Anda di halaman 1dari 31

CONCEPT

PAPER
ID
2017

KAWASAN
KONSERVASI
PERAIRAN
INVESTASI CERDAS UNTUK
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI LAUT DAN MEMBANGUN
PERIKANAN INDONESIA
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan
membangun perikanan Indonesia

Penulis:
Estradivari, Christian Novia N. Handayani, Fikri Firmansyah, Muhammad Yusuf
& Veda Santiadji

Kontributor:
Wawan Ridwan, Imam Musthofa, Anton Wijonarno, M. Ridha Hakim,
Abdullah Habibi, Dirga Daniel, Gabby Ahmadia, & Dwi Aryo Tjiptohandonoo

Foto sampul oleh: Jürgen Freund / WWF

Desain & Tata Letak oleh: Raditya Pamungkas

©2017 WWF-Indonesia. Perbanyakan dan diseminasi bahan-bahan di dalam buku


ini untuk kegiatan pendidikan maupun tujuan-tujuan non komersial
diperbolehkan tanpa memerlukan izin tertulis dari pemegang hak cipta selama
sumber disebutkan dengan benar. Perbanyakan dari bahan-bahan dari buku ini
untuk dijual atau tujuan komersial lainnya tidak diperbolehkan tanpa izin
tertulis dari pemegang hak cipta.

Sitasi: Estradivari, Handayani, C. N. N, Firmansyah, F., Yusuf, M., Santiadji,V.


2017. Kawasan Konservasi Perairan: Investasi Cerdas untuk Perlindungan
Keanekaragaman Hayati Laut dan Membangun Perikanan Indonesia.
Jakarta, WWF-Indonesia.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | i


KATA PENGANTAR
Pengelolaan habitat pesisir melalui pembentukan Kawasan
Konservasi Perairan (KKP) bukanlah hal baru. Faktanya, di
Indonesia, pemerintah telah membentuk KKP sekitar tiga dekade
lalu dan jumlahnya terus bertambah dan bahkan Pemerintah
Indonesia telah mentargetkan untuk membangun KKP seluas 20
juta hektar pada tahun 2020. Sampai Desember 2016 terdapat 165
KKP dengan total luasan mencapai hampir 18 juta hektar yang
tersebar di seluruh Nusantara. Seiring dengan perjalanan pembentukan dan
pengelolaan KKP di Indonesia, banyak pembelajaran dan yang dapat dipetik dan
diterapkan di lokasi lain agar pengelolaan KKP bisa menjadi lebih efektif dan efisien.

Saat ini, para ahli dan praktisi sepakat bahwa KKP merupakan salah satu solusi terbaik
untuk menekan ancaman terhadap ekosistem pesisir dan melindungi habitat penting
untuk ikan memijah, tumbuh dan mencari makan, sehingga masyarakat sekitar KKP
mendapatkan manfaat dari perikanan yang sehat. Manfaat lain dari KKP adalah untuk
mengembangkan pariwisata bahari laut dari sumber daya laut yang terjaga sehingga
bisa mendatangkan keuntungan ekonomi buat masyarakat dan pemerintah lokal.

WWF-Indonesia telah bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan,


Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan berbagai mitra dalam beberapa
dekade belakangan dalam upaya pembentukan dan meningkatkan efektivitas
pengelolaan KKP di Indonesia. Kami mengimplementasikan strategi inovatif yang
berlandaskan ilmu pengetahuan termutakhir agar KKP yang dibentuk dan dikelola
dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara maksimal untuk
masyarakat dan lingkungan.

ii | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Concept paper ini merupakan penjabaran kerangka kerja WWF-Indonesia dalam
mengoptimalkan desain dan pengelolaan KKP di Indonesia untuk melindungi
keanekaragaman hayati secara efektif dan mendorong perikanan secara
berkelanjutan. Kerangka kerja ini dibangun berdasarkan hasil pembelajaran dan cerita
sukses WWF-Indonesia yang dikombinasikan dengan berbagai terobosan ilmu
pengetahuan termutakhir dalam mendorongkan pengelolaan KKP yang efektif di
Indonesia. Kerangka kerja ini dapat diadopsi oleh pemerintah, praktisi lingkungan
ataupun pihak lain yang akan atau sedang membentuk dan/atau mengelola KKP di
Indonesia.

WWF-Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kelautan dan


Perikanan (KemenKP), khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati
Laut yang telah memberikan kesempatan kepada WWF-Indonesia untuk
berkontribusi dalam pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Kesempatan ini
diwujudkan dalam bentuk kerjasama antara KepmenKP dan WWF-Indonesia melalui
Memorandum of Understanding (MoU). Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada University of Queensland khususnya kepada Prof. Peter Mumby dan Dr. Nils
Krueck, yang telah bekerjasama dengan WWF-Indonesia dalam ARC Linkage Project
dari tahun 2014 untuk mengembangkan berbagai pemodelan ilmiah termuktahir
untuk mengoptimalkan desain KKP di Indonesia untuk mendorongkan perikanan
berkelanjutan.

Wawan Ridwan
Direktur Program Coral Triangle WWF-Indonesia

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | iii


DI SAAT SELURUH LAUT INDONESIA TELAH DIMANFAATKAN OLEH
MANUSIA UNTUK PEMENUHAN HIDUP, MENGALOKASIKAN
SEBAGIAN KECIL KAWASAN PESISIR UNTUK DILINDUNGI DAN
DIKELOLA SECARA BERKELANJUTAN MERUPAKAN INVESTASI
CERDAS. KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN YANG DIKELOLA
SECARA EFEKTIF DAPAT MELINDUNGI HABITAT SEBAGIAN BESAR
BIOTA LAUT, MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT,
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT PESISIR DARI
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN MEMBANGUN PERIKANAN DI
KAWASAN SEKITARNYA. PERIKANAN YANG SEHAT DAN
BERKELANJUTAN BISA MEMUTAR RODA PEREKONOMIAN
NASIONAL DAN MENJAMIN KETAHANAN PANGAN LAUT UNTUK
SEBAGIAN BESAR MASYARAKAT INDONESIA.

iv | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


PESAN KUNCI
• Laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia,
namun saat ini ancaman terhadap habitat pesisir masih terus terjadi
secara intensif dan menyebar.

• Dalam kondisi sumberdaya yang terbatas, Kawasan Konservasi


Perairan (KKP) merupakan investasi cerdas untuk mengelola sebagian
kecil kawasan laut yang sehat, dengan biaya yang minimal.

• Mengoptimalkan desain dan pengelolaan KKP di Indonesia mutlak


diperlukan agar KKP dapat melindungi keanekaragaman hayati dan
membangun perikanan berkelanjutan sehingga memberikan manfaat
untuk masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar KKP.

