Anda di halaman 1dari 9

http://www.academia.

edu/9805012/Pedoman_Penulisan_Karya_Ilmiah_Universit
as_Pendidikan_Indonesia_Tahun_2014

BUAH EMANSIPASI ERA REFORMASI

(Renungan Perjalanan Kaum Emansipan untuk Indonesia Hari Ini)

Oleh

Masyithoh Nurul Haq

(1407264)

Pendahuluan

Abad 21 memberikan wajah baru bagi sejarah, sebuah wajah bagi segala
bentuk pergerakan yang menyongsong tuntutan zaman. Demikian juga dengan
wanita, nampak dari berbagai fenomena yang ada bahwa wanita semakin merasa
perlu untuk terus berkembang dan bebas dengan segala atribut yang
memperjuangkannya, termasuk di antaranya lewat gerakan emansipasi dan
feminisme.
Ada hal yang perlu sudah mengisi kekosongan hasil perjuangan pendahulunya?
Apakah bentuk emansipasi hari ini sudah diingat dan disadari dari semua
fenomena yang ada, yaitu apakah gerakan itu sudah berbuah seperti apa yang
dicita-citakan para pejuangnya ataukah belum? Emansipasi wanita misalnya, hak
seperti apa yang sebenarnya gerakan ini perjuangkan? Lantas bagaimana bentuk
hak-hak tersebut dalam era perjuangannya di zaman ini? Adakah kesesuaian yang
mampu menjustifikasikan bentuk atau wajah emansipasi hari ini membayar jerih
payah para pejuangnya? Jika memang sudah, lantas benarkah semua bentuk itulah
yang mereka inginkan? Tentu, kita tak tahu, tapi yang jelas ada hal yang perlu
ditegaskan, bahwa kita punya fakta yang jelas bahwa cukup banyak wanita hari
ini yang justru mencari nafkah, tidak jarang wanita hari ini yang memerintah,
sangat banyak wanita hari ini yang mendominasi sektor kerja pabrikan. Tidak
akan menjadi masalah, mungkin, jika pekerjaan yang wanita-wanita itu lakukan
guna membantu nafkah suami yang kekurangan, masalahnya ada ketika semua itu
terjadi sedangkan suami mereka justru yang berleha-leha di rumah dan menunggu
para istri mereka pulang kerja membawa dana untuk menghidupi urusan rumah
tangga mereka.

