Disusun Oleh:
Pembimbing:
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan
dari berbagai pihak. Sehingga penulis dapat menghadapi segala kesulitan yang ada
dan akhirnya dapat menyelesaikan penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu.
Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam
laporan ini, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat dan dapat memberi
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
3.2.2 Patofisiologi................................................................................. 31
3.3 Stres Emosional yang Berhubungan dengan Infeksi Virus Herpes ... 47
PENDAHULUAN
penting.Virus ini terdapat pada pasien yang imunokompromais dan dapat beradaptasi
mudah dengan host-nya. Terdapat 2 tipe infeksi HSV yakni HSV-1 yang dikaitkan
dengan penyakit pada orofasial dan HSV-2 pada penyakit genital (Eppy, 2017).
Pada rongga mulut tentunya infeksi HSV yang sering berkaitan adalah infeksi
rasa terbakar, dan kesemutan sering terjadi, diikuti timbulnya papul eritematosa yang
akhirnya menjadi pustular dan berulserasi. Umumnya, rekurensi terjadi kurang dari 2
kali setahun, akan tetapi dapat terjadi setiap bulan (Eppy, 2017).
ini terdapat pada 65% orang dewasa yang berusia lebih dari 70 tahun di United States
(Greenberg, 2008). Sekitar 75%-90% dari populasi manusia dewasa terinfeksi HSV.
Penularan terjadi melalui kontak dari sekresi mulut yang terinfeksi dengan mukosa
atau kulit dari orang yang rentan. Pada sebagian besar kasus infeksi primer, HSV-1
adalah kuman penyebab; namun, HSV-2, yang mempunyai tendensi menyerang kulit
di bawah
1
2
Infeksi HSV dapat tereaktivasi oleh beberapa faktor pemicu seperti paparan
(Lugito dan Pradono, 2014). Beberapa penelitian menduga stresor berupa fisik dan
psikologis dapat berdampak pada kelainan patofisiologi (Li et al., 2016). Stres
emosional sebagai salah satu pemicu infeksi HSV dapat terjadi akibat peningkatan
hormon stres yaitu horman kortisol yang dapat mereaktivasi virus herpes laten
mengakibatkan banyak komplikasi seperti superinfeksi bakteri dan jamur yang dapat
memperparah dan membahayakan keadaan pasien. Sebagai klinisi, kita dituntut untuk
mampu melayani pasien. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan diagnosa yang
Laporan kasus ini akan membahas mengenai kasus HSV-1 pada seorang
pasien laki-laki berusia 29 tahun yang datang ke Instalasi Penyakit Mulut Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2017 dengan keluhan terdapat
banyak sariawan semenjak 4 bulan lalu. Sariawan tersebut sakit dan hilang timbul,
.
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. AG
Umur : 29 tahun
Alamat : Bandung
Pekerjaan : Swasta
2.1.2 Anamnesis
hilang timbul sejak 4 bulan lalu, 1 minggu sebelum sariawan muncul 4 bulan yang
lalu, pasien mengalami demam. Sejak saat itu, sariawan hilang timbul dan
semakin banyak dan semakin parah. Sariawan terasa sakit saat pasien makan atau
minum. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien
mengaku sedang mengalami beban pikiran yang berat akibat pemutusan kontrak
kerja.
3
4
Hipertensi : YA/TIDAK
Asma/alergi : YA/TIDAK
Hamil : YA/TIDAK
Kontrasepsi : YA/TIDAK
Lain-lain : YA/TIDAK
Disangkal
Kelenjar Limfe
TMJ : TAK
Wajah : Simetris
Lain-lain : TAK
(+),Stain(-)
mm)
Frenulum : TAK
kekuningan,plakputih(diameter:3mm), dapat
dikerok
(diameter1-3mm)
ukuranbervariasi(diameter 1-3mm)
Status gigi
BUKAL
Peruba
CM CM V
han warna
LINGUAL
CP Z
BUKAL
7
Radiologi : TDL
Darah : TDL
Mikrobiologi : TDL
2.1.9 Diagnosis
- D/ Suspek infeksi HSV-1at regio mukosa bukal dekstra, lidah pada dorsal,
- Pro/ Kin mouthwash fls no I ( 3dd 10ml kumur dan kompres lidah)
2.2.1 Anamnesis
pada lidah sudah berkurang sakitnya, walaupun masih ada. Timbul sariawan baru
pada daerah amandel sehingga pasien jadi susah menelan diiringi dengan keluhan
susah tidur.
Kelenjar Limfe
Wajah : Simetris
Lain-lain :-
Kebersihan Mulut
kekuningan tepiirregular,warnaeritemadifus,
Frenulum : TAK
difus.
Hematologi:
b. Hematokrit 44.9 ᶟ
f. Index Eritrost
MCV 83.3 fL
MCH 26.7 pg
MCHC 32.1 ᶟ
2. Imunoserologi
2.2.5 Diagnosis
D/ Infeksi HSV-1
D/ Coated tongue
- Non Farmakologis :
15
1. OHI dan KIE (instruksi membersihkan gigi dan lidah dengan kasa yang
- Farmakologis
S 4 dd 1
S 3 dd 1 ac.
S 1 dd 1 ac.
2.3.1 Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol ke 2, keluhan sakit menelan sudah tidak ada,
teratur.
