Anda di halaman 1dari 69

INFEKSI HSV-1 TERKAIT STRES EMOSIONAL

MAKALAH LAPORAN STUDI KASUS MAYOR


ILMU PENYAKIT MULUT

Disusun Oleh:

Fatmala Savitri 160112160015


Fauzia Arini Adiati 160112160084

Pembimbing:

Erna Herawati, drg., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Infeksi HSV-1 Terkait Stres Emosional: Laporan Kasus

Nama : 1. Fatmala Savitri 160112160062

2. Fauzia Arini Adiati 160112160084

Kasus : Laporan Kasus Mayor

Bandung, April 2019

Pembimbing

Drg. Erna Herawati, M.Kes.


NIP. 19581223 198603 2 001

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan

karunia-Nya, memberikan kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan journal reading ilmu penyakit mulut mengenai“Infeksi HSV-1 Terkait

Stres Emosional: Laporan Kasus” untuk memenuhi requirement dari Departemen

Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

Selama proses penyelesaian laporan ini penulis mendapatkan banyak bantuan

dari berbagai pihak. Sehingga penulis dapat menghadapi segala kesulitan yang ada

dan akhirnya dapat menyelesaikan penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis

ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu.

Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam

laporan ini, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat dan dapat memberi

pengetahuan bagi pembacanya.

Bandung, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................... 3

2.1 Status Klinik IPM ................................................................................ 3

2.1.1 Data Umum Pasien ........................................................................ 3

2.1.2 Anamnesis ..................................................................................... 3

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik ............................................................ 4

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu ......................................................... 4

2.1.5 Kondisi Umum .............................................................................. 4

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral ............................................................... 5

2.1.7 Pemeriksaan Intra Oral .................................................................. 5

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 9

2.1.9 Diagnosis ....................................................................................... 9

2.1.10 Rencana Perawatan ...................................................................... 9

iii
iv

2.2 Status Kontrol 1 ................................................................................... 9

2.2.1 Anamnesis ..................................................................................... 9

2.2.2 Pemeriksaan Ekstra Oral ............................................................. 10

2.2.3 Pemeriksaan Intra Oral ................................................................ 10

2.2.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang ..................................................... 14

2.2.5 Diagnosis ..................................................................................... 14

2.2.6 Rencana Perawatan ...................................................................... 14

2.3 Status Kontrol II ................................................................................ 15

2.3.1 Anamnesis ................................................................................... 15

2.3.2 Riwayat Penyakit Sistemik .......................................................... 16

2.3.3 Riwayat Penyakit Terdahulu ....................................................... 16

2.3.4 Kondisi Umum ............................................................................ 16

2.3.5 Pemeriksaan Ekstra Oral ............................................................. 16

2.3.6 Pemeriksaan Intra Oral ................................................................ 17

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 21

2.3.8 Diagnosis ..................................................................................... 21

2.3.9 Rencana Perawatan dan Pengobatan ........................................... 21


v

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 23

3.1 Anatomi dan Histologi Mukosa Mulut .............................................. 23

3.1.1 Definisi ........................................ Error! Bookmark not defined.

3.1.2 Fungsi .......................................... Error! Bookmark not defined.

3.1.3 Jenis ............................................. Error! Bookmark not defined.

3.2 Herpes Simplex Virus (HSV) ............................................................ 29

3.2.1 Epidemiologi ............................... Error! Bookmark not defined.

3.2.2 Patofisiologi................................................................................. 31

3.2.3 Gambaran Klinis.......................................................................... 33

3.2.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 36

3.2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding ............................................... 37

3.2.6 Terapi pada Herpes Simplex Virus.............................................. 43

3.3 Stres Emosional yang Berhubungan dengan Infeksi Virus Herpes ... 47

BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................ 51

BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 60


BAB I

PENDAHULUAN

Prevalensi infeksi HSV (herpes simplex virus) terus meningkat dalam

beberapa dekade terakhir, sehingga termasuk dalam masalah kesehatan yang

penting.Virus ini terdapat pada pasien yang imunokompromais dan dapat beradaptasi

mudah dengan host-nya. Terdapat 2 tipe infeksi HSV yakni HSV-1 yang dikaitkan

dengan penyakit pada orofasial dan HSV-2 pada penyakit genital (Eppy, 2017).

Pada rongga mulut tentunya infeksi HSV yang sering berkaitan adalah infeksi

HSV tipe 1 yang manifestasi terseringnya adalah gingivostomatitis, nyeri prodromal,

rasa terbakar, dan kesemutan sering terjadi, diikuti timbulnya papul eritematosa yang

berkembang cepat menjadi vesikel intraepidermal kecil berdinding tipis, yang

akhirnya menjadi pustular dan berulserasi. Umumnya, rekurensi terjadi kurang dari 2

kali setahun, akan tetapi dapat terjadi setiap bulan (Eppy, 2017).

HSV-1, merupakan virus herpes yang terdapat di mana-mana. Prevalensi virus

ini terdapat pada 65% orang dewasa yang berusia lebih dari 70 tahun di United States

(Greenberg, 2008). Sekitar 75%-90% dari populasi manusia dewasa terinfeksi HSV.

Penularan terjadi melalui kontak dari sekresi mulut yang terinfeksi dengan mukosa

atau kulit dari orang yang rentan. Pada sebagian besar kasus infeksi primer, HSV-1

adalah kuman penyebab; namun, HSV-2, yang mempunyai tendensi menyerang kulit

di bawah

1
2

pinggang, dapat menimbulkan gingivostomatitis herpetik melalui kontak

genital atau mulut ke mulut (Langlais et al., 2009).

Infeksi HSV dapat tereaktivasi oleh beberapa faktor pemicu seperti paparan

sinar matahari, trauma, stres emosional, menstruasi, demam, dan immunosupresi

(Lugito dan Pradono, 2014). Beberapa penelitian menduga stresor berupa fisik dan

psikologis dapat berdampak pada kelainan patofisiologi (Li et al., 2016). Stres

emosional sebagai salah satu pemicu infeksi HSV dapat terjadi akibat peningkatan

hormon stres yaitu horman kortisol yang dapat mereaktivasi virus herpes laten

(Glaser et al., 1997).

Penyakit infeksi HSV ini apabila tidak cepat ditanggulangi dapat

mengakibatkan banyak komplikasi seperti superinfeksi bakteri dan jamur yang dapat

memperparah dan membahayakan keadaan pasien. Sebagai klinisi, kita dituntut untuk

mampu melayani pasien. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan diagnosa yang

baik agar rencana perawatan yang tepat dapat ditentukan.

Laporan kasus ini akan membahas mengenai kasus HSV-1 pada seorang

pasien laki-laki berusia 29 tahun yang datang ke Instalasi Penyakit Mulut Rumah

Sakit Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2017 dengan keluhan terdapat

banyak sariawan semenjak 4 bulan lalu. Sariawan tersebut sakit dan hilang timbul,

dan diduga dipicu oleh gangguanemosional yang dialaminya.

.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Status Klinik IPM

2.1.1 Data Umum Pasien

Nama : Tn. AG

Umur : 29 tahun

Alamat : Bandung

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum menikah

No. Rekam medis : 0001637xxx

Pekerjaan : Swasta

Tanggal pemeriksaan : Senin, 9/10/17

2.1.2 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan terdapat banyak sariawan di lidah yang

hilang timbul sejak 4 bulan lalu, 1 minggu sebelum sariawan muncul 4 bulan yang

lalu, pasien mengalami demam. Sejak saat itu, sariawan hilang timbul dan

semakin banyak dan semakin parah. Sariawan terasa sakit saat pasien makan atau

minum. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien

mengaku sedang mengalami beban pikiran yang berat akibat pemutusan kontrak

kerja.

3
4

2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik

Penyakit jantung : YA/TIDAK

Hipertensi : YA/TIDAK

Diabetes mellitus : YA/TIDAK

Asma/alergi : YA/TIDAK

Penyakit hepar : YA/TIDAK

Kelainan GIT : YA/TIDAK

Penyakit ginjal : YA/TIDAK

Kelainan darah : YA/TIDAK

Hamil : YA/TIDAK

Kontrasepsi : YA/TIDAK

Lain-lain : YA/TIDAK

2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

2.1.5 Kondisi Umum

Keadaan umum : Baik


Tensi : 110/70 mmHg
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : Afebris
Nadi : 72 kali/menit
Pernapasan : 18 kali/menit
5

2.1.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Submental kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Mata : Konjungtiva non anemis, pupil isokhor,

sklera non ikhterik

TMJ : TAK

Bibir : kering (+) deskuamasi (-)

Wajah : Simetris

Sirkum oral : TAK

Lain-lain : TAK

2.1.7 Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan mulut : Sedang (Skor OHI-S=1,9), Plak (+),Kalkulus

(+),Stain(-)

Gingiva : Odem di anterior lingual RB

Mukosa Bukal : - kanan : lesi ulseratif putih kekuningan, dangkal,

tepi irregular dikelilingi eritema difus ditutupi

pseudomembran putih kekuningan (diameter 5

mm)

Mukosa Labial : TAK

Palatum durum : TAK


6

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah : -dorsal : plak putih dapat di kerok

-lateral kanan: multiple ulser, tepi eritema, difus,

ukuran bervariasi (diameter 3-5mm), ditutupi

selapis tipispseudomembran berwarna putih

kekuningan,plakputih(diameter:3mm), dapat

dikerok

-lateral lidah kiri :multiple ulser, warna kuning,tepi

irregular dikelilingi eritema difus,ditutupi

pseudomembran kuning ukuran bervariasi

(diameter1-3mm)

-ventral lidah: multiple ulser, warna eritema difus,

ukuranbervariasi(diameter 1-3mm)

Dasar Mulut : TAK

Status gigi

BUKAL
Peruba
CM CM V
han warna

LINGUAL

CP Z

BUKAL
7

Gambar 2.1 Bibir kering

Gambar 2.2 Ventral lidah

Gambar 2.3 Dorsal lidah


8

Gambar 2.4 Lateral Lidah Bagian Kiri

Gambar 2.5 Lateral Lidah Bagian Kanan

Gambar 2.6 Mukosa bukal sisi kanan


9

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Radiologi : TDL

Darah : TDL

Patologi Anatomi : TDL

Mikrobiologi : TDL

2.1.9 Diagnosis

- D/ Suspek infeksi HSV-1at regio mukosa bukal dekstra, lidah pada dorsal,

lateral dekstra dan sinistra

DD/ RAS herpetic, hand-foot-mouth disease

- D/ Suspek coated tongue

DD/ Oral kandidiasis pada dorsal lidah

2.1.10 Rencana Perawatan

- Pro/ OHI dan KIE (instruksi pembersihan gigi dan lidah)

- Pro/ Kin mouthwash fls no I ( 3dd 10ml kumur dan kompres lidah)

- Pro/ pemeriksaan darah 8 parameter, anti HSV 1

- Pro/ kontrol 1 minggu (16 Oktober 2017)

2.2 Status Kontrol 1

2.2.1 Anamnesis

Pasien datang 7 hari setelah kunjungan pertama untuk kontrol

sariawannya. Keluhan sariawan pada rongga mulut sudahada perbaikan. Sariawan


10

pada lidah sudah berkurang sakitnya, walaupun masih ada. Timbul sariawan baru

pada daerah amandel sehingga pasien jadi susah menelan diiringi dengan keluhan

susah tidur.

