Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh;
Yurisal Aesong,
Manado, 2012

LATAR BELAKANG

Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-

besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang–undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menegaskan

bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam konteks

ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan

berkelanjutan.

Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan

negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi

ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun

sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana,

berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang

sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi

terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan

konstitusional Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah,

namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,

produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas, dan

1
bertanggung jawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses

perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan

keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku

kepentingan. Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan pada

pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan

kawasan, dan nilai strategis kawasan.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang

penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, yang

mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan

penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah

administratif, dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah

nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap

wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di

dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam

kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan

tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan

baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan

antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan

penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara khusus mengamanatkan

perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi

luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota,

yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja

ditanam.

2
TINJAUAN TENTANG KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

Secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu

unit pemerintah dengan lingkungannya. Batasan lain tentang kebijakan publik

bahwa “kebijakan publik merupakan apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan”. Menurut Carl Friedrich bahwa kebijakan sebagai

suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan

kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan

dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu

sasaran atau suatu maksud tertentu.

Kebijakan (policy) ialah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja

dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan

pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta,

dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya

merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara

langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial

dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk,

masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi,

kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan

kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dalam Pasal 1 angka

(1) menyatakan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,

dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,

tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara

3
kelangsungan hidupnya, pada angka (2) menerangkan bahwa tata ruang adalah

wujud struktur ruang dan pola ruang. Kemudian dalam angka (5) menegaskan

bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Rencana tata ruang wilayah kota menjadi dasar untuk penerbitan

perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan. Jangka waktu

rencana tata ruang wilayah kota yaitu 20 (dua puluh) tahun. Rencana tata ruang

wilayah kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima)

tahun, dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana

alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau

perubahan batas teritorial Negara, wilayah Provinsi, dan/atau wilayah Kabupaten

yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang

wilayah Kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.

Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan

peraturan daerah kota.

Menurut Eko Budihardjo bahwa pada kebanyakan perencanaan kota dan

lingkungan, masyarakat acapkali dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif.

Memang mereka diberi aktivitas untuk kehidupan, kerja, rekreasi, belanja dan

bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang untuk ikut dalam proses penentuan

kebijakan dan perencanaannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai makhluk

yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan

pengawasan terhadap habitat dan lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor

4
mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan

atau melestarikan.

Menurut Juniarso Ridwan konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di

dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi ”melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta

melaksanakan ketertiban dunia”.

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat,

berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.” Menurut M. Daud Silalahi bahwa salah satu konsep dasar pemikiran tata

ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam UUPA No. 5 Tahun 1960. Sesuai

dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara

terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan,


dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

Penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sangat membutuhkan

adanya peran serta/partisipasi masyarakat, yang berkaitan erat dengan asas

keterbukaan dan asas keadilan. Tanpa menggunakan kedua asas itu tidak akan

jalan desentralisasi pemerintahan didaerah, termasuk dalam hal penataan ruang.

Era otonomi daerah berarti tiap daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

5
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Demi terwujudnya hal tersebut maka tata ruang kota haruslah dapat

menciptakan kota yang sesuai dengan tata nilai yang mencakup kehidupan sosial.

Ekonomi, dan budaya. Hanya saja, masalah tata ruang ini masih dinilai oleh

banyak orang, terutama masyarakat pada umumnya, bahwa rencana pembangunan

kota hanyalah untuk konsumsi kelas menengah keatas. Dimana para stakeholder

yang ada yaitu, pemerintah, swasta, dan masyarakat kurang memiliki posisi yang

seimbang.