Pembahasan
Emansipasi, wacana pembebasan yang sering digemborkan karena
bersinggungan dengan hakikat diri manusia yang selalu hendak berdiri
independen, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan apa adanya, maka pasti
wacana ini juga akan muncul pada kata ‘wanita’, mengapa? Jawabannya
sederhana saja, yaitu karena wanita bagian dari kehidupan manusia. Manusia
memiliki hak dan kewajiban, yang jika keduanya tidak berjalan sesuai dengan
yang seharusnya maka, secara alamiyah, pasti akan muncul, pergolakan dan
pemberontakan demi mencapai kestabilan hak dan kewajiban tersebut.
Demikian juga wanita, wanita memiliki hak dan kewajiban yang bersifat fitri,
hak dan kewajiban yang selayaknya yang di saat yang sama bisa sama dan bisa
juga berbeda dengan pria. Ketika hak dan kewajiban wanita tidak berjalan
seimbang, di sinilah kita menjadi paham, bahwa kita akan berhadapan dengan
berbagai gerakan yang menuntut kesimbangan hak dan kewajiban itu. Maka,
muncullah di tengah kita apa yang dikenal dengan gerakan emansipasi wanita,
gerakan yang bisa punya dua arti, pertama, pembebasan dari perbudakan;
kedua,persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti
persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria) (Pengertian dari KBBI Offline),
juga gerakan feminisme, satu gerakan yang lebih eksplisit dalam menuntuk
kesamaan hak sepenuhnya antara pria dan wanita (Pengertian dari KBBI Offline).
Wajah Emansipasi Wanita Paruh Pertama (Awal Abad 20)
Mungkin terlihat timpang saat dikaitkan dengan ketidakseimbangan antara hak
dan kewajiban karena yang dituntut oleh dua gerakan tadi hanya berpusat pada
hak semata. Tapi, tentu tidak, Saudara-Saudara, mengapa? Karena situasi zaman
telah menjawabnya, yaitu pada era awal abad 20, di mana mulai muncul gerakan-
gerakan emansipasi, Indonesia masih terikat pada adat yang menuntut wanita
dengan segala kekhidmatan mengerjakan segala kewajibannya pada aspek
domestik dan mengikat kebebasan haknya berada di luar rumah. Inilah yang
dilihat para pelopor emansipan saat itu bahwa ada ketidakseimbangan, di mana
kewajiban telah mereka lakukan dengan baik tetapi hak pendidikan sekalipun
tidak mereka dapatkan, maka hak-lah yang paling mereka gembor-gemborkan
kala itu.
Gambaran paling populer yang dianggap representatif untuk zaman awal
munculnya emansipasiwanita adalah tokoh R.A. Kartini, misalnya, mari kita baca
secuplik catatannya tentang keadaan wanita saat itu yang dikutip dalam Stuers
(2008: 62):
Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang gadis-gadis keluar rumahnya...Ketika
berusia 12 tahun aku harus masuk ‘sangkar’. Aku dikurung di rumah dan sangat
terasing dari dunia luar, dan aku tidak boleh kembali ke dunia itu lagi selama belum
berada di sisi seorang suami, seorang lelaki yang asing sama sekali, yang dipilihkan
orang tua bagi kami untuk mengawini kami, yang sesungguhnya tanpa sepengetahuan
kami.
Walaupun, ada yang hendak saya gamblangkan guna menghindari stigma yang
biasa muncul ketika mendiskusikan penyebab wacana yang disebutkan Kartini
tadi. Fenomena wanita yang sedemikian rupa terdapat di Indonesia sekiranya
dapat dilihat dari dua sebab yang biasa diangkat, yaitu adat dan hukum Islam
(Stuers, 2008: 13). Sehingga tak jarang, penganut kesetaraan gender memandang
bahwa agama (termasuk Islam) berperan besar dalam memberi justifikasi terhadap
penindasan terhadap kaum wanita (Asad, 2014: 7). Inilah justru bagian yang
keliru, benar, Islam memang membolehkan poligami, tapi tentu penerapannya
tidak semudah yang berlaku pada masyarakat Indonesia saat itu, seperti apa yang
digambarkan Kartini dalam (Stuers, 2008: 67), yaitu:
Tidak setiap orang Islam mempunyai empat orang isteri, tetapi dalam dunia kami tiap
perempuan yang telah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya isteri
suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang
perempuan untuk jadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya...Mereka
sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu sehingga tidak melihatnya sebagai sesuatu
yang aneh...
Poligami Islam sangat mempertimbangkan maslahat dan keadilan (Q.S. An-
Nisa: 3). Sehingga, apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat itu lebih pada
Islam yang telah bersinggungan dengan adat, seperti apa yang diungkapkan Deliar
Noer dalam bukunya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (1982:
21).“bahwa hal penting saat membicarakan Islam di Indonesia pada pertukaran
kurun lalu adalah perselisihan Islam dengan berbagai peraturan adat”. Islam yang
kadang bersinggungan dan juga kadang menimbulkan konflik dengan adat.
Karena, hakikat Islam sendiri sebenarnya berperan besar untuk membuat
