan atau kurungan dan kemudian dapat lagi hukuman seperti itu sebelum
ia mendjalankan hukuman jang didjatuhkan lebih dulu itu, maka segala
hukuman didjalankan berturut-turut, mulai dengan hukuman jang terberat.
(R.I.B. 330)
P. 98. Hukuman membajar ongkos perkara dan hukuman membajar
uang ganti kerugian kepada pihak jang mendapat rugi, didjalankan setjara
mendjalankan putusan pengadilan dalam perkara perdata. ( R.I.B. 181,-
196 db.)
P. 99. Sekalian orang jang bersama-sama dimadjukan kemuka Hakim
karena satu perbuatan dan bersama-sama dihukum karena itu, menanggung
sendiri-sendiri bajaran semua ongkos perkara jang diputuskan bagi mereka
bersama-sama. ( R.I.B. 333 )
BAB V.
HAL MEMUTUSKAN PERSELISIHAN TENTANG
KEKUASAAN MENGADILI.
B a g i a n 1.
Dalam perkara perdata.
P. 100. (1) Djika ada perselisihan tentang kekuasaan mengadili
dalam perkara perdata, jang harus diputus oleh Mahkamah Agung, maka
salah satu pihak jang berkepentingan dapat memasukkan surat permohonan
kepada Mahkamah Agung dengan diterangkan didalamnja pendapat per­
mohonan tentang hal ini serta alasan-alasannja, dengan permohonan supaja
Mahkamah memberi putusan.
(2) Setelah surat permohonan itu dituliskan oleh Panitera Mahkamah
Agung dalam daftar perselisihan tentang kekuasaan mengadili dalam perkara
perdata, maka Ketua memerintahkan supaja sehelai turunan surat per­
mohonan dikirimkan kepada pihak jang lain dengan pemberitahuan, bahwa
pihak itu dalam waktu jang tertentu dan jang tidak melebihi satu bulan,
dapat memadjukan surat kepada Ketua, dengan diterangkan didalamnja
pendapatnja tentang hal ini serta alasan-alasannja.
(3) Kemudian Mahkamah Agung mengambil putusan, kalau setelah
memanggil pihak-pihak jang berkepentingan atau saksi-saksi untuk didengar
dalam sidang pengadilan.

500
Bagian 2.
Dalam perkara pidana.
P. 101. Perselisihan tentang kekuasaan mengadili adalah terdjadi;
1. apabila suatu pengadilan mengatakan dirinja berkuasa akan mengadili
suatu kedjahatan atau pelanggaran, sedangkan ada pengadilan lain jang
djuga mengatakan dirinja berkuasa mengadili kedjahatan atau pelang­
garan itu atau jang bersangkut-paut dengan kedjahatan atau pelanggaran
itu dalam arti jang dimaksudkan pada pasal 39 ajat ( 5 );
2. apabila suatu pengadilan mengatakan dirinja tidak berkuasa akan menga­
dili suatu kedjahatan atau pelanggaran dan menundjukkan lain penga­
dilan sebagai jang berkuasa mengadili, sedangkan pengadilan jang di-
tundjuk itu mengatakan dirinja tidak berkuasa mengadili.
P. 102. (1) Permohonan untuk memutuskan hal perselisihan itu
dimadjukan kepada Mahkamah Agung.
(2) Permohonan termaksud pada ajat (1), harus dilakukan dengan
tulisan oleh Djaksa pada Kedjaksaan jang ada disamping salah suatu penga­
dilan jang berselisihan atau oleh terdakwa jang bersangkutan.
P. 103. (1) Apabila permohonan dilakukan oleh Djaksa, maka Djaksa
itu harus mengirimkan surat permohonan beserta surat-surat pemeriksaan
perkara kepada Ketua Mahkamah Agung dan memberitahukan hal ini dalam
satu.minggu kepada pengadilan jang 'termaksud pada pasal 102 ajat ( 2 ).
(2) Kemudian Djaksa tersebut mengirimkan turunan surat permohonan
kepada Djaksa pada Kedjaksaan jang ada disamping pengadilan lain jang
berselisihan.
(3) Djaksa jang tersebut dibelakang ini harus mengirimkan surat-surat
pemeriksaan perkara jang ada ditangannja beserta pemandangannja kepada
Ketua Mahkamah Agung, jaitu selambat-lambatnja satu bulan setelah mene­
rima turunan permohonan.
(4) Djaksa tersebut pada ajat (1), djuga harus mengirimkan turunan
surat permohonan kepada terdakwa, jang berhak mengirimkan pendapatnja
kepada Ketua Mahkamah Agung jaitu selambat-lambatnja satu bulan setelah
menerima surat permohonan.
P. 104. (1) Apabila permohonan dilakukan oleh terdakwa, maka
terdakwa mengirimkan surat permohonan kepada Djaksa pada Kedjaksaan
jang ada disamping salah suatu pengadilan jang tersebut pada pasal 101, dan
Djaksa itu harus melandjutkan surat permohonan itu beserta pemandangan­
nja dan surat pemeriksaan perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
501
(2) Djaksa ini djuga mengirimkan turunan surat permohonan dan
pernandangannjakepaaa Djaksa pada Kedjaksaan jang ada disamping penga­
dilan lain jang berselisihan.
(3) Djaksa jang tersebut dibelakangan ini harus mengirimkan surat
surat pemeriksaan perkara jang ada ditangannja beserta pemandangannja
kepada Ketua Mahkamah Agung, jaitu selambat-lambatnja satu bulan setelah
menerima turunan surat permohonan.
P. 105. (1) Para Djaksa pada Kedjaksaan-kedjaksaan jang masing-
masing ada disamping pengadilan jang sama berperselisihan harus memberi­
tahukan hal masuknja permohonan tersebut diatas kepada pengadilan-penga­
dilan itu.
(2) Dalam hal jang tersebut pada pasal 101 kesatu, setelah menerima
pemberitahuan tersebut pada ajat (1), maka pemeriksaan perkara oleh penga­
dilan-pengadilan berperselisihan harus ditunda sehingga perselisihan diputus­
kan.
P. 106. (1) Mahkamah Agung dapat memerintahkan kepada salah
suatu pengadilan untuk memeriksa terdakwa tentang hal-hal jang dianggap
perlu untuk mengambil putusan.
(2) Pengadilan jang diperintahkan ini harus selekas mungkin membuat
tjatatan pemeriksaan dan mengirimkan tjatatan itu kepada Mahkamah Agung.
P. 107. (1) Kemudian perselisihan diputus oleh Mahkamah Agung,
jaitu setelah mendengar keterangan Djaksa Agung.
(2) Djaksa Agung harus memberitahukan putusan itu kepada terdakwa
dan Djaksa pada Kedjaksaan jang ada disamping pengadilan-pengadilan jang
berperselisihan.
BAB VI.
DJALAN - PENGADILAN PADA PERADILAN TINGKAT
KEDUA BAGI PUTUSAN-PUTUSAN WASIT.
P. 108. (1) Dari putusan wasit, jang menurut pasal 15 dapat di­
mohonkan pemeriksaan pada tingkatan Peradilan kedua, oleh salah satu dari
pihak-pihak jang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan
oleh Mahkamah Agung.
(2) Permohonan ini harus disampaikan dengan surat kepada Ketua
Mahkamah Agung dalam tempo satu bulan setelah putusan wasit diberi­
tahukan kepada pihak-pihak jang berkepentingan, disertai turunan putusan
wasit dan surat-surat lain jang dianggap perlu.
502
P. 109. (1) Permohonan pemeriksaan ulangan jang dapat diterima,
ditjatat oleh Panitera Mahkamah Agung didalam daftar.
(2) Panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan.
(3) Kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan
bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, asal sadja turunan surat-surat itu
diberitahukan kepada pihak lawan.
P. 110. Kalau dipandang perlu, maka Mahkamah Agung sebelum
mengambil putusan mendengar para pihak jang berperkara dalam sidang
pengadilan.
P. 111. Putusan Mahkamah Agung tentang hal ini dapat didjalankan
setjara mendjalankan putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata.
( R.I.B. 195-224)

