Anda di halaman 1dari 24

TUGAS HUKUM PIDANA

Tentang
“Sejarah Hukum Pidana di Indonesia”

Oleh :

Nama : Irene Eleora Totos


NIM : 1802010234
Kelas/Semester : E / II (dua)
Dosen Wali : Dr. Indiarto S. Adipuspito, SH, M.Hum
Dosen Pengasuh Mk : Daud Dima Tallo, SH,M.A,M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG 2019
Kata Pengantar

Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya saya bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini guna menggenapi tugas dari mata kuliah
Hukum Pidana.
Makalah yang berjudul “SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA” ini juga bertujuan
untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai sejarah Hukum Pidana.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis memohon maaf
apabila terjadi kesalahan dari beberapa sumber, sehingga saran dan kritik dari penilai dan
pembaca sangat membantu untuk penyempurnaan makalah ini, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi orang lain dalam menambah wawasan.
Terima Kasih

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar……………………………………………………….
Daftar Isi……………………………………………………………..
BAB I Pendahuluan………………………………………………….
a. Latar Belakang………………………………………………..
b. Uraian Materi…………………………………………………
c. Rumusan Masalah…………………………………………….
d. Tujuan Penulisan……………………………………………...
BAB II Pembahasan…………………………………………………
a. Awal Mula Hukum Pidana di Dunia…………………………
b. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia…………………………
BAB III Penutup……………………………………………………
a. Kesimpulan…………………………………………………..
Daftar Pustaka……………………………………………………...
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga
sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa
asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di negara ini,
khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai
peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana
mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata
sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.

KHUP yang kita gunakan saat ini bukanlah hukum murni yang berasal dari bangsa
Indonesia sendiri, melainkan KHUP yang kita gunakan saat ini memiliki sejarah yang
cukup panjang. Pada bab ini membahas tentang sejarah hukum pidana di indonesia. Dalam
sejarah hukum pidana di Indonesia ini memuat keterkaitan antara code penal di perancis
dengan hukum pidana yang kita gunakan saat ini. Tidak hanya itu, dalam bab ini juga
mebahas sejarah KUHP dari zaman Romawi, zaman VOC, Zaman Hindia Belanda, Zaman
penjajah Jepang, Zaman Kemerdekaan hingga rancangan KUHP baru

Hukum Eropa Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan


perpaduan antara hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi
“Romana Germana”. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga
dalam lintasan kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi
menjadi beberapa periode yaitu pada masa kerajaan Nusantara, masa Penjajahan dan masa
KUHP 1915 sampai sekarang. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang sejarah hukum pidana
di Indonesia akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Sejarah hukum pidana pada masa kemerdekaan adalah Setelah indonesia merdeka
dan berdaulat WvSI tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 peralihan dari Undang Undang
Dasar 1945 yang menentukan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang adamasih
berlangsungselama belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini “ .
Pada rancangan KUHP baru, putra puteri indonesia mengadakan kodifikasi
KUHP nasional yang sumbernya digali dari bumi indonesia dengan memperhatikan
perkembangan dunia modern di bidang hukum pidana,sudah lama dicetuskan didalam
berbagai kesempatan termasuk seminar Hukum Nasional.