Di dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan

berbagai unsur seperti masyarakat, pihak swasta, dunia usaha, kelompok profesi,

LSM yang selanjutnya disebut dengan peranserta masyarakat. Peranserta

masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang, karena

pada akhirnya hasil dari penataan ruang ialah untuk kepentingan seluruh lapisan

masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang, yaitu

terselenggarakannya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan,

terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya,

serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Secara normatif, peran serta/partisipasi masyarakat sebelum diterbitkannya

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara

Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang telah diatur dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Peran serta

Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah Jo. Permendagri

6
Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang

merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992

tentang Tata Ruang dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 tentang

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta

Masyarakat dalam Penataan Ruang, pada Pasal 9 Permendagri No.9 Tahun 1998

antara lain disebutkan, peran serta masyarakat dalam proses perencanaan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) kabupaten/kota, antara lain pemberian masukan

dalam penentuan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai dan pemberian

informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan strategi

pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Peran serta masyarakat

dalam perencanaan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dalam penelitian

dan pengembangan dengan dan/atau bantuan tenaga ahli kepada Badan Pengawas

Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota (Pasal 47 Permendagri 9/1998).

Pemberian kewenangan membangun pada daerah yang menyerap aspirasi

masyarakat telah menjadi suatu kebudayaan baru. Apabila upaya pemberdayaan

keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan

kebijakan pengembangan kotanya dapat diwujudkan, diharapkan akan mampu

menumbuhkembangkan sense of belonging, sense of conserving, sense of

preserving, sense of beautifying seluruh warga dan institusi perkotaan. Pemerintah

kotapun diharapkan menegakkan prinsip sustainability as the principle and good

governance as the practice.

Visi good governance dituntut mampu mewujudkan enam aspek

kehidupan kota, antara lain :

a. Mengembalikan fungsi dan sifat demokratis yang sebenarnya.


b. Sistem kerja yang accountable.

7
c. Mekanisme kerja yang transparan.
d. Kemampuan bekerjasama dengan berbagai kalangan masyarakat.
e. Kepedulian besar terhadap penduduk miskin dikota dengan cara
mengentaskian mereka dari kemiskinan dan memberdayakan mereka
disektor ekonomi.
f. Kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup dalam rangka
komitmen yang besar terhadap sustainable development.

Pelajaran dari pengalaman setelah reformasi menunjukkan bahwa peran

serta/partisipasi di tingkat lokal sedang dan terus mengalami perubahan, dapat

dikatakan bahwa kuantitas maupun kualitas partisipasi sedang mengalami

peningkatan. Kenyataan menunjukkan bahwa akses warga terhadap proses

kepemerintahan di tingkat lokal secara bertahap telah terkuak. Kelompok-

kelompok warga melalui berbagai forum menjadi lebih aktif menuntut agar

disertakan dalam pengambilan keputusan baik yang terkait dengan program-

program pembangunan maupun partisipasi politik secara lebih umum.

Perubahan yang mengindikasikan bahwa peran serta masyarakat dalam

local governance di Indonesia bertambah antara lain yaitu :

a. Semakin banyak peraturan yang telah diterbitkan yang mendorong


partisipasi yang lebih efektif.
b. Semakin banyaknya kota-kota maupun kabupaten yang menetapkan
partisipasi sebagai visinya.
c. Semakin luasnya kesempatan dan ruang yang dibuka untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
d. Semakin tingginya kapasitas dan kompetensi civil society untuk
menerapkan pendekatan-pendekatan baru (partnership) maupun
menyediakan asistensi teknis dalam mendorong perubahan dalam
praktek governance.
e. Semakin banyak forum-forum di komunitas yang bersifat deliberatif,
dan berorientasi pada isu-isu governance dan kebijakan publik.
f. Semakin besar keinginan dari kelompok perempuan dan kelompok
marjinal untuk berpartisipasi.
g. Semakin besarnya sumber daya yang ditransfer ke tingkat lokal.
h. Semakin banyak informasi yang dapat diakses oleh kelompok
masyarakat sehingga mengundang keinginan yang lebih besar untuk
melakukan monitoring.