BAB VII.
DJALAN - PENGADILAN DALAM PEMERIKSAAN KASASI.
B a g i a n 1.
Dalam perkara perdata.
P. 112. Dalam hal jang menurut pasal-pasal 16 - 19 pada putusan
pengadilan-pengadilan dan para Hakim dalam perkara perdata boleh dimadju-
kan permohonan pemeriksaan kasasi, maka para pihak dapat memasukkan
permohonan pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung.
P. 113. (1) Permohonan untuk pemeriksaan kasasi harus disampaikan
dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau wakilnja, jang sengadja
dikuasakan'untuk memadjukan permohonan itu kepada Panitera dari penga­
dilan atau Hakim jang mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan, jang
dimohonkan pemeriksaan kasasi, jaitu di Djawa dan Madura dalam tempo
tiga minggu dan diluar Djawa dan Madura dalam tempo enam minggu sesudah
putusan jang kekuatannja sudah tetap, diberitahukan kepada pemohon.
(2) Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat
keterangan jang ditandatangani oleh Panitera tersebut dan djika dapat djuga
pemohon atau wakilnja, surat keterangan mana harus dilampirkan pada
surat-surat pemeriksaan perkara dan ditjatat dalam daftar.
(3) Permohonan itu harus selekas mungkin oleh Panitera diberitahukan
kepada pihak lawan.
503
P. 114. (1) Selama surat-surat pemeriksaan belum dikirim ke Mah­
kamah Agung, maka permohonan pemeriksaan kasasi dapat ditjabut kembali
oleh pemohon.
(2) Pemeriksaan kasasi hanja dapat diadakan satu kali sadja.
P. 115. (1) Pada waktu menjampaikan permintaan atau selambat-
lambatnja dua minggu kemudian, pemohon pemeriksaan kasasi harus
memadjukan alasan-alasan permohonan kepada Panitera tersebut pada pasal
113 ajat ( l).
(2) Djika apa jang disebut pada ajat (1) pasal ini dilalaikan, maka
permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak ada.
(3) Pihak lawan berhak memadjukan surat jang bermaksud melawan
atau menjokong permohonan itu kepada Panitera tersebut pada ajat (1).
selambat-lambatnja dua minggu terhitung mulai pada hari berikutnja hari
pemberitahuan permohonan pemeriksaan kasasi kepadanja.
P. 116. Selambat-lambatnja satu bulan, terhitung mulai pada hari
berikutnja hari menjampaikan permohonan pemeriksaan kasasi kepada
Panitera tersebut pada pasal 113 ajat 1, Panitera ini harus mengirimkan
turunan surat putusan atau penetapan atau perbuatan lain dan surat-surat
pemeriksaan serta bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, jang seketika
harus menulis permohonan ini dalam daftar dan memberitahukan hal ini
kepada Ketua Mahkamah Agung.
P. 117. Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung djika
dipandang perlu dengan mendengar sendiri para pihak atau saksi atau
menjuruh mendengarkan para pihak atau saksi oleh Pengadilan Tinggi atau
Pengadilan Negeri jang dalam daerah hukumnja berdiam salah satu pihak.
P. 118. Djika diputuskan oleh Mahkamah Agung bahwa permintaan
kasasi ditolak, maka hal ini harus diberitahukan kepada pemohon pemeriksa­
an kasasi dan pihak lawanja dan surat-surat pemeriksaan perkara dikirimkan
kembali kepada Panitera pengadilan jang bersangkutan.
P. 119. Dalam putusan jang tersebut dalam pasal 20 dan pasal 21
Mahkamah Agung tidak terikat kepada alasan-alasan jang dimadjukan oleh
pemohon pemeriksaan kasasi melainkan dapat memakai alasan-alasan lain.
P. 120. (1) Putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
diutjapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Turunan surat putusan dikirimkan kepada Ketua pengadilan jang
bersangkutan.
504
Bagian 2.
Dalam perkara pidana.
P. 121. Dalam hal jang menurut pasal-pasal 16 — 19 pada putusan
penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan dan para Hakim dalam
perkara pidana boleh dimadjukan permohonan pemeriksaan kasasi, maka
terdakwa atau Djaksa Agung dapat memasukkan permohonan pemeriksaan
kasasi oleh Mahkamah Agung.
P. 122. (1) Permohonan untuk pemer iksaan kasasi harus disampaikan
dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau wakilnja, jang sengadja
dikuasakan untuk memadjukan permohonan itu, kepada Panitera pengadilan
atau Hakim jang mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan jang di­
mohonkan pemeriksaan kasasi, jaitu di Djawa dan Madura dalam tempo
tiga minggu dan diluar Djawa dan Madura dalam tempo enam minggu sesudah
putusan, jang kekuatannja sudah tetap diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat
keterangan jang ditandatangani oleh Panitera tersebut dan djika dapat, djuga
oleh pemohon atau wakilnja, dan pada surat keterangan ini harus disertakan
surat-surat pemeriksaan perkara dan djuga ditjatat dalam daftar.
P. 123. Djika Djaksa jang memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi,
maka hal itu harus selekas mungkin diberitahukan kepada terdakwa.
P. 124. (1) Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke-
Mahkamah Agung, permohonan pemeriksaan kasasi dapat ditjabut kembali
oleh pemohon, dan djika ditjabut, tidak dapat diulangi lagi.
(2) Pemeriksaan kasasi hanja dapat diadakan satu kali sadja.
P. 125. (1) Pemohon pemeriksaan kasasi harus memadjukan alasan-
alasan permintaan, jaitu pada waktu menjampaikan permohonan atau
selambat-lambatnja dua minggu kemudian kepada Panitera tersebut pada
pasal 122 ajat (1).
(2) Djika apa jang disebut pada ajat (1) pasal ini dilalaikan, maka
permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak ada.
(3) Djika jang mohon pemeriksaan kasasi adalah Djaksa Agung, maka
terdakwa berhak memadjukan surat jang bermaksud melawan atau menguat­
kan permintaan Djaksa Agung, kepada Panitera tersebut pada ajat (1), se­
lambat-lambatnja dua minggu, terhitung mulai pada hari berikutnja hari
pemberitahuan permohonan pemeriksaan kasasi kepadanja.

505
P. 126. (1) Selambat-lambatnja satu bulan, terhitung mulai pada hari
berikutnja hari menjampaikan permohonan pemeriksaan kasasi kepada
Panitera tersebut dalam pasal 122 ajat (1), Panitera ini harus mengirimkan
turunan surat putusan atau penetapan atau perbuatan lain dan surat
pemeriksaan serta surat-surat bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, jang
seketika harus menulis permohonan ini dalam daftar dan memberitahukan
hal ini kepada Ketua Mahkamah Agung.
(2) Djika permohonan pemeriksaan kasasi dimadjukan oleh terdakwa,
maka Ketua Mahkamah Agung menjuruh menjerahkan surat-surat tersebut
dalam ajat (1) kepada Djaksa Agung menjuruh menjerahkan surat-surat ter­
sebut dalam ajat (1) kepada Djaksa Agung, jang harus menjampaikan kepada
Ketua Mahkamah Agung surat jang bermaksud melawan atau menguatkan
permohonan kasasi selambat-lambatnja dua minggu kemudian, beserta surat-
surat tersebut.
P. 127. Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, djika
dipandang perlu dengan mendengar sendiri terdakwa atau saksi atau men­
juruh mendengarkan terdakwa atau saksi oleh Pengadilan Tinggi atau
Pengadilan Negeri, jang dalam daerah hukumannja bertempat tinggal ter­
dakwa atau saksi itu.
P. 128. Djika diputuskan oleh Mahkamah Agung, bahwa permohonan
kasasi ditolak, maka hal ini harus diberitahukan kepada pemohon pemeriksa­
an kasasi dan Djaksa Agung dan surat-surat pemeriksaan perkara dikirim
kembali kepada Panitera pengadilan jang bersangkutan.
P. 129. Dalam putusan sebagai jang tersebut pada pasal 20 dan pasal 21
Mahkamah Agung tidak terikat kepada alasan-alasan jang dimadjukan oleh
pemohon pemeriksaan kasasi, melainkan dapat memakai alasan-alasan lain.
P. 130. (1) Putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
harus ditandatangani oleh semua Hakim jang turut memeriksa dan oleh
Panitera jang turut membantu pemeriksaan, ketjuali djika mereka berhalang­
an, dan hal ini harus ditjatat dalam surat putusan.
(2) Turunan surat putusan dikirimkan kepada Djaksa Agung dan Ketua
pengadilan jang bersangkutan.

506
BAB VIII.
PERATURAN RUPA - RUPA.
P. 131. Djika dalam djalan-pengadilan ada soal jang tidak diatur dalam
Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri setjara
bagaimana soal itu harus dibitjarakan.
P. 132. Mahkamah Agung wadjib memberi laporan atau pertimbangan
tentang soal-soal jang berhubung dengan hukum, apabila hal itu diminta
oleh Pemerintah.
P. 133. Pengawasan tertinggi atas para notaris dan para pengatjara
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
P. 134. (1) Mahkamah Agung dapat menjuruh salah seorang ang-
gauta Mahkamah Agung supaja mengadakan pemeriksaan dalam rumah
pendjara diseluruh^ Indonesia dan memadjukan laporan tentang hal itu.
(2) Sebagai akibat dari laporan itu Mahkamah Agung dapat memadju­
kan pertimbangan seperlunja kepada Pemerintah.
BAB IX.
ATURAN PERALIHAN.
P. 135. Segala perkara jang 'masih sedang dalam pemeriksaan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan oleh Hooggerechtshof, didja-
lankan dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Indonesia dengan penger­
tian, bahwa dalam menghitung tenggang-tenggang jang ditentukan tidak
dihitung tenggang antara 27 Desember 1949 sampai mulai berlakunja
Undang - Undang ini.
BAB X
NAMA UNDANG - UNDANG.
P. 136. Undang-undang ini dapat disebut: „ Undang-undang Mah­
kamah Agung Indonesia”.

507
BAB XI.
MULAI BERLAKUNJA UNDANG-UNDANG.
P. 137. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengumumanja.
(9 Mei 1950)
Agar supaja dsb.
MEMORI PENDJELASAN ( T.L.N. No. 1641 ). mengenai pasal 2 ajat (3) UMAjg,
dir. dg. U. No. 56 th. 1958 ( L.N. No. 106/58 ).
Undang-undang No. -1 tahun 1950 ( Lembaran - Negara tahun 1950 No. 30 )
mengenai susunan, kekuasaan dan djalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menen­
tukan dalam pasal 2 ajat 3, bahwa pada Mahkamah Agung adalah seorang Djaksa Agung
dan dua orang Djaksa Agung Muda. Praktek telah membuktikan, bahwa tenaga dua
orang Djaksa Agung Muda itu tidak tjukup untuk mengerdjakan segala pekerdjaan jang
harus diselesaikan oleh Kedjaksaan Agung pada Mahkamah Agung.
Berdasarkan itu Pemerintah menganggap pada tempatnja, djika djumlah Djaksa
Agung Muda itu diperluas dengan dua orang lagi. Perluasan itu diadakan dengan Undang-
undang ini, jakni dengan mengubah kata „dua” mendjadi kata „empat” dalam pasal 2
ajat 3 Undang-undang No. 1 tahun 1950 ( Lembaran Negara tahun 1950 No. 30 ),
sehingga dengan perubahan itu dapat diangkat empat orang Djaksa Agung Muda.