• Kerangka Kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang


dibangun oleh WWF-Indonesia memiliki tiga tujuan jangka panjang,
yaitu: (1) menyediakan stok sumberdaya ikan yang sehat dan
melimpah, (2) melindungi habitat laut penting, dan (3)
mendorong kesejahteraan masyarakat.

• Terdapat delapan (8) tahapan yang perlu dilaksanakan oleh para


pemangku kepentingan melalui skema kolaborasi, yaitu:

1. Mengoptimalkan desain KKP. Terdapat empat kriteria utama


yang harus dipenuhi, yaitu (a) memilih lokasi KKP yang memiliki
nilai konservasi tinggi; (b) melindungi 20-30% habitat laut penting;
(c) menetapkan setidaknya 1 – 10 km diameter zona inti dalam
KKP; dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100
km.
2. Membangun jejaring KKP. Mengintegrasikan beberapa KKP di
dua atau lebih provinsi yang berdekatan ke dalam pengelolaan
bersama dapat meningkatkan dampak positif KKP di area yang
lebih luas dengan biaya paling minimal.
3. Menerapkan strategi pemanfaatan perikanan di setiap
KKP untuk mengatur tingkat eksploitasi serta mengendalikan
aktivitas penangkapan dan jumlah tangkapan untuk spesies ikan
tertentu.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | v


4. Memberikan hak eksklusif perikanan untuk nelayan lokal
dapat meningkatkan peran dan keterlibatan mereka dalam
pengelolaan serta meningkatkan pendapatan ekonomi melalui
perikanan.
5. Mengimplementasikan praktek pengelolaan yang lebih
baik memberikan beberapa keuntungan, diantaranya strategi
pengelolaan menjadi lebih efisien, meminimalisasi resiko terhadap
KKP dan pengelolaan perikanan, serta mengurangi dampak
lingkungan.
6. Membangun mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk
membiayai pengelolaan KKP dan kegiatan konservasi.
Mengalokasikan sejumlah angka persentase tertentu dari
APBN/APBD pendapatan pengelolaan KKP, dan sumber donasi
lain termasuk pihak swasta perlu didorongkan.
7. Mendorong transformasi pasar perikanan secara global
dalam rangka meningkatkan permintaan produk makanan laut dan
pariwisata yang ramah lingkungan. Kerjasama dengan berbagai
produsen dan pengusaha domestik mutlak diperlukan.
8. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk
mendokumentasikan kemajuan pengelolaan, mengidentifikasi
kegiatan yang berhasil dan yang belum berhasil, serta
mengeksplorasi dampak dari pengelolaan.

• Kerangka kerja ini dapat berjalan efektif apabila dilakukan bersama


dengan berbagai pemangku kepentingan dalam skema pengelolaan
bersama (co-management) dan diikuti oleh pendayagunaan institusi
melalui peningakatan kesadaran dan kapasitas.

vi | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


LAUT INDONESIA – Indonesia merupakan pusat keanekaragaman
hayati laut dunia, memiliki 95% spesies karang

PERAIRAN DENGAN keras dunia, lebih dari 2,200 spesies ikan


karang, merupakan lintasan ruaya berbagai

BANYAK POTENSI spesies penyu, mamalia laut dan beberapa


spesies ikan ekonomis penting seperti tuna.

NAMUN TERANCAM Pemanfaatan sumberdaya laut yang melimpah


ini tidak bisa dihindari.

77,7 MILYAR Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang


memiliki 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke
PRODUKSI (BIG, 2016a). Dengan panjang garis pantai mencapai 99.093 km dan
DOMESTIK BRUTO luas wilayah perairan 6.3 juta km2 (BIG, 2016b), Indonesia memiliki
INDONESIA DARI wilayah laut yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut dunia.
SEKTOR
PERIKANAN DI Kekayaan laut Indonesia memberikan manfaat ekonomi dan sosial
KUARTAL II 2016 untuk penduduk Indonesia, terutama untuk 60 juta masyarakat yang
(KEMENTERIAN tinggal di daerah pesisir (Burke, et al., 2012), melalui perikanan,
KELAUTAN DAN pariwisata, pertambangan dan transportasi. Pada tahun 2016, sektor
perikanan Indonesia menyumbang Rp. 76,7 miliar di kuartal I dan
PERIKANAN,
Rp. 77,7 miliar di kuartal II untuk produksi domestik bruto (PDB)
2016)
Indonesia (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016a). Selain itu,
sektor pariwisata berpotensi menyumbang pendapatan negara
hingga Rp. 13 miliar per 1 km2 luasan terumbu karang (UNEP,
2006).

Masyarakat juga mendapatkan manfaat ekologi dari ekosistem


pesisir melalui perlindungan pantai dari ombak, erosi dan melalui
pencegahan dampak perubahan iklim dan pengasaman air laut. Jika
dikalkulasi, ekosistem pesisir dan laut Indonesia yang sehat, dapat
bernilai hingga US $387 juta melalui perlindungan pantai
(Burke, et al., 2012).

Pemanfaatan sumber daya laut tidak bisa dihindari. Namun


sayangnya intensitas pemanfaatan ini semakin meningkat
setidaknya dalam satu dekade belakangan dan mengakibatkan laut
Indonesia di bawah ancaman degradasi.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 1


Hampir seluruh (95%) ekosistem terumbu karang Indonesia
terancam oleh kegiatan penangkapan ikan yang berlebih dan
merusak, pencemaran dari DAS, pencemaran dari laut,
pembangunan pesisir dan perubahan iklim dan bahkan 35%
diantaranya memiliki tingkat ancaman yang tinggi atau sangat tinggi
dari (Burke, et al., 2012). Lebih lanjut, Burke et al. (2012)
menyatakan bahwa tingkat ancaman terhadap ekosistem dan laut
Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan dapat
menyebabkan kerugian hingga milyaran dolar.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri No. 47/2016


Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa sebagian
besar stok sumber ikan di Indonesia telah mengalami penangkapan
berlebih. Saat ini hanya ada 5,32% dari seluruh wilayah terumbu
karang di Indonesia yang masih dalam kondisi sangat baik dan lebih
dari 30% yang dalam kondisi kurang (LIPI, 2016). Potensi ancaman
yang berasal dari manusia selalu ada dimana masyarakat
memanfaatkan sumberdaya laut untuk pemenuhan hidupnya. Oleh
karena itu dibutuhkan tata kelola yang lebih menyeluruh dan terukur
yang mengintegrasikan pengelolaan kebutuhan masyarakat sebagai
pengguna sumber daya dan alam agar tetap lestari.

© FAKHRIZAL SETIAWAN / WWF-INDONESIA

Lingkungan laut yang sehat perlu didukung oleh pengelolaan agar sumber daya alam tetap lestari.

2 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


KAWASAN Dengan menyisihkan sebagian kecil kawasan
perairan laut Indonesia untuk dikelola dalam

KONSERVASI sistem Kawasan Konservasi Perairan,


masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari

PERAIRAN perlindungan ekosistem pesisir dan peningkatan


ekonomi lokal dari perikanan.