8
Dasarnya, penataan ruang perlu dilakukan untuk mengelola konflik dalam

alokasi dan/atau distribusi pemanfaatan berbagai sumber daya secara efisien, adil

dan berkelanjutan. Konflik yang dimaksud baik konflik terpendam maupun yang

terbuka karena salah satu pihak telah bertindak untuk melaksanakan tujuannya

yang berbenturan dengan tujuan dan kepentingan pihak lainnya. untuk

menghindari ataupun mengatasi konflik demikian diperlukan peran serta semua

pihak. Masyarakat berhak berperan serta dan pemerintah wajib memungkinkan

pelaksanaan hak tersebut, untuk itu pertama-tama masyarakat perlu mengetahui

bahwa proses perencanaan tata ruang akan dimulai. Hal ini dilaksanakan melalui

pengumuman dengan cara yang memungkinkan seluruh masyarakat

mengetahuinya. Tidak cukup disebarluaskan dengan surat kabar jika surat kabar

tidak sampai di pelosok. Diperlukan berbagai cara, melalui siaran radio dan

televisi, surat edaran ataupun utusan dan melalui forum pertemuan. Agar supaya

semua orang dapat mengetahuinya pengumuman tersebut dilakukan selama 7

(tujuah) hari.

Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam

pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan. Perencanaan tata

ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan

yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin

kelestarian lingkungan, dan kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana

alam seperti gempa maupun tsunami. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita

kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau.

Kewenangan pembangunan dan pengelolaan perkotaan menurut Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam hal kewenangan perencanaan,

9
pembangunan dan pengelolaan perkotaan, terutama yang menjadi urusan wajib

Pemerintah daerah, antara lain :

a. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.


b. Penyediaan sarana dan prasaran umum, dan penyelenggaraan
pelayanan dasar.
c. Fasilitasi pengembangan ekonomi.
d. Pengendalian lingkungan hidup.
e. Penanggulangan masalah sosial, dan ketenteraman masyarakat.

Urusan pilihan daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulkan daerah, terutama dalam

pengelolaan kawasan perkotaan yaitu kawasan perkotaan dikelolan oleh

pemerintah Kota, penataan ruang perkotaan dan penyediaan fasilitas pelayanan

umum tertentu dikelolan bersama, serta dalam perencanaan, pelaksanaan

pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan, pemerintah daerah

mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.

Arah kebijakan pembangunan perkotaan terutama dalam pengendalian

Kota-Kota besar dan metropolitan yaitu dikendalikan dalam sistem wilayah

pembangunan metropolitan yang kompak, nyaman, efisiensi dalam pengelolaan

serta berkelanjutan dengan fokus penerapan manajemen perkotaan meliputi

optimalisasi dan pengendalian pemanfaatan ruang, pengamanan zona penyangga

di sekitar-sekitar kota inti dengan penegakan hukum yang tegas dan adil,

peningkatan peran dan fungsi Kota-Kota menengah dan kecil di sekitar Kota inti

agar Kota-Kota tersebut menjadi Kota mandiri, pengembangan kegiatan ekonomi

kota ramah lingkungan seperti industri jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan

industri telematika serta peningkatan kemampuan keuangan daerah perkotaan,

revitalisasi kawasan kota yang meliputi pengembalian fungsi kawasan melalui

pembangunan kembali kawasan, peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial,

10
budaya, penataan kembali pelayanan fasilitas publik, terutama pengembangan

sistem transportasi massal yang terintegrasi.

Mewujudkan penataan ruang yang membantu penyelenggaraan otonomi

daerah yang sebaik-baiknya, perlu disusun strategi pendayagunaan penataan

ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah, dengan demikian proses

pelaksanaan pembangunan (pengembangan wilayah) diharapkan akan mencapai

hasil secara efektif dan memanfaatkan sumber daya secara efisien.

