Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma menjadi masalah dibanyak tempat didunia. Dan trauma vaskuler adalah
bagian yang penting didalam masalah tersebut. Trauma vaskuler pada ekstremitas atas
merupakan separuh dari keseluruhan trauma vaskuler di Amerika serikat. Sebagian
besar dari trauma ini diakibatkan oleh trauma tajam, baik akibat pisau maupun oleh
penyebab lainnya.dan trauma tumpul yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan laulintas,
terjatuh maupun crush injury.
Tujuan dari penanganan trauma vaskuler sama seperti trauma lainnya yaitu live
saving dan diikuti oleh limb salvage dan pemulihan fungsi. Kembalinya fungsi juga
ditentukan oleh trauma penyerta lainnya seperti trauma pada saraf saraf perifer dan
tulang serta jaringan lunak lainnya. Pada kenyataannya kebanyakan trauma, jarang
tunggal, biasanya trauma yang terjadi kompleks/kombinasi dengan melibatkan beberapa
organ dan sistem.
Kematian dan kesakitan pada trauma vaskuler bisa disebabkan oleh trauma
vaskuler itu sendiri dan juga bisa akibat trauma penyerta lainnya. Pada trauma vaskuler
keberhasilan “yang dihitung dengan penurunan angka kematian dan kesakitan”
berhubungan erat dengan rentang waktu antara lamanya cedera berlangsung dan
tindakan bedah yang dilakukan.
Pada trauma vaskuler permasalahan yang terjadi adalah perdarahan dan
iskemik, bisa juga kedua hal ini berlangsung bersamaan. Jika timbul hipovolemia, maka
kondisi ini harus segera dikoreksi dengan penggantian cairan yang cukup dan intervensi
segera. Jika terlambat dilakukan intervensi bedah, waktu operasi yang lama, dan
membutuhkan transfuse masive, dapat timbul koagulopathy sistemik dan kondisi
kondisi yang berbahaya lainnya seperti hypothermia, hypoxemia, asidosis dan
hyperkalemia. Atas dasar alasan ini maka mengetahui lokasi cedera, etiologi,
perencanaan tindakan yang akan dilakukan dan mengetahui kemungkinan komplikasi
pasca operasi serta penyebab kematian yang mungkin timbul adalah hal mutlak yang
harus diketahui seorang dokter bedah. Seorang ahli bedah vaskuler harus mampu
menangani repair dari arteri dan mencegah amputasi, yang pada akhirnya akan
mengurangi angka kesakitan dan kematian.

1
BAB II
TRAUMA VASKULAR

Sejarah

Pada masa lalu cedera pada pembuluh darah besar ditangani dengan melakukan
ligasi pada pembuluh darah besar tersebut. Teknik teknik tertentu mulai dikembangkan
pada abad ke 19 dan abad ke 20. Dalam dokumentasi. Hallowell (1762) melakukan
repair pembuluh darah, hal tersebut seperti yang dianjurkan oleh Lambert tahun 1759.
Pada tahun 1910 lebih dari 100 kasus dilakukan lateral arterioraphy dan lebih dari 46
kasus dilakukan anastomosis end to end.
Perkembangan penanganan trauma vaskuler berlangsung cepat berdasarkan
pengalaman yang diperoleh oleh dokter bedah selama Perang Korea pada tahun 1950
an. Pada masa ini terjadi perubahan besar pada penatalaksanaan trauma vaskuler
sehingga angka amputasi dapat ditekan sampai 13% dibandingkan dengan 49% pada
masa perang dunia kedua. Pada masa Perang Vietnam angka ini masih dikisaran 13%.
Pada perang vietnam amputasi yang diakibatkan cedera arteri brachialis sekitar 5%.
Hanya 2% dari cedera arteri brachialis yang diligasi, tetapi hampir 60% cedera arteri
radialis dan 75% arteri ulnaris diligasi, karena sedikit kemungkinan menimbulkan
iskemia.
Akhir akhir ini kejadian trauma vaskuler meningkat, hal ini disebabkan oleh
kecelakaan lalulintas, kekerasan dan penggunaan kateterisasi intra vaskuler.
Perkembangan yang pesat dari sektor transportasi saat ini memberikan kontribusi yang
sangat besar untuk timbulnya trauma vaskuler. Di Eropa dan diberbagai tempat lain ,
penyebab terbanyak dari cedera vaskuler adalah akibat senjata api.

Trauma
Trauma vaskuler dapat melibatkan pembuluh arteri dan atau vena. Bentuk lesi
vaskuler tergantung dari penyebab atau mekanisme trauma yang terjadi. Dapat berupa
lobang kecil, robek dengan atau tanpa bagian yang hilang atau terpotong melintang.
Disamping ini bisa pula terjadi trauma dari luar yang hanya menyebabkan robekan

2
intima yang menutup aliran darah dengan atau tanpa trombosis, atau berupa hematoma
intramural.

a. Trauma Pembuluh Arteri


Kerusakan yang sudah terjadi sering terdapat bersamaan dengan trauma pada
organ lainnya seperti saraf, otot dan jaringan lunak lainnya. Juga sering bersamaan
dengan fraktur dan atau dislokasi pada ekstremitas.