508
PENGHAPUSAN LANDGERECHT DAN APPELRAAD SERTA
PEMBENTUKAN PENGADILAN NEGERI DAN
PENGADILAN TINGGI DI DJAKARTA.
( UDar. No. 18 th. 1950. tgl. 17 April, diumumkan pada tgl. 184-1950
dl. L.N. No. 27/1950 jg, telah disahkan menjadi U. dg. U. No. 1 th. 1961 =
L.N. No. 3/1961 ).
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Menimbang :
1. bahwa perlu mengadakan peraturan penghapusan pengadilan Land-
gerecht dan Appelraad dan pembentukan Pengadilan Negeri dan Penga­
dilan Tinggi di Djakarta;
2. Bahwa karena keadaan-keadaan jang mendesak peraturan ini perlu
segera diadakan.
Mengingat : pasal-pasal 123, 139,140, 147, dan 193 Konstitusi.
Mendengar : senat;
Memutuskan:
Menetapkan :
Undang - undang darurat tentang penghapusan Pengadilan Landgerecht
dan Appelraad dan pembentukan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi di Djakarta.
P. 1. Pada saat peraturan ini diumumkan dihapuskan :
a. Landgerecht dan Appelraad di Djakarta;
b. Kedjaksaan pada Landgerecht tersebut.
P. 2. Pada saat tersebut dalam pasal 1 di Djakarta diadakan:
a. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi;
b. Kedjaksaan pada Pengadilan Negeri tersebut.
P. 3. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut, begitupun
Kedjaksaan pada Pengadilan Negeri tersebut, masing-masing disusun dan
mempunjai kekuasaan serta daerah - hukum, begitupun mendjalankan tugas
kekuasaan Landgerecht dan Appelraad, Kedjaksaan pada Landgerecht, jang
masing-masing dihapuskan itu, menurut peraturan-peraturan jang telah ada
dan dipakai untuk Landgerecht dan Appelraad dan untuk Kedjaksaan pada
Landeerecht itu
P. 4. Undang - undang ini mulai berlaku pada hari peraturan ini di-
-umumkan. (18-4^-1950.)
Agar supaja dsb.*)
*) Bdng. p. 4 aj. (1) sub a UDar. No. 1 th. 1951 ( L.N. 9/51) dibelakang ini
509
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 1985
TENTANG
ORGANISASI KEPANITERAAN/SEKRETARIAT JENDERAL
MAHKAMAH AGUNG
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang bahwa untuk dapat lebih memberikan dukungan
administrasi dan staf bagi kelancaran pelaksanaan
tugas Mahkamah Agung Republik Indonesia secara
berjaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu
mengatur Susunan Organisasi dan Tata Kerja Ke-
paniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden;
Mengingat I. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 ten­
tang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung (Lembaran Ne­
gara Tahun 1965 Nomor 70, Tambahan Lem­
baran Negara Nomor 2767);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 ten­
tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara No­
mor 2951);

511
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONE­
SIA TENTANG ORGANISASI KEPANITERAAN/
SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH
AGUNG.
BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Pasal 1
Di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat satuan
administrasi yang disebut Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dan berada
di bawah Ketua Mahkamah Agung .
Pasal 2
Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal mempunyai tugas pelayanan di bi­
dang administrasi peradilan dan di bidang administrasi umum kepada
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan
menyelenggarakan pembinaan administrasi, organisasi, serta tatalaksana
terhadap seluruh unsur di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jen­
deral.
Pasal 3
Untuk melakisanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Ke­
paniteraan/Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a. mengatur dan membina keijasama, mengintegrasikan, dan meng-
sinkronisasikan seluruh administrasi Mahkamah Agung termasuk
kegiatan pelayanan administrasi peradilan, dan administrasi umum
bagi seluruh unit organisasi dalam lingkungan Mahkamah Agung;
b. mempersiapkan dan mengolah bahan-bahan yang diperlukan dalam
rangka perumusan kebijaksanaan Mahkamah Agung;
c. membina dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan urusan
512
Kepegawaian, Keuangan, peraiaian, aan, penengKapan seria urusan
ketatausahaan lainnya;
d. menyelenggarakan dan membina hubungan dengan Lembaga Ter-
tinggi/Tinggi Negara, Lembaga Pemerintah, dan masyarakat;
e. membina unit organisasi di bawahnya agar dapait melaksanakan
tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna;
f. lain-lain yang ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi
Pasal 4
(1) Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Panitera/Sekre-
taris Jenderal.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya' Panitera/Sekretaris Jenderal di bi­
dang administrasi peradilan dibantu oleh Wakit Panitera, dan di
bidang administrasi umiim dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 5
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal bertugas:
a. memimpin Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal sesuai dengan
tugasnya dan membina seluruh satuan organisasi di lingkung­
an Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal agar berdaya guna dan
berhasil guna;
b. menentukan kebijaksanaan teknis pelaksanaan kegiatan Ke­
paniteraan/Sekretariat Jenderal;
c. membina dan melaksanakan hubungan keijasama dengan
instansi/lembaga lain di luar Mahkamah Agung;
d. memberikan bantuan teknis terhadap pelaksanaan pengawas­
an jalannya peradilan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera/Sekretaris Jenderal ber­
tanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Agung.
513
Pasal 6
(1) Wakil Panitera bertugas membantu Panitera/Sekretaris Jenderal
dalam pembinaan administrasi peradilan.
(2) Wakil Sekretaris Jenderal bertugas membantu Panitera/Sekretaris
Jenderal dalam pembinaan administrasi keuangan, administrasi ke­
pegawaian, peralatah dan perlengkapan serta ketatausahaan lain­
nya.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Panitera dan Wakil Sekretaris
Jenderal bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris
Jenderal.

Pasal 7
Panitera/Sekretaris Jenderal membawahi:
a. Direktorat Perdata;
b. Direktorat Perdata Agama;
c. . Direktorat Tata Usaha Negara;
d. Direktorat Pidana;
e. Direktorat Hukum dan Peradilan;
f. Biro Umum;
g. Biro Keuangan;
h. Biro Kepegawaian;
i. Kelompok fungsional yang terdiri dari:
1) Tenaga Ahli;
2) Hakim Yustisial.

Pasal 8
(1) Direktorat adalah unsur penunjang teknis yudikatif yang berada dj
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris
Jenderal melalui Wakil Panitera.
(2) Direktorat mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kepani-
teraan/Sekretariat Jenderal di bidang administrasi peradilan sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
(3) Direktorat dipimpin oleh seorang Kepala Direktorat.
514
Pasal 9
(1) Biro adalah unsur penunjang administratif yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris Jen­
deral melalui Wakil Sekretaris Jenderal.
(2) Biro mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kepaniteraan/
Sekretariat Jenderal di bidang administrasi umum sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
(3) Biro dipimpin oleh seorang Kepala Biro.

Pasal 10
(1) Tenaga Ahli mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan pen­
dapat berdasarkan keahlian serta mengkaji masalah hukum di bi­
dang peradilan, untuk kepentingan Pimpinan dan Majelis pada
Mahkamah Agung.
(2) Hakim Yustisial mempunyai tugas:
a. membantu melaksanakan tugas pengawasan Mahkamah
Agung, yang dilakukan oleh tenaga hakim dari pengadilan
tingkat banding yang dipekerjakan di Mahkamah Agung;
b. membantu Majelis pada Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan memutus perkara-perkara yang dilakukan oleh tenaga
hakim dari pengadilan tingkat pertama yang dipekerjakan di
Mahkamah Agung.
(3) Jumlah Tenaga Ahli sebanyak-banyaknya 6 (enam) orang, dan
jumlah Hakim Yustisial disesuaikan dengan kebutuhan.
(4) Tenaga Ahli dan Hakim Yustisial dikoordinasikan oleh Panitera/
Sekretaris Jenderal.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari:
a. Tenaga Ahli bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mah­
kamah Agung;
b. Hakim Yustisial sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
a bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah
Agung;
515
c. Hakim Yustisial sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
b bertanggung jawab langsung kepada Majelis yang bersang­
kutan.
BAB II
TATA KERJA
Pasal 11
Seluruh unsur di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dalam
melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi,
dan sinkronisasi, baik dalam lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jen­
deral maupun dalam hubungan antar Instansi/Lembaga.
BAB III
- KEPANGKATAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 12
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal adalah jabatan eselon Ia.
(2) - Wakil Panitera dan Wakil Sekretaris Jenderal adalah jabatan,eselon
Ib.
(3) Kepala Direktorat dan!Kepala Biro adalah-jabatan eselon Ila.
Pasal 13
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris Jen­
deral diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas pertimbangan
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Kepala Direktorat, Kepala Biro, Tenaga Ahli, Hakim Yustisial, dan
Kepala satuan organisasi di bawah Direktorat dan Biro diangkat
dan diberhentikan oleh'Panitera/Sekretaris Jenderal.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal- 14
Segala pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Kepanite­
raan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung dibebankan kepada Anggar­
an Pendapatan dan Belanja Negara.
516
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Perincian tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja satuan organi­
sasi di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
ditetapkan oleh Panitera/Sekretaris Jenderal, setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri/Sekretaris Negara dan Men­
teri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.
Pasal 16
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, segala ketentuan yang ber­
tentangan dengan Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tapggal 21 Nopember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
cap/ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

517
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PAN1TERA/SEKRETARIS JENDERAL


MAIIKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : MA/PANSEK/02/SK TAHUN 1986
TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA KEPANITERAAN/
SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

PANITERA/SEKRETARIS JENDERAL MAHKAMAH AGUNG - RI


Menimbang : bahwa dipandang perlu merumuskan tugas, fungsi,
susunan organisasi dan tata keija di lingkungan Ke-
paniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
sebagai pelaksanaan lebih lanjut Keputusan Presi­
den Nomor 75 Tahun 1985.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985;
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 75 Tahun
1985.
Memperhatikan : 1. Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor B-159/I/MENPAN/3/
86;
2. Persetujuan Menteri/Sekretaris Negara Nomor:
B-791/M. Sesneg/3/1986.
5T9
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN PANTTERA/SEKRETARIS JEN­
DERAL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA TENTANG ORGANISASI' DAN
TATA KERJA KEPANITERAAN/SEKRETA-
RIAT JENDERAL MAHKAMAH AGUNG REPU­
BLIK INDONESIA.