SEBUAH INVESTASI
CERDAS Ancaman terhadap ekosistem pesisir dan laut
menjadikan kondisi habitat pesisir dan laut
menurun dalam 10 tahun terakhir (Burke, et al.,
2012). Oleh karena itu kita perlu
17,98 JUTA HA mengalokasikan sebagian kecil kawasan pesisir Indonesia untuk
LUASAN KKP YANG dilindungi agar habitat dan keanekaragaman hayati yang rusak
ADA DI INDONESIA dapat pulih kembali dan terus memberikan manfaat ekologi, sosial
SAMPAI DENGAN dan ekonomi secara berkesinambungan untuk masyarakat.
DESEMBER 2016
Perlindungan kawasan perairan sebenarnya bukan hal yang baru,
masyarakat tradisional/adat telah mempraktekkan berbagai bentuk
kearifan lokal yang memiliki prinsip konservasi dimana sumber daya
laut dikelola agar tetap lestari, seperti Sasi di Indonesia Timur,
Hading Mulung di Alor, Awig-awig di Bali dan Lombok, atau
Panglima Laut di Aceh. Pemerintah Indonesia pun telah memulai
konservasi wilayah laut dengan pembentukan Taman Nasional dan
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dari tahun 1978. Saat ini, KKP 1
menjadi salah satu alat paling efektif yang dapat dilaksanakan di saat
sumber daya yang tersedia terbatas dan ancaman terhadap
ekosistem sudah semakin mengkhawatirkan.

KKP yang dikelola secara efektif diketahui memiliki banyak manfaat,


diantaranya adalah meningkatkan ukuran, kelimpahan,
keanekaragaman dan biomassa ikan (Halpern, 2003), memfasilitasi
spill over ikan dari dalam dan keluar KKP (Chapman & Kramer,
1999), memperbaiki/meningkatkan stok perikanan melalui
penyebaran larva dari dalam KKP (Harrison, et al., 2012), dan
meningkatkan daya lenting terumbu karang dari perubahan iklim
(Mumby, et al., 2007).

1
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dipakai dalam publikasi ini adalah seluruh tipe kawasan
konservasi di wilayah perairan yang dikelola oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memiliki status minimal dicadangkan, telah lolos
verifikasi tata batas, dan memiliki SK minimal dari Bupati.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 3


Untuk memenuhi target internasional dan regional, Indonesia
melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan (KemenKP)
berkomitmen membangun jejaring KKP dengan lima negara lainnya
di dalam kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle) – kawasan yang
merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia - sejak tahun 2007.
Kerjasama ini diklaim telah memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitar dengan meningkatkan pendapatan, menjaga
ketahanan pangan dan melestarikan sumber daya hayati laut
(Reuchlin-Hugenholtz & McKenzie, 2015).

Bentuk komitmen pemerintah Indonesia adalah mencadangkan dan


mengelola secara efektif 20 juta hektar KKP pada tahun 2020.
Hingga tahun 2016, luas kawasan yang telah dikonservasi mencapai
17,98 juta hektar dengan total KKP mencapai 165 yang tersebar dari
Sabang hingga Merauke (Kementrian Kelautan dan Perikanan,
2016b) (lihat Gambar 1). Ini berarti, KemenKP masih harus
memenuhi target sekitar 2 juta hektar KKP yang harus dicadangkan
dalam tiga tahun kedepan dan juga mengelola secara efektif KKP
yang sudah ada.

Gambar 1. Sebaran KKP di Indonesia. Per Desember 2016, terdapat 165 KKP dengan total luasan
mencapai 17,98 juta hektar (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016b)

4 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


MENGOPTIMALKAN Belajar dari berbagai pengalaman implementasi
pengelolaan KKP di Indonesia, WWF-Indonesia

PENGELOLAAN KKP mendorongkan kerangka kerja


mengoptimalkan pengelolaan “KKP untuk
untuk

DI INDONESIA perikanan berkelanjutan” yang dapat diadopsi


oleh para pemangku kepentingan di Indonesia.

Dalam pemenuhan target nasional 20 juta hektar KKP per tahun


2020, penambahan jumlah KKP berjalan sangat cepat dimana
hampir 8 juta hektar telah dicadangkan atau ditetapkan dalam kurun
waktu delapan tahun belakangan. Sayangnya penambahan jumlah
KKP belum diiringi dengan peningkatan pengelolaan yang efektif.
Menurut Susanto et al. (2015), diperkirakan kurang dari 15% KKP
yang ada telah memenuhi target pengelolaannya. Rendahnya nilai
efektivitas pengelolaan KKP di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai
faktor, tapi setidaknya hal ini menjadi catatan penting untuk
meningkatkan dan merasionalisasi pengelolaan KKP kedepan agar
dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara
maksimal.

Ke depan, paradigma baru yang didorongkan oleh KemenKP dan


mitranya saat ini adalah KKP tidak hanya sekedar menjadi alat untuk
perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati, namun juga
alat untuk “memanfaatkan” sumber daya laut secara terbatas dan
berkelanjutan untuk masyarakat (Weigel, et al., 2014; Susanto, et al.,
2015). Dengan konsep ini, masyarakat yang tergantung dari hasil
laut seperti nelayan, tidak kehilangan mata pencahariannya akibat
penetepan KKP. Sebaliknya, manfaat spill over berpotensi membuat
hasil tangkapan nelayan menjadi lebih banyak (Yulianto, et al., 2015;
Gell & Roberts, 2003; Halpern, 2003). Tekanan perikanan juga tidak
semata-mata dipindahkan ke lokasi lain sehingga lokasi lain
mengalami peningkatan ancaman, namun KKP dapat
memberlakukan aturan seperti pembatasan jumlah dan ukuran ikan
dengan harapan stok ikan akan ada terus secara berkesinambungan
(Weigel, et al., 2014).

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 5


Dengan mengusung paradigma baru tersebut, salah satu tantangan
yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan dan pengelola
adalah membuat desain dan strategi pengelolaan KKP yang dapat
memenuhi seluruh kebutuhan secara seimbang, antara konservasi
dengan pemanfaatan. Semenjak 2014, WWF-Indonesia
berkomitmen untuk mengimplementasikan strategi inovatif agar
dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan KKP dan membangun
perikanan di Indonesia sehingga dapat memberikan manfaat
ekonomi dan sosial kepada masyarakat dan pihak swasta.
WWF-Indonesia bekerja bersama KemenKP dan berbagai pemangku
kepentingan, melalui mekanisme co-management untuk mencari
strategi terbaik.

