Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR


PENGARUH HINDU DAN BUDHA TERHADAP BENTUK
ARSITEKTUR
TUGAS 5

DISUSUN OLEH :
NAMA : RAHMADANTI ADMAJA
NRP : 142018009
DOSEN : RENY KARTIKA SARI, ST.MT

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah Sejarah Arsitektur Timur dengan judul PENGARUH
HINDU DAN BUDHA TERHADAP BENTUK ARSITEKTUR

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palembang, 18 Mei 2019


PENGARUH HINDU TERHADAP BENTUK ARSITEKTUR

Agama Hindu di sebarkan oleh Bangsa Arya (Bangsa Pendatang) setelah masuk
melalui celah Carber yang memisahkan daratan Eropa dan Asia. Bangsa Arya merasa
nyaman tinggal karena India adalah daerah yang subur. Bangsa Arya mengalahkan Bangsa
asli India (Dravida). Cara Bangsa Arya mengeksistensikan bangsanya di India dengan cara
membuat Kasta, yaitu pelapisan masyarakat. Perbedaan Bangsa Arya dengan Bangsa
Dravida itu sendiri terdapat pada bagian fisiknya, yaitu Bangsa Arya berkulit putih
sedangkan Bangsa Dravida berkulit hitam.
Pusat kebudayaan Hindu adalah di Mohenjo Daro (Lakarna) dan Harapa (Punjat)
yang tumbuh sekitar 1.500 SM. Agama Hindu dalam pelaksanaan ritual ibadah
(penyampaian doa kepada dewa) harus di lakukan oleh Kaum Brahmana saja. Sehingga
kaum-kaum di bawahnya merasa kesulitan ketika kaum Brahmana meminta qurban
(pembayaran yang berlebih) kepada kaum-kaum di bawahnya yang meminta tolong untuk
disampaikan doanya kepada dewa-dewa mereka.

CANDI IJO

Candi Ijo mempunyai latar belakang Agama Hindu. Hal ini dilihat dari temuan-
temuan arca yang ada. Agama Hindu berkembang di Indonesia pada abad IX M. Berdasarkan
data epigrafi, Candi Ijo dibangun antara tahun 850-900 M. Candi ini diperkirakan memiliki
hubungan dengan raja-raja yang berkuasa pada tahun tersebut. Berdasarkan perkiraan,
Raja yang berkuasa pada masa tersebut adalah Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi (prasasti
dan Raja Balitung).
Candi Ijo terdiri atas 17 struktur bangunan pada 11 teras dengan teras teratas
merupakan kedudukan tertinggi, yaitu candi induk. Candi induk menghadap ke Barat. Candi
induk memiliki ukuran 1.843 x 1.845 cm dan tinggi 1.600 cm. Di dalam candi induk, terdapat
lingga dan yoni yang melambangkan Dewa Siwa menyatu dengan Dewi Parwati. Pada
dinding candi induk terdapat relung-relung untuk menempatkan arca Agastya, Ganesa, dan
Durga.
Di depan candi induk, terdapat 3 buah
candi yang disebut dengan candi perwara.
Ketiga candi ini menghadap ke Timur atau
menghadap ke arah candi induk. Candi ini
memiliki ukuran yang bervariasi dari candi
sisi selatan, candi sisi tengah dan candi sisi
utara.
Ketiga candi perwara diduga dibangun untuk memuja Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu
dan Syiwa. Ketiga candi ini memiliki ruangan di dalamnya dan terdapat jendela kerawangan
berbentuk belah ketupat. Atap candi perwara terdiri atas tiga tingkatan yang dimahkotai
barisan ratna. Candi perwara berada di tengah melindungi arca lembu andini, kendaraan
Dewa Syiwa.

A. TEKNIK KONSTRUKSI DAN PEMBANGUNAN CANDI


Teknik Konstruksi dan Pembangunan Candi Bangunan candi di Indonesia umumnya
dibangun dengan cara a joint vif, yaitu bebatuan yang saling ditumpuk diatasnya tanpa ada
bahan pengikat. Pada awalnya teknik penumpukan batu dilakukan dengan cara membuat
perkuatan dengan memotong bagian balok batu untuk membuat semacam lidah dan
tekukan yang saling mengunci dengan balok-balok yang bersebelahan baik secara mendatar
maupun ke atas. Pada awal abad ke-9, ahli bangunan Jawa menggunakan teknik India
mengenai dinding batu berdaun ganda. Jawa merupakan satu-satunya wilayah di Asia
Tenggara yang menggunakan cara konstruksi seperti ini.
Teknik ini memerlukan pembuatan sepasang dinding sejajar dan pengisian rongga
diantaranya dari puing atau dari batu dengan bentuk yang tidak beraturan direkatkan
dengan lumpur, kadang-kadang ditambah sedikit kapur seperti di Loro Joggrang. Lapisan
luar batu biasanya diarahkan ke bagian luar dalam serangkaian bebatuan
menggantung berjarak tidak rata yang menghasilkan kesan bagian luar bagikan dipahat atau
di sesak. Setelah abad ke 9, teknik kontruksi candi agak sedikit berubah sejalan dengan
peralihan pusat politik pada masa itu ke Jawa Timur.
Pembangunan candi memiliki tata cara
dan upacara ritual. Upacara yang
dilaksanakan serigkali dicatat dalam tulisan
batu (piagem) atau lempengan perak atau
tembaga. Yang berinisiatif membangun
candi pada pertama kalinya adalah
bangsawan(orang suci) dengan mengajak
orang-orang di kampungnya (sekelilingnya)
untuk bergotong royong membangun
candi. Pertama sekali bangsawan yang menyelenggarakan acara membagikan hadiah pada
semua orang yang datang. Kemudian peserta menghiasi diri dengan bunga dan pewarna dan
batu suci diletakkan ditengah halaman candi yang akan dibangun.

