Anda di halaman 1dari 23

2.

1 Risiko Jatuh
2.1.1 Pengertian

Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA), yang didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya
jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson, 2005).
Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di lantai, tanah atau tempat
yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur
(WHO, 2007).
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh

Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri
orang tersebut misalnya dari lingkungan sekitar.
1). Faktor Intrinsik
a. Usia

Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia atau umur erat kaitannya dengan proses
pertumbuhan dan proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses penuaan, terjadi
penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan proses penuaan tersebut berlangsung secara terus menerus. 8
Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada lansia. Perubahan fisiologis yang
terjadi pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Perubahan
- perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi
1. Sistem muskuloskeletal

Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan penghubung, kartilago,
tulang, otot dan sendi.
a). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan dan penurunan hubungan tarikan linear sehingga terjadi penurunan mobilitas
pada jaringan tubuh karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada
kolagen sehingga terjadi penurunan daya mekanik, daya elastik dan timbul kekakuan (Timiras &
Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia
sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan
bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan
aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996). Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas sehari – hari pada lansia.
b). Kartilago

Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan akhirnya menjadi rata,
sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi 9
berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang merupakan
komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago di persendian
mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang
berpelumas menurun, sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap gesekan. Perubahan
tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi
mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas
setiap hari (Sri Surini & Utomo, 2002).
c). Tulang

Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya kepadatan tulang. Trabecula longitudinal
menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang
dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga
produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal
Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya
menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak munculnya
osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiras &
Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia dan menyebabkan lansia
mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari – hari. 10
d). Otot

Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing – masing orang. Perubahan tersebut
meliputi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada beberapa serabut otot dan hipertropi
pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-
lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan
fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Bonder &
Wagner, 1994). Perubahan morfologi otot seperti pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan
(Sumber : Bonder & Wagner, 1994)
Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan
1. Penurunan jumlah serabut otot
2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa
serabut otot yang lainnya.
3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch)
4. Penumpukan lipofusin.
5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung.
6. Adanya ringbinden.
7. Adanya badan sitoplasma
8. Degenerasi miofibril
9. Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot 11
e). Sendi

Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia mengalami penurunan
elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami penurunan daya lentur dan
elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga sendi
kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan
kekakuan sendi.
2. Sistem Saraf

Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat
dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan terjadinya gangguan koordinasi dan
kemampuan dalam beraktivitas pada lansia. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia
mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak yang
mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk
komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan
dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi
lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiras & Maletta, 2008). Kondisi tersebut
mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi,
proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan
pemberian latihan koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan postur
(Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk menjaga dan 12
mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus diberikan untuk memaksimalkan kondisi sistem saraf
lansia.
3. Sistem kardiovakuler

Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung
berkurang karena perubahan pada jaringan ikat katup jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node
(SA node) dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam
menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan
elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular
sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras &
Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal
dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penumpukan darah (poling
of bload) menurun, sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada
tingkat maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun. Latihan
berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras
& Navazio, 2008 ).
4. Sistem Indera

Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik dan dinamik akan menurun
bersamaan dengan menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan vestibular. Perubahan pada
sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang dihantar ke retina berkurang sehingga 13
ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun, ketajaman penglihatan serta jarak
pandang menurun. Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi
makuler dan penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel
rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut lansia akan kesulitan memperkirakan
jarak dan memposisikan kepala pada garis keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan
keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini & Utomo, 2002 ).
b. Kekuatan Otot

Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang dihasilkan untuk dapat melawan
tahanan dengan usaha yang maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua
gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai
respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik
berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat
berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf
mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang
teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar bisa menggerakan anggota gerak
bawah untuk melakukan gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011). Kekuatan otot tersebut
berhubungan langsung dengan 14
kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara
berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk mempertahankan posisi tegak dan
stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun
dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan
dengan besaran tertentu.
Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan
kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja
fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot
total per dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan
kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3)
peningkatan risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia
berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot
quadrisep yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan
lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor
sendi panggul dapat mengurangi kemampuan lansia mempertahankan keseimbangan berdiri pada
satu tungkai dan timbulnya gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat
meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan 15
(Bonder & Wagner, 1994). Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan timbulnya
ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.
c. Keseimbangan