2.2.2 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula kanan dan kiri : Tidak teraba, sakit

Submental kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : Tidak teraba, sakit

Mata : Konjungtiva non anemis, pupil

isokhor, sklera non ikhterik

Bibir : Kering (-), deskuamasi (-)

Wajah : Simetris

Sirkum oral : TAK

Lain-lain :-

2.2.3 Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut

Gingiva : Odem di region anterior lingual rahang bawah

Mukosa bukal : 1. Kanan: multiple papul putih kekuningan,

ukuran diameter rata-rata 1mm. Ulser putih

kekuningan,dangkal, ditutupi pseudomembran


11

kekuningan tepiirregular,warnaeritemadifus,

ukuran 10mm; kiri: TAK

Mukosa labial : TAK

Palatum durum : TAK

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK

Lidah :lateral kananmultiple ulcer putih kekuningan, dasar

dangkal, diameter rata-rata 2 mm, tepi irregular.

;3.Dorsum: plak putih, dapat dikerok, tidak

meninggalkan daerah eritema. Pada ujung dorsal

lidah: ulserdikeilingi daerah eritematous

Dasar mulut : Multiple ulser warna eritema difus diameter rata-

rata2mm, tepi irreguler

Oropharynx : Multiple ulser, warna kekuningan, ditutupi

pseudomembran, tepi irregular dikelilingi eritema

difus.

Gambar 2.7 Bibir Saat Kontrol 1 Minggu


12

Gambar 2.8 Dorsal Lidah Saat Kontrol 1 Minggu

Gambar 2.9 Lidah Sisi Kanan Saat Kontrol 1 Minggu

Gambar 2.10 Lidah Sisi Kiri Saat Kontrol 1 Minggu


13

Gambar 2.11 Mukosa Bukal Sisi Kanan Saat Kontrol 1 Minggu

Gambar 2.12 Ventral Lidah Saat Kontrol 1 Minggu

Gambar 2.13 Lesi Ulserasi pada Daerah Orofaring


14

2.2.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang

Hematologi:

1. Hematologi 8 parameter: hasil satuan

a. Hemoglobin 14.4 g/dL

b. Hematokrit 44.9 ᶟ

c. Leukosit H 12.52 10ˆ3/uL

d. Eritrosit 5.39 juta/uL

e. Trombosit 391 ribu/uL

f. Index Eritrost

MCV 83.3 fL

MCH 26.7 pg

MCHC 32.1 ᶟ

2. Imunoserologi

Anti HSV 1 IgG 38.00 reaktif

2.2.5 Diagnosis

D/ Infeksi HSV-1

DD/RAS herpetic, hand-foot-mouth disease

D/ Coated tongue

DD/ Oral candidiasis

2.2.6 Rencana Perawatan

- Non Farmakologis :
15

1. OHI dan KIE (instruksi membersihkan gigi dan lidah dengan kasa yang

telah dicelupkan minosep gargle 0,2%; menghindari makanan panas,

pedas, berbumbu tajam)

2. Th/ Grinding cusp gigi 13, 14

- Farmakologis

R/ Acyclovir 400mg tab No. XXX

S 4 dd 1

R/ Minosep gargle 0,2% Fls No. I

S call oris 3 d d 10 ml (kompres lidah)

R/ Vitamin B12 50mg tab No. XV

S 3 dd 1 ac.

R/ Asam folat 1mg tab No. V

S 1 dd 1 ac.

Kontrol 23-10- 2017

2.3 Status Kontrol II

2.3.1 Anamnesis

Pasien datang untuk kontrol ke 2, keluhan sakit menelan sudah tidak ada,

dan sakit pada lidah sudah berkurang. Pasien sudah meminumobattablet

acyclovirdan obat kumurchlorhexidine sesuai dengan yang diresepkan secara

teratur.
16

2.3.2 Riwayat Penyakit Sistemik

Penyakit jantung : YA/TIDAK

Hipertensi : YA/TIDAK

Diabetes mellitus : YA/TIDAK

Asma/alergi : YA/TIDAK

Penyakit hepar : YA/TIDAK

Kelainan GIT : YA/TIDAK

Penyakit ginjal : YA/TIDAK

Kelainan darah : YA/TIDAK

Hamil : YA/TIDAK

Kontrasepsi : YA/TIDAK

Lain-lain : YA/TIDAK

2.3.3 Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

2.3.4 Kondisi Umum

Keadaan umum : Baik Tensi :120/80 mmHg


Kesadaran : Compos mentisPernapasan : 19 kali/menit
Suhu : Afebris Nadi : 72 kali/menit

2.3.5 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit


17

Submental kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Servikal kanan dan kiri : Tidak teraba, tidak sakit

Mata : Konjungtiva non anemis, pupil

isokhor,sklera non ikhterik

TMJ : TAK

Bibir : kering (-) deskuamasi (-)

Wajah : Simetris

Sirkum oral : TAK

Lain-lain : TAK

2.3.6 Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan mulut : Sedang (Skor OHI-S=1,9), Plak (+),Kalkulus

(+),Stain(-)

Gingiva :Odem di anterior lingual RB, periodontitis kronis

lokalisata pada gigi 31, 32, 41, 42

Mukosa Bukal : - kanan: lesi ulseratif warna putih, tepi irregular,

eritematous, tidak ada peninggian, ukuran ± 10mm

x 10mm, sakit (+).

Mukosa Labial : TAK

Palatum durum : TAK

Palatum mole : TAK

Frenulum : TAK
18

Lidah : - Dorsal : plak putih dapat di kerok tidak

meninggalkan daerah eritema pada pinggir

dorsal lidah

- Lateral kanan: eritema difus a/r anterior lateral

lidah kanan

-Lateral lidah kiri : ulser putih kekuningan, tepi

ireguler, dangkal, ukuran ± 5mm

- Ventral lidah kanan: ulser putih kekuningan tepi

ireguler, kedalaman ± 2mm , ukuran 5mm x 3mm.

Dasar Mulut : TAK

Status gigi

BUKAL
Peruba
CM CM V
han warna

LINGUAL

CP Z

BUKAL
19

Gambar 2.14 Bibir Saat Kontrol Ke-2

Gambar 2.15 Lateral Lidah Sisi Kiri Kontrol Ke-2

Gambar 2.16 Lateral Lidah Sisi Kanan Saat Kontrol Ke-2


20

Gambar 2.17 Ventral Lidah Saat Kontrol Ke-2

Gambar 2.18 Lesi Ulser pada Orofaring Saat Kontrol Ke-2

Gambar 2.19 Mukosa Bukal Bagian Kanan saat Kontrol Ke-2


21

Gambar 2.20 Dorsal Lidah saat Kontrol Ke-2

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang

Radiologi :TDL

Darah :TDL

Patologi Anatomi :TDL

Mikrobiologi :TDL

2.3.8 Diagnosis

- Infeksi HSV-I (sedang dalam proses penyembuhan)

- PostCoated Tongue

2.3.9 Rencana Perawatan dan Pengobatan

- Pro/ OHI dan KIE (instruksi pembersihan gigi dan lidah dengan kassa

yang telah dicelupkan minosep gargle 0.1% menghindari makanan

panas, pedas dan berbumbu tajam)

- R/ Triamcinolone acetonide 0.1% in orabase tube No. I


22

∫ 3 dd 1 oles pada lesi

- R/ Chlorhexidine gluconate 0.1% Fls No. I

∫ coll oris 3 dd 10 ml (kumur buang)

- R/ Vitamin B12 50mg tab No. XXI

∫ 3 dd 1 a.c

- R/ Asam Folat 1 mg tab No. VII

∫ 1 dd 1 a.c

- Pro Kontrol 1 minggu kemudian (30-10-17)


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi, Fungsi dan Histologi Mukosa Mulut

3.1.1 Anatomi

Mukosa oral dibagi menjadi 3 tipe (Nanci, 2013):

1. Masticatory

Merupakan mukosa yang menutupi gingiva dan palatal. Mukosa ini

menekan epitelium yang berkeratinin ke jaringan di bawahnya dengan

bantuan jaringan kolagen penghubung yang dapat menahan abrasi dan

gaya tekan dari proses mengunyah.

2. Lining

Merupakan mukosa yang menutupi semua area kecuali permukaan dorsal

lidah dan ditutupi oleh epitelium nonkeratinasi sehingga lebih permeable.

Mukosa ini dapat berubah elastis dan dapat meregang untuk membantu

berbicara dan mengunyah.

3. Special

Merupakan mukosa yang berada di belakang lidah merupakan gabungan

masticatory dan lining mukosa yang terdiri dari sebagian mukosa

berkeratin dan sebagian mukosa nonkeratin.