16
Hipertensi : YA/TIDAK
Asma/alergi : YA/TIDAK
Hamil : YA/TIDAK
Kontrasepsi : YA/TIDAK
Lain-lain : YA/TIDAK
Disangkal
Kelenjar Limfe
TMJ : TAK
Wajah : Simetris
Lain-lain : TAK
(+),Stain(-)
Frenulum : TAK
18
dorsal lidah
lidah kanan
Status gigi
BUKAL
Peruba
CM CM V
han warna
LINGUAL
CP Z
BUKAL
19
Radiologi :TDL
Darah :TDL
Mikrobiologi :TDL
2.3.8 Diagnosis
- PostCoated Tongue
- Pro/ OHI dan KIE (instruksi pembersihan gigi dan lidah dengan kassa
∫ 3 dd 1 a.c
∫ 1 dd 1 a.c
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Anatomi
1. Masticatory
2. Lining
Mukosa ini dapat berubah elastis dan dapat meregang untuk membantu
3. Special
23
24
Gambar 3.3 Lokasi anatomi dari 3 tipe lapisan mukosa pada rongga
mulut (Nanci, 2013)
3.1.2 Fungsi
Mukosa oral adalah lapisan yang berfungsi untuk proteksi, sensasi, dan
sekresi, dan beradaptasi secara histologis dalam lingkungan yang khas pada
rongga mulut. Mayoritas kavitas oral dilapisi oleh mukosa nonkeratin yang
lembut, lembab, lunak yang terikat secara longgar pada jaringan di bawahnya dan
yang terus mengalami pembelahan sel pada lapisan basal yang terdalam (Bruch
mulut yang mengalami tekanan cukup besar dari proses mastikasi adalah palatum
keras, dorsum lidah, dan gingiva. Area tersebut dilapisi dengan mukosa berkeratin
untuk memberikan proteksi terhadap friksi dan abrasi, serta terikat kuat pada
25
periosteum untuk mencegah kerusakan dari tekanan yang besar (Bruch and
Treister, 2010).
yang lebih dalam pada rongga mulut. Fungsi lainnya, antara lain sebagai organ
sensoris, aktifitas kelenjar, dan sekresi. Sebagai lapisan terluar, mukosa oral akan
melindungi jaringan rongga mulut dari lingkungan eksternal. Mukosa oral akan
melakukan proses adaptasi pada epitel dan jaringan ikat untuk menahan gaya
mekanis dan abrasi yang disebabkan aktifitas normal seperti mastikasi. Selain itu,
yang terjadi di rongga mulut. Dalam rongga mulut, reseptor akan berespon
terhadap suhu, sentuhan dan rasa sakit. Reseptor tertentu dalam rongga mulut juga
akan berespon terhadap kebutuhan akan air. Reflek seperti menelan, muntah, dan
salivasi juga diinisiasi oleh reseptor-reseptor pada mukosa oral (Nanci, 2013).
Secara anatomi dan fungsional, membran mukosa oral dibagi menjadi dua
lapisan, yaitu epitelium dan lamina propria atau korium. Komponen utama dari
epitelium oral adalah keratinosit, melanosit, sel Langerhan, dan sel Merkel (Field
dengan keratinisasi. Epitelium pada mukosa oral menunjukkan variasi pada proses
bentuk yang lebih polihedral dan mengalami keterikatan antar sel, yang disebut
juga dengan prickle cell layer (stratum spinosum). Pada mikroskop cahaya,
memberikan kekuatan pada epitelium. Saat sel pada stratum spinosum bermigrasi
ke permukaan akan terbentuk struktur yang lebih datar dan granular (stratum
mukosa oral berhubungan dengan fungsi jaringan tersebut. Pada mukosa normal,
epitelium non-keratin atau parakeratin terlihat pada mukosa bukal, dasar mulut,
dan ventral lidah, sementara epitelium ortokeratin terlihat pada palatum keras,
dorsal lidah, dan gingiva. Pada dorsal lidah terdapat struktur khusus yang berbeda
dengan permukaan mukosa oral lainnya karena adanya papilla, yaitu papilla
lapisan sel tunggal yang paling dekat dengan dermis. Lapisan sel ini merupakan
sel yang tunggal ini, dan terus menerus mengalami mitosis untuk memproduksi
28
sel baru. Ketika sel terbentuk, sel yang sudah ada akan terdorong ke superfisial
atas 8-10 lapisan sel. Sel pada lapisan ini memiliki banyak desmosom yang
mengikatkan antara satu sel dengan sel yang lainnya (Peckham et al., 2004).
terdiri atas 3-5 lapisan sel. Ketika sel berpindah ke atas, sel-sel ini akan
nukleus dan organel sitoplasma, dan berubah menjadi lapisan skuamosa berkeratin
terakhir. Lapisan ini terdiri atas sel-sel mati yang rata dan terisi oleh keratin yang
padat. Secara histologis sel-sel ini datar dan sulit terlihat. Pada larutan sodium
sebanyak 10-20 (atau bahkan 35) sel yang berbentuk kolom heksagonal. Lapisan
yang memodifikasi warna kulit dan membran mukosa. Sel Langerhans merupakan
sel dendritik yang berada dekat dengan kompleks basal pada epitelium oral. Sel
ini memiliki fungsi imunologis, yang beraksi sebagai sel yang memperlihatkan
2003).
29
Lamina propria (korium) pada membran mukosa oral terpisah dari lapisan
submukosa oleh suatu zona yang mengalami transisi. Pada korium dan submukosa
terdapat kelenjar saliva minor dan kelenjar sebasea pada kavitas oral.
bibir dan palatum posterior, sementara kelenjar sebasea paling banyak pada
mukosa bukal dan paling banyak memperlihatkan titik kuning (Fordyce’s spots).