Sebagai upaya dalam mendorongkan efektivitas pengelolaan KKP di


Indonesia dan mentransformasi perikanan, WWF-Indonesia
membangun kerangka kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan”
yang memiliki 8 (delapan) pendekatan terkait pengelolaan
kolaboratif yang perlu dijalankan secara berkesinambungan
(Gambar 2). Tujuan jangka panjang dari kerangka kerja ini adalah:
(1) menyediakan stok sumberdaya ikan yang sehat dan melimpah,
(2) melindungi habitat laut penting, dan (3) mendorong
kesejahteraan masyarakat.

© IMANIAR PRATIWI / WWF-INDONESIA

Masyarakat lokal memiliki peran penting dalam pengelolaan SDL, sehingga keterlibatan mereka
dalam pengelolaan mutlak diperlukan.

6 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Gambar 2. Kerangka kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang dapat diimplentasikan di
Indonesia

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 7


01 MENGOPTIMALKAN
DESAIN KKP
Desain KKP yang efektif merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan
pengelolaan, karena desain yang baik bisa berkontribusi terhadap manfaat yang besar
dengan biaya pengelolaan yang kecil. Terdapat empat kriteria utama yang harus
diperhatikan dalam mengoptimalkan desain KKP:

a. Memilih lokasi KKP terbaik yang memiliki nilai konservasi tertinggi.


Lokasi terbaik harus memiliki karakteristik ekologi sebagai berikut:
1) mencakup seluruh atau sebagian besar keanekaragaman hayati dan
habitat yang ada; 2) melindungi sebagian kawasan untuk mempertahankan
keanekaragaman hayati sepanjang waktu; 3) memiliki ulangan untuk setiap
keanekaragaman hayati dan habitat yang terpilih; dan 4) memiliki biaya
pengelolaan yang paling kecil (How to choose marine reserve, 2014). Selain
itu, lokasi KKP terbaik juga harus memiliki konektivitas larva ikan yang kuat
agar dapat memaksimalkan dinamika interaksi antara pemulihan populasi
biota, produksi larva dan konektivitas antar populasi (Krueck, et al.,
(accepted 2017a). Secara sosial, lokasi lindung lokal yang telah diiniasi oleh
masyarakat hukum adat atau tradisional juga menjadi lokasi potensial
untuk dipilih. Dengan mengaplikasikan kriteria diatas ke dalam analisa
spasial, pengelola dapat mengidentifikasi lokasi lindung yang diterima
masyarakat dan memiliki nilai kelentingan (resilience) tinggi atau lokasi
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perikanan karena menerima
larva secara kontinu meski lokasi tersebut mendapat tekanan.

b. Melindungi 20-30% habitat pesisir penting. Berdasarkan hasil


penelitian, luasan ideal kawasan pesisir dan laut yang harus dilindungi
adalah 20-30% dari total luas pesisir dan lautan, karena (1) mampu
meningkatkan tangkapan ikan hingga lebih dari 80% “Maximum
Sustainable Yield” dan mengekspor setidaknya 30% larva ke lokasi
penangkapan ikan (Krueck, et al., 2017b); (2) mengoptimalisasi manfaat
positif pengelolaan KKP melalui spill-over dan produksi larva (PISCO,
2011); dan (3) memberikan dampak positif untuk keberlangsungan ekosis-
tem terumbu karang.

8 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Luas KKP yang lebih besar dari 30% justru kurang efektif karena selain
biaya pengelolaan yang lebih besar, produktivitas ikan akan mengalami
penurunan karena berkurangnya lokasi penangkapan ikan (Krueck, et al.,
2017). Prinsip yang sama juga berlaku untuk menentukan luasan minimal
zona inti di dalam KKP, yaitu 20-30% dari luasan KKP.

c. Menetapkan ukuran minimal diameter tiap zona inti2 antara 1 –


10 km karena mampu melindungi antara 20-30% spesies ikan penting di
tiap tingkat tropik dan menyebarkan 30% larva yang dihasilkan lokasi
tersebut ke luar kawasan (Krueck et al. Submitted 2017). Pengukuran
diameter zona inti dilakukan dengan menggunakan data populasi dan jarak
ruaya (home range) dari 67 spesies ikan terumbu di Indonesia, khususnya di
Bentang Laut Sunda Banda. Meski ukuran ideal diameter zona inti ini
umumnya belum bisa melindungi seluruh biota laut di dalam KKP, terutama
ikan yang memiliki jarak jelajah yang besar seperti sebagian besar hiu, paus,
penyu, dll., namun angka ini masih bisa melindungi sebagian besar habitat
penting dan populasi ikan dengan biaya pengelolaan yang paling kecil.

d. Mengaplikasikan jarak antar KKP sebesar 10 – 100 km untuk


mengakomodir penyebaran larva, migrasi organisme dan pencampuran
massa air melalui arus dan proses oseanografi lainnya (UNEP-WCMC,
2008). Larva ikan biasanya memiliki daya jelajah lebih jauh, terkadang
hingga laut lepas, dibandingkan ikan dewasanya. Untuk mengefektifkan
fungsi KKP, ukuran KKP sedang dengan jarak antar KKP yang relatif dekat
lebih efektif dibandingkan membangun satu KKP yang berukuran sangat
besar (PISCO, 2007).

2
Zona inti merupakan salah satu zona yang ada dalam KKP. Bentuk zona inti yang ideal adalah simetris
berupa kotak atau lingkaran, sehingga dapat memaksimalkan pergerakan ikan dewasa. Namun, apabila
pada suatu kasus bentuk zona inti tidak bisa simetris, maka diharapkan ukuran diameter zona inti dapat
diperbesar agar perlindungan tetap berjalan efektif (Krueck et al., in prep).

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 9


Boks 1. Integrasi pemodelan konektivitas larva untuk desain KKP
di Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Dalam menentukan lokasi terbaik untuk


dicadangkan sebagai KKP di Indonesia, informasi
mengenai konektivitas larva sangat jarang
digunakan karena ketiadaan informasinya. Padahal
informasi ini sangat penting untuk mencari lokasi
yang memiliki tingkat kelentingan tinggi dan
mampu mengurangi dampak dari tekanan.

Penetapan KKPD di Kabupaten Maluku Tenggara


Barat merupakan KKP pertama di Indonesia yang
desainnya dibangun dengan mengintegrasikan
informasi konektivitas larva. Dari hasil analisa
spasial, kawasan di sebelah barat dan utara
kabupaten ini memiliki fitur konservasi paling
tinggi, memiliki nilai impor larva yang tinggi dan
mampu mengekspor larva ke daerah penangkapan ikan (Handayani, et al., 2015).
Mengacu kepada dasar ilmiah ini, pemerintah Kabupaten MTB mencadangkan
kawasan penting ini sebagai KKP dengan luas mencapai 783,806 hektar melalui SK
Bupati Maluku Tenggara Barat No: 523-246/2016.