23
24

Gambar 3.3 Lokasi anatomi dari 3 tipe lapisan mukosa pada rongga
mulut (Nanci, 2013)

3.1.2 Fungsi

Mukosa oral adalah lapisan yang berfungsi untuk proteksi, sensasi, dan

sekresi, dan beradaptasi secara histologis dalam lingkungan yang khas pada

rongga mulut. Mayoritas kavitas oral dilapisi oleh mukosa nonkeratin yang

lembut, lembab, lunak yang terikat secara longgar pada jaringan di bawahnya dan

memperlihatkan mobilitas. Lapisan ini terdiri atas epitelium skuamosa berlapis

yang terus mengalami pembelahan sel pada lapisan basal yang terdalam (Bruch

and Treister, 2010).

Sel baru terus menunjukkan maturasi yang progresif ketika bermigrasi ke

lapisan permukaan dan selanjutnya akan mengalami pengelupasan. Area pada

mulut yang mengalami tekanan cukup besar dari proses mastikasi adalah palatum

keras, dorsum lidah, dan gingiva. Area tersebut dilapisi dengan mukosa berkeratin

untuk memberikan proteksi terhadap friksi dan abrasi, serta terikat kuat pada
25

periosteum untuk mencegah kerusakan dari tekanan yang besar (Bruch and

Treister, 2010).

Mukosa oral mempunyai fungsi utama yaitu sebagai pelindung jaringan

yang lebih dalam pada rongga mulut. Fungsi lainnya, antara lain sebagai organ

sensoris, aktifitas kelenjar, dan sekresi. Sebagai lapisan terluar, mukosa oral akan

melindungi jaringan rongga mulut dari lingkungan eksternal. Mukosa oral akan

melakukan proses adaptasi pada epitel dan jaringan ikat untuk menahan gaya

mekanis dan abrasi yang disebabkan aktifitas normal seperti mastikasi. Selain itu,

lapisan epitel mulut akan bertindak sebagai pelindung terhadap populasi

mikroorganisme yang tertinggal di rongga mulut yang dapat menyebabkan infeksi

bila masuk ke dalam jaringan (Nanci, 2013).

Fungsi sensoris mukosa oral akan memberikan informasi mengenai hal-hal

yang terjadi di rongga mulut. Dalam rongga mulut, reseptor akan berespon

terhadap suhu, sentuhan dan rasa sakit. Reseptor tertentu dalam rongga mulut juga

akan berespon terhadap kebutuhan akan air. Reflek seperti menelan, muntah, dan

salivasi juga diinisiasi oleh reseptor-reseptor pada mukosa oral (Nanci, 2013).

3.1.3 Struktur Histologi

Secara anatomi dan fungsional, membran mukosa oral dibagi menjadi dua

lapisan, yaitu epitelium dan lamina propria atau korium. Komponen utama dari

epitelium oral adalah keratinosit, melanosit, sel Langerhan, dan sel Merkel (Field

and Longman, 2003).


26

Gambar 3.1 Lapisan epitelium mukosa rongga mulut (Field and


Longman, 2003)

Integritas epitelium pada membran mukosa normal dipertahankan oleh

pembelahan keratinosit pada lapisan basal. Proses pembelahan keratinosit disebut

dengan keratinisasi. Epitelium pada mukosa oral menunjukkan variasi pada proses

keratinisasi (Field and Longman, 2003).

Pada kondisi yang benar-benar mengalami keratinisasi, sel kubus yang

terbentuk dari mitosis dekat lapisan basal bermigrasi ke permukaan, menjadi

bentuk yang lebih polihedral dan mengalami keterikatan antar sel, yang disebut

juga dengan prickle cell layer (stratum spinosum). Pada mikroskop cahaya,

prickles interseluler (desmosom) menunjukan perlekatan tunggal pada dinding sel,

tetapi pada mikroskop elektron perleketan interseluler menunjukkan kompleksitas

yang cukup besar. Desmosom bertindak sebagai barier mekanis untuk

memberikan kekuatan pada epitelium. Saat sel pada stratum spinosum bermigrasi

ke permukaan akan terbentuk struktur yang lebih datar dan granular (stratum

granulosum) (Field and Longman, 2003).


27

Distribusi di mana epitel mengalami perbedaan derajat keratinisasi pada

mukosa oral berhubungan dengan fungsi jaringan tersebut. Pada mukosa normal,

epitelium non-keratin atau parakeratin terlihat pada mukosa bukal, dasar mulut,

dan ventral lidah, sementara epitelium ortokeratin terlihat pada palatum keras,

dorsal lidah, dan gingiva. Pada dorsal lidah terdapat struktur khusus yang berbeda

dengan permukaan mukosa oral lainnya karena adanya papilla, yaitu papilla

filiformis, fungiformis, foliata dan vallata (Field and Longman, 2003).

Gambar 3.2 Diagram epitelium skuamosa yang berkeratin (Field and


Longman, 2003).

Lapisan sel basal (stratum basalis atau stratum germinosum) merupakan

lapisan sel tunggal yang paling dekat dengan dermis. Lapisan sel ini merupakan

prekursor keratinosit pada epidermis. Semua keratinosit diproduksi dari lapisan

sel yang tunggal ini, dan terus menerus mengalami mitosis untuk memproduksi
28

sel baru. Ketika sel terbentuk, sel yang sudah ada akan terdorong ke superfisial

dari stratum basalis (Peckham et al., 2004).

Stratum spinosum merupakan lapisan di atas stratum basalis yang terdiri

atas 8-10 lapisan sel. Sel pada lapisan ini memiliki banyak desmosom yang

mengikatkan antara satu sel dengan sel yang lainnya (Peckham et al., 2004).

Stratum granulosum merupakan lapisan di atas lapisan sel spinosum yang

terdiri atas 3-5 lapisan sel. Ketika sel berpindah ke atas, sel-sel ini akan

kehilangan nukleusnya dan organel sitoplasma, sel-sel ini akan kehilangan

nukleus dan organel sitoplasma, dan berubah menjadi lapisan skuamosa berkeratin

(Peckham et al., 2004).

Stratum korneum (lapisan skuamosa berkeratin) merupakan lapisan

terakhir. Lapisan ini terdiri atas sel-sel mati yang rata dan terisi oleh keratin yang

padat. Secara histologis sel-sel ini datar dan sulit terlihat. Pada larutan sodium

hidroksida lapisan ini terlihat bergelombang dan terlihat gambaran lapisan

sebanyak 10-20 (atau bahkan 35) sel yang berbentuk kolom heksagonal. Lapisan

pada permukaan sel ini dapat mengelupas (Peckham et al., 2004).

Sel melanosit dekat pada lapisan basal dan memperlihatkan struktur

granular (melanosom) yang merupakan prekursor pada melanin, pigmen hitam

yang memodifikasi warna kulit dan membran mukosa. Sel Langerhans merupakan

sel dendritik yang berada dekat dengan kompleks basal pada epitelium oral. Sel

ini memiliki fungsi imunologis, yang beraksi sebagai sel yang memperlihatkan

antigen dan menstimulasi limfosit T untuk melawannya (Field and Longman,

2003).
29

Lamina propria (korium) pada membran mukosa oral terpisah dari lapisan

submukosa oleh suatu zona yang mengalami transisi. Pada korium dan submukosa

terdapat kelenjar saliva minor dan kelenjar sebasea pada kavitas oral.

Distribusinya bervariasi, kelenjar mukosa biasanya paling banyak pada mukosa

bibir dan palatum posterior, sementara kelenjar sebasea paling banyak pada

mukosa bukal dan paling banyak memperlihatkan titik kuning (Fordyce’s spots).

Jaringan submukosa terdiri atas komponen jaringan lainnya seperti pembuluh

darah, lemak, jaringan fibrosa (Field and Longman, 2003).

3.2 Herpes Simplex Virus (HSV)

Virus tidak memiliki dinding sel dan terdiri atas inti asam nukleat yang

diselubungi oleh protein yang terdiri atas subunit yang identik. Virus memiliki

dua tipe, yaitu virus DNA (asam deoksiribonukleat) dan RNA (asam ribonukleat).

Virus DNA yaitu herpes simpleks, smallpox, hepatitis B, varicellazoster, dan

sebagainya. Virus RNA yaitu rabies, measles, dengue, rubella, yellow fever,

poliomyelitis, HIV dan sebagainya. Pada infeksi virus, replikasi virus terjadi saat

puncak atau sebelum terjadi manifestasi gejala klinis (Singh, 2007).

Herpes simplex virus (HSV) adalah virus DNA yang besar yang sering

menginfeksi manusia (Cliffe et al., 2014). Infeksi HSV mempengaruhi 60-95%

populasi orang dewasa di seluruh dunia (Marchi et al., 2017). Terdapat 80 jenis

virus herpes, setidaknya 8 diantaranya diketahui menyebabkan infeksi pada

manusia, yaitu termasuk herpes simpleks virus (HSV) -1 dan -2, varicella zoster

virus (VZV), Epstein-Barr Virus, Cytomegalovirus, HHV-6, -7, -8


30

(Balasubramaniam et al, 2017). HSV-1 adalah patogen penting yang

menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada manusia, secara predominant

menginfeksi mukosa oral dan menyebabkan cold sore. Ini memiliki kemampuan

untuk tetap laten di neuron host seumur hidup, dan dapat diaktifkan kembali untuk

menyebabkan lesi pada atau di dekat tempat infeksi awal. Antibodi HSV-2

dianggap mencerminkan infeksi genital (Osman et al., 2017).

Virus herpes merupakan virus yang paling banyak menyebabkan infeksi

oral pada manusia. Infeksi virus herpes sering bersifat rekuren dan laten. Struktur

virus herpes berupa virus icosahedral yang memiliki selubung, berdiameter 180-

200 nm dan terdiri atas molekul DNA yang linear dan beruntai ganda (Gambar

3.3) (Samaranayake, 2008). Virus herpes memiliki struktur berupa inti internal

yang terdiri atas genome virus, sebuah nukleokapsid icosahedral, tegumen, dan

selubung lipid luar yang terdiri atas glikoprotein viral pada permukaannya yang

berasal dari membran selular inang (Greenberg, 2008). Virus herpes tidak stabil

dalam temperatur ruangan, dan cepat terinaktivasi oleh pelarut lipid seperti

alkohol dan disinfektan lainnya yang menyebabkan disrupsi selubung lipid luar

(Samaranayake, 2006).
31

Gambar 3.4 Struktur sel HSV (Samaranayake, 2006; Bearer, 2012).

