Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG

Penggunaan antibiotik di dunia saat ini mengalami peningkatan termasuk penggunaan


tanpa resep dokter, Maka dari itu, potensi efek samping yang ditimbulkan nya pun besar. Efek
samping neurologis dari penggunaan antibiotik mungkin terlewatkan dan harus ditujukan.
Metronidazole adalah antiniotik 5-nitroamidazole yang banyak digunakan di dunia
terhadap infeksi bakteri anaerob dan parasit karena efikasi dan keamanannya. Efek samping
neurologis yang ditimbulkan dapat berupa polineuropati, namun jarang. Efek samping terhadap
sistem saraf pusat menyebabkan metronidazole-induced encephalopathy, disingkat MIE,
gejalanya berupa defisit pada cerebral dan batang otak, ensefalopati, dan kejang-kejang. Namun
karena jarang terjadi, membuat kondisi ini sering terlewatka oleh klinisi yang berpotensi pada
komplikasi yang serius.

METODE
Bentuk artikel ini adalah systematic review berdasarkan serial kasus dan laporan-laporan
dan mengkuti konsep PRISMA guidelines. Pencarian literature dilakukan hingga tanggal 24
September 2018 pada PubMed.gov dengan kata kunci pencarian database sebagai berikut:
Metronidazole AND (neurotoxicity OR encephalopathy OR consciousness OR (mental
status) OR ataxia OR dyscoordination OR seizure OR (focal neurological deficit) OR
dysarthria OR paralysis OR paresis OR palsy OR cerebral OR brain OR (central nervous
system) OR (dentate nucleus) OR (dentate nuclei))
Tidak ada batasan yang dibuat pada tahun publikasi. Hanya publikasi yang ditulis dalam
bahasa Inggris yang dimasukkan. Semua jenis publikasi yang mengandung setidaknya satu laporan
kasus yang asli dimasukkan.Publikasi terdiri dari subyek manusia dari segala usia yang
mempunyai gejala dari sistem saraf pusat terkait dengan pengobatan metronidazole. Jika data
pasien tumpang tindih, dipilih publikasi asli untuk menghindari duplikat data.
Hasil studi tidak akan dimasukkan jika data dari beberapa pasien disatukan dan tidak
dihadirkan dalam kasus per individu, pasien hanya mengalami gejala dari sistem saraf perifer, dan
kasus dimana pemeriksaan MRI tidak dilakukan.
Hasil dari pencarian database kemudian dipindahkan ke dokumen membentuk suatu daftar
publikasi. Kemudian dilakukan penyaringan judul dan abstrak yang dapat diperoleh sebagai teks
penuh. Publikasi yang tidak menggunakan Bahasa inggris di ekslusi, lalu dievaluasi. Kemudian
daftar referensi dari publikasi yang telah terkumpul di telaah kembali secara manual.
Data yang diperoleh dari publikasi kemudian diekstrak secara independen dan di ulas
kembali oleh autor untuk memastikan data yang benar dan dapat dibandingkan.
Data yang diekstrak oleh autor termasuk demografik, riwayat kondisi yang sama, waktu
onset dari gejala sistem saraf pusat, dan total durasi pemberian terapi dan dosis metronidazole yang
terakumulasi, metode diagnostic, temua, serta follow –up. Durasi terapi dan dodis yang
terakumulasi akan dihitung atau hanya perkiraan. Dalam konteks ini, 1 minggu dianggap sebagai
7 hari, 1 bulan sebagai 30 hari dan 1 tahun sebagai 365 hari.beberapa pasien mengidap MIE lebih
dari sekali, jika berhubungan sebagai satu perjalanan penyakit , durasi dan dosis akan dijumlahkan.
Jika tidak berhubungan sebagai perjalanan peyakit yang berbeda, durasi dan dosis tetap akan
dilaporkan.

HASIL
Data kemudian dianalisis secara deskriptif. Jumlah literature dari pencarain database
melalui PubMed yaitu 767 publikasi, 107 publikasi di pakai untuk penelitian, ditambah dengan 5
publikasi yang dicara secara manual. Sehingga total publikasi yang dipakai adalah 112 publikasi
yang berisikan 136 pasien.