Virus tidak memiliki dinding sel dan terdiri atas inti asam nukleat yang
diselubungi oleh protein yang terdiri atas subunit yang identik. Virus memiliki
dua tipe, yaitu virus DNA (asam deoksiribonukleat) dan RNA (asam ribonukleat).
sebagainya. Virus RNA yaitu rabies, measles, dengue, rubella, yellow fever,
poliomyelitis, HIV dan sebagainya. Pada infeksi virus, replikasi virus terjadi saat
Herpes simplex virus (HSV) adalah virus DNA yang besar yang sering
populasi orang dewasa di seluruh dunia (Marchi et al., 2017). Terdapat 80 jenis
manusia, yaitu termasuk herpes simpleks virus (HSV) -1 dan -2, varicella zoster
menginfeksi mukosa oral dan menyebabkan cold sore. Ini memiliki kemampuan
untuk tetap laten di neuron host seumur hidup, dan dapat diaktifkan kembali untuk
menyebabkan lesi pada atau di dekat tempat infeksi awal. Antibodi HSV-2
oral pada manusia. Infeksi virus herpes sering bersifat rekuren dan laten. Struktur
virus herpes berupa virus icosahedral yang memiliki selubung, berdiameter 180-
200 nm dan terdiri atas molekul DNA yang linear dan beruntai ganda (Gambar
3.3) (Samaranayake, 2008). Virus herpes memiliki struktur berupa inti internal
yang terdiri atas genome virus, sebuah nukleokapsid icosahedral, tegumen, dan
selubung lipid luar yang terdiri atas glikoprotein viral pada permukaannya yang
berasal dari membran selular inang (Greenberg, 2008). Virus herpes tidak stabil
dalam temperatur ruangan, dan cepat terinaktivasi oleh pelarut lipid seperti
alkohol dan disinfektan lainnya yang menyebabkan disrupsi selubung lipid luar
(Samaranayake, 2006).
31
3.2.1 Patofisiologi
infeksi laten di neuron. Infeksi HSV menyebabkan infeksi sitolitik, yaitu terjadi
perubahan patologi yang disebabkan oleh nekrosis sel yang terinfeksi disertai
sel yang terinfeksi, produksi badan inklusi intranuklear Cowdry tipe A, marginasi
kromatin, dan pembentukan sel raksasa berinti banyak. Inklusi awal sebenarnya
mengisi nukleus tetapi kemudian memadat dan dipisahkan oleh halo dari kromatin
pada tepi nukleus. Fusi sel menyediakan metode yang efisien untuk penyebaran
HSV dari sel ke sel bahkan saat ada antibodi penetral (Brooks et al., 2004).
Infeksi primer HSV ditularkan melalui kontak terhadap orang yang rentan
mukosa atau kulit yang luka untuk memulai infeksi (kulit yang utuh bersifat
resisten). Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring dan virus menyebar
melalui droplet pernapasan atau kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi.
Replikasi virus terjadi pertama kali di tempat infeksi. Virus kemudian menginvasi
ujung saraf lokal dan dibawa melalui aliran aksonal retrograd ke ganglion radiks
32
terjadi penyakit sistemik. Terkenanya organ yang tersebar luas dapat terjadi bila
Infeksi laten virus HSV terjadi ketika virus menetap di ganglion pada
stadium tidak bereplikasi; hanya sedikit gen virus yang diekspresikan. Stimulus
provokatif, termasuk cedera aksonal, demam, stres fisik atau emosional, dan
pajanan ultraviolet, dapat mengaktifkan kembali virus dari stadium laten. Virus
HSV menyebar dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung
dengan sekresi yang terinfeksi. Virus memasuki host melalui membran mukosa
atau kulit dan diangkut secara retrograde di sepanjang neuron sensorik perifer ke
ganglia dimana ia memasuki keadaan laten yang tidak berulang. Secara berkala,
HSV dapat diaktifkan kembali dari keadaan laten dan anterograde perjalanan di
sepanjang saraf sensorik perifer ke kulit atau situs mukosa. Penularan HSV secara
mucocutaneous berulang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan gejala yang
diketahui, namun pada kedua keadaan, virus dapat ditularkan (Brady, 2004).
33
Gambar 3.5 Siklus hidup herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) (Saksena et
al., 2018).
Sebagian besar infeksi bersifat subklinis. Gejala terutama terdiri dari lesi
meningitis aseptik dapat terjadi walaupun jarang, terutama pada host yang
HSV-1 dan HSV-2 merupakan dua tipe utama virus herpes yang diketahui
dapat menyebabkan infeksi oral dan perioral terbanyak. Kedua dapat dibedakan
dengan antibodi yang terbentuk untuk melawan tiap tipe virus atau melalui
Ada dua jenis HSV, HSV-1 dan HSV-2, keduanya ditransmisikan melalui
kontak langsung dengan sekresi yang terinfeksi. HSV-2 ditularkan secara seksual,
remaja dan orang dewasa dan memfasilitasi penularan HIV (Marchi et al., 2017).
Bergantung pada praktek seksual, kedua tipe dapat menyebabkan infeksi primer
Penyakit HSV primer yang simptomatik dapat diikuti oleh adanya gejala
sistemik, seperti demam, sakit kepala, malaise, nausea, muntah dan limfadenopati.
mulut, terlihat vesikel dan ulser pada mukosa oral dan gingivitis marginalis akut
(Balasubramaniam et al., 2017). HSV primer pada anak yang sehat biasanya
merupakan penyakit yang self-limiting, dengan demam yang akan menghilang 2-4
hari dan lesi oral akan sembuh pada 7-10 hari. Perawatan infeksi HSV primer
biasanya paliatif. Kasus yang ringan dapat diobati dengan perawatan suportif,
demam, dan menggunakan anastesi topikal untuk mengurangi rasa nyeri oral. Jika
pasien memperlihatkan adanya erupsi vesikel dalam 24-48 jam, medikasi antiviral
replikasi DNA pada sel yang terinfeksi HSV. Acyclovir, merupakan medikasi
antiviral, yang dapat mengurangi gejala pada infeksi HSV primer. Selain itu,
valacyclovir dan famiclovir juga merupakan agen antiviral yang dapat digunakan
35
et al., 2017).