perubahan pada keadaan perempuan kurun itu, bukan menjadi bahan yang juga
mendeskriditkann posisi wanita itu sendiri.
Singkat kata bahwa saya,pertama, hendak mencoba meluruskan kekeliruan
pendapat yang terkadang melebeli dan menggeneralisasiajaran Islam sebagai
bagian yang ikut membantu pembentukan budaya dan tradisi yang merendahkan
wanita, kedua, ingin membuktikan bahwa pada masa awal munculnya gerakan
emansipasi wanita paruh abad 20 awal ini, tidak hanya didominasi oleh para tokoh
feminis sebagaimana yang telah dikenal kita yaitu, Kartini, Dewi Sartika,
Abdoerachman, Siti Soendari, Rahma El Junusia, dll, tapi juga ada peran Islam
sendiri yang tak bisa dilupakan.
Dan hal yang lebih penting yang ingin saya tunjukkan adalah bahwa pada masa
awal munculnya gerakan emansipasi wanita ini, baik para pelopor feminis
maupun organisasi Islam menghendaki dan tertuju pada perubahan dari sisi
pendidikan.Hal ini representatif pada tulisan Kartini, sekalipun dia menyebutkan
keinginan untuk ‘merebut’ kehidupan bebas bagi para wanita (Stuers, 2008: 66).
Tetapi, Kartini tak luput memberi penjelasan akan kebebasan yang ia maksud,
bahwa kebebasannyaitu ada dalam bentuk pendidikan dan membatasinya pada
kebebasan yang sampai menjadikan perempuan menjadi saingan lelaki. Kartini
dalam Stuers (2008: 68):
Jika kami menginginkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan...itu
bukan karena kami ingin menjadikan perempuan menjadi saingan lelaki...tetapi...kami
ingin menjadikan perempuan labih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu
Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik manusia yang utama...Kepada kaum
ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-
anaknya...untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat., karena
anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami mencintai
pendidikan dan pengajaran bagi para gadis-gadis.
Beberapa tokoh Islam juga mulai menyadari pentingnya pendidikan lebih bagi
umat Islam, sifatnya mungkin lebih terlihat egaliter atau tidak terfokus pada
wanita saja, tapi tetap fenomena ini menunjukan i’tikad baik bagi wanita itu
sendiri, mengapa? karena dalam pendidikan Islam dapat dijelaskan bagian hak
wanita dan lelaki juga kewajiban antar keduanya. Dengan demikian, wanita
mampu berkerja sesuai dengan wilayah hak dan kewajibannya, demikian juga
lelaki mereka dapat menghargai wanita dan tidak bisa sembarang menghalangi
keberjalanan hak, tugas, dan kewajiban mereka, selama itu masih dalam
kooridornya.
Hal ini, tentu bagian usaha untuk keluar dari fakta sejarah saat itu yang hanya
memberi hak menuntut ilmu kepada para pembesar negara, para penguasa dan
para pembesar lainnya, sedangkan rakyat biasa tidak diberi kesempatan. Begitu
juga hak laki-laki yang dibuat tidak sama dengan perempuan dalam hal menuntut
ilmu pada saat itu. Barangkali pikiran laki-laki saat itu biarlah para wanita itu
bodoh, karena kalau perempuan diberi kesempatan menuntut ilmu dan pintar,
mereka akan menuntut haknya kepada laki-laki.
(tersedia:http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_Kedudukan_Wanit
a_dalam_Islam.pdf.)
Maka kita dapat melihat pada awal abad 20 muncul Sekolah Adabiyah, Surau
Jembatan Besi, dan Sekolah Diniyah Puteri di Minangkabau, Aisiyah di
Yogyakarta, dll. Di mana sekolah-sekolah tadi melatih dan mengajari para wanita
seperti menjahit dan menyulam, yang terlihat sangat menekankan sekali
pentingnya kedudukan wanita sebagai ibu (Noer, 1982: 90).
Wajah Emansipasi Wanita Paruh Kedua (Setelah Revolusi 1950-an)
Perjuangan membela hak yang dilakukan gerakan emansipasi wanita tidak
berhenti. Bahkan terus berkembang. Kemerdekaan Indonesia menjadi angin segar
tersendiri yang cukup berpengaruh bagi peningkatan keterbukaan hak wanita
untuk masuk ke ranah politik. Dalam hal, ini antara Islam dan kaum emansipan
tidak bersebrangan, kaum wanita memang punya hak untuk membantu kemajuan
bangsa dan negara bukan hanya pada usaha mencerdaskan bangsa tapi juga dapat
masuk pada ranah politik selama mereka punya kompetensi, pada batas
sewajarnya membantu, bukan memimpin laki-laki, serta tidak meninggalkan
kewajiban pokok mereka di ranah domestik.
Tercatat nama-nama seperti Ummu Salamah, Shofiah, Laila Al Ghofariyah, Ummu
Sinam al Aslamiyah dan lain-lainnya adalah tokoh wanita yang terlibat dalam
peperangan. Imam Bukhori, juga membukukan bab-bab kitab tertentu dalam
shahihnya, tentang keterlibatan perempuan dalam jihad. Di samping itu para
perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja
sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan, ada juga yang menjadi
perawat, bidan dan sebagainya.(tersedia:
http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_
Kedudukan_Wanita_dalam_Islam.pdf.)
Namun menjadi hal yang disayangkan ada sisi lain dari revolusi yang justru
membawa pengaruh negatif bagi posisi perempuan pada perkembangan
selanjutnya. Selama revolusi berlangsung, bahaya dan penderitaan membuat
perempuan menjadi penolong penting dangan tugas penting. Penghalang regional
dan yang dibentuk oleh agama dan kelas runtuh, lelaki dan perempuan berjuang
untuk satu tanah air sebagai anggota sejajar yang telah diproklamasikan dengan
sumpah pemuda pada periode sebelumnya (Stuers, 2008: 268).
Dan mari kita lihat, hal apa yang terjadi setelah revolusi? Perempuan ternyata
telah mendapatkan semua haknya: ia dapat memilih dan dapat dipilih, ia
mempunyai akses untuk semua perdagangan dan pekerjaan, setidaknya secara
teori semua indikasi emansipasi utuh telah ia (perempuan Indonesia) dapatkan.
Emil Salim (1976: 41) mengomentari keadaan wanita zaman 50-an, “Dewasa ini
praktis tak ada bidang yang tertutup bagi para wanita. Namun, Indonesia seperti di
tempat lain juga setelah masa perjuangan berlalu dan semua kondisi stabil,
kedudukan perempuan justru bertambah buruk, perempuan menjadi pesaing di
mata lelaki, bahkan perempuan ditakuti kerena mampu mengatur masalah publik
juga pribadinya sendiri” (Stuers, 2008: 268-269).
Soekarno tenyata punya pandangan yang sama dengan pandangan di atas,
setidaknya ada kesimpulan khusus yang ia berikan, bahwa semua fenomena
perempuan Indonesia yang ada saat itu juga dipengaruhisituasi sosial wanita di
Barat, seperti dalam buku Sarinah (kumpulan dari materi-materi yang Soekarno
berikan dalam kursus tahun 1947 di Yogyakarta). Di mana Soekarno
menitiktekankan pada kemerdekaan wanita yang sebenarnya tidak identik dengan
kemerdekaan yang dipelopori oleh gerakan feminisme maupun neo feminisne saat
itu yang hendak menyamaratakan saja antara perempuan dan laki-laki tanpa
pernah mengingat adanya kodrat kemanusiaan yang tak bisa dilepaskan antara
keduanya.Yang ujungnya, disebutkan bahwa itu semua sebenarnya tidak
memberikan kemuliaan yang sebenarnya pada perempuan secara keseluruhan
seperti kemuliaan perempuan pada zaman matriatchat (tersedia:http://digilib.uin-
suka.ac.id/5203/).
Wajah Emansipasi Wanita Paruh Terakhir (Reformasi)
Masa setelah revolusi setidaknya bisa menjadi gambaran bagi kita bagaimana
perkembangan emansipasi pada era ini, yang bisa jadi masih beristilah
‘reformasi’, sekalipun Ricklefs (2008: 693) membatasinya hanya sampai tahun
2004 dengan patokan awalnya adalah tahun 1998, tepat saat berakhirnya orde
baru. Terlepas dari itu semua, mari kita perhatikan fenomena dan wajah
emansipasi di dalamnya.
Fakta munculnya profil Megawati Sukarnoputri sebagai Kepala Negara
setidaknya representatif menggambarkan jayanya emansipasi wanita era reformasi
ini. Jabatan presiden yang bukan hanya dianggap, oleh para pendukungnya,
adalah hak aslinya sebagai puteri dari Presiden pertama dan Bapak Pembangunan,
tapi lebih dari itu, bahwa jabatan presiden adalah haknya sebagai wanita yang bisa
duduk sejajar dengan laki-laki.
Fenomena lain pasti tak jauh berbeda, di mana wanita sudah bukan wanita
(wani ditata dalam bahasa Jawa berarti yang berani/suka diatur) tapi yang
mengendalikan dan mengatur betul-betul diri, keluarga bahkan negaranya. Telah
ada pergeseran status dan peran wanita yang nyata.
Dalam status terendah sekalipun wanita tetap menjadi segmen yang
menentukan, contoh kasus pada keluarga TKW (Tenaga Kerja Wanita), pekerjaan
yang tidak bisa dibilang sedikit yang diambil wanita Indonesia saat ini, mengingat
perekonomian penduduk Indonesia sendiri yang mayoritas di bawah rata-rata.
Lantas apa yang dapat kita amati? Adalah bahwa wanita telah berperan sebagai
pencari nafkah dengan pergi ke daerah lain sementara peran dan tanggung
jawabnya, sebagai pengatur rumah tangga dengan mengurus urusan domestik dan
bertanggung jawab mendidik anak-anak, digantikan oleh keluarganya, apakah itu
suami, ibu, atau mertuanya. (tersedia: http://digilib.uin-suka.ac.id/5203/)
Di sisi lain, hal yang lebih parah terjadi, di mana muncul persepsi dari
beberapa wanita Indonesia (tidak semuanya), bahwa viginitassekarang bukanlah
suatu hal yang patut dipertahankan lagi, ketika ditanya mengapa?
ia menjawab “Kalau pria saja bisa mengobral ke-virgin-annya (keperjakaan), mengapa
kita harus menjaganya? Saat kita mulai menjalani hubungan itu(pacaran), kita gak
pernah tau apakah dia masih(perjaka) atau gak. Lagian bukan suatu hal yang aneh lagi
jika di zaman sekarang ini banyak cewek yang gak virgin lagi”. (tersedia:
http://www.dudung.net/artikel-bebas/feminisme-koqsalah-kaprah.html.)