Gambar 1. Proses identifikasi laporan kasus


Informasi Demografik dan Temuan Klinis
Kasus terbanyak berasal dari Amerika Serikat (24 %), Korea Selatan (21 %), India (17%)
dan Jepang (11%). Dari segi populasi terdiri dari pria 65 % (n = 88) dan wanita 35 % (n=48),
sehingga rasio nya 2 : 1. Dari 136 Kasus, 130 kasus teridiri dari dewasa dan 6 kasus terdiri dari
golongan usia dibawah 18 tahun. Dari segi umur terdiri dari neonates hingga usia 89 tahun. Rata-
rata umur dewasa adalah 56,8 tahun. Kebanyakan pasien adalah golongan usia 40 tahun atau lebih.
Adanya kondisi-kondisi yang sebelumnya sudah terdapat pada pasien dinyatakan secara
eksplisit pada 67% kasus (n = 91). Penyakit hepar seperti sirosis, gagal liver, autoimun hepatobilier
di laporkan pada 15 % kasus (n=20), diabetes melitus terdapat pada 10% kasus (n=13), gagal ginjal
kronis (n=9), penyakit radang saluran pencernaan (n=9) atau malignansi (n=9) berturut-turut
dilaporkan pada 7% kasus. Karena kondisi penyerta tidak disebutkan pada 33 % kasus (n=45),
prevalensi kasus tersebut lebih tinggi dari keadaan diatasnya.
Indikasi terapi pada infeksi anaerob dan parasit, secara umum serupa, walaupun dapal
beberapa kasus dosis regimen tidak susuai standar. Indikasi terapi yang paling umum adalah
infeksi gastrointestinal (38%), abses hepar (18%), dan infeksi sistem saraf pusat (10%).
Durasi total terapi dapat dilaporkan atau diperkirakan pada 92 % kasus dari data yang
tersedia (n=125) dan mempunya rentang dari 2 hari hingga hampir 8 tahun. Dikarenakan adanya
deviasi, rata-rata durasi terapi adalah 101,6 hari, dengan kuartil terendah 63 hari. Durasi dengan
lama lebih dari 1 tahun terdapat pada 3,9 % kasus.
Dosis kumulatif yang tersedia pada 85 % kasus dewasa (n=110) mempunyai rentang dari
5 hingga 2000 gram, dengan rata-rata 125,7 gram, kuartil bawah 36 gram, median 65,4 gram,
kuartil atas 110,8 gram.
Gejala sering timbul setelah pemberian terapi, namun dapat juga timbul bersamaan
pemberian terapi. Munculnya gejala sistem saraf pusat setalh terapi terdapat pada 76 % kasus
(n=104) denganrata 47,2 hari kuartil bawah 14 hari, media 28 hari, kuarti atas 52,5 hari.
Gejala dan temua klinis neurologis digambarkan pada gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2. Gejala dan temuan klinis (n=135). Other termasuk disfagia, gangguan pendengran,
pandangan kabur, myoclonus dan tremor.

Temuan MRI
Temuan diagnostik MRI pada T2-weighted dan fluid-attenuated inver recovery (FLAIR)
sequences diilustrasikan pada gambar 3. Contoh gambaran tipikal dari MRI terdapat pada gambar
4.
Diagnostik MRI terdapat pada 91 kasus (n=124). Lesi hiperintens dari dentate nuclei adalah
lesi yang paling umum terjadi, terdapat pada 90 % kasus (n=112). Yang paling rentan adalah lesi
pada splenium (96 % kasus, n=52). 12 pasien tidak terdapat lesi pada dentate nuclei pada T2/FLAIR
diantara nya 8 pasien dengan lesi pada corpus callosum, 1 dengan lesi pada batang otak dan 1
pasien lesi pada daerah putih pada pedunkel sereblar.
Diffusion weighted imaging (DWI) terdapat pada 55 % kasus (n=68) terdiri dari diagnostic
MRI dan apparent diffusion coefficient (ADC) pada 32 %. Lesi DWI kebanyak berlokasi pada
corpus calosum (57%,n=68), dentate nuclei (56 %,n 38 ), midbrain (29%, n=20). Hanya sebagian
lesi DWI pada dentate nuclei yang hipointens (33%)
Gambar 3. Lokasi lesi pada MRI pada T2/FLAIR, other = ganglia bsalis, thalamus, bagian putih
cerebellar, dan pedunkel cerebellar