3.2.1 Patofisiologi

Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 menginfeksi epitel dan menyebabkan

infeksi laten di neuron. Infeksi HSV menyebabkan infeksi sitolitik, yaitu terjadi

perubahan patologi yang disebabkan oleh nekrosis sel yang terinfeksi disertai

respon peradangan. Perubahan histopatologi khas mencakup penggelembungan

sel yang terinfeksi, produksi badan inklusi intranuklear Cowdry tipe A, marginasi

kromatin, dan pembentukan sel raksasa berinti banyak. Inklusi awal sebenarnya

mengisi nukleus tetapi kemudian memadat dan dipisahkan oleh halo dari kromatin

pada tepi nukleus. Fusi sel menyediakan metode yang efisien untuk penyebaran

HSV dari sel ke sel bahkan saat ada antibodi penetral (Brooks et al., 2004).

Infeksi primer HSV ditularkan melalui kontak terhadap orang yang rentan

oleh individu yang mengeluarkan virus. Virus harus menembus permukaan

mukosa atau kulit yang luka untuk memulai infeksi (kulit yang utuh bersifat

resisten). Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring dan virus menyebar

melalui droplet pernapasan atau kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi.

Replikasi virus terjadi pertama kali di tempat infeksi. Virus kemudian menginvasi

ujung saraf lokal dan dibawa melalui aliran aksonal retrograd ke ganglion radiks
32

dorsalis, tempat terjadinya latensi setelah replikasi lanjutan. Infeksi HSV-1

orofaring menyebabkan infeksi laten pada ganglion trigeminalis. Infeksi HSV

primer biasanya bersifat ringan; bahkan kebanyakan bersifat asimtomatik. Jarang

terjadi penyakit sistemik. Terkenanya organ yang tersebar luas dapat terjadi bila

pejamu imunokompromais tidak mampu membatasi replikasi virus dan timbul

viremia (Brooks et al., 2004).

Infeksi laten virus HSV terjadi ketika virus menetap di ganglion pada

stadium tidak bereplikasi; hanya sedikit gen virus yang diekspresikan. Stimulus

provokatif, termasuk cedera aksonal, demam, stres fisik atau emosional, dan

pajanan ultraviolet, dapat mengaktifkan kembali virus dari stadium laten. Virus

memungkinkan akson kembali ke perifer, dan replikasi terus berlangsung di kulit

ataupun selaput lendir. Banyak rekurensi bersifat asimtomatik. Bila simtomatik,

episode infeksi HSV-1 rekuren biasanya bermanifestasi sebagai lepuh demam

(cold sores) dekat bibir (Brooks et al., 2004).

HSV menyebar dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung

dengan sekresi yang terinfeksi. Virus memasuki host melalui membran mukosa

atau kulit dan diangkut secara retrograde di sepanjang neuron sensorik perifer ke

ganglia dimana ia memasuki keadaan laten yang tidak berulang. Secara berkala,

HSV dapat diaktifkan kembali dari keadaan laten dan anterograde perjalanan di

sepanjang saraf sensorik perifer ke kulit atau situs mukosa. Penularan HSV secara

mucocutaneous berulang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan gejala yang

diketahui, namun pada kedua keadaan, virus dapat ditularkan (Brady, 2004).
33

Gambar 3.5 Siklus hidup herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) (Saksena et
al., 2018).

3.2.2 Gambaran Klinis

Sebagian besar infeksi bersifat subklinis. Gejala terutama terdiri dari lesi

ulseratif di tempat infeksi dankomplikasi seperti kebutaan, ensefalitis dan

meningitis aseptik dapat terjadi walaupun jarang, terutama pada host yang

mengalami gangguan kekebalan.

HSV-1 dan HSV-2 merupakan dua tipe utama virus herpes yang diketahui

dapat menyebabkan infeksi oral dan perioral terbanyak. Kedua dapat dibedakan

dengan antibodi yang terbentuk untuk melawan tiap tipe virus atau melalui

analisis DNA nuclear dengan restriction endonuclease analysis

(Balasubramaniam et al, 2017).

Ada dua jenis HSV, HSV-1 dan HSV-2, keduanya ditransmisikan melalui

kontak langsung dengan sekresi yang terinfeksi. HSV-2 ditularkan secara seksual,

mengakibatkan salah satu penyakit kelamin yang paling umum, mempengaruhi


34

remaja dan orang dewasa dan memfasilitasi penularan HIV (Marchi et al., 2017).

Bergantung pada praktek seksual, kedua tipe dapat menyebabkan infeksi primer

atau rekuren pada oral, perioral, atau genital.

Infeksi Primer Herpes Simpleks

Penyakit HSV primer yang simptomatik dapat diikuti oleh adanya gejala

sistemik, seperti demam, sakit kepala, malaise, nausea, muntah dan limfadenopati.

Gejala prodromal ini penting untuk mempertimbangkan perbedaan infeksi HSV

dengan penyakit vesiculoulserative lainnya pada rongga mulut. Pada rongga

mulut, terlihat vesikel dan ulser pada mukosa oral dan gingivitis marginalis akut

generalisata terjadi pada 1-2 hari setelah gejala prodromal terjadi

(Balasubramaniam et al., 2017). HSV primer pada anak yang sehat biasanya

merupakan penyakit yang self-limiting, dengan demam yang akan menghilang 2-4

hari dan lesi oral akan sembuh pada 7-10 hari. Perawatan infeksi HSV primer

biasanya paliatif. Kasus yang ringan dapat diobati dengan perawatan suportif,

seperti pengaturan cairan tubuh, penggunaan acetaminophen untuk meredakan

demam, dan menggunakan anastesi topikal untuk mengurangi rasa nyeri oral. Jika

pasien memperlihatkan adanya erupsi vesikel dalam 24-48 jam, medikasi antiviral

dapat membantu mempercepat waktu penyembuhan lesi dengan menghambat

replikasi DNA pada sel yang terinfeksi HSV. Acyclovir, merupakan medikasi

antiviral, yang dapat mengurangi gejala pada infeksi HSV primer. Selain itu,

valacyclovir dan famiclovir juga merupakan agen antiviral yang dapat digunakan
35

untuk mengobati infeksi HSV primer, karena keduanya mempunyai

bioavailabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan acyclovir (Balasubramaniam

et al., 2017).

Gambar 3.6. Primary Herpetic Gingivostomatitis. Lesi Vesikuloulseratif pada


Mukosa Labial (Anak Panah) dan Eritema Pada Gingiva Maksila

Infeksi Rekuren Herpes Simpleks

Setelah penyembuhan infeksi primer HSV, virus bermigrasi ke ganglion

saraf trigeminal, kemudian dapat menetap pada tahap laten. Reaktivasi virus dapat

disebabkan oleh paparan dingin, cahaya matahari, stress, trauma atau

imunosupresi. Recurrent herpes labialis (RHL) merupakan bentuk infeksi rekuren

HSV yang paling sering terjadi, muncul pada pertemuan mukokutan pada bibir

dan sering disebut sebagai cold sore atau fever blister. Infeksi herpes rekuren pada

pasien sehat harus diobati secara simptomatis. Pengobatannya mungkin

memerlukan medikasi antivirus sistemik. Topical penciclovir dapat mengurangi

durasi dan nyeri pada RHL 1-2 hari. Dosis yang direkomendasikan untuk

penciclovir diaplikasikan pada daerah 2 jam untuk 4 hari dalam keadaan tersadar

(Balasubramaniam et al, 2017).


36

Gambar 3.7 Recurrent Herpes Labialis

Meskipun infeksi herpes rekuren paling sering terjadi pada bibir dan

mukosa yang berkeratin seperti palatum, dan gingiva, reccurent intraoral herpes

(RIH) dapat terjadi pada permukaan mukosa intraoral manapun, lebih banyak

terjadi pada pasien immunocompromised. Pasien yang mempunyai resiko untuk

rekurensi tinggi terjadi pada pasien yang melakukan kemoterapi atau obat

immunosupresi. Rekurensi lesi HSV pada pasien immunocompromised terlihat

pembesaran ulser lebih progresif, dapat terjadi pada bagian labial, intraoral,

genital atau rektal jika tanpa pengobatan. Pasien immunosupresi dengan infeksi

HSV secara umum memberi respon yang baik terhadap acyclovir yang

diadmistrasi secara oral atau intravena (Balasubramaniam et al, 2017).

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Uji laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis infeksi HSV antara lain

virologic test, cytology smear,dan immunomorphologic test(Balasubramaniam et

al, 2017).
37

1. Virologic Test

Standar untuk identifikasi virus dan diagnosis adalah isolasi pada kultur

jaringan. Tujuan isolasi virus untuk melihat cytopathic effect (CPE) pada

inokulasi sel virus. Ketika dilihat dengan cahaya mikroskop, sel yang terinfeksi

virus menunjukkan sel raksasa multinukleasi, sincitium dan degenerasi nuclei

(Balasubramaniam et al, 2017).

2. Cytology Smear

Lapisan tipis sel epitel pada dasar lesi dapat dianalisis untuk menentukan

jika sel menunjukkan perubahan konsisten dengan infeksi HSV. Pewarnaan yang

dipakai adalah Giemsa (Balasubramaniam et al, 2017).

3. Immunomorphologic Test

Diagnosis infeksi virus herpes dapat dibuat dengan mudah dan cepat

menggunakan teknik immunomorfologik. Pada direct fluorescent assay (DFA),

specimen diinkubasi dengan fluorescein isothiocyanate-labeled HSV type

specific. Pada sel yang positif terinfeksi, flouresein hijau dan teknik ini sering

digunakan untuk diagnosis cepat (Balasubramaniam et al, 2017).

3.2.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Infeksi HSV dapat didiagnosis secara klinis, recurrent aphthous stomatitis

(RAS) sering didiagnosis dengan infeksi HSV. Infeksi HSV biasanya diawali

dengan gejala sistemik prodromal sebelum terbentuknya ulser. Infeksi HSV

biasanya muncul dengan eritema gingiva, hal ini tidak terjadi pada RAS. Infeksi

HSV secara klinis menyerupai infeksi virus coxsakie, herpangina dapat dibedakan
38

dari infeksi HSV karena lesi yang berhubungan dengan herpangina biasanya pada

orofaring posterior, termasuk palatum lunak, uvula, tonsil dan dinding faringeal,

sedangkan lesi HSV terjadi dalam rongga mulut. Herpangina tidak menimbulkan

gingivitis akut generalisata seperti yang terlihat pada infeksi HSV. Erythema

multiforme (EM) juga dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dari infeksi

HSV. Pada lesi EM tidak tampak adanya eritema pada gingiva dan target lesi luas

termasuk pada kulit (Greenberg, 2008).