B. STRUKTUR CANDI
Secara vertikal, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian yang melambangkan
kosmologi atau kepercayaan terhadap pembagian dunia sebagai satu kesatuan alamsemesta
yang sering disebut dengan ‘Triloka’ terdiri dari dunia manusia (bhurloka), duniatengah
untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa(svarloka).
Ketiga tingkatan ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagiankaki, badan
dan kepala. Arsitektur candi sering juga diidentikan dengan makna perlambangan Gunung
Meru. Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagat
yang berfungsi sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga.

1. Bhurloka (Kaki Candi)


Ciri ciri candi Hindu memiliki struktur kaki candi yang dinamakan Bhurloka. Bagian ini
terletak di dasar candi dan merupakan lambang alam bawah atau dunia bawah. Bhurloka
disebut alam bawah karena dihuni oleh makhluk makhluk golongan bawah, misalnya asura,
manusia, hewan, raksasa, dan makhluk halus (iblis). Selain itu dibagian ini juga disebut
sebagai alam kesengsaraan karena makhluk makhluknya mempunyai hawa nafsu. Sruktur
kaki candi ini memiliki bentuk bujur sangkar atau segi empat. Kemudian dilengkapi dengan
aliran air yang menyatu dengan tangga masuk dari pintu candi atau disebut "Jaladwara". Di
sela sela tumpukan bhurloka bagian kiri dan kanan candi terdapat ukiran ukiran yang
memiliki maksud tertentu.

2. Bhuvarloka (Tubuh Candi)


Ciri ciri candi Hindu juga memiliki struktur tubuh candi yang dinamakan Bhuvarloka.
Bagian ini terletak di tengah candi. Bhuvarloka dianggap sebagai lambang tempat pensucian
manusia agar batiniahnya menjadi sempurna. Bhuvarloka juga dilengkapi dengan pintu yang
bagian atasnya terdapat "Kalamakara". Kalamakara merupakan kepala kara menyerupai
iblis, dimana kepalanya berbentuk hewan perpaduan antara buaya, macan dan ikan.
Kalamakara ini biasanya terdapat di pintu candi Hindu maupun candi Budha. Kalamakara
yang terdapat dibagian pintu digunakan sebagai penolak bala, pengingat manusia tentang
adanya kematian, penolak sial dan penolak ancaman batin pada candi. Jaman dahulu kala
diceritakan memiliki wajah yang tampan menurut cerita Hindu dan Budha. Tetapi ia berubah
menjadi raksasa buas yang memangsa hewan yang dijumpainya. Hal ini dikarenakan ia
dikutuk oleh Sang Hyang Widhi. Kemudian pada akhirnya ia juga memakan dirinya sendiri
dan hanya meninggalkan bagian kepalanya saja. Tubuh candi Hindu memiliki ruangan di
bagian dalamnya.

3. Svarloka (Atap Candi)


Ciri ciri candi Hindu juga memiliki struktur atap candi yang dinamakan svarloka. Svarloka
digunakan sebagai lambang dunia para dewa dan jiwa jiwa yang telah mencapai
kesempurnaan. Bagian atas candi ini memiliki bentuk limas dengan tiga tingkatan. Tingkat
teratas berbentuk kerucut. Kemudian bagian atap candi dilengkapi dengan rongga yang
berbentuk batu persegi bergambar teratai. Atap ini merupakan lambang tahta dewa.

C. CIRI CIRI CANDI BERCORAK HINDU


Adapun ciri-ciri penting yang membedakan candi dengan corak Hindu, sebagai berikut :

1. Pada bagian tengah pondasi, terdapat sumur


(perigi) sebagai tempat untuk menyimpan
(pripih). Peripih adalah sebuah peti batu yang
digunakanawalnya sebagai tempat abu jenazah
seorang raja, kemudian pada kenyataan lain,
peripihdigunakan sebagai wadah untuk
menaruh unsur-unsur yang melambangkan
dunia materi : emas, perak, perunggu, batu akik
dan biji-bijian yang diduga sebagai benda-
bendaupacara pemujaan.
2. Lantai pradaksinpatha tidak terlalu lebar dan di
bagian tepi, tidak ada pagar (vedika)
3. Terdapat lima (5) relung di dinding luarnya; 1
relung di tiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan & kiri pintu. Di dalam relung
terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan
Nandisvara.
4. Bentuk candinya ramping.
5. Jika berupa kompleks bangunan, maka terdapat 1 candi induk dan 3 candi perwara.
Candi perwara tengah berisi Nandi .
6. Pada bagian tengah bilik utama terdapat Lingga – Yoni. Yoni menutup mulut perigi
yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi. Lingga dan yoni adalah
sepasang relief atau monumen yang terdapat pada candi Hindu Siwa. Lingga terdiri
dari silinder terpadu atau berdiri diatas dasar yangdisebut yoni.
7. Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil dan puncaknya berbentuk motif ratna.
8. Digunakan sebagai tempat menyembah dewa dan tempat memakamkan para raja.
D. ORNAMEN ORNAMEN

