ASTROCYTOMA CEREBRI
Penyaji :
Yohannes Christian Silalahi
150100052
Supervisor
dr. Alfansuri Kadri, Sp.S
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
,
1.1. LATAR BELAKANG
Setiap tumor yang berasal dari sel glial atau jaringan pendukung otak disebut
"glioma." Salah satu jenis glioma adalah astrositoma. Astrositoma berasal dari sel
astrosit, sel glial yang berbentuk bintang..1 Menurut Badan Kesehatan Dunia (The
World Health Organization /WHO) terdapat empat jenis astrositoma yang dapat
dibedakan berdasarkan kecepatan mereka tumbuh dan kemungkinan mereka
menyebar ke jaringan otak yang terdekat. Astrositoma tipe non-infiltrasi biasanya
tumbuh lebih lambat daripada astrositoma tipe infiltrasi2. Astrositoma dapat
muncul pada berbagai bagian otak dan sistem syaraf pusat, termasuk cerebelum,
cerebrum,batang otak, dan medula spinalis1. Istilah astrositoma pertama kali
diperkenalkan pada abad ke 19 oleh Virchow,4 dan gambaran histopatologi tumor
ini diperkenalkan oleh Bailey dan Cushing pada tahun 1926.5 Tidak ada standard
untuk tatalaksana dari low-grade astrositoma atau astrositoma anaplastik.
Keputusan pengobatan secara umum dibuat melalui pendekatan spesialisasi yang
terkait yaitu spesialis bedah syaraf, spesialis onkologi radiasi, spesialis onkologi
atau spesialis syaraf3. Tumor ini memiliki beberapa karakteristik antara lain : i)
dapat timbul pada berbagai lokasi di susunan saraf pusat (SSP), tetapi lebih sering
ditemukan pada hemisfer serebral, ii) biasanya menimbulkan manifestasi pada
usia dewasa, iii) memberikan gambaran histopatologi dan perilaku biologi yang
berbeda-beda, iv) dapat mengadakan infiltrasi ke sekitarnya maupun ke tempat-
tempat yang jauh tanpa dipengaruhi oleh gambaran histopatologi, v) memiliki
kecenderungan untuk progresif menjadi fenotip yang lebih ganas seperti
anaplastic astrocytoma dan glioblastoma. Astrositoma mencakup tumor yang
sangat bervariasi tergantung lokasinya di SSP, berpotensi untuk tumbuh menjadi
invasif, progresif dan menyebabkan timbulnya berbagai gejala klinik.
1
Untuk itu perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut agar dapat dilakukan
deteksi secara dini dan memberikan pengobatan yang tepat.
1.3. TUJUAN
1.4. MANFAAT
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Astrositoma adalah tumor yang tumbuh dari jenis sel di dalam otak
yang disebut astrosit. Di seluruh otak dan sumsum tulang belakang kita semua
memiliki sel-sel saraf disebut 'neuron', yang mengirimkan pesan (listrik dan sinyal
kimia) ke, dari dan di dalam otak. Sekitarnya neuron adalah sel yang disebut 'sel
glial', yang mendukung dan melindungi neuron dengan memberi mereka oksigen
dan nutrisi dan menghilangkan sel-sel mati. Astrosit adalah sejenis sel glial (ada
tiga jenis utama sel glial - astrosit, oligodendrosit, dan sel
ependymal).
3
International WHO Working Group of experts di Lyon.7 Grade I merupakan
tumor yang memberikan gambaran histologis yang stabil, yang dikenal sebagai
tumor jinak. Tanda-tanda bahwa tumor tersebut jinak adalah gambaran inti sel
yang atipik seperti kromatin inti yang kasar, bentuk inti yang bermacam-macam,
jumlah inti lebih dari satu pada satu sel, dan terdapat pseudoinklusi. Selain itu
aktivitas mitosis, bentuk sel, proliferasi vaskuler dan nekrosis juga memberikan
informasi mengenai perilaku biologi tumor.4 Kriteria disebut glioblastoma
multiforme antara lain, hiperselluler, bentuk sel dan inti sel bermacam-macam,
proliferasi endotel, gambaran mitosis dan sering disertai dengan nekrosis. Kriteria
astrocytoma anaplastic antara lain, jumlah sel lebih sedikit dibandingkan dengan
glioblastoma multiforme, demikian juga dengan gambaran sel dan inti sel serta
mitosis yang lebih sedikit, umumnya tidak disertai dengan nekrosis.
