Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan

organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada

orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit

bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin.1,2,3

Kulit merupakan organ yang memiliki fungsi diantaranya adalah memungkinkan

bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh

(termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi

dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari

invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit

dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir,

puting dan ujung jari.1,2,3

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap

pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa

efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan

gatal.2

Salah satu jenis dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak adalah suatu

epidermodermitis yang disebabkan oleh bahan / zat yang berkontak dengan kulit. Secara

umum dermatitis kontak ada 2 macam, yaitu Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan Dermatitis

Kontak Iritan (DKI).4 Dermatitis kontak merupakan kelainan yang sering ditemui. Di

Amerika, angka kejadian dermatitis kontak sekitar 20% pada populasi umum. Pada populasi

1
geriatri, angka kejadian berkisar 11%, meliputi dermatitis kontak alergik (DKA) dan

dermatitis kontak iritan (DKI).5

DKI dalam patogenesisnya tidak melibatkan sistem imunologik atau non-imunologik.

Dermatitis Kontak Iritan adalah peradangan kulit yang non-imunologik yang disebabkan

kontak kulit dengan bahan yang bersifat iritan secara fisis dapat merusak kulit, antara lain

bahan-bahan alkali, asam dan lain-lain. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan kulit

tanpa didahului reaksi alergi yang membedakan dengan Dermatitis Kontak Alergi yang

merupakan reaksi imunologik.4

Berdasarkan hal tersebut di atas dan sulitnya membedakan antara Dermatitis Kontak

Iritan terhadap Dermatitis Kontak Alergi, maka pada referat ini akan lebih dibahas lebih detail

lagi tentang Dermatitis Kontak Iritan.

2
BAB II

DERMATITIS KONTAK IRITAN

A. DEFINISI

Dermatitis kontak adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang disertai dengan

adanya spongiosis/edema interseluler pada epidermis yang disebabkan oleh bahan/substansi

yang menempel pada kulit. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit

nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.2,3

Selain itu dermatitis kontak iritan juga biasa disebut dermatitis kontak toksik. Dimana

adalah suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan kontaktan eksterna melalui proses

toksik yang sering disebabkan oleh iritan primer seperti asam dan basa kuat, serta pelarut

organik.6

B. EPIDEMIOLOGI

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,

ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat.

Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, terutama yang

berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun angkanya secara tepat sulit

diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan yang

tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.2

Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa

249.000 kasus penyakit okupasional non fatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin

15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk

semua penyakit okupasional. Juga berdasarkan survei tahunan dari institusi yang sama, bahwa

3
incident rate untuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90

- 95 % dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit

didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.7,8

Prevalensi dermatitis kontak di Indonesia sangat bervariasi. Menurut Prasetyo (2009),

penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar 92,5%, sekitar 5,4%

karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Pada studi epidemiologi,

Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana

66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi

(Hudyono, 2002). Di Bandar Lampung sendiri, sekitar 63% kejadian dermatitis kontak

menurut survailence tahunan yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Badar Lampung pada

tahun 2012 dan menjadi peringkat pertama penyakit kulit yang paling sering dialami (Dinkes,

2012).9

Dermatitis kontak iritan dapat terjadi pada semua umur pada laki-laki maupun

perempuan. Pada orang dewasa, dermatitis kontak iritan sering terjadi pada telapak tangan

dan punggung tangan, karena dermatitis kontak iritan sering berkaitan pekerjaan. Muka dapat

terkena oleh bahan yang menguap (ammonia).3

C. ETIOLOGI

Dalam penelitian Racheva (Bulgaria, 2006), etiologi dermatitis kontak alergi yang

umum adalah deterjen, logam, karet aditif, parabens, antiseptik, formalin dan aroma,

sedangkan dengan dermatitis kontak iritan adalah sabun, deterjen lain dan partikel lateks.