Bangunan candi induk berdiri di atas kaki candi


berbentuk persegi empat. Pada candi induk terdapat pintu
masuk ke ruang dalam yang berada di tengah dan
disekitarnya terdapat dua buah persegi menyerupai jendela.
Di atas ambang pintu terdapat ornamen Kepala Kala
bersusun. Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan
Siwa untuk membunuhseorang raksasa.Kala ini diwujudkan
dalam berbagai variasi bentuk seperti mahkluk aneh tanparahang bawah. atau hiasan
dengan satu mata.Sama seperti candi-candi di yogyakarta dan Jawa Tengah, Kepala Kala
tersebut tidak memiliki rahang bawah. Diatas ambang jendela juga terdapat ornamen
pahatan Kepala Kala bersusun.
Pada pintu masuk candi induk, terdapat tangga yang dilengkapi
dengan tepi tangga berupa sepasang Makara. Makara merupakan
mahluk mitos Hindu bertubuh ikan dengan belalai seperti gajah
Mekara adalah binatang mitologi berbelalai gajah, surai singa, paruh
burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang semuanyamerupakan
lambang air dan birahi. Kepala Makara menjulur ke bawah dengan
mulut terbuka. Pada masing-masing Mulut Makara, terdapat seekor
burung bayan yang membawa bulir padi di atas paruhnya. Bagian
atas Kepala Makara, dihiasi oleh pahatan menyerupai rambut dan di atas tepi tangga
terdapat hiasan bermotif Kala.

Pada ambang pintu candi induk, terdapat bingkai dengan tubuh


sepasang naga yang menjulur ke bawah dengan kepala
membelakangi ambang pintu dan mulutnya menganga lebar. Di
dalam mulut naga tersebut, terdapat burung bayan.

Jendela-jendela tidak hanya terdapat pada sisi muka candi


induk, namun juga terdapat masing-masing tiga buah pada sisi
Utara, Timur dan Selatan. dengan masing-masing dibingkai
dengan hiasan sepasang naga dan Kepala Kala.
Di dalam tubuh Candi Induk, terdapat sebuah ruangan. Pada
dinding-dinding di sebelah Selatan, Utara dan Timur dalam ruangan
tersebut, terdapat relung-relung yang menyerupai bentuk jendela.
Relung tersebut dibingkai oleh pahatan pada dinding yang
menggambarkan sepasang aspara yang sedang terbang menuju ke
arah relung.

Di dalam ruangan tersebut, terdapat pula Lingga yang disangga


oleh Ular sendok berkepala kura-kura. Mahluk ini berasal dari
mitos Hindu yang melambangkan penyangga bumi. Dengan
demikian, Pusat Candi merupakan garis sumbu bumi. Penyatuan
Lingga dan Yoni melambangkan kesatuan antara Syiwa dan
Parwati shaktinya.
Candi induk memiliki atap yang unik yaitu bertingkat-tingkat
yang terbentuk dari persegi yang makin ke atas, makin mengecil.
Di setiap sisi terdapat deretan 3 ratna pada masing-masing tingkat.
Sebuah ratna berukuran lebih besar terdapat di puncak atap.

Pada batas atap dan dinding candi, terdapat dihiasi oleh


deretan pahatan dengan pola berseling antara sulur-suluran
dan gana (mahluk kerdil). Di sepanjang tepi atap dihiasi
dengan antefiks dengan deretan pahatan sulu-suluran. Pada
masing-masing bingkai terdapat arca setengah badan yang
menggambarkan Dewa Brahma, Wisnu atau Syiwa dalam
berbagai posisi tangan.

E. AKULTURASI HINDU DALAM BANGUNAN INDONESIA

1. Masjid Gedhe, Mataram


Kompleks Masjid Gedhe Mataram terdiri
atas bangunan masjid, kompleks makam raja
dan halaman. Kompleks masjid ini dibuat
dengan halaman yang luas yang difungsikan
sebagai tempat berkumpul warga pada zaman
dahulu. Selain itu masjin dibagi menjadi
bangunan inti dan serambi yang mengelilingi
bangunan inti masjid. Bangunan intimasjid
menggunakan atap tajug lambag gantung. Pada bagian serambi menggunakan atap limas.
Berikut bagian masjid yang mengandung akulturasi corak hindu.
 Gapura Paduraksa
Gapura Paduraksa merupakan unsur budaya non
islam yang paling mencolok pada arsitektur masjid
ini. Gapura Paduraksa ini merupakan gerbang dari
pagar dinding bata yang mengelilingi masjid. Pada
Gapura Paduraksa dapat kita temukan hiasan Kala
yang banyak ditemukan pada bangunan Hindu. Kala
pada Budaya Hindu merupakan sosok dewa yang
menyerupai raksasa. Penggunaan Kala yang
menyerupai bentuk makhluk hidup, tidak ada pada
arsitektur islam ataupun dilarang penggunaannya pada masjid pada umumnya. Akan tetapi
pada masa itu penggunaan Gapura Paduraksa ini, digambarkan sebagai bentuk toleransi
terhadap agam hindu dan juga merupakan respon akan arsitektural masjid pada masa itu
terhadap arsitektural lokal pada masa itu yang masih didominasi dengan unsur Hidhu pada
bangunan sekitar.
Pada bagian kanan dan kiri Gapura dihubungkan dengan pagar setinggi 2.5 meter
yang mengeliling kompleks masjid dan pemakaman. Di bagian barat dari pintu gerbang
terdapat aling-aling yang menyerupai dengan pintu gerbang bali yang dihiasi dengan elemen
buju sangkar.
 Atap
Atap yang digunakan pada Masjid Gedhe Mataram
adalah atam bertumpuk 3. Atap bertumpuk pada
dasarnya merupakan atap yang banyak digunakan pada
bangunan bangunan Hindu. Penggunaan Atap
bertumpuk pada Masjid Gedhe Mataram merupakan
salah satu bentuk pencampuran budaya arsitektural
hindu pada kala itu.Dimana kita banyak menjumpai
bangunan hindu budha yang memiliki atap menumpuk dan mengerucut ke atas seperti dapat
ditemukan pada candi pada umumnya.
 Elemen Air
Pada Masjid Gedhe Mataram kita dapat menemukan sebuah kolam yang dipergunakan
sebagai tempat mandi pada kala itu. Masjid pada dasarnya memiliki elemen air yang
difungsikan sebagai tempat wudhu. Akan tetapi pada masjid Gedhe Mataram elemen air
yang berupa kolam menjadi unsur elem yang besar pada bangunan. Penambahan kolam
didasari atas ajaran Hindu yang menggambarkan bahwa penempatan bangunan suci
haruslah berdekatan dengan sumber air seperti sungai,laut ataupu danau, jika tidak maka
haruslah dibuat kolam buatan. Oleh karena itu kita banyak menjumpai unsur air pada pura-
pura hindu budha.