3.2.4.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren adalah ulserasi pada mukosa oral yang terasa

sakit dengan karakteristik terjadi secara berkala dalam hitungan hari sampai bulan,

bahkan tahun. Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan lesi tersebut

adalah genetik, trauma, hipersensitivitas terhadap satu makanan, stress, infeksi.

Faktor tersebut merupakan peran utama dalam pembentukan stomatitis aftosa

rekuren, tetapi etiologi pasti belum dapat ditentukan (Laskaris, 2006).

Stomatitis aftosa rekuren dibagi dalam 3 jenis menurut ukurannya, yaitu

ulkus minor, mayor dan herpetiform. Selama periode awal, terbentuk area

terlokalisasi yang membentuk eritema. Dalam hitungan jam, terbentuk papula

kecil berwarna putih, mengalami ulserasi, dan melebar dalam 48-72 jam. Lesi

berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (menyerupai ulser virus), tetapi tidak

terdapat tissue tagyang terdapat pada vesikel yang ruptur, yang membantu

membedakannya dengan penyakit yang dimulai dari vesikel (seperti pemfigus dan

pemfigoid) (Greenberg, 2008).


39

Ulkus minor adalah bentuk yang paling umum, dan secara klinis memiliki

gambaran kecil, nyeri, berbentuk bulat dengan diameter 3-6 mm ditutupi dengan

membran kuning keputihan dan dikelilingi halo merah tipis. Lesi dapat tunggal

atau banyak (2-6 buah), dan dapat sembuh tanpa luka parut dalam 7-12 hari

(Laskaris, 2006).

Gambaran klinis ulkus mayor berupa ulkus yang dalam dan nyeri, 1-2 cm

dalam diameter, berlangsung selama 3-6 minggu. Jumlah lesi bervariasi dari 1-5

buah (Laskaris, 2006). Aftosa mayor melibatkan palatum lunak, kerongkongan

dekat tonsil, mukosa labial, dan lidah, serta kadang-kadang meluas ke gingiva

cekat. Ciri khasnya berupa ulser berbentuk kawah, asimetris, dan unilateral. Sifat

paling mencolok dari lesi adalah ukurannya yang besar dan bagian tengahnya

yang nekrotik serta cekung. Tepi yang meradang berwarna merah dan menonjol

biasanya ditemukan. Bergantung pada ukurannya, pengaruh traumatik, dan infeksi

sekunder, ulser dapat berlangsung dari beberapa minggu sampai bulan. Oleh

karena ulser menimbulkan erosi jauh ke dalam jaringan ikat, ulser akan sembuh

disertai pembentukan jaringan parut setelah kambuh berulang kali. Rasa nyeri

yang ekstrem dan limfadenopati merupakan gejala yang sering ditemukan

(Langlais, 2009).

Ulkus herpetiform merupakan varian yang jarang ditemukan pada

stomatitis aftosa. Secara klinis, ulser mirip yang terlihat pada herpes primer

(karena itu disebut herpetiformis). Sifat paling mencolok dari penyakit ini adalah

adanya erosi putih abu-abu yang banyak, dengan ukuran seujung kepala jarum,

yang membesar dan bergabung menjadi ulser. Pada awalnya, ulser berdiameter 1-
40

2 mm dan timbul dalam kelompok 10 atau 100 buah. Mukosa di dekat ulser

berwarna merah dan sakit merupakan gejala yang dapat terdeteksi (Langlais,

2009).

Setiap bagian mukosa mulut dapat terkena ulserasi herpetiformis, tetapi

bagian ujung dan tepi lidah serta mukosa labial adalah yang paling terpengaruh.

Ukuran ulserasi yang lebih kecil membedakannya dari aftosa minor dan tidak

adanya vesikel dan gingivitis, bersama dengan sifatnya yang sering dan rekuren

membedakannya dari herpes primer dan infeksi virus rongga mulut yang lain.

Virus tidak dapat dibiakkan dari lesi ini dan ulser tidak menular (Langlais, 2009).

Episode pertama ulserasi herpetiformis biasanya terjadi pada pasien di

akhir usia dua puluhan atau tiga puluhan, 10 tahun sesudah insiden puncak aftosa

minor. Lamanya serangan rekuren bervariasi dan tidak bisa diduga. Sebagian

besar pasien mengalami penyembuhan dalam waktu 2 minggu, namun beberapa

pasien tetap mempunyai lesi ini selama berbulan-bulan. Faktor pemicu untuk

penyakit ini masih harus ditentukan. Ulserasi herpetiformis kambuhan sangat

merespon pemberian larutan tetrasiklin, baik secara topikal maupun sistemis, dan

kondisi ini sering kali menghilang secara spontan setelah beberapa tahun

(Langlais, 2009).

Gambar 3.8 Gambaran Gambar 3.9 Gambaran Gambar 3.10 Gambaran


RAS tipe minor(Scullyet RAS tipe mayor(Scullyet RAS tipe
al, 2003). al, 2003). herpetiform(Scullyet al,
2003)
41

3.2.4.2 Hand-Foot-Mouth Disease

Penyakit Hand-Foot and Mouth adalah penyakit yang cukup menular,

disebabkan oleh beberapa virus Coxsackie grup A dan B. Lesi biasanya

menyerang anak-anak, tetapi juga dapat dilihat pada dewasa muda, khususnya

selama musim semi dan panas. Seperti terlihat dari namanya, keadaan ini

menimbulkan lesi ulseratif kecil di dalam mulut bersama dengan ruam eritema

pada kulit tangan, jari-jari, dan telapak kaki. Kadang-kadang, tungkai dan bagian

bawah batang tubuh juga terkena. Lesi ditandai oleh vesikel seujung jarum yang

multipel, mengalami ulserasi, dan membentuk krusta. Pasien bisa saja mempunyai

beberapa sampai lebih dari 100 lesi kecil tersebut dengan halo eritema yang jelas

(Langlais et al., 2009). Infeksi virus Coxsackie khususnya pada penyakit hand-

foot and mouth ini dapat memiliki ulserasi yang meluas pada kavitas oral yang

menyerupai herpetic gingivostomatitis, tetapi ulser secara umum tidak bergabung

(berkelompok) dan tidak mengenai gingiva (Greenberg, 2008).

Lesi rongga mulut penyakit hand-foot and mouth terserak terutama pada

lidah, palatum keras, dan mukosa bukal serta labial. Nantinya, lesi-lesi ini

bergabung untuk membentuk daerah erosi yang besar. Berbeda dengan

herpangina, orofaring biasanya tidak terkena dan jumlah total lesi intraoral bisa

mencapai 30 buah. Sakit dan gejala seperti flu (demam, lemas, serta

limfadenopati) biasanya ditemukan, bersama dengan batuk, anoreksia, muntah dan

diare. Diagnosisnya ditentukan berdasarkan biakan virus dan pemeriksaan serum

antibodi. Namun, distribusi klasik lesi pada telapak tangan, telapak kaki, dan
42

mukosa mulut pada sebagian besar keadaan sudah bersifat diagnostik.

Penyembuhan terjadi dalam 10 hari terlepas dari bentuk perawatan yang diberikan

(Langlais et al., 2009).

Gambar 3.11 Penyakit hand-foot and mouth: ulser seujung jarum (Langlais et al.,
2009)

Gambar 3.12 Penyakit hand-foot and mouth: ulser pada kaki (Langlais et
al.,2009)

Gambar 3.10 Penyakit hand-foot and mouth: ulser labial (Langlais et al.,
2009)

Gambar 3.11 Penyakit hand-foot and mouth: beberapa lesi bergabung dan
sakit (Langlais et al., 2009)
43

3.2.5 Terapi pada Herpes Simplex Virus

3.2.5.1 Terapi Antivirus

Pengobatan untuk infeksi HSV oral atau genital primer pada pasien sehat

biasanya diberikan secara oral selama 7-10 hari dengan asiklovir, valasiklovir,

atau famciclovir. Pengobatan untuk penyakit rekuren dapat bersifat episodik

(pengobatan pada tanda atau gejala wabah pertama) selama 1-5 hari untuk

mengurangi gejala infeksi HSV atau penekanan (harian) untuk mencegah

kekambuhan. Terapi supresif juga mengurangi gejala dan penularan. Pengobatan

penyakit parah, seperti infeksi neonatal atau ensefalitis, harus disertai asiklovir

intravena (i.v.) (Brady, 2004).

 Acyclovir (Zovirax)

Acyclovir merupakan analog nukleosida purin sintetis dengan aktivitas

inhibitor melawan virus herpes pada manusia secara in vitro dan in vivo.

Acyclovir triphosphate mempengaruhi polimerasi DNA virus dan menghambat

replikasi virus dengan terminasi rantai pada saat memasuki DNA virus. Acyvlocir

hanya 20% diserap dalam saluran pencernaan. Hampir semua obat acyclovir

diekskresikan tanpa diubah oleh ginjal melalui sekresi tubular dan filtrasi

glomerulus. Carboxymethylguanine merupakan metabolit acyclovir yang

signifikan ditemukan pada urin (Singh, 2007).

Efek samping termasuk nausea, muntah, letih, diare, nyeri abdominal,

ruam termasuk fotosensitivitas, urtikaria, pruritus, peningkatan urea darah dan

kreatinin, dan peningkatan bilirubin serta enzim yang berhubungan dengan liver.
44

Efek samping neurologis termasuk sakit kepala, pusing, bingung, halusinasi,

somnolen, dan kejang (Singh, 2007).

Indikasi acyclovir termasuk perawatan infeksi virus herpes simpleks pada

kulit dan membran mukosa (termasuk herpes genital inisial dan rekuren),

pencegahan rekurensi infeksi herpes simpleks pada pasien imunokompeten,

profilaksis infeksi herpes simpleks pada pasien immunocompromised, perawatan

infeksi varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles) (Singh, 2007).