Klarifikasi etiologi dan patogenesis terjadinya dermatitis kontak adalah sangat penting untuk

pendekatan terapi yang akurat, serta untuk profilaksis dibenarkan dan efisien untuk setiap

kasus konkret.10

4
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan

lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan, antara lain:7

Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk :

1. Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,

polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan;

2. Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan

serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya;

3. Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik

seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembaban lingkungan yang rendah dan

suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit

lebih rentan pada bahan iritan.7

a. Faktor Endogen, antara lain:

1. Faktor Genetik

Terdapat hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu

untuk mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim antioksidan, dan

kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein semuanya

dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon

tubuh terhadap bahan-bahan iritan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap

kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan.7

Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi

kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan

sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.11

2. Jenis Kelamin

Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan

wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis

5
kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan

iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki.2,7

Wanita lebih sering melaporkan penyakit kulit dibandingkan laki-laki, dan

studi epidemiologi eksim tangan menunjukkan bahwa mereka lebih sering terkena.

Hal ini terutama berlaku dari kelompok usia yang lebih muda, di mana banyak

pekerjaan yang didominasi perempuan melibatkan paparan kerja basah. Mereka

tidak muncul untuk menjadi lebih rentan terhadap iritasi kulit daripada pria, dan

perbedaan-perbedaan ini mungkin berhubungan dengan perbedaan eksposur antara

kedua jenis kelamin. Kulit perempuan, bagaimanapun, mungkin lebih reaktif

dalam fase siklus pramenstruasi. Dalam kelompok individu besar, penggunaan tes

patch telah menunjukkan laki-laki menjadi lebih sensitif daripada wanita.11

3. Umur

Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan

kimia dan bahan iritan lewat kulit. Beberapa studi yang menunjukkan bahwa tidak

ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya umur.

Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit

yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak

kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda.7

Meskipun kulit sangat muda biasanya dianggap lebih rentan, ada sangat sedikit

bukti untuk mendukung ini, kecuali mungkin di neonatus atau bayi prematur.

Diperkirakan bahwa stratum korneum tidak fungsional saat dewasa sampai usia

kehamilan sekitar 32 minggu. Reaksi terhadap beberapa bahan iritan berkurang

pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon inflamasi dan Trans-Epidermal Water

Loss (TEWL), dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi perkutaneus.11

6
4. Suku

Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi

berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit

diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-

satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada

kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan

daripada kulit putih.7

5. Lokasi Kulit

Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,

sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan

terhadap dermatitis kontak iritan.7 Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan

lebih resisten.7,11

6. Riwayat Atopi

Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis

iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan

peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi

kulit, lemahnya fungsi pertahanan, danlambatnya proses penyembuhan.7 Pada

pasien dengan dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas

ketika terpajan oleh bahan iritan.

D. PATOGENESIS

Dermatitis Kontak Iritan adalah peradangan kulit yang non-imunologik yang

disebabkan kontak kulit dengan bahan yang bersifat iritan secara fisis dapat merusak kulit,

antara lain bahan-bahan alkali, asam dan lain-lain.4 Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak

membran lemak (lipid membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel

7
dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti.2 Pada dermatitis kontak iritan terjadi

kerusakan kulit tanpa didahului reaksi alergi.4

Mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan hanya sedikit diketahui, tetapi sudah

jelas terjadi kerusakan pada membran lipid keratisonit. Dalam beberapa menit atau beberapa

jam bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom,

mitochondria dan komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid, maka enzim

fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG),

pletelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3) yang selanjutnya berfungsi membebaskan

prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan

permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin.2,4,12

Kerusakan membran sel juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan

sel Mast yang selanjutnya akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin sehingga

terjadi aktifasi platelets sehingga terjadi jendalan yang akan menutup kerusakan dan terhadap

vaskuler terjadi vasodilatasi. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan

keluarnya mediator-mediator tanpa melalui proses sensitisasi.12

Diagliserida (DAG) dan Inositida (IP3) akan mempengaruhi terbentuknya protein

yang mengakibatkan timbulnya IL-1 (Interleukin-1) dan GM-CSF (Granulocyte Macrophage

Colony Stimulating Factor). IL-1 akan mengaktivasi sel limfosit T helper sehigga akhirnya

terbentuk IL-2 dan reseptor bagi IL-2 pada permukaan sel T limfosit. Proses ini akhirnya akan

merangsang keratinosit untuk berproliferasi dan seperti kita ketahui keratinosit akan

memproduksi ICAM-1 (Intra Cellular Adhesion Molecule) dan HLA-DR (Human Leucocyte