saraf trigeminal, kemudian dapat menetap pada tahap laten. Reaktivasi virus dapat
HSV yang paling sering terjadi, muncul pada pertemuan mukokutan pada bibir
dan sering disebut sebagai cold sore atau fever blister. Infeksi herpes rekuren pada
durasi dan nyeri pada RHL 1-2 hari. Dosis yang direkomendasikan untuk
penciclovir diaplikasikan pada daerah 2 jam untuk 4 hari dalam keadaan tersadar
Meskipun infeksi herpes rekuren paling sering terjadi pada bibir dan
mukosa yang berkeratin seperti palatum, dan gingiva, reccurent intraoral herpes
(RIH) dapat terjadi pada permukaan mukosa intraoral manapun, lebih banyak
rekurensi tinggi terjadi pada pasien yang melakukan kemoterapi atau obat
pembesaran ulser lebih progresif, dapat terjadi pada bagian labial, intraoral,
genital atau rektal jika tanpa pengobatan. Pasien immunosupresi dengan infeksi
HSV secara umum memberi respon yang baik terhadap acyclovir yang
al, 2017).
37
1. Virologic Test
Standar untuk identifikasi virus dan diagnosis adalah isolasi pada kultur
jaringan. Tujuan isolasi virus untuk melihat cytopathic effect (CPE) pada
inokulasi sel virus. Ketika dilihat dengan cahaya mikroskop, sel yang terinfeksi
2. Cytology Smear
Lapisan tipis sel epitel pada dasar lesi dapat dianalisis untuk menentukan
jika sel menunjukkan perubahan konsisten dengan infeksi HSV. Pewarnaan yang
3. Immunomorphologic Test
Diagnosis infeksi virus herpes dapat dibuat dengan mudah dan cepat
specific. Pada sel yang positif terinfeksi, flouresein hijau dan teknik ini sering
(RAS) sering didiagnosis dengan infeksi HSV. Infeksi HSV biasanya diawali
biasanya muncul dengan eritema gingiva, hal ini tidak terjadi pada RAS. Infeksi
HSV secara klinis menyerupai infeksi virus coxsakie, herpangina dapat dibedakan
38
dari infeksi HSV karena lesi yang berhubungan dengan herpangina biasanya pada
orofaring posterior, termasuk palatum lunak, uvula, tonsil dan dinding faringeal,
sedangkan lesi HSV terjadi dalam rongga mulut. Herpangina tidak menimbulkan
gingivitis akut generalisata seperti yang terlihat pada infeksi HSV. Erythema
HSV. Pada lesi EM tidak tampak adanya eritema pada gingiva dan target lesi luas
Stomatitis aftosa rekuren adalah ulserasi pada mukosa oral yang terasa
sakit dengan karakteristik terjadi secara berkala dalam hitungan hari sampai bulan,
bahkan tahun. Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan lesi tersebut
ulkus minor, mayor dan herpetiform. Selama periode awal, terbentuk area
kecil berwarna putih, mengalami ulserasi, dan melebar dalam 48-72 jam. Lesi
berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (menyerupai ulser virus), tetapi tidak
terdapat tissue tagyang terdapat pada vesikel yang ruptur, yang membantu
membedakannya dengan penyakit yang dimulai dari vesikel (seperti pemfigus dan
Ulkus minor adalah bentuk yang paling umum, dan secara klinis memiliki
gambaran kecil, nyeri, berbentuk bulat dengan diameter 3-6 mm ditutupi dengan
membran kuning keputihan dan dikelilingi halo merah tipis. Lesi dapat tunggal
atau banyak (2-6 buah), dan dapat sembuh tanpa luka parut dalam 7-12 hari
(Laskaris, 2006).
Gambaran klinis ulkus mayor berupa ulkus yang dalam dan nyeri, 1-2 cm
dalam diameter, berlangsung selama 3-6 minggu. Jumlah lesi bervariasi dari 1-5
dekat tonsil, mukosa labial, dan lidah, serta kadang-kadang meluas ke gingiva
cekat. Ciri khasnya berupa ulser berbentuk kawah, asimetris, dan unilateral. Sifat
paling mencolok dari lesi adalah ukurannya yang besar dan bagian tengahnya
yang nekrotik serta cekung. Tepi yang meradang berwarna merah dan menonjol
sekunder, ulser dapat berlangsung dari beberapa minggu sampai bulan. Oleh
karena ulser menimbulkan erosi jauh ke dalam jaringan ikat, ulser akan sembuh
disertai pembentukan jaringan parut setelah kambuh berulang kali. Rasa nyeri
(Langlais, 2009).
stomatitis aftosa. Secara klinis, ulser mirip yang terlihat pada herpes primer
(karena itu disebut herpetiformis). Sifat paling mencolok dari penyakit ini adalah
adanya erosi putih abu-abu yang banyak, dengan ukuran seujung kepala jarum,
yang membesar dan bergabung menjadi ulser. Pada awalnya, ulser berdiameter 1-
40
2 mm dan timbul dalam kelompok 10 atau 100 buah. Mukosa di dekat ulser
berwarna merah dan sakit merupakan gejala yang dapat terdeteksi (Langlais,
2009).
bagian ujung dan tepi lidah serta mukosa labial adalah yang paling terpengaruh.