© FAKHRIZAL SETIAWAN / WWF-INDONESIA

Pemantauan berkala kesehatan ekosistem terumbu karang diperlukan untuk mendukung


pengelolaan KKP yang adaptif

10 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Boks 2. Gap konservasi di Bentang Laut Sunda Banda

WWF-Indonesia bersama University of Queensland mengidentifikasikan kawasan


pesisir di tujuh provinsi di kawasan Bentang Laut Sunda Banda yang memiliki nilai
konservasi yang tinggi (Kuempel, et al., 2017) dan nilai konektivitas larva yang besar
(Krueck, et al., (2017a). Sebagian kawasan “hotspot” – kawasan yang paling potensial
untuk dilindungi – sudah masuk ke dalam KKP, namun sebagian lainnya belum. Untuk
itu, pemerintah bisa memfokuskan upaya untuk melindungi kawasan-kawasan ini
dengan membangun KKP baru untuk memenuhi target 20 juta hektar KKP pada tahun
2020.

Gambar 3. Lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi dan konektivitas larva yang kuat.
Lokasi-lokasi tersebut potensial untuk dicadangkan sebagai KKP baru di Bentang Laut Sunda
Banda. Arsiran memperlihatkan semakin gelap warna biru maka semakin penting untuk
dilindungi, sementara tanda bintang menunjukkan lokasi dengan nilai konektivitas larva paling
tinggi. Lingkaran warna hitam dan bintang merah menandakan lokasi paling penting yang
harus dilindungi.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 11


02 MEMBANGUN
JEJARING KKP
Untuk memaksimalkan manfaat KKP dengan biaya seminimal mungkin, solusi terbaik
adalah mendorongkan agar KKP-KKP tunggal yang berada dalam satu kawasan untuk
saling berjejaring (Gaines et al., 2010). Di Indonesia, jejaring KKP didefinisikan
sebagai kerjasama pengelolaan dua atau lebih KKP secara sinergis yang memiliki
keterkaitan biofisik (PerMen KP No.13/2014). Jejaring KKP dapat dibangun di tingkat
lokal, nasional, regional maupun global.

Untuk membangun jejaring KKP yang tangguh diperlukan desain jejaring yang
memperhatikan penyebaran resiko, melindungi habitat kritis, mempertimbangkan
konektivitas antar KKP, penurunan tingkat ancaman, dan pemanfaatan yang
berkelanjutan (Green, et al., 2013), sehingga dapat mengantisipasi tekanan terhadap
ekosistem. Sedangkan dari sisi sosial-ekonomi dan budaya, pengelolaan KKP secara
berjejaring dapat memperkuat kerja sama antar daerah sehingga diharapkan juga bisa
meminimalisir konflik kepentingan serta dapat mengakomodasi kearifan lokal dan
adat istiadat yang lebih luas. Keuntungan lainnya adalah kesempatan pembelajaran
bersama atas keberhasilan pengelolaan KKP dalam satu jejaring.

03 MENERAPKAN STRATEGI
PEMANFAATAN PERIKANAN
DI SETIAP KKP
Strategi pemanfaatan perikanan (Harvest Strategy/HS) merupakan komponen
terpenting dari kerangka pengelolaan perikanan dalam seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Indonesia (WPP-RI), termasuk KKP. Setiap KKP harus memiliki strategi
pemanfaatan perikanan yang dituangkan dalam rencana pengelolaan perikanan
(RPP), yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dalam mengatur tingkat
eksploitasi serta mengendalikan aktivitas penangkapan dan jumlah tangkapan untuk
spesies ikan tertentu. Dalam hal ini, strategi pemanfaatan perikanan berfungsi sebagai
salah satu perangkat operasional untuk suatu RPP dan harus menjadi basis dari siklus
pengelolaan perikanan yang adaptif.

12 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Salah satu elemen dalam strategi pemanfaatan perikanan adalah penetapan Titik
Acuan (reference point) sebagai Strategi Pemanfaatan yang secara eksplisit
diamanatkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF
mengamanatkan Negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO)
untuk menerapkan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan,
diantaranya dengan mempertimbangkan ketidakpastian ukuran dan produktivitas
stok, titik acuan, serta kondisi stok berkaitan dengan titik acuan tersebut.

Salah satu metode yang digunakan dalam strategi pemanfaatan perikanan adalah
Harvest Control Rules (HCR) atau aturan pengendalian penangkapan. HCR
merupakan alat penting dalam pengelolaan perikanan modern dan juga merupakan
kebutuhan beberapa program sertifikasi ekolabel. HCR mengidentifikasi tindakan
pengelolaan yang disepakati sebelumnya terkait dengan status stok dan kondisi
ekonomi atau lingkungan lainnya terhadap angka acuan yang disepakati (Berger et al.,
2012).

Bentuk HCR akan tergantung pada instrumen pengelolaan yang digunakan dalam
perikanan. Jika pengendalian output yang digunakan, HCR akan menentukan tingkat
hasil tangkapan (misalnya kuota) untuk setiap tingkat stok. Bila pengendalian input
yang digunakan, aturan pengendalian akan menentukan tingkat input (antara lain
tingkat upaya penangkapan, batas ukuran, musim penangkapan, lokasi penangkapan)
untuk status stok tertentu. Aturan pengendalian penangkapan antara lain menyatakan
tindakan/langkah pengelolaan yang harus diambil pada saat tingkat fishing mortality
lebih tinggi daripada angka acuan dan/atau kelimpahan stok lebih rendah dari angka
acuan atau tingkat upaya penangkapan.

© IMANIAR PRATIWI / WWF-INDONESIA

Pencatatan hasil tangkapan nelayan dapat berguna untuk mengestimasi kondisi perikanan.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 13


04 MEMBERIKAN HAK EKSKLUSIF
PERIKANAN UNTUK MASYARAKAT
DAN NELAYAN LOKAL
Laut Indonesia yang memiliki sistem akses terbuka membuat siapapun masyarakat
Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya laut. Hal ini menyebabkan terjadi
kompetisi ruang antar nelayan lokal yang memiliki peralatan sederhana dengan
nelayan luar kawasan yang memiliki peralatan lebih canggih. Dalam suatu KKP,
dengan memberikan hak eksklusif perikanan untuk masyarakat dan nelayan lokal,
maka mereka akan memiliki keinginan lebih besar untuk melindungi ekosistem
pesisir. Ekosistem pesisir yang sehat dapat meningkatkan jumlah dan keberagaman
sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui perikanan, dan
pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Pemberian hak eksklusif ini bisa diintegrasikan dengan pengelolaan adat atau
tradisional yang telah berjalan di banyak tempat di Indonesia atau dijalankan
menggunakan skema pengelolaan berdasarkan Hak (Right Based Management).
Berdasarkan pembelajaran WWF-Indonesia di Koon, Seram bagian Timur, ketika
suatu kawasan hanya boleh dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu, maka
mereka akan lebih patuh terhadap peraturan dan mau terlibat dalam pemantauan dan
pengelolaan kawasan.