Gambar 4. Gambaran MRI, a). T2/FLAIR, b). DWI, c). ADC

Follow Up
Resolusi gejala sistem saraf pusat terdapat pada 56 % kasus (n=73). Perkembangan yang
sangat baik pada 19 % kasus (n=25). Perkembangan tanpa spesifikasi pada 16 % (n=21), dan
perkembangan dengan masih terdapat defisit neurologis yang tersisa pada 16% (n=21). Kematian
pada 5 % kasus (n=6) dan 1 pasien masih dalam status vegetatif.
Dosis kumulatif rata-rata pada dewasa 155,1 gram pada grup resolusi. 90,9 gram pada
perkembangan yang baik, 75,7 gram pada perkembengan yang tidak spesifik, dan 75,5 gram pada
perkembangan dengan defisit neurologis yang tersisa . gejala dengan polineuropati yang konsisten
pada 16 % kasus
Follow up MRI terdapat pada 65 % kasus (n=88), walaupu 1 kasus tidak di deskripsikan
dengan jelas. Resolusi terdapat pada 64 % kasus, hampir resolusi terdapat pada 15 %,
perkembangan yang baik pada 17 %, perubabahan minimal pada 2 %, dan tidak ada perubahan
sama sekali pada 1 % kasus.

DISKUSI
Dari 112 publikasi didapatkan 136 kasus MIE. Manifestasi klinis yang paling umum
adalah disartria, diskoordinasi anggota gerak, ketidakstabilan gaya berjalan, dan penurunan
kesadaran. MRI menunjukkan karakteristik lesi hiperintens pada T2-weighted dan FLAIR di
dentate nuclei pada 90% kasus. Lesi juga sering terjadi pada splenium, corpus callosum dan batang
otak. Berdasarkan pmeriksaan MRI didapatkan resolusi dan perkembengan yang baik setelah
penghentian metronidazole. Dalam kebanyakan kasus, pasien pulih setelah penghentian obat;
Namun walaupun jarang, terdapat juga laporan kasus kematian dan deficit neurologis yang tersisa.

Diagnosis Banding
Kecurigaan terahadap MIE meningkat jika terdpat pasien dengan defisit cerebellar, batang
otak yang berkorelasi dengan terapi metronidazole. Riwayat yang jelas perlu dikatahui kerena
munculnya gejala tidak selalu langsung terjadi dapat berbulan bulan atau bertahun-tahun, termasuk
riwayat penggunaan metronidazole. 1/3 dari pasien terdapat gejala polineuropati. Temuan
diagnostic yang paling penting adalan T2/FLAIR hiperintense di dentate nuclei. Berdasarkan MRI
berikut differnsial diagnosis :
1. Wernicke encephalopathy. disebabkan oleh kekurangan tiamin. Manifestasi klinis
termasuk dapat serupa MIE yaitu ataksia, ketidakstabilan gaya berjalan, perubahan status
mental dan gangguan okulomotor. Kadang terdapat polineuropati, biasanya dari
penyalahgunaan alkohol. Kombinasi penyalahgunaan alkohol dan nutrisi yang buruk
menyebabkan degenerasi kistik dari corpus callosum disebut penyakit Marchiafava-
Bignami, walaupun keadaan ini jarang. Pemeriksaan MRI lah yang membedakan ini
dengan MIE.
2. Hepatic Encephalopathy, karena prevalensi penyakit hati yang berlebihan pada populasi
pasien MIE. Di beberapa kasus, metronidazole digunakan untuk mengobati suspek hepatic
ensefalopati yang dapat mempersulit diagnosis MIE
3. Chronic methyl bromide intoxication, MRI biasanya menunjukkan lesi T2 / FLAIR-
hyperintense di dentate nuclei , splenium corpus callosum dan batang otak yang serupa
dengan gambaran MIE
4. Antibiotic associated encephalopathy
5. Inborn error of metabolism, lysosomal storage disease, dan mitochondrial disease.
6. Primary CNS lymphoma dan progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)