B. Uraian Materi

SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Code Penal prancis merupakan turunan dari KUHP karena Belanda pernah di jajah
oleh Prancis sejak tahun 1811 sampai tahun 1813 ketika raja prancisnya adalah Napoleon
Bonaparte. Code Penal tetap di berlakukan di belanda meskipun penjajahan di Perancis
sudah berakhir sejak tahun 1813 dikarnakan ditetapkan dalam Koninkrijk Besluit yang
menentukan bahwa sementara code pelan di perancis masih tetap berlaku tanpa ada
perubahan-perubahan.kitab undang-undang hukum pidana nasional juga telah di usahakan
dibentuk oleh belanda, namun masih tetap mengalami kegagalan. Tatun 1870 Belanda
membentuk suatu panitia untuk merancang KUHP yang bersipat Nasional.
Tahun 1875 panitia berhasil membentuk dan menyelesaikan rancangan KUHP
Belanda yang akan menggantikan Code Penal dan menyerahkannya kepada yang akan
menggantikan Code Penal dan kemudian mengajukan rancangan KUHP tersebut
kepada Tweede Kamer pada tahun 1879 dan baru di setujui pada tanggal 3 maret 1881
setelah di adakannya perubahan seperti itu Belanda berhasil membentuk KUHP nasional
yang kemudian akan menggantikan Code Penal dan di nyatakan berlaku sejak awal 1886
dengan nama Wetboek van Strafrecht. Kemudian code penal di prancis di gunakan sebagai
kitab Undang-Undang Hukum pidana di belanda selama 75 Tahun.
KUHP yang kita gunakan saat ini adalah turunan dari code penal perancis yang di
mana dulu perancis pernah menjajah belanda kemudian bangsa Indonesia dijajah oleh
belanda. Sampai saat ini KUHP Indonesia masih memakai KUHP turunan dari prancis dan
belanda. Indonesia menggunakan hukum pidana perancis karena pada zaman penjajah dulu
belum banyak pakar hukum seperti sekarang ini. dalam benak kitapasti ada pertanyaan,
apakah sesuai kode penal perancis yang dipakai oleh Indonesia sampai sekarang
dengankeadaan Indonesia sekarang? Faktanya sampai sekarang KUHP yang kita gunakan
yang berasal dari code penal perancis masih kita gunakan. Kalau tidak sesuai tidak kan
digunakan sampai sekarang. Walaupun ada beberapa pasal yang diubah tetapi itu tidak jauh
menyimpang dari code penal di perancis. Contoh pada zaman dahulu seorang pidana
diberikan hukuman penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp .900. Jika tidak
dilakukan revisi maka tidak sesuai hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
kalau dilhat dari nominal denda yang diberikan. Di Indonesia ada 2 hukum yaitu hukum
adat dan hukum nasional. Hukum adat itu sah digunakan apabila tidak ada termuat didalam
kitab undang- undang hukum pidana (KUHP) dan tidak menyimpang dari KUHP itu
sendiri. Karena dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi soceretas ibi ius)
contoh orang kawin sasak di larikan walaupun sudah dilarikan tetapi dia itu tidak
melakukan hubungan karna ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Itulah beberapa
pertanyaann yang kami ajukan ketika melakukan wawancara di pengadilan negeri dan
kejaksaan tinggi.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Awal Mula Hukum Pidana di Dunia ?


2. Bagaimana Sejarah Hukum Pidana di Indonesia ?

D. Tujuan Penulisan

1. Untuk menjelaskan tentang Awal Mula Hukum Pidana di Dunia


2. Untuk menjelaskan tentang Sejarah Hukum Pidana di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Awal Mula Hukum Pidana di Dunia


Hukum pidana, khususnya hukum pidana mati menjadi fenomena sepanjang masa
dalam sejarah hukum pidana di dunia. Sebenarnya sejak kapan hukuman pidana mati itu
diberlakukan dalam peradaban dunia? Namun yang jelas, hukuman pidana mati itu resmi
diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yaitu sejak adanya Undang-Undang
Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 sebelum masehi. Saat itu ada 25 jenis
pidana kejahatan yang diancam hukuman mati.

Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan
dalam Corpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan
abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya
meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh Eropah. Gejala ini dinamakan
penerimaan (resepsi) hukum Romawi.

Mulai abad pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropah Barat dan


Utara belajar di Universitas-universitas di Italia dan Perancis Selatan (dimana Italia
merupakan pusat kebudayaan Eropah). Dimana pada era itu yang dipelajari hanya hukum
Romawi. Setelah mereka tiba di tanah airnya masing-masing maka Hukum Romawi akan
diterapkan apabila hukumnya sendiri tak dapat menyelesaikan persoalan hukum mereka.
Bahkan kadangkala hukumnya sendiri sengaja tidak dipergunakan.

Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi, yang dianggap sebagai suatu
hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap waktu (zaman) dan tempat, oleh karena itu
mereka yang menerima hukum alam ini dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi
yang telah dipelajari di negara Italia dan Perancis Selatan, maka biasanya mereka
menyamakan hukum alam itu hukum Romawi.
Salah satu negara di Eropa yang meresepsi hukum Romawi adalah Perancis.
Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya Perancis pernah ditaklukan oleh Caesar, kira-kira
50 tahun sebelum Masehi. Kemudian dalam abad ke-5 sesudah Masehi, timbullah
perubahan dimana bangsa Germania memasuki Gallia. Mula-mula bangsa Wetsgota yang
menduduki barat daya Gallia.

Dibawah pimpinan raja Eurich mereka memperluas daerah mereka


sampai Provence dan Auvergene dan sebagaian besar dari Spanyol. Setelah
bangsa Westgota kemudian datang bangsa Bourgundi yang menduduki kini dikenal
dengan Savoye, dan dari sana memperluas kerajaan mereka kearah selatan.

Kemudian bangsa Salis Franka dibawah Clovis mengalahkan daerah sebelah


utara sungai Loire dan dibawah para penggantinya, mengalahkan juga daerah
bangsa Bourgundi dan Westgota (kecuali Languedoc) yang dimasukkan ke dalam daerah
kerajaan Perancis.