05 MENGIMPLEMENTASIKAN PRAKTEK
PENGELOLAAN YANG LEBIH BAIK
Berbagai bentuk strategi pengelolaan KKP di Indonesia telah dijalankan oleh banyak
pihak, dan selalu ada pembelajaran berguna untuk strategi pengelolaan di masa
depan. Dalam beberapa tahun belakangan, WWF-Indonesia secara kontinu
mendokumentasikan keberhasilan dan pembelajaran dari praktek-praktek
pengelolaan perikanan yang sudah diimplementasikan. Dokumen-dokumen praktek
pengelolaan yang lebih baik (better management practices) ini dapat langsung
dipraktekkan dan diadopsi oleh para pemangku kepentingan di Indonesia dalam
upaya pengelolaan perikanan di dalam KKP karena sudah teruji. Beberapa manfaat
dengan menerapkan praktek pengelolaan terbaik adalah mendorongkan pengelolaan
yang lebih efektif dan efisien, membantu mengurangi ancaman terhadap KKP dan
pengelolaan perikanan, mengurangi dampak terhadap lingkungan serta
meningkatkan kualitas dan nilai produk perikanan. Untuk informasi lebih lanjut
mengenai publikasi praktek pengelolaan yang lebih baik, silahkan kunjungi laman
www.wwf.or.id.

14 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Boks 3. Membangun jejaring KKP yang tangguh di Bentang
Laut Sunda Kecil

Bentang Laut Sunda Kecil/Lesser Sunda Seascape (LSS) terletak di bagian Selatan
Bentang Laut Sunda Banda dan menjadi kawasan penting karena memiliki tingkat
keanekaragaman hayati tinggi (Turak & DeVantier, 2012) dan merupakan jalur migrasi
berbagai mamalia laut (Kahn, 2003). Untuk mengoptimalkan fungsi 36 KKP tunggal
yang telah ada di kawasan ini dalam memaksimalkan perlindungan habitat dan
peningkatan ekonomi lokal, maka KemenKP menginisiasi untuk membentuk jejaring
KKP semenjak tahun 2014.

WWF-Indonesia memfasilitasi pembentukan jejaring KKP ini dengan melakukan


analisa spasial dengan mengacu kepada prinsip 3K+, yaitu Keterwakilan,
Keterulangan, Keterkaitan dan Efektivitas. Mengacu kepada hasil kajian spasial ini,
ditambah dengan beberapa konsultasi publik yang dilakukan, saat ini KemenKP sedang
mendorongkan pembuatan MoU antar pemerintah provinsi untuk menetapkan desain
jejaring KKP di kawasan ini.

Gambar 4. Jejaring 36 KKP di Bentang Laut Sunda Kecil yang meliputi Provinsi Bali,
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 15


06 MEMBANGUN MEKANISME
PENDANAAN BERKELANJUTAN
Susanto et al. (2015) mengemukakan bahwa pengelolaan KKP membutuhkan biaya
yang besar dan seringkali pengelolaan KKP menjadi terhambat di Indonesia
disebabkan oleh tiadanya pendanaan berkelanjutan. Sebagai bagian dari skema ini
terdapat beberapa alternatif pendanaan yang dapat didorongkan, yaitu: (1)
mengalokasikan sejumlah angka persentase tertentu dari APBN dan APBD provinsi/
kabupaten/kota, (2) mengalokasikan secara langsung dari pendapatan pengelolaan
KKP melalui Payment Ecosystem Services (PES), dll., (3) mencari pendanaan dari
sumber donasi lain seperti dari trust fund atau pihak swasta. Pengalaman
WWF-Indonesia bekerja di beberapa lokasi di Indonesia, mekanisme pendanaan
berkelanjutan yang saling menguntungkan dapat diterapkan ke pengusaha lokal. Para
perusahaan lokal di bidang perikanan, pariwisata atau lainnya harus menyediakan
pendanaan untuk pengelolaan KKP atau kompensasi untuk nelayan karena tidak
melakukan kegiatan penangkapan ikan di zona inti. Sebagai gantinya, para
perusahaaan memperoleh hak manfaat tertentu dari ekosistem terumbu karang yang
lebih sehat, seperti contohnya hak untuk menjadi tangan pertama dalam
mendapatkan ikan langsung dari dalam KKP atau komunitas nelayan, atau hak untuk
melakukan kegiatan pariwisata ramah lingkungan secara kontinu di lokasi-lokasi yang
memiliki keindahan alam.

07 MENDORONG TRANSFORMASI
PASAR PERIKANAN
Tidak dapat dielakkan bahwa pemanfaatan sumber daya laut sangat dipengaruhi oleh
permintaan dan tren global. Oleh karena itu, diperlukan upaya masif dari berbagai
pihak untuk mendorongkan terjadinya transformasi pasar untuk mengurangi
kerusakan sumber daya alam dan mengadopsi praktek-praktek ekonomi dan sosial
berkelanjutan. Berbagai inisiatif untuk mendorongkan transformasi pasar telah
dilakukan oleh banyak pihak. Untuk mendukung pendekatan ini, WWF-Indonesia
telah mendorongkan platform Seafood Savers (www.seafoodsavers.org) pada tahun
2009 untuk mempromosikan industri perikanan yang berkelanjutan dengan
meyakinkan ikan yang diproduksi, ditangkap diproses dan didistribusikan melalui
jaringan yang berkelanjutan, dari laut ke piring. Seafood savers juga memfasilitasi
produsen domestik ini dalam memenuhi permintaan produk makanan laut yang
ramah lingkungan yang terus meningkat dari pembeli baik di dalam maupun di luar
Indonesia. Selain itu, WWF-Indonesia juga telah mendorongkan platform Signing
Blue (www.signingblue.com) untuk meningkatkan permintaan terhadap pariwisata
ramah lingkungan dan mendukung KKP sebagai destinasi wisata.

16 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


08 MELAKUKAN PEMANTAUAN DAN
EVALUASI SECARA BERKALA
Untuk mendorong pengelolaan yang adaptif, pemantauan dan evaluasi dan
pembelajaran secara berkala perlu dijalankan karena berguna untuk mengecek
kemajuan pengelolaan, mengidentifikasi kegiatan yang berhasil dan yang belum
berhasil, dan mengeksplorasi dampak dari pengelolaan. Manfaat lainnya dari kegiatan
pemantauan dan evaluasi adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, mengurangi pelanggaran dan meningkatkan keefektivitasan
implementasi pengelolaan.

WWF-Indonesia telah mendukung KemenKP dalam menciptakan berbagai perangkat


pemantauan, evaluasi dan pembelajaran terkait pengelolaan kawasan, seperti
EKKP3K dan EAFM. Selain itu, WWF juga bekerjasama dengan jaringan mitra yang
lebih luas dalam mengembangkan perangkat-perangkat lainnya seperti perangkat
evaluasi dampak dari pengelolaan KKP, FIP/AIP, dll.