Insiden
Menurut laporan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia kecelakaan
lalulintas di Indonesia tiap tahun meningkat sebesar 9,1%-15,8% dengan angka
kematian 2,2% dan perbandingan antara pria dengan wanita 2:1. Devisi lalulintas dari
kepolisian melaporkan selanjutnya bahwa bentuk kecelakaan lalulintas adalah sebagai
berikut:
- Trauma kapitis 7,7%
- Lesi intrakranial 59,94%
- Fraktur ekstremitas bawah 18,76%
- Fraktur ekstremitas atas 8,96%
- Lain-lain 1,65%

Trauma vaskuler ditemui sebagian besar pada kecelakaan ekstremitas sebesar


1%-2%. Karena jumlah kendaraan bermotor tiap tahun naik 16%, maka peningkatan
kecelakaan lalu-lintas tentu akan bertambah pula.

Diagnosis
Diagnosis trauma vaskuler biasanya mudah ditegakkan. Kita harus mencurigai
setiap trauma pada daerah yang anatomis dilalui pembuluh darah besar, apalagi bila ada
gejala yang menyongkong adanya trauma pembuluh darah ini seperti hematoma yang
cepat membesar. Bila ada perdarahan yang banyak atau memancar, diagnosis sudah
jelas. Denyut nadi yang melemah atau menghilang, perabaan kulit yang dingin, pucat
atau bercak-bercak sianosis pada kulit dapat membantu kita dalam menegakkan
diagnosis. Pengisisan kapiler penting untuk diagnosis dan menentukan viabilitas
jaringan.

3
Walaupun pada pemeriksaan pertama terdapat denyut nadi tapi pada kasus yang
dicurigai ada trauma vaskuler harus diperiksa ulang pada waktu tertentu, karena ada
kemungkinan penyumbatan yang terjadi kemudian.
Kegunaan arteriografi sangat jarang dan hanya diperlakukan pada kasus tertentu
saja, misalnya bila ada keragu-raguan antara spasme arteri saja atau sumbatan, pada
kasus yang masih diragukan diagnosisnya (untuk di diagnosis dini) atau untuk
menentukan lokal yang tepat dari trauma untuk kita lakukan eksplorasi. Lebih baik
membuka dan memeriksa kerusakan arteri daripada menunggu hasil arteriografi supaya
tindakan tidak terlambat. Sebaliknya yang berguna adalah arteriografi intra-operatif
dengan maksud supaya dapat langsung mengetahui hasil rekonstruksi, apakah masih
ada lesi vaskuler yang ketinggalan.

Penatalaksanaan
Bila adanya trauma vaskuler telah ditentukan, maka prioritas tindakan harus
segera ditentukan. Pada dasarnya, makin cepat tindakan, semakin baik hasilnya. Bila
ada perdarhan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa,
tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan ini. Baru bila
perdarahan telah berhenti kita mengambil tindakan definitif.
Bagaimanapun, setiap keterlambatan dari tindakan bisa menyebabkan kegagalan
tindakan kita, walaupun golden period 6-12 jam adalah relatif. Edwards dan Lyons
mendapatkan jarangnya terjadi gangren pada rekonstruksi vaskuler dalam 6 jam tapi
terdapat lebih dari 50% bila perbaikan setelah 12 jam.
Tanda-tanda iskemia yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya
otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap adanya iskemia. Hanya kadang-kadang saja
trauma arteri tidak perlu diperbaiki segera atau tidak perlu diperbaiki sama sekali.
Biasanya pada arteri yang mempunyai kolateral dan terutama pada orang muda.
Bila penderita datang dengan perdarahan yang banyak, maka harus diatasi
dengan penekanan diatas daerah yang berdarah, jangan dipasang turniket dalam waktu
yang lama karena merusak sistem kolateral yang ikut terbendung.
Pertama-tama arteri yang proksimal harus dikontrol perdarahannya biasanya
dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) kalau perlu dengan klem
vaskuler. Ini penting supaya kita dapat bekerja dengan baik (lapangan operasi bersih).
Juga arteri bagian distal harus dijerat.

4
Kadang-kadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus
(tromboresistent plastic tube). Pintasan ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
mencegah iskemia selama operasi; dapat dilakukan perfusi bagian distal dengan larutan
heparin kalau perlu dengan tekanan; dan bisa melakukan debridement luka dengan
leluasa, rekonstruksi vena dan fiksasi dari fraktur sebelum menyambung arterinya
sendiri.
Pemakaian Fogarty ballon catheter penting sekali artinya disini. Dilakukan
pengeluaran trombus sebelum memasang tube. Pada waktu anastomosis arteri sesaat
sebelum selesainya jahitan, kateter ini diangkat. Pada trauma pemakaian heparin secara
sistemik berbahaya, tapi dosis kecil dari heparin yang diberikan langsung terutama
kebagian distal bisa juga mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Teknik
jahitan tak banyak berubah sejak Carrel di tahun 1907 mengemukakan cara anastomisis
langsung. Adventisia harus jelas pada ujung arteri, jahitan harus mengenai seluruh
lapisan, terutama intima harus terbawa dalam jahitan. Bentuk jahitan apakah satu-satu
atau jelujur tergantung keadaan. Umumnya: atraumatik dan monofilamen (prolene dan
lain-lain) daripada sutra.
Setelah bagian proksimal dan distal dibebaskan dapat dilakukan anastomosis.
Tetapi penyempitan atau tegangan harus dicegah. Untuk ini dapat dilakukan
penambahan atau graft dengan vena autogen. Pada umumnya graft vena autogen lebih
disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Seringkali keruskan vaskuler terjadi
bersamaan dengan kehilangan jaringan lunak sekitarnya, sedangkan perlindungan oleh
jaringan lunak ini sangat penting artinya untuk kesembuhan. Karena itu kadang-kadang
kita harus meletakan vena autogen tadi pada tempat yang bukan anatomis. Kalau kita
memerlukan vena safena, sebaiknya diambil pada sisi yang tak sakit supaya tidak
mengganggu sistem vena ekstremitas yang bersangkutan. Letak vena ini harus dibalik
dengan lumen yang sama atau lebih besar sedikit dari arterinya. Kalau terpaksa sekali
dapat dipakai Dacron, dengan melakukan preclotting lebih dulu.