Tatalaksana dan prognosis


Belum ada studi yang dilakukan mengenai tatalaksana spesifik terhadap MIE pada
manusia. Jika dicurugai terdapat MIE, maka pemberian metronidazole dihentikan jika masih
diberikan saat terjadi gejala. Hasil menunjukan perbaikan pada pasien, sehingga tatalaknanya lebih
mengarah kepada tatalaksana simtomatik.
Untuk Pasien yang sudah dilakukan penghentian dan gejala muncul, 12 pasien diantaranya
mengalami hasil yang tidak diharapkan seperti kematian dan defisit neurologis yang menetap,
beberapa pasien memiliki keadaan penyerta dan faktor premorbid seperti malignansi, interstitial
pneumonia, dan primary biliar cholangitis. 6 pasien diantaranya yang memiliki defisit neurologis
serta masih dalam status vegetatif mimiliki lesi pada bagian putih cerebellar, menandakan
prognosis yang lebih buruk. Secara keseluruhan penyebab yang membuat keadaan perburukan
bukanlah MIE, namun keadaan penyerta yang terdapat pada pasien berkontribusi juga dalam
memperburuk keadaan pasien.

Patofisiologi
Metronodazole dapat dengan mudah menembus sawar darah otak dan meningktakan
konsentrasi pada CNS. Metronidazole dimetabolisme pada liver dan di eksresi melalui urin, ini
yang mungkin menyebabkan penyakit hati dan renal yang berat karena penumpukan metronidazole
dan hasil metabolism nya, digambarkan dengan tingginya prevalensi penyakit hepar dan gagal
ginjal pada populasi.
Gambar 5. Symptom MIA beserta kondisi penyerta yang terdapat pada pasien
Metronidazole juga dapat menembus plasenta, digambarkan oleh pemeriksaa MRI pada
kasus MIE pada neonates yang mengalami kegagalan dalam pertumbuhan (failure to thrive). Pada
ibu yang diterapi karena bacterial vaginosis pada masa kehamilan akhir.
Banyak teori menggambarkan mekanisme dibalik MIE, namun buktinya jarang terjadi.
Manifestasi klinis dan predileksi lokasi neuroanatomi serupa dengan beberapa kasus yang
disebutkan pada differential diagnosis.

LIMITASI
Ada beberapa limitasi dalam review ini . Pubilkasi hanya diambil dari PubMed dan artikel
yang dipilih hanya yang menggunakan Bahasa inggris. Selain itu data yang diambil berasal dari
laporan kasus yang mungkin mengadung faktor yang tidak diketahui jika dibandingkan dengan
studi terkontrol.
1/3 darikasus juga tidak menyebutkan apakah pasien mempunyai riwayat penyakit
tertenstu sebelumnya. Durasi terapi dan dosis kebanyakan perlu diperkirakan dan tidak bisa
dihitung secara pasti. Beberapa pasien diberikan terapi yang diketahui dapat menyebabkan gejala
neurologis. Perbedaan dari ketersediaan pelayanan kesehatan, pemeriksaan MRI, serta dosis
regimen, komorbiditas dapat mempengaruhi prevalensi.

PERSPEKTIF
Kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya MIE meningkat . kasus pertama terjadi pada
1978 dan 50 kasus MIE (37 %) telah dilaporkan sejak tahun 2015. Diharapkan dalam penemuan
kasus di kemudian hari dapat memberikan informasi menganai tatalaksana, misalnya apakah
diazepam, thiamine atau N-acetylcystaine dapat memberikan penyembuhan gejala.