Strategi pendayagunaan penataan ruang tersebut haruslah disusun dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Diperlukan keterpaduan program, yang tidak hanya lintas sektoral


tetapi juga lintas wilayah dengan kerangka pengembangan wilayah
atau kawasan.
b. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan.
c. Mensinerjikan pembangunan dengan pembangunan dengan
memperhatikan potensi dan keunggulan lokal dalam rangka NKRI.
d. Menyusun prioritas dalam pelaksanaan program.
e. Akomodatif terhadap berbagai masukan, kemitraan dengan seluruh
stakeholder dan transparansi dalam pelaksanaan pembangunan.
f. Mengupayakan pelaksanaan pembangunan yang konsisten terhadap
rencana tata ruang.
g. Penegakkan hukum yang konsisten dan konsekuen.
h. Pembagian peran yang “seimbang” (tidak harus sama) antar seluruh
pelaku penataan ruang.
i. Melakukan kerja sama antar wilayah untuk menciptakan sinerji
pembangunan.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam konteks pembinaan

penataan ruang di daerah, antara lain, pertama, proses penataan ruang di daerah

hendaknya merupakan manifestasi kehendak seluruh stakeholders, dan dapat

menyerap seluruh aspirasi yang dilaksanakan secara terbuka dan bekerjasama

dengan masyarakat, karena itu setiap proses penataan ruang haruslah dapat

melibatkan dan dikomunikasikan langsung dengan masyarakat. Kondisi yang

11
berkembang saat ini, di beberapa daerah telah terdapat forum/kelompok inisiatif

masyarakat yang mempunyai concern terhapap penataan ruang di wilayahnya.

Forum-forum ini menjadi basis yang kuat untuk mendapatkan informasi tentang

real demand masyarakat dan bukan alat legitimasi “demokratisasi penataan

ruang”, karena itu, diharapkan agar setiap forum yang berkembang dapat

difasilitasi agar menjadi salah satu pilar dalam penataan ruang di daerah.

Pemerintah dalam hal ini bertindak selaku fasilitator untuk pencapaian community

driven planning tersebut. Namun demikian, fasilitasi tersebut secara konsisten

tetap memperhatikan ide dan gagasan asli yang bersumber dari para stakeholder.

Kedua, dalam kaitan untuk memberikan pelayanan publik, termasuk

bidang penataan ruang, hendaknya tetap mengutamakan kualitas dan memahami

apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, karena itu, standar-standar pelayanan

minimum yang bersifat nasional, hendaknya menjadi dasar pegangan dalam

pelaksanaan kerja. Salah satu contoh penting untuk hal tersebut adalah adanya

pedoman standar pelayanan minimal untuk bidang penataan ruang dan

permukiman yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil (Departemen

Pekerjaan Umum sekarang) yang antara lain yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota

wajib untuk menyusun rencana tata ruang kabupaten/kota dan mensosialisaikan

rencana tata ruang yang telah disusun. Untuk mengetahui lebih tajam tentang

kebutuhan pelayanan minimal tersebut, harus mengamati secara langsung kondisi

dan permasalaham penataan ruang di daerah dengan cara studi lapangan,

supervisi, diskusi, dengar pendapat, dan sebagainya, dengan melakukan hal

tersebut, kita berharap bisa mendapatkan SPM yang betul-betul sesuai dengan

aspirasi riil masyarakat.

12
Ketiga, daerah-daerah harus semakin mandiri dan maju dalam pengelolaan

SDA-nya. Keterbatasan SDA pada beberapa daerah hendaknya tidak menjadi

penghalang bagi pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan SDA juga tidak dapat

dijadikan alasan bagi perusakan lingkungan. Karena itu, daerah harus kreatif

dalam menggali sumber-sumber pendapatan lainnya dan harus segera digarap agar

dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan daerah. Selain itu, peningkatan

produktivitas dan efisiensi pengelolaan SDA harus ditingkatkan dalam bentuk

peningkatan manajemen pembangunan daerah secara keseluruhan. Kita telah

menyadari bahwa dana-dana konvensional yang tersedia sangat terbatas, di sisi

lain kita menghadapi permasalahan banyaknya kawasan dan kegiatan lainnya

yang harus ditangani.