b. Trauma arteri pada fraktur ekstremitas


Selama Perang Dunia Kedua trauma vaskuler merupakan persoalan dalam usaha
untuk menyelamatkan suatu ekstremitas yang terlibat. Waktu itu dilaporkan angka
amputasi sebesar 40% dari 2471 kasus dengan cedera arteri. Angka ini kemudian turun

5
menjadi 13% selama pertikaian di Korea dengan cara rekonstruksi langsung pembuluh
arteri. Angka yang didapat dari Perang Vietnam lebih turun lagi menjadi 10% (Rich,
1971)

Diagnosis
Pulsasi arteri distal yang tidak teraba atau melemah sangat menyongkong
adanya trauma pada pembuluh arteri, dan bila ada perdarahan pada fraktur terbuka
maka merupakan indikasi untuk melakukan eksplorasi, sedangkan pada hematoma yang
luas sulit dinilai misalnya pada patah tulang tertutup. Yang penting juga untuk diketahui
adanya gangguan neurologik baik sensorik maupun motorik bersamaan tidak terabanya
pulsasi bagian distal. Pada trauma arteri yang berat ekstremitas akan terlihat pucat dan
dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi.
Arteriografi tidak merupakan prosedur rutin dalam menegakan diagnosis, karena
waktu yang dibutuhkan untuk ini akan membiarkan waktu iskemia ekstremitas yang
lebih lama berlangsung. Arteriografi dikerjakan bila terdapat keragu-raguan diagnosis,
pada re-eksplorasi dan pasca operasi. Akhir-akhir ini arteriografi juga dianjurkan pada
trauma luas (Crush Injures) untuk mengetahui lesi vaskuler yang multiple dan kondisi
kolateral yang ada. dengan pemeriksaan cara Dopller, (merekam pantulan gelombang
suara sel darah merah) dapat dipelajari keadaan aliran darah dalam pembuluh arteri.
Selain untuk diagnosis alat ini juga digunakan untuk menilai pasca anastomosis arteri.
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah
yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada
kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang
berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada
derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis
paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia
adalah nyeri terus-menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan
fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk
mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada
ekstremitas dapat diketahui dengan melihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda
dan gejala tersebut berupa hard sign dan soft sign.

6
Hard Sign Soft Sign
Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas
Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan


gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis
adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan
adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan
pada kasus trauma penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan
disertai bruit atau thrill.
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi
harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk
mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada
patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya
defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan
kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan
hipoksia sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian
kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri
kolateral, namun penting untuk menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler
ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum
memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang
berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi
vaskular yang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan
sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi
dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi.
Arteriografi juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang
multiple dan kondisi kolateral yang ada.

7
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama
berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan
karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi
di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan
dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada
ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah
dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya
tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan
pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara
yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain
untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.
Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti
ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang
noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke
sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi. Pemeriksaan
ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan
dan alat ini relatif lebih murah.

8
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

Trauma Tusuk / Tumpul pada Ekstremitas


Perdarahan aktif, Hematoma yang meluas
Iskemi berat
Ya Tidak

Arteriogram Intraoperatif Klasifikasi Resiko


Perbaikan vaskular
Tinggi Rendah
ABI ≤1 ABI ≥1
Pulsasi ↓ Pulsasi
normal

Arteriografi Observasi

Normal Cedera Arteri Minimal Cedera Arteri Berat

Observasi Observasi Operasi / embolisasi


Serial arteriografi

Kapan kita benarkan melakukan amputasi primer pada penderita dengan trauma
rusak remuk? Mempertahankan ekstremitas tidak realistik dan tidak akan berguna, bila
fungsi seutuhnya tidak dapat dikembalikan. Karena itu amputasi primer pada kasus
trauma vaskuler dengan kerusakan jaringan dan tulang tibia yang berat tidak dapat
dianggap sebagai kegagalan penatalaksaan trauma. Lange dkk, mengusulkan protokol
untuk diterapkan pada trauma vaskuler dengan fraktur tibia terbuka:
1. Indikasi absolut amputasi primer :
a. Bila saraf tibialis posterior terputus total pada penderita dewasa
b. Bila trauma dengan kerusakan remuk yang mempunyai iskemia panas lebih
dari 6 jam
2. Indikasi relatif:
a. Bila trauma berganda pada anggota tubuh lain
b. Bila terdapat trauma berat pada kaki yang sama
c. Bila diperkirakan tidak cukup jaringan untuk menutup luka dan fraktur tibia