KESIMPULAN
1. MIE suatu kondisi yang jarang terjadi tetapi dapat didiagnosa
2. Mekanisme dibalik MIE belum dapat dipastikan
3. Penyakit hepar dan ginjal sering menyertai MIE
4. Tidak dapat dipredikisi kapan terjadi MIE hanya dengan durasi dan dosis metronidazole
5. 1/3 pasien juga mengalamai polyneuropathy
6. MRI merupakan pemeriksaan yang penting dalam mendiagnosis MIE yaitu karakteristik
yang khs nya adalah lesi hiperintens pada T2/FLAIR pada dentate nuclei
7. Stelah terapi berhenti, terlihat adanya perbaikan
8. Prognosis baik jika terpai tidak dilanjutkan dan terapi suportif dilakukan

DFTAR PUSTAKA
Caspar, G, et al. 2018. Metronidazole-Induced Encephalopatthy : A Systemic Review. Springer-
Verlag GmbH. Jerman. Diakses pada 2 Januari 2019
TUGAS TAMBAHAN JURNAL READING

PERBEDAAN TIPE MRI T2 FLAIR, DWI DAN ADC

Pada T2 FLAIR, air mempunyai signal yang lebih kuat sehingga memiliki gambaran lebih
terang atau hiperintens sedangkan lemak mempunyai signal yang lebih lemah sehingga memiliki
gambaran yang lebih kurang terang, gelap atau hipointens. Hal ini disebabkan pada pembobotan
T2WI diatur TE yang cukup panjang sehingga baik air maupun lemak cukup waktu untuk
mengalami decay dan mengakibatkan terjadinya perbedaan signal yang cukup besar.

Difusi adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan pergerakan molekul secara
acak pada jaringan. Gerakan ini dibatasi oleh batas-batas seperti ligamen, membran dan
makromolekul. Kadangkala terjadinya pembatasan difusi adalah secara langsung tergantung pada
struktur jaringan. Pada stroke yang masih dini, yaitu segera setelah terjadinya iskemia tapi
sebelum terjadinya infark atau kerusakan permanen pada jaringan otak, sel-sel membengkak dan
menyerap air dari ruang extraseluler. Ketika sel-sel penuh oleh molekul air dan dibatasi oleh
membran, maka difusi yang terjadi akan terbatas dan nilai rata-rata difusi pada jaringan tersebut
akan berkurang.

Imej dengan sekuen spin echo dapat memperlihatkan struktur dengan tanda-tanda difusi
pada jaringan. Gambaran difusi dapat diperoleh dengan lebih efektif dengan mengkombinasikan
dua pulsa gradien yang diaplikasikan setelah eksitasi. Pulsa gradien digunakan untuk saling
mempengaruhi pada spin-spin yang tidak bergerak sementara spin-spin yang bergerak pada
jaringan normal tidak dipengaruhi. Ini sebabnya mengapa pada gambaran difusi sinyal yang
mengalami atenuasi terjadi pada jaringan normal dengan pergerakan difusi yang random dan
jaringan normal akan tampak lebih gelap, dan sinyal yang intensitasnya tinggi terjadi pada jaringan
dengan difusinya yang terbatas (restriksi) seperti yang tejadi pada stroke akut.

ADC adalah gambar MRI yang lebih spesifik menunjukkan difusi daripada DWI
konvensional, dengan menghilangkan penimbangan T2 yang masih terlihat pada DWI
konvensional. Pencitraan ADC melakukannya dengan memperoleh beberapa gambar DWI
konvensional dengan hasil weighing DWI yang berbeda, dan perubahan sinyal sebanding dengan
tingkat difusi. Berlawanan dengan gambar DWI, skala abu-abu standar dari gambar ADC adalah
untuk mewakili besarnya difusi yang lebih kecil sebagai lebih gelap.

Infark serebral menyebabkan pembatasan difusi, dan perbedaan antara gambar dengan
berbagai berat DWI akan menjadi kecil, yang mengarah ke gambar ADC dengan sinyal rendah di
daerah yang mengalami infark. Penurunan ADC dapat dideteksi beberapa menit setelah infark
serebral. Sinyal tinggi dari jaringan yang mengalami infark pada DWI konvensional adalah hasil
dari penimbangan T2 parsialnya

Anda mungkin juga menyukai