BAB I
ORGANISASI
Bagian Pertama
Pimpinan
Pasal 1
(1) Kepaniteraan/Sekretanat Jenderal Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dalam keputusan ini disebut KEPANI-
TERAAN/SEKRETARIAT JENDERAL dipimpin oleh seorang
Panitera/Sekretaris J;enderal yang berada di bawah dan bertang­
gung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Agung.
(2) Dalam memimpin KepaniterSan/Sekretariat Jenderal tersebut da­
lam ayat (1), Panitera/Sekretaris Jenderal* dibantu oleh seorang
Wakil Panitera dan seorang Wakil Sekretaris Jenderal.
Pasal 2
Panitera/Sekretaris Jenderal membawahi:
a. Direktorat Perdata;
b. Direktorat Perdata Agama;
c. Direktorat Tata Usaha Negara;
d. Direktorat Pidana;
e. Direktorat Hukum dan Peradilan;
f. Biro Umum;
g. Biro Keuangan;
h. Biro Kepegawaian;

520
i. Kelompok fungsional yang terdiri dari:
1. Tenaga Ahli;
2. Hakim Yustisial.
Bagian Kedua
Direktorat Perdata
Pasal 3
Direktorat Perdata mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
pokok Kepaniteraan dalam menyelenggarakan kegiatan administrasi
peradilan di bidang perkara kasasi dan peninjauan kembali perdata
sesuai dengan petunjuk tehnis yang ditetapkan Panitera.
Pasal 4
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 3, Direktorat
Perdata mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali
perdata;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan penin­
jauan kembali perdata;
c. menyiapkan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali perdata
yang diajukan ke Majelis;
d. mengumpulkan dari menyusun kaidah hukum putusan kasasi dan
peninjauan' kembali perdata untuk disampaikan kepada Majelis
pada Mahkamah Agung secara berkala;
e. menyusun laporan bulanan perkara kasasi dan peninjauan kembali
perdata.

Pasal 5
Direktorat Perdata terdiri dari:
a. Sub Direktorat Kisasi Perdata;
b. Sub Direktorat Peninjauan Kembali Perdata;
c. Sub Direktorat Umum Perdata.

521
Pasal 6
Sub Direktorat Kasasi Perdata mempunyai tugas melakukan adminis­
trasi penyelesaian perkara perdata untuk diperiksa dan diputus dalam
tingkat kasasi oleh Majelis pada Mahkamah Agung.
Pasal 7
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 6, Sub Direktorat
Kasasi Perdata mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi perdata;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi yang telah
diregister/terdaftar.
Pasal 8
Sub Direktorat Kasasi Perdata terdiri dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara.
Pasal 9
(.1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan perkara kasasi perdata yang akan diajukan
kepada Majelis pada Mahkamah Agung dan menerima kembali
berkas perkara yang telah diputus..
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara mempunyai tugas menelaah
perangkat kelengkapan formal perkara kasasi perdata yang telah
diregister.
Pasal 10
Sub Direktorat Peninjauan Kembali Perdata mempunyai tugas melaku­
kan administrasi penyelesaian perkara peninjauan kembali perdata
untuk diperiksa dan diputus oieh Msyelis pada Mahkamah Agung.
Pasal 11
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 10, Sub Direktorat
Peninjauan Kembali Perdata mempunyai fungsi:
522
a. melakukan tata usaha perkara peninjauan kembali perdata;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara peninjauan kem­
bali perdata yang telah diregister.
Pasal 12
Sub Direktorat Peninjauan Kembali Perdata terdiri dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara.
Pasal 13
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan perkara peninjauan kembali perdata yang
akan diajukan kepada Majelis pada Mahkamah Agung dan me­
nerima kembali berkas perkara yang telah diputus.
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara mempunyai tugas menelaah
perangkat kelengkapan formal perkara peninjauan kembali perdata
yang telah diregister.
Pasal 14
Sub Direktorat Umum Perdata mempunyai tugas melakukan adminis­
trasi yang berhubungan dengan permohonan, penangguhan, pelaksanaan
suatu putusan, baik yang sudah maupun yang belum mempunyai ke­
kuatan hukum yang tetap dan pengaduan tentang penyelesaian suatu
perkara, serta mengumpulkan dan menyusun kaidah hukum putusan
kasasi dan peninjauan kembali perdata untuk disampaikan kepada Maje­
lis pada Mahkamah Agung secara berkala.
Pasal 15
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 14, Sub Direktorat
Umum Perdata mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan tata usaha Direktorat;
b. melakukan pengamatan perkara kasasi .dan peninjauan kembali
perdata;
c. melakukan penyusunan kaidah hukum perkara kasasi dan penin­
jauan kembali perdata.
523
Pasal 16
Sub Direktorat Umum Perdata terdiri dari:
a. Seksi Tata Usaha;
b. Seksi Pengamatan Perkara Perdata;
c. Seksi Penyusunan Kaidah Hukum.
Pasal 17
(1) Seksi Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha
Direktorat.
(2) Seksi Pengamatan Perkara Perdata mempunya! tugas melakukan
administrasi yang berhubungan dengan permohonan, penangguh­
an, pelaksanaan (executie) suatu putusan baik yang sudah maupun
yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pengadu­
an tentang penyelesaian suatu perkara.
(3) Seksi Penyusunan Kaidah Hukum mempunyai tugas mengumpul­
kan dan menyusun kaidah.hukum putusan kasasi dan peniiyauan
kembali perdata untuk disampaikan kepada Majelis pada Mahka­
mah Agung secara berkala.
Bagian Ketiga
Direktorat Perdata Agama
Pasal 18
Direktorat Perdata Agama mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas pokok Kepaniteraan dalam menyelenggarakan kegiatan adminis­
trasi peraidilan di bidang perkara kasasi dan peninjauan kembali per­
data agama sesuai dengan petunjuk tehnis yang ditetapkan Panitera.
Pasal 19
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 18, Direktorat
Perdata Agama mempunya! fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan' kembali
perdata agama;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan pe­
ninjauan kembali perdata agama;
524
c. menyiapkan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali per­
data agama yang akan diajukan ke Majelis;
d. mengumpulkan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi
dan peninjauan kembali perdata agama untuk disampaikan kepada
Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala;
e. menyusun laporan bulanan perkara kasasi dan peninjauan kembali
perdata agama.
Pasal 20
Direktorat Perdata Agama terdiri dari:
a. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Agama;
b. Sub Direktorat Umum Perdata Agama.
Pasal 21
Sub Direktorat kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Agama mem­
punyai tugas melakukan administrasi penyelesaian perkara perdata
agama untuk diperiksa dan diputus dalam tingkat kasasi dan peninjau­
an kembali oleh Majelis pada Mahkamah Agung.
Pasal 22
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 21, Sub Direk­
torat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Agama mempunyai
fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali per­
data agama;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan pe­
ninjauan kembali yang telah diregister.
Pasal 23
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Agama terdiri
dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi;
c. Siksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali.
525
Pasal 24
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan perkara kasasi dan peninjauan kembali per­
data agama yang akan diajukan kepada Majelis pada Mahkamah
Agung dan menerima kembali berkas perkara yang telah diputus.
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi mempunyai tugas mene­
laah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi perdata agama
yang telah diregister.
(3) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali mempunyai
tugas menelaah perangkat kelengkapan formal perkara peninjauan
kembali perdata agama yang telah diregister.
Pasal 25
Sub Direktorat Umum Perdata Agama mempunyai tugas melakukan
administrasi yang berhubungan dengan permohonan, penangguhan, pe­
laksanaan suatu putusan, baik yang sudah maupun yang belum mem­
punyai kekuatan hukum yang tetap dan pengaduan tentang penyele­
saian suatu perkara, serta mengumpulkan dan menyusun kaidah hukum
putusan kasasi dan peninjauan kbmbali perdata agama untuk disampai­
kan kepada Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala.
Pasal 26
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 25, Sub Direktorat
Umum Perdata Agama mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan tata usaha Direktorat;
b. melakukan pengamatan perkara kasasi dan peninjauan kembali
perdata agama;
c. melakukan penyusunan kaidah hukum perkara kasasi dan penin­
jauan kembali perdata agama.
Pasal 27
Sub direktorat Umum Perdata Agama terdiri dari:
a. Seksi Tata Usaha;
b. Seksi Pengamatan Perkara Perdata Agama;
c. Seksi Penyusunan Kaidah Hukum.
526
Pasal 28
(1) Seksi Tata Usaha mempunyai melakukan urusan tata usaha Direk­
torat.
(2) Seksi Pengamatan Perkara Perdata Agama mempunyai tugas me­
lakukan administrasi yang berhubungan dengan permohonan, pe­
nangguhan, pelaksanaan (executie) suatu putusan baik yang
sudah maupun belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
pengaduan tentang penyelesaian suatu perkara.
(3) Seksi Penyusunan Kaidah Hukum mempunyai tugas mengumpul­
kan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi dan peninjauan
kembali perdata agama untuk disampaikan kepada Majelis pada
Mahkamah Agung secara berkala.

