DISUSUN OLEH :
NAMA : RAHMADANTI ADMAJA
NRP : 142018009
DOSEN : RENY KARTIKA SARI, ST.MT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah Sejarah Arsitektur Timur dengan judul PENGARUH
HINDU DAN BUDHA TERHADAP BENTUK ARSITEKTUR
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Agama Hindu di sebarkan oleh Bangsa Arya (Bangsa Pendatang) setelah masuk
melalui celah Carber yang memisahkan daratan Eropa dan Asia. Bangsa Arya merasa
nyaman tinggal karena India adalah daerah yang subur. Bangsa Arya mengalahkan Bangsa
asli India (Dravida). Cara Bangsa Arya mengeksistensikan bangsanya di India dengan cara
membuat Kasta, yaitu pelapisan masyarakat. Perbedaan Bangsa Arya dengan Bangsa
Dravida itu sendiri terdapat pada bagian fisiknya, yaitu Bangsa Arya berkulit putih
sedangkan Bangsa Dravida berkulit hitam.
Pusat kebudayaan Hindu adalah di Mohenjo Daro (Lakarna) dan Harapa (Punjat)
yang tumbuh sekitar 1.500 SM. Agama Hindu dalam pelaksanaan ritual ibadah
(penyampaian doa kepada dewa) harus di lakukan oleh Kaum Brahmana saja. Sehingga
kaum-kaum di bawahnya merasa kesulitan ketika kaum Brahmana meminta qurban
(pembayaran yang berlebih) kepada kaum-kaum di bawahnya yang meminta tolong untuk
disampaikan doanya kepada dewa-dewa mereka.
CANDI IJO
Candi Ijo mempunyai latar belakang Agama Hindu. Hal ini dilihat dari temuan-
temuan arca yang ada. Agama Hindu berkembang di Indonesia pada abad IX M. Berdasarkan
data epigrafi, Candi Ijo dibangun antara tahun 850-900 M. Candi ini diperkirakan memiliki
hubungan dengan raja-raja yang berkuasa pada tahun tersebut. Berdasarkan perkiraan,
Raja yang berkuasa pada masa tersebut adalah Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi (prasasti
dan Raja Balitung).
Candi Ijo terdiri atas 17 struktur bangunan pada 11 teras dengan teras teratas
merupakan kedudukan tertinggi, yaitu candi induk. Candi induk menghadap ke Barat. Candi
induk memiliki ukuran 1.843 x 1.845 cm dan tinggi 1.600 cm. Di dalam candi induk, terdapat
lingga dan yoni yang melambangkan Dewa Siwa menyatu dengan Dewi Parwati. Pada
dinding candi induk terdapat relung-relung untuk menempatkan arca Agastya, Ganesa, dan
Durga.
Di depan candi induk, terdapat 3 buah
candi yang disebut dengan candi perwara.
Ketiga candi ini menghadap ke Timur atau
menghadap ke arah candi induk. Candi ini
memiliki ukuran yang bervariasi dari candi
sisi selatan, candi sisi tengah dan candi sisi
utara.
Ketiga candi perwara diduga dibangun untuk memuja Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu
dan Syiwa. Ketiga candi ini memiliki ruangan di dalamnya dan terdapat jendela kerawangan
berbentuk belah ketupat. Atap candi perwara terdiri atas tiga tingkatan yang dimahkotai
barisan ratna. Candi perwara berada di tengah melindungi arca lembu andini, kendaraan
Dewa Syiwa.
B. STRUKTUR CANDI
Secara vertikal, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian yang melambangkan
kosmologi atau kepercayaan terhadap pembagian dunia sebagai satu kesatuan alamsemesta
yang sering disebut dengan ‘Triloka’ terdiri dari dunia manusia (bhurloka), duniatengah
untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa(svarloka).
Ketiga tingkatan ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagiankaki, badan
dan kepala. Arsitektur candi sering juga diidentikan dengan makna perlambangan Gunung
Meru. Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat jagat
yang berfungsi sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga.
.
2. Masjid Kudus
Masjid yang didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq yang
lebih dikenal sebagai Sunan Kudus tahun tahun 1549
M atau 956 H ini awalnya bernama Masjid Al Aqsha.