Ukuran ulserasi yang lebih kecil membedakannya dari aftosa minor dan tidak
adanya vesikel dan gingivitis, bersama dengan sifatnya yang sering dan rekuren
membedakannya dari herpes primer dan infeksi virus rongga mulut yang lain.
Virus tidak dapat dibiakkan dari lesi ini dan ulser tidak menular (Langlais, 2009).
akhir usia dua puluhan atau tiga puluhan, 10 tahun sesudah insiden puncak aftosa
minor. Lamanya serangan rekuren bervariasi dan tidak bisa diduga. Sebagian
pasien tetap mempunyai lesi ini selama berbulan-bulan. Faktor pemicu untuk
merespon pemberian larutan tetrasiklin, baik secara topikal maupun sistemis, dan
kondisi ini sering kali menghilang secara spontan setelah beberapa tahun
(Langlais, 2009).
menyerang anak-anak, tetapi juga dapat dilihat pada dewasa muda, khususnya
selama musim semi dan panas. Seperti terlihat dari namanya, keadaan ini
menimbulkan lesi ulseratif kecil di dalam mulut bersama dengan ruam eritema
pada kulit tangan, jari-jari, dan telapak kaki. Kadang-kadang, tungkai dan bagian
bawah batang tubuh juga terkena. Lesi ditandai oleh vesikel seujung jarum yang
multipel, mengalami ulserasi, dan membentuk krusta. Pasien bisa saja mempunyai
beberapa sampai lebih dari 100 lesi kecil tersebut dengan halo eritema yang jelas
(Langlais et al., 2009). Infeksi virus Coxsackie khususnya pada penyakit hand-
foot and mouth ini dapat memiliki ulserasi yang meluas pada kavitas oral yang
Lesi rongga mulut penyakit hand-foot and mouth terserak terutama pada
lidah, palatum keras, dan mukosa bukal serta labial. Nantinya, lesi-lesi ini
herpangina, orofaring biasanya tidak terkena dan jumlah total lesi intraoral bisa
mencapai 30 buah. Sakit dan gejala seperti flu (demam, lemas, serta
antibodi. Namun, distribusi klasik lesi pada telapak tangan, telapak kaki, dan
42
Penyembuhan terjadi dalam 10 hari terlepas dari bentuk perawatan yang diberikan
Gambar 3.11 Penyakit hand-foot and mouth: ulser seujung jarum (Langlais et al.,
2009)
Gambar 3.12 Penyakit hand-foot and mouth: ulser pada kaki (Langlais et
al.,2009)
Gambar 3.10 Penyakit hand-foot and mouth: ulser labial (Langlais et al.,
2009)
Gambar 3.11 Penyakit hand-foot and mouth: beberapa lesi bergabung dan
sakit (Langlais et al., 2009)
43
Pengobatan untuk infeksi HSV oral atau genital primer pada pasien sehat
biasanya diberikan secara oral selama 7-10 hari dengan asiklovir, valasiklovir,
(pengobatan pada tanda atau gejala wabah pertama) selama 1-5 hari untuk
penyakit parah, seperti infeksi neonatal atau ensefalitis, harus disertai asiklovir
Acyclovir (Zovirax)
inhibitor melawan virus herpes pada manusia secara in vitro dan in vivo.
replikasi virus dengan terminasi rantai pada saat memasuki DNA virus. Acyvlocir
hanya 20% diserap dalam saluran pencernaan. Hampir semua obat acyclovir
diekskresikan tanpa diubah oleh ginjal melalui sekresi tubular dan filtrasi
kreatinin, dan peningkatan bilirubin serta enzim yang berhubungan dengan liver.
44
kulit dan membran mukosa (termasuk herpes genital inisial dan rekuren),
Waktu paruh acyclovir berkisar dari 2 hingga 4 jam (Yagiela et al, 2011).
Dosis acyclovir pada orang dewasa untuk perawatan infeksi virus herpes yaitu 400
mg tiga kali sehari atau 200 mg 5 kali sehari selama 7-10 hari secara per oral.
Sedangkan untuk perawatan topikal yaitu 5% cream dengan menutupi lesi dengan
Famciclovir
pasien yang terinfeksi HIV. Efek samping yaitu sakit kepala, parestesi, migrain,
nausea, diare, muntah, nyeri abdomen, lelah, pruritus, ruam, dan dismenor. Untuk
herpes zoster, dosis pada pasien imunokompeten adalah 750 mg sekali sehari
selama 7 hari atau 250 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Dosis untuk pasien
dimulai segera setelah diagnosis herpes zoster, khusunya dalam 48 jam setelah
onset ruam. Pada herpes genital, dosis untuk pasien imunokompeten adalah 250
mg mg tiga kali sehari untuk 5 hari. Pada pasien immunocompromised, dosis 500
Valacyclovir (Valtrex)
dengan acyclovir. Pada herpes genital dosis yang dibutuhkan yaitu 1 g BD untuk
yang terdapat pada obat kumur, gel, dan pasta gigi untuk mengontrol plak dan
bakteri, pada grup fosfat dari asam teichoic bakteri gram positif dan grup fosfat
berikatan secara elektrostatik pada hidroksiapatit gigi dan melekat pada pelikel,
ekstrinsik seperti warna kuning kecoklatan pada gigi, restorasi anterior, dan
dorsum lidah. Pewarnaan ekstrinsik ini tidak dapat dihilangkan dengan menyikat
rasa sakit. Larutan yang terdiri atas bis-biguanide memiliki rasa yang pahit dan
digunakan adalah 480 ml, kumur-kumur 1 sendok teh selama 1 menit kemudian
buang. Lakukan dua kali sehari setiap hari (pagi dan sore setelah menggosok gigi)
Asam folat merupakan bentuk vitamin B kompleks yang larut dalam air.