Kriteria disebut glioblastoma multiforme antara lain, hiperselluler,
bentuk sel dan inti sel bermacam-macam, proliferasi endotel, gambaran mitosis
dan sering disertai dengan nekrosis. Kriteria astrocytoma anaplastic antara lain,
jumlah sel lebih sedikit dibandingkan dengan glioblastoma multiforme, demikian
juga dengan gambaran sel dan inti sel serta mitosis yang lebih sedikit, umumnya
tidak disertai dengan nekrosis.
2.3 ETIOLOGI
Sejumlah penelitian epidemiologi belum berhasil menentukan faktor
penyebab terjadinya tumor otak, terkecuali pemaparan terhadap sinar-X9. Anak-
anak dengan leukemia limfositik akut yang menerima radioterapi profilaksis pada
susunan saraf pusat akan meningkatkan risiko untuk menderita astrositoma,
10
bahkan glioblastoma . Tumor ini juga dihubungkan dengan makanan yang
banyak mengandung senyawa nitroso (seperti nitosurea, nitrosamine, dan lain-
lain). Saat ini penelitian yang menghubungkan tumor jenis ini dengan kerentanan
genetik tertentu terus dikembangkan. Tumor ini sering dihubungkan dengan
berbagai sindroma seperti Li-Fraumeni Syndrome, mutasi Germline p53, Turcot
Syndrome, dan neurofibromatosis tipe 1 (NF-1)4.
4
2.4 GEJALA KLINIS
2.5 PATOFISIOLOGI
Tumor ini akan menyebabkan penekanan ke jaringan otak sekitarnya,
invasi dan destruksi terhadap parenkim otak. Fungsi parenkim akan terganggu
karena hipoksia arterial maupun vena, terjadi kompetisi pengambilan nutrisi,
pelepasan produk metabolisme, serta adanya pengaruh pelepasan mediator radang
sebagai akibat lanjut dari hal tersebut diatas. Efek massa yang ditimbulkan dapat
menyebabkan gejala defisit neurologis fokal berupa kelemahan suatu sisi tubuh,
gangguan sensorik, parese nervus kranialis atau bahkan kejang. Astrocytoma low
grade yang merupakan grade II klasifikasi WHO akan tumbuh lebih lambat
dibandingkan dengan bentuk yang maligna. Tumor doubling time untuk
astrocytoma low grade kira-kira 4 kali lebih lambat dibandingkan dengan
astrocytoma anaplastic (grade III astrocytoma).
5
Sering diperlukan waktu beberapa tahun antara gejala awal hingga
diagnosa low grade astrocytoma ditegakkan, interval ini kira-kira 3,5 tahun.
Astrocytoma low grade ini seringkali disebut diffuse astrocytoma WHO grade II.
Astrositoma tumbuh dari sel-sel stem neuroepitelial di daerah germinal
seperti subventricular zone pada saat embrional atau setelah dewasa.
