Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari
lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa
jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan
dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan.
Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan
cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna (Inawati, 2010)
Guillaine Barre Syndrome adalah suatu penyebab disabilitas jangka
panjang yang penting untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika
Serikat. Karena GBS terjadi pada umur yang relatif muda dan harapan hidup
yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000 orang di Amerika Serikat
mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40% pasien yang diopname
dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat dirawat.
Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6
setiap 10.000-40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan
berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria
dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu
tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai
kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail, 2012).
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS
relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah
kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara
Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di
negara ini, karena RSCM merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan
nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara
lebih rinci.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Guillaine Barre Syndrom?
2. Apa saja hal-hal yang menyebabkan penyakit Guillaine Barre Syndrom?
3. Bagaimana proses patogenesis dari penyakit Guillaine Barre Syndrom?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Guillaine Barre Syndrom?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Guillaine Barre Syndrom.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan Guillaine Barre Syndrom.
3. Untuk mengetahui proses patogenesis penyakit Guillaine Barre Syndrom.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Guillaine Barre Syndrom

1.4 Manfaat Pembahasa


1.4.1 Bagi Mahasiswa
1. Mahasiswa dapat mengetahui segala hal tentang penyakit Guillaine
Barre Syndrom.
2. Mahasiswa dapat menyebarkan pengetahuan tentang penyakit
Guillaine Barre Syndrom.
3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mengidentifikasi penyakit
Guillaine Barre Syndrom.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Medis Penyakit


2.1.1 Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang
di tubuh anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS
adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah
infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau
setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang
terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan
dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini
dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok
heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan
yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang
sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu
polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot
asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi,
dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat
varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik.
Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas
sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC
(2012), Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di
mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan
menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang
menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian
tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem
ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon
sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini,
yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl
Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre
Syndrome. (Davids, HR. 2008)

2.1.2 Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai
saat ini masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan
perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini sering
dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan
dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan
dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. . (Davids, HR. 2008)
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun
paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang
paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi
kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara
cepat yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering
disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling
sering oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga
terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya
kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara
satu sampai beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Diare
5. Peradangan saluran nafas atas
6. Kelelahan
7. Demam
8. Kehamilan/ dalam masa nifas
9. Penyakit sistematik :
1) keganasan
2) systemic lupus erythematosus
3) tiroiditis
4) penyakitAddison
2.2.3 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya. Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan
antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada
myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target
dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid
dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid
GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi
pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-
reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang
sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral
maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. (Saharso D. 2006)
2.1.3 Patofisiologi

Gambar 4.1. Bagan patofisiologi GBS (www.nature.com) .


http://anakfakultaskedokteran.blogspot.co.id/p/guillain-barre-syndrome.html?m=1
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini
adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan
suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel
imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada
GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi
akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba
menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang
menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah
mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B
akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan
tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik
yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi
sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak
sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu
jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan
hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang;
transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi
tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase
ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari
saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari
otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung
fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik,
dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang
terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam
proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area
tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta
selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama
demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang
sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat
transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik
yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan.
Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau
mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring
tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan,
serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita
umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu
proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan
penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih
didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu
bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan
gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi. (Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006)
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
b. Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
c. Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi /
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.

2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)

Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu,


menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi
secret. . (Harsono, 1996)

b. B2 (Bleeding)

Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah

kemerahan. . (Harsono, 1996)

c. B3 (Brain)

Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri


turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan. . (Harsono,
1996)

d. B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya


sensasi saat berkemih. . (Harsono, 1996)

e. B5 ( Bowel)

Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen,


peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
f. B6 (Bone)

Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang,


hemiplegi, paraplegi. . (Harsono, 1996,)