Waktu paruh acyclovir berkisar dari 2 hingga 4 jam (Yagiela et al, 2011).

Dosis acyclovir pada orang dewasa untuk perawatan infeksi virus herpes yaitu 400

mg tiga kali sehari atau 200 mg 5 kali sehari selama 7-10 hari secara per oral.

Sedangkan untuk perawatan topikal yaitu 5% cream dengan menutupi lesi dengan

tipis sebanyak 5 kali sehari selama 4 hari (Katzung et al, 2012).

 Famciclovir

Famciclovir (Famvir) diindikasikan untuk perawatan herpes zoster akut

(shingles), perawatan supresi pada herpes genital rekuren pada pasien

imunokompeten, perawatan infeksi herpes simpleks mukokutan rekuren pada

pasien yang terinfeksi HIV. Efek samping yaitu sakit kepala, parestesi, migrain,

nausea, diare, muntah, nyeri abdomen, lelah, pruritus, ruam, dan dismenor. Untuk

herpes zoster, dosis pada pasien imunokompeten adalah 750 mg sekali sehari

selama 7 hari atau 250 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Dosis untuk pasien

immunocompromised 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari. Famciclovir harus


45

dimulai segera setelah diagnosis herpes zoster, khusunya dalam 48 jam setelah

onset ruam. Pada herpes genital, dosis untuk pasien imunokompeten adalah 250

mg mg tiga kali sehari untuk 5 hari. Pada pasien immunocompromised, dosis 500

mg dua kali sehari selama 7 hari (Singh, 2007).

 Valacyclovir (Valtrex)

Valacyclovir merupakan ester L-valyl dan secara cepat dikonversi menjadi

acyclovir setelah administrasi oral. Mekanisme aksi dan farmakokinetiknya sama

dengan acyclovir. Pada herpes genital dosis yang dibutuhkan yaitu 1 g BD untuk

10 hari, dan untuk rekurensi 500 mg BD (Singh, 2007).

3.2.5.2 Antimikrobial Topikal

Chlorhexidine merupakan agen antiplak dan antigingivitis yang termasuk

ke dalam golongan chlorophenyl biguanide. Chlorhexidine adalah asam glukonat

yang terdapat pada obat kumur, gel, dan pasta gigi untuk mengontrol plak dan

gingivitis. Chlorhexidine berikatan dengan dengan grup anionik pada permukaan

bakteri, pada grup fosfat dari asam teichoic bakteri gram positif dan grup fosfat

pada lipopolisakarida bakteri gram negatif. Ketika bisbiguanide berikatan dengan

organisme, membran sel menjadi permeabel dan menyebabkan cairan sitoplasma

keluar dari sel. Pada konsentrasi yang tinggi, chlorhexidine menyebabkan

presipitasi protein sitoplasmik. Dengan sifat kationiknya, bis-biguanida juga

berikatan secara elektrostatik pada hidroksiapatit gigi dan melekat pada pelikel,

plak dan mukosa bukal (Yagiela et al., 2011).


46

Chlorhexidine memiliki efek samping seperti timbulnya pewarnaan

ekstrinsik seperti warna kuning kecoklatan pada gigi, restorasi anterior, dan

dorsum lidah. Pewarnaan ekstrinsik ini tidak dapat dihilangkan dengan menyikat

menggunakan pasta gigi biasa sehingga harus menggunakan penghalusan secara

mekanis. Chlorhexidine juga cenderung menimbulkan deskuamasi mukosa dan

rasa sakit. Larutan yang terdiri atas bis-biguanide memiliki rasa yang pahit dan

menyebabkan gangguan sensasi rasa (Yagiela et al., 2011).

Chlorhexidine 0.12% digunakan untuk mengurangi flora mikrobial

patogen yang sering berhubungan dengan infeksi periodontal. Dosis yang

digunakan adalah 480 ml, kumur-kumur 1 sendok teh selama 1 menit kemudian

buang. Lakukan dua kali sehari setiap hari (pagi dan sore setelah menggosok gigi)

(Langlais et al., 2009).

3.2.5.3 Asam Folat

Asam folat merupakan bentuk vitamin B kompleks yang larut dalam air.

Zat ini memiliki peran yang penting dalam berbagai reaksi intraseluler seperti

konversi serin menjadi glisin, sintensis thymidylate, sintens purin, metabolisme

histidine, dan sebagainya. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan glossitis,

enteritis diare, lemah, dan kehilangan berat badan. Salah satu ciri defisiensi asam

folat adalah anemia megaloblastik. Asam folat diindikasikan pada keadaan

anemia, alkoholik, terapi tambahan untuk anemia pada kehamilan. Dosis


47

terapeutik pada orang dewasa yaitu 5-20 mg setiap hari, pada anak 5-10 mg setiap

hari (Singh, 2007).

3.2.5.4 Vitamin B12

Vitamin B12 merupakan vitamin yang larut dalam air berbentuk

methylcobalamine. Vitamin ini tidak dikonversi setelah diabsorpsi oleh tubuh.

Vitamin B12 memiliki efek yang baik dalam melawan penuaan otak dan

memperbaiki pola tidur yang tidak teratur. Selain itu vitamin ini memiliki fungsi

imun dan memicu pertumbuhan sel normal. Gejala defisiensi vitamin B12 antara

lain glossitis, gangguan saluran pencernaan, anemia megaloblastik, degenerasi

sumsum tulang, neuritis periferal, memori yang buruk, perubahan suasana hati dan

halusinasi (Singh, 2007).

3.3 Stres Emosional yang Berhubungan dengan Infeksi Virus Herpes

Pengaturan fungsi fisiologis secara stabil (homeostasis) secara konstan

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penyakit, luka, keadaan emosional yang

kurang menyenangkan, dan sebagainya. Respon tubuh terhadap penyebab stres

diatur sebagian besar oleh hipotalamus, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, yang

bergabung dalam HPA axis (Gambar 3.12) (Anisman and Merali, 1999).

Hipotalamus yang berada dekat dasar otak akan mensekresikan dua

hormon yaitu corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin

(AVP) menuju kelenjar pituitari di dekatnya jika terdapat stimulus yang


48

membahayakan,. Kedua hormon tersebut akan menyebabkan sekresi

adrenocorticotopic hormone (ACTH) dari kelenjar pituitari. Kemudian sepanjang

aliran darah, ACTH menuju kelenjar adrenal yang terdapat di atas ginjal. Pada

manusia, kelenjar adrenal merespon ACTH dengan melepaskan hormon hormon

steroid (kortisol) ke aliran darah (Anisman and Merali, 1999). Rangsangan berupa

stres fisik maupun stres mental dalam beberapa menit saja dapat meningkatkan

sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat meningkat, sering

kali meningkat sampai 20 kali lipat (Guyton and Hall, 2006).

Gambar 3.12 Regulasi stres respon pada HPA axis (Anisman and Merali,

1999)

Peningkatan jumlah kortisol yang disekresikan pada tubuh dapat

menyebabkanefek anti-inflamasi yaitu: (1) kortisol dapat menghambat proses

inflamasi bahkan sebelum proses inflamasi itu sendiri mulai terjadi; atau (2)bila
49

proses inflamasi sudah dimulai, proses ini akan menyebabkan resolusi inflamasi

yang cepat dan meningkatkan kecepatan penyembuhan.Salah satu cara kortisol

dalam mencegah proses inflamasi yaitu dengan cara menekan jumlah limfosit T

dan antibodi yang ada di daerah inflamasi. Jumlah sel T dan antibodi yang

berkurang tersebut akan mengurangi reaksi jaringan yang jika tidak, akan memacu

proses inflamasi lebih lanjut. Berkurangnya jumlah limfosit T dan antibodi

berdampak pada penekanan sistem imun pada tubuh (Guyton and Hall, 2006).

Terjadinya peningkatan jumlah kortisol yang disebut sebagai paradox

cortisol, akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid di seluruh tubuh. Salah satu

efek utama kortisol terhadap sistem metabolisme tubuh adalah kemampuannya

untuk mengurangi penyimpanan protein di seluruh sel tubuh kecuali protein dalam

hati. Keadaan ini disebabkan oleh berkurangnya sintesis protein dan

meningkatnya katabolisme protein yang sudah ada di dalam sel. Kortisol bekerja

dengan cara menekan pembentukan RNA dan sintesis protein selanjutnya di

sebagian besar jaringan ekstrahepatik, terutama di otot dan jaringan limfoid. Bila

terjadi sekresi kortisol yang berlebih, otot dapat menjadi begitu lemah dan fungsi

imunitas dari jaringan limfoid dapat berkurang dari normal (Guyton and Hall,

2006).

Efek dari kadar kortisol yang tinggi terhadap metabolisme protein yaitu

terdapat peningkatan sintesis protein pada hati dan penurunan sintesis protein

(termasuk immunoglobulin) pada sel sehingga menyebabkan tubuh kehilangan

simpanan protein pada jaringan tubuh seperti otot, jaringan limfoid, jaringan

adiposa, kulit dan tulang (Huether et al., 2012). Akibatnya, dalam dosis yang
50

besar kortisol dapat menyebabkan atrofi pada jaringan limfoid di seluruh tubuh

sehingga akan mengurangi keluarnya sel-sel T dan antibodi dari jaringan limfoid.

Penurunan jumlah sel-sel antibodi tersebut akan menyebabkan tingkat kekebalan

tubuh terhadap sebagian besar benda asing seperti bakteri, virus dan jamur akan

berkurang (Guyton and Hall, 2006).


51

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan ekstraoral, intraoral, serta

pemeriksaan penunjang, pasien laki-laki berusia 29 tahun di diagnosis infeksi

HSV 1 dan coated tongue. Infeksi HSV1 disebabkan oleh Herpes Simplex Virus

(HSV), suatu alfa herpes virus yang merupakan virus DNA yang dapat

menyebabkan gingivostomatitis herpetic, penyakit mukokutaneus orofasial dan

penyakit ocular (Greenberg and Glick, 2008).