© FAKHRIZAL SETIAWAN / WWF-INDONESIA

Pemantauan dan evaluasi berkala akan dampak dari pengelolaan KKP sangat diperlukan.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 17


Boks 4. Penguatan sistem perlindungan lokasi perairan secara adat
yang diinisiasi oleh masyarakat melalui introduksi pengetahuan ekologis

Perlindungan lokasi perairan secara adat melalui larangan atau mitos telah dijalankan
oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia semenjak ratusan tahun lalu. Sistem
perlindungan ini cukup efektif untuk melarang masyarakat masuk ke lokasi tersebut
dan memanfaatkan sumber daya ikannya. Agar sistem perlindungan ini relevan dengan
perkembangan jaman dan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat, maka
introduksi pengetahuan ekologis pada masyarakat menjadi sangat penting.

Pembelajaran ini didapatkan dari pendampingan tim WWF untuk KOMUNTO


(Komunitas Nelayan Tomia) di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara mulai tahun
2008. Melalui pengenalan pengetahuan ekologis, masyarakat saat ini menyebut lokasi
perairan di sekitar desa yang dilindungi secara adat sebagai Bank Ikan untuk
menggambarkan fungsi wilayah dimana mereka ‘menabung’ ikan, bukan sebagai lokasi
yang dilarang masuk karena bisa mendapatkan pamali. Lokasi yang dikenal masyarakat
setempat sebagai Pasi Keawa, Ujua Tondo, dan Ou La Malaju ini adalah lokasi yang
mereka ketahui sebagai tempat ikan berkembang biak. Tidak ada sanksi bagi yang
melanggar upaya perlindungan ini namun pendekatan persuasif yang masif antara
sesama nelayan telah terbukti mampu mencegah terjadinya pelanggaran kesepakatan
perlindungan ini.

Upaya yang dibangun hampir satu dekade lalu telah menunjukkan hasil positif.
Pertama, hasil tangkapan di sekitar lokasi bank ikan menjadi lebih banyak. Kedua, saat
cuaca buruk mereka punya lokasi tangkapan yang dekat dengan kampung, sehingga
tidak perlu mengambil resiko memancing ke lokasi tangkapan yang lebih jauh jaraknya.
Upaya ini diapresiasi oleh PBB melalui UNDP dengan memberikan penghargaan
Equator Prize kepada KOMUNTO di tahun 2010. Upaya ini juga mendorong
dibangunnya Bank Ikan di perairan desa Onemay dan desa Kulati pada tahun 2012
dengan menganut sistem yang sama. Balai Taman Nasional Wakatobi juga mengakui
sistem ini bermanfaat dalam membantu pengelolaan kawasan konservasi dan menjadi
satu praktek cerdas yang dipromosikan oleh Forum Kawasan Timur Indonesia untuk
dapat diadopsi oleh kelompok-kelompok nelayan lain di Indonesia.

18 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


INTEGRASI KKP Di negara berkembang seperti Indonesia,
ketahanan pangan laut merupakan hal krusial

DENGAN EAFM untuk pemenuhan protein hewani sebagian


besar masyarakat pesisir. Namun, ketersediaan

SECARA TERPADU: pangan laut telah menjadi kekhawatiran banyak


pihak terutama karena besarnya tingkat

SEBUAH ancaman terhadap ekosistem pesisir akibat


aktivitas manusia. Oleh karena itu, produktivitas

KESEMPATAN perikanan di banyak lokasi di Indonesia menjadi


tidak optimal karena rusaknya habitat biota laut
sehingga berakibat pada rendahnya nilai
ekonomi lokal.

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi


Sumber Daya Ikan, pemerintah harus melaksanakan pengelolaan terhadap sumber
daya perikanan secara berkelanjutan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman sumber daya ikan. Sebagai salah satu upayanya, semenjak tahun
2011, Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan kerangka kerja
Pengelolaan Perikanan berbasis Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to
Fisheries Management/EAFM). Tujuan EAFM adalah untuk merencanakan,
membangun dan mengelola perikanan sedemikian rupa agar dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan masyarakat saat ini, tanpa mengurangi manfaat dari jasa
dan produk lingkungan laut bagi generasi mendatang (Ministry of Marine Affairs and
Fisheries, et al., 2011). EAFM dijalankan di 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) di Indonesia.

Mengacu kepada FAO (2003), prinsip utama dari EAFM adalah: (1) perikanan harus
beroperasi dengan cara yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem;
(2) interaksi ekologi antara spesies target perikanan dengan habitatnya harus dijaga;
(3) pendekatan pengelola harus sesuai dengan distribusi dan dinamika populasi
spesies target; (4) pengambilan keputusan harus mengadopsi pendekatan
kehati-hatian; dan (5) baik faktor ekologi maupun sosia-ekonomi harus
dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan perikanan.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 19


Berdasarkan prinsip utama EAFM tersebut, KKP sebenarnya menjadi alat yang tepat
dan dapat diintegrasikan kepada pengelolaan perikanan EAFM. Jejaring KKP di tiap
WPP dapat melindungi berbagai habitat penting termasuk daerah pemijahan, daerah
asuhan, daerah mencari makan dan tumbuh ikan-ikan target perikanan, sehingga
ikan-ikan tersebut dapat tumbuh besar dalam jumlah banyak dan dapat menyebarkan
sejumlah larva ke daerah-daerah penangkapan ikan. Oleh karena itu, KKP dapat
berfungsi selain untuk memulihkan perikanan juga dapat mendorongkan laju
produktivitas perikanan, apabila sistem pengelolaan KKP dan EAFM dapat dijalankan
secara terintegrasi, dan akan menjadi lebih optimal apabila dilengkapi oleh strategi
pemanfaatan perikanan.

© VERONICA LOUHENAPESSY / WWF-INDONESIA

KKP dapat memulihkan perikanan dan mendorong produktivitas perikanan di masyarakat.