Bagian Keempat
Direktorat Tata Usaha Negara
Pasal 29
Direktorat Tata Usaha Negara mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas pokok Kepaniteraan dalam menyelenggarakan kegiatan admi­
nistrasi peradilan dibidang perkara kasasi dan peninjauan kembali Tata
Usaha Negara sesuai dengan petunjuk tehnis yang ditetapkan Panitera.
Pasal 30
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 29, Direktorat
Tata Usaha Negara mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali Tata
Usaha Negara;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dari pe­
ninjauan kembali Tata Usaha Negara;
c. menyiapkan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali Tata
Usaha Negara yang akan diajukan k e Majelis;
d. mengumpulkan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi dan
peninjauan kembali Tata Usaha Negara untuk disampaikan kepada
Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala;

527
e. menyusun laporan bulanan perkara kasasi dan peninjauan kembali
Tata Usaha Negara.
Pasal 31
Direktorat Tata Usaha Negara terdiri dari:
a. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara;
b. Sub Direktorat Umum Tata Usaha Negara.
Pasal 32.
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara
mempunyai tugas melakukap administrasi penyelesaian perkara Tata
Usaha Negara untuk diperiksa dan diputus dalam tingkat kasasi dan
peniiyauan kembali oleh Majelis pada Mahkamah Agung.
Pasal 33
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 32, Sub Direk­
torat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara mempunyai
fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali Ta­
ta Usaha Negara;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan penin­
jauan kembali yang telah diregister.
Pasal-34
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara ter­
diri dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi;
c. Seksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali.
Pasal 35
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat
menyurat, menyiapkan perkara kasasi dan peninjauan kembali
Tata Usaha Negara yang akan diajukan kepada Majelis pada Mah­
kamah Agung dan menerima kembali berkas perkara yang telah
diputus.
528
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi mempunyai tugas mene­
laah perangkat kelengkapau formal perkara kasasi Tata Usaha-
Negara yang telah diregister.
(3) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali mempunyai
tugas menelaah perangkat kelengkapan formal perkara peninjauan
kembali Tata Usaha Negara yang telah diregister.
Pasal 36
Sub Direktorat Umum Tata Usaha Negara mempunyai tugas melakukan
administrasi yang berhubungan dengan permohonan, penangguhan, pe­
laksanaan suatu putusan, baik yang sudah maupun yang belum mem­
punyai kekuatan hukum yang tetap dan pengaduan tentang penyele­
saian suatu perkara, serta mengumpulkan dan menyusun kaidah hu­
kum putusan kasasi dan peninjauan kembali Tata Usaha Negara un­
tuk disampaikan kepada Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala.
Pasal 37
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 36, Sub Direktorat
Umum Tata Usaha Negara mempunyai'fungsi:
a. melakukan urusan tata usaha Direktorat;
b. melakukan pengamatan perkara kasasi dan peninjauan kembali
Tata Usaha Negara;
c. melakukan penyusunan kaidah hukum perkara kasasi dan penin­
jauan kembali Tata Usaha Negara.
Pasal 38
Sub Direktorat Umum Tata Usaha Negara terdiri dari:
a. Seksi Tata Usaha;
b. Seksi Pengamatan Perkara Tata Usaha Negara;
c. Seksi Penyusunan Kaidah Hukum.
Pasal 39
(1) Seksi Tata Usaha mempunyai tu p s melakukan urusan tata usaha
Direktorat;
529
(2) Seksi Pengamatan Perkara Tata Usaha Negara mempunyai tugas
melakukan administrasi yang berhubungan dengan permohonan,
penangguhan, pelaksanaan (executie) suatu putusan baik yang
sudah maupun yang belum mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan pengaduan tentang penyelesaian suatu perkara.
(3) Seksi Penyusunan Kaidah Hukum mempunyai tugas mengumpul­
kan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi dan peninjauan
kembali Tata Usaha Negara untuk disampaikan kepada Majelis
pada Mahkamah Agung secara berkala.
Bagian Kelima
Direktorat Pidana
Pasal 40
Direktorat Pidana mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
pokok Kepaniteraan dalam menyelenggarakan kegiatan dibidang ad­
ministrasi peradilan perkara-perkara kasasi pidana umum, pidana
militer, peninjauan kembali pidana umum, pidana militer dan grasi
sesuai petunjuk tehnis yang ditetapkan Panitera.
Pasal 41
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 40, Direktorat
Pidana mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi daa peninjauan kembali
perkara pidana umum, pidana militer dan grasi;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan penin­
jauan kembali pidana umum, pidana militer dan grasi;
c. menyiapkan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali pidana
umum, pidana militer dan grasi;
d. mengumpulkan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi dan
peninjauan kembali pidana umum dan pidana militer untuk di­
sampaikan kepada Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala;
e. melakukan penelaahan perlu tidaknya terdakwa diperpanjang
penahanannya dalam tingkat banding dan perlu tidaknya terdakwa
ditahan dalam tingkat kasasi;
530
f. menyusun laporan bulanan perkara kasasi dan peninjauan kembali
pidana umum, pidana militer dan grasi.
Pasal 42
Direktorat Pidana terdiri dari:
a. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Umum;
b. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Militer;
c. Sub Direktorat Grasi;
d. Sub Direktorat Umum Pidana.
Pasal 43
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Umum mem­
punyai tugas melakukan administrasi penyelesaian perkara kasasi dan
peninjauan kembali pidana umum untuk; diperiksa dan diputus dalam
tingkat kasasi dan peninjauan kembali oleh Majelis pada Mahkamah
Agung.
Pasal 44
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 43, Sub Direk­
torat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Umum mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali
pidana umum;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan penin­
jauan kembali pidana umum;
c. mencatat, menelaah dan membuat penetapan penahanan perkara
kasasi pidana umum, pidana militer dan perkara banding yang
terdakwanya dimintakan perpanjangan penahanannya kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 45
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Umum terdiri
dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi;
c. Seksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali;
d. Seksi Tahanan.