Anti gent DR), PGs dan LTs bersifat sebagai kemoatraktan yaitu menarik sel-sel netrofil dan

limfosit dan juga mengaktifkan sel mast sehigga terbentuklah histamin, LTs, PGs, PAF yang

akan menimbulkan perubahan pada pembuluh darah. Timbulnya inflamasi ini kita kenal

sebagai dermatitis kontak iritan.4 Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan

8
TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,

menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.2

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat

terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan

lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan

kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan

kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.2

E. GAMBARAN KLINIS

Kulit mampu bertahan terhadap serangan kimiawi hingga derajat yang cukup besar,

tetapi jika trauma ini berkepanjangan atau bahan kimia yang terlibat sangat “keras” maka

dapat timbul dermatitis iritan. Hal ini terjadi lebih cepat pada sebagian pasien, sering karena

kecenderungan endogen mengalami eksim. Dermatitis iritan jauh lebih mengganggu pada

mereka yang memiliki riwayat dermatitis atopik. Sering diperlukan cedera berulang-ulang

selama periode tertentu untuk menimbulkan reaksi, tetapi sekali proses dimulai, remisi dapat

berlangsung singkat diikuti oleh perburukan yang cepat. Dermatitis tangan akibat pekerjaan

sering membaik setelah pasien beberapa waktu tidak bekerja, tetapi kambuh ketika ia kembali

masuk kerja.13

Menetapnya dermatitis dapat sangat mengganggu kualitas hidup dan dapat

mengancam kemampuan pasien melaksanakan tugas-tugas tertentu.13 Reaksi kontak iritan

adalah reaksi inflamasi kulit terhadap agen eksternal, meskipun mediator inflamasi dan

imunologi dapat diaktifkan, tidak ada reaksi antigen - spesifik yang terlibat. Iritasi

menghasilkan berbagai respon dari kulit yang tidak selalu eczematous. Ini bisa berkisar dari

sensasi murni subjektif, seperti menyengat, perih, terbakar, atau sensasi dari kekeringan dan

sesak. Dermatitis kontak iritan memiliki spektrum klinis, mulai dari kekeringan sedikit,

9
kemerahan atau pecah-pecah melalui berbagai jenis dermatitis eczematous ke luka bakar

kaustik akut. Iritasi juga dapat menembus kulit melalui struktur appendageal dan

menyebabkan folikulitis dan jenis-jenis reaksi lainnya.11

Mekanisme yang terlibat dalam fase akut dan kronis dari dermatitis kontak iritan pada

dasarnya berbeda. Reaksi akut melibatkan kerusakan sitotoksik langsung ke keratinosit.

Dermatitis kontak iritan kronis berasal dari eksposur berulang yang menyebabkan kerusakan

lambat untuk membran sel, mengganggu barrier kulit dan menyebabkan denaturasi protein

dan toksisitas seluler.8 Sehingga dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan

kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga

banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.2

Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan

dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:2

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.

Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam

hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida.2 Dermatitis iritan

kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan bahan-bahan iritan kuat tersebut.3

Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi

sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada kontak

kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema,

bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya

asimetris.2

10
DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.8

2. Dermatitis Kontak Iritan Akut Lambat

Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8

sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI

akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium

klorida, dan asam hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu

serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa

pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi

vesikel atau bahkan nekrosis.2,7,8

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)

Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi. Disebabkan oleh iritan lemah

(seperti air, sabun, sampo, detergen, dll) dengan pajanan yang berulang-ulang dengan

iritan lemah (faktor fisis, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas

atau dingin, juga bahan misalnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air).

DKI kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu

11
bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru

mampu bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru nyata setelah kontak

berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu

dan rentetan kontak merupakan faktor penting.2

Eksposur berulang dari toksik atau concentrations subtoxic yang merupakan

agen pemicu biasanya berhubungan dengan gangguan kronis fungsi barrier yang

memungkinkan toksik menembus ke dalam kulit dan menimbulkan respon inflamasi

kronis; misalnya, setelah pemaparan berulang dari deterjen alkali dan pelarut organik,

yang jika diterapkan hanya sekali untuk kulit normal, tidak menimbulkan reaksi.