Zat ini memiliki peran yang penting dalam berbagai reaksi intraseluler seperti
enteritis diare, lemah, dan kehilangan berat badan. Salah satu ciri defisiensi asam
terapeutik pada orang dewasa yaitu 5-20 mg setiap hari, pada anak 5-10 mg setiap
Vitamin B12 memiliki efek yang baik dalam melawan penuaan otak dan
memperbaiki pola tidur yang tidak teratur. Selain itu vitamin ini memiliki fungsi
imun dan memicu pertumbuhan sel normal. Gejala defisiensi vitamin B12 antara
sumsum tulang, neuritis periferal, memori yang buruk, perubahan suasana hati dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penyakit, luka, keadaan emosional yang
diatur sebagian besar oleh hipotalamus, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, yang
bergabung dalam HPA axis (Gambar 3.12) (Anisman and Merali, 1999).
aliran darah, ACTH menuju kelenjar adrenal yang terdapat di atas ginjal. Pada
steroid (kortisol) ke aliran darah (Anisman and Merali, 1999). Rangsangan berupa
stres fisik maupun stres mental dalam beberapa menit saja dapat meningkatkan
sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat meningkat, sering
Gambar 3.12 Regulasi stres respon pada HPA axis (Anisman and Merali,
1999)
inflamasi bahkan sebelum proses inflamasi itu sendiri mulai terjadi; atau (2)bila
49
proses inflamasi sudah dimulai, proses ini akan menyebabkan resolusi inflamasi
dalam mencegah proses inflamasi yaitu dengan cara menekan jumlah limfosit T
dan antibodi yang ada di daerah inflamasi. Jumlah sel T dan antibodi yang
berkurang tersebut akan mengurangi reaksi jaringan yang jika tidak, akan memacu
berdampak pada penekanan sistem imun pada tubuh (Guyton and Hall, 2006).
cortisol, akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid di seluruh tubuh. Salah satu
untuk mengurangi penyimpanan protein di seluruh sel tubuh kecuali protein dalam
meningkatnya katabolisme protein yang sudah ada di dalam sel. Kortisol bekerja
sebagian besar jaringan ekstrahepatik, terutama di otot dan jaringan limfoid. Bila
terjadi sekresi kortisol yang berlebih, otot dapat menjadi begitu lemah dan fungsi
imunitas dari jaringan limfoid dapat berkurang dari normal (Guyton and Hall,
2006).
Efek dari kadar kortisol yang tinggi terhadap metabolisme protein yaitu
terdapat peningkatan sintesis protein pada hati dan penurunan sintesis protein
simpanan protein pada jaringan tubuh seperti otot, jaringan limfoid, jaringan
adiposa, kulit dan tulang (Huether et al., 2012). Akibatnya, dalam dosis yang
50
besar kortisol dapat menyebabkan atrofi pada jaringan limfoid di seluruh tubuh
sehingga akan mengurangi keluarnya sel-sel T dan antibodi dari jaringan limfoid.
tubuh terhadap sebagian besar benda asing seperti bakteri, virus dan jamur akan
BAB IV
PEMBAHASAN
HSV 1 dan coated tongue. Infeksi HSV1 disebabkan oleh Herpes Simplex Virus
(HSV), suatu alfa herpes virus yang merupakan virus DNA yang dapat
pada lidah yang hilang timbul sejak 4 bulan lalu. Pasien mengalami demam satu
minggu sebelum sariawan pertama kali muncul pada 4 bulan lalu. Sariawan
semakin banyak dan semakin parah serta terasa sakit apabila pasien makan
ataupun minum. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya.
kelenjar limfe, tidak ada kelainan pada mata, TMJ, wajah dan sirkum oral lainnya,
intraoral ditemukan adanya gingiva yang edema pada lingual anterior rahang
bawah, lesi ulseratif berwarna putih kekuningan yang dangkal dengan tepi
terdapat pula plak putih yang dapat dikerok pada dorsal lidah, terdapat multiple
ulser dengan tepi eritema, difus, dan ukuran bervariasi (diameter 3-5mm) yang
plak putih (diameter: 3 mm) dapat dikerok pada lateral kanan lidah, sedangkan
pada lateral kiri lidah terdapat multiple ulser, dengan warna kuning, tepi irregular
bervariasi (diameter 1-3mm), sementara itu pada ventral lidah terdapat multiple
Namun, pada mukosa labial, palatum durum, palatum mole, frenulum dan dasar
mengalami gejala seperti demam, nyeri dan ulserasi pada oral dan perioral
malaise tidak spesifik dan myalgia, yang selanjutnya dalam 1-3 hari diikuti
adanya blister dan ulser pada lidah, bibir, mukosa bukal, gingiva, palatum lunak
dan palatum keras. Sedangkan, infeksi sekunder HSV lebih sering subklinis,
mucocutaneous junction, biasanya pada bibir yang dikenal dengan herpes labialis,
atau bisa juga terjadi pada gingiva dan palatum keras (Maki, 2018).