3. Pengelompokan data
a. Data subjektif:
1) Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
2) Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1
minggu sebelumnya
3) Tidak mampu menelan air liurnya
4) Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari
pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
b. Data Objektif:
1) Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang
menunjukakan stroke
2) Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya
menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
3) Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi
dan tekanan meningkat, leukositosis
4. Analisa Data
a. DS:
1) Tidak mampu menelan air liurnya
2) Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
b. DO:
1) Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler
2) Bunyi paru wheezing +/+
3) Pengembangan dada tidak maksimal
4) GDA kurang dari normal
5) Menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif
Kelemahan otot-otot bantu pernapasan

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
5. Resiko tinggi terjadi infeksi
6. Resiko terjadi trauma
7. Resiko terjadi disuse syndrome
8. Kecemasan pada orang tua
(Bosch E.P.. 1998)
2.2.3 Rencana Keperawatan
1. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek
menelan dan peningkatan produksi saliva

Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-),

sumbatan tidak terjadi

Tindakan:

1) Lakukan perawatan EET setiap 2 jam


2) Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan
suction
3) Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor
atau SpO2 < 95 %
4) Monitor status hidrasi
5) Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
6) Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
2. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru
sebagai efek adanya atelektasis paru

Tujuan : Setelah dirawat

1) BGA dalam batas normal


2) Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
3) Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan:

1) Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam


2) Monitor SpO2 setiap jam
3) Monitor respirasi dan cyanosis

4) Kolaborasi :
a. Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
b. SAnalisa hasil BGA
3. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan
seperti kateter dan infus

Tujuan : setelah dirawat diharapkan

Tanda-tanda infeksi (-)

1) Leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),


2) Suhu tubuh 36,5-37 oC

Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)

Tindakan :

1) Rawat ETT setiap hari


2) Lakukan prinsip steril pada saat suction
3) Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
4) Ganti kateter setiap 72 jam

Kolaborasi :

1) Pengggantian ETT dengan Tracheostomi


2) Penggantian insersi surflo dengan vanocath
3) Pemeriksaan leuko
4) Pemeriksaan albumin
5) Lab UL
4. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek
perjalanan penyakit GBS

Tujuan : Setelah dirawat

1) Kontraktur (-)
2) Nutrisi terpenuhi
3) Bab dan bak terbantu
4) Personal hygiene baik

Tindakan:

1) Bantu Bab dab Bak


2) Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
3) Mandikan klien setiap hari
4) Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
5) Berikan latihan pasif 2 kali sehari
6) Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
7) Monitor status neurologi setiap 8 jam

Kolaborasi:

1) Alinamin F 3 X 1 ampul
2) Sonde pediasuer 6 X 50 cc
3) Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis

5. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta
perawatan yang lama

Tujuan :

Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap


tindakan yang akan dilakukan

Tindakan :

1) He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.


2) He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif
sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan
tracheostomi dan vanocath
3) Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang
akan dilakukan oleh petugas . (Doenges, Marlyn E. 1999)
BAB III
PENUTUP

2.3 Kesimpulan
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari
penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat
menyebar menimbulkan kelumpuhan.
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan
saluran pencernaan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.

2.4 Saran
Disarankan kepada seluruh masyarakat setelah menegetahui apa yang dimaksud
dengan penyakit Guillaine Barre Syndrom dapat mengerti bahwa penyakit ini cukup
berbahaya. Sehingga dapat mengetahui apa yang harus dilakukan apabila menemui orang
dengan gejala yang telah dijabarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Burnts, T. 2008. Guillain-Barre Syndrome


Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); rome-gbs-patofisiologi-manifestasi-
klinis-dan-diagnosis/ )
Davids, HR. 2008. Guillain-Barre Syndrome. (http://emedicine.medscape.com/article
/315632-overview.html)
Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
http://anakfakultaskedokteran.blogspot.co.id/p/guillain-barre-syndrome.html?m=1

Inawati. 2010. Sindrom Guillan Barre (GBS)..


Israr, Y., dkk. 2009. Sindroma Guillaine-Barre.(http://www.Files-of DrsMed. tk/guillaine_
barre_ syndrome_files_of_drsmed.pdf)
Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan
Diagnosis,
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi:Konsep. Klinik Proses
Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Saharso D. 2006. Sindroma Guillan-Barre (SGB), (http://www.pediatrik.com/isi03.
php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-
mvib207.html)

Anda mungkin juga menyukai