9
Indikasi untuk amputasi primer adalah bila terdapat salah satu dari golongan-1
atau dua atau tiga dari golongan-2.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskuler adalah untuk menurunkan
angka amputasi. Faktor-faktor apa saja yang turut menentukan kegagalan suatu
rekonstruksi langsung pada arteri? Dasar dari keberhasilan suatu rekonstruksi arteri
adalah: secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan, arteriografi preoperatif
dan intraoperatif dipertimbangkan sebaikmungkin, mengerjakan trombektomi ke bagian
proksimal dan distal. Pemakain heparin yang sepantasnya, dan lebih mengutamakan
pemakaian ven autogen sebagai graft.
Kenapa kadang-kadang rekonstruksi arteri langsung mengalami kegagalan?
Luas dan beratnya kerusakan lokal pada jaringan lunak dan tulang, dan terdapat
kerusakan hebat dibagian toraks dan abdomen dapat menentukan keberhasilan dari
rekonstruksi pembuluh arteri. Kita harus hati-hati, karena diagnosis spasme arteri ini
sering-sering merupakan jebakan yang sangat menarik bagi dokter-dokter-jaga-bedah
yang dibangunkan dari tidurnya untuk merawat penderita dengan trauma. Kita tahu
bahwa iskemia ekstremitas yang disebabkan oleh spasme arteri sangat jarang
ditemukan.
Kerusakan arteri yang disertai trombosis adalah penyebab dari iskemia, apalagi
pada penderita dengan kerusakan tulang atau jaringan lunak yang hebat. Tidak dapat
disangkal lagi, bahwa trauma gabungan antara fraktur dan keruskan arteri sangat
menentukan dalam kelangsungan hidup. Biasanya ada hal-hal yang menyebabkan
penundaan rekonstruksi baik preoperatif maupun intraoperatif selama tindakan
ortopedik dilakukan. Lagipula trauma besar yang dapat menyebabkan fraktur biasanya
juga menyebabkan gabungan kerusakan jaringan lunak dan sistem vena, yang
kesemuanya dapat berpengaruh buruk terhadap hasil tindakan kita.
Untuk jelasnya ditekankan sekali lagi bahwa kegagalan dalam mengatasi
keruskan vaskuler ternyata bukan karena kurangnya ilmu pengetahuan, tapi adalah
karena kurang cukupnya ajaran. Ada dua hal yang dapat diperbaiki di waktu
mendatang, yaitu pertama adalah meningkatkan ajaran mengenai prinsip yang telah
berulang kali disampaikan. Yang menentukan pada perawatan kerusakan arteri adalah
waktu antara terjadinya lesi vaskuler dengan diperbaikinya aliran darah kembali. Bila
kita menganggap bahwa 6-8 jam pertama adalah waktu yang terpenting untuk
memperbaiki aliran darah yang terganggu, maka segenap usaha dan daya harus
ditujukan terhadap ini, misalnya prioritas tindakan pada kerusakan yang berganda
10
secepat mungkin harus ditentukan. Hal kedua yang dapat ditingkatkan dalam perawatan
lesi vaskuler adalah agar lebih sering memakai arteriografi intraoperatif. Ada dua
penyebab kegagalan yabg biasany kita alami yaitu rekonstruksi yang tidak sempurna
atau tidak habis terangkatnya trombus di bagian distal dari arteri yang rusak. Kedua hal
ini dapat dicegah dengan melakukan artegiografi intraoperatif. Begitu aliran darah dapat
dilaksanakan maka luka operasi kalau perlu dapat dibiarkan terbuka sampai waktu
mengizinkan untuk tindakan selanjutnya.

c. Trauma arteri di rongga panggul


Trauma panggul sering disertai cedera organ visera dan fraktur tulang panggul.
Usaha untuk mengatasi perdarahan pada trauma panggul sering sulit, karena daerah
retroperitoneal panggul mempunyai banyak sistem kolateral, yang dapat
mempertahankan tekanan darah yang relatif tinggi, sehingga pembentukan trombus
terhambat pada pembuluh yang cedera, dan perdarahan berlangsung terus. Pengenalan
adanya cedera organ visera dan membedakan sumber perdarahan dari cedera vaskuler
atau patahan tulang merupakan masalah pada penanganan kasus ini. Adanya peritonitis
merupakan indikasi untuk laparotomi, tapi tidak jarang ditemukan hasil laparotomi
negatif. Ini disebabkan adanya hematoma retroperitoneal yang memberikan tanda klinis
yang sama dengan peritonitis.

Trauma vaskuler di daerah panggul sering dijumpai sewaktu laparatomi yaitu


ditemukan hematoma retroperitoneal luas yang tidak disertai dengan adanya sumber
perdarahan dari traktus urogenitalis maupun alat visera lainnya. Karena itu pemeriksaan
vaskuler yang cermat pra bedah sangat membantu menghilangkan keraguan untuk
melakukan tindakan operasi lebih lanjut. Tanda iskemia ekstremitas kiri pada trauma
panggul menandai kemungkinan lesi pada a. Iliaka kiri, sedangkan bila tanda iskemia
terdapat pada kedua ekstremitas mungkin lesi terletak pada aorta abdominalis bagian
bawah.
Perhatian pertama pada pasien trauma ganda dengan fraktur panggul adalah
stabilisasi. Pertama-tama harus dimulai dengan hemostasis dan pemberian antibiotik
sebagai pencegahan infeksi sekunder. Gejala klinik biasanya kurang spesifik, sedangkan
pemeriksaan radiologik tanpa persiapan hanya akan memberikan gambaran fraktur
tulang dan sedikit seklai informasi mengenai kerusakan vaskuler. Bila keadaan pasien
sudah stabil dianjurkan melakukan CT-Scan dengan kontras untuk mencari sumber