531
Pasal 46
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan perkara kasasi dan peninjauan kembali pidana
umum yang akan diajukan kepada Majelis pada Mahkamah Agung
dan menerima kembali beikas perkara yang telah diputus.
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Kasasi mempunyai tugas melaku­
kan penelaahan perangkat kelengkapan formal perkara kasasi
pidana umum yang telah diregister.
(3) Seksi Penelaahan Berkas Perkara Peninjauan Kembali mempunyai
tugas melakukan penelaahan perangkat kelengkapan formal per­
kara peninjauan kembali pidana umum yang telah diregister.
(4) Seksi Tahanan mempunyai tugas mencatat, menelaah dan mem­
buat penetapan penahanan perkara kasasi pidana umum, pidana
militer dan perkara banding yang terdakwanya dimintakan perpan­
jangan penahanannya kepada Mahkamah Agung.
Pasal 47
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Militer, mem­
punyai tugas melakukan administrasi penyelesaian perkara kasasi dan
peninjauan kembali pidana militer untuk diperiksa dan diputus oleh
Majelis pada Mahkamah Agung.
Pasal 48
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam. Pasal 47, Sub Direktorat
Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Militer mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara kasasi dan peninjauan kembali
pidana militer;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan penin­
jauan kembali pidana militer yang telah diregister.
Pasal 49
Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Pidana Militer terdiri
dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara.
532
Pasal 50
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan perkara kasasi dan peninjauan kembali pidana
militer yang akan diajukan kepada Majelis pada Mahkamah Agung
yang telah diregister dan menerima kenfbali berkas perkara yang
telah diputus.
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara mempunyai tugas melakukan
penelaahan perangkat kelengkapan formal perkara kasasi dan pe­
ninjauan kembali pidana militer yang telah diregister.
Pasal 51
Sub Direktorat Grasi mempunyai tugas melakukan administrasi pe­
nyelesaian perkara permohonan grasi pidana umum dan pidana militer
guna memperoleh pertimbangan hukum dari Ketua Mahkamah Agung
untuk diajukan kepada Presiden.
Pasal 52
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 51, Sub Direktorat
Grasi mempunyai fungsi:
a. melakukan tata usaha perkara grasi;
b. menelaah perangkat kelengkapan formal perkara grasi yang telah
diregister;
c. menyiapkan'berkas permohonan grasi untuk dimintakan pertim­
bangan hukum kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 53
Sub Direktorat Grasi terdiri dari:
a. Seksi Registrasi;
b. Seksi Penelaahan Berkas Perkara.
Pasal 54
(1) Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan registrasi, surat me­
nyurat, menyiapkan berkas permohonan grasi yang akan diajukan
kepada Hakim Agung dan kepada Ketua Mahkamah Agung serta
menerima kembali berkas permohonan yang telah mendapat per­
timbangan.
533
(2) Seksi Penelaahan Berkas Perkara mempunyai tugas melakukan
penelaahan perangkat kelengkapan formal perkara yang diminta­
kan grasi dan yang telah diregister.
Pasal 55
Sub Direktorat Umum Pidana mempunyai tugas melakukan adminis­
trasi yang berhubungan dengan hasil pengamatan terhadap pelaksanaan
putusan pemidanaan dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
pengaduan penyelesaian perkara pidana serta menyusun kaidah hukum
putusan kasasi dan peninjauan kembali pidana untuk disampaikan ke­
pada Majelis pada Mahkamah Agung secara berkala.
Pasal 56
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 55, Sub Direktorat
Umum Pidana mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan tata usaha Direktorat;
b. melakukan administrasi hasil pengamatan pelaksanaan putusan
pemidanaan dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dan
pengaduan penyelesaian perkara pidana;
f
c. melakukan penyusunan kaidah hukum- putusan kasasi dan penin­
jauan kembali pidana umum dan pidana militer.
Pasal 57
Sub Direktorat Umum Pidana terdiri dari:
a. Seksi Tata Usaha;
b. Seksi Pengamatan Perkara Pidana;
c. Seksi Penyusunan Kaidah Jlukum.
Pasal 58
(1) Seksi Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha
Direktorat.
(2) Seksi Pengamatan Perkara Pidana mempunyai tugas melakukan
administrasi yang berhubungan dengan hasil pengamatan pelak­
sanaan putusan pemidanaan dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi, dan pengaduan penyelesaian perkara pidana.
534
. (3) Seksi Penyusunan Kaidah Hukum mempunyai tueas mengumpul­
kan dan menyusun kaidah hukum putusan kasasi aan peninjauan
kembali pidana untuk disampaikan kepada Majelis pada Mahka­
mah Agung secara berkala.
Bagian Keenam
Direktorat Hukum dan Peradilan
Pasal 59
Direktorat Hukum dan Peradilan mempunyai tugas melaksanakan se­
bagian tugas pokok Kepaniteraan dalam menyelenggarakan kegiatan
di bidang hukum dan masalah peradilan berdasarkan petunjuk tehnis
yang ditetapkan oleh Panitera.
Pasal 60
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 59, Direktorat
Hukum dan Peradilan merhpunyai fungsi:
a. mengumpulkan dan mengolah segala problema hukum yang ber­
kaitan dengan penyelenggaraan peradilan serta mengikuti perkem­
bangannya;
b. melaksanakan hubungan keija di bidang hukum dengan Lembaga
Negara dan Instansi lain;
c. melakukan kegiatan dokumentasi hukum, yurisprudensi dan me­
nyebarluaskan yurisprudensi serta perpustakaan;
d. membina administrasi peradilan, organisasi peradilan, dan tata
laksana peradilan dari semua lingkungan peradilan;
e. melaksanakan pengamatan terhadap kegiatan Hakim, Panitera
Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding dari semua
lingkungan peradilan, Penasihat Hukum dan Notaris dalam me­
laksanakan tugasnya.
Pasal 61
Direktorat Hukum dan Peradilan terdiri dari:
a. Sub Direktorat Hukum;
b. Sub Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan;
c. Sub Direktorat Pengamatan Peradilan.
535
Pasal 62
Sub Direktorat Hukum mempunyai tugas mempersiapkan petunjuk
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, mengolah dan menga­
nalisa masalah hukum untuk pembinaan penyelenggaraan peradil­
an, dan mendokumentasi berkas perkara, menganalisa putusan perkara
untuk dijadikan yurisprudensi, mengadakan hubungan keija dibidang
hukum dengan Lembaga Negara dan Instansi lain serta menyelenggara­
kan perpustakaan.
Pasal 63
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 62, Sub Direk­
torat Hukum mempunyai fijngsi:
a. mempersiapkan rancangan Peraturan Mahkamah Agung petunjuk
pelaksanaan peraturan perundang-undangan;
b. menyiapkan bahan usul pertimbangan atas rancangan perundang-
undangan yang diajukan oleh badan eksekutif maupun badan le­
gislatif;
c. mengolah, menganalisa, masalah hukum dan mendokumentasi
berkas perkara;
d. mengolah, menganalisa putusan-putusan untuk dijadikan yuris­
prudensi dan menyebarluaskannya ke seluruh lingkungan, peradil­
an;
e. mengadakan hubungan keija di bidang hukum dengan Lembaga
Negara dan Instansi lain;
f. melaksanakan perpustakaan.
Pasal 64
Sub Direktorat Hukum terdiri dari:
a. Seksi Perundang-undangan;
b. Seksi Pengolahan Hukum dan Yurisprudensi;
c. Seksi Perpustakaan.
Pasal 65
(1) Seksi Perundang-undangan mempunyai tugas mengumpulkan per*
aturan perundang-undangan, mempersiapkan rancangan Peraturan
536
Mahkamah Agung dan petunjuk pelaksanaan peraturan perundang-
undangan serta menyebarluaskan peraturan perundang-undangan
ke seluruh lingkungan peradilan.
(2) Seksi Pengolahan Hukum dan Yurisprudensi mempunyai tugas me­
nerima dan mengolah masalah hukum untuk pembinaan penye­
lenggaraan peradilan, menyelenggarakan hubungan jaringan doku­
mentasi dan informasi hukum antar Lembaga Negara dan Insta-
si lainnya, mendokumentasi dan mengolah berkas perkara dalam
rangka menyusun putusan Mahkamah Agung untuk dijadikan
yurisprudensi serta menyebarluaskannya keseluruh lingkungan
peradilan.
(3) Seksi Perpustakaan mempunyai tugas melaksanakan perpustakaan.
Pasal 66
Sub Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan mempunyai tugas
melaksanakan pembinaan administrasi peradilan, organisasi peradilan
dan tata laksana peradilan dari semua lingkungan peradilan serta mela­
kukan tata usaha Direktorat.
Pasal 67
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 66, Sub Direktorat
Pembinaan Administrasi Peradilan mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan tata usaha Direktorat;
b. melakukan pembinaan administrasi peradilan;
c. melakukan pembinaan organisasi dan tata laksana peradilan.
Pasal 68
Sub Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan terdiri dari:
a. Seksi Tata Usaha;
b Seksi Administrasi Peradilan;
c. Seksi Organisasi dan Tata Laksana Badan Peradilan.
Pasal 69
(1) Seksi Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha
Direktorat.
537
(2) Seksi Administrasi Peradilan mempunyai tugas menyiapkan
bahan bimbingan petunjuk pelaksanaan administrasi peradil­
an.
(3) Seksi Organisasi dan Tata Laksana Badan Peradilan mempunyai
tugas mempelajari, mengkaji organisasi pelaksanaan keija Mah­
kamah Agung dan mempelajari, mengkaji kemungkinan diben­
tuknya Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat
Banding atau peningkatan kias Pengadilan.

Pasal 70
Sub Direktorat Pengamatan Peradilan mempunyai tugas melaksanakan
pengamatan terhadap kegiatan Hakim, Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama dan Tingkat Banding dari semua lingkungan peradilan, Pena­
sihat Hukum dan Notaris.
Pasal 71
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 70, Sub Direk­
torat Pengamatan Peradilan mempunyai fungsi:
a. melakukan pengumpulan, mengolah, mengkaji data serta menyu­
sun laporan perkara dari Mahkamah Agung dan Badan-badan Per­
adilan dari seluruh lingkungan peradilan;
b. menyusun pertimbangan penegoran kepada Pengadilan disemua
lingkungan peradilan dalam rangka membtrntu fungsi pengawasan
Mahkamah Agung;
c. meneliti administrasi pem ohonan untuk menjadi Penasehat Hu­
kum, menyusun daftar Penasihat Hukum dan Notaris, menam­
pung dan memberi pertimbangan atas pengaduan terhadap tinda­
kan Penasehat Hukum dan Notaris.
Pasal 72
Sub Direktorat Pengamatan Peradilan terdiri dari:
a. Seksi Kegiatan Peradilan;
b. Seksi Penyiapan Pertimbangan Penegoran;
c. Seksi Urusan Penasihat Hukum dan Notaris.
538
Pasal 73
(1) Seksi Kegiatan Peradilan mempunyai tugas mengumpul, mengo­
lah, dan mengkaji data serta menyusun laporan perkara dari Ma'h»-
kamah Agung dan Badan-badan Peradilan dari seluruh lingkungan
peradilan.
(2) Seksi Penyiapan Pertimbangan Penegoran mempunyai tugas mem­
buat pertimbangan tegoran terhadap penyimpangan pelaksanaan
tugas peradilan dari Badan Peradilan seluruh lingkungan peradilan.
(3) Seksi Urusan Penasihat Hukum dan Notaris mempunyai tugas me­
neliti administrasi permohonan untuk menjadi Penasihat Hukum,
memberi pei timbangan atas pengaduan dari Badan-badan Peradil­
an diseluruh lingkungan peradilan dan dari pihak-pihak lainnya
yang berkepentingan terhadap tindakan-tindakan Penasihat
Hukum dan Notaris serta membuat daftar Penasehat Hukum dan
daftar Notaris.

Bagian Ketujuh
Biro U m u m
Pasal 74
Biro Umum mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok
Sekretariat Jenderal dalam menyelenggarakan kegiatan di bidang ketata
usahaan, urusan rumah tangga, pengamanan dalam dan ketertiban kan­
tor, kehumasan dan keprotokolan dalam lingkungan Mahkamah Agung.
Pasal 75
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 74, Biro Umum
mempunyai fungsi:
a. melaksanakan urusan tata usaha, kearsipan, penggandaan dan
pencetakan;
b. melaksanakan urusan rumah tangga kantor;
c. melaksanakan perawatan, perbaikan gedung dan rumah dinas;
d. melaksanakan urusan kas dan pembayaran gaji;