Nama ini sendiri terdapat pada sebuah prasasti yang
terpasang di bagian atas mihrab dan menyatakan
bahwa masjid itu bernama Masjid Al Aqsha di negeri
Al Quds. Nama masjid Kudus sendiri kemudian baru
populer dan dikenal setelah proses pengislaman berlangsung.
Nama daerah tempat pendirian masjid dan didiami oleh Sunsn Kudus sendiri dulunya
bernama Tajug yang berarti rumah dengan atap berbentuk runcing. Namun setelah Ja’far
Shadiq (Sunan Kudus) datang kemudian mengganti nama Tajug menjadi Al Quds yang
kemudian menjadi nama Kudus dalam lidah orang Jawa.
Menara masjid Kudus merupakan perwujudan bangunan hasil
akulturasi antara dua kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam. Budaya
Hindu-Jawa sendiri tercermindari bangunan yang mirip candi.
Sedangkan budaya Islam tercermin dari penggunaannya untuk adzan.
Cerminan akulturasi dari masjid ini juga tercermin dari corak bagian
gapura dan juga pada bagian dalam masjid yang memiliki sepasang
gapura kuno yang disebut dengan “Lawang Kembar”. Akulturasi sendiri
merupakan percampuran dua budaya atau lebih yang tidak menghapus
budaya aslinya.
Pada saat Islam masuk ke Nusantara pada sektar abad ke-7,
masyarakat Nusatara memang masih sangat terpengaruh dengan kebudayaan Hindu dan Buddha.
Nah kemudian para penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo), termasuk Sunan Kudus sendiri
dalam memperkenalkannya menggunakan strategi percampuran budaya Hindu dan Islam agar
masyarakat bisa tertarik dan mudah menerima ajaran agama Islam
yang baru saat itu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada
gerbang masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak
ketinggalan lokasi wudhu, yang pancurannya dihiasi ornament khas
Hindu.
PENGARUH BUDHA TERHADAP BENTUK ARSITEKTUR
A. STRUKTUR CANDI
Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran
berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa
utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa. Candi
Borobudur didirikan di atas sebuah bukit atau deretan bukit-bukit kecil yang memanjang.
Candi Borobudur merupakan tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah
sebagai intinya, sehingga bukan merupakan tumpukan batuan yang masif. Inti tanah juga
sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk meletakkan batuan
candi (Sampurno, 1966). Apabila dilihat dari bagian-bagian yang dibangun, maka Candi
Borobudur terlihat cukup kompleks. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk
persegi dan sisanya bundar. Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel.
Terdapat 504 arca yang melengkapi candi.
Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu ciri ciri candi Budha ialah struktur candinya
yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu arupadhatu, kamadhatu, dan rupadhatu. Berikut
penjelasan masing masing bagiannya:
Arupadhatu
Ciri ciri candi Budha memiliki struktur paling atas
candi yang dinamakan Arupadhatu. Bagian teratas
candi tersebut artinya tidak berwujud atau tidak
berupa. Tingkatan paling atas candi ini digunakan
sebagai lambang manusia yang tidak mempunyai ikatan
dan nafsu, tetapi tidak sampai tingkat nirwana. Arupadhatu berbentuk stupa yang
didalamnya terdapat rongga untuk patung Budha. Seperti halnya Candi Borobudur yang
tingkatan tertingginya terdapat satu stupa besar di bagian paling atas dan ditambahkan
dengan 10 stupa kecil lainnya. Stupa besar Candi Borobudur memiliki patung Budha yang
kurang sempurna, tetapi patung tersebut telah dipindahkan ke museum Karmawibhangga.
Rupadhatu
Ciri ciri candi Budha juga memiliki struktur tengah candi yang dinamakan Rupadhatu.
Tingkatan ini digunakan sebagai lambang dunia yang bebas nafsu tetapi mempunyai bentuk
dan rupa. Rupadhatu juga digunakan sebagai lambang jembatan alam atas (Arupadhatu)
dengan alam bawah (Kamadhatu). Struktur tengah ini memiliki relief yang memaparkan
kegiatan Budha mengajar di Taman Lumbiri sehari hari.