11
perdarahan atau arteriografi selekasnya. Rekonstruksi vaskuler dilakukan sesuai
indikasi yang didapat. Stabilisasi panggul dapat menunggu sampai keadaan gawat
darurat sudah teratasi. Umumnya perawatan trauma ganda dengan fraktur panggul
memerlukan pendekatan multidisiplin tim resusitasi, ahli radiologi dan ahli bedah.
Pada trauma tumpul vaskuler biasanya ditemukan sumbatan atau trombosis
pembuluh darah, bila akut mungkin tidak segera timbul gejalanya dan baru kelihatan
setelah observasi berikutnya. Oleh karena itu arteriografi sedapat mungkin dikerjakan
pada semua kasus trauma tumpul arteri. Pada trauma tumpul bila ditemukan hematoma
pelvis yang tidak meluas, sirkulasi stabil, maka hematoma itu tidak diapa-apakan.
Alasan sikap yang konservatif ini adalah adanya efek tamponade dari peritoneum yang
intak. Selain itu deseksi yang tidak cermat ke dalam rongga pelvis yang kaya dengan
pembuluh kolateral dapat mencederai pembuluh tersebut sehingga dapat menimbulkan
penyulit perdarahan baru. Jadi ekplorasi hematoma retroperitoneal pada trauma tumpul
vaskuler hanya dikerjakan bila ada indikasi yang kuat.
Pada prinsipnya semua luka tusuk harus dieksplorasi sampai yakin tidak ada lesi
vaskuler. Tapi bila perdarahan dari luka tusuk kecil, sirkulasi sistemik baik, hematoma
tidak meluas serta tidak ada tanda defisit vaskuler pada ekstremitas bawah, pada kasus
ini hanya dilakukan penjahitan peritoneum yang terluka. Eksplorasi dilakukan bila
lokasi sayatan luka tusuk dicurigai menuju pembuluh besar, perdarahan memancar dari
luka, hematoma yang meluas dengan sirkulasi sistemik yang memburuk. Harus
diperhatikan bahwa perdarahan yang disebabkan oleh cedera pembuluh vena besar
sering tidak dapat diatasi dengan tamponade jaringan sekitarnya. Bila perlu kita dapat
mengikat vena iliaka interna, kiri atau kanan, tapi vena iliaka komunis sebaiknya
diperbaiki lesinya.
Eksplorasi trauma vaskuler panggul bisa dilakukan transperitoneal melalui
laparotomi atau ekstraperitoneal tergantung dari indikasi operasi. Hal yang penting pada
eksplorasi cedera pembuluh darah adalah mencari bagian proksimal dan distal dari lesi
sehingga perdarahan dapat dihentikan dengan klem vaskuler atau jeratan dengan
benang kasar untuk mempermudah tindakan selanjutnya di daerah lesi.

d. Komplikasi pasca rekonstruksi vaskuler

12
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan perbaikan lesi pembuluh darah
adalah:
a. Trombosis
b. Infeksi
c. Stenosis

Hendaknya disadari betul bahwa rekonstruksi pembuluh darah harus ditangani


secara sungguh-sungguh dan teliti sekali, mengingat bila terjadi kesalahan teknis
operasi karena ceroboh, atau penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan
berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi
emboli paru.

1. Trombosis
Trombosis langsung pasca-rekonstruksi vaskuler adalah komplikasi yang
paling sering terjadi, tapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil
yang memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi
intima kurang akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin
akan terjadi trombosis pada waktu anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki
kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih
unggul dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis ujung-ke-ujung
terutama pada trauma yang luas.
Pengalaman menunjukan bahwa kesalahan teknik berikut ini dapat
menyebabkan terjadinya trombosis:
a. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa
dinding arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan
trombosis
b. Kerusakan arteri yang multiple dapat terjadi, misalnya pada kecelakanaan
lalu-lintas. Intraoperatif angiografi sangat besar artinya dalam kasus seperti
ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus balik
saja tidak cukup jadi pegangan ada tidaknya lesi vaskuler sebelah distal,
karena aliran darah balik dapat pula terjasi melalui kolateral. Akhir-akhir ini
sering di anjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas;
c. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada
anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan
perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan
membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih lengket, dan dapat pula

13
dipakai untuk membilas ke arah distal agar arus balik mengalir dengan lebih
lancar. Tapi tetap kita harus ingat, bahwa dengan adanya arus balik ini masih
ada kemungkinan trombus yang tertinggal. Hal ini dapat diyakinkan dengan
memasukkan kateter balon Fogarty sejauh mungkin ke distal dan secara
hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persedian ada, maka dianjurkan
memakai larutan trombolitik untuk menghancurkan trombus yang masih
tersisa. Juga disini peranan arteriografi intraoperatif sangat berguna untuk
menentukan apakah masih ada sisa-sisa trombus yang tertinggal.
d. Kesalahan teknis operasi dengan membuat jahitan pada anastomosis seperti
jahitan kantong tembakau, karena terlampau ketat menarik jahitan jelujur
yang diterapkan. Stenosis yang terjadi dapat diatasi dengan memakai jahitan
satu-satu atau jahitan matras
e. Stenosis berat juga akan terjadi pada jahitan bila dinding pembuluh arteri
tidak cukup untuk satu jahitan lateral. Lebih baik melakukan penutupan lesi
arteri itu dengan tambalan (Patching) memakai vena autogen
f. Trombosis juga terjadi pada stenosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Ini dapat terjadi bila pembuluh arteri yang
hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung-ke-ujung tetap di paksakan.
Cabang kolateral penting jangan dikorbankan untuk ini, dan fleksi dengan
tekukan pada sendi jangan dilakukan untuk mendapatkan suatu anastomosis
ujung-ke-ujung. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk
melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan
sampai terlampau panjang memakai vena sebagai graft karena akan terjadi
tekukan (kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminer.
g. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis.
h. Graft sintetis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat
dipakai sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen
yang panjang garis ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang
dijelujur sepanjang graft itu di lapisan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakah rekonstruksi arteri itu berhasil
atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi disebelah distal. Tentu ini tidak
selalu mungkin, misalnya pada lesi distal percabangan arteri karotis. Namun kita
harus tetap waspada, karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu
sukses dalam jangka waktu panjang.