Kaisar Napoleon pada tanggal 12 Agustus 1800 membentuk suatu panitia


yaitu Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan Malleville yang ditugaskan untuk
membuat rancangan kodifikasi. Sumber bahan kodifikasi adalah hukum Romawi menurut
Peradilan Perancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Potier dan Domat, hukum
kebiasaan daerah Paris (Coutame de Paris), peraturan perundangan yang
disebut ordonansi dan hukum yang dibuat pada waktu Revolusi
Perancis (hukum Intermedier atau hukum sementara waktu). Hasil kodifikasi ini
kemudian diumumkan pada tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807 diundangkan
menjadi ”Code Napoleon”.

Pada abad ke XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang mempunyai
pengaruh besar terhadap opni publik yaitu mengenai pedagang JEAN CALAS (1762) di
Toulouse dijatuhi hukuman mati. VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya
diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana
dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan yang pertama dibatalkan;
tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi;
Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu 1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei
delitti e delle pene” yang memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar peri
kemanusiaan dan kejamnya hukuman-hukuman. Kedua peristiwa itu, di samping
memberikan anjuran pemakai akal budi pada zaman RENAISSANCE (Aufklarung),
sangat banyak pengaruhnya terhadap pembaharuan hukum pidana.

Pada tahun 1791 setelah Revolusi Perancis terbentuk CODE PENAL yang
pertama yang dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya BECCARIA. Pada
tahun 1810 dalam pemerintah NAPOLEON yang berlaku hingga saat ini, Code Penal
tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari seorang utilist Inggris yang bernama
BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal masih ditujukan untuk menakut-nakuti,
terutama terlihat dari ancaman pidananya.

Di Belanda mulai ada gerakan untuk membuat perundang-undangan hukum


pidana pada tahun 1795, baru tahun 1809 terwujud : CRIMINEEL WETBOEK VOOR
HET KONINGKRIJK HOLLAND dalam pemerintahan LODEWIJK NAPOLEON, yang
merupakan kodifikasi umum yang pertama yang bersifat Nasional.

Penjajahan Perancis tahun 1811, yang memberlakukan Code Penal Perancis


sebagai penggantinya sampai tahun 1886. Pada masa ini C.P. tersebut banyak
mengalamai perobahan-perobahan terutama mengenai ancaman pidananya yang kejam
menjadi diperlunak. Pidana penyiksaan dan pidana “cap-bakar” ditiadakan. Salah satu
peristiwa penting yang terjadi ketika itu ialah penghapusan pidana mati (dengan Undang-
Undang 17 September 1870 stb. No. 162) dalam Wvs, sedang di WvMS jika terjadi pada
waktu damai dan tidak dilakukan kepada musuh. Pada tahun 1881 hukum pidana nasional
Belanda terwujud dan yang mulai berlaku pada tahun 1886, yang bernama “WETBOEK
VAN STRAFRECHT” sebagai pengganti Code Penal warisan dari Napoleon.
B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada
tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat.
Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya
diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana
dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang
bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang
kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-
temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang
dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh,
hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan
nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran
Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang
dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya
hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan
mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan,
dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di
beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam
bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal
adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang
berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum
pidana adat Bali.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda
datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa
peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC
sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah”
di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak
octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan
konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara.
Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan
aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat,
tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan,
plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat
diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi.
Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali
peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai
Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta
Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi
maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-
peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum
tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter
Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi
di peradilan-peradilan adat. Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana
adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturanperaturan;
ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan
perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan
iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran
antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC.
Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat
bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC
perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang
setimpal.

Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah


terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan
seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750
VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi
himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde
Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan
wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang
dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di
Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah
berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.

b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)


Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda
menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap
koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan
kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar
Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja
mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan.
Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem
pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun
kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat
komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di
Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van
dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang
berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena
menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi
kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes
menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman
dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering
(BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa
peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa
ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan
Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau
Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van
Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang
Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)

Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem


pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi
monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya
perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan
terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal)
mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah
jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal
59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan
tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan
tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem
keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Halhal lain yang menyangkut
mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur
dengan undang-undang”.

Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja


Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan
yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan
Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di
tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen
untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement
(RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad
No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan
Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi
hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun
1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No.
732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling
Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan
diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini
diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari
perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond
Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia
Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia
Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas
khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian
golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini
maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor NetherlandsIndie)
tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal
163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana
Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.

e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya


hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun
Seirei melalui Osamu Seirei.

Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu


Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu,
asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini
maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-
lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana
Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling.
Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan
golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische
Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya,
pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor
istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor
14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei
Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur
tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana
karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan
penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan
wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang
berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan
peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.

f. Masa Setelah Kemerdekaan


Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana
dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat
konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan
konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi
negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia
menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa
Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan
tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum
nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar
dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan
sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah
hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa
membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih
matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional
belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II
Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang
Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk
mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah
ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah
diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia
mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata
hukum kolonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku
presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada
sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih
tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang
Dasar tersebut.

Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.

Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan


Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan
tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.

Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan


kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang
tersebut secara tegas menyatakan:

Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik


Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.

Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda


kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang
dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA)
setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2
undangundang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942
panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan
Verordeningen van het militer gezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.

Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1


Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan.
Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan
Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri
sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas
Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA
Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda
sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada
tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang
berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan
Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135
Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain
mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang
menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya
pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan
ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi
pejuang kemerdekaan.

Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh
dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang
diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua
hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.
b. Tahun 1949-1950

Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi


atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk
negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:

Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang


sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri,
selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa
Konstitusi ini.

Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6
ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul
setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap
berlangsung pada masa ini.

c. Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7
bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka
pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan.
Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti
dengan UUD Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa
sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara
menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang
sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri,
selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha
atas kuasa Undang Undang Dasar ini.

Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana
yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek
van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian,
permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa
berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73
Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut
dinyatakan:

“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku
dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang
Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht
voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah),
yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka
keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1
Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”

Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia


dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia.

d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi
mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara
kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh
karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama
berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana
Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai
sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami
empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama
hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap
mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
KUHP yang saat ini kita gunakan adalah turunan dari code penal perancis.
Dahulu perancis pernah menjajah belanda, dan belanda pernah menjajah
Indonesia.Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya
hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun
Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang
mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang
tersebu tmenyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.
KUHP Indonesia memiliki banyak sejarah diantaranya Pada zaman
Romawi, VOC, Hindia Belanda, Zaman Penjajah Jepang, Zaman Kemerdekaan
dan yang terakhir Rancangan KUHP baru.
Hasrat untuk mengadakan kodifikasi KUHP nasional yang di susun oleh
putera-putera indonesia sendiri yang sumbernya digali dari bumi indonesia
dengan memperhatikan perkembangan dunia modrn di bidang hukum pidana,
Usaha-usaha konkret menuju tercapainya hasrat tersebut antara lain dapat
dikemukakan usaha Basaruddin S.H.dan iskandar Situmorang,S.H.yang
menyusun Rancangan Buku I KUHP Pada tahun 1971 dan Buku II KUHP Pada
Tahun 1976.
Kemudian,sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum
Pidana,yang diberikan Tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh
pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum
Nasional).
Pada tahun itu disusunlah materi-materi yang diperlakukan untuk tujuan
tersebut.
Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti
kasar.Pada tahun 1982 itu diadakanlah Lokarya di BABINKUMNAS
membahas rancangan tersebut sesudah itu,terus-menerus tim berkumpul untuk
memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyusun Rancangan
Buku II sampai tahun 1985.pada Tahun 1985 itu diadakanlah Lokarya lagi di
tempat yang sama untukmembahas Buku II
Pada tahun 1986 diadakan Lokarya khusus mengenai sangsi pidana
ditempat yang sama.dan terakhir Lokarya mengenai delik komputer dan delik
terhadap penyelenggaraan peradilan.
Menurut pendapat penulis,dapat dikatakan bahwa pada saat tulisan ini disusun
(mei 1991),99%pekerjaan menyusun Rancangan Buku I KUHP telah selesa dan
80% pekerjaan menyusun Buku II KUHP telah dicapai pula.
Perbedaan yang mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah
Rancangan hanya terdiri atas dua buku,sedangkan KUHP (lama) yang sama
dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku.Dengan sendirinya perbedaan antara
delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
Jadi sama dengan KUHP Jerman,Jepang,Korea,dan lain-lain tetapi materi
Buku II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.
DAFTAR PUSTAKA

https://dinatropika.wordpress.com/2009/12/17/sejarah-hukum-pidana/

http://ronikurosaky.blogspot.com/2015/01/sejarah-hukum-pidana-di-
indonesia.html

Hamzah Andy, SH, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. PT Asdi Mahasatya

http://wardahcheche.blogspot.com/2014/11/sejarah-hukum-pidana.html

https://www.academia.edu/35213998/SEJARAH_HUKUM_PIDANA_DI_INDONE
SIA_-_for_merge

Anda mungkin juga menyukai