Kamadhatu
Ciri ciri candi Budha juga memiliki struktur terbawah yang
dinamakan Kamadhatu. Tingkatan paling bawah candi
tersebut digunakan untuk lambang dunia manusia yang
dipenuhi oleh nafsu. Dunia tersebut bertentangan dengan
ideologi dan ajaran Budha karena timbul berbagai bentuk
nafsu. Kamadhatu juga diartikan sebagai kehidupan anak
manusia dalam memanjakan dirinya dengan berbagai bentuk
kehidupan duniawi, nafsu, sikap egois dan hedonis.
B. CIRI CANDI BERCORAK BUDHA
Di bawah ini terdapat ciri ciri candi Budha yang meliputi:
Tata letak candi borobudur konsentris, berpusat meningkat ke atas. Bentuk denah dari
persegi empat, lingkaran dan tangga berkombinasi
membentuk suatu struktur monumental yang berundak
undak membentuk piramid (semakin keatas semakin kecil)
bertingkat 10. Hal tersebut berkaitan dengan ajaran
dasabhumi dalam Budhisme Mahayana, yaitu sepuluh
tingkat perkembangan Boddhisattwa, berupa sepuluh
tingkatan penyempurnaan yang harus dilakukan
Boddhisattwa untuk mencapai kebudhaan.
Menurut Daigoro Chihara, Soekmono dan Bernert, candi borobudur melambangkan
sebuah Madala. Mandala dapat diartikan sebagai suatu objek yang luas yang berfungsi
sebagai alat meditasi yang diwujudkan dalam sebuah konfigurasi kosmis, dimana pusat nya
terdapat tokoh dewa atau simbol dewa tertinggi yang dikelilingi oleh sejumlah dewa yang
secara hierarki kedudukannya lebih rendah.
D. MATERIAL PENYUSUN CANDI
Inti tanah yang berfungsi sebagai tanah dasar atau tanah pondasi Candi Borobudur
dibagi menjadi 2, yaitu tanah urug dan tanah asli pembentuk bukit.
Tanah urug adalah tanah yang
sengaja dibuat untuk tujuan
pembangunan Candi Borobudur,
disesuaikan dengan bentuk bangunan
candi. Menurut Sampurno Tanah ini
ditambahkan di atas tanah asli sebagai
pengisi dan pembentuk morfologi
bangunan candi. Tanah urug ini sudah dibuat oleh pendiri Candi Borobudur, bukan
merupakan hasil pekerjaan restorasi. Ketebalan tanah urug ini tidak seragam walaupun
terletak pada lantai yang sama, yaitu antara 0,5 sampai 8,5 meter.
Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi, kadar
porinya sekitar 32 sampai 46 persen, dan antara lubang pori satu dengan yang lain tidak
berhubungan. Kuat tekannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan kuat tekan batuan
sejenis. Dari hasil penelitian Sampurno (1969), diperoleh kuat tekan minimum sebesar 111
kg/cm2 dan kuat tekan maksimum sebesar 281 kg/cm2. Berat volume batuan antara 1,6
sampai 2 t/m3.
E. TAHAP PEMBANGUNAN CANDI
Tahap Pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850
M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat.
Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi
kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang
dibongkar.
Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua
undak persegi dan satu undak lingkaran yang langsung
diberikan stupa induk besar.
Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar
dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak lingkaran.
Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan
satu stupa besar di tengahnya.
Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief
perubahan tangga dan lengkung atas pintu.
Pada kira – kira abad ke – 10 Candi Borobudur terbengkalai dan terlupakan. Di sana –
sini tumbuh macam – macam tumbuhan liar yang lama kelamaan menjadi rimbun dan
menutupi bangunannya.
Baru pada tahun 1814 M berkat usaha Sir
Thomas Stamford Rafles Candi Borobudur
muncul dari kegelapan masa silam.
Rafles adalah Letnan Gubernur Jendral Inggris,
ketika Indonesia di kuasai / di jajah Inggris pada
tahun 1811 M –1816 M.
Pada tahun 1835 M seluruh candi di bebaskan
dari apa yang menjadi penghalang pemandangan
oleh Presiden kedua yang bernama Hartman,
karena begitu tertariknya terhadap Candi Borobudur sehingga ia mengusahakan
pembersihan lebih lanjut, puing –puing yang masih menutupi candi di singkirkan dan tanah
yang menutupi lorong – lorong dari bangunan candi di singkirkan semua sehingga candi
lebih baik di bandingkan sebelumnya.