.
2. Masjid Kudus
Masjid yang didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq yang
lebih dikenal sebagai Sunan Kudus tahun tahun 1549
M atau 956 H ini awalnya bernama Masjid Al Aqsha.
Nama ini sendiri terdapat pada sebuah prasasti yang
terpasang di bagian atas mihrab dan menyatakan
bahwa masjid itu bernama Masjid Al Aqsha di negeri
Al Quds. Nama masjid Kudus sendiri kemudian baru
populer dan dikenal setelah proses pengislaman berlangsung.
Nama daerah tempat pendirian masjid dan didiami oleh Sunsn Kudus sendiri dulunya
bernama Tajug yang berarti rumah dengan atap berbentuk runcing. Namun setelah Ja’far
Shadiq (Sunan Kudus) datang kemudian mengganti nama Tajug menjadi Al Quds yang
kemudian menjadi nama Kudus dalam lidah orang Jawa.
Menara masjid Kudus merupakan perwujudan bangunan hasil
akulturasi antara dua kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam. Budaya
Hindu-Jawa sendiri tercermindari bangunan yang mirip candi.
Sedangkan budaya Islam tercermin dari penggunaannya untuk adzan.
Cerminan akulturasi dari masjid ini juga tercermin dari corak bagian
gapura dan juga pada bagian dalam masjid yang memiliki sepasang
gapura kuno yang disebut dengan “Lawang Kembar”. Akulturasi sendiri
merupakan percampuran dua budaya atau lebih yang tidak menghapus
budaya aslinya.
Pada saat Islam masuk ke Nusantara pada sektar abad ke-7,
masyarakat Nusatara memang masih sangat terpengaruh dengan kebudayaan Hindu dan Buddha.
Nah kemudian para penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo), termasuk Sunan Kudus sendiri
dalam memperkenalkannya menggunakan strategi percampuran budaya Hindu dan Islam agar
masyarakat bisa tertarik dan mudah menerima ajaran agama Islam
yang baru saat itu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada
gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak
ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas
Hindu.
PENGARUH BUDHA TERHADAP BENTUK ARSITEKTUR

Agama Buddha mengalami perkembangan pesat di India pada masa pemerintahan


Raja Ashoka Vardhana (273-232 SM) dan agama Buddha dijadikan agama negara. Di Asia
Tengah, agama Buddha mengalami perkembangan pesat, masuk ke Cina pada tahun 65 M
melalui para rahib yang tinggal di Biara sepanjang jalur Jalan Sutra. Di Tibet pemimpin
Buddha disebut Lama. Agama Buddha masuk ke Kerajaan Cina masa Dinasti Han. Aliran
Budddha Mahayana banyakdianut rakyat Cina.Sekitar tahun 108 M Kerajaan Cina
menaklukan Korea (Kerajaan Paikche). Hal ini mengakibatkanagama Buddha masuk ke
Korea. Dari koreaa agama Buddha berkembang ke Jepang pada tahun 538 M.Raja Paikche
mengirimkan bingkisan berupa arca Buddha dan naskah-naskah ajaran Buddha kepada
tenno di Yamato.
Masuknya Buddha di kawasan Asia Tenggara melalui jalur perdagangan laut. Negara-
negara AsiaTenggara yang mendapat pengaruh Buddha, antara lain sebagai berikut.
 Thailand : di Kerajaan Sukothai dan Ayuthia
 Myanmar : berkembang masa pemerintahan Raja Anawasta (1044-1077 M)
 Laos : berkembang pada masa Kerajaan Lan Xang
 Kamboja : masa Raja Jayamarwan VII tahun 1211-1219 M
 Nusantara : berkembang pesat di Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-9.
Penyebaran agama Buddha dilakukan oleh sebuah misi yang dikenal dengan
Dharmaduta. Para ahli memperkirakan pada abad II Masehi agama Buddha masuk ke
Indonesia. Pendaapat mereka diperkuatdengan adanya penemuan arca Buddha yang
terbuat dari perunggu di Sempaga (Sulawaesi Selatan), jember (Jawa Timur), dan Bukit
Siguntang (Sumatera Selatan). Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebt berasal dari langgam
Amarawati (India Selatan) dari abad II-V Masehi. Selain itu, ditemukan juga arca perunggu
berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai(Kalimantan Timur).
Agama Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh para biksu. Para biksu meyebarkan
agama Buddhadi Indonesia, diantaranya berasal dari Kashmir yang bernama Gunawarman
(420 M). Pada masa-masa berikutnya pengaruh budaya dan agama buddha dibawa oleh
orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di perguruan tinggi Nalanda, India. Agama
Buddha yang tersiar di Indonesia terutama dari aliran Mahayana. Ajaran agama Buddha
bersumber dari kitab suci “Tripitaka”.
CANDI BOROBUDUR