Perkembangan sel-sel tumor ini dipengaruhi oleh aktivasi beberapa onkogen dan
inaktivasi gen supresi tumor. Aktivasi onkogen dapat berupa amplifikasi dan
ekspresi berlebih, sedangkan inaktivasi Astrositoma anaplastik dapat tumbuh dari
astrositoma difus (grade II) atau de novo, serta mempunyai kecenderungan untuk
berkembang menjadi glioblastoma.16 Astrositoma anaplastik dapat berlanjut
menjadi glioblastoma. Umumnya, perkembangan dari low grade menjadi high
grade berhubungan dengan inaktivasi tumor suppressor genes dan losses of
heterozigosity (LOH) tertentu.17 Mutasi TP53 yang mengkode p53, ekspresi
berlebih Platelet-derived growth factor/receptor (PDGF/R), hilangnya gen supresi
tumor astrositoma anaplastik di kromosom 19 dan 11, amplifikasi gen EGFR
(epidermal growth factor receptor), dan ekspresi gen VEGF (vascular endothelial
growth factor) berakibat perkembangan menjadi glioblastoma.
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa
astrositoma. Pemeriksaan laboratorium dasar yang dapat dilakukan untuk
melakukan pengawasan metabolik umum dan penilaian pra operasi meliputi:
profil metabolisme dasar, jumlah sel darah lengkap (CBC), Prothrombin Time
(PT), activated Partial Thrombin Time (aPTT).3
2.6.2 Pemeriksaan Radiologi
Computed tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan
evaluasi patofisiologi dari astrositoma sangat membantu dalam penegakan
diagnosis
6
2.6.3 Biopsi
Biopsi akan membantu membedakan tumor dari jenis massa lain, seperti
infeksi. Struktur mikroskopis tumor akan menjadi penting dalam menilai tumor.18
2.6.4 Test Lainnya
Electroencephalography (EEG) dapat digunakan untuk mengevaluasi dan
memantau aktivitas kejang pada pasien dengan kejang yang terkait dengan
astrositoma. Pemindaian radionuklida, seperti positron emission tomography
(PET), single-photon emission tomography (SPECT), dan pencitraan berbasis
teknesium, dapat memungkinkan studi metabolisme tumor dan fungsi otak; PET
dan SPECT dapat digunakan untuk membedakan tumor padat dari edema, untuk
membedakan kekambuhan tumor dari nekrosis radiasi, dan struktur yang
berdekatan. Aktivitas metabolisme yang ditentukan oleh pemindaian radionuklida
dapat digunakan untuk menentukan tingkat lesi; lesi hipermetabolik sering
berhubungan dengan tumor tingkat tinggi. Elektrokardiogram (EKG) dan rontgen
dada diindikasikan untuk mengevaluasi risiko operasi
.
2.7 TATALAKSANA
Pada saat menentukan jenis pengobatan bagi penderita astrositoma, perlu
dinilai manfaat yang akan diperolehnya. Manfaat tersebut diukur berdasarkan
lamanya kelangsungan hidup penderita dibandingkan lamanya pemberian
pengobatan. Dan yang paling penting adalah kualitas hidup penderita setelah
pengobatan. Pengobatan utama yang dilakukan saat in mencakup : a)
pembedahan, b) radioterapi, dan c) kemoterapi. Pembedahan dilakukan
berdasarkan besarnya tumor di dalam otak dan status fungsional penderita.
Penderita yang mengalami tumor yang berlokasi di pusat vital dengan
hemiparesis, disfasia/afasia, penderita usia lanjut bukan merupakan indikasi
untuk operasi.
Diagnostik dikonfirmasi melalui biopsi dan dilanjutkan dengan pemberian
radioterapi. Penderita lainnya dapat dilakukan pembedahan, seperti open
craniotomy dan stereotactic biopsy. Biopsi secara stereotaktik merupakan
tindakan minimal invasive terutama terhadap tumor yang letaknya dalam dan di
7
tempat yang sulit dicapai. Jika disertai dengan hidrosefalus, dapat dilakukan VP
Shunt atau External Ventricular Drainage (EVD). Peranan pembedahan bagi
penderita antara lain untuk: (i) melakukan dekompresi terhadap massa tumor, (ii)
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, sehingga dapat
direncanakan pengobatan adjuvans dan memperkirakan prognosis.