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan adanya banyak sariawan

pada lidah yang hilang timbul sejak 4 bulan lalu. Pasien mengalami demam satu

minggu sebelum sariawan pertama kali muncul pada 4 bulan lalu. Sariawan

semakin banyak dan semakin parah serta terasa sakit apabila pasien makan

ataupun minum. Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan ekstraoral, tidak terdapat pembesaran

kelenjar limfe, tidak ada kelainan pada mata, TMJ, wajah dan sirkum oral lainnya,

sedangkan pada bibir mengalami kering tanpa deskuamasi. Pada pemeriksaan

intraoral ditemukan adanya gingiva yang edema pada lingual anterior rahang

bawah, lesi ulseratif berwarna putih kekuningan yang dangkal dengan tepi

irregular dikelilingi eritema difus berdiameter 5 mm pada mukosa bukal kanan,

terdapat pula plak putih yang dapat dikerok pada dorsal lidah, terdapat multiple

ulser dengan tepi eritema, difus, dan ukuran bervariasi (diameter 3-5mm) yang

ditutupi selapis tipis pseudomembran berwarna putih kekuningan. Lalu terdapat


52

plak putih (diameter: 3 mm) dapat dikerok pada lateral kanan lidah, sedangkan

pada lateral kiri lidah terdapat multiple ulser, dengan warna kuning, tepi irregular

dikelilingi eritema difus, dan ditutupi pseudomembran kuning yang ukurannya

bervariasi (diameter 1-3mm), sementara itu pada ventral lidah terdapat multiple

ulser, berwarna eritema difus dengan ukuran bervariasi (diameter 1-3mm).

Namun, pada mukosa labial, palatum durum, palatum mole, frenulum dan dasar

mulut tidak terdapat kelainan.

Infeksi HSV 1 primer dapat menyebabkan gingivostomatitis. Pasien dapat

mengalami gejala seperti demam, nyeri dan ulserasi pada oral dan perioral

(Greenberg and Glick, 2008). Gingivostomatitis merupakan infeksi pada oral

mukosa yang menyakitkan dan menimbulkan demam, yang diawali dengan

malaise tidak spesifik dan myalgia, yang selanjutnya dalam 1-3 hari diikuti

adanya blister dan ulser pada lidah, bibir, mukosa bukal, gingiva, palatum lunak

dan palatum keras. Sedangkan, infeksi sekunder HSV lebih sering subklinis,

namun dapat juga simptomatik. Infeksi sekunder biasanya muncul pada

mucocutaneous junction, biasanya pada bibir yang dikenal dengan herpes labialis,

atau bisa juga terjadi pada gingiva dan palatum keras (Maki, 2018).

Meskipun dalam pemeriksaan ditemukan gejala dan temuan klinis yang

mengacu pada suspek infeksi HSV-1, akan tetapi tetap diperlukan pemeriksaan

penunjang untuk mengkonfirmasi diagnosis. Untuk konfirmasi diagnosis dalam

kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah 8

parameter dan pemeriksaan imunoserologi anti HSV-1. Berdasarkan hasil

pemeriksaan penunjang tersebut diketahui bahwa jumlah leukosit pasien tinggi


53

yaitu 12.52 10ˆ3/uL yang mengindikasikan adanya suatu infeksi pada tubuh

pasien, serta hasil imunoserologi pasien menunjukkan adanya anti HSV-1 yang

reaktif. Sehingga dapat dikonfirmasi bahwa pasien mengalami infeksi HSV-1

berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang.

Diagnosis infeksi virus herpes dapat dibuat dengan mudah dan cepat

menggunakan teknik immunoserologi. Teknik immunoserologi merupakan

metode tidak langsung, yaitu pengambilan sampel dari darah. Dilakukan dengan

mengambil sampel darah sebanyak 8-10 mL yang dimasukan ke dalam tabung

tanpa koagulan. Lalu darah dipisahkan dengan serum dengan teknik sentrifugasi,

setelah itu diperiksa adanya antibodi IgG pada sampel tersebut. Selain teknik

imunoserologi terdapat pula teknik lain untuk pemeriksaan penunjang diantaranya

tes virology dan cytology smear(Balasubramaniam et al, 2017).

Diagnosis banding dari HSV adalah RAS herpetic dan penyakit hand food

and mouth disease. RAS herpetic merupakan varian yang jarang ditemukan pada

stomatitis aftosa. Secara klinis, ulser mirip yang terlihat pada herpes primer

(karena itu disebut herpetiformis). Sifat paling mencolok dari penyakit ini adalah

adanya erosi putih abu-abu yang banyak, dengan ukuran seujung kepala jarum,

yang membesar dan bergabung menjadi ulser. Pada awalnya, ulser berdiameter 1-

2 mm dan timbul dalam kelompok 10 atau 100 buah. Mukosa di dekat ulser

berwarna merah dan sakit merupakan gejala yang dapat terdeteksi (Langlais,

2009). Lesi berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (menyerupai ulser virus), tetapi

tidak terdapat tissue tag (pengelupasan jaringan) yang terdapat pada vesikel yang

ruptur, yang membantu membedakannya dengan penyakit yang dimulai dari


54

vesikel (seperti pemfigus dan pemfigoid) (Greenberg, 2008). Ukuran ulserasi yang

lebih kecil membedakannya dari aftosa minor dan tidak adanya vesikel dan

gingivitis, bersama dengan sifatnya yang sering dan rekuren membedakannya dari

herpes primer dan infeksi virus rongga mulut yang lain. Virus tidak dapat

dibiakkan dari lesi ini dan ulser tidak menular (Langlais, 2009).

Penyakit Hand-Foot and Mouth adalah penyakit yang cukup menular,

disebabkan oleh beberapa virus Coxsackie grup A dan B. Seperti terlihat dari

namanya, keadaan ini menimbulkan lesi ulseratif kecil di dalam mulut bersama

dengan ruam eritema pada kulit tangan, jari-jari, dan telapak kaki. Kadang-

kadang, tungkai dan bagian bawah batang tubuh juga terkena. Lesi ditandai oleh

vesikel seujung jarum yang multipel, mengalami ulserasi, dan membentuk krusta.

Pasien bisa saja mempunyai beberapa sampai lebih dari 100 lesi kecil tersebut

dengan halo eritema yang jelas (Langlais et al., 2009). Infeksi virus Coxsackie

khususnya pada penyakit hand-foot and mouth ini dapat memiliki ulserasi yang

meluas pada kavitas oral yang menyerupai herpetic gingivostomatitis, tetapi ulser

secara umum tidak bergabung (berkelompok) dan tidak mengenai gingiva

(Greenberg, 2008). Distribusi klasik lesi pada telapak tangan, telapak kaki, dan

mukosa mulut pada sebagian besar keadaan bersifat diagnostik dan menjadi ciri

khas yang membedakannya dengan infeksi virus lain (Langlais et al., 2009).

Etiologi infeksi HSV-1 adalah adanya kontak langsung dengan Herpes

Simpleks Virus 1. Kontak tersebut dapat terjadi melalui sekresi tubuh yang

terinfeksi. Setelah infeksi primer tersebut, virus akan masuk ke akson sensoris

melalui aliran aksonal, melakukan replikasi dan mencapai fase laten pada
55

ganglion trigeminal. Ketika ada sebuah pemicu seperti gangguan kekebalan tubuh,

cahaya matahari, trauma, stress emosional dan menstruasi, virus dapat aktif

kembali dan melakukan replikasi pada ganglion, kemudian migrasi di sepanjang

akson hingga ke kulit atau mukosa. Kemudian virus secara langsung

menghancurkan sel epithelial hingga menghasilkan vesikel dan ulser (Greenberg

and Glick, 2008).

Pada kasus ini, pasien mengaku mengalami stress akibat pemutusan

hubungan kerja. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor predisposisi dari

infeksi HSV 1 pada pasien. Stress emosional merupakan salah satu faktor yang

dapat memicu aktifnya HSV. Secara simultan, stress dapat menurunkan kekebalan

tubuh. Hal tersebut dapat terjadi melalui mekanisme berikut, ketika terdapat suatu

stimulus berupa stressor, Hipothalamus Pituitary Adrenal (HPA) Aksis akan

menyekresikan ACTH, kemudian ACTH akan menuju korteks adrenal sehingga

korteks adrenal melepaskan kortisol (Guyton and Hall, 2006).

Bila terjadi peningkatan disekresikan pada tubuh, maka kortisol memiliki

efek antiinflamasi dengan cara menghambat proses inflamasi. Kortisol menekan

sistem imun dengan menurunkan reproduksi limfosit T. Jumlah sel T dan antibodi

yang berkurang di daerah inflamasi akan mengurangi reaksi jaringan yang jika

tidak, akan memacu proses inflamasi lebih lanjut (Guyton and Hall, 2006).

Terjadinya peningkatan jumlah kortisol yang disebut sebagai paradox

cortisol, akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dengan

adanya atrofi jaringan limfoid, reproduksi limfosit akan menurun, sehingga

menyebabkan penurunan sistem imun yang mengakibatkan tingkat kekebalan


56

tubuh terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh seperti infeksi bakteri,

virus dan jamur berkurang (Guyton and Hall, 2006). Ketika kekebalan tubuh

menurun, virus herpes laten yang berada pada ganglion trigeminal dapat

teraktivasi kembali sehingga terjadi infeksi herpes sekunder (Glaser and Glaser,

2001).