Borobudur merupakan sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang,


Jawa Tengah, Indonesia. Diperkirakan lokasi candi adalah kurang lebih 100 kilometer di
sebelah barat daya Semarang, 86 kilometer di sebelah barat Surakarta, dan 40 kilometer di
sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut
agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra. Selain itu, Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia
peninggalan abad ke 9, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen yang begitu megah ini terdiri dari enam teras berbentuk bujur sangkar
yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672
panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha
terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus
memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di
dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan
mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

A. STRUKTUR CANDI

Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran
berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa
utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa. Candi
Borobudur didirikan di atas sebuah bukit atau deretan bukit-bukit kecil yang memanjang.
Candi Borobudur merupakan tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah
sebagai intinya, sehingga bukan merupakan tumpukan batuan yang masif. Inti tanah juga
sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk meletakkan batuan
candi (Sampurno, 1966). Apabila dilihat dari bagian-bagian yang dibangun, maka Candi
Borobudur terlihat cukup kompleks. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk
persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel.
Terdapat 504 arca yang melengkapi candi.
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu ciri ciri candi Budha ialah struktur candinya
yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu arupadhatu, kamadhatu, dan rupadhatu. Berikut
penjelasan masing masing bagiannya:
 Arupadhatu
Ciri ciri candi Budha memiliki struktur paling atas
candi yang dinamakan Arupadhatu. Bagian teratas
candi tersebut artinya tidak berwujud atau tidak
berupa. Tingkatan paling atas candi ini digunakan
sebagai lambang manusia yang tidak mempunyai ikatan
dan nafsu, tetapi tidak sampai tingkat nirwana. Arupadhatu berbentuk stupa yang
didalamnya terdapat rongga untuk patung Budha. Seperti halnya Candi Borobudur yang
tingkatan tertingginya terdapat satu stupa besar di bagian paling atas dan ditambahkan
dengan 10 stupa kecil lainnya. Stupa besar Candi Borobudur memiliki patung Budha yang
kurang sempurna, tetapi patung tersebut telah dipindahkan ke museum Karmawibhangga.
 Rupadhatu
Ciri ciri candi Budha juga memiliki struktur tengah candi yang dinamakan Rupadhatu.
Tingkatan ini digunakan sebagai lambang dunia yang bebas nafsu tetapi mempunyai bentuk
dan rupa. Rupadhatu juga digunakan sebagai lambang jembatan alam atas (Arupadhatu)
dengan alam bawah (Kamadhatu). Struktur tengah ini memiliki relief yang memaparkan
kegiatan Budha mengajar di Taman Lumbiri sehari hari.
 Kamadhatu
Ciri ciri candi Budha juga memiliki struktur terbawah yang
dinamakan Kamadhatu. Tingkatan paling bawah candi
tersebut digunakan untuk lambang dunia manusia yang
dipenuhi oleh nafsu. Dunia tersebut bertentangan dengan
ideologi dan ajaran Budha karena timbul berbagai bentuk
nafsu. Kamadhatu juga diartikan sebagai kehidupan anak
manusia dalam memanjakan dirinya dengan berbagai bentuk
kehidupan duniawi, nafsu, sikap egois dan hedonis.
B. CIRI CANDI BERCORAK BUDHA
Di bawah ini terdapat ciri ciri candi Budha yang meliputi:

1. Candi Budha digunakan sebagai tempat pemujaan.


2. Candi tersebut memiliki struktur tingkatan seperti arupadhatu, kamadhatu, dan
rupadhatu.
3. Di bagian puncak candi terdapat stupa.
4. Memiliki patung Budha.
5. Bagian candi utamanya terdapat ditengah candi cand kecil. Contohnya candi
Borobudur.
6. Candi Budha memiliki relief yang mempunyai cerita sendiri.
7. Bangunan candinya berbentuk tambun.
8. Bagian pintu candi terdapat Kala yang mulutnya menganga tanpa rahang bawah.
Kemudian dilengkapi dengan Makara ganda yang terletak disisi sisi pintu.
C. DENAH CANDI BOROBUDUR