539
e. melaksanakan urusan humas, protokol, pengamanan dalam dan
ketertiban;
f. melaksanakan urusan perjalanan dinas dan angkutan.
Pasal 76
Biro Umum terdiri dari:
a. Bagian Tata Usaha;
b. Bagian Urusan Dalam;
c. Bagian Humas dan Protokol.
Pasal 77
Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melaksanakan urusan tata usaha
kantor Mahkamah Agung.
Pasal 78
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 77, Bagian Tata
Usaha mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan, surat menyurat;
b. melakukan urusan kearsipan;
c. melakukan urusan pengetikan, penggandaan, pencetakan dan pen­
jilidan.
Pasal 79
Bagian Tata Usaha terdiri dari:
a. Sub Bagian Persuratan;
b. Sub Bagian Arsip;
c. Sub Bagian Penggandaan dan Pencetakan.
Pasal 80
(1) Sub Bagian Persuratan mempunyai tugas menerima, mencatat dan
mendistribusikan surat serta memberikan dukungan tata usaha ke­
pada Pimpinan Mahkamah Agung, Tenaga Ahli dan Hakim Yusti-
sial yang bertugas di bidang pengawasan.
(2) Sub Bagian Arsip mempunyai tugas melakukan urusan kearsipan.
54 0
(3) Sub Bagian Penggandaan dan Pencetakan mempunyai tugas me­
lakukan urusan pengetikan, penggandaan, pencetakan dan pen­
jilidan untuk kantor.
Pasal 81
Bagian Urusan Dalam mempunyai tugas melaksanakan urusan dalam
di lingkungan kantor Malikamah Agung.
Pasal 82
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 81, Bagian Urusan
Dalam mempunyai fungsi:
a. melakukan urusan perlengkapan, perawatan dan pemeliharaan;
b. membuat daftar gaji dan melakukan pembayaran;
c. melakukan urusan pengamanan dalam dan ketertiban kantor.
Pasal 83
Bagian Urusan Dalam terdiri dari:
a. Sub Bagian Perlengkapan dan Perawatan;
b. Sub Bagian Pembayaran;
c. Sub Bagian Keamanan Dalam dan Ketertiban.
Pasal 84
(1) Sub Bagian Perlengkapan dan Perawatan mempunyai tugas m em ­
persiapkan urusan pengadaan, perawatan/pemeliharaan perleng­
kapan kantor, gedung kantor dan rumah/rumah dinas serta meng­
himpun usulan penghapusan barang inventaris.
(2) Sub Bagian Pembayaran mempunyai tugas melakukan urusan Kas,
membuat daftar gaji dan melakukan pembayaran gaji.
(3 j Sub Bagian Keamanan Dalam dan Ketertiban mempunyai tugas
melakukan urusan keamanan kantor dan perumahan pimpinan
serta ketertiban personil dan tamu.
Pasal 85
Bagian Humas dan Protokol mempunyai tugas memberikan penerangan
tentang kegiatan Malikamah Agung, menyelenggarakan urusan media
visual dan melakukan urusan keprotokolan Mahkamah Agung serta
mengurus perjalanan dinas dan angkutan.
Pasal 86
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 85, Bagian Humas
dan Protokol mempunyai fungsi:
a. mengolah, menyajikan berita dan melakukan kegiatan pers serta
media massa;
b. melakukan hubungan keija antar Lembaga Negara dan Instansi
lainnya;
c. melakukan penerbitan berkala dan melakukan pendistribusian
serta penyebaran hasil penerbitan;
d. melakukan rekaman fotografi dan visualisasi;
e. mengurus dan mengatur acara Mahkamah Agung, penerimaan
tamu pimpinan/pejabat Mahkamah Agung;
f. mengurus perjalanan dinas dan angkutan.

Pasal 87
Bagian Humas dan Protokol terdiri dari:
a. Sub Bagian Humas;
b. Sub Bagian Protokol;
c. Sub Bagian Perjalanan Dinas dan Angkutan.
Pasal 88
(1) Sub Bagian Humas mempunyai tugas mengolah, menyajikan
berita, melakukan kegiatan pers serta media massa dan melakukan
penerbitan.
(2) Sub Bagian Protokol mempunyai tugas menyiapkan dan menye­
lenggarakan acara-acara Mahkamah Agung serta mengatur peneri­
maan tamu pimpinan atau pejabat Mahkamah Agung serta meng­
urus undangan-undangan.
(3) Sub Bagian Perjalanan Dinas dan Angkutan mempunyai tugas me­
lakukan urusan perjalanan dinas dan angkutan.
542
Bagian Kedelapan
Biro K euangan

Pasal 89
Biro Keuangan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok
Sekretariat Jenderal dalam menyelenggarakan kegiatan di bidang penge­
lolaan keuangan dalam lingkungan Mahkamah Agung berdasarkan per­
aturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 90
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 89, Biro Keuangan
mempunyai fungsi:
a. mempersiapkan dan menyusun rencana anggaran;
b. melaksanakan pembinaan terhadap pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan Verifikasi terhadap pertanggungjawaban keuangan;
d. melaksanakan pembukuan dan perhitungan anggaran.
Pasal 91
Biro Keuangan terdiri dari:
a. Bagian Anggaran:
b. Bagian Pembukuan dan Verifikasi.
Pasal 92
Bagian Anggaran mempunyai tugas menyusun anggaran dan mengurus
penyelesaian administrasi pelaksanaan anggaran.

Pasal 93
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 92, Bagian Anggar­
an mempunyai fungsi:
a. menyiapkan dan menyusun anggaran;
b. mengurus penyelesaian administrasi pelaksanaan anggaran.
Pasal 94
Bagian Anggaran terdiri dari:

543
a. Sub Bagian Penyusunan Anggaran;
b. Sub Bagian Pelaksanaan Anggaran.
Pasal 95
(1) Sub Bagian Penyusunan Anggaran mempunyai tugas mempersiap­
kan dan menyusun rencana anggaran.
(2) Sub Bagian Pelaksanaan Anggaran mempunyai tugas mengurus
penyelesaian administrasi pelaksanaan anggaran.
Pasal 96
Bagian Pembukuan dan Verifikasi mempunyai, tugas melaksanakan
pembukuan dan menyusun perhitungan anggaran, serta melakukan
verifikasi terhadap pertanggung jawaban keuangan.
Pasal 97
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 96, Bagian Pem­
bukuan dan Verifikasi mempunyai fungsi:
a. membukukan setiap pengeluaran mata anggaran;
b. menyusun perhitungan anggaran;
c. melakukan verifikasi terhadap pertanggung jawaban keuangan.
Pasal 98
Bagian Pembukuan dari Verifikasi terdiri dari:
a. Sub Bagian Pembukuan dan Perhitungan Anggaran;
b. Sub Bagian Verifikasi. -
Pasal 99
(1) Sub Bagian Pembukuan dan Perhitungan Anggaran mempunyai
tugas melakukan pembukuan setiap pengeluaran mata anggaran
dan menyusun perhitungan anggaran..
(2) Sub Bagian Verifikasi mempunyai tugas melakukan verifikasi
terhadap pertanggung jawaban keuangan dan menyusun nota ha­
sil verifikasi serta mempersiapkan penyelesaian tuntutan ganti rugi
dan tuntutan perbendaharaan di lingkungan Mahkamah Agung

544
Bagian Kesembilan
Biro Kepegawaian

Pasal 100
Biro Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas po­
kok Sekretariat Jenderal dalam menyelenggarakan kegiatan dibidang
pengelolaan’kepegawaian dilingkungan Mahkamah Agung dan Hakim-
hakim di semua lingkungan peradilan sesuai dengan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
Pasal 101
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 100, Biro Kepe­
gawaian mempunyai tugas:
a. mempersiapkan perencanaan formasi, uraian jabatan, petunjuk
pelaksanaan peraturan kepegawaian dan kesejahteraan;
b. merencanakan dan mempersiapkan pengembangan pegawai Mah­
kamah Agung dan Hakim dari semua lingkungan peradilan;
c. merencanakan dan mempersiapkanr'pengadaan, pengangkatan, ke­
naikan pangkat, kenaikan gaji berkala dan mutasi baik bagi pega­
wai Mahkamah Agung maupun Hakim dari semua lingkungan per­
adilan;
d. merencanakan dan mempersiapkan pemberhentian, pemensiunan
dan cuti pegavfai;
e. melaksanakan urusan tata usaha kepegawaian Mahkamah Agung
dan Hakim dari seluruh lingkungan peradilan.
Pasal 102,
Biro Kepegawaian terdiri dari:
a. Bagian Umum Kepegawaian;
b. Bagian Mutasi Kepegawaian.
Pasal 103
Bagian Umum Kepegawaian mempunyai tugas merencanakan dan mem­
persiapkan, formasi, uraian jabatan; petunjuk pelaksanaan peraturan

545
kepegawaian, pengendalian kepangkatan dan jabatan, kebutuhan
pendidikan dan latihan serta kesejahteraan.
Pasal 104
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 103, Bagian
Umum Kepegawaian mempunyai fungsi:
a. mempersiapkan penyusunan formasi, pengendalian kepangkatan
dan jabatan serta uraian jabatan;
b. mengumpulkan peraturan perundang-undangan kepegawaian dan
menyusun petunjuk pelaksanaan peraturan kepegawaian;
c. menyelesaikan urusan kesejahteraan pegawai, seperti jaminan
hari tua, kesehatan dan lain sebagainya;
d. merencanakan, menyusun dan melaksanakan pengembangan ke­
pegawaian.
Pasal 105
Bagian Umum Kepegawaian terdiri dari:
a. Sub Bagian Tata Naskah;
b. Sub Bagian Pengembangan Pegawai;
c. Sub Bagian Kesejahteraan Pegawai.