mengacu pada suspek infeksi HSV-1, akan tetapi tetap diperlukan pemeriksaan
yaitu 12.52 10ˆ3/uL yang mengindikasikan adanya suatu infeksi pada tubuh
pasien, serta hasil imunoserologi pasien menunjukkan adanya anti HSV-1 yang
Diagnosis infeksi virus herpes dapat dibuat dengan mudah dan cepat
metode tidak langsung, yaitu pengambilan sampel dari darah. Dilakukan dengan
tanpa koagulan. Lalu darah dipisahkan dengan serum dengan teknik sentrifugasi,
setelah itu diperiksa adanya antibodi IgG pada sampel tersebut. Selain teknik
Diagnosis banding dari HSV adalah RAS herpetic dan penyakit hand food
and mouth disease. RAS herpetic merupakan varian yang jarang ditemukan pada
stomatitis aftosa. Secara klinis, ulser mirip yang terlihat pada herpes primer
(karena itu disebut herpetiformis). Sifat paling mencolok dari penyakit ini adalah
adanya erosi putih abu-abu yang banyak, dengan ukuran seujung kepala jarum,
yang membesar dan bergabung menjadi ulser. Pada awalnya, ulser berdiameter 1-
2 mm dan timbul dalam kelompok 10 atau 100 buah. Mukosa di dekat ulser
berwarna merah dan sakit merupakan gejala yang dapat terdeteksi (Langlais,
2009). Lesi berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (menyerupai ulser virus), tetapi
tidak terdapat tissue tag (pengelupasan jaringan) yang terdapat pada vesikel yang
vesikel (seperti pemfigus dan pemfigoid) (Greenberg, 2008). Ukuran ulserasi yang
lebih kecil membedakannya dari aftosa minor dan tidak adanya vesikel dan
gingivitis, bersama dengan sifatnya yang sering dan rekuren membedakannya dari
herpes primer dan infeksi virus rongga mulut yang lain. Virus tidak dapat
dibiakkan dari lesi ini dan ulser tidak menular (Langlais, 2009).
disebabkan oleh beberapa virus Coxsackie grup A dan B. Seperti terlihat dari
namanya, keadaan ini menimbulkan lesi ulseratif kecil di dalam mulut bersama
dengan ruam eritema pada kulit tangan, jari-jari, dan telapak kaki. Kadang-
kadang, tungkai dan bagian bawah batang tubuh juga terkena. Lesi ditandai oleh
vesikel seujung jarum yang multipel, mengalami ulserasi, dan membentuk krusta.
Pasien bisa saja mempunyai beberapa sampai lebih dari 100 lesi kecil tersebut
dengan halo eritema yang jelas (Langlais et al., 2009). Infeksi virus Coxsackie
khususnya pada penyakit hand-foot and mouth ini dapat memiliki ulserasi yang
meluas pada kavitas oral yang menyerupai herpetic gingivostomatitis, tetapi ulser
(Greenberg, 2008). Distribusi klasik lesi pada telapak tangan, telapak kaki, dan
mukosa mulut pada sebagian besar keadaan bersifat diagnostik dan menjadi ciri
khas yang membedakannya dengan infeksi virus lain (Langlais et al., 2009).
Simpleks Virus 1. Kontak tersebut dapat terjadi melalui sekresi tubuh yang
terinfeksi. Setelah infeksi primer tersebut, virus akan masuk ke akson sensoris
melalui aliran aksonal, melakukan replikasi dan mencapai fase laten pada
55
ganglion trigeminal. Ketika ada sebuah pemicu seperti gangguan kekebalan tubuh,
cahaya matahari, trauma, stress emosional dan menstruasi, virus dapat aktif
hubungan kerja. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor predisposisi dari
infeksi HSV 1 pada pasien. Stress emosional merupakan salah satu faktor yang
dapat memicu aktifnya HSV. Secara simultan, stress dapat menurunkan kekebalan
tubuh. Hal tersebut dapat terjadi melalui mekanisme berikut, ketika terdapat suatu
sistem imun dengan menurunkan reproduksi limfosit T. Jumlah sel T dan antibodi
yang berkurang di daerah inflamasi akan mengurangi reaksi jaringan yang jika
tidak, akan memacu proses inflamasi lebih lanjut (Guyton and Hall, 2006).
tubuh terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh seperti infeksi bakteri,
virus dan jamur berkurang (Guyton and Hall, 2006). Ketika kekebalan tubuh
menurun, virus herpes laten yang berada pada ganglion trigeminal dapat
teraktivasi kembali sehingga terjadi infeksi herpes sekunder (Glaser and Glaser,
2001).
Pada pasien ini ditemukan juga adanya coated tongue. Coated tongue
merupakan suatu kondisi klinis yang terjadi pada bagian permukaan lidah yang
debris atau sisa makan, sel sel keratin yang tidak terdeskuamasi, dan dapat
makanan akibat kebersihan mulut yang buruk dan pola diet lunak yang kurang
serat dan buah buahan. Faktor faktor yang mempengaruhi timbulnya coated
tongue antara lain seperti adanya penggunaan obat obatan (natrium perborat dan
merokok, dan diet (kurangnya makanan berserat) (Ghom, 2010). Selain itu,
lidah pasien. Keterbatasan pergerakan lidah dapat mengurangi aliran saliva, aliran
coated tongue, apabila aliran saliva rendah (<0.1 ml/min) akan terjadi akumulasi
lapisan pada lidah (Lawande, 2013). Dalam keadaan normal, lidah memiliki
lapisan yang terdiri dari mucus, deskuamasi sel epitel, organisme dan debris.