Karmawibhangga
Yang merupakan kumpulan cerita tentang
sebab akibat perbuatan baik dan perbuatan jahat
manusia. Terdapat juga gambaran kehidupan
manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati
(samsara).
Kala dan Makara
Kalamakara itu awalnya berupa dewa yang tampan. Karena suatu kesalahan, ia
mendapat hukuman dan kutukan dari Sang Hyang Widi, kemudian ia berubah menjadi
raksasa yang buas dan setiap binatang yang dijumpainya dimakan dan diterkamnya. Dan
terakhir memakan tubuhnya sendiri dan tinggal kepalanya.
Kala merupakan hiasan candi yang
melambangkan waktu, maut dan hitam.
Terletak di atas pintu masuk tangga candi.
Kala berbentuk mulut raksasa terbuka tanpa
rahang bawah, berada di bagian atas,
sedang makara menyerupai kepala naga,
Makara terletak di kanan dan kiri tangga
pada pintu masuk candi. Makara ini melambangkan sebuah keselamatan.
Kalamakara merupakan dua kekuatan yang ada di alam. Kala sebagai kekuatan di atas
(kekuatan matahari) dan Makara sebagai kekuatan di bawah (kekuatan bumi). Kala bisa juga
berarti waktu: setiap bentuk kehidupan manusia akan “dimakan” waktu. Hanya waktu yang
“abadi”, sedangkan yang lain akan musnah.
Jaladwara
Gargoyle / jaladwara adalah saluran air yang mengalirkan air
dari tingkat atas menjauh dari bangunan, dengan tujuan
mencegah air mengalir dan kemudian mengikis di dinding
bangunan. Gargoyle dihias dengan bentuk yang menyeramkan,
umumnya hewan mitologi atau hewan buas dengan mulut
terbuka sebagai jalan keluarnya air.
Dwarapala
Adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran
Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya
dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain
untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di
dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk
yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil,
jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau
berkelompok.
Relung
Adalah ceruk atau rongga pada tubuh candi yang menjorok ke
dalam. Di Candi Borobudur relung terdapat pada bagian pagar
langkan tampak luar sebagai tempat untuk meletakkan arca. Di
Candi Borobudur relung berisi arca – arca Buddha dengan
penggambaran yang berbeda – beda. Jumlah arca pada relung – relung tingkat Rupadhatu
berjumlah 276 buah.
Stupa
Stupa adalah lambang dari agama Buddha yang
berbentuk mangkuk terbalik, dengan bentuk persegi
empat dan atau segi delapan (harmika), serta bentuk
tongkat di atasnya. Stupa pada Candi Borobudur juga
sering disebut berbentuk genta atau lonceng.
Pada puncak stupa, biasanya terdapat chattra yang merupakan payung
bersusun tiga. Di bawah bentuk chattra terdapat susunan batu berbentuk
tongkat yang dinamakan yasti. Di bawah yasti terdapat harmika. Harmika
adalah bagian antara badan dan puncak stupa. Harmika pada Candi induk
mempunyai dua bentuk, yaitu persegi empat dan persegi delapan. Pada
stupa-stupa teras melingkar, bagian harmika pada teras I dan II (bawah)
berbentuk kotak, sedangkan pada stupa teras III (atas) berbentuk persegi
delapan.
Pagar Langkan
Pagar langkan pada Candi Borobudur
berfungsi sebagai pembatas ruang antara
lantai atas dan lantai di bawahnya. Hal ini
karena pada saat orang berjalan pada
lorong Candi Borobudur maka tidak
memungkinkan untuk melihat bagian
kemuncak stupa maupun kaki candi.
Pagar langkan Candi Borobudur terdiri dari struktur batu yang didirikan pada lantai
lorong dan dinding candi yang berada pada lantai di bawahnya. Bagian dinding pagar
langkan pada kedua sisinya terdapat pahatan relief simbolis maupun relief cerita. Dinding
pagar langkan bagian luar (pagar langkan I) berisi relief simbolis dengan motif pahatan
dewa-dewa Buddha, sedangkan pada bagian dalam setiap pagar langkan berisi relief cerita.