Cedera (misalnya, menggosok berulang kulit), perendaman berkepanjangan dalam air,

atau kontak kronis yang berulang, kumulatif fisik trauma-gesekan, tekanan, lecet pada

individu yang terlibat dalam pekerjaan manual (DKI traumatis).8

Gejala berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun kulit akan

menjadi tebal (hyperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung

akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fissura), misalnya pada kulit tukang cuci

yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya

rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa

kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah

dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. DKI kumulatif sering ditemukan di

tangan karena berhubungan dengan pekerjaan.2

12
DKI Kronis dengan eksaserbasi akut pada ibu rumah tangga.8

4. Reaksi Iritan

Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa

skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum dari

tangan dan jari. Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis biasanya hal ini

terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan

pekerja logam dalam beberapa bulan pertama pelatihan. Umumnya reaksi iritasi dapat

sembuh sendiri, menimbulkan penebalan kulit (skin hardening) atau dapat menjadi

DKI kumulatif.2,7,8

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)

Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah trauma akut pada kulit seperti panas

atau laserasi. Gejala seperti dermatitis numularis, biasanya terjadi penyembuhan

sekitar 6 minggu atau lebih lama. Pada proses penyembuhan akan terjadi eritema,

skuama, papul dan vesikel. Paling sering terjadi di tangan.2,7

13
6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous

DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan

fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis. Juga disebut reaksi

suberitematous, pada tingkat awal dari iritasi kulit, kerusakan kulit terjadi tanpa

adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat secara histologi.2,7

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)

Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa tersengat,

rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan, biasanya terjadi di daerah

wajah, kepala dan leher, asam laktat biasanya menjadi iritan yang paling sering

menyebabkan penyakit ini.2,7

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)

Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan

yang berulang.2,7 DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah,

dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang

terkena gesekan.2 DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali

terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak

gatal.7

14
DKI Gesekan.

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform

Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform, biasanya dilihat setelah

pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah penggunaan beberapa

kosmetik, reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril dan transien, dan dapat

berkembang beberapa hari setelah pajanan, tipe ini dapat dilihat pada pasien dermatitis

atopi maupun pasien dermatitis seboroik.7

DKI Akneiform

15
10. Dermatitis Asteatotik

Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa

menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama

ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.2,7

DKI Asteatotik.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan

pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya

lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya. Sebaliknya, DKI

kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit

dibedakan dengan DKA, selain anamnesis, juga perlu dilakukan beberapa pemeriksaan

penunjang untuk lebih memastikan diagnosis DKI.2

Diagnosis biasanya tidak jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis

saja. Anamnesis dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji temple (patch test), memberikan

kontribusi bermakna dalam menegakkan diagnosis. Meskipun mendapatkan informasi yang

16
relevan mudah pada sebagian pasien, faktanya diagnosis secara tepat membutuhkan rangkaian

pertanyaan yang panjang dan teliti untuk mendapatkan petunjuk yang diperlukan. Anamnesis

teliti dan terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi intensitas, frekuensi, dan lama

pajanan pada area yang terpajan. Suatu iritan pada saat yang bersamaan dapat pula bersifat

sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat meningkatkan kejadian DKA.

Hal tersebut terjadi akibat adanya gangguan fungsi sawar kulit yang terjadi sebelumnya akan

meningkatkan penetrasi alergen. Fenomena ini menyebabkan diagnosis dermatitis kontak

menjadi masalah yang menarik dan kompleks.5

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Histopatologik

Dalam histopatologi DKI akut, ditemukan nekrosis sel epidermis, neutrofil,

vesiculation, dan nekrosis. Dalam DKI kronis, ditemukan acanthosis,

hiperkeratosis, dan infiltrat limfositik.8

2. Patch test merupakan pemeriksaan gold standard dan digunakan untuk

menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk

mendiagnosis DKA.7,8

Terdapat 2 cara yaitu terbuka dan tertutup, dengan prinsip menempelkan alergen

yang dicurigai sebagai penyebab pada kulit dalam waktu 24 sampai 48 jam, bila

positif (sebagai allergen penyebab) akan terjadi dermatitis.14

Patch test dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk

pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam

berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik (negatif), maka

dapat didiagnosis sebagai DKI.7,8

17
H. DIAGNOSIS BANDING

1. Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak alergi (DKA) dapat terjadi karena kulit terpajan atau

berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer (allergen).7 Istilah ini

digunakan untuk menyebut hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat, seluler) terhadap

allergen lingkungan.13

18
Menurut penelitian, laju insidensi dermatitis kontak akibat kerja sebesar 65%

per seratus karyawan, dengan angka prevalensi sebesar 74% perseratus karyawan.