57
Lidah dilapisi oleh lapisan keratin, keratin terbentuk pada dorsum lidah secara
normal akan terdeskuamasi dan ikut ditelan bersama makanan. Bila keratin tidak
terdeskuamasi, seperti pada orang yang memakan makanan yang lunak dan
makanan yang kurang abrasif, maka lidah akan terlihat berselaput yang
lidah (Lewis and Jordan, 2013). Terdapat dua diagnosis banding dari penyakit
(Laskaris, 2006). Coated tongue harus dibedakan dari kedua penyakit ini agar
Albicans. Penyakit ini memiliki gambaran klinis terdapat selaput berwarna putih
kekuningan pada mukosa rongga mulut. Selaput ini dapat diangkat dengan
mengeluhkan perubahan rasa ketika makan dan rasa terbakar pada mulut serta rasa
sakit pada tenggorokan (John, 2008). Gambaran klinis kandidiasis berbeda dengan
coated tongue, selaput putih pada coated tongue dapat diangkat dan tidak
untuk berkumur dan kompres pada lidah. KIN mouthwash merupakan sebuah obat
kumur yang mengandung chlorhexidine 0.12% dan Natrium Flouride 0,05%, serta
sehingga bisa membunuh bakteri gram positif, bakteri gram negatif, bakteri
anaerob, bakteri aerob, yeast serta fungi. Selain itu, penggunaan obat kumur yang
bebas alkohol bertujuan untuk menjaga tidak terjadi inaktivasi HSV-1 sebelum
dilakukan tes imunoserologi pada pasien. Penggunaan alkohol atau iodofor pada
lesi dapat mengaktivasi virus sehingga harus dihindari (Singh, 2005). Selain itu
pasien juga diberikan anjuran untuk mengkonsumsi sayur dan buah serta minum
air putih 8 gelas per hari. Konsumsi sayur dan buah dianjurkan untuk
meningkatkan friksi antara lidah dengan makanan. Konsumsi air putih delapan
gelas sehari dianjurkan pada pasien ini untuk menghindari terjadinya xerostomia
yang akan memicu terjadinya coated tongue. Pasien juga diinstruksikan untuk
kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat keberhasilan dari perawatan yang telah
diberikan.
sariawan pada lidah yang sudah ada perbaikan, namun timbul sariawan baru pada
yaitu Acyclovir 400 mg 4 kali sehari dan instruksi untuk terapi coated tongue
yaitu kompres lidah menggunakan minosep 3 kali sehari 10 ml. Pasien diberikan
juga vitamin B12 3 kali sehari setelah makan dan Asam folat 3 kali sehari setelah
kerusakan akibat adanya inflamasi. Selain itu, pasien juga diinstruksikan untuk
replikasi virus yang terjadi selama masa inkubasi dan virus telah menyebar
infeksi herpes stomatitis primer mulai dari sedang hingga parah dapat diobati
secara signifikan dengan asiklovir oral dan topikal, obat-obatan ini mengganggu
sintesis DNA virus, seperti asiklovir dan vidarabine, tetapi ini harus diberikan
mengobati rekuren herpes labialis termasuk asiklovir krim 5%, penciclovir 1%,
cream dan docosanol 10% cream, diaplikasikan setiap 2 jam sekali. Dari saat
prodromal hingga sembuh total (Jawets, 2007). Pada kasus ini, pasien diberikan
Asiklovir 400 mg 4x sehari. Dosis terapi untuk Asiklovir yaitu 200 mg 5 kali
sehari selama 7-10 hari secara per oral dengan dosis maksimal yaitu 1600 mg per
hari (Katzung et al, 2012; Langlais et al., 2009). Pemberian dosis Asiklovir
Pada kunjungan ketiga, keluhan sakit sakit menelan sudah tidak ada dan
sakit pada lidah berkurang. Pasien mengkonsumsi obat secara teratur dan
menggunakan obat kumur sesuai instruksi dokter. Secara klinis lidah pasien jauh
lesi 3 kali sehari, kemudian melanjutkan instruksi OHI dan KIE untuk
pembersihan gigi dan lidah dengan kassa yang telah dicelupkan minosep,
menghindari makanan pedas dan berbumbu tajam, lalu pemberian vitamin B12
dan Asam Folat yang berfungsi untuk mempercepat perbaikan jaringan yang
SIMPULAN
berhubungan dengan stress emosional, yaitu suatu infeksi yang disebabkan oleh
diagnosis infeksi HSV 1 dan coated tongue. Pada kasus ini pasien diberikan agen
antivirus per oral, agen kortikosteroid topikal serta vitamin B12 dan Asam Folat.
Selain itu, pasien juga diberikan instruksi OHI dan KIE untuk berkumur dan
di rongga mulut.
59
DAFTAR PUSTAKA
Bearer E. L. HSV, axonal transport and Alzheimers disease: In vitro and in vivo
evidence for causal relationships. Future Virol. 2012 September; 7(9): 885-899.
Doi:10.2217/fvl.12.81
Brooks G. F., Butel J. S., Morse S. A. 2004. Jawetz, Melnick and Adelberg’s Medical
Microbiology. Ed 23. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Bruch J. M. and Treister N. S. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology. London:
Humana Press.
Eppy. 2017. Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya. Contiuning Medical
Education. Vol.44 No 6.
Field A., Longman L., Tyldesley W.R. 2003. Tyldesley’s Oral Medicine. New York:
Oxford University Press.
Glaser R., Glaser JK. Stress-asociated immune modulation and its implication for
Greenberg, M.S. and M, Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 11th ed. United States: BC Decker Inc.
Langlais L. P., Miller C. S., Nield-Gehrig J. S. 2009. Atlas Berwarna Lesi Mulut yang
Sering Ditemukan. Jakarta: EGC.
60
Li F., Chen J., Yu L., Ling Y., Jiang P., Fu X., et al. The role of stress management in
the relationship between purpose in life and self-rated health in teachers: A
mediation analysis. Vol. 13, International Journal of Environmental Research
and Publich Health. 2016.
Nanci, A. 2013. Ten’s Cate : Oral Histology, Development, Structure and Function.
8th ed. Elsevier.
Scully, C., et al. 2003. The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis. A consensus approach. JADA, vol 134.
Singh, S. 2007. Pharmacology for Dentistry. New Delhi: New Age International.
https://www.histology.leeds.ac.uk/skin/epidermis_layers.php
61