Tata letak candi borobudur konsentris, berpusat meningkat ke atas. Bentuk denah dari
persegi empat, lingkaran dan tangga berkombinasi
membentuk suatu struktur monumental yang berundak
undak membentuk piramid (semakin keatas semakin kecil)
bertingkat 10. Hal tersebut berkaitan dengan ajaran
dasabhumi dalam Budhisme Mahayana, yaitu sepuluh
tingkat perkembangan Boddhisattwa, berupa sepuluh
tingkatan penyempurnaan yang harus dilakukan
Boddhisattwa untuk mencapai kebudhaan.
Menurut Daigoro Chihara, Soekmono dan Bernert, candi borobudur melambangkan
sebuah Madala. Mandala dapat diartikan sebagai suatu objek yang luas yang berfungsi
sebagai alat meditasi yang diwujudkan dalam sebuah konfigurasi kosmis, dimana pusat nya
terdapat tokoh dewa atau simbol dewa tertinggi yang dikelilingi oleh sejumlah dewa yang
secara hierarki kedudukannya lebih rendah.
D. MATERIAL PENYUSUN CANDI
Inti tanah yang berfungsi sebagai tanah dasar atau tanah pondasi Candi Borobudur
dibagi menjadi 2, yaitu tanah urug dan tanah asli pembentuk bukit.
Tanah urug adalah tanah yang
sengaja dibuat untuk tujuan
pembangunan Candi Borobudur,
disesuaikan dengan bentuk bangunan
candi. Menurut Sampurno Tanah ini
ditambahkan di atas tanah asli sebagai
pengisi dan pembentuk morfologi
bangunan candi. Tanah urug ini sudah dibuat oleh pendiri Candi Borobudur, bukan
merupakan hasil pekerjaan restorasi. Ketebalan tanah urug ini tidak seragam walaupun
terletak pada lantai yang sama, yaitu antara 0,5 sampai 8,5 meter.
Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi, kadar
porinya sekitar 32 sampai 46 persen, dan antara lubang pori satu dengan yang lain tidak
berhubungan. Kuat tekannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan kuat tekan batuan
sejenis. Dari hasil penelitian Sampurno (1969), diperoleh kuat tekan minimum sebesar 111
kg/cm2 dan kuat tekan maksimum sebesar 281 kg/cm2. Berat volume batuan antara 1,6
sampai 2 t/m3.
E. TAHAP PEMBANGUNAN CANDI
 Tahap Pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850
M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi
kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar.
 Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua
undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung
diberikan stupa induk besar.
 Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar
dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran.
Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan
satu stupa besar di tengahnya.
 Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief
perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
Pada kira – kira abad ke – 10 Candi Borobudur terbengkalai dan terlupakan. Di sana –
sini tumbuh macam – macam tumbuhan liar yang lama kelamaan menjadi rimbun dan
menutupi bangunannya.
Baru pada tahun 1814 M berkat usaha Sir
Thomas Stamford Rafles Candi Borobudur
muncul dari kegelapan masa silam.
Rafles adalah Letnan Gubernur Jendral Inggris,
ketika Indonesia di kuasai / di jajah Inggris pada
tahun 1811 M –1816 M.
Pada tahun 1835 M seluruh candi di bebaskan
dari apa yang menjadi penghalang pemandangan
oleh Presiden kedua yang bernama Hartman,
karena begitu tertariknya terhadap Candi Borobudur sehingga ia mengusahakan
pembersihan lebih lanjut, puing –puing yang masih menutupi candi di singkirkan dan tanah
yang menutupi lorong – lorong dari bangunan candi di singkirkan semua sehingga candi
lebih baik di bandingkan sebelumnya.