Sedangkan bila dilihat dari perjalanan penyakitnya, maka penderita dermatitis akut

26%, subakut 39%, dan kronik 9%. Faktor yang paling utama mempengaruhi

terjadinya dermatitis akibat kerja karena kontak dengan bahan kimia adalah

pemakaian APD berupa sarung tangan yang tidak sesuai untuk jenis bahan kimia yang

digunakan.15

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja adalah

adanya kontak dengan bahan kimia, lama kontak, dan frekuensi kontak. Faktor umur,

riwayat atopi, kebiasaan mencuci tangan, suhu dan kelembapan udara tidak

mempunyai pengaruh yang signifikan.15

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokasinya. Pada yang akut di mulai dengan bercak

eritematosa berbatas jelas, kemudian di ikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.

Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di

tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih

dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,

likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan kulit dibedakan

dengan dermatitis kontak iritan kronis, mungkin juga penyebabnya campuran.2,4

DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi.

Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.2

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis

yang teliti. Daerah yang dikenai sesuai dengan jenis bahan atau zat yang berkontak

dengan kulit. Keluhan yang utama adalah gatal. Daerah yang sering atau dapat di

19
kenai DKA adalah: tangan dan lengan bawah, kaki, muka, leher, pinggang, amme,

telinga dan lain-lain.4

Pembantu diagnosis, tes transforasi limfosit (lymphocyte transformation test)

dan test inhibisi migrasi magrofag (magrophage migration inhibition test). Diagnosis

pasti ialah dengan pemeriksaan test tempel (patch test).4

DK alergik akibat plester. Kelainan kulit berbatas tegas, bentuk sesuai dengan bentuk

penyebab, dengan efloresensi yang polimorfi terdiri atas eritema, papul, vesikel dan bula.14

2. Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik (DA) kadang-kadang disebut juga eksim susu, adalah

penyakit kulit yang kronis residif. Merupakan dermatitis tersering dijumpai pada anak.

Penyebab utama adalah kulit kering yang menyebabkan barier kulit rusak, selain itu

berbagai faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi perkembangannya.

Walaupun etiopatogenesis belum semuanya jelas, namun sebagian mekanisme

imunopatogenesis DA telah dapat dijelaskan, yaitu hasil interaksi faktor genetik (IgE)

yang bereaksi spesifik terhadap alergen lingkungan.14

20
Alergen makanan yang sering ditemukan adalah susu sapi, telur, ikan laut,

kacang tanah, tomat, jeruk, dan coklat. Bahan alergen hirup, misalnya debu rumah,

tungau debu rumah, serbuk sari bunga/tanaman (polen), dan bulu binatang. Kolonisasi

Staphylococcus aureus sekitar 74% ditemukan pada kulit pasien DA dan berkorelasi

dengan derajat beratnya DA.14

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis

berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.

Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering

merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.2

Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi

umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk

sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi,

eritema, erosi, eskoriasi, eksudasi, dan krusta.2

Tidak ada tes diagnostik khusus untuk AD. Diagnosis gangguan tersebut

berdasarkan kriteria tertentu yang mempertimbangkan riwayat pasien dan manifestasi

klinis. Meskipun berbagai kriteria diagnostik untuk AD telah diusulkan dan disahkan,

penerapan banyak kriteria ini memakan waktu dan memerlukan pengujian invasif.

Tabel 1 memberikan kriteria yang disederhanakan yang diusulkan oleh Williams et al.

yang mudah digunakan, tidak memerlukan pengujian invasif, dan telah terbukti

memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas untuk diagnosis AD. Menggunakan

kriteria ini, diagnosis AD membutuhkan kehadiran kondisi kulit gatal (atau orangtua

laporan / pengasuh dari menggaruk atau menggosok pada anak) ditambah tiga atau

lebih kriteria minor, yang bervariasi tergantung pada usia pasien.16

21
Manifestasi klinis AD bervariasi dengan usia. Pada bayi, kulit kepala, wajah,

leher, batang dan ekstensor (luar) permukaan ekstremitas umumnya terpengaruh,

sementara wilayah popok biasanya terhindar. Anak-anak biasanya memiliki

keterlibatan permukaan lentur ekstremitas (yaitu, lipat / tikungan di siku dan belakang