Pada pasien ini ditemukan juga adanya coated tongue. Coated tongue

merupakan suatu kondisi klinis yang terjadi pada bagian permukaan lidah yang

ditutupi oleh suatu selaput pseudomembran yang terjadi akibat penumpukan

debris atau sisa makan, sel sel keratin yang tidak terdeskuamasi, dan dapat

ditemukan adanya mikroorganisme seperti bakteri maupun jamur (Nuraenydkk.,

2017).Coated tongue pada pasien diduga terjadi karena penumpukan sisa

makanan akibat kebersihan mulut yang buruk dan pola diet lunak yang kurang

serat dan buah buahan. Faktor faktor yang mempengaruhi timbulnya coated

tongue antara lain seperti adanya penggunaan obat obatan (natrium perborat dan

peroksida, antibiotic penicillin dan tetrasiklin dan obat steroid sistemik),

kebersihan mulut yang buruk, gangguan kesehatan (penurunan sistem imun),

merokok, dan diet (kurangnya makanan berserat) (Ghom, 2010). Selain itu,

adanya stomatitis pada lidah pasien juga menyebabkan keterbatasan pergerakan

lidah pasien. Keterbatasan pergerakan lidah dapat mengurangi aliran saliva, aliran

saliva merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pembentukan

coated tongue, apabila aliran saliva rendah (<0.1 ml/min) akan terjadi akumulasi

lapisan pada lidah (Lawande, 2013). Dalam keadaan normal, lidah memiliki

lapisan yang terdiri dari mucus, deskuamasi sel epitel, organisme dan debris.
57

Lidah dilapisi oleh lapisan keratin, keratin terbentuk pada dorsum lidah secara

normal akan terdeskuamasi dan ikut ditelan bersama makanan. Bila keratin tidak

terdeskuamasi, seperti pada orang yang memakan makanan yang lunak dan

makanan yang kurang abrasif, maka lidah akan terlihat berselaput yang

disebabkan oleh akumulasi keratin pada papilla filiformis (AAOMP, 2015).

Diagnosis coated tongue ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada

lidah (Lewis and Jordan, 2013). Terdapat dua diagnosis banding dari penyakit

coated tongue, yaitu kandidiasis pseudomembran akutdan hairy leukoplakia

(Laskaris, 2006). Coated tongue harus dibedakan dari kedua penyakit ini agar

klinisi dapat memberikan rencana perawatan yang tepat. Kandidiasis

pseudomembran akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida

Albicans. Penyakit ini memiliki gambaran klinis terdapat selaput berwarna putih

kekuningan pada mukosa rongga mulut. Selaput ini dapat diangkat dengan

scrapping tetapi meninggalkan bekas eritem dan berdarah. Pasien biasanya

mengeluhkan perubahan rasa ketika makan dan rasa terbakar pada mulut serta rasa

sakit pada tenggorokan (John, 2008). Gambaran klinis kandidiasis berbeda dengan

coated tongue, selaput putih pada coated tongue dapat diangkat dan tidak

menimbulkan bekas eritem(Greenberg and Glick, 2003).

Pada kunjungan pertama, terapi farmakologis yang diberikan pada pasien

dalam kasus ini adalah penggunaan KIN mouthwash 3x sehari sebanyak 10 mL

untuk berkumur dan kompres pada lidah. KIN mouthwash merupakan sebuah obat

kumur yang mengandung chlorhexidine 0.12% dan Natrium Flouride 0,05%, serta

bebas alkohol. Chlorhexidine merupakan jenis antiseptik yang berspektrum luas


58

sehingga bisa membunuh bakteri gram positif, bakteri gram negatif, bakteri

anaerob, bakteri aerob, yeast serta fungi. Selain itu, penggunaan obat kumur yang

bebas alkohol bertujuan untuk menjaga tidak terjadi inaktivasi HSV-1 sebelum

dilakukan tes imunoserologi pada pasien. Penggunaan alkohol atau iodofor pada

lesi dapat mengaktivasi virus sehingga harus dihindari (Singh, 2005). Selain itu

pasien juga diberikan anjuran untuk mengkonsumsi sayur dan buah serta minum

air putih 8 gelas per hari. Konsumsi sayur dan buah dianjurkan untuk

meningkatkan friksi antara lidah dengan makanan. Konsumsi air putih delapan

gelas sehari dianjurkan pada pasien ini untuk menghindari terjadinya xerostomia

yang akan memicu terjadinya coated tongue. Pasien juga diinstruksikan untuk

kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat keberhasilan dari perawatan yang telah

diberikan.

Pada kunjungan kedua yaitu kontrol hari ke 7, pasien datang dengan

sariawan pada lidah yang sudah ada perbaikan, namun timbul sariawan baru pada

daerah amandel sehingga pasien mengalami kesulitan menelan. Berdasarkan hasil

laboratorium pasien positif terinfeksi HSV-1, kemudian pasien diberikan antivirus

yaitu Acyclovir 400 mg 4 kali sehari dan instruksi untuk terapi coated tongue

yaitu kompres lidah menggunakan minosep 3 kali sehari 10 ml. Pasien diberikan

juga vitamin B12 3 kali sehari setelah makan dan Asam folat 3 kali sehari setelah

makan yang berfungsi untuk mempercepat perbaikan jaringan yang mengalami

kerusakan akibat adanya inflamasi. Selain itu, pasien juga diinstruksikan untuk

kontrol kedua satu minggu kemudian.


59

Pasien diresepkan obat antivirus untuk mengobati infeksi HSV. Virus

merupakan parasit intraseluler obligat, sehingga agen antivirus harus mampu

secara selektif menghambat fungsi virus tanpa merusak host, membuat

perkembangan obat tersebut sangat sulit. Keterbatasan lainnya adalah adanya

replikasi virus yang terjadi selama masa inkubasi dan virus telah menyebar

sebelum menimbulkan gejala, membuat obat relatif tidak efektif. Perjalanan

infeksi herpes stomatitis primer mulai dari sedang hingga parah dapat diobati

secara signifikan dengan asiklovir oral dan topikal, obat-obatan ini mengganggu

sintesis DNA virus, seperti asiklovir dan vidarabine, tetapi ini harus diberikan

pada fase prodromal penyakit untuk hasil terbaik.

Agen antivirus topikal yang paling sering direkomendasikan untuk

mengobati rekuren herpes labialis termasuk asiklovir krim 5%, penciclovir 1%,

cream dan docosanol 10% cream, diaplikasikan setiap 2 jam sekali. Dari saat

prodromal hingga sembuh total (Jawets, 2007). Pada kasus ini, pasien diberikan

Asiklovir 400 mg 4x sehari. Dosis terapi untuk Asiklovir yaitu 200 mg 5 kali

sehari selama 7-10 hari secara per oral dengan dosis maksimal yaitu 1600 mg per

hari (Katzung et al, 2012; Langlais et al., 2009). Pemberian dosis Asiklovir

seharusnya diberikan sebanyak 400 mg selama 5x sehari karena waktu paruh

acyclovir berkisar dari 2 hingga 4 jam (Yagiela et al, 2011).

Pada kunjungan ketiga, keluhan sakit sakit menelan sudah tidak ada dan

sakit pada lidah berkurang. Pasien mengkonsumsi obat secara teratur dan

menggunakan obat kumur sesuai instruksi dokter. Secara klinis lidah pasien jauh

lebih bersih daripada kunjungan sebelumnya. Perawatan yang dilakukan pada


60

kunjungan ketiga yaitu pemberian Triamcinolone acetonide yang dioleskan pada

lesi 3 kali sehari, kemudian melanjutkan instruksi OHI dan KIE untuk

pembersihan gigi dan lidah dengan kassa yang telah dicelupkan minosep,

menghindari makanan pedas dan berbumbu tajam, lalu pemberian vitamin B12

dan Asam Folat yang berfungsi untuk mempercepat perbaikan jaringan yang

mengalami kerusakan akibat adanya inflamasi juga dilanjutkan. Kemudian pasien

diinstruksikan untuk kontrol ketiga pada satu minggu kemudian.


BAB V

SIMPULAN

Kasus pada makalah ini membahas mengenai infeksi HSV 1 yang

berhubungan dengan stress emosional, yaitu suatu infeksi yang disebabkan oleh

herpes simpleks virus 1 dengan faktor predisposisi berupa stress emosional.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang tes

immunoserologi, dapat disimpulkan bahwa pasien dalam kasus ini memiliki

diagnosis infeksi HSV 1 dan coated tongue. Pada kasus ini pasien diberikan agen

antivirus per oral, agen kortikosteroid topikal serta vitamin B12 dan Asam Folat.

Selain itu, pasien juga diberikan instruksi OHI dan KIE untuk berkumur dan

membersihkan lidah menggunakan obat kumur, Kombinasi perawatan tersebut

menunjukkan keberhasilan yang baik, ditandai dengan perbaikan keadaan mukosa

di rongga mulut.

59
DAFTAR PUSTAKA

Anisman H. and Merali Z. Understanding Stress: Characteristics and Caveats.Alcohol


Research & Health. 1999; 23(4) : 241-249

Bearer E. L. HSV, axonal transport and Alzheimers disease: In vitro and in vivo
evidence for causal relationships. Future Virol. 2012 September; 7(9): 885-899.
Doi:10.2217/fvl.12.81

Brooks G. F., Butel J. S., Morse S. A. 2004. Jawetz, Melnick and Adelberg’s Medical
Microbiology. Ed 23. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Bruch J. M. and Treister N. S. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology. London:

Humana Press.

Eppy. 2017. Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya. Contiuning Medical
Education. Vol.44 No 6.

Field A., Longman L., Tyldesley W.R. 2003. Tyldesley’s Oral Medicine. New York:
Oxford University Press.

Glaser R., Glaser JK. Stress-asociated immune modulation and its implication for

reactivation of latent herpesviruses. Columbus, Ohio: The Ohio State

University Medical Center; p.245-70.

Greenberg, M.S. and M, Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 11th ed. United States: BC Decker Inc.

Langlais L. P., Miller C. S., Nield-Gehrig J. S. 2009. Atlas Berwarna Lesi Mulut yang
Sering Ditemukan. Jakarta: EGC.

Laskaris G. 2006. Atlas Saku Penyakit Mulut. Edisi 2. Jakarta: EGC.

60
Li F., Chen J., Yu L., Ling Y., Jiang P., Fu X., et al. The role of stress management in
the relationship between purpose in life and self-rated health in teachers: A
mediation analysis. Vol. 13, International Journal of Environmental Research
and Publich Health. 2016.

Lugito MDH, Pradono S. A. Valacyvlovir in the management of recurrent intraoral


herpes infection. Journal of Dentistry Indonesia 2014; 21(7):27-31.

Nanci, A. 2013. Ten’s Cate : Oral Histology, Development, Structure and Function.
8th ed. Elsevier.

Samaranayake, L. P. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. London: Elsevier.

Scully, C., et al. 2003. The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis. A consensus approach. JADA, vol 134.

Singh, S. 2007. Pharmacology for Dentistry. New Delhi: New Age International.

https://www.histology.leeds.ac.uk/skin/epidermis_layers.php

61

Anda mungkin juga menyukai