Susunan batu borobudur disusun dengan teknik


penguncian, yaitu teknik yang mirip puzzle jigsaw.
hal ini bisa dilihat pada susunan batu candi pada
bagian bawah dan pintu gerbang. Jadi bagian batu
yang akan disusun sudah dibentuk sedemikian rupa
agar bisa disusun dengan teknik penguncian (lock
and key). Jadi boleh dibilang, proses pembuatan
candi borobudur ini sudah menggunakan teknologi
yang tinggi (untuk ukuran abad 8, teknik lock and key merupakan teknnologi yang maju
dalam dunia pembangunan).
F. ELEMEN CANDI
 Arca
Arca adalah patung yang terutama dibuat dari batu yang dipahat menyerupai bentuk
orang atau binatang (KKBI, 2000: 64). Semua arca menggambarkan Dhyani Buddha dengan
posisi duduk bersila di atas bantalan teratai dan selalu menghadap keluar. Arca di bagian
Rupadhatu. Arca-arca Dhyani Buddha ditempatkan dalam relung-relung pagar langkan yang
tersusun berjajar di sisi luar pada tingkat 2-6.
Arca di bagian Arupadhatu
ditempatkan dalam stupa-stupa yang
dindingnya berlubang-luang dan
berderet dalam 3 susun lingkaran
sepusat, pada teras bundar pada tingkat
7-9. Arca-arca Buddha di Candi
Borobudur jika dilihat sekilas tampak
sama, tetapi sesungguhnya berbeda.
Perbedaan yang sangat jelas antara
arca Buddha yang satu dengan yang lain
terletak pada sikap tangannya (mudra).Sebenarnya sikap tangan arca Buddha di Candi
Borobudur ada 6 macam. Namun, karena sikap tangan arca Buddha pada tingkat 6 dan pada
bagian Arupadhatu sama maka jumlah mudra yang pokok ada 5. Jumlah ini sesuai dengan
empat arah mata angin (timur, barat, selatan, dan utara) dan pusat/zenith. Jumlah ini juga
sesuai dengan adanya 5 dhyani Buddha menurut konsepsi agama Buddha Mahayana.
Arca DhyaniBuddha Aksobya dengan sikap tangan Bhumisparsamudra, berada di timur.
Bhumisparsamudra menggambarkan sikap tangan saat Sang Buddha memanggil Dewi Bumi
sebagai saksi ketika ia menangkis semua serangan Iblis Mara.
Arca Dhyani Buddha Amoghasiddhi berada di utara dengan sikap tangan
Abhayamudra. Abhayamudra menggambarkan sikap tangan “jangan takut”.
Arca Dhyani Buddha Amitabha berada di barat, dengan sikap tangan Dhyanimudra.
Dhyanimudra menggambarkan sikap tangan saat semedi.
Arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa berada di selatan, dengan sikap tangan
Varamudra. Varamudra menggambarkan sikap tangan memberi amal, memberi
anugrah.
Arca Dhyani Buddha Wairocana berada di pusat (zenith), dengan sikap tangan
Dharmacakra mudra. Dharmacakramudra menggambarkan sikap memutar roda
dharma. Arca Dhyanai Buddha Wairocana terdapat di relung pagar langkan pada
tigkat 6.
Arca-arca itu seolah memberi kesan bahwa Candi Borobudur “dijaga” oleh para Dhyani
Buddha. 92 arca Aksobya di timur, 92 arca Amoghasiddhi di utara, 92 arca Amitabha di
barat, dan 92 arca Dhyani Buddha ratna Sabhawa di selatan, serta 64 arca Dhyani Buddha
Wairocana di pusat. Bagian Arupadhatu “dijaga” oleh Dhyani Buddha Wairocana. 72 arca
Dhyani Buddha Wairocana terletak di dalam stupa-stupa kecuali stupa induk.
 Relief
Relief adalah seni pahat dan ukiran 3-dimensi yang biasanya dibuat di atas batu. Bentuk
ukiran ini biasanya dijumpai pada bangunan candi, kuil, monumen dan tempat bersejarah
kuno. Menurut catatan Balai Konservasi Borobudur, dalam bangunan Candi Borobudur
terdapat 1.460 panil relief cerita (tersusun 11 deretan mengitari bangunan candi) dan relief
dekoratif (berupa relief hias) sebanyak 1.212 panil.
 Lalitavistara
Relief Lalitavistara merupakan relief yang
dipahatkan pada dinding I, baris panel atas, relief ini
menceritakan tentang kehidupan sang Budha di surga
tushita hingga menyampaikan khotbahnya di Tman
Rusa.
 Jataka / Awadana
Relief ini dipahatkan pada dinding utama lorong tingkat I, dan pagar langkat tingkat I
dan II.
Jataka adalah kisah tentang sang budha yang
mengalami kelahiran berulang kali dalam berbagai
wujud untuk membantu manusia mencapai jalan
kebudhaan. Dalam kisah kisah itu, sang budha baik
sebagai manusia ataupun hewan selalu mencontohkan
kebaikan dan ajaran tentang dharma.
Awadana merupakancerita yang yang dengan Jataka, hanya saja pelkau utamanya
bukanlah sang budha melainkan tokoh lain atau hewan biasa yang bukan jelmaan sang
Budha.
 Gandawyuha
Relief pada tingkatan ini
menggambarkan riwayat Bodhisattva
Maitreya sebagai calon Budha yang akan
datang, merupakan kelanjutan dari cerita di
tingkat II.

 Karmawibhangga
Yang merupakan kumpulan cerita tentang
sebab akibat perbuatan baik dan perbuatan jahat
manusia. Terdapat juga gambaran kehidupan
manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati
(samsara).
 Kala dan Makara
Kalamakara itu awalnya berupa dewa yang tampan. Karena suatu kesalahan, ia
mendapat hukuman dan kutukan dari Sang Hyang Widi, kemudian ia berubah menjadi
raksasa yang buas dan setiap binatang yang dijumpainya dimakan dan diterkamnya. Dan
terakhir memakan tubuhnya sendiri dan tinggal kepalanya.
Kala merupakan hiasan candi yang
melambangkan waktu, maut dan hitam.
Terletak di atas pintu masuk tangga candi.
Kala berbentuk mulut raksasa terbuka tanpa
rahang bawah, berada di bagian atas,
sedang makara menyerupai kepala naga,
Makara terletak di kanan dan kiri tangga
pada pintu masuk candi. Makara ini melambangkan sebuah keselamatan.
Kalamakara merupakan dua kekuatan yang ada di alam. Kala sebagai kekuatan di atas
(kekuatan matahari) dan Makara sebagai kekuatan di bawah (kekuatan bumi). Kala bisa juga
berarti waktu: setiap bentuk kehidupan manusia akan “dimakan” waktu. Hanya waktu yang
“abadi”, sedangkan yang lain akan musnah.

 Jaladwara
Gargoyle / jaladwara adalah saluran air yang mengalirkan air
dari tingkat atas menjauh dari bangunan, dengan tujuan
mencegah air mengalir dan kemudian mengikis di dinding
bangunan. Gargoyle dihias dengan bentuk yang menyeramkan,
umumnya hewan mitologi atau hewan buas dengan mulut
terbuka sebagai jalan keluarnya air.

 Dwarapala
Adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran
Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya
dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain
untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di
dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk
yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil,
jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau
berkelompok.
 Relung
Adalah ceruk atau rongga pada tubuh candi yang menjorok ke
dalam. Di Candi Borobudur relung terdapat pada bagian pagar
langkan tampak luar sebagai tempat untuk meletakkan arca. Di
Candi Borobudur relung berisi arca – arca Buddha dengan
penggambaran yang berbeda – beda. Jumlah arca pada relung – relung tingkat Rupadhatu
berjumlah 276 buah.
 Stupa
Stupa adalah lambang dari agama Buddha yang
berbentuk mangkuk terbalik, dengan bentuk persegi
empat dan atau segi delapan (harmika), serta bentuk
tongkat di atasnya. Stupa pada Candi Borobudur juga
sering disebut berbentuk genta atau lonceng.
Pada puncak stupa, biasanya terdapat chattra yang merupakan payung
bersusun tiga. Di bawah bentuk chattra terdapat susunan batu berbentuk
tongkat yang dinamakan yasti. Di bawah yasti terdapat harmika. Harmika
adalah bagian antara badan dan puncak stupa. Harmika pada Candi induk
mempunyai dua bentuk, yaitu persegi empat dan persegi delapan. Pada
stupa-stupa teras melingkar, bagian harmika pada teras I dan II (bawah)
berbentuk kotak, sedangkan pada stupa teras III (atas) berbentuk persegi
delapan.