14
Masalah menjadi rumit bila pulsasi tidak teraba. Sebagian besar dari
komplikasi ini dapat di koreksi dengan segera melakukan operasi kedua untuk
melihat kemungkinan trombosis. Apalagi bila timbul tanda-tanda iskemia
tungkai sebelah distal. Namun bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada
trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua
sampai keadaan umum mengijinkan. Tindakan operasi yang berulang kali akan
lebih sering menderita komplikasi infeksi. Kecuali itu bila cukup waktu maka
terbentuk sistem kolateral baru. Pemeriksaan Doppler (Ultrasonic Sounding
Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi
pembuluh arteri distal dari sumbatan.
Kita harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada
kemungkinan adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic block
sering menambah keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskuler.
Hematoma di bawah lapisan intima atau robekan pada intima sendiri akan
terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tapi memang spasme arteri dapat terjadi
bersama dengan trauma vaskuler, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian
Papaverin hydrochloride atau Procain hydrochloride 1%.
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam
akan menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat,
sehingga terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.

2. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi
trauma vaskuler dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk
diatasi. Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Karena itu diagnosis trauma
vaskuler harus cepat di tegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridemen
luka yang adekuat, kesinambungan pembuluh vaskuler harus secepat mungkin
diusahakan dan pemberian nutrisi secara sistemik, kesemuanya ini membantu
pencegahan terhadap infeksi. Observasi yang ketat selama fase pasca-operasi.
Pada kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat
mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi.
Tidak saja karena tindakan koreksi ulang ini akan memberi kegagalan langsung,
tapi juga berbahaya untuk kelangsungan hidup si penderita karena septikemia

15
dan atau eksanguinasi. Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri
proksimal dan distal dari daerah infeksi. Beberapa hal yang masih dapat
dikerjakan pada daerah infeksi dengan larutan antibiotik secara teratur dan
terus-menerus serta pemberian antibiotik yang terbaik. Infeksi adalah penyebab
kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskuler.

3. Stenosis
Ada 2 penyebab terjadinya stenosis (penyempitan)
a. Kesalahn teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau
ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tapi bahan dinding pembuluh
darah tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh
yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi
iskemia relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio
intermiten.

b. Hiperplasia lapisan intima terjadi di jahitan anastomosis setelah beberapa


minggu atau bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena
autogen.

4. Fistula arteri vena


Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan
bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus
yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung
mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada
tindakan arteri yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan
mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini
menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan
menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik,
sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu.
Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga
akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui pintasan ini akan bertambah
besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini
bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung karena curahnya yang
bertambah.
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma
tajam, adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi

16
terdengar bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara
pembuluh arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal
dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-
kelok dan disertai warna kulit yang agak kebiruan.
Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan
lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan
operasi adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular
juga berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan
distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi. Bila mungkin
pembuluh arterinya direkonstruksi dengan jahitan langsung atau graft dengan vena
autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit lateral langsung.
Kelainan struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic
biasanya pasca operasi menjadi normal kembali.

5. Aneurisma palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan
dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan
oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri
yang disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia
nukleus pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang
trauma tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik
mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan
tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru
yang berasal dari pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.
Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini
terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada
seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi
bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau
bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi
dapat pula menolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,
maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan
beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan
secara spontan sangat kecil.

17
6. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi.
Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan
nekrosis otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless,
paresthesia, pallor, dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1) Kerusakan jaringan akibat hipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan
kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera
remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah
sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi
lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan
sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.
2) Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung
lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan
akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas dan
tungkai bagian bawah.

B. Vena

1. Trauma

Keruskanan pada sistem vena saja jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan
kerusakan pembuluh arteri. Perdarahan yang terjadi berupa rembesan difus yang sering
kali dapat berhenti sendiri, berbeda dengan perdarahan arteri yang memancar sesuai
irama jantung. Bila terjadi diperifer tubuh kita, maka diagnosis dengan mudah dapat
ditegakkan.

Keluhan dan Gejala

18
Perdarahan yang bersal dari kerusakan pembuluh vena tidak banyak memberi
keluhan bila terjadi di perifer, tapi bila pembuluh vena yang besar yang mengalami
kerusakan atau melibatkan salah satu pleksus venosus yang ada dalam tubuh kita, maka
secara perlahan akan terlihat tanda-tanda syok. Tidak seperti pada perdarahan arteri
dimana pasien akan segera mengalami syok hipovolemik. Trauma abdomen dengan
luka tembus di daerah hepar akan menjadi rumit bila terjadi lesi pada vena kava inferior
dan atau vena hepatica disamping kerusakan pada jaringan hepar.
Hal yang sama juga terlihat pada trauma panggul dimana biasanya salah satu
atau kedua vena hipogastrika mengalami kerusakan, apalagi kalau pleksus venosus
vesikalis dan atau pleksus venosus rektalis ikut rusak, maka sumber perdarahan yang
terjadi sukar dilacak.
Trauma ekstremitas hampir selalu melibatkan sistem vena perifer atau vena –
vena kecil yang ada disekitar daerah trauma; tapi biasanya tidak memberikan gejala
yang menyolok. Yang patut diwaspadai adalah kemungkinan terjadinya komplikasi
trombosis pada kerusakan pembuluh vena, terutama pada sistem vena dalam.