Kesimpulan
Demikianlah, semua fakta tadi dapat kita renungkan, sebenarnya seperti apa
bentuk dan wajah emansipasi wanita yang pendahulu kita perjuangkan dan
harapkan, baik itu dari para tokoh emansipan awal juga para tokoh
organisasiIslam? Bukankah mereka memperjuangkan untuk kita, kaum wanita,
pendidikan yang mampu memahamkan kita akan ruang lingkup, wilayah, hak dan
kewajiban kita yang sebenarnya, yang sesuai dengan fitrah dan kodrat kita sebagai
wanita? Lantas apakah semua itu sudah tercapai hari ini? Jika ia, nampaknya telah
banyak dinodai oleh praktek-praktek yang keliru dan terlalu terjerumus, bebas,
dan di luar batas.
Sumber:

Al-Qur’an

Asad, Ahmad. 2014. Wilayah dan Bentuk Jihad Wanita. Jakarta: Abdan Syakuro.

Gopur, Abdul. 2010. Pergeseran Peran dan Tanggung Jawab Wanita dalam
Keluarga TKW (Studi Kasus Keluarga TKW Desa Bojong Jatimulya
Indramayu [online]. Skripsi sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Diakses dari http://www.ibookzip.net/q/title/
pergeseran-peran-dan-tanggung-jawab-wanita-dalam-k.html[01 Mei 2015].

Hayshal, Mahide. 1996. Status dan Fungsi Wanita Kajian Atas Buku Sarinah
[online]. Skripsi sarjana pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id/5203/. [27 April
2015].

Jamaluddin, Burhan. (t.t.). Kedudukan Wanita dalam Perspektif Islam [online].


Diakses dari http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_
Kedudukan_Wanita_dalam_Islam.pdf[27 April 2015].

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942


(terjemahan). Jakarta: LP3ES.

Putri, Riski Rani. 2008. Feminisme Koq Salah Kaprah? [online]. Diakses
darihttp://www.dudung.net/artikel-bebas/feminisme-koqsalah-kaprah.html.
[02 Mei 2015].

Salim, Emil. 1976. Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit


UI.

Stuers, Cora Vreede-de. 2008. Sejarah Perempuan Indoneia Gerakan dan


Pencapaian (terjemahan). Jakarta: Komunitas Bambu.

Anda mungkin juga menyukai