 Pagar Langkan
Pagar langkan pada Candi Borobudur
berfungsi sebagai pembatas ruang antara
lantai atas dan lantai di bawahnya. Hal ini
karena pada saat orang berjalan pada
lorong Candi Borobudur maka tidak
memungkinkan untuk melihat bagian
kemuncak stupa maupun kaki candi.
Pagar langkan Candi Borobudur terdiri dari struktur batu yang didirikan pada lantai
lorong dan dinding candi yang berada pada lantai di bawahnya. Bagian dinding pagar
langkan pada kedua sisinya terdapat pahatan relief simbolis maupun relief cerita. Dinding
pagar langkan bagian luar (pagar langkan I) berisi relief simbolis dengan motif pahatan
dewa-dewa Buddha, sedangkan pada bagian dalam setiap pagar langkan berisi relief cerita.
Pada bagian atas pagar langkan berisi relung arca yang berisi arca Dhyani Buddha sesuai
dengan arah mata angin. Pada kemuncak pagar langkan I Candi Borobudur dijumpai hiasan
kemuncak berbentuk keben. Sedangkan pada pagar langkan II hingga V dijumpai ornamen
berbentuk stupa dengan ukuran kecil.
G. PERBEDAAN ARSITEKTUR HINDU DAN BUDHA
Candi Hindu dan Budha memiliki perbedaan dalam hal fungsi, bentuk, dan strukturnya.
Perbedaan candi Hindu dan Budha secara spesifik seperti disajikan pada tabel berikut.

1) Perbedaan Fungsi
Berdasarkan fungsinya di masa silam, candi Hindu dan Budha ternyata memiliki
perbedaan kegunaan. Candi Hindu umumnya digunakan sebagai makam dari raja-raja
kerajaan Hindu yang berkuasa, sementara candi Budha umumnya digunakan sebagai tempat
ibadah. Identifikasi fungsi ini diketahui dari adanya fakta bahwa sering ditemukannya abu
hasil sisa pembakaran jenazah yang diperkirakan abu jenazah para raja dalam candi Hindu.
2) Perbedaan Struktur
Perbedaan candi Hindu dan Budha juga akan terlihat dari struktur bangunannya.
Bangunan candi Hindu biasanya terdiri dari 3 bagian, yaitu bhurloka, bhurvaloka, dan
svarloka. Sementara bangunan candi Budha terdiri dari 3 bagian yang disebut kamadhatu,
rupadhatu, dan arupadhatu.
Masing-masing bagian candi Hindu dan Budha ini memiliki filosofi yang juga berbeda-
beda. Pada candi Hindu, bhurloka (bagian dasar) melambangkan dunia fana, bhurvaloka
(tubuh candi) melambangkan dunia pemurnian, dan svarloka (atap candi) melambangkan
dunianya para dewa. Sementara pada candi Budha, kamadhatu (bagian dasar)
melambangkan manusia yang penuh dosa, rupadhatu (bagian tengah) melambangkan
kehidupan manusia di dunia yang penuh nafsu, dan arupadhatu (bagian atas candi)
melambangkan manusia sudah mencapai nirwana.
3) Perbedaan Bentuk
Puncak Bentuk puncak antara candi
Hindu dan Budha secara fisik juga terlihat
berbeda. Bentuk puncak candi hindu
umumnya meruncing dan disebut Ratna,
sementara bentuk puncak pada candi Budha
lebih tambun dan disebut stupa
4) Perbedaan Arca

Karena merupakan bukti fisik dari 2 agama yang berbeda, maka keberadaan arca-arca yang
menjadi hiasan dalam candi Hindu dan candi Budha juga berbeda. Candi hindu umumnya dihiasi oleh
arca-arca trimurti atau 3 dewa utama dalam ajaran Hindu yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa, sementara
candi Budha umumnya dihiasi oleh arca-arca Budha.

5) Perbedaan Bentuk

Dari bentuknya, perbedaan candi Hindu dan Budha juga dapat dilihat. Candi Hindu umumnya
mempunyai bentuk yang lebih ramping, sementara candi Budha memiliki bentuk yang lebih tambun.
Anda bisa membandingkan bentuk candi Prambanan yang merupakan candi Hindu dan bentuk candi
Borobudur yang merupakan candi Budha.

6) Perbedaan Arah Pintu Utama

Letak pintu utama antara candi Hindu dan Budha juga berbeda. Pada candi Hindu, pintu utama
umumnya terletak di arah barat candi, sementara pada candi Budha, pintu utama biasanya terletak
di arah timur candi.

7) Perbedaan Bahan Pembuatan

Perbedaan candi Hindu dan Budha juga bisa dilihat dari bahan bangunan yang digunakan
keduanya. Candi hindu umumnya menggunakan bahan berupa batu merah yang tidak dibakar,
beberapa di antaranya bahkan ada yang berupa batu bata biasa. Sementara bangunan candi Budha
biasanya menggunakan bahan batu andesit yang dipotong sedemikian rupa.

Anda mungkin juga menyukai