Penatalaksanaan

Karena sistem vena kaya pembuluh dan berupa anyaman yang saling
berhubungan, maka pada kerusakan vena perifer dapat diatasi dengan mengikat vena
ini, berbeda dengan lesi pada sistem vena dalam, apalagi biasanya lesi vaskuler
melibatkan vena dan arteri.
Beberapa ahli menyarankan agar pada kerusakan pembuluh vena dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan perbaikan sistem arteri. Seharusnya
dilakukan penyambungan pembuluh vena lebih dulu setelah yakin bahwa tidak ada
trombus yang terjadi terutama pada vena utama. Vena yang kecil bisa diikat, tapi lebih
baik menyambung sebanyak mungkin vena yang terputus. Ini dapat menolong
mengurangi edema pasca bedah dan penekan angka amputasi pada penderita dengan
kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat yang disertai lesai vaskuler. Jaringan
autogen adalah yang terbaik untuk dipakai pada rekonstruksi vena.
Pada kerusakan vena kava atau vena hepatika yang mungkin terjadi pada trauma
hepar, kita akan kesukaran mengatasi perdarahan karena letak anatomis yang sukar
dicapai, lagipula pembuluh vena mempunyai dinding yang tipis dan sering robek pada
19
jahitan. Pada trauma panggul dengan perdarahan hebat sebaiknya diobservasi dulu,
sebab kadang perdarahan akan berhenti sendiri karena adanya tamponade oleh jaringan
lunak sekitarnya. Bila tidak berhasil, artinya syok tidak bisa diatasi dengan pemberian
cairan dan atau darah, maka dilakukan eksplorasi secara hati-hati. Perdarahan dari
fraktur tulang sukar untuk diatasi. Kadang kita terpaksan mengikat arteri dan vena
hipogastrika.
Bila edema mengganggu sirkulasi darah di ekstremitas, maka sebaiknya
fasiotomi dipertimbangkan.
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya
pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif
dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas
daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak
sistem kolateral yang ikut terbendung.
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang
jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap adanya iskemia.

a. Penatalaksanaan non operatif


Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.
Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus
diperbaiki, sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat
kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang
minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan
aktif, dan sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang
memiliki kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang
digunakan, disarankan untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau
penyembuhan atau stabilisasi.

b. Penatalaksanaan endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi
beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi
anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula
arteriovenosa. Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan
penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft,

20
perbaikan endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat
dimungkinkan.

c. Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan
seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah
kontralateral yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan
autograft vena. Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada
pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan
kebutuhan.
Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera.
Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat)
atau bila perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri
distal. Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus
(thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen,
fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa
harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang
berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke
bagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi
cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-
to-end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft
berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada
umumnya graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler.
Autograft vena pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa
perang Korea. Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan
rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa
ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki
tingkat patency yang lebih tinggi ketika digunakan pada posisi di atas lutut.
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya
dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang

21
terjadi terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini
dapat menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi
pada penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat
serta membantu memperbaiki aliran arteri.
Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan
terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat
oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia
dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi
kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot
menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan
waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih
dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna,
terutama pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya
disertai kerusakan jaringan lunak.
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma
ekstremitas pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular
yang terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya
terjadi kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan
penderita akan kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan
baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat
dengan cepat ditangani, maka hasilnya akan jauh lebih memuaskan.
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft
(35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko
independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri
adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi
arteri.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan
angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah :
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
22
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graf.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit
setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44
tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka
sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko
kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi
pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya
adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda
tajam.
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan
kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah.
Kasus-kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan
tinggi (70-80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%).

Mekanisme trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.
Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi
dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran
dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan
memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan
dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik,
dan mekanisme trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE)
yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan
(V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V 2/2. Rumus ini berlaku baik
untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih
siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak
menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek
penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan
sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan
ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara

23
tersebut. Tekanan dapat terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau
kompresi) dan sumbu transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan
deformitas, robekan, dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi
menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari
alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan
kavitas permanen yang disebabkan oleh pemindahan jaringan.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung
proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu,
laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan
pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap
intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap
yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan
karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau
minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil,
dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan
dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis


Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia
Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal
ketika fraktur diluruskan

24
Modalitas Pemeriksaan
Indeks Arterial Pressure
Pemeriksaan indeks arterial pressure dinyatakan abnormal jika kecil dari 0,9.
Ini diukur dengan membandingkan tekanan sistolik ditempat yang cedera dibandingkan
dengan tempat yang normal dengan menggunakan Doppler, keakuratannya mencapai
95%. Data terakhir menunjukkan bahwa sensitifitas 72.5%, spesifisitas 100%, positive
predictive value 100%, negative predictive value 96%. Keterbatasan pemeriksaan ini
jika terdapat cedera di proksimal tempat pemeriksaan, pasien shock atau terdapat luka
multipel. Beberapa pusat pelayanan trauma telah menggunakan kriteria ini untuk
menyingkirkan kemungkinan cedera vaskuler pada penderita dengan pemeriksaan fisik
normal, normal indeks arterial pressure dan tanpa trauma diproksimalnya dan tanpa
luka multipel.1,3,5

Pemeriksaa Imaging
Pasien pasien dengan soft signs memerlukan pemeriksaan lanjutan

a. Ultrasonografi Duplex
Pada beberapa penelitian ternyata duplex ultrasonografi memiliki angka
sensitifitas 100% dan spesifisitas 97.3%. Kemungkinan negatif palsu mungkin terjadi