Radioterapi sudah berhasil memperpanjang kelangsungan hidup penderita
terutama dengan grade tumor yang tinggi. Pemberian radioterapi pada penderita
astrositoma mampu memperkecil massa tumor dan memperbaiki gejala-gejala
neurologis sebesar 50 - 75% kasus14. Pada saat ini, kemoterapi bukanlah pilihan
utama untuk pengobatan astrositoma. Bila tumor menjadi ganas, pembedahan,
radioterapi dan pemberian kemoterapi dapat dilakukan. Astrositoma yang ganas
bersifat incurable, dan tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki
gangguan neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita. Pengobatan simptomatis, rehabilitasi dan dukungan
psikologis sangat penting. Pemberian steroid umunya akan memberikan hasil
yang membaik karena pengurangan efek massa tumor yang disertai edema sekitar
tumor. Pemberian steroid harus segera dihentikan setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Antikonvulsan tidak diberikan secara sistematik dan hanya
diberikan pada penderita yang mengalami kejang. Obat ini dapat menimbulkan
efek samping dan mengganggu pemberian kemoterapi. Median dari kelangsungan
hidup penderita astrositoma adalah 5-8 tahun.
8
sekitarnya, juga ke korpus kalosum menuju hemisfer kontralateral membentuk
pola kupu-kupu.15(gambar 2)
9
2.8 GAMBARAN MASKROKOPIS
10
2.9 GAMBARAN MISKROKOPIS
Gambar 2.4. Astrositoma anaplastik. A.Gambaran histologik dengan selularitas yang meningkat,
pleomorfisme inti, dan aktivitas mitosis (tanda panah).4 B.Tumor dengan selularitas yang tinggi,
sel-sel neoplastik dengan inti hiperkromatik dan jumlah sitoplasma yang bervariasi. C.Beberapa
tumor menunjukkan imunoreaktivitas terhadap penanda proliferasi, MIB-1, termasuk sel-sel yang
sedang bermitosis.
11
2.10 PROGNOSIS
Prognosis penderita astrositoma tergantung dari tiga faktor : i) usia, ii)
status fungsional, dan iii) grade histologis. Penderita usia ≤45 tahun mempunyai
kelangsungan hidup empat kali lebih besar dibandingkan penderita berusia ≥65
tahun. Pada low grade astrocytoma, prognosis akan lebih buruk jika disertai
dengan peningkatan tekanan intrakranial, gangguan kesadaran, perubahan
perilaku, defisit nerologis yang bermakna, dan adanya penyangatan kontras pada
pemeriksaan radiologi.
Karena kebanyakan astrocytome diffuse sering dirawat maka riwayat lesi
ini tidak mudah terlihat. Bahkan literatur yang tersedia menunjukkan bahwa
tumor yang tidak progresif dapat menjadi hal yang buruk pada masa yang akan
datang, dengan kebanyakan angka kelangsungan hidup 6-8 tahun19,20. Lokasi
tumor dan hubungan fisik dari tumor jelas mengubah peranan terapi dan
mengubah prognosis akhir 22. Secara umum, angka kelangsungan hidup pasien
dengan anaplastic astrocytoma adalah 2,5 tahun 23,24.
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Grimm SA, Chamberlain MC. Anaplastic astrocytoma. CNS Oncol 2016 Jul;
5(3): 145-57.
2. Bornhorst M, Frappaz D, Packer RJ. Pilocytic astrocytomas. Handb Clin
Neurol 2016; 134: 329-44.
3. Pedersen CL, Romner B. Current treatment of low grade astrocytoma: a review.
Clin Neurol Neurosurg 2013; 115(1): 1-8.
4. Cavenee WK, Bigner DD, Newcomb EW, Paulus W, Kleinhues P. Diffuse
astrocytomas. In: Kleinhues P, Cavenee WK, editors. Pathology & genetics
tumors of the nervous system. Lyon, France: International Agency for Cancer
Research; 1997. p. 2-9.
5. Bailey P, Cushing H. A classification of tumors of the glioma group on a
histogenetic basis with a correlation study of prognosis. Philladelphia: Lippincott,
1926.