1). Definisi

Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity)
atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi
(center of gravity) adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan
tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit
di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk
memberikan kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan
keseimbangannya (Barnedh et al, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem
muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk
menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat
massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh yang
lain saat melakukan suatu gerakan (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif
dan efesien (Yuliana, 2014) 16
2). Fisiologi Keseimbangan

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata menerima masukan
penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan
proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan vestibular. Seluruh masukan
atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak,
kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan
kembali ke nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas
dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron
motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi
gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan
keseimbangan statis yang optimal (Yuliana, 2014)
Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan
somatosensoris.
a). Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan memberikan informasi
tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan terjadi
ketika mata menerima sinar yang dipantulkan oleh benda sesuai jarak pandang. Dengan informasi
visual, maka tubuh dapat melakukan penyesuaian atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada
lingkungan
17
aktivitas sehingga otot dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh
(Irfan, 2010). Gangguan pada mata seperti presbiopi, kelainan lensa mata (refleksi lensa mata
kurang), kekeruhan pada lensa mata (katarak), tekanan dalam mata yang meningkat (glaukoma) dan
peradangan saraf mata akan menimbulkan gangguan penglihatan, semua perubahan tersebut akan
mempengaruhi keseimbangan (Nugroho, 2000). Bila mata ditutup akan lebih sulit mengatur
keseimbangan badan dibandingkan dengan mata terbuka (faktor visual). Jika mata ditujukan pada
satu titik di depan ketika berjalan maka akan lebih stabil dibandingkan dengan mata melihat ke
tempat lain. Pusat keseimbangan juga menerima pancaran rangsangan dari saraf aferen mata,
sehingga apa yang dilihat oleh mata juga akan merangsang pusat keseimbangan yang ada di otak.
Terdapat kerjasama yang amat erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam mengatur
keseimbangan tubuh (Nala, 2002). Karena itulah mata menjadi salah satu faktor penting dalam
pengaturan keseimbangan tubuh baik saat diam maupun bergerak.
b). Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan,
kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor
pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem
sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi
kepala
18
dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata,
terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII
ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus
vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri (Canan, 2015) .
Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan
serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula
spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot - otot proksimal, kumparan otot pada
leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga
membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Canan,
2015)
c). Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi
propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan
(input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan talamus (Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam
ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat
indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls
dari alat indra ini dari
19
reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot diproses di korteks menjadi kesadaran akan posisi
tubuh dalam ruang (Irfan, 2010).

Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi oleh komponen lainya yaitu
respon otot-otot postural yang sinergis, kekuatan otot, adaptive system dan lingkup gerak sendi.
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot
yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot
baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta
mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan tubuh dalam berbagai posisi
terjadi jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi,
titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Nugroho, 2011).
Komponen lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah adaptive systems dan lingkup gerak sendi.
Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi
perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. Sementara lingkup gerak sendi (joint
range of motion), membantu tubuh dalam melakukan suatu gerakan dan mengarahkan gerakan
tersebut terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi (Nugroho, 2011). 20
3). Faktor – Fator yang Mempengaruhi Keseimbangan
a). Pusat Gravitasi (Centre of Gravity-COG)

Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata.
Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan
keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat
gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat
gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang
vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam
berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity
untuk tetap dalam 27 area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas
area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012).
Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1. 21
Gambar 2.1 Centre of Gravity
Sumber : Irfan, 2012
b). Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi.
Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat
stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus
mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan
anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2.
Gambar : 2.2 Line of Gravity
Sumber : Army, 2012 22
c). Bidang Tumpu (Base of Support-BOS)

Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis
gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik
terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of
Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin dekat
bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang
tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Base of Support
Sumber : (William & Whiting, 2015)
4). Penurunan Keseimbangan pada Lansia

Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah
adanya gangguan pada sistem sensorik, 23
gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal.
Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik,
sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik
sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem
sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem
visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor
di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut,
menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi
tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif
tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus
vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi
terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural
terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai
pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20%
jumlah sel 24
rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui
tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan,
getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan
gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil,
tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan
dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan
penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya
sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi
otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga
menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat
menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal
ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan.
Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon
postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. 25
Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis,
otak, dan serebelum (Siti, 2009).
d. Indeks Massa Tubuh ( IMT )

Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena penumpukan lemak di dalam otot
sementara sel otot sendiri berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada kecenderungan untuk
mengurangi aktifitas fisik karena obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat
membatasi mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban di dalam
bergerak dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre Of Gravity (COG) serta secara
umum akan menurunkan kualitas hidup lansia.
2). Faktor Ekstrinsik

a). Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah penerangan yang tidak baik, lantai yang
licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat – alat atau
perlengkapan rumah yang tidak stabil
b). Latihan atau Aktivitas Fisik

Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan untuk memperbaiki faktor fisiologis
yang menyebabkan kejadian jatuh adalah program latihan fisik. Latihan fisik dapat didefinisikan
sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan, terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang berulang
– ulang yang dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan satu atau lebih komponen
kebugaran fisik. 26
2.1.3 Dampak Jatuh Pada Lansia

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik
yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering
terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis yang terjadi antara lain syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi
dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan
dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun kejadian jatuh yang dialami tidak
menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare, 2006).
Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa mennyebabkan komplikasi antara lain
a). Perlukaan (injury)

Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis,
femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
b). Disabilitas

Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan
penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
c). Kematian
27
2.1.4 Pencegahan Jatuh Pada Lansia

Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada 3 usaha pokok untuk pencegahan
jatuh yaitu :
a). Identifikasi faktor risiko

Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor instrinsik risiko
jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit
sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat
menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan.
Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah
tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini
sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia.
Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah
dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
b). Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan
pindah tempat, pindah posisi. Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan TUG Test untuk
menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko jatuh. Bila badan tidak stabil saat berjalan sangat berisiko
jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis, latihan yang bias di lakukan antara
lain Otago Home Exercise Programme yang menitikberatkan pada pelatihan berdasarkan
kemampuan fungsional dan Balance Strategy Exercise yang 28
menitikberatkan pada mengaturan postur selama melakukan gerakan. Penilaian gaya berjalan juga
harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah
penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat
kelainan/penurunan.
c). Mengatur/ mengatasi faktor situasional.

Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah dengan
pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik
dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui
batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut
usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya
jatuh.
2.2 Otago Home Exercise Programme

2.2.1 Pengertian

Otago Home Exercise Programme merupakan program latihan yang telah diuji dalam 4 penelitian
yang dilakukan oleh University of Otago Medical School, New Zealand yang dipimpin oleh Profesor
John Campbell. Otago Home Exercise Programme adalah program latihan untuk lansia yang
didesain khusus untuk mengurangi kejadian jatuh, dengan cara meningkatkan kekuatan anggota
gerak bawah, meningkatkan keseimbangan dan memberikan latihan jalan (Campbell et 29
al, 1997). Pelatihan Otago Home Exercise Programme dibagi menjadi latihan penguatan
(strengthing) dan latihan keseimbangan (balance) dan program berjalan yang didesain untuk lansia
dimana sebelum dan setelah latihan terdapat peregangan untuk persiapan sebelum latihan dan untuk
mengurangi efek pegal dan cedera selama latihan Eunjung Chung et al, 2013)
2.2.2 Jenis Latihan Otago Home Exercise Programme

Otago Home Exercise Programme adalah program latihan yang terdiri dari komponen penguatan otot
(strengthing), peningkatan keseimbangan (balance) dan latihan berjalan. Komponen – komponen
tersebut digabung menjadi satu rangkaian latihan yang diawali dengan pemanasan dan diakhiri
dengan pendinginan. Latihan – latihan dalam Otago Home Exercise Proggrame terdiri dari
1. Pemanasan

Pemanasan dilakukan untuk mempersiapkan tubuh agar tidak mengalami cedera selama latihan.
Gerakan dalam pemanasan ini juga bertujuan untuk memelihara fleksibilitas dari lansia (Campbell &
Robertson, 2003). Pemanasan terdiri dari 5 bentuk gerakan yaitu
Tabel 2.2 Pemanasan Otago Home Exercise Programme
(Sumber : Campbell & Jenis Latihan Deskripsi
Robertson, 2003) No
1 Head Movements Berdiri tegak dengan
kaki dibuka selebar
bahu dan pandangan
lurus ke depan,
kemudian gerakan
kepala ke

Anda mungkin juga menyukai