Pada bagian atas pagar langkan berisi relung arca yang berisi arca Dhyani Buddha sesuai
dengan arah mata angin. Pada kemuncak pagar langkan I Candi Borobudur dijumpai hiasan
kemuncak berbentuk keben. Sedangkan pada pagar langkan II hingga V dijumpai ornamen
berbentuk stupa dengan ukuran kecil.
G. PERBEDAAN ARSITEKTUR HINDU DAN BUDHA
Candi Hindu dan Budha memiliki perbedaan dalam hal fungsi, bentuk, dan strukturnya.
Perbedaan candi Hindu dan Budha secara spesifik seperti disajikan pada tabel berikut.
1) Perbedaan Fungsi
Berdasarkan fungsinya di masa silam, candi Hindu dan Budha ternyata memiliki
perbedaan kegunaan. Candi Hindu umumnya digunakan sebagai makam dari raja-raja
kerajaan Hindu yang berkuasa, sementara candi Budha umumnya digunakan sebagai tempat
ibadah. Identifikasi fungsi ini diketahui dari adanya fakta bahwa sering ditemukannya abu
hasil sisa pembakaran jenazah yang diperkirakan abu jenazah para raja dalam candi Hindu.
2) Perbedaan Struktur
Perbedaan candi Hindu dan Budha juga akan terlihat dari struktur bangunannya.
Bangunan candi Hindu biasanya terdiri dari 3 bagian, yaitu bhurloka, bhurvaloka, dan
svarloka. Sementara bangunan candi Budha terdiri dari 3 bagian yang disebut kamadhatu,
rupadhatu, dan arupadhatu.
Masing-masing bagian candi Hindu dan Budha ini memiliki filosofi yang juga berbeda-
beda. Pada candi Hindu, bhurloka (bagian dasar) melambangkan dunia fana, bhurvaloka
(tubuh candi) melambangkan dunia pemurnian, dan svarloka (atap candi) melambangkan
dunianya para dewa. Sementara pada candi Budha, kamadhatu (bagian dasar)
melambangkan manusia yang penuh dosa, rupadhatu (bagian tengah) melambangkan
kehidupan manusia di dunia yang penuh nafsu, dan arupadhatu (bagian atas candi)
melambangkan manusia sudah mencapai nirwana.
3) Perbedaan Bentuk
Puncak Bentuk puncak antara candi
Hindu dan Budha secara fisik juga terlihat
berbeda. Bentuk puncak candi hindu
umumnya meruncing dan disebut Ratna,
sementara bentuk puncak pada candi Budha
lebih tambun dan disebut stupa
4) Perbedaan Arca
Karena merupakan bukti fisik dari 2 agama yang berbeda, maka keberadaan arca-arca yang
menjadi hiasan dalam candi Hindu dan candi Budha juga berbeda. Candi hindu umumnya dihiasi oleh
arca-arca trimurti atau 3 dewa utama dalam ajaran Hindu yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa, sementara
candi Budha umumnya dihiasi oleh arca-arca Budha.
5) Perbedaan Bentuk
Dari bentuknya, perbedaan candi Hindu dan Budha juga dapat dilihat. Candi Hindu umumnya
mempunyai bentuk yang lebih ramping, sementara candi Budha memiliki bentuk yang lebih tambun.
Anda bisa membandingkan bentuk candi Prambanan yang merupakan candi Hindu dan bentuk candi
Borobudur yang merupakan candi Budha.
Letak pintu utama antara candi Hindu dan Budha juga berbeda. Pada candi Hindu, pintu utama
umumnya terletak di arah barat candi, sementara pada candi Budha, pintu utama biasanya terletak
di arah timur candi.
Perbedaan candi Hindu dan Budha juga bisa dilihat dari bahan bangunan yang digunakan
keduanya. Candi hindu umumnya menggunakan bahan berupa batu merah yang tidak dibakar,
beberapa di antaranya bahkan ada yang berupa batu bata biasa. Sementara bangunan candi Budha
biasanya menggunakan bahan batu andesit yang dipotong sedemikian rupa.