6. Smirniotopoulos JG. The WHO classification of CNS tumors.
7. Kleihuis P, Louis DN, Scheithauer BW, Rorke LB, Reifenberger G, Burger PC
et al. The WHO classification of tumors of the nervous system/Commentaries. J
Neuropathol Exp Neurol 2002;61: 215-5.
8. Kleihuis P, Davis RL, Ohgaki H, Burger PC, Westphal MM, Cavenee WK.
Diffuse astrocytoma.
9. Lantos PL, VandenBerg SR, Kleihues P. Tumor of the nervous system. In:
Graham DI, Lantos PL, editors. Greenfields’s neuropathology. London: Arnold;
1996. p. 583-97
10. Brustle O, Ohgaki H, Schmitt HP, Walter GF, Ostertag H, Kleihues P.
Primitive neuroectodermal tumors after prophylactic central nervous system
irradiation in children. Association with an activated K-ras Gene. Cancer
1992; 69: 2385-92.
11. Davis RL, Kleihues P, Burger PC. Anaplastic astrocytoma. In: Kleihues P,
Cavenee WK, editors. Pathology and genetics: tumours of the nervous system.
Lyon, France: International Agency for Cancer Research; 1997. p. 14-5.
14
12. Greene GM, Hitchon PW, Schelper RL. Diagnostic yield in CT-guided
stereotactic biopsy of gliomas. J Neurosurg 1989; 71: 494-8.
13. Kleihues P, Davis RL, Ohgaki H. Low-grade diffuse astrocytoma. In:
Kleihues P, Cavenee WK, editors. Pathology and genetics: tumours of the
nervous system. Lyon, France: International Agency for Cancer Research; 1997.
p. 10-4.
14. Bauman G, Pahapill P, Macdonald D, Fisher B, Leighton C, Cairncross JG.
Low grade glioma: a measuring radiographic response to radiotherapy. Can J
Neurol Sci 1999; 26: 18-22.
15. Reifenberger G, Collins VC. Pathology and molecular genetics of astrocytic
gliomas. J Mol Med.2004;82:656-70.
16. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK. In: Bosman FT, Jaffe ES,
Lakhani SR, Ohgaki H, editors. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Lyon: IARC Press; 2007.p.13-52.
17. Haberland C. Tumors of the central nervous systems. In: Clinical
neuropathology text and color atlas. New York: Demos Medical Publishing; 2007.
p. 213-59.
18. Forbes JA, Mobley BC, O’Lynnger TM, et al. Pediatric cerebellar
pilomyxoid-spectrum astrocytomas: Report of 2 cases. J Neurosurg Pediatr 2011;
8(1): 90-6.
19. Reis GF, Tihan T. Practical molecular pathologic diagnosis of
pilocyticastrocytomas. SurgPatholClin. 2015 Mar. 8 (1): 63-71
20. Cummings TJ, Provenzale JM, Hunter SB, et al. Gliomas of the optic nerve:
histological, immunohistochemical (MIB-1 and p53), and MRI analysis.
ActaNeuropathol. 2000 May. 99(5): 563-70
21. Cummings TJ, Provenzale JM, Hunter SB, et al. Gliomas of the optic nerve:
histological, immunohistochemical (MIB-1 and p53), and MRI analysis.
ActaNeuropathol. 2000 May. 99(5): 563-70
22. Theeler BJ, Ellezam B, Sadighi ZS, Mehta V, Tran MD, Adesina AM, et al.
Adult pilocytic astrocytomas: clinical features and molecular analysis. J
Neuroncol 2014; 16: 841-7.
15
23. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, eds. WHO Classification of
Tumours of the Central Nervous System. Lyon, France: IARC Press; 2007.
24. Kabel AM, Abd Elmaaboud MA. Cancer: Role of Nutrition, Pathogenesis,
Diagnosis and Management. Journal of Nutrition and Health 2014; 2(4): 48-51.
16