Keempat, pemerintah daerah harus lebih melihat otonomi daerah dalam

perspektif yang lebih luas. Hal-hal yang beyond otonomi daerah, seperti

bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan sinergi antar daerah atau sinergi

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus segera menjadi perhatian

dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari, dalam kaitan tersebut, forum-forum

koordinasi pembangunan antar daerah harus tetap diberdayakan untuk mengatasi

permasalahan lintas daerah. Sampai saat ini masih harus terus dipikirkan upaya-

upaya untuk memfasilitasi terwujudnya otonomi daerah secara transparan dan

akuntabel.

Kelima, pada era globalisasi kita dihadapkan dengan kondisi dunia tanpa

batas (borderless), dengan demikian, dapat terjadi interaksi langsung antara

daerah-daerah dengan negara luar, atau bekerjasama dengan negara lain. Pada

kondisi ini dituntut upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan publik

13
agar lebih kompetitif. Kesiapan untuk lebih kompetitif tersebut tentunya sangat

bergantung pada kemampuan SDM-nya. Karena itu pemerintah daerah harus

sepenuhnya meningkatkan kemampuan profesional aparatnya agar dapat lebih

kompetitif dan berinteraksi positif dengan negara lain.

Keenam, dalam kaitan pelaksanaannya tugas sehari-hari kita sering

diharuskan untuk berinteraksi dengan bidang/profesi lain. Karena itu, saya ingin

menyarankan agar kita semua berkeinginan yang kuat untuk menggali informasi

bidang-bidang lain yang terkait dengan profesi ke-tata ruang-an. Pengetahuan

tentang bidang-bidang teknis lainnya akan sangat mendukung kemampuan kita

untuk memberikan pengayaan (enrichment) dan kontribusi positif dalam proses-

proses penataan ruang.

PENUTUP

Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan

melibatkan berbagai unsur seperti masyarakat, pihak swasta, dunia usaha,

kelompok profesi, LSM yang selanjutnya disebut dengan peranserta masyarakat.

Peranserta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang,

karena pada akhirnya hasil dari penataan ruang ialah untuk kepentingan seluruh

lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang, yaitu

terselenggarakannya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan,

terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya,

serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Penerbit Media Pressindo,
Yogyakarta, 2002.

14
Center for Internations Forestry Research (CIFOR), Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang, Warta Kebijakan Nomor 6 Agustus, 2002.

Direktur Perkotaan dan Perdesaan BAPPENAS, Arah Kebijakan Pembangunan


Perkotaan Nasional, Lokakarya Regional, USDRP, Sumatera, 2009.

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Penyelenggaraan Penataan Ruang, Seminar


Nasional, Pelatihan Penyelenggaraan Penataan Ruang Dalam
Pembangunan Daerah, Jakarta, 2005.

Erna Witoelar, Tata Ruang dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Seminar


Nasional, Forum Nasional Tata Ruang, Jakarta, 2001.

Edi Suharto, Modal Sosial dan Kebijakan Publik, Makalah, Balai Besar
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), Banjarmasin,
2006.

Eko Budihardjo, Tata Ruang Perkotaan, Alumni, Bandung, 2005.

Hermanto Dardak, Peran Penataan Ruang Dalam Mewujudkan Kota


Berkelanjutan di Indonesia, Seminar Nasional, Jakarta, 2006.

Indonesia, Undang–undang Dadar NKRI Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Juniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, 2008.

M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan: dalam sistem penegakan Hukum


Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 2001.

Penataan Ruang.Com, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota, Diakses dari


http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-
kota.html, pada tanggal 28 Oktober 2012.

R.M Kurniawann Desiarto, Problem Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan


Ruang Di Era Otonomi Daerah, 2007, Diakses dari <http://kurniawan-
desiarto.blogspot.com/2007/04/problem-partisipasi-masyarakat-
dalam.html>, pada tanggal 19 Oktober 2012.

Sjaifudian, Hetifah, Policy Study: Lessons learned from Innovative Practices of


Civic Engagement in Local Governance in Indonesia, LGSP-USAID,
2006.

15

Anda mungkin juga menyukai