Pasal 106
(1) Sub Bagian Tata Naskah mempunyai tugas menyusun dan mengo­
lah data formasi, mutasi, uraian jabatan, mencatat dan mengikuti
pelaksanaan formasi, menyusun bahan untuk pengendalian ke­
pangkatan dan jabatan, mengumpulkan peraturan perundang-un­
dangan kepegawaian dan menyusun petunjuk pelaksanaan peratur­
an kepegawaian serta melakukan urusan tata usaha Biro.
(2) Sub Bagian Pengembangan Pegawai mempunyai tugas mempersiap­
kan dan melaksanakan pendidikan dan latihan pegawai di ling­
kungan Mahkamah Agung serta mempersiapkan keperluan pendidi­
kan dan latihan Hakim di semua lingkungan peradilan,
(3) Sub Bagian Kesejahteraan Pegawai mempunyai tugas melakukan
urusan kesejahteraan pegawai seperti penyelesaian jaminan liari
546
tua, urusan kesejahteraan pegawai lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 107
Bagian Mutasi Kepegawaian mempunyai togas'mempersiapkan segala se­
suatu dibidang pengadaan, pengangkatan, kenaikan pangkat, kenaikan
gaji, mutasi kepegawaian lainnya dan usulan pemberian tanda peng­
hargaan bagi pegawai di lingkungan Mahkamah Agung dan Hakim di
semua lingkungan peradilan.
Pasal 108
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 107 Bagian
Mutasi Kepegawaian mempunyai fungsi:
a. mempersiapkan dan melaksanakan pengadaan, pengangkatan, ke­
naikan pangkat, kenaikan gaji, pemindahan, cuti, pemberhentian
dan pemensiunan pegawai di lingkungan Mahkamah Agung;
b. mempersiapkan pengusulan pengadaan, pengangkatan, kenaikan
pangkat, kenaikan gaji, pemindahan, cuti, pemberhentian dan
pemensiunan Hakim di semua lingkungan peradilan;
c. mencatat segala mutasi kepegawaian dalam buku induk dan kar­
tu induk pegawai yang bersangkutan;
d. menyusun dan memelihara arsip kepegawaian menurut urutan
nomor induk pegawai
Pasal 109
Bagian Mutasi Kepegawaian terdiri dari:
a. Sub Bagian Mahkamah Agung, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara;
b. Sub Bagian Peradilan Umum;
c. Sub Bagian Peradilan Agama.
Pasal 110
(1) Sub Bagian Mahkamah Agung, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara mempunyai tugas mempersiapkan pengadaan,
547
pengangkatan, kenaikan pangkat, kenaikan gaji, pemindahan
dan mutasi kepegawaian lainnya dan usulan pemberian tanda
penghargaan untuk pegawai Mahkamah Agung, Hakim-hakim di-
lingkungan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Sub Bagian Peradilan Umum mempunyai tugas mempersiapkan
pengusulan pengadaan, pengangkatan, kenaikan pangkat, ke­
naikan gaji, pemindahan dan mutasi kepegawaian lainnya ser­
ta pemberian tanda penghargaan untuk Hakim di lingkungan
Peradilan Umum.
(3) Sub Bagian Peradilan Agama mempunyai tugas mempersiapkan
pengusulan pengadaan, pengangkatan, kenaikan pangkat, ke­
naikan gaji, pemindahan dan mutasi kepegawaian lainnya serta
pemberian tanda penghargaan untuk Hakim di lingkungan Peradil­
an Agama.
Bagian Kesepuluh
Tenaga Ahli
Pasal 111
Tenaga Ahli mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan penda­
pat berdasarkan keahlian serta mengkaji masalah hukum di bidang
peradilan untuk kepentingan pimpinan dan Majelis pada Mahkamah
Agung.
Pasal 112
Tenaga Ahli terdiri dari sebanyak-banyaknya 6 orang dengan bidang
keahlian yang diperlukan dan ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 113
Tenaga Ahli dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab lang­
sung kepada Ketua Mahkamah Agung yang pelaksanaan sehari-hari­
nya dikoordinasikan oleh Panitera/Sekretaris Jenderal.
Bagian Kesebelas
Hakim Yustisial
548
Pasal 114
Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung adalah Hakim dari Pengadilan
Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama yang dipekeijakan
di Mahkamah Agung dan mempunyai tugas membantu pimpinan Mah­
kamah Agung dalam melaksanakan tugas pengawasan dan peradilan.
Pasal 115
Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 114, terdiri dari:
a. Hakim dari Pengadilan Tingkat Banding;
b. Hakim dari Pengadilan Tingkat Pertama.
Pasal 116
Hakim dari pengadilan Tingkat Banding mempunyai tugas membantu
pimpinan Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas pengawasan ter­
hadap penyelenggaraan peradilan serta tingkah laku dan perbuatan
Hakim di semua lingkungan peradilan.
Pasal 117,
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 116, Hakim dari
pengadilan Tingkat Banding mempunyai fungsi:
a. membantu melaksanakan pengawasan dalam rangka pembinaan
penyelenggaraan peradilan, yang meliputi tehnis peradilan dan
administrasi peradilan;
b. membantu melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran pengadu­
an dari pencari keadilan mengenai tingkah laku dan perbuatan
Hakim di semua lingkungan peradilan;
c . . mempersiapkan dan menyusun hasil pemeriksaan, pengujian dan
penilaian.
Pasal 118
Hakim dari Pengadilan Tingkat Banding dalam melaksanakan tugas­
nya bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Agung yang
pelaksanaannya sehari-hari dikoordinasikan oleh Panitera/Sekretaris
Jenderal.
549
Fasai 119
Hakim dari Pengadilan Tingkat Pertama mempunyai tugas membantu
Majelis Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara-
perkara kasasi dan peninjauan kembali.
Pasal 120
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dalam Pasal 119, Hakim dari
Pengadilan Tingkat Pertama mempunyai fungsi:
a. menelaah dan membuat resume perkara;
b. membuat konsep putusan perkara;
c membuat minutasi/penyelesaian putusan perkara;
d. lain-lainnya yang berhubungan dengan penyelesaian perkara.
Pasal 121
Hakim dari Pengadilan Tingkat Pertama dalam melaksanakan tugas­
nya bertanggung jawab langsung kepada Majelis pada Mahkamah
Agung yang pelaksanaannya sehari-hari dikoordinasikan oleh Pani^
tera.
BAB II
TATA KERJA
Pasal 122
Dalam melaksanakan tugasnya para Kepala Direktorat, Kepala Biro,
Tenaga Ahli dan Hakim Yustisial wajib menerapkan prinsip koordi­
nasi, integrasi dan sinkronisasi dalam Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal
sesuai dengan tugas masing-masing.
Pasal 123
Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi bawahannya ma­
sing-masing dan bila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-
langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 124
Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan Kepaniteraan/Sek­
retariat Jenderal bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinari-
550
kan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan serta pe­
tunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan.
Pasal 125
Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi
petunjuk .dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing serta
menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya.
Pasal 126
Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari
bawahan, wajib diolah dan. dipergunakan sebagai bahan untuk penyu­
sunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk-petunjuk
kepada bawahan.
P^sal 127
Dalam menyampaikah laporan masing-masing kepada atasan, tembusan
laporan wajib disampaikan pula kepada satuan organisasi lain yang se­
cara fungsional mempunyai hubungan keija.
Pasal 128
Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan organisasi
dibantu oleh Kepala-kepala satuan organisasi dibawannya dan dalam
rangka pemberian bimbingan kepada bawahan, masing-masing wajib
mengadakan rapat berkala.
BAB III
KETENTUAN LAIN
Pasal 129
Kepala Direktorat dalam melaksanakan tugas memimpin Direktorat
secara fungsional diangkat sebagai Panitera Muda.
Pasal 130
Hakim. Pengadilan Tingkat Pertama dalam melaksanakan tugasnya se­
cara fungsional menjalankah tugas sebagai Panitera Pengganti.
BAB IV
PENUTUP
Pasal 131
Perubahan atas tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata keija Kepani-
teraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung menurut keputusan ini
ditetapkan oleh Panitera/Sekretaris Jenderal dengan terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab
dibidang pendayagunaan aparatur negara dan Menteri/Sekretaris
Negara.
Pasal 132
Dengan berlakunya keputusan ini, maka segala ketentuan yang ber­
tentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 133
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 1 April 1986*
PANITERA/SEKRETARIS JENDERAL,

R. MOCHAMAD IMAN.S.H.
NIP. 040007813.
*

552
Lampiran : K aput u* an Pan. /Sak. Jan. MARI
Nomor : M A/PANSEK/02/SK/TAHUN 1986
Tanggal : 1 April 1986

Katarangan :
................................... ■ garis koordinasi.
....... —........ —----- ■ garis tanggung jawab.

ISt
554

SUn. DI RE K T OR A T

KASASI P E RDATA.

S E K S I

R E G I S T R A S I

S E K S I

PENELAAHAN BERKAS PERKARA


Os
557
558

D IR EK TO R A T

H U KUM DAN P E R A D IL A N

SUB. Q IR EK TC HAT $U0. D IR EK TO R A T SUB. D IR E K TO R A T

PEMBINAAN ADMINISTRASI PENGAMATAN PERADILAN


II U K U H
PER A O ILA N

S E K S I S E K S I S E K S I

PERUNDANC-UNDANGAN T A T A US AHA T. EG I AT AN PER A D ILA N

S E K S I S E K S I S E K S I

PENGOLAHAN IIUKUH PENYIAPAN PERTIMBANCAM


ADMINISTRASI PERAOILAN
DAN YURISPRUDENSI. PENEGORAN

S E K S I S E K S I S E K S I
ORGANISASI DAN TATA . U R U SA N P E N A S IH A T HUKUM
PERPUSTAKAAN
LAKSANA BADAN PERADILAN DAN N O T A R I S . |
BAGIAN

A N G 6 A R A N

SUB. BAGIAN

PENYUSUNAN ANGGARAN.

SU B. BAGIAN

PELAKSANAAN ANGGARAN
I
BUKU KEN AN Q -K EK & N G AN
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN,
MAHKAMAH AGUNG,
PERADILAN UMUM,
PERADILAN MILITER,
PERADILAN AGAMA,
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

ORGANISASI DAN TATA KERJA


KEPANITERAAN / SEKRETARIAT JENDERAL
MAHKAMAH AGUNG - RI

Dihimpun oleh :
MAHKAMAH AUUNt
Februari 1992

Anda mungkin juga menyukai