25
pada penderita luka tembak, trauma didaerah poplitea, atau didaerah subklavikula, atau
pada penderita dengan terpasang splint atau dressing. Alat ini sangat bermanfaat
ditangan ahli karena sangat akurat dan tepat karena angka sensitifitas dan
spesifisitasnya mendekati 100%. Keterbatasan alat ini karena sangat tergantung kepada
keahlian operator.
Beberapa pusat trauma saat ini telah menggunakan modalitas ini untuk
menyingkirkan kemungkinan seseorang menderita cedera pembuluh darah jika,
pemeriksaan fisik normal dan duplex ultrasonografi normal.

b. Arteriografi
Masih merupakan pemeriksaan baku emas dengan sensitifitas 99% dan spesifisitas
97%, biasanya tidak dibutuhkan pada cedera arteri ekstremitas atas, karena sebagian
besar pasien mengalami cedera terbuka. Kadang kadang dibutuhkan pemeriksaan
arteriografi intra operative untuk menentukan lokasi cedera arteri.
Hampir semua pasien dengan hardsign tidak memerlukan pemeriksaan arteriografi.

c. CT Angiografi
Memberikann gambar dengan resolusi tinggi, dan dapat memberikan gambaran detil
kerusakan tulang dan jaringan lunak. Dari beberapa penelitian ternyata angka
sensitivitas dan spesifisitasnya sekitar 99% dan 87%. Beberapa pusat trauma
menyarankan penggunaan modalitas ini untuk menggantikan pemeriksaan angiografi.
Keakuratan sangat tinggi.

BAB III
KESIMPULAN

Kasus trauma vaskuler pada ekstremitas atas adalah kasus trauma yang
sebetulnya cukup sering terjadi baik akibat trauma tumpul maupun trauma tajam.
Penanganan kasus ini harus lebih hati hati, karena biasanya jarang yang hanya
melibatkan satu sistem. Biasanya cedera yang terjadi kombinasi dari beberapa sistem,
baik sitem vaskularisasi, sistem muskuloskletal maupun sistem persyarafan.

26
Penanganan trauma di ekstremitas atas tetap menganut kaidah yang berlaku
pada ATLS, dimana survei primer dilakukan lebih dahulu baru diikuti dengan survei
sekunder. Hal ini sesuai dengan aturan live saving diikuti dengan limb salvage.
Pada pasien ini ouput yang dihasilkan tidak sebaik yang diharapkan karena
iskemik time yang terjadi cukup lama yaitu 32 jam sebelum masuk rumah sakit
ditambah dengan prosedur orthopedi yang dilakukan terlebih dahulu dan ditambah
dengan pemakaian shunting yang tidak dianjurkan untuk digunakan pada ekstremitas
atas, dan juga shunting yang digunakan tidak sesuai dengan standar.
Ketidaktahuan dari dokter bedah yang merujuk, sehingga pasien dirujuk atas
permintaan sendiri juga memperburuk output. Pada setiap trauma dituntut kehati hatian
yang tinggi dari seorang dokter bedah, sehingga tidak ada trauma vaskuler yang
terluput, apalagi pada pasien ini sudah jelas hard sign, dimana pulasai perifernya sudah
tidak ada.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. Dasar-dasar ilmu bedah vaskuler edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2008. h.50-65.
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular trauma, 2nd ed. USA: Elsevier
Saunders; 2004.
3. Dueck AD, Kucey DS. The management of vascular injuries in extremity trauma.
Current Orthopedics 2003; 17: 287-91.
4. Fields C E, Latifi RI, Ivatury R R: Brachial and Forearm vessel Injuries: Vascular
Trauma Complex and Challenging Injuries,Part II.Surg Clin of North Am 82:105 –
114,2002 Frykberg ER: Combined vascular and skeletal trauma: Vascular Trauma :
Trauma Org:2005: diakses dari
http://www.trauma.org/archive/vascular/vascskeletal.html
5. Levy RM, Alarcon RH, Frykberg ER: Peripheral Vascular Injuries : Trauma manual,
The Trauma and Acute Care Surgery,3 rd Edition. Lippincott William & Wilkins
2008.
6. Dueck AD, Kucey DS: The Management of Vascular Injuries in Extremity Trauma.
Current Orthopedics 2003;17:287-291. Manthey DE, Nicks BA: Penetrating
Trauma to The Extremity: J Emerg Med 2008;34:187-193.
7. Management of Complex Extremity Trauma: American College of Surgeons
Committee on Trauma. Ad Hoc Committee On Outcomes 2005.
8. Marrero IC, Chaudhry N :Hand, Upper Extremity Vascular injury : Treatment.
Diakses dari http://emedicine.medscape.com/artcle/1287360-treatment.
9. Starnes BW, Arthurs ZM: Endovascular Management of Vascular Trauma. Perspect
Vasc Surg Endovasc Ther 2006; 18:114 – 124.
10. Tiwari A, Haq AI, Myint F, Hamilton G: Acute Compartement Syndromes. Br J
Surg 2002;89397 – 412.
11. Manthey DE, Nicks BA: Penetrating Trauma to The Extremity.J Emerg
Med;2008:34: 187- 193.\
12. Marrero Ian C, Chaudhry Nadeem, Salhab KF: Hand,Upper Extremity Vascular
Injury: diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1287360-overview.
13. Riz Erkan,Kolbakir F, Sarac A, et al: Retrospective assesment of Vascular Injuries:
23 Years of Experience. Ann Thorac Cardiovasc Surg2004;10: 373 – 378.

28

Anda mungkin juga menyukai