lutut), leher, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pada masa remaja dan dewasa,

permukaan lentur ekstremitas, tangan dan kaki biasanya terpengaruh. Tanpa

memandang usia, gatal yang terkait dengan AD umumnya berlanjut sepanjang hari

dan memburuk pada malam hari, yang menyebabkan tidur kerugian dan gangguan

substansial dalam kualitas hidup.16

Sulit untuk mengontrol dermatitis atopik (AD) yang menyajikan tantangan

terapeutik dan seringkali memerlukan kombinasi pengobatan topikal dan sistemik.

Pengobatan anti-inflamasi dari AD kronik paling umum termasuk glukokortikosteroid

topikal dan antagonis kalsineurin topikal digunakan untuk manajemen eksaserbasi dan

22
lebih baru-baru ini untuk terapi proaktif dalam kasus-kasus tertentu. Kortikosteroid

topikal tetap andalan terapi, topikal inhibitor kalsineurin tacrolimus dan pimecrolimus

lebih disukai di lokasi tertentu. Pengobatan anti-inflamasi sistemik merupakan pilihan

untuk kasus-kasus refrakter parah. Kolonisasi mikroba dan superinfeksi berkontribusi

eksaserbasi penyakit dan dengan demikian membenarkan tambahan antimikroba /

pengobatan antiseptik. Antihistamin sistemik (H1) dapat meredakan pruritus tetapi

tidak memiliki efek yang cukup pada eksim. Terapi adjuvan termasuk radiasi UV

lebih dari UVA1 panjang gelombang.17

Dermatitis Atopik pada Infantil. Plak eritematosa difus dan kering pada pipi.14

Dermatitis pada Dewasa. Tampak hyperkeratosis dan likenifikasi.14

23
3. Dermatitis Numularis

Dermatitis numularis merupakan suatu bentuk dermatitis dengan efloresensi

berbentuk papul dan vesikel dengan dasar eritematosa, berbentuk mata uang (coin),

berbatas tegas, umumnya mengenai tungkai bawah. Jumlah lesi dapat satu atau lebih.

Tempat predileksi lain adalah badan, punggung tangan dan lengan bawah. Penyakit ini

cenderung kambuh, bahkan ada yang timbul terus menerus. Puncak awitan pada usia

55-65 tahun dan 15-25 tahun. Sering mengenai pasien dengan stigmata atopi, dan

diduga infeksi ikut berperan dengan ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus

dan mikrokokus pada lesi. Diagnosis berdasar gambaran klinis.14

Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal. Lesi akut

berupa vesikel dan papulovesikel (0.3-1.0 cm), kemudian membesar dengan cara

berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang

logam, eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah

terjadi eksudasi, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan. Penyembuhan

dimulai dari tengah sehingga terkesan menyerupai lesi dermatomikosis. Lesi lama

berupa likenifikasi dan skuama. Bila terjadi kekambuhan umumnya timbul pada

tempat semula. Lesi dapat pula terjadi pada tempat yang mengalami trauma

(Fenomena Kobner).2

24
Bercak seperti uang logam (coin lesion) berwarna merah dan basah,

merupakan gambara khas dermatitis numularis.2

I. PENATALAKSANAAN

Beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis

kontak iritan adalah sebagai berikut:

1. Bila lesi akut (kulit bengkak dan basah) dilakukan kompres dingin 3 kali sehari

selama 20-30 menit dengan larutan Burrowi dan kalium permagnant.3

2. Hal penting dalam pengobatan dermatitis kontak iritan adalah menghindari

pajanan bahan iritan baik bersifat mekanis, fisik, dan kimiawi dan memakai alat

pelindung diri bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan.

3. Kortikosteroid topikal

Efek topikal dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih

kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama

dari kortikosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum korneum.

25
4. Kortikosteroid sistemik

Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan pemberian

prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di tappering 10 mg.8

Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan antibiotik oral untuk mencegah

perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan,

glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin

mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis akibat iritan.11

J. PROGNOSIS

Prognosis untuk dermatitis iritan yang akut adalah baik jika iritan penyebab dapat

diidentifikasi dan dieliminasi. Prognosis untuk dermatitis iritan kumulatif atau dermatitis

iritan yang kronis ditangani seksama dan mungkin lebih buruk daripada dermatitis alergi.