20 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


DAFTAR PUSTAKA
BIG, 2016b. Pentingnya Informasi Geospasial untuk Menata Laut Indonesia.[Online]
Available at: http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/pentingn
ya-informasi-geospasial-untuk-menata-laut-indonesia
[Diakses 19 November 2016].
BIG, 2016a. [Online]
Available at: http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-me
miliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat
[Diakses 19 November 2016].
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M. & Perry, A., 2012. Reef at Risk Revisited in the Coral
Triangle. Washington, USA: World Resource Institute.
Chapman, M. R. & Kramer, D. L., 1999. Gradients in coral reef fish density and size
across the Barbados Marine Reserve boundary: effects of reserve protection and
habitat characteristics. Marine Ecology Progress Series, Volume 181, pp. 81-96.
Gell, F. R. & Roberts, C. M., 2003. Benefits beyond boundaries: the fishery effects of
marine reserves. Trends in Ecology & Evolution, Volume 18, pp. 448-455.
Green, A., White, A. & Kilarski, S., 2013. Designing Marine Protected Area Networks
to Achieve Fisheries, Biodiversity, and Climate Change Objecives in Tropical
Ecosystems: A practitioner guide, Cebu City, Philippines: The Nature
Conservancy, and the USAID Coral Triangle.
Halpern, B. S., 2003. The impact of marine reserves: do reserves work and does reserve
size matter?. Ecological Applications, 13(sp1), pp. 117-137.
Handayani, C., Daniel, D. & Estradivari, 2015. Identifikasi potensi kawasan konserva
si perairan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat berdasarkan analisis
Marxan. Yogyakarta, Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV.
Harrison, H. B., Williamson, D. H. & Evans, R. D., 2012. Larval export from marine
reserves and the recruitment benefit for fish and fisheries. Current Biology,
Volume 22, pp. 1023-1028.
How to choose marine reserve. 2014. [Film] Disutradarai oleh Jennifer McGowan,
Hugh Possingham. Australia: The University of Queensland and EDX.
Kahn, B., 2003. Solor-Alor Visual and Acoustic Cetacean Surveys: Interim Report
April - May 2003 Survey Period, Kupang: The Nature Conservancy.
Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016a. rafik Produk Domestik Bruto (PDB)
Sektor Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2016 (Miliar Rupiah). In:
GRAFIK PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) SEKTOR PERIKANAN ATAS
DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2016 (MILIAR RUPIAH) (ed.). Jakarta:
Kementrian Kelautan dan Perikanan.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 21


Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016b. Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan.
[Online] Available at: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php [Diakses 21
November 2016].
Krüeck, N. C., Ahmadia, G.N., Green A., Jones, G.P., Possingham H. P., Riginos, C.,
Terml, E. A. & Mumby, P.J., 2017a. Incorporating larval dispersal into MPA
design for both conservation and fisheries. Ecological Applications, 9(0), pp.
1-17.
Krüeck, N. C. Ahmadia, G.N., Possingham H. P., Riginos, C., Terml, E. A. & Mumby,
P.J., 2017b. Marine reserve targets to sustain and rebuild unregulated fisheries.
PLoS Biol 15(1): e2000537.doi: 10.1371/journal.pbio.2000537.
Kuempel, C. D., McGowan, J., Estradivari, Handayani, C., Daniel, D. & Possingham,
H. P., 2017. Identifying conservation priority gaps in the Sunda Banda
Seascape, Indonesia, Jakarta (in prep): WWF-Indonesia.
LIPI, 2016. Inilah Status Terumbu Karang Indonesia Terkini. [Online]
Available at: http://lipi.go.id/berita/inilah-status-terumbu-karang-
indonesia-terkini/15024
[Diakses 11 February 2017].
Ministry of Marine Affairs and Fisheries, WWF-Indonesia & Bogor Agricultural
University, 2011. Ecosystem Approach to Fisheries Management in Indonesia:
establishing indicators and preliminary assessment of EAFM performance.
Jakarta: Coral Triangle Support Partnership.
Mumby, P. J., Harborne, A.R., Williams, J., Kappel, C.V., Brumbaugh, D.R.,
Micheli, F., Holmes, K. E., Dahlgreen, C.P., Paris, C. B. & Blackwell, P.G., 2007.
Trophic cascade facilitates coral recruitment in a marine reserve. PNAS,
104(20), pp. 8362-8367.
PISCO, 2007. The Science of Marine Reserves (2nd Edition, United States Version).
Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans.22.. s.l.:
www.piscoweb.org.
PISCO, 2011. The science of marine reserves , Europe: www.piscoweb.org.
Reuchlin-Hugenholtz, E. & McKenzie, E., 2015. Marine protected areas: Smart
investments in ocean health. Gland, Switzerland: WWF.
Susanto, H. A., Suraji & Tokeshi, M., 2015. Management of coral reef ecosystems in
Indonesia: past, present and the future. Coastal Ecosystems, Volume 2, pp.
21-41.

22 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


Turak, E. & DeVantier, L., 2012. Keragaman Spesies dan Prioritas Konservasi
Terumbu Karang di Propinsi Bali, Indonesia. Dalam: P. L. Mustika, I. M. Ratha
& S. Purwanto, penyunt. Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011
(Edisi Kedua Bahasa Indonesia). RAP Bulletin of Biological Assessment 64..
Denpasar: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Balai Riset dan, pp.
82 - 135.
UNEP, 2006. orals and Mangroves in the Front Line. In: UNITED NATIONS
ENVIRONMENT PROGRAMME (ed.) Economic Case for Conservation of
Corals and Mangroves Made in New UN Environment Report.. Paris/Nairobi:
United Nations environment Programme.
UNEP-WCMC, 2008. National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A
Review of Progress, Cambridge: UNEP-WCMC.
Weigel, J. Y., Mannle, K. O., Bennet, N.J., Carter, E., Westlund, L., Burgener, V.,
Hoffman, Z., DaSilva, A. S., Abou-Kane, E. Sanders, J., Piante, C. Wagiman, S.
& Hellman, A., 2014. Marine protected areas and fisheries: bridging the divide.
Aquatic Conservation, 24(s2), pp. 199-215.
Yulianto, I., Hammer, C., Wiryawan, B. & Palm, H. W., 2015. ishing-induced groupers
stock dynamics in Karimunjawa National Park, Indonesia. Fisheries Science ,
Volume 81, pp. 417-432.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 23


Laut kita dalam angka

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN


30%
17,98 juta ha
WWF merekomendasikan
untuk meningkatkan
luasan kawasan pesisir
dan laut yang dilindungi
mencapai 20-30% dari
total luas pesisir dan
Hingga Desember 2016, jumlah KKP di lautan
Indonesia mencapai 165 KKP dengan total
luasan 17,98 ha (Kementerian
Kelautan dan Perikanan, 2017)

1-10 km
US$387 JUTA
Menetapkan setidaknya
1–10 km diameter
zona inti dalam KKP
untuk melindungi
antara 20-30% spesies
Ekosistem pesisir dan laut ikan penting
Indonesia yang sehat, dapat
bernilai hingga US $387 juta
melalui perlindungan pantai
(Burke, et al., 2012)

Why we are here


To stop the degradation of the planet’s natural environment and
to build a future in which humans live in harmony with nature.

panda.org

© 1986 Panda symbol WWF – World Wide Fund For Nature (Formerly World Wildlife
Fund)® “WWF” is a WWF Registered Trademark. WWF, Avenue du Mont-Blanc,
1196 Gland,Switzerland – Tel. +41 22 364 9111 Fax +41 22 364 0332. For contact
details and further information, please visit our international website at www.panda.org

Anda mungkin juga menyukai