Dengan latar belakang atopi, kurangnya pengetahuan tentang penyakit, diagnosis, dan

terapi yang terlambat merupakan faktor yang menyebabkan prognosis buruk. Dermatitis

post-occupational persistent telah terlihat pada 11% dari individu.8

26
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non imunologik pada

kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen

berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang

peranan penting pada penyakit ini. DKI dalam patogenesisnya tidak melibatkan sistem

imunologik atau non-imunologik.

Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan

dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu: Dermatitis Kontak Iritan Akut, Dermatitis Kontak

Iritan Lambat (Delayed ICD), Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif), Reaksi

Iritan, Reaksi Traumatik (DKI Traumatik), Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous,

Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD), Dermatitis Kontak Iritan Gesekan

(Friction ICD), Dermatitis Kontak Iritan Akneiform, dan Dermatitis Asteatotik

Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan

pengamatan gambaran klinis yang akurat, DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya

lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab terjadinya. DKI kronis

timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan

dengan DKA.

Hal penting dalam pengobatan dermatitis kontak iritan adalh menghindari pajanan

bahan iritan baik bersifat mekanis, fisik, dan kimiawi dan memakai alat pelindung diri bagi

mereka yang bekerja dengan bahan iritan. Prognosis untuk dermatitis iritan yang akut adalah

baik jika iritan penyebab dapat diidentifikasi dan dieliminasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Perdanakusuma, DS. Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka. Surabaya. Sept

2007: 1-4.

2. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Eds (Editors)

7th Ed. Jakarta. 2015: 156-65.

3. Roesyanto-Mahadi ID. Ekzema Dan Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit, Harahap M. Eds

(Editors) 1st Ed. Penerbit Hipokrates. Jakarta. 2000: 22-6.

4. Kedokteran Andalas. Penanganan Dermatitis Kontak Alergika. Majalah Kedokteran

Andalas. Juni 2004; 1(28): 2-7.

5. Sulistyaningrum SK, Widaty S, Triestianawati W, Daili ES. Dermatitis Kontak Iritan Dan

Alergik Pada Geriatri. Jakarta. 2011; 1 (38): 29-31.

6. Siregar, R.S. Penyakit Kulit Alergi. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005: 107-9.

7. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant Contact Dermatitis. Fitzpatrick’s Dermatology In

General Medicine 7th ed. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David

JL, Editors. New York: McGraw – Hill. 2008: 395-401.

8. Wolff K and Richard AJ. Eczema/Dermatitis. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of

Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw – Hill. 2009: 20-4, 26.

9. Prasetyo DA. Faktor - Faktor Yang Berhubunngan Dengan Dermatitis Kontak Iritan

Pada Tangan Pekerja Konstruksi Yang Terpapar Semen Di PT. Wijaya Kusuma

Contractors Tahun 2014. Jakarta. Juli 2014.

28
10. Racheva S. Etiology Of Common Contact Dermatitis. Journal Of IMAB. Bulgaria. 2006;

12(1): 22-4.

11. Wilkinson SM, Beck MH. Contact Dermatitis: Irritant. Rook’s Textbook Of

Dermatology 8th Edition. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, Editors. USA. 2010:

25, 25.6-8.

12. Suwondo A, Jayanti S, Lestantyo D. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Dermatitis Kontak Pekerja Industri Tekstil “X” Di Jepara. Jepara. 2010; 6(2):

94-6.

13. Graham-Brown R, Bourke J, Cunliffe T. Eksim. Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2011: 171.

14. Daili ES, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. PT Medical

Multimedia Indonesia. Jakarta. 2005: 11-2.

15. Nuraga W, Lestari F, Kurniawidjaja LM. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian

Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan

Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Cibitung. Des 2008; 12(2): 69.

16. Watson W, Kapur S. Atopic Dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.

Canada: BioMed Central. 2011; 7(1): 1-3.

17. Darsow U, Wollenberg A, Simon D, Taieb A, Werfel T, etc. Difficult To Control Atopic

Dermatitis. WAO Journal. Munich: BioMed Central. 2013; 6(6): 1-3.

29